Anda di halaman 1dari 14

BUDAYA POLITIK, BUDAYA DEMOKRASI DAN CIVIL

SOCIETY
MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan


Dosen Pengampu Agus Gatot Subiyantoro

Oleh
Kelompok 8 Offering A
Adelia Dwinta ;170341615022
Prianka Delvina Putri ;170341615069

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
Maret 2018
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Budaya politik, budaya demokrasi, dan civil society masing-masing
memiliki keterkaitan yang kuat. Budaya politik mendeskripsikan serangkaian
tingkah laku, kepercayaan, perasaan yang member makna, dan landasan
tingkah laku dalam sistem politik. Budaya demokrasi, bagaimana kebiasaan
kekuasaan pemerintah secara hokum dibatasi secara tegas, sehingga organisasi
diluar pemerintah dapat mengontrol pemerintah, bekerja secara tanggung
jawab. Civil society menciptakan format demokratis, untuk menempatkan
kesederajatan komponen bangsa, agar memiliki keberdayaan dan
melaksanakan HAM secara maksimal dan proporsional.
Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan
ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi,
pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan
partai-partai politik, perilaku aparat Negara, serta gejolak masyarakat terhadap
kekuasaan yang memerintah. Konseptualisasi dapat dikemukakan sebagai
wilayah-wilayah kehidupan social yang terorganisasi yang bercirikan, anatar
lain: kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating) dan
keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berahadapan dengan
Negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang
diikuti oleh warganya (Hikam,1996). Dan demokrasi adalah proses menuju
serta menjaga civil society yang menghormati dan berupaya merealisasikan
nilai-nilai demokrasi.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1. Apa pengertian, komponen-komponen, dan tipe-tipe budaya politik?
1.2.2. Bagaimana konsep dasar, karakteristik, pilar-pilar dan prinsip serta
nilai-nilai demokrasi?
1.2.3. Apa pengertian civil society dan bagaimana upaya-uapaya
pemberdayaan civil society?

1.3 Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui pengertian, komponen, dan tipe-tipe budaya
politik.
1.3.2. Untuk mengetahui konsep dasar, karakteristik, pilar-pilar dan prinsip
serta nilai-nilai demokrasi.
1.3.3. Untuk mengetahui pengertian civil society dan untuk mengetahui
pemberdayaan civil society.

2
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Budaya Politik
Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan
penting dalam sistem politik suatu Negara. Manusia dalam kedudukannya
sebagai makhluk sosial , senatiasa akan berinteraksi dengan manusia lain
dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Setiap warga Negara
dalam kesehariannya hamper selalu besentuhan dengan aspek-aspekpolitik
praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaanya
dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung dengan praktik-
praktik politik. Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian
dalam interaksi antar warga Negara dengan pemerintah,dan institusi-
institusi di luar pemerintah, telah menghasilkan dan membentuk variasi
pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku
politik dalam semua sistem politik.
2.1.1 Pengertian Budaya Politik
Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang
dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat
berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan
para elitenya. Berikut adalah beberapa pendapat tentang budaya politik:
Nico Budi: Serangkaian tingkah laku, kepercayaan, pearasaan yang
member makna dan mengatur serta landasan tingkah laku dalam sistem
politik.
Rusadi Sumintapura: Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku
individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh
para anggota suatu sistem politik.
Sidney Verba: Budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empiric,
symbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi
dimana tindakan politik dilakukan.
Alan R. Ball: Budaya politik adalah sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-
nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu
politik.
Austin Ranney: Budaya politik adalah seperangkat pandangan tentang
politik dan pemerintahan dan sebuah pola orientasi-orientasi terhadap
sistem politik.
Gabriel A. Almond: Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai,
keterampilan dan pola-pola perilaku masyarakat terhadap politik.
Dalam konteks budaya politik, warga Negara senantiasi
mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga
kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi
itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan

3
mereka di dalam sistem politik. Budaya politik memberikan rasional
untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.
Dalam kaitan itu, budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin
dan aspek generiknya. Yang pertama, menekankan pada isi atau materi,
seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Dan yang kedua, bahwa
aspek generic pada dasarnya menganalisis bentuk, peranan, dan cirri-ciri
budaya politik, seperti militant, utopis, terbuka, atau tertutup. Hakikat
dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah
prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan
dengan masalah tujuan. Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan
norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang
terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat.
Budaya politik selalu mengedepankan pada tiga hal: Pertama,
Budaya politik mengedepankan aspek-aspek tindakan, menekankan, pada
perilaku non aktual seperti orientasi, sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-
kepercayaan. Budaya politik lebih banyak menekankan pada dimensi
psikologis dari sebuah politik; Kedua, orientasi budaya politik adalah
sistem politik, artinya setiap budaya politik tidak lepas dengan sistem
politik. Misalkan orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap
lembaga legislative, eksekutif dan sebagainya; Ketiga, Budaya politik
merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen
budaya politik dalam jumlah besar, atau mendeskripsikan masyarakat di
suatu Negara atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini berkaitan dengan
pemahaman, bahwa budaya politik merupakan refleksi perilaku warga
Negara secara massal yang memiliki peran besar bagi terlaksanakannya
sistem politik yang ideal.

2.1.2 Komponen Budaya Politik


Budaya politik mengandung dimensi psikologis dalam suatu sistem
politik, karena budaya politik menjadi satu lingkungan psikologis, bagi
terselenggaranya konflik-konflik politik dan terjadi proses pembuatan
kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan psikologis, maka komponen-
komponen berisikan unsur-unsur psikis dalam diri masyarakat yang
terkategori menjadi beberapa unsur: Orientasi kognitif, yaitu berupa
pengetahuan tentang kepercayaan pada politik, peranan dan segala
kewajibannya serta input dan outputnya; Orientasi afektif, yaitu
perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan
penampilannya; Orientasi evaluatif, yaitu keputusan dan pendapat
tentang objek-objek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai
dan kriteria dengan informasi dan perasaan.

4
2.1.3 Tipe-Tipe Budaya Poltik
a. Berdasarkan Sikap yang Ditunjukkan
Budaya politik memiliki kecenderungan tipe sikap
militansi, toleransi, sikap absolut dan sikap akomodatif. Budaya
politik militan adalah budaya politik dimana perbedaan tidak
dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi
dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Budaya politik
toleransi, dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang
harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar dimana
selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Budaya politik
absolut adalah budaya politik yang mempunyai sikap mental yang
absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang dianggap selalu
sempurna dan tak dapat diubah lagi. Sedangkan Budaya Politik
akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang
dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis
terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi
berdasrakan perkembangan masa kini.

b. Berdasarkan Orientasi Politiknya


Setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang
berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam
budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang
berbeda-beda. Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik
sebagai budaya politik parokial, budaya politik kaula, dan budaya
politik partisipan.

2.2 Budaya Demokrasi


2.2.1. Konsep Dasar Demokrasi
Secara entimologis, demokrasi berasal dari kata Yunani
'demos' yang berarti rakyat dan 'kratos' yang berarti kekuasaan
atau berkuasa. Demokrasi dapat diartikan sebagai 'rakyat
berkuasa', yaitu keadaan negara di mana dalam sistem
pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, keputusan
tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat
berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat
(Rosyada, 2005). Menurut Sapriya (2002), dalam makna
pemerintahan tersebut, demokrasi berarti pemerintahan yang
dijalankan oleh rakyat baik secara langsung maupun tidak
langsung (melalui perwakilan) setelah adanya proses pemilihan
umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil,
atau yang sering disebut 'luber' dan 'jurdil'.

5
2.2.2. Karakteristik Masyarakat Prakondisi Demokrasi
Masyarakat demokrasi merupakan sekelompok manusia
yang hidup bersama yang bekerjasama untuk mencapai
terkabulnya keinginan bersama dengan cara pemerintahan oleh
mereka sendiri (rakyat) dimana kekuasaan tertinggi berada di
tangan mereka sendiri (rakyat) dan dijalankan langsung oleh
mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih.
Dalam demokrasi, kekuasaan negara melalui jajaran
birokrasinya berasal dari rakyat. Agar kondisi ini tidak menjadi
bumerang yang menyiderai dan menyengsarakan rakyat
diperlukan kekuatan penyeimbang (balancing force) terhadap
hegemoni negara. Masyarakat yang dimaksud harus memiliki
kemandirian, menghargai pluralitas, serta keyakinan akan
kemampuannya untuk berpartisipasi politik, memiliki
keberadaban sebagai warga berbudaya atau sebutan yang
dilontarkan oleh Nurcholis Madjid (dalam Adi Suryadi Culla,
1999) yang kemudian dikenal masyarakat madani sebagai
terjemahan dari civil society.

