Anda di halaman 1dari 31

A.

PENDAHULUAN
Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya. Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu. Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktikpraktik perilaku politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpim politik dan lai-lain. Budaya politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai -partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah. Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat.

B. PENGERTIAN BUDAYA POLITIK 1. Pengertian Umum Budaya Politik


Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. O'G Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa. Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh

mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik. Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut : a. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain. b. Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup. c. Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai -nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan. d. Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau mendorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik). Dengan pengertian budaya politik di atas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.

1. Pengertian Budaya Politik Menurut Para Ahli


Terdapat banyak sarjana ilmu politik yang telah mengkaji tema budaya politik, sehingga terdapat variasi konsep tentang budaya politik yang kita ketahui. Namun bila diamati dan dikaji lebih jauh, tentang derajat perbedaan konsep tersebut tidaklah begitu besar, sehingga tetap dalam satu pemahaman dan rambu-rambu yang sama. Berikut ini merupakan pengertian dari beberapa ahli ilmu politik tentang budaya politik. a. Rusadi Sumintapura Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik. b. Sidney Verba

Budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol ekspresif dan nilainilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan. c. Alan R. Ball Budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilainilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik. d. Austin Ranney Budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik. e. Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr. Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas (dalam arti umum atau menurut para ahli), maka dapat ditarik beberapa batasan konseptual tentang budaya politik sebagai berikut : Pertama : bahwa konsep budaya politik lebih mengedepankan aspek-aspek non-perilaku aktual berupa tindakan, tetapi lebih menekankan pada berbagai perilaku non-aktual seperti orientasi, sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Hal inilah yang menyebabkan Gabriel A. Almond memandang bahwa budaya politik adalah dimensi psikologis dari sebuah sistem politik yang juga memiliki peranan penting berjalannya sebuah sistem politik. Kedua : hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik maka tidak akan lepas dari pembicaraan sistem politik. Halhal yang diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang terdiri dari komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Seseorang akan memiliki orientasi yang berbeda terhadap sistem politik, dengan melihat fokus yang diorientasikan, apakah dalam tataran struktur politik, fungsifungsi dari struktur politik, dan gabungan dari keduanya. Misal orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap lembaga legislatif, eksekutif dan sebagainya. Ketiga : budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponenkomponen budaya politik dalam tataran masif (dalam jumlah besar), atau mendeskripsikan masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini berkaitan dengan pemahaman, bahwa budaya politik merupakan refleksi perilaku warga negara secara massal yang memiliki peran besar bagi terciptanya sistem politik yang ideal.

1. Komponen-Komponen Budaya Politik

Seperti dikatakan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr., bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam suatu sistem politik. Maksud dari pernyataan ini menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi satu lingkungan psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik politik (dinamika politik) dan terjadinya proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur psikis dalam diri masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur. Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu orientasi kognitif (cognitive orientations) dan orientasi afektif (affective oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut. Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya. Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan penampilannya. Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.

C. TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK 1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan


Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap militan atau sifat tolerasi. a. Budaya Politik Militan Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi. b. Budaya Politik Toleransi Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang. Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan

bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas : a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru. b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini. Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.

1. Berdasarkan Orientasi Politiknya


Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut : a. Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah). b. Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif. c. Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.

Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di dalam masyarakat lebih lanjut adalah sebagai berikut.

B. Budaya Politik Demokratis


Kamis, 27 November 2008 00:00

SIMPUL - Politik dapat dimaknai sangat luas hampir tak terbatas. Dalam wacana politik versi Yunani, perhatian utama ilmu politik lebih pada pengetahuan politik, proses dan tindakan para aktor politik. Siapakah pelaku-pelaku politik tersebut? Pelaku politik bisa berupa lembaga, individu/kelompok yang memiliki kepentingan politik dan melakukan aktivitas politik. Dalam memahami bentuk perilaku politik, dapat dipergunakan pendekatan respon politik (behavioralisme), yang mengetengahkan partisipasi politik, baik secara historis, sosiologis, tradisional dan lainnya. Partisipasi politik adalah perilaku luar individu warga negara yang bisa diamati dan bukan merupakan perilaku dalam yang berupa sikap atau orientasi. Bentuk partisipasi politik dibedakan menjadi kegiatan politik konvensional (normal dalam demokrasi modern) dan non-konvensional (legal maupun ilegal, penuh kekerasan dan revolusioner). Dalam partisipasi politik, berarti dimungkinkan terdapat hubungan antara pemerintah dan masyarakatnya. Untuk membangun interaksi antara pemerintah dan masyarakat diperlukan proses, partisipasi dan kontribusi (interaksi timbal balik). Dan peningkatan partisipasi politik, baik secara kualitas maupun kuantitas merupakan kunci demokrasi. Budaya politik merupakan orientasi psikologis terhadap obyek sosial yang meliputi aspek kognitif, afektif dan evaluatif yang ditujukan kepada sistem politik secara umum. Atau, secara praktis, budaya politik merupakan seperangkat nilai-nilai yang menjadi dasar para aktor untuk menjalankan tindakan-tindakan dalam ranah politik. Latar budaya politik beraneka ragam, antara lain terdiri atas: ras, etnik, adat, bahasa, agama dan lain sebagainya. Dengan keragaman latar budaya politik tersebut dimungkinkan muncul sengketa politik, yang umumnya berkisar pada kepentingan ekonomi, kekuasaan, dan masalah-masalah khusus misalnya hak-hak warga negara. Penyelesaian persengketaan sulit dilakukan apabila hanya mengakomodasi kepentingan salah satu kepentingan. Maka, diperlukan kesadaran dan partisipasi politik yang bijak untuk mengatasinya. Selain itu, mengutip penelitian yang dilakukan Sumartono (2003) tentang pola dan karakteristik politik di Desa Gondanglegi Kulon, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang terungkap ada beberapa kelompok elit yaitu; kalangan elit politik, elit agama, elit cendekiawan, elit pemuda, elit wanita, elit ekonomi dan elit pamong desa. Dalam buku ini disajikan pula beberapa kondisi pelaksanaan pemilihan kepala desa di Desa Kalisongo Kecamatan Dau Kabupaten Malang. Hanya sepintas informasi yang disajikan

mengenai pilkades tersebut. Akan lebih baik kalau disajikan informasi yang lebih komprehensif, sebagai contoh operasionalisasi budaya politik di desa.
C. Fungsi-fungsi Politik Sosialisasi Politik Menurut Rachman ( 2006), Sosialisasi Politik berasal dari dua kata yaitu Sosialisasi dan Politik. Sosialisasi berarti pemasyarakatan dan Politik berarti urusan negara. Jadi secara etimologis Sosialisasi Politik adalah pemasyarakatan urusan negara. Urusan Negara yang dimaksud adalah semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sedangkan menurut Michael Rush dan Phillip Althoff, Sosialisasi politik adalah proses oleh pengaruh mana seorang individu bisa mengenali sistem politik yang kemudian menentukan persepsi serta reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Sosialisasi politik juga sarana bagi suatu suatu generasi untuk mewariskan keyakinan-keyakinan politiknya kepada generasi sesudahnya. Sosialisasi politik ini merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling mempengaruhi di antara kepribadian individu dan pengalaman-pengalaman politiknya yang relevan dan memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya. Sosialisasi politik mempunyai tujuan menumbuh kembangkan serta menguatkan sikap politik dikalangan masyarakat (penduduk) secara umum (menyeluruh), atau bagian-bagian dari penduduk, atau melatih rakyat untuk menjalankan peranan-peranan politik, administrative, judicial tertentu. Menurut Hyman dalam buku panduan Rusnaini ( 2008) sosialisasi politik merupakan suatu proses belajar yang kontinyu yang melibatkan baik belajar secara emosional (emotional learning) maupun indoktrinasi politik yang manifes dan dimediai oleh segala partisipasi dan pengalaman si individu yang menjalaninya. Sosialisasi politik melatih individu dalam memasukkan nilai-nilai politik yang berlaku di dalam sebuah sistem politik. Sosialisasi Politik di berbagai Negara : 1. Di Negara Liberal Sosialisasi politik di negara liberal merupakan salah satu sebagai pendidikan politik. Pendidikan politik adalah proses dialogik diantara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini, para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak seperti sekolah, pemerintah, dan partai politik. Pendidikan politik dipandang sebagai proses dialog antara pendidik, seperti sekolah, pemerintah, partai politik dan peserta didik dalam rangka pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai, norma dan simbol politik yang dianggap ideal dan baik. 2. Di Negara Totaliter Sosialisasi politik di negara totaliter merupakan indoktrinasi politik. Indoktrinasi politik ialah proses sepihak ketika penguasa memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai, norma, dan simbol yang dianggap pihak yang berkuasa sebagai ideal dan baik. Melalui berbagai forum pengarahan yang penuh paksaaan psikologis, dan latihan penuh disiplin, partai politik dalam sistem politik totaliter melaksanakan fungsi indoktinasi politik. 3. Di Negara Berkembang Menurut Robert Le Vine dalam handout perkuliahan Rusnaini ( 2008:17) berpendapat bahwa sosialisasi politik pada negara berkembang cenderung mempunyai relasi lebih dekat pada sistem-sistem lokal,

kesukuan, etnis, dan regional daripada dengan sistem-sistem politik nasional. Ada 3 faktor penting dalam sosialisasi politik pada masyarakat berkembang, yaitu : a. Pertumbuhan pendidikan di negara-negara berkembang dapat melampui kapasitas mereka untuk memodernisasi kelompok tradisional lewat industrinalisasi dan pendidikan. b. Sering terdapat perbedaan yang besar dalam pendidikan dan nilai-nilai tradisional antara jenis kelamin, sehingga kaum wanita lebih erat terikat pada nilai tradisional. c. Mungkin pengaruh urbanisasi yang selalu dianggap sebgai saru kekuatan perkasa untuk mengembangkan nilai-nilai tradisional. 4. Di Masyarakat Primitif Proses sosialisasi politik pada masyarakat primitif sangat bergantung pada kebiasaan dan tradisi masyarakatnya, dan berbeda pada tiap suku. Sosialisasi politik pada masyarakat primitif sangat tergantung pada kebiasaan dan tradisi masyarakatnya, dan berbeda pada tiap suku. Rekruitment Politik Rekruitment Politik adalah seleksi dan pemilihan serta pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistim politik pada umumnya, dan pemerintahan secara khusus. Fungsi rekrutmen politik yang dimaksud adalah penyeleksian seseorang maupun sekelompok orang yang nantinya menduduki jabatan politik. Rekruitmen politik adalah proses mencari anggota organisasi yang berbakat oleh organisasi politik/lembaga politik untuk dijadikan pengurus organisasi politik atau dicalonkan oleh organisasi sebagai anggota legislatif atau eksekutif baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Rekruitmen politik merupakan usaha yang dilakukan oleh organisasi politik/ lembaga politik untuk mengembangkan organisasi politik. Dalam mengembangkan organisasi politik, maka organisasi politik merekruit sejumlah anggota masyarakat yang berbakat dibidang politik untuk dijadikan anggota organisasi politik. Organisasi politik melakukan rekruitmen pengurus untuk kepentingan regenerasi pengurus, pemekaran pengurus atau pergantian pengurus. Pada sisi lain organisasi politik memilih sejumlah anggota organisasi dan pengurus organisasi untuk dicalonkan sebagai anggota lembaga legislatif atau anggota lembaga eksekutif baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Usaha organisasi politik dalam merekruit anggota organisasi menjadi anggota legislatif, dan eksekutif pada umumnya dilakukan melalui kaderisasi dan pencalonan. Contoh Rekruitment Politik : Salah satu partai politik di Indonesia merekrut individu-individu yang kompeten serta berpengalaman atau dianggap mampu dalam mengemban tugas kepartaian, serta menjunjung tinggi nilai nasionalis yang demikian kental pada tubuh partai ini. Atau dengan kata lain, mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Sehingga partai juga turut memperluas partisipasi politik. Komunikasi Politik Komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara yang memerintah dan yang

diperintah. Dalam praktiknya, komuniaksi politik sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak berkomunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak dalam analisis dan kajian komunikasi politik. Berbagai penilaian dan analisis orang awam berkomentar sosal kenaikan BBM, ini merupakan contoh kekentalan komunikasi politik. Sebab, sikap pemerintah untuk menaikkan BBM sudah melalui proses komunikasi politik dengan mendapat persetujuan DPR Menurut Mochtar Pabotinggi (1993): dalam praktek proses komunikasi politik sering mengalami empat distorsi. : 1. Distorsi bahasa sebagai topeng; ada euphemism (penghalusan kata); bahasa yang menampilkan sesuatu lain dari yang dimaksudkan atau berbeda dengan situasi sebenarnya, bisa disebut seperti diungkakan Ben Anderson (1966), bahasa topeng. 2. Distorsi bahasa sebagai proyek lupa; lupa sebagai sesuatu yang dimanipulasikan; lupa dapat diciptakan dan direncanakan bukan hanya atas satu orang, melainkan atas puluhan bahkan ratusan juta orang. 3. Distorsi bahasa sebagai representasi; terjadi bila kita melukiskan sesuatu tidak sebagaimana mestinya. Contoh: gambaran buruk kaum Muslimin dan orang Arab oleh media Barat. 4. Distorsi bahasa sebagai ideologi. Ada dua perspektif yang cenderung menyebarkan distoris ideologi. Pertama, perspektif yang mengidentikkan kegiatan politik sebagai hak istimewa sekelompok orang -monopoli politik kelompok tertentu. Kedua, perspektif yang semata-mata menekankan tujuan tertinggi suatu sistem politik. Mereka yang menganut perspektif ini hanya menitikberatkan pada tujuan tertinggi sebuah sistem politik tanpa mempersoalkan apa yang sesungguhnya dikehendaki rakyat. Stratifikasi Politik Penggambaran secara langsung mengenai distribusi kekuasaan ini dapat dilihat pada suatu model umum stratifikasi politik. Melalui model umum stratifikasi politik ini, sistem politik dapat dipandang berlapislapis atau dengan kata lain bahwa sistem politik tersebut berstratifikasi politik, yang terbagi dalam enam lapisan atau strata umum, yaitu (dari atas ke bawah): kelompok pembuat keputusan, kaum berpengaruh, aktivis, publik peminat politik, kaum partisipan, dan non partisipan. Dalam penelitian empiris, tidak cukup hanya mengetahui bahwa dalam setiap sistem politik ada yang berkuasa, akan tetapi yang terpenting adalah harus mengetahui siapa yang berkuasa itu. Stratifikasi Politik (kebijakan) nasional Indonesia tersusun secara bertingkat yang terdiri atas : 1. Tingkat kebijakan puncak meliputi kebijakan tertinggi yang lingkupnya menyeluruh secara nasional, misal : penetapan UUD. Penentu tingkatan ini adalah MPR dengan produk kebijakan berupa UUD dengan ketetapan MPR. 2. Tingkat kebijakan umum adalah tingkat kebijakan dibawah tingkat kebijakan puncak yang sifatnya juga menyeluruh secara nasional. Penentu tingkatan ini adalah presiden. Produk dari presiden bersama DPR berupa UU atau perpu, sedangkan dari kewenangan presiden adalah peraturan pemerintah untuk mengatur pelaksanaan undang-undang. 3. Tingkat kebijakan khusus merupakan penggarisan terhadap suatu bidang utama pemerintah sebagai penjabaran terhadap kebijakan umum guna merumuskan strategi, administrasi, sistem dan prosedur dalam bidang utama tersebut. Penentunya adalah menteri dengan produknya berupa surat edaran menteri.

4. Tingkat kebijakan teknis meliputi penggarisan dalam suatu sector bidang utama. Penentunya adalah pimpinan eselon pertama departemen pemerintahan atau lembaga-lembaga non departemen. 5. Tingkat kebijakan di daerah meliputi kebijakan mengenai pelaksanaan pemerintah pusat di daerah atau kebijakan pemerintah daerah. Penentunya adalah gubernur dengan produknya adalah keputusan / intrusksi bupati/walikota untuk kabupaten/kotamadya.

D. PENDAHULUAN Dalam sebuah Negara, birokrasi diperlukan sebagai alat Negara dalam penyelenggaraan negara dan melayani masyarakat. Negara tercipta atas kontrak sosial yang menghendaki terciptanya kesejahteraan bagi rakyatnya. Untuk melayani kepentingan rakyat inilah, Negara memerlukan sebuah unit pemerintahan atau yang dikenal dengan birokrasi. Dalam kehidupan berbagai negara bangsa di berbagai belahan dunia, birokrasi berkembang sebagai wahana utama dalam penyelenggaraan negara dalam berbagai bidang kehidupan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa. Birokrasi bertugas menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik, dan berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional, efektif, dan efisisen. Oleh sebab itu, disadari bahwa birokrasi merupakan faktor penentu keberhasilan keseluruhan agenda pemerintahan, termasuk dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih atau clean government dalam keseluruan skenario perwujudan kepemerintahan yang baik (good governance). Penyelenggaraan pemerintahan di setiap Negara dalam menjalankan fungsinya melayani kepentingan masyarakat selalu berbeda tergantung pengaruh pengalaman sejarahnya serta kondisi sosial politik Negara tersebut. Negara yang pernah mengalami masa kolonialisme pasti pada awal terbentuknya Negara memiliki corak birokrasi warisan kolonial. Begitu juga halnya dengan Indonesia. Dalam perspektif sejarah bangsa, birokrasi di Indonesia adalah warisan kolonial yang sarat kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara. Dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan misi utama birokrasi yang dibangun oleh kolonial adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu. Indonesia mengalami masa penjajahan yang begitu lama. Dimulai dari kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol. Kemudian disusul oleh bangsa Belanda yang menjajah negeri ini hingga kurang lebih 350 tahun lamanya. Kemudian terakhir, Indonesia dijajah oleh Jepang. Begitu lamanya Belanda menjajah bangsa ini, membuat segala corak sistem pemerintahan di Indonesia dipengaruhi oleh gaya pemerintahan jaman kolonial Belanda. Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad ke-16, menganut sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk sistem kerajaan. Dalam sistem

kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja sebagai pemegang kekuasaan tunggal dan absolute. Segala keputusan ada di tangan raja dan semua masyarakat harus patuh dan tunduk pada kehendak sang Raja. Birokrasi pemerintahan yang terbentuk pada saat itu adalah birokrasi kerajaan, yang memiliki cirri-ciri sebagai berikut : 1. Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan pribadi; 2. Administrasi adalah perluasan rumah tangga istana; 3. Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja; 4. Gaji dari raja kepada bawahan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga dapat ditarik sewaktu-waktu sekehendak raja; 5. Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehndak hatinya terhadap rakyat, seperti halnya dilakukan oleh raja. Sedangkan pada masa kolonial Belanda, pelayanan publik tidak terlepas dari sistem administrasi pemerintahan yang berlangsung pada saat itu. Kedatangan penguasa kolonial tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan adminitrasi pemerintahan yang berlaku di Indonesia. Sebagai bangsa pendatang yang ingin menguasai wilayah nusantara baik secara politik maupun ekonomi, pemerintah kolonial menjalin hubungan politik dengan pemerintah kerajaan yang masih disegani oleh masyarakat, motif utamanya adalah menanamkan pengaruh politiknya terhadap elite politik kerajaan. Selama pemerintahan kolonial terjadi dualisme sistem birokrasi pemerintahan. Di satu sisi telah mulai diperkenalkan dan diberlakukan sistem administrasi kolonial (binnenlandcshe Bestuur) yang mengenalkan sistem birokrasi dan administrasi modern, sedangkan pada sisi lain, sistem tradisional ( Inheemsche Bestuur ) masih tetap dipertahankan. Sejarah bangsa ini pada jaman pra kemerdekaan begitu diliputi oleh praktek penjajahan dan otoritarianisme. Kondisi ini memberikan warna bagi dinamika birokrasi di Indonesia pasca kemerdekaan. Lantas bagaimanakah dinamika birokrasi di Indonesia sejak masa awal pasca kemerdekaan, yaitu sejak orde lama hingga jaman reformasi saat ini? Kemudian bagaimana kaitan antara penyelenggaraan birokrasi dengan praktek-praktek politik pada masa-masa tersebut ? Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai perkembangan atau dinamika penyelenggaraan birokrasi di Indonesia pasca kemerdekaan hingga reformasi serta hubungannya dengan praktek politik yang terjadi.

PEMBAHASAN A. Birokrasi masa Orde Lama Setelah memperoleh kemerdekaan, Negara ini berusaha mencari format pemerintahan yang cocok untuk kondisi saat itu. Berakhirnya masa pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaan perbedaan pandangan yang terjadi di antara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk Negara yang akan didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintahan. Pada masa awal kemerdekaan, Negara ini mengalami perubahan bentuk Negara, dan ini yang

berimplikasi pada pengaturan aparatur Negara atau birokrasi. Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi pada saat itu. Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai Republik Indonesia yang telah berjasa mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang memiliki keahlian, tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI. Selain perubahan bentuk Negara, berganti-gantinya kabinet mempengaruhi jalannya kinerja pemerintah. Seringnya terjadi pergantian kabinaet menyebabkan birokrasi sangat terfragmentasi secara politik. Kinerja birokrasi sangat ditentukan oleh kekuatan politik yang berkuasa pada saat itu. Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu. Banyak kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen. Dalam memandang model birokrasi yang terjadi seperti ini, Karl D Jackson menyebutnya sebagai bureaucratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintahan. Jika melihat peta politik pada masa orde lama, peran seorang presiden sangat dominan dalam mengatur segala kebijakan baik dari tingkat daerah hingga pusat terkendali di tangan seorang Presiden. Sistem ini dikenal sebagai sistem demokrasi terpimpin. Dalam tataran kinerja birokrasi di bawahnya, segala program departemen yang tidak sesuai dengan garis kebijakan partai yang berkuasa dengan mudah dihapuskan oleh menteri baru yang menduduki suatu departemen. Birokrasi pada masa itu benar-benar mengalami politisasi sebagai instrumen politik yang berkuasa atau berpengaruh. Dampak dari sistem pemerintahan parlementer telah memunculkan persaingan dan sistem kerja yang tidak sehat di dalam birokrasi. Birkrasi menjadi tidak professional dalam menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan kebijakan atau program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat dari partai politik yang memenangkan pemilu. Setiap pejabat atau menteri baru selalu menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya yang berasal dari partai politik yang berbeda. Pengangkatan dan penempatan pegawai tidak berdasarkan merit system, tetapi lebih pada pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya. Kekuatan politik pada saat itu yang ada adalah Sokarno sebagai seorang Presiden berikut kekuatan pendukungnya, PKI, dan TNI. Namun kekuatan politik terbesar ada pada presiden serta PKI sebagai partai terbesar setelah PNI. Tak heran jika untuk memperkuat posisi kekuasaan presiden, Soekarno memelihara PKI sebagai kekuatan pendukung. Untuk dapat mengontrol rakyat yang kritis dan dianggap membahayakan, dibentuklah serikat-serikat atau organisasi yang berbasiskan profesi, atau perkumpulan lainnya yang bertujuan sebaai penampung aspirasi mereka. Menurut Bahtiar Effendy (dalam Maliki, 2000: xxvii), sejak Indonesia mempunyai perangkat birokrasi, sulit rasanya menemukan suatu periode pemerintahan yang memperlakukan birokrasi sebagai institusi yang bebas dari politik. Baik pada masa demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, dan periode transisional sesudahnya, interplay antara politik dan

birokrasi merupakan sesuatu yang jelas adanya. Pada masa Demokrasi Parlementer dan terpimpin misalnya, adanya politisasi birokrasi bisa dilihat dari adanya anggapan bahwa Kementrian Pendidikan diasosiasikan dengan PNI. Sementara itu, Kementrian Agama dikaitkan dengan dengan kekuatan politik Masyumi atau NU. Dari penjelasan tersebut, bisa diartikan bahwa pada masa Orde Lama, birokrasi cenderung terbelah menjadi faksi-faksi dan mesin politik bagi partai-partai politik, seperti PNI, NU, PKI, dan lainnya. Kebijakan yang diturunkan pada birokrasi di tingkat bawah ditentukan oleh partai apa yan berkuasa. Maka tidak heran jika sebuah kebijakan tidak dapat dilaksanakan hingga tuntas, dikarenakan pergantian kabinet. B. Birokrasi Masa Orde Baru Birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, sepanjang Orde Baru kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam karena perilakunya yang tidak sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila orang berbicara tentang birokrasi berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban, urusan yang berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan substansi, dan tidak efesien. Melihat realitas birokrasi di Indonesia, sedikit berbeda dengan pendapat Karl D. Jackson, Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic Authoritarian. Ada juga yang menyebutnya sebagai birokrasi patrimonial dengan ciri-cirinya adalah (1) para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi; (2) jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan; (3) para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi; dan (4) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik. Pada masa orde baru, sistem politik didominasi atau bahkan dihegemoni oleh Golkar dan ABRI. Kedua kekuatan ini telah menciptakan kehidupan politik yang tidak sehat. Hal itu bisa dilihat adanya hegemonic party system diistilahkan oleh Afan Gaffar (1999). Sedangkan menurut William Liddle, kekuasaan orde baru terdiri dari (1) kantor kepresidenan yang kuat, (2) militer yang aktif berpolitik, dan (3) birokrasi sebagai pusat pengambilan kebijakan (dalam Maliki, 2000: xxiii) . Sistem birokrasi yang berlaku di Indonesia pada masa orde baru tidak dapat dilepaskan dari sejarah masa lalu dalam pemerintahan kerajaan, pemerintahan kolonial dan pemerintahan Orde Lama. Masing-masing tahap tersebut membawa corak birokrasi sendiri. Dalam zaman kerajaan dimana feodalisme menjadi landasan birokrasi maka dituntut kesetiaan dan kepatuhan sepenuhnya terhadap raja dan para punggawa kerajaan, sebagai kelompok elit pemerintahan. Kepatuhan harus diwujudkan dengan melaksanakan segala peraturan dan perintah kerajaan dan tidak untuk mempertimbangkan untung rugi dan dampaknya. Sikap atau perilaku yang demikian dibarengi dengan timbulnya perasaan dan kepercayaan rakyat bahwa pihak kerajaan akan melindungi para kawula dari segala macam gangguan dan ancaman. Timbullah hubungan ketergantungan, pelindung dan yang dilindungi. Hubungan demikian oleh James Scott dikategorikan sebagai "patronclient relationship" (dalam Ismani, 2001: 35). Dalam birokrasi timbul hubungan "bapak-anak buah secara khusus sebagaimana berlaku di Indonesia setelah

kemerdekaan. Ada pula yang berpendapat bahwa birokrasi di Indonesia pada jaman orde baru sebagai birokrasi Parkinson dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran struktural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan sosial dengan menggunakan regulasi yang bila perlu ada suatu pemaksaan. Birokrasi model Parkinson ini menjelaskan fenomena birokrasi dimana setiap organisasi birokrasi memerlukan dua sifat dasar, yaitu setiap pejabat Negara berkeinginan untuk meningkatkan jumlah bawahannya dan mereka saling memberi kerja yang tidak perlu. Akibatnya, birokrasi cenderung meningkatkan terus jumlah pegawainya tanpa memperhatikan tugas-tugas yang harus mereka lakukan. Dari model yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa birokrasi yang berkembang di Indonesia adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak efisein dan mempunyai pegawai birokrat yang makin membengkak. Birokrasi Indonesia saat ini tidak bisa terlepas dari faktor sejarah. Sejarah telah menciptakan birokrasi patrimonial. Birokrasi ini mendasarkan pada hubungan bapak buah dengan anak buah (patron client) sehingga segala yang dikerjakan bawahan hendaknya harus sesuai dengan keinginan atasan. Hal ini menimbulkan bawahan selalu tergantung pada atasan. Budaya patronase menimbulkan rasa ewuh pakewuh yang berlebihan terhadap atasan. Pada masa orde baru ini terlihat sekali terjadinya politisasi terhadap birokrasi yang seharusnya lebih berfungsi sebagai pelayan masyarakat. Jajaran birokrasi diarahkan sebagai instrument politik kekuasaan Soeharto pada saat itu. Seperti dalam pandangan William Liddle, bahwa Soeharto sebagai politisi yang mempunyai otonomi relatif, merupakan pelaku utama transformasimeskipun tidak penuhmodel pemerintahan yang bersifat pribadi kepada yang lebih terinstitusionalisasi. Birokrasi dijadikan alat mobilisasi masa guna mendukung Soeharto dalam setiap Pemilu. Setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah anggota Partai Golkar. Meskipun pada awalnya, Golkar tidak ingin disebut sebagai partai, tetapi hanya sebagai golongan kekaryaan. Namun permasalahannya, Golkar merupakan kontestan Pemilu dan itu berarti dia adalah partai politik. Pegawai negeri yang menjadi pengurus partai selain Golkar, maka dia akan tersingkirkan dari jajaran birokrasi. Selain itu, orang atau sekelompok orang yang tidak berpihak pada Golkar, maka bisa dipastikan akan mendapat perlakuan diskriminatif dalam birokrasi. Jika suatu wilayah tidak merupakan basis Golkar, maka pembangunan akan sangat tertinggal karena pemerintah lebih mengutamakan daerah yang merupakan basis Golkar. Keberpihakan birokrasi terhadap suatu partai, tentu saja dalam hal ini Golkar, akan mengurangi profesionalisme dari birokrasi tersebut. Singkatnya, birokrasi wajib mendukung Golkar sebagai partai pemerintah. Begitu juga dengan kekuatan militer sebagai pendukung pemerintahan pada saat itu. Pada situasi seperti itu, jelas bahwa birokrasi, militer, dan partai politik tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Dukungan yang diberikan oleh PNS atau birokrasi tidak hanya sampai di situ. Anggota keluarga dari pegawai pemerintah pun harus turut mendukung Golkar. Oleh sebab itulah Golkar selalu

menang dalam setiap Pemilu, karena jumlah pegawai negeri di Indonesia sangat banyak jumlahnya, belum ditambah lagi dengan anggota keluarganya. Keterlibatan birokrasi dalam partai politik membuat pelayanan terhadap masyarakat menjadi diabaikan, karena mereka lebih mementingkan kepentingan partai politiknya. Hampir semua orang tahu bahwa birokrasi Negaradalam pengertian ini termasuk ABRI sesungguhnya sudah lama mengambil alih peran partai politik dan Golkar, baik dalam perumusan kebijakan maupun proses politik pada umumnya. Karena itu, perlakuan khusus bagi birokrasi dengan menciptakan fraksi tersendiri bagi mereka di DPR akan mempertajam ketimpangan kekuasaan antara unsur-unsur masyarakat yang tak berdaya dan negara yang kekuasaannya sudah berlebih. Struktur DPR sejak Pemilu 1971 sebenarnya sudah didominasi oleh unsur-unsur birokrasi negara, baik itu anggota Korpri maupun ABRI, sebagian anggota Fraksi Karya Pembanguan (FKP) di DPR dan DPRD. Sehingga tak berlebihan untuk mengatakan bahwa dalam praktek, F-KP dan F-ABRI adalah "fraksi birokrasi" yang lebih melayani kepentingan birokrasi ketimbang aspirasi masyarakat. Dalam zaman orde baru juga ada suatu kebijakan yang disebut zero growth. Adanya kebijakan zero growth yang menyebabkan jumlah anggota birokrasi makin membengkak. Hal ini menjadikan birokrasi tidak efisien karena jumlah pekerja dengan pekerjaannya tidak sebanding, inilah yang dimaksud birokrasi Parkinson dan Orwell. Pada masa orde baru, pemerintahan yang baik belum terlaksana. Misalnya saja dalam pelayanan dan pengurusuan administrasi masih saja berbelit-belit dan memerlukan waktu yang lama. Membutuhkan biaya tinggi karena ada pungutan-pungutan liar. Pembangunan fisik pun juga masih sering terbengkalai atau lamban dalam perbaikan. Masih banyak KKN yang terjadi dalam lingkungan birokrasi khususnya dalam sektor pelayanan publik, hal ini seperti yang dilaporkan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) pada tahun 2000[1]. Hasil penelitian dari PERC (Political and Economic Risk Consultancy, 2000) yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme dengan skor 9,91 untuk korupsi; dan 9,09 untuk kroniisme diantara negara-negara Asia, dengan skala penilaian yang sama antara nol yang terbaik hingga sepuluh yang terburuk. Hasil penelitian tersebut, menempatkan Indonesia pada peringkat bawah atau tergolong pada negara dengan tingkat korupsi yang sangat parah. Selain itu, menurut penelitian tersebut, masalah korupsi juga terkait erat dengan birokrasi. Dalam hubungan ini birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk. Di tahun 2000 Indonesia memperoleh skor 8 (yaitu kisaran skor nol untuk terbaik dan 10 untuk yang terburuk) yang berarti jauh dibawah rata-rata kualitas birokrasi di negara-negara Asia. Terpuruknya Indonesia dalam kategori korupsi dan birokrasi, juga dilengkapi dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh PERC (2001) dan Price Water House Cooper (2001) tentang ranking negara-negara Asia dalam implementasi good governance. Indonesia menempati ranking/urutan ke 89 dari 91 negara yang disurvei; dan dari sisi competitiveness Indonesia menempati urutan ke-49 dari 49 negara yang diteliti. Berbagai fenomena dan sejarah perkembangan korupsi di Indonesia tersebut menunjukkan adanya kaitan erat antara KKN

dengan perilaku kekuasaan dan birokrasi yang melakukan penyimpangan. Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara yang bertujuan untuk mendukung penetarsinya ke dalam masyarakat, sekaligus dalam rangka mengontrol publik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut merupakan strategi dalam mengatur system perwakilan kepentingan melalui jaringan fungsional non-ideologis, dimana sistem tersebut memberikan berbagai lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli atau perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antar kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap hilangnya pluralitas sosial, politik maupun budaya. Reformasi birokrasi yang dilakukan pada masa orde baru bersifat semu. Birokrasi diarahkan pada : 1. Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki birokrasi. 2. Untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak kepemimpinan pusat. 3. Untuk memperluas wewenang pemerintah baru dalam rangka mengkonsolidasikan pengendalian atas daerah-daerah. Birokrasi dalam pemrintahan Orde Baru merupakan sebuah instrumen politik yang sangat efektif dalam memobilisasi massa demi memelihara format politik orde baru. Adapun wujudnya dapat berupa: pertama, dukungan langsung kepada Golkar pada setiap Pemilu; kedua, birokrasi terlibat secara langsung dalam proses pemenangan Golkar pada Pemilu; ketiga, birokrasi merupakan penyedia dana bagi usaha pemenangan Golkar dalam setiap Pemilu (Afan Gaffar, 1999). Tidak dapat disangkal lagi bahwa masa orde baru, peran birokrasi di bidang politik sangat menonjol. Di lain pihak, peran partai politik dan parlemen lemah. Sistem pemerintahan yang sentralistis didukung penuh oleh sistem birokrasi yang menganut monoloyalitas kepada Partai Golkar. Akhirnya, birokrasi Orde Baru hanya menjadi instrumen hegemonik berupa aparatur negara yang mendukung otoritarianisme. Menurut Miftah Thoha (2003), birokrasi atau pemerintah yang bukan merupakan kekuatan politik ini seharusnya dibebaskan dari pengaruh dan keterjalinan ikatan politik dengan kekuatankekuatan yang sewaktu-waktu bisa masuk birokrasi. Dengan demikian diharapkan pelayanan kepada masyarakat yang diberikan birokrasi netral, tidak memihak dan obyektif (Kuncoro, 2007: 52). Namun dalam pelaksanaannya justru hal ini dilanggar, sebab masih banyak kalangan birokrasi yang terlibat dalam pertarungan politik, misalnya dalam Pemilu, sehingga dalam hal pelayanan menjadi tidak obyektif dan cenderung diskriminasi. C. Birokrasi Era Reformasi Setelah reformasi bergulir, usaha untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan pengaruh politik gencar dilakukan. Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi mencuat terus-menerus. BJ Habibie, Presiden saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999 (PP No.5 Tahun 1999), yang menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974. Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula dengan perubahan

besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di Negaranegara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan. Osborne dan Plastrik (1997)[2] mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh Negaranegara yang sedang berkembang seringkali berbeda dengan realitas sosial yang ditemukan pada masyarakat di negara maju. Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, dimana kondisi birokrasi di Negaranegara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi yang dihadapi oleh para reformis di Negaranegara maju pada sepuluh dekade yang lalu. Persoalan birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya korupsi, pengaruh kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi norma birokrasi sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan personal daripada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan oleh masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan merupakan sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara berkembang, termasuk di Indonesia. Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidaktidaknya memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih tetap mempraktikkan berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses pengambilan keputusan. Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan kepentingan golongan atau partai politik tertentu. Terdapat pula kecenderungan dari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak KKN. Mentalitas dan budaya kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian besar aparat birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat. Politisasi birokrasi pada masa era oreformasi sudah menandai 100 hari kerja kabinet Gus Dur. Kasus di Departemen Kehutanan menjadi salah satu buktinya. Dalam kasus itu, Menteri Kehutanan yang juga ketua Partai Keailan mengangkat sekjen yagn jelas-jelas dipertanyakan visinya tentang tugas-tugas kementrian ini. Sekjen yang direkrut itu dinilai juga tidak memenuhi ketentuan administrasi kepegawaian, antara lain melewati batas usia yang ditentukan. Pertimbangan ini hanya diambil atas alasan bahwa dia adalah seorang deklarator partai yang dipimpin Menhut. Pembentukan kabinet ini dinilai banyak orang lebih sebagai kabinet trima

kasih, sehingga kemudian mudah dipahami mengapa Gus Dur mendukung kebijakan Menhut. Dalam kasus lain, Miftah Thoha, menyebutkan bahwa: Upaya untuk netralitas birokrasi di zaman reformasi semakin berkembang. Hal ini bermula ketika ada gerakan happening-art yang moderat berupa pelepasan seragam KORPRI oleh dokter dan pegawai lingkungan UI yang diadakan oleh Forum Salemba (Forsal), kemudian ada gayung bersambut berupa gerakan pernyataan yang sangat keras seperti melakukan penghapusan unit KORPRI di Departemen Penerangan. Selain itu gerakan juga berlangsung di legislatif dalam perbedaan pernyataan sikap kalangan muda FKP agar KORPRI dibubarkan atau bersikap netral dengan kalangan tuanya, faksi Akbar Tanjung. Juga perbedaan pandangan Mendagri Syarwan Hamid yang menginginkan birokrasi netral dan tidak menjadi pengurus politik berlawanan dengan pandangan Mensesneg Akbar Tanjung yang menganggap berpolitik adalah hak asasi PNS (Thoha, 2003). Kemudian ada pula tindakan Presiden Abdurrahman Wahid yang menghapuskan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, dengan alasan bahwa departemen tersebut bermasalah, banyak KKN, dan departemen itu dianggap telah mencampuri hak-hak sipil warga negara. Penghapusan dua departemen tersebut dapat dikatakan sesuai dengan prinsip reinventing government atau ada pula yang menganggap hal ini sebagai langkah debirokratiasasi dan dekonstruksi cabinet masa lalu yang dianggap terlalu berlebihan mengintervensi kemerdekaan dan kemandirian publik. Aturan induk netralitas politik birokrasi Indonesia sudah ada pada pasal 4 Peraturan Pemerintah/1999, yang menyatakan bahwa PNS dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan tidak bertindak diskriminatif, khusunya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam pemerintahan Megawati, para menteri dalam kabinet masa itu melestarikan tradisi Golkar, yaitu semua organisasi pemerintah dikaburkan antara jabatan karier dengan non karier, serta jabatan birokrasi dengan jabatan politik. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa ini harapan untuk melakukan reformasi birokrasi tidak akan terlaksana. Saat membentuk kabinet yang pertama setelah Gus Dur terpilih, sedang terjadi keributan tentang pengangkatan Sesjen di Departemen Kehutanan dimana sekjen tersebut adalah orang dari partai yang sama dengan menteri kehutanan saat itu. Begitu juga terjadi di beberapa departemen dan di Diknas, BUMN, dan lain-lain. Ada beberapa eselon yang diangkat yang dia merupakan orang dari partai yang sama dengan menteri yang membawahi departemen tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bagaimana suatu birokrasi pemerintahan tidak terlepas dari intervensi partai politik. Setelah reformasi, pemerintah berusaha memperbaiki keadaan birokrasi Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya beberapa peraturan yang mengatur tentang pemberantasan KKN dan menciptakan aparat pemerintah yang bersih dan bertanggung jawab. Diantaranya adalah Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; Undangundang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Meskipun sudah melakukan reformasi di tahun 1998 ternyata untuk melakukan suatu perubahan dalam berbirokrasi atau reformasi birokrasi adalah hal yang sangatlah sulit. Kepentingankepentingan partai masih saja mengintervensi birokrasi pemerintahan di Indonesia. Implikasi dari adanya politisasi birokrasi, pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan, publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah secara efektif. Karena masih melekatnya budaya birokrasi yang diwariskan masa orde baru, penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi. Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik masih tetap terjadi pada masa reformasi. Birokrasi sipil termasuk salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya kelambanan dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil yang terlampau besar merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap inefisiensi pelayanan birokrasi. Dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat. PENUTUP Perjalanan kehidupan birokrasi di Indonesia selalu dipengaruhi oleh kondisi sebelumnya. Budaya birokrasi yang telah ditanamkan sejak jaman kolonialisme berakar kuat hingga reformasi saat ini. Paradigma yang dibangun dalam birokrasi Indonesia lebih cenderung untuk kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara. Budaya birokrasi yang korup semakin menjadi sorotan publik saat ini. Banyaknya kasus KKN menjadi cermin buruknya mentalitas birokrasi secara institusional maupun individu. Sejak orde lama hingga reformasi, birokrasi selalu menjadi alat politik yang efisien dalam melanggengkan kekuasaan. Bahkan masa orde baru, birokrasi sipil maupun militer secara terangterangan mendukung pemerintah dalam mobilisai dukungan dan finansial. Hal serupa juga masih terjadi pada masa reformasi, namun hanya di beberapa daerah. Beberapa kasus dalam Pilkada yang sempat terekam oleh media menjadi salah satu bukti nyata masih adanya penggunaan birokrasi untuk suksesi. Sebenarnya penguatan atau penaklukan birokrasi bisa saja dilakukan dengan catatan bahwa penaklukan tersebut didasarkan atas itikad baik untuk merealisasikan program-program yang telah ditetapkan pemerintah. Namun sayangnya, penaklukan ini hanya dipahami para pelaku politik adalah untuk memenuhi ambisi dalam memupuk kekuasaan.

Kecenderungan perilaku birokrasi yang masih tetap korup dan belum mengubah kultur pelayanan kepada publik, semakin terlihat pada masa reformasi. Birokrasi di Indonesia saat ini masih dikuasai oleh kekuatan yang begitu terbiasa berperilaku buruk selama puluhan tahun. Birokrasi tidak hanya mengidap kleptomania tetapi juga antireformasi. Kontraproduktif dalam birokrasi tersebut sangat berpotensi untuk terjadinya penularan ke seluruh jaringan birokrasi pemerintah baik Pusat maupun Daerah, baik di kalangan pejabat tinggi maupun di kalangan aparat bawah. Masih belum efektifnya penegakkan hukum dan kontrol publik terhadap birokrasi, menyebabkan berbagai tindakan penyimpangan yang dilakukan aparat birokrasi masih tetap berlangsung. *** Daftar Pustaka Anderson, B.R.O.G. 1983, Negara Kolonial dalam Baju Orde Baru, diterjemahkan dari Old State New Society: Indonesias New Order in Comparative Historical Perspective, dalam Journal of Asian Studies Vol. XLIII, No. 3, May 1983, Hal. 477-496. Departemen Riset dan Kajian Strategis Indonesia Corruption Watch. 2000, Laporan Hasil Survey Korupsi di Pelayanan Publik (Studi kasus di Lima Kota: Jakarta, Palangkaraya, Samarinda, Mataram, dan Kupang). Gaffar, Afar. 1999, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Ismani. 2001, Etika Birokrasi, Jurnal Adminitrasi Negara Vol. II, No. 1, September 2001 : 31 41. Kuncoro, Bambang. 2007, Netralitas Birokrasi dalam Pilkada, Swara Politika Volume 10, No. 1, Tahun 2007. Maliki, Zainuddin. 2000, Birokrasi, Militer, dan Partai Politik dalam Negara Transisi, Galang Press, Yogyakarta. Thoha, Miftah. 2003, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta. catatan kaki: [1] Hal ini diungkapkan oleh Departemen Riset dan Kajian Strategis Indonesia Corruption Watch. 2000, Laporan Hasil Survey Korupsi di Pelayanan Publik (Studi kasus di Lima Kota: Jakarta, Palangkaraya, Samarinda, Mataram, dan Kupang). [2] Dikutip dalam Anderson, B.R.O.G. 1983, Negara Kolonial dalam Baju Orde Baru, diterjemahkan dari Old State New Society: Indonesias New Order in Comparative Historical Perspective, dalam Journal of Asian Studies Vol. XLIII, No. 3, May 1983, Hal. 477-496.

ES. PENDAHULUAN Sejalan dengan perkembangan politik yang mendadak dengan mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei perubahan dalam cara berkomunikasi pun mengalami pergeseran. Lihat misalnya, cara Pak Harto berkomunikasi dengan para menteri dan massa berbeda dengan Presiden BJ Habibie. Ini menunukkan sebuah cara berkomunikasi yang berbeda satu sama lain meski memiliki ciri, tujuan dan sasaran yang sama. Dengan bertolak dari fenomena itu, tulisan ini akan memfokuskan diri pada proses komunikasi politik era Orde Baru. Kemudian dilanjutkan dengan karakter komunikasi politik yang muncul pada era Orde Reformasi yang baru berusia tiga bulan. Selanjutnya akan dilihat sesungguhnya dalam sebuah komunikasi politik apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dari para pejabat yang menyampaikan kebijakannya baik melalui media massa atau langsung. Namun sebelum itu ada baiknya kita menengok bagaimana kerangka pemikiran ilmuwan sosial terhadap komunikasi politik ini. II. KERANGKA TEORITIS Menurut Gabriel Almond, semua bentuk interaksi manusia melibatkan komunikasi. Media massa seperti televisi, radio, surat kabar dan majalah ikut mempengaruhi struktur komunikasi dalam masyarakat. Almond membedakan empat struktur komunikasi. Pertama, kontak tatap muka informal yang muncul terpisah dari struktur masyarakat. Kedua, struktur sosial tradisional seperti hubungan keluarga dan keagamaan. Ketiga, struktur politik output (keluaran) seperti legislatif dan birokrasi. Keempat, struktur input (masukan) termasuk misalnya serikat buruh dan kelompok kepentingan dan partai-partai politik. Kelima, media massa.[1] Almond menilai, kontak informal dalam sistem politik manapun tidak bisa disepelekan. Riset ilmuwan sosial telah membuktikan bahwa saluran informal menjadi sistem komunikasi paling berkembang. Ia menyebutkan, studi media massa dan opini publik, Katz dan Lazarsfled (1955) menemukan bahwa media massa tidak membuat pengaruh langsung atas kebanyakan individu. Mochtar Pabotinggi (1993) menguraikan dalam prosesnya komunikasi politik sering mengalami empat distoris. Pertama, distoris bahasa sebagai topeng. Ia memberikan contohnya dengan melihat bagaimana orang mengatakan alis bagai semut beriring atau bibir bak delima merekah. Uraian itu menunjukkan sebuah euphemisme. [2] Oleh sebab itulah, bahasa yang menampilkan sesuatu lain dari yang dimaksudkan atau berbeda dengan situasi sebenarnya, bisa disebut seperti diungkakan Ben Anderson (1966), bahasa topeng. Kedua, distorsi bahasa sebagai proyek lupa. Manusia makhluk yang memang pelupa. Namun demikian dalam konteks politik kita membicarakan lupa sebagai sesuatu yang dimanipulasikan.

Ternyata seperti diulas Pabottinggi, lupa dapat diciptakan dan direncanakan bukan hanya atas satu orang, melainkan atas puluhan bahkan ratusan juta orang. Selanjutnya Pabottinggi membuat pendapat lebih jauh bahwa dengan mengalihkan perhatian seorang atau ratusan juta orang, maka massa bisa lupa. Bahkan lupa bisa diperpanjang selama dikehendaki manipulator. Di sini tampak distorsi komunikasi ini bisa parah jika sebuah rejim menghendaki rakyatnya melupakan sejarah atau membuat sejarah sendiri untuk melupakan sejarah pemerintahan sebelumnya. Distorsi ketiga adalah, distorsi bahasa sebagai representasi. Jika dalam distoris topeng keadaan sebenarnya ditutupi dan dalam distorsi lupa berbicara soal pengalihan sesuatu, maka distorsi ketiga ini terjadi bila kita melukiskan sesuatu tidak sebagaimana mestinya. Pabottinggi memberi contoh bagaimana gambaran buruk yang menimpa kaum Muslimin dan orang Arab oleh media Barat. Dunia Islam, seperti disebutkan Edward Said (1978) selalu dipandang sebagai lawan Barat. Dalam politik nasional pun, suatu kelompok yang jadi lawan politik rejim berkuasa sering dilukiskan sebagai penyeleweng, penganut aliran sesat dan tidak memakmurkan rakyat. Yang terakhir adalah distorsi bahasa sebagai ideologi. Distorsi keempat inilah yang paling berbahaya. Sedikitnya dua alasan mengapa distorsi ideologi itu rawan. Pertama, setiap ideologi pada dasarnya memang sudah bersifat distortif. Kedua, distorsi ideologi sangat lihai menggunakan ketiga jenis distorsi lainnya. Kita lihat mengapa sangat berbahaya. Ada dua perspektif yang cenderung menyebarkan distoris ideologi. Pertama, perspektif yang mengidentikkan kegiatan politik sebagai hak istimewa sekelompok orang. Perspektif ini menekankan hanya penguasalah yang berhak menentukan mana yang politik dan mana yang bukan. Oleh sebab itu nantinya akan berakhir dengan monopoli politik kelompok tertentu. Kedua, perspektif yang semata-mata menekankan tujuan tertinggi suatu sistem politik.Mereka yang menganut perspektif ini hanya menitikberatkan pada tujuan tertinggi sebuah sistem politik tanpa mempersoalkan apa yang sesungguhnya dikehendaki rakyat. III. ERA ORDE BARU Dari keempat struktur komunikasi dari Almond tu jelas bahwa jika diterapkan di Indonesia maka memang benar hubungan komunikasi pribadi lebih menentukan dibandingkan dengan saluran komunikasi formal. Kemacetan yang dialami sistem politik Indonesia saat itu menunjukkan bahwa pada akhirnya komunikasi antar partai politik yang mendudukkan wakilnya di DPR/MPR tak lagi bisa menampung aspirasi rakyat. Contoh yang paling lengkap adalah bagaimana kekuasaan politik Indonesia pada masa terakhir Orde Baru berpusat pada presiden. Seluruh proses komunikasi sistem politik Indonesia akhirnya tergantung pada satu tangan, presiden. Badan legislatif tidak lagi berfungsi sebagai suara rakyat tetapi tak lain hanya mendukung presiden. Kritik yang terlalu keras dilontarkan oleh anggota DPR/MPR akan berakhir dengan pemberhentikan tidak hormat.

Kasus Sri Bintang Pamungkas menunjukkan bagaimana monopoli komunikasi itu tidak boleh lepas sedikitpun ketika anggota DPR itu sangat vokal dan kritis. Jamie Mackie dan Andrew MacIntyre (1994)[3], melukiskan perkembangan struktur kekuasaan Orde Baru yang mencakup didalamnya monopoli komunikasi politik. Mereka membagi tiga fase dalm iklim politik Orde Baru. Fase pertama, 1965-1974 ditandai dengan atmosfir terbuka, kompetitif dan partisipasi rakyat yang tinggi. Bahkan ekspresi politik masyarakat pun relatif bebas. Di sinilah bulan madu komunikasi politik di Indonesia terjadi. Rakyat dengan bebas mengkritik pemerintahan lama, Orde Lama, karena kegagalannya membendung komunis dan merebaknya kemiskinan. Masa awal ini mirip seperti terjadi di era reformasi saat ini dimana ekspresi itu tertuang dalam media massa dan pembentukan partai politik yang jumlahnya saat ini lebih dari 50 partai. Periode kedua 1974-1983 dimulainya pengawasan terhadap komunikasi politik dimana aktivitas politik, pers dan pernyataan masyarakat mulai dibatasi. Dan pada fase 1983-1990, kontrol sosial sangat ketat yang harus disesuaikan dengan ideologi yang dikukuhkan lewat P4 dan asas tunggal. Boleh ditambahkan di sini pada periode 1990-1998, monopoli politik yang sudah sedemikian ketatnya berangsur-angsur mendapat perlawanan sehingga akibat gelombang demokratisasi di dunia lahirlah apa yang disebut keterbukaan. Monopoli komunikasi tidak lagi dipegang negara tapi mulai diimbangi bahkan dirongrong oleh kelompok kepentingan seperti LSM dan kalangan kampus. Puncak perubahan dalam komunikasi politik itu terjadi manakala demonstrasi pro reformasi mulai merebak awal tahun dan berpuncak pada pengunduran diri Pak Harto 21 Mei 1998. Bagaimana komunikasi politik itu dikendalikan secara institusional pada era Orde Baru ? Barangkali gambaran dari Cosmas Batubara (1993)[4] bisa sedikit menguak struktur komunikasi politik Orde Baru. Menurut Cosmas, pada masa awal pertumbuhan demokrasi di era Orde Baru, peran pemerintah sangat besar. Hal ini terjadi karena situasi politik ekonomi, budaya dan hankam yang memaksa pemerintah mengambil peran lebih besar. Demokrasi, dalam arti pembangunan politik, ekonomi dan sosial-budaya sepenuhnya ditangani pemerintah meski sebenarnya diabdikan untuk rakyat. Di sini jelas monopoli komunikasi politik terjadi dalam sistem politik Indonesia. Cosmas menjelaskan, dalam proses pelaksanaan komunikasi politik, birokrasi menempatkan dirinya pada posisi yang cukup sentral. Ia tak hanya mewadahi aspirasi rakyat untuk diteruskan kepada lembaga-lembaga negara tapi juga berperan sebagai alat untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan rakyat. Namun terlihat di sini bahwa dalam proses timbal-balik itu monopoli bisa terjaga dan kalau bisa bahkan dikendalikan untuk tidak menggangu struktur yang telah dibentuk Orde Baru. Seperti dikatakan Cosmas, pembakuan tatanan dan keteraturan itu demi berlangsungnya pembangunan nasional untuk kesejahteraan rakyat. Mengapa terjadi dominasi pemerintah dalam proses komunikasi ini ? Fred W Riggs seperti dikutip Nurul Aini, di negara Dunia Ketiga ada tiga gejala yakni formalitas, overlapping dan heteroginitas. IV. ORDE REFORMASI

Dengan tumbuhnya keterbukaan dalam komunikasi politik, masyarakat semakin tahu hak dan kewajibannya. Bahkan aksi-aksi protes sebagai sebuah masukan kedalam sistem politik menjadi sebuah hal yang tak aneh. Salah satu manifestasi itu adalah keberanian umat Islam untuk mendirikan partai, sesuatu yang tabu dalam kurun waktu 32 tahun Soeharto berkuasa. Puncak pengekangan itu terlihat dari paket UU Politik dimana asas tunggal partai adalah Pancasila. Dalam tempo singkat partai-partai berbasiskan Islam bermunculan mulai dari kalangan pendukungnya Nahdhatul Ulama sampai dengan Muhammadiyah. Apakah mereka mampu menampilkan sebuah format komunikasi politik yang bisa memikat umat dalam pemilu mendatang ? Pertanyaan ini sangat menentukan karena pemilu mendatang akan cenderung mengutamakan sifat-sifat distrik dibandingkan proporsional. Konsekuensinya, partai harus memiliki orang-orang yang mampu mengkomunikasikan gagasan-gagasan partainya kehadapan masyarakat. Jika pemerintah sudah berangsur-angsur membuka diri dan memberikan banyak isyarat tentang keterbukaannya, maka partai-partai pun sudah seyogyanya menampilkan sebuah aksi yang lebih dewasa dan bukannya emosional. Persaingan memperebutkan suara akan lebih ketat karena puluhan partai akan terjun dalam kampanye untuk meraih kursi sebanyak-banyaknya di DPR tingkat daerah atau pusat. Jika kita coba klasifikasikan masyarakat pemilih maka akan lahir sedikitnya tiga kategorisasi berdasarkan wilayah dan dua kelompok berdasarkan konsep Greetz. Berdasarkan daerah akan tampak wilayah desa, wilayah transisi dan wilayah perkotaan.Pemilih di desa memiliki karakteristik tertentu seperti agamis, berfikir sederhana, setia kepada tokoh lokal dan berbicara sederhana mengenai kebutuhan dalam masyarakatnya.Sedangkan pemilih kota lebih kritis, rasional, pragmatis dan kadang-kadang apatis. Kalau konsep Greetz itu dijadikan sebuah cara meraba alam pikiran pemilih, barangkali secara antropologis memang ada yang santri dalam arti mendalami Islam serta melaksanakannya. Di samping itu ada pula kelompok masyarakat yang pengetahuannya tidak begitu mendalam atau terpengaruh oleh ajaran lain sehingga pendalamannya kurang. Akibatnya, timbul sikap-sikap yang cenderung tidak dekat dengan Islam atau bahkan mungkin bertentangan. Pakar komunikasi Dan Nimmo[5] (1989) melukiskan lebih jauh lagi tentang pemilih ditinjau dari perspektif orientasi komunikasinya. Pemberi suara pertama ia kategorikan sebagai pemilih yang rasional. Ciri-cirinya antara lain, selalu mengambil putusan bila dihadapkan pada alternatif, memilih alternatif dan menyusun alternatif. Kelompok pemilih kedua, pemberi suara yang reaktif. Mereka biasanya memilih berdasarkan karakter yang sudah ia miliki apakah itu agama, sosisoekonomi dan tempat tinggal. Ia hanya mereaksi terhadap kampanye yang dibawakan partai. Selanjutnya Dan Nimmo menggolongkan para pemilih dalam kategori ketiga yakni pemberi suara yang responsif. Ia mengutip ilmuwan politik Gerald Pomper yang menggambarkan karakter pemilih seperti itu. Menurut dia, jika pemilih reaktif itu tetap, stabil dan kekal maka karakter pemilih responsif adalah impermanen, berubah, mengikuti waktu, peristiwa politik dan pengaruh yang berubah-ubah terhadap pilihan para pemberi suara.

Kelompok terakhir adalah pemberi suara yang aktif. Individu yang aktif, kata Dan Nimmo, menghadapi dunia yang harus diinterpretasikan dan diberi makna untuk bertindak, bukan hanya lingkungan pilihan yang telah diatur sebelumnya. Tampaknya golongan ini kecil sekali dan diantaranya mungkin para aktivis partai itu sendiri, keluarga, kerabat dan sahabatnya. Di sinilah kepiawaian partai dituntut. Mereka harus mampu mengidentifikasi kebutuhan masyarakat yang dihadapinya sehingga mampu memberikan solusi bagi kemajuan mereka. Partai tidak hanya membela basis ideologis dan program perjuangannya tapi lebih penting lagi bisa memberdayakan masyarakat yang jadi pemilihnya. Pemilih jangan sampai seperti era Orde Baru diperlakukan dengan manis dan dimanjakan manakala suaranya diperlukan. Setelah itu dibuang tanpa mengucapkan terima kasih sepatahpun. Partai-partai Islam seyogyanya menjadi partai yang jadi panutan dalam arti sesungguhnya. Tidak hanya tokoh-tokoh puncaknya tapi juga aktivis yang langsung terjun ke masyarakat. Tampaknya untuk para aktivis di daerah, bukanlah sebuah pekerjaan mudah karena selama ini komunikasi politik jarang digunakan dan macet atau terkungkung paradigma berpikir Orde Baru. Dalam kaitan dengan krisis ekonomi, aktivis partai dituntut untuk memberikan solusi realitis dalam menjaga agar mereka yang korup tidak lagi memegang peranan dalam pengambilan kebijakan. Pabottinggi menyarankan bagaimana agar komunikasi politik itu bisa berlangsung dewasa. Pertama, berpikir secara multiparadigma. Kedua, menyadari adanya ruang-ruang permasalahan politik dimana perbedaan pandangan akan selalu ada. Ketiga, harus saling memandang tanpa finalitas penilaian. Tiga pendekatan itu tampaknya relevan dengan keterlibatan banyak partai Islam dalam menyongsong pemilu mendatang. Dengan kata lain inklusifisme, sebagai warga Indonesia dan warga dunia Islam, harus disertakan dalam paradigma berpikir. Mengkotakkotakkan ummat dalam menyampaikan pesan-pesan politik partai akan melahirkan perpecahan yang sulit sembuhnya. Pengalaman tahun 1950-an dan 1960-an banyak memberikan pelajaran agar sekat-sekat itu tidak dipatok begitu saja sehingga cara berpikirpun berhenti. V. PENUTUP Terbukanya keran keterbukaan akibat reformasi mendorong kelahiran era baru dalam mengekspresikan pendapatnya. Jika pada masa Orde Baru pengekangan itu sedemikian ketat, maka Orde Reformasi ini masyarakat menikmati bulan madu kebebasan berkumpul dan pendapat. Salah satu fenomena yang terlihat adalah menjamurnya partai-partai berbasiskan Islam. Dengan berbagai atribut, slogan, pemimpin dan programnya mereka mulai mengenalkan diri ke hadapan umat. Meskipun sebagian terkesan sederhana dan sebagian lagi ingin terlihat advokasinya membela rakyat, namun kekuatan riil mereka akan teruji benar-benar dalam pesta demokrasi yang berlangsung Mei 1999. Wallahualam.

Oleh : Risal Suaib S.I.P Pasca runtuhnya rezim politik Orde Baru-nya Suharto yang otoriter di tahun 1998. Indonesia, kemudian memasuki masa Reformasi, yang lantas disebut juga Orde Reformasi. Orde Reformasi dicirikan dengan terjadinya apa yang oleh ODonnell dan Schmitter disebutnya fase liberalisasi politik. Fase ini secara teoritis sebagai fase transisi dari otoritarianisme entah menuju kemana. Apa yang disebut liberalisasi adalah proses pendefinisian ulang dan perluasan hak-hak. Liberalisasi merupakan proses mengefektifkan hak-hak yang melindungi individu dan kelompok-kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh negara. Liberalisasi politik awal pasca Orde Baru ditandai antara lain terjadinya redefinisi hak-hak politik rakyat. Ketika Orde Baru tumbang, setiap kalangan menuntut kembali hak-hak politiknya yang selama bertahun-tahun dikerangkeng oleh negara. Konsekuensi dari liberalisasi politik ditandai dengan terjadinya ledakan partisipasi politik. Ledakan ini terjadi dalam bentuk yang beragam. Pada tataran akar rumput (grass root), ledakan partisipasi politik banyak mengambil bentuk huru-hara, kekerasan massa, amuk massa, atau praktek penjarahan kolektif. Sementara ledakan partisipasi politik di kalangan elit politik ditandai dengan maraknya pendirian partai politik. Sebagai perwujudan dari ledakan partisipasi politik itu, para elit politik berlomba-lomba mendirikan kembali partai politik, sehingga jumlah partai politik banyak. Klimaks dari pendirian partai politik adalah diselenggarakannya pemilu di tahun 1999. Inilah pemilu pertama pasca Orde Baru dan pemilu kedua setelah pemilu 1955, yang oleh para pengamat asing disebut sebagai pemilu paling bersih. Pemilu 1999 juga dijadikan tonggak awal Orde Reformasi. Sebagai orde transisi politik di Indonesia, maka sistem politik Indonesia di masa reformasi dianggap sebagai sistem politik yang juga bersifat transisi. Pertanyaan mendasar kemudian adalah, sampai kapan sistem politik Indonesia berkutat pada tataran transisi? Kran demokrasi yang tertutup rapat selama 32 tahun, berimbas pada meledaknya partisipasi politik. Ini bukanlah hal yang mengejutkan, karena banyak kalangan yang telah memperhitungkan sebelumnya. Sebuah sistem politik yang sangat akut ini sedang mencari format terbaik, guna terciptanya sebuah sistem yang sehat seperti yang digambarkan oleh David Easton. Sebuah sistem merupakan sebuah keseluruhan yang saling berinteraksi di dalamnya, di mana terdiri atas sub-sub sistem. Jadi sebagai sebuah keseluruhan, sistem politik Indonesia perlu adanya sebuah evaluasi ulang atas fungsi-fungsi lembaga berdasarkan aturan yang telah ada. Proses input sebuah kebijakan haruslah kebutuhan mendasar sebuah masyarakat yang ditafsirkan sebagai doa-doa makhluk terhadap Tuhannya, ibarat sebuah harapan. Sehingga proses yang berjalan merupakan transformasi nilai-nilai kemanusiaan. Bukan berarti menafikan bahwa akan ada benturan kepentingan di dalamnya, atau doa-doa tidak berakomodasi

sepenuhnya, akibat begitu banyaknya masyarakat Indonesia yang menjadi pengemis akibat keganasan sebuah rezim yang menyulam lidah-lidah rakyat dengan benang sutra. Reformasi yang terjadi pun adalah sebuah negosiasi kekuasaan elit lama yang merasa kecewa atas seniornya, sehingga regulasi yang berjalan harus dibayar dengan kelaparan di berbagai daerah. Perubahan adalah sebuah keniscayaan, reformasi yang terjadi juga sebuah keniscayaan yang tidak pernah diharapkan akan seperti ini, masyarakat pun kecewa dengan hal ini dan merasa sakit. Sebagai salah satu bagian dari sebuah sistem politik maka yang hadir adalah sebuah sistem politik yang tidak lagi menarik. Politisi terperangkap pada keistimewaan akan dirinya sehingga tidak lagi menganggap rakyat adalah bagian dari dunianya, yaitu politisi sebagai pelayan bagi umatnya, atau biasa disebut oleh kalangan agamawan sebagai sosok nabi. Masa sekarang ini pun sistem politik Indonesia masih mengalami krisis yang memprihatinkan. Pasca reformasi yang harapannya akan ada format baru bagi dunia politik ternyata mengalami kebuntuan. Hal ini dapat dilihat dari partai politik yang menjadi bangunan dasar demokrasi, belum mampu untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Perubahan yang terlihat hanyalah pada kuantitas partai, tapi masih menggunakan pola lama, artinya belum ada perubahan yang mendasar dari reformasi yang dicita-citakan. Sistem politik ini merupakan bagian dari sebuah sistem yang besar, sehingga hal ini berimbas pada sektor yang lain. Seperti sebuah virus yang menjangkiti sebuah bangsa, maka diperlukan seorang dokter dengan jarum suntik di tangannya untuk menyembuhkan bangsa ini. Jarum suntik ini adalah pendidikan politik yang merata, karena partisipasi politik masyarakat belumlah cukup. Untuk itu dibutuhkan teropong yang lebih besar buat melihat masalah yang hadir. Transformasi nilai yang saya maksud di atas tadi adalah puncak tertinggi nilai-nilai universal, yaitu filsafat politik. Filsafat politik sebagai nilai-nilai universal adalah konstitusi tertinggi kemanusiaan, yang membawa kita pada kemakmuran bersama. Jika mencoba membawanya pada realitas politik, maka haru ada sebuah kedinamisan dan keadilan pengetahuan atau yang dibahasakan oleh Muhammad Hatta pendidikan politik, guna pencapaian cita-cita filsafat politik. Legitimasi yang hadir saat ini adalah semu, karena tampil sebagai topeng, rezim yang hadir pun hanya menjadikannya tiket menuju kelas yang lebih tinggi, setelah sampai ditujukan dengan mudah untuk membuangnya ke dalam keranjang sampah. Kondisi yang seperti ini terjadi tidak lain akibat pengetahuan masyarakat yang masih kurang terhadap politik. Pemahaman atas politik masih jauh dari harapan para filosof, sementara ilmu politik begitu dinamis dan terus berkolaborasi dengan konteks budaya yang ada. Keberagaman budaya yang ada pada bangsa kita sangat berpengaruh pada perangkat politik yang ada pula, perangkat politik yang sangat penting saya kira adalah partai politik yang melakukan adaptasi sebagai jawaban atas tantangan modernitas. Oleh karena itu dibutuhkan partai yang modern pula mengingat kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Bukan hanya itu partai pulalah yang harus menggantikan tanggung jawab negara untuk memberikan pendidikan politik bagi masyarakat luas.

Sudah saatnya partai politik menebus budi atas suara yang telah diberikan padanya oleh rakyat, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk menuju kemakmuran bersama. Kemudian tantangan yang kedua adalah, partai politik harus belajar untuk mandiri dalam banyak hal, mengingat kondisi bangsa yang carut-marut. Untuk pembiayaan kampanye saja negara masih harus menanggungnya, ini memperlihatkan bahwa partai politik masih sangat dimanjakan. Banyaknya bencana kemanusiaan yang melanda bangsa ini, seharusnya partai politik memperlihatkan eksistensinya pada rakyat, bukan hanya pada momen tertentu saja. Dari sini dapat dikatakan bahwa partai politik belum mampu menjalankan fungsinya di dalam masyarakat. Oleh karena dibutuhkan kedinamisan maupun keseimbangan komponen-komponen yang ada dalam sebuah sistem, maka komponen-komponen tersebut harus menjalankan fungsinya dengan baik. Sistem ini pun tidak terlepas dari pengaruh yang hadir dari luar. Logika politik luar negeri yang ada pun membenarkan asumsi tersebut, di mana politik luar negeri merupakan cerminan politik dalam negeri. Sehingga dibutuhkan kondisi politik yang kuat untuk dapat menunjukkan eksistensi bangsa pada lingkup global. Pendidikan politik yang adil serta memanusiakan manusia adalah cita-cita kemakmuran itu, dan sebagai sebuah sub-sistem dari sistem yang lebih besar, yaitu dunia politik yang humanis telah menjadi kebutuhan yang meniscayakan sebuah bangsa yang kuat. Perlu diingat bahwa pendidikan politik itu bukan hanya pada masyarakat saja, tapi juga bagi elit politik sebagai pemegang peran penting dalam sebuah kebijakan. Hal ini menjadi sangat penting melihat realitas politik yang ada di Indonesia bahwa elit yang hadir bukanlah orang-orang yang begitu paham dengan politik. Sehingga kebijakan yang lahir pun tidak lagi menjadi alat untuk mensejahterakan rakyat, tapi sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan dan menjadi budak nafsu keserakahan binatang. Jadi sistem politik Indonesia harus dilihat sebagai sebuah keseluruhan yang saling mempengaruhi, bukan ditafsirkan secara sempit sebagai sebuah kesalahan sebuah rezim atau kejahatan elit politik semata. 2. Studi Kasus Sistem politik digambarkan secara sederhana oleh David Easton sebagai sebuah proses pembuatan kebijakan (konversi). Proses ini tidak lahir begitu saja. Ada sebuah proses yang mendahuluinya, yakni proses input atau masukan. Proses input ini terdiri dari setidaknya dua variabel, yakni dukungan dan tuntutan (suplay and demand). Adapun setelah terjadinya proses konversi dari kedua variabel input tersebut, maka proses itu lantas disebut keluaran atau output. Keluaran dari sebuah sistem politik dengan demikian disebut sebagai hasil kebijakan atau kebijaksanaan. Kebijakan atau kebijaksanaan yang dilahirkan dari sebuah proses konversi dari sebuah sistem politik tidak dengan sendirinya berakhir, melainkan terus berproses dalam bentuk umpan balik (feed-back). Demikian seterusnya, bahwa proses politik dari sebuah sistem politik tidak akan pernah berakhir karena adanya proses feed-back tersebut. Ambillah contoh kasus terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak (disingkat: BBM). Naiknya harga BBM di awal Maret 2005 lalu, tak luput dari beragam penilaian. Mulai dari aksi

demonstrasi menolak kenaikannya sampai kemudian persetujuan bahwa kenaikan harga BBM tak mungkin lagi kita tolak atau tahan, dengan dua alasan mendasar. Pertama, karena harga minyak dunia sementara melonjak. Kedua, untuk mengurangi pembiayaan negara (subsidi) atas sebagian besar masyarakat yang seharusnya tidak layak untuk disubsidi, yakni orang-orang kaya. Proses inputnya terdiri dari dua, kelompok yang menolak naiknya harga BBM yang diwakili secara pas oleh kelompok mahasiswa dan para aktivis buruh yang memang secara nyata paling rentan terancam dengan kebijakan tersebut. Kelompok kedua adalah mereka yang mendukung kenaikan harga BBM. Kelompok yang mendukung ini dapat dibagi dua, kelompok yang melihatnya sebagai bagian dari penyelamatan ekonomi negara (anti subsidi) dan kelompok yang secara langsung dan tak langsung justru diuntungkan dengan naiknya harga BBM (para pendukung neo-liberalis). Ketika dikonversi untuk dijadikan sebagai sebuah kebijakan, yakni bagaimana seharusnya BBM itu dikelola. Terjadi proses tarik-menarik kepentingan di dalam parlemen Indonesia (DPR). Antara partai politik yang mendukung dan tidak mendukung naiknya harga BBM. Proses politik yang terjadi, pada awalnya, demikian alot dan keras. Partai-partai politik yang anti kenaikan BBM kelihatan sangat bersungguh-sungguh untuk tetap sejalan dengan sebagian masyarakat untuk menolak naiknya harga BBM. Tetapi karena kuatnya kekuatan kelompok yang mendukung naiknya harga BBM di DPR, kebijakan naiknya harga BBM tidak dapat diubah lagi. Kebijakan itu dengan sendirinya menjadi output dari pemerintahan SBY-Kalla. Tetapi meski demikian, ada sebuah kebijakan yang juga lahir di samping kebijakan naiknya harga BBM, yakni kebijakan kompensasi (bantuan langsung tunai, disingkat: BLT) bagi masyarakat kecil yang terimbas dengan keluarnya kebijakan menaikkan BBM. Pada tataran feed-back atau umpan balik. Jelaslah bahwa hingga saat ini, sebagian masyarakat masih tetap menolak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan yang ada. Adapun kebijakan BLT pada kenyataannya tidak mampu menjadi penopang ekonomi masyarakat menghadapi kenaikan harga sembako. Apalagi ternyata, yang mendapatkan BLT tidak semuanya berkategori miskin, yang menurut pemerintah mereka-mereka inilah yang seharusnya mendapatkannya. Kebijakan BLT ternyata tetap disalahgunakan oleh aparat pemerintah di tingkatan bawah. Akibat yang terjadi kemudian adalah terjadinya pemiskinan secara terstruktur oleh negara terhadap masyarakatnya.

BAB V

KESIMPULAN
Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik, dengan memakai system demokrasi, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil, di mana Presiden berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Para Bapak Bangsa yang meletakkan dasar pembentukan Negara Indonesia, setelah tercapainya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Mereka sepakat menyatukan rakyat yang berasal dari beragam suku bangsa, agama, dan budaya yang tersebar di ribuan pulau besar dan kecil, di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Indonesia pernah menjalani sistem pemerintahan federal di bawah Republik Indonesia Serikat (RIS) selama tujuh bulan (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950), namun kembali ke bentuk pemerintahan republik. Setelah jatuhnya Orde Baru (1996 - 1997), pemerintah merespon desakan daerah-daerah terhadap sistem pemerintahan yang bersifat sangat sentralistis, dengan menawarkan konsep Otonomi Daerah untuk mewujudkan desentralisasi kekuasaan. 22

Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya.

Konstitusi Negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang mengatur kedudukan dan tanggung jawab penyelenggara negara; kewenangan, tugas, dan hubungan antara lembaga-lembaga negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). UUD 1945 juga mengatur hak dan kewajiban warga negara. Lembaga legislatif terdiri atas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lembaga Eksekutif terdiri atas Presiden, yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang wakil presiden dan kabinet. Di tingkat regional, pemerintahan provinsi dipimpin oleh seorang gubernur, sedangkan di pemerintahan kabupaten/kotamadya dipimpin oleh seorang bupati/walikota. Lembaga Yudikatif menjalankan kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga kehakiman tertinggi bersama badan-badan kehakiman lain yang berada di bawahnya. Fungsi MA adalah melakukan pengadilan, pengawasan, pengaturan, memberi nasehat, dan fungsi adminsitrasi. Saat ini UUD 1945 telah mengalami

beberapa kali amandemen, yang telah memasuki tahap amandemen keempat. Amandemen konstitusi ini mengakibatkan perubahan mendasar terhadap tugas dan hubungan lembaga-lembaga negara. 23
LITERATUR

Amir Taat Nasution, Kamus Politik Nasional, Energie, 1953 Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia: Penghampiran dan Lingkungan, Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial & FIS-UI, 1980 Assosiasi Ilmu Politik Indonesia, Jurnal Ilmu Politik, Gramedia, 1986 Theda Scokpol, States and Social Revolutions New York: Cambridge University Press, 1979 Mariam Budiarjo, dkk, Dasar-dasar ilmu Politik, Gramedia, 2003 Murshadi Ilmu Tata Negara; untuk SLTA kelas III, Rhineka Putra, bandung, 1999 Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Balai Pustaka, 2008 Nazaruddin, Profil Budaya Politik Indonesia, Pustaka Utama, 1991 Nazaruddin Sjamsuddin, Dinamika Politik Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, 1993 Sukarna, Sistem Politik Indonesia, Jilid 4, Mandar Maju, 1993

Anda mungkin juga menyukai