Anda di halaman 1dari 28

BAB II

POTRET BUDAYA POLITIK MASYARAKAT INDONESIA

2.1 Pengertian Budaya Politik

2.1.1 Pengertian Budaya Politik

Istilah budaya politik merupakan alih bahasa dari istilah “The

Political Culture”.sebagai suatu konsep,. Istilah ini diperkenalkan oleh

Gabriel A. Almond dalam tulisannya yang berjudul “Comparative Political

System” tahun 1956. Pada tahun 1960-1970, Almond mengembangkan

konsep budaya politik bersama Sidney Verba. Mereka menghasilkan sebuah

buku yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu politik, yaitu “

The Civic Culture”. Buku ini berisikan hasil penelitian Almond dan Verba

mengenai budaya politik di lima negara, yaitu Amerika, Jerman, Inggris,

Italia, dan Meksiko. Para pakar politik di Indonesia menerjemahkan konsep

civic culture menjadi budaya politik atau kebudayaan politik. Pada

umumnya budaya politik diartikan sebagai pandangan politik yang

mempengaruhi sikap, orientasi, dan pilihan politik seseorang. Dengan kata

lain, budaya politik merupakan faktor yang mempengaruhi pola

pengambilan keputusan-keputusan politik baik oleh masyarakat ataupun

oleh pemerintah. (http://hellorunira.blogspot.com/2015/05/mencermati-

potret-politik-masyarakat.html, diakses Tanggal 20 Januari 2019, pukul

18.44 WITA)
Pengertian budaya politik sendiri, yaitu Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia, budaya berarti pikiran dan politik berarti pengetahuan mengenai

ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar

pemerintahan). Jadi, budaya politik adalah pola sikap, keyakinan, dan

perasaan tertentu yang mendasari, mengarahkan, dan memberi arti kepada

tingkah laku dan proses politik dalam suatu sistem politik, mencakup cita-

cita politik ataupun norma-norma yang sedang berlaku pada suatu

masyarakat politik. (https://kamuslengkap.com/kamus/kbbi/arti-

kata/budaya-politik, diakses Tanggal 20 Januari 2019, pukul 18.45 WITA)

Banyak ahli yang mengemukakan pengertian budaya politik. Beberapa

definisi budaya politik yang disampaikan para ahli, antara lain:

a) Gabriel A. Almond dan Sidney Verba

Menurut Almond dan Verba, budaya politik suatu bangsa sebagai

distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik di

anatara masyarakat bangsa itu dan tidak lain adalah pola tingkah

laku individu yang berkaitan dengan kehidupan politik yang

dimengerti oleh para anggota suatu sistem politik.

b) Austin Ranney

Menurut Austin Ranney, budaya politik adalah seperangkat

pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara

bersama-sama, sebuah pola orientasi terhadap objek-objek politik.

i
c) Samuel Beer

Samuel Beer mengemukakan bahwa budaya politik adalah nilai-

nilai keyakinan dan sikap-sikap emosi tentang bagaimana

pemerintahan seharusnya dilaksanakan dan tentang apa yang harus

dilakukan oleh pemerintah.

d) Alan R. Ball

Alan R. Ball mengemukakan bahwa budaya politik adalah susunan

yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai

masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik.

Dari beberapa definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan mengenai

batasan pengertian budaya politik, yaitu:

1) Budaya politik tidak mengedepankan perilaku aktual, tetapi

perilaku nonaktual. Bentuk-bentuk perilaku nonaktual seperti

pandangan, orientasi, keyakinan, sikap, emosi, kepercayaan

dan nilai-nilai yang dihayati para anggota suatu sistem politik.

2) Budaya politik mengorientasikan sistem politik. Terdapat salah

satu faktor yang memiliki arti penting pada pandangan

terhadap sistem politik yaitu perasaan (trust) dan pemahaman

(hostility). Perasaan tersebut berwujud kerja sama dan konflik

yang bermanfaat dalam membentuk kualitas politik.

3) Budaya politik mendeskripsikan warga negara sebagai anggota

sistem politik. Dengan demikian, orientasi warga terhadap

objek politik, akan memengaruhi perilaku nonaktual sebagai


i
cerminan budaya politiknya. Budaya politik masyarakat sangat

dipengaruhi oleh struktur politik, sedangkan daya operasi

struktur ditentukan oleh konteks kultural. Dilihat dari sudut

pandang rangsangan secara keseluruhan, budaya politik

bertujuan untuk mencapai atau memelihara stabilitas politik

yang demokratis.

2.1.2 Komponen Pandangan Objek Politik

Almond dan Verba mengemukakan bahwa dalam pandangan objek

politik terdapat tiga komponen, yaitu komponen kognintif, komponen

orientasi efektif dan komponen orientasi evaluatif.

a) Komponen Kognitif

Komponen kognitif adalah komponen yang menyangkut

pengetahuan bidang politik dan kepercayaan pada politik peranan

dan segala kewajibannya.

b) Komponen orientasi efektif

Komponen orientasi efektif adalah segala perasaan terhadap

politik peranannya, para actor dan penampilannya.

c) Komponen orientasi evaluatif

Komponen orientasi evaluatif adalah keputusan dan paradigm

tentang objek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi

standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.

Menurut Almond dan Verba, untuk mengukur sikap individu dan

masyarakat dalam sistem politik dapat digunakan ketiga komponen


i
orientasi tersebut. Sementara dalam komponen evaluatif orientasi

politik seseorang, ditentukan oleh orientasi moral. Norma-norma yang

dianut seorang warga pegara menjadi dasar bagi sikap dan perannya

terhadap sistem politik. Sedangkan orientasi evaluatif berkaitan erat

dengan evolusi normative, moral politik dan etika politi dalam

kehidupan masyarakat, kekuasaan politik timbul dari hubungan antar

individu yang menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan

pribadi. Oleh karena itu, hubungan antara warga masyarakat dengan

pemegang kekuasaan secara alamiah berada dalam kondisi yang lebih

harmonis bila dibandingkan dengan hubungan yang terdapat di

masyarakat Barat.

2.1.3 Peranan Individu Dalam Sistem Politik

Sistem politik modern merupakan satu hal yang sangat kompleks.

Politik bukanlah suatu bentuk ekspresi dan aktualisasi kemampuan pribadi

seseorang melainkan sesuatu yang didukung konsep serta gagasan-gagasan

warga Negara atau anggita masyarakat secara konsekuen.

Seorang politikus dalam suatru waktu memiliki peranan ganda.

Misalnya, ia berperan sebagai anggota parlemen atau kabinet, sekaligus

sebagai pemimpin partai politik atau organisasi kemasyarakatan. Dengan

posisi tersebut dalam menjalankan peranan yang satu sering bertentangan

dengan norma dan aturan yang melekat dalam peran yang lain. Untuk itulah

diperlukan kehati-hatian dalam mengungkapkan suatu pendapat, usulan

i
maupun gagasan. Kapan waktunya ia berperan sebagai anggota parlemen

dan kapan ia berperan sebagai pemimpin partai.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka diperlukan pentingnya pemisahan

peranan (role differentiation) dalam situasi tertentu. Sikap kehati-hatian

dalam membedakan peranan politik itu dapat dikatakan sebagai salah satu

interaksi budaya politik. Untuk melihat peranan individu-individu dalam

sistem politik, Almond dan Verba membedakan ke dalam golongan subjek,

yaitu:

a) Subjek pertama adalah struktur khusus seperti badan legislatif,

eksekutif dan birokrasi,

b) Penunjang jabatan seperti pemimpin monarki, legislator dan

administrator,

c) Kebijaksanaan, keputusan dan penguatan keputusan. Orientasi

individual terhadap kehidupan politik dipengaruhi oleh orientasi

seseorang secara terbuka terhadap hal-hal sebagai berikut:

1) Pengetahuan yang dimiliki tentang Negara dan sistem

politiknya dalam pengertian umum.

2) Perasaan seseorang tentang terhadap struktur dan peranan elit

politik dan penganjur-penganjur kebijakan.

3) Perasaan seseorang tentang struktur-struktur individu,

keputusan-keputusan yang dilibatkan dalam seluruh

rangkaian proses tersebut, bagaimana perasaan dan

pendapatnya terhadap hal itu.


i
4) Perasaan seseorang sebagai anggota sistem politik yang

berkaitan dengan hak, kekuasaannya, kewajibannya dan

strateginya untuk dapat memasuki kelompok orang-orang

yang memiliki pengaruh.

5) Penilaian seseorang terhadap norma-norma berpolitik.

(http://kehudupansaatini.blogspot.co.id/2014/10/hakikat-budaya

politik.html?m=1, diakses Tanggal 23 Januari 2019. Pukul 20:39

WITA)

2.2 Karakteristik Budaya Politik Masayarakat Indonesia

Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, ternyata

masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Gabriel Almond

mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut.

a) Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat

partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif

(misalnya, tingkat pendidikan relatif rendah).

b) Budaya politik kaula (subject political culture), yaitu masyarakat

bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya)

tetapi masih bersifat pasif.

c) Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya

politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.

2.2.1 Budaya Politik Parokial

Budaya politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling

rendah. Dalam budaya politik ini masyarakat tidak merasakan bahwa


i
mereka adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih

mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat

kebanggaan terhadap sistem politik tersebut.

Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam

sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang

membicarakan masalah-masalah politik. Budaya politik ini juga

mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki minat maupun

kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi politik

dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan

institusi-institusi politik.

Tidak munculnya perasaan kompetensi politik dan keberdayaan

politik tersebut menyebabkan sulitnya membangun demokrasi dalam budaya

politik parokial. Demokrasi dalam budaya politik parokial hanya dapat

dibangun jika terdapat institusi-institusi dan perasaan kewarganegaraan

baru.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa budaya politik

parokial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.

a) Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai objek umum, objek-

objek input, objek-objek output, dan pribadi sebagai partisipan

aktif mendekati nol.

b) Tidak terdapat peran-peran politik yang khusus dalam masyarakat.

c) Orientasi parokial menyatakan alpanya harapan-harapan terhadap

perubahan komparatif yang diinisiasikan oleh sistem politik.


i
d) Kaum parokial tidak mengharapkan apa pun dari sistem politik.

e) Parokialisme murni berlangsung dalam sistem tradisional yang

lebih sederhana ketika spesialisasi politik berada pada jenjang

sangat minim.

f) Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat

afektif dan normatif daripada kognitif.

2.2.2 Budaya Politik Kaula

Budaya politik kaula atau subjek lebih rendah satu derajat dari budaya

politik partisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki

pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian

terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang lebih

pasif. Mereka tetap mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga

terhadap sistem politik negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya

kecil terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman jika

membicarakan masalah-masalah politik.

Demokrasi sulit berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik

subjek karena tiap-tiap warga negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh

terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan kontak dengan

pejabat lokal. Selain itu, mereka juga memiliki kompetensi politik dan

keberdayaan politik yang rendah sehingga sangat sukar untuk

mengharapkan partisipasi politik yang tinggi, agar terciptanya mekanisme

kontrol terhadap berjalannya sistem politik.

i
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan ciri budaya kaula atau

subjek sebagai berikut:

a) Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi terhadap sistem

politik yang diferensiatif dan aspek output dari sistem itu. Akan

tetapi, frekuensi orientasi terhadap objek-objek input secara

khusus, dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif

mendekati nol.

b) Para subjek menyadari adanya otoritas pemerintah.

c) Hubungannya terhadap sistem politik secara umum dan terhadap

output, administratif secara esensial merupakan hubungan yang

pasif.

d) Orientasi subjek lebih bersifat afektif dan normatif daripada

kognitif.

Tipe budaya kaula atau subjek ini antara lain diterapkan oleh golongan

bangsawan Prancis. Mereka sangat menyadari adanya institusi demokrasi,

tetapi secara sederhana hal ini tidak memberi keabsahan kepada mereka.

Kondisi masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti bahwa

mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem

politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki

kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki keyakinan

bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam

beberapa tingkatan. Mereka juga memiliki kemauan untuk

i
mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok protes jika terdapat

praktik-praktik pemerintahan yang tidak adil.

2.2.3 Budaya Politik Partisipan

Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh

suburnya demokrasi karena adanya harmonisasi hubungan warga negara

dengan pemerintah. Hal itu ditunjukkan oleh tingkat kompetensi politik

warga negara yang tinggi dalam menyelesaikan sesuatu hal secara politik.

Warga negara merasa memiliki peran politik. Mereka merasa perlu untuk

terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam

politik.

Selain itu, warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam

masyarakat secara sukarela karena adanya saling percaya (trust) antarwarga

negara. Oleh karena itu, dalam konteks politik, tipe budaya ini merupakan

kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan ciri budaya partisipan

sebagai berikut.

a) Frekuensi orientasi politik sistem sebagai objek umum,

objekobjek input, output, dan pribadi sebagai partisipan aktif

mendekati satu.

b) Bentuk kultur politik anggota-anggota masyarakat cenderung

diorientasikan secara eksplisit. Masyarakat pun aktif terhadap

sistem politik secara komprehensif. Selain itu, masyarakat juga

i
aktif terhadap struktur dan proses politik serta administratif

(aspek input dan output sistem politik).

c) Anggota masyarakat bersikap partisipatif terhadap objek politik

(tingkat partisipasi masyarakat sangat tinggi).

d) Masyarakat berperan sebagai aktivis.

Contoh masyarakat atau bangsa yang memiliki tipe budaya politik

partisipan, menurut studi Almond dan Verba adalah Inggris dan Amerika

Serikat. Menurut Almond dan Verba, ketiga tipe (partisipan, parokial, dan

subjek) tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik sebagai berikut:

a) Budaya Politik Parokial-Subjek (The Parochial-Subject Culture)

Bentuk budaya campuran (subjek-parokial) ini merupakan

peralihan atau perubahan dari pola budaya parokial menuju pola

budaya subjek (pemerintahan yang sentralistik). Contoh budaya

ini adalah bentuk-bentuk klasik kerajaan, seperti kerajaankerajaan

di Afrika, Rusia (Jerman), dan Kekaisaran Turki.

b) Budaya Politik Subjek-Partisipan (The Subject-Participant

Culture)

Bentuk budaya campuran (subjek-partisipan) merupakan

peralihan atau perubahan dari budaya subjek (pemerintahan yang

sentralistik) menuju budaya partisipan (demokratis). Contoh

negara yang memiliki tipe budaya campuran ini adalah Prancis,

Jerman, dan Italia.

i
c) Budaya Politik Parokial-Partisipan (The Parochial-Participant

Culture)

Bentuk budaya campuran (parokial-partisipan) ini merupakan

peralihan atau perubahan dari pola budaya parokial menuju

budaya partisipan. Tipe budaya campuran ini terdapat banyak di

negara-negara berkembang yang sedang melaksanakan

pembangunan politik. Pada umumnya, di negara-negara

berkembang budaya politik yang dominan adalah budaya

parokial.

Meskipun demikian, norma-norma struktural yang diperkenalkan

biasanya bersifat partisipan dan demi keselarasan mereka menuntut suatu

budaya partisipan. Hal ini sering menimbulkan ketimpangan antara struktur

yang menghendaki sifat partisipan dengan budaya alami yang masih bersifat

parokial. (http://pkn-ips.blogspot.com/2015/07/karakteristik-budaya-politik-

parokial-kaula-dan-partisipan.html?m=1, diakses Tanggal 21 Januari 2019.

Pukul 22:40 WITA)

2.3 Hakikat Kesadaran Politik

2.3.1 Makna Kesadaran Politik

Kesadaran politik atau dalam istilah asing disebut political

awwarness. M.Taopan dalam tulisannya yang berjudul Kesadaran Politik

(2011) menyatakan bahwa kesadaran politik merupakan proses batin yang

menampakan keinsyafan dari setiap warga negara akan pentingnya urusan

kenegaraan dalam kehidupan bernegara. Kesadaran politik atau keinsyafan


i
hidup bernegara menjadi penting dalam kehidupan kenegaraan, mengingat

begitu kompleks dan beratnya tugas yang dipikul negara dalam hal ini para

penyelenggara Negara. Kesadaran politik masyarakat tidak hanya diukur

dari tingkat partisipasi mereka dalam kegiatan pemilihan umum. Akan tetapi

diukur juga dari peran serta mereka dalam mengawasi atau mengoreksi

kebijakan dan perilaku pemerintah selama memegang kekuasaan

pemerintahan. Setiap masyarakat mempunyai kesadaran politik yang

berbeda-beda. Kesadaran politik masyarakat sangat tergantung pada latar

belakang pendidikannya. Masyarakat yang mempunyai tingkat

pendidikantinggi cenderung mempunyai kesadaran politik yang relatif

tinggi. Sebaliknya, kelompok masyarakat yang tingkat pendidikannya

rendah, maka kesadaran politiknya pun relatif rendah sehingga memerlukan

pembinaan.

Michael Rush dan Philip Althoff dalam bukunya yang berjudul

Pengantar Sosiologi Politik (2003:25) mengatakan bahwa sosialisai politik

adalah proses bagaimana memperkenalkan sistem politik pada seseorang

dan bagaimana orang tersebut menentukan tanggapan serta reaksi-reaksinya

terhadap gejala politik.

Sementara itu, Jack Plano dalam bukunya Kamus Analisa Politik

(1994), mengungkapkan sosialisasi politik sebagai suatu proses belajar

dimana setiap individu memperoleh orientasi-orientasi berupa keyakinan,

perasaan dan komponen-komponen nilai pemerintahan dan kehidupan

politik. Dari sudut pandang masyarakat, sosialisasi politik adalah cara


i
memelihara atau mengubah kebudayaan politik. Dengan demikian, dari dua

pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sosialisasi politik dapat

diartikan sebagai proses penanaman nilai-nilai politik yang dilakukan oleh

suatu generasi kepada generasi lain melalui berbagai media perantara seperti

keluarga, sekolah, partai politik, media massa dan sebagainya supaya

tercipta masyarakat yang memiliki kesadaran. Apa keterkaitan antara

kesadaranpolitik dengan sosialisasi politik? Perlu diketahui bahwa

kesadaran politik pada hakekatnya merupakan keinsyafan setiap individu

atau masyarakat akan pentingnya nilai-nilai politik. Nilai-nilai politik

tersebut tidak diperoleh seseorang dengan sendirinya melainkan melalui

proses sosialisasi politik yang didalamnya terdapat proses pembelajaran

mengenai semua hal tentang politik. Dengan kata lain kesadaran politik

merupakan hasil dari sosialisasi politik. Dengan demikian sosialisasi

kesadaran politik mengandung makna proses penyadaran seorang

individu atau masyarakat untuk memiliki minat dan perhatian terhadap

semua kegiatan politik yang berlangsung di lingkungannya yang

ditunjukkan dengan berbagai partisipasi dalam berbagai bidang kehidupan

terutama dalam hal pengawasan dan pengoreksian berbagai kebijakan

politik dari negaranya.

Kesadaran politik masyarakat tidak hanya diukur dari tingkat

pastisipasi mereka dalam kegiatan pemilu. Akan tetapi diukur juga dari

peran serta mereka dalam mengawasi sistem pemerintahannya. Setiap

i
masyarakat mempunyai kesadaran politik berbeda-beda. Kesadaran politik

masyarakat sangat tergantung dari latar belakang pendidikannya.

Menurut Jack Plano dalam bukunya Kamus Analisa Politik (1994),

sosialisasi politik dapat diartikan sebagai proses penanaman nilai-nilai

politik yang dilakukan suatu generasi kepada generasi lain melalui berbagai

media perantara seperti keluarga, sekolah, partai politik, media massa dan

sebagainya supaya tercipta masyarakat yang memiliki kesadaran politik.

2.3.2 Mekanisme Sosialisasi Budaya Politik

Mekanisme sosialisasi budaya politik mengandung pengertian berupa

cara-cara atau teknik penanaman atau pembentukan nilai-nilai politik

kepada individu atau anggota masyarakat untuk memperkuat dan

mengarahkan orientasi politik yang telah ada dalam dirinya.

Menurut Michael Rush dan Phillip Althoff, mengatakan bahwa

sosialisasi politik adalah proses bagaimana memperkenalkan sistem politik

pada seseorang dan bagaimana orang tersebut menentukan tanggapan serta

reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik.

Robert Le Vine sebagaimana dikutip oleh Michael Rush dan Philip

Althoff dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sosiologi Politik

(2003:38) mengatakan terdapat tiga mekanisme sosialisasi pengembangan

budaya politik, yaitu imitasi, instruksi dan motivasi.

Imitasi, yaitu proses sosialisasi melalui peniruan terhadap perilaku

yang ditampilkan individu-individu lain dan merupakan hal yang amat

penting dalam sosialisasi melalui proses pembelajaran baik secara formal (di
i
sekolah), informal (pendidikan di keluarga) maupun dalam bentuk

nonformal (diskusi-diskusi kelompok, organisasi dan sebagainya).

Sedangkan motivasi, merupakan mekanisme proses sosialisasi yang

dikaitkan sengan pengalaman individu pada umumnya yang secara langsung

mendorong dirinya untuk belajar dari pengalaman-pengalamannya

mengenai tindakan-tindakan yang sesuai dengan sikap-sikap dan

pendapatnya sendiri.

Menurut Gabriel A. Almond, sosialisasi politik dapar membentuk dan

mentransmisikan kebudayaan politik suatu bangsa dan memelihara

kebudayaan politik suatu bangsa dengan bentuk penyampaian dari generasi

tua ke generasi muda. Terdapat 6 sarana atau agen sosialisasi politik

menurut Mochtar Masoed dan Colin MacAndrews, yaitu :

a) Keluarga, lembaga pertama yang dijumpai seorang individu saat

lahir.

b) Sekolah, yaitu agen sosialisasi politik memberi pengetahuan bagi

kaum muda tentang dunia politik.

c) Kelompok bermain, yaitu kelompok bermain masa anak-anak

yang dapat membentuk sikap politik seseorang.

d) Tempat kerja, yaitu organisasi formal maupun nonformal yang

dibentuk atas dasar pekerjaan seperti serikat kerja, serikat buruh.

e) Media massa, yaitu informasi tentang peristiwa yang terjadi

dimana saja dengan cepat diketahui masyarakat sehingga dapat

memberi pengetahuan dan informasi tentang politik.


i
f) Kontak – Kontak politik langsung, yaitu pengalaman nyata yang

disarankan oleh seseorang dapat berpengaruh terhadap sikap dan

keputusan politik seseorang.

(http://majuindonesiakutercinta.blogspot.com/2015/05/hakekat-

kesadaran-politik.html, diakses Tanggal 21 Januari 2019. Pukul 21.44

WITA)

2.4 Contoh Budaya Politik Partisipan

2.4.1 Pengertian Partisipan Politik

Partisipan yaitu orang yang ikut berpartisipasi dalam satu kegiatan.

Menurut Miriam Budiardjo partisipasi politik adalah keinginan seseorang

dalam partai politik.

Pembangunan nasional pada hakikatnya merupakan pembangunan

manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat

Indonesia.

Organisasi sosial dan masyarakat merupakan sarana untuk

menyalurkan pendapat, aspirasi dan dukungan terhadap program

pembangunan yang sedang dijalankan.

Ada beberapa bentuk partisipasi politik, terdapat lima bentuk

partisipasi politik. Masing-masing memiliki bentuk memiliki tindakan dan

pelaku yang berbeda, tetapi tetap memiliki tujuan yang sama, yaitu

berkenaan dengan keikutsertaan warga Negara untuk mempengaruhi proses-

proses politik. Bentuk-bentuk tersebut sebagai berikut.

i
a) Kegiatan Pemilihan

b) Pendekatan

c) Kegiatan organisasi

d) Mencari hubungan

e) Tindakan kekerasan

Salah satunya adalah tindakan kekerasan serta penjelasannya dibawah

ini.

Kekerasan merupakan salah satu kejahatan struktural yang paling

berbahaya. Kekerasan yang sulit dibongkar adalah kekerasan psikologis

yang dipakai dalam sistem sosial politik (Haryatmoko, 2003). Secara

sistematis bentuk kekerasan ini lazimnya diterapkan oleh penguasa otoriter

untuk menghadapi lawan politik, melemahkan oposisi dan sejenisnya.

Kekerasan psikologis terkait dengan kekerasan Negara atau kekerasan yang

terlembagakan. Dinamakan kekerasan yang terlembagakan karena

kekerasan ini bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan tetapi didukung

oleh bangunan sistem sosial dan politik yang mendapat legitimasi dari

sistem nilai dan ideologi.

Di negara-negara dunia ketiga pada umumnya, kekerasan yang

dilembagakan ini memakan korban, seperti kelompok minoritas dan kaum

oposisi. Mereka yang dipandang musuh oleh Negara, yaitu kelompok yang

tidak sesuai dengan politik penguasa maka secara sistematis akan menjadi

korban kekerasan ini. Kekerasan sebagai alat untuk memberikan hukuman

bagi para pelanggar kekuasaan atau tatanan sosial telah mengalami


i
pergeseran makna karena kekerasan menjadi alat untuk mempertahankan

kekuasaan. Artinya, kekerasan yang tidak boleh dilakukan terhadap

penguasa menjadi diperbolehkan terhadap rakyat biasa dan terhadap lawan

politik dari penguasa. Sementara itu, dalam kekerasan structural terdapat

dialektika antara pelaku dengan struktur. Penguasa cenderung

mengatasnamakan hukum dan ketertiban untuk melegitimasi perilaku

kekerasan. Sementara pihak oposisi juga dapat melakukan kekerasan karena

merupakan reaksi atas ketidaksetujuannya terhadap kebujakan penguasa.

Perilaku kekerasan juga disebut dengan istilah agresi, yaitu untuk

menggambarkan perilaku destruktif yang sulit dikontrol, tidak hanya

meliputi tindakan yang bersifat fisik, melainkan juga mencakup kekerasan

verbal, psikologis dan simbolis atau kombinasi dari berbagai aspek tersebut.

Pendapat ini didukung oleh Semin & Fiedler (1996), Berkowitz (1999) dan

Suryabrata (2000).

Perilaku kekerasan dapat dijelaskan dengan menggunakan beberapa

teori, yaitu teori belajar sosial, teori insting, teori kepribadian, teori kognitif

dan teori frustasi agresi.

a) Teori Belajar Sosial

Menurut Bandura (dalam Thalib, 2003) perilaku individu

umumnya dipelajari secara observasional melalui model, yaitu

mengamati bagaimana suatu perilaku baru dibentuk dan

kemudian menjadi informasi penting dalam mengarahkan

perilaku. Sebagian besar perilaku individu diperoleh sebagai hasil


i
belajar melalui pengamatan atas perilaku yang ditampilkan oleh

individu lain yang menjadi model. Contoh kegiatan demonstrasi

yang dilanjutkan dengan tindakan anarkis) membakar ban di

tengah jalan, merobohkan pintu gerbang, bentrok dengan aparat

keamanan dan sebagainya) dapat menjadi model perilaku

kekerasan bagi para demonstran.

b) Teori Insting

Teori Freud mengenai insting kerap mengundang kontroversi.

Teori ini menegaskan bahwa timbulnya perilaku kekerasan adalah

karena insting, yaitu perwujudan psikologis dari suatu sumber

rangsangan somatic dalam yang dibawa sejak lahir sehingga

semua orang mempunyai kecenderungan untuk melakukan

kekerasan. Semula Freud mengemukakan dikotomi energi positif

dan energi destruktif yang keduanya diduga memiliki dasar

biologistik yang harus terwujud dalam perilaku nyata. Jika energi

destruktif mengarah ke pihak luar maka menjadi pemicu perilaku

kekerasan terhadap orang lain, sedangkan jika mengarah pada diri

sendiri maka dapat mendorong keinginan untuk menyakiti diri

sendiri atau perilaku bunuh diri.

c) Teori Kepribadian

Sifat-sifat kepribadian sebagai sifat internal berkorelasi dengan

perilaku kekerasan termasuk erosi control internal terhadap sikap

cepat marah (Ravinus dan Larimer, 2003). Anak yang mengalami


i
gangguan seperti cepat marah dan mudah menyerang cenderung

mengembangkan pola perilaku kekerasan pada usia selanjutnya.

Dengan demikian faktor temperamen yang merupakan bagian dari

komponen kepribadian berkaitan dengan perilaku kekerasan.

d) Teori Kognitif

Konsep dasar teori kognitif mengacu pada kegiatan mental yang

tidak dapat diubah begitu saja dalam menjelaskan perilaku sosial

dengan postulat yang sesungguhnya seperti persepsi, pikiran,

intensi, perencanaan, keterampilan, dan perasaan. Teori kognitif

sosial menekankan pentingnya interaksi resiprokal faktor-faktor

individu sebagai penentu perilaku kekerasan. Kecenderungan

perilaku kekerasan dapat dijelaskan dengan mengacu pada teori

kognitif.

e) Teori Frustasi-Agresi

Terjadinya frustasi adalah jika seseorang tidak dapat memiliki

sesuatu yang diinginkan pada waktu orang tersebut benar-benar

memerlukannya. Dollard et al (Wimbarti, 1996) berkeyakinan

bahwa setiap tindakan agresi dan kekerasan pada akhirnya dapat

dilacak penyebabnya dalam kaitannya dengan frustasi. Frustasi

merupakan salah satu faktor penentu agresi dan kekerasan.

f) Reposisi Pendidikan Politik di Indonesia

Pada era reformasi ini, berbagai survey yang dilakukan oleh

lembaga riset, menghasilkan kesimpulan yang memprihatinkan


i
kita semua, karena tingkat partisipasi warga negara dalam

memberikan suaranya pada pemilihan umum langsung cenderung

mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat dari tingginya tingkat

golput dalam pemilihan presiden langsung untuk pertama kalinya

tahun 2004 yang mencapai angka 21,67% (tingkat partisipasi

78,33%) pada putaran pertama, kemudian naik lagi menjadi

23,37% (tingkat partisipasi menurun menjadi 76,63%) pada

putaran kedua. Kondisi ini terus mengalami kenaikan pada

pemilihan kepala daerah langsung di berbagai daerah yang terjadi

akhir-akhir ini yang rata-rata mencapai angka 37% berarti angka

partisipasi warga negara menurun menjadi rata-rata hanya 63%.

2.4.2 Faktor Menurunnya Partisipasi

Pada dasarnya, terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap

kecenderungan menurunnya partisipasi warga Negara dalam menggunakan

hak pilihnya, yaitu:

a) Daftar pemilih tetap sering tidak valid.

b) Apa yang diperjuangkan oleh para wakil rakyat tidak

mencerminkan aspirasi mereka.

c) Warga negara merasakan bahwa menggunakan hak pilih atau

tidak, ternyata tidak ada nilainya atas diri mereka.

d) Munculnya apatisme warga negara yang merasa bahwa adanya

pemilu, partai politik dan adanya foto-foto calon legislatif, tidak

i
akan dapat merubah nasib mereka (seperti yang disampaikan

warga yang terkena Lumpur Lapindo).

e) Kurangnya sosialisasi tentang sistem dan mekanisme pelaksanaan

pemilu.

f) Adanya pihak yang merasa kecewa terhadap pemerintah,

kemudian mengajak golput.

g) Timbulnya kekerasan dan rasionalitas pemilih dalam menentukan

pilihannya, akibatnya jika partai politik tidak mampu mengajukan

calon yang sesuai dengan kriteria mereka, maka mereka

cenderung golput.

2.4.3 Bentuk-Bentuk Budaya Partisipan

Partisipan politik merupakan penemuan sikap dan keterlibatan setiap

individu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka mencapai

cita-cita bangsa. Bentuknya di bedakan dalam kegiatan politik berbetuk

konvensional dan non konvensional.

Menurut Almond, Bentuk Politik dibedakan menjadi:

a) Konvensional

(1) Pemberian suara (voting).

(2) Diskusi kelompok.

(3) Kegiatan kampanye.

(4) Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan.

(5) Komunikasi individual dengan pejabat politik/administrasi.

(6) Pengajuan Petisi.


i
b) Non Konvensional

(1) Demorasi.

(2) Konfrontasi.

(3) Mogok.

(4) Tindak kekerasan politik terhadap harta.

(5) Tindak kekerasan politik terhadap manusia.

c) Budaya Politik Tidak Sesuai dengan Semangat Pembangun

Politik Bangsa.

(1) Terjadi demonstrasi yang mengganggu ketentraman umum.

(2) Timbul konflik di berbagai wilayah karena ketidak adilan.

(3) Tindak kekerasan.

(4) Aksi mogok oleh elemen masyarakat.

(5) Berbagai macam pelanggaran HAM.

d) Budaya Politik Partisipan dalam Kehidupan Masyarakat

Berbangsa dan Bernegara.

(1) Menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang melanggar

perbuatan hukum.

(2) Menciptakan disiplin dalam segala aspek kehidupan.

(3) Berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan pembangunan.

(4) Membangun hak pilih sebaik-baiknya.

(5) Bermusyawarah untuk menyelesaikan segala permasalahan

(6) Taat dan Patuh terhadap aturan yang berlaku.

i
Contoh lainnya adalah :

a) Kritis memilih partai politik anggota parlemen.

b) Kritis memilih presiden dan wakil presiden.

c) Kritisme dalam mewujudkan pemilu Luber dan Jurdil.

Untuk mewujudkan pemilu yang Luber dan Jurdil

diantaranya sebagai berikut :

1) Peraturan pemilu tidak membuka peluang untuk

kecurangan.

2) Peraturan pelaksanaan pemilu yang membuat

petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan pemilu

tidak membuka peluang kecurangan.

3) Harus mandiri dan independen.

4) Parpol harus memiliki persiapan yang memadai.

5) Lembaga pemilu harus aktif.

(https://www.slideshare.net/AmaliaNurShafira/1-cover-makalah,

diakses Tanggal 23 Januari 2019. Pukul 23.03 WITA)

i
i

Anda mungkin juga menyukai