2.2.3. Pilar-pilar dan Prinsip Demokrasi


Achmad Sanusi (dalam Sapria, 2002) mengidentifikasikan
Sepuluh Pilar Demokrasi Konstitusional Indonesia yang dikenal
pula dengan "The Ten Pilars of Indonesian Contitutional
Democracy", berdasarkan filsafat Pancasila dan Konstitusi
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai berikut:
1. Demokrasi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Demokrasi berdasarkan Hak Asasi Manusia
3. Demokrasi berdasarkan Kedaulatan Rakyat
4. Demokrasi berdasarkan Kecerdasan Rakyat
5. Demokrasi berdasarkan Pemisahan Kekuasaan
6. Demokrasi berdasarkan Otonomi Daerah
7. Demokrasi berdasarkan Supremasi Hukum
8. Demokrasi berdasarkan Peradilan yang bebas
9. Demokrasi berdasarkan Kesejahteraan Rakyat
10. Demokrasi berdasarkan Keadilan Sosial
Di samping itu, demokrasi juga mengandung prinsip atau
'soko guru demokrasi' adalah:
1. Kedaulatan rakyat
2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah
3. Kekuasaan mayoritas
4. Hak-hak minoritas
5. Jaminan hak-hak asasi manusia

6
6. Pemilihan yang bebas dan jujur
7. Persamaan di depan hukum
8. Proses hukum yang wajar
9. Pembatasan pemerintahan secara konstitusional
10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik
11. Nilai-nilai toleransi, kerjasama, dan mufakat (USIA, 1991).
Demokrasi di Indonesia menggunakan landasan dan dasar
hukum sebagai berikut:
1. Pembukaan UUD 1945, "...maka disusunlah Kemerdekaan
Kebangsaan itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat..."
2. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, "Kedaulatan adalah di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar"
3. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, "Negara Indonesia adalah
negara hukum"
4. Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, "Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa"
Dengan demikian, demokrasi di Indonesia bukanlah
demokrasi yang menempatkan posisi manusia di atas Tuhan
Yang Maha Esa, walaupun demokrasi itu berarti sebagai
kedaulatan berada di tangan rakyat.

2.2.4. Nilai-nilai Demokrasi


Henry B. Mayo (dalam Miriam Budiardjo,1996)
menguraikan nilai-nilai demokrasi itu sebagai berikut:
a. Nilai yang bersifat umum, bahwa demokrasi itu bekerja
untuk rakyat. Nilai ini masih kabur, sebab dalam kenyataannya
masih dapat dipersoalkan siapa rakyat yang dimaksud. Sering
pemerintah mengatasnamakan rakyat walaupun sebenarnya untuk
kepentingan golongan/elit tertentu. Walaupun nilai umum ini
masih kabur, nilai itu tetap bermanfaat, untuk diperinci lebih
lanjut menjadi nilai-nilai yang lebih khusus.
b. Nilai-nilai khusus sistem demokrasi
1. Demokrasi menyelesaikan pertikaian secara damai dan
sukarela.
2. Demokrasi menjamin terjadinya perubahan secara damai
dalam suatu masyarakat yang selalu berubah.
3. Demokrasi menjamin pergantian penguasa dengan
teratur.

7
4. Dalam demokrasi penggunaan paksaan sesedikit
mungkin.
5. Demokrasi menghargai nilai keanekaragaman.
6. Demokrasi menegakkan keadilan.
7. Sistem politik demokrasi paling baik dalam memajukan
ilmu pengetahuan.
8. Dalam demokrasi terdapat kebebasan, terutama dalam
politik.
9. Akhirnya nilai dapat diberikan kepada demokrasi karena
kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam sistem lain.
Masyarakat demokrasi akan berfungsi secara baik apabila
saluran yang menghubungkan antar komponen dalam sistem itu
dapat berfungsi secara wajar. Demokrasi tidak akan datang,
tumbuh dan berkembang dengan sendirinya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pamudji (1985)
menyatakan ada lima komponen, yitu:
1. Partai Politik (Political Party)
2. Kelompok kepentingan (Interest group)
3. Kelompok Penekan (Pressure group)
4. Media Komunikasi Politik (Political communication media)
5. Tokoh Politik (Political Figure)

2.3 Civil society


Pendidikan kewarganegaraan hendaknya mampu mempersiapkan
warga negara untuk menyongsong terbentuknya masyarakat madani (civil
society) bagi era masyarakat Indonesia baru. Dalam rangka ini, program
pendidikan kewarganegaraan harus lebih dikonsentrasikan sebagai:
1. Bidang kajian ilmiah yang difokuskan terhadap aspek sosio-
kultural multikultural
2. Program dalam upaya membangun 'kebijakan multikultural
warga negara' (civic virtue) dan 'budaya multikultural' (civic
culture)
3. Program kurikuler yang memiliki visi dan misi dalam
mengembangkan kualitas warga negara yang cerdas, demokratis
dan religius (Winataputra, 1999).

2.3.1. Pengertian Civil Society


Gagasan civil society di Indonesia diletakkan pada
pemberdayaan masyarakat pluralis-multikultural dalam
hubungannya dengan organisasi negara (penguasa). Paradigma
hubungan negara dengan warga negara perlu direkonstruksi, dalam

8
arti warga negara harus dimaknai sebagai 'mitra negara' yang
punya kedudukan sejajar.
Konseptualisasi civil society dapat dikemukaan sebagai
wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi yang
bercirikan, antara lain: kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan
(self-generating) dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian
tinggi berahadapan dengan Negara, dan keterikatan dengan norma-
norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya
(Hikam,1996).
Langenberg (dalam Subandi, 1996; Budiman, 1990)
mengklasifikasi civil society yang terdiri dari kelompok-kelompok
dan perkumpulan, pendidikan, tenaga kerja, bisnis, partai politik,
organisasi keagamaan, profesi, perdagangan, media, seni,
kelompok lokal, keluarga dan perkumpulan kekerabatan.

2.3.2. Pemberdayaan Civil Society


Beberapa aspek strategis pendidikan kewarganegaraan
dalam rangka pemberdayaan civil society dapat dirunut pada hal-
hal berikut:
a. Membangun hubungan negara dan masyarakat
Untuk membangun hubungan negara dengan masyarakat
(warga negara) dalam kerangka civil society secara adil dan
berimbang secara normatif dan etik, dapat ditempuh melalui
langkah-langkah berikut:
1. Inventarisasi variabel yang melekat pada diri warga negara
2. Inventarisasi variabel yang melekat pada diri organisasi
negara
3. Menghubungkan variabel yang melekat pada warga negara
dengan variabel yang melekat pada organisasi negara
4. Mempersepsikan hubungan kedua variabel (negara dan
warga negara) identik dengan hubungan hak dan kewajiban
antara keduanya
5. Mencari dasar norma sebagai pembenar hubungan antara
warga negara dengan negara, yang bersumber dari jiwa dan
nilai konstitusi (Diadaptasi dari Sanusi, 1972).
b. Optimalisasi pelaksaan hak dan kewajiban civil society
Pemberdayaan civil society sama halnya dengan
melakukan kerja programatik bagaimana mengoptimalisasi hak
dan kewajiban sebuah komunitas sosial (warga negara).
Ada tiga tahap sosialisasi hak dan kewajiban kultural
bagi warga negara atau masyarakat:

9
1. Tahap internalisasi, yaitu tahap pemahaman konsep
masyarakat pluralis-multikultural
2. Tahap aplikasi, yaitu tahap pelaksanaan nilai-nilai budaya
lokal dalam konteks membangun wawasan kebangsaan
3. Tahap kristalisasi, suatu tahap dimana warga
negara/masyarakat telah mampu mencapai predikat sebagai
manusia pluralis-multikultural, yang mampu bersikap
religius, demokratis, adil, terbuka, tidak mudah
berprasangka buruk, empati kepada orang lain.

2.3.3. Pemberdayaan Civil Society dalam Konteks Pendidikan


Kewarganegaraan
Pemberdayaan civil society tidak bisa dilepaskan dengan
pendekatan Pendidikan Kewarganegaraan. Berdasarkan embrio
materi dan tujuan pendidikan kewarganegaraan, maka pendekatan
yang digunakan harus relevan dengan upaya pemberdayaan civil
society. Beberapa pendekatan yang dimaksud, antara lain:
a. Pendekatan yuridis
Pendekatan ini mengantarkan warga negara untuk
memahami norma-norma formal yang selanjutnya dengan
norma itu akan memiliki sikap loyal terhadap konstitusi. UUD
1945 sebagai hukum dasar yang tertinggi di negara Indonesia
yang di dalamnya mengakui hak-hak kebebasan individu (warga
negara) seyogyanya digunakan sebagai rujukan norma dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara yang pluralis-multikultural.
b. Pendekatan struktural-fungsional
Dalam pendidikan kewarganegaraan, pendekatan struktural-
fungsional diproyeksikan dalam menganalisis fungsional
terhadap sistem politik yang digunakan sebagai wacana
demokrasi dalam masyarakat pluralis-multikultural. Soekarna
(1981), menegaskan bahwa sebuah sistem politik memiliki
fungsi antara lain: pertama, mengembangkan aturan-aturan
umum dan kebijaksanaan untuk mempertahankan ketertiban dan
memenuhi tuntutan yang harus dilaksanakan secara wajar;
kedua, merumuskan kepentingan rakyat; ketiga, pemilihan
pemimpin atau pejabat pembuat keputusan.
c. Pendekatan etika-moral
Pendekatan 'etika-moral' pada dasarnya digunakan sebagai
wacana pembenaran (justification) terhadap tindakan
sosial(Held, 1989). Sementara itu, Poedjawijatna (1984)
menyebut 'etika' sebagai perwujudan dari filsafat tingkah laku
manusia. dalam konteks ini, tindakan civil society dapat

10
dimasukkan sebagai tindakan sosial. Sebab, setiap tindakan civil
society boleh jadi akan berdampak pada orang lain.
Substansi tindakan sosial mencakup:
1. Hak-hak atas kebebasan yang sama
2. Perlunya pengalaman moral bagi seseorang
3. Dasar-dasar adanya kepercayaan sosial
4. Adanya praktik penyelidikan moral.
Dari sini dapa ditangkap bahwa tindakan sosial tidaklah
bebas nilai (value free). Karena muncul dari kesadaran manusia
maka tindakan sosial itu bisa berwujud tindakan baik-buruk,
tindakan wajib, tindakan netral serta tindakan yang bertanggung
jawab selaras dengan ni;ai-nilai dan norma yang telah
tumbuhdan berkembang, lewat dinamika sosial-budayanya (Al-
Hakim, 2002).
d. Pendekatan psikologis-pedagogis
Penerapan pendekatan 'psikologis-pedagogis' didasarkan
pada pertimbangan tingkat perkembangan kejiwaan peserta
didik yang dikaitkan dengan jenjang pendidikan yang diikuti.
Materi pendidikan kewarganegaraan dalam rangka
pemberdayaaan civil society lewat pendekatan 'psikologis-
pedagogis' berupa fakta budaya, konsep dan generalisasi yang
kesemuanya dirujuk dari hak dan kewajiban (sebagai embrio
materi pendidikan kewarganegaraan). Ekspresi civil society
selain disesuaikan dengan dengan jenis lembaga pendidikan
yang ada juga perlu memperhatikan aspek 'substansi'
keberdayaannya. Dengan cara ini seluruh 'aspirasi' civil society
yang berada di setiap jenjang pendidikan dapat diterjemahkan
selaras dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban subyek
belajar.
e. Pendekatan pengurangan prasangka (buruk)
Skeel (1995) mendefinisikan prasangka (prejudice) sebagai
pertimbangan tentang kelompok sosio-budaya lain tanpa tahu
lebih dulu tentang fakta mengenai kelompok itu. Hal ini terkait
dengan etnosentrisme dimana seseorang bertibdak terhadap
orang lain yang berbeda kultur berdasarkan sudut pandang
kulturnya sendiri, dan cenderung memandang kulturnya sendiri
sebagai yang terbaik.
Etnosentrisme dapat dikurangi dengan pembelajaran yang
memberi kesempatan siswa untuk mendiskusikan proses
terbentuknya stereotip, memberi kesempatan untuk
mengemukakan perasaannya tentang kelompok budaya,
mempelajari kontribusi positif dari berbagai kelompok budaya,

11
dan mempertimbangkan beragam perilaku yang ditunjukkan
oleh berbagai ilmu budaya (Freedman, 1984; Martin, 1985).
f. Pendekatan empati
Pendekatan pendidikan kewarganegaraan dirasakan juga
sesuai dengan realitas majemuk dan asumsi perbedaan adalah
empati. Bannet (1979) mendefinisikan empati sebagai berada
pada posisi orang lain. Dalam empati, berarti kita 'berpartisipasi'
pada pengalaman orang lain.
Kaidah kehiduapan menyuruh kita memperlakukan orang
lain seperti kita ingin diperlakukan oleh mereka. Dalam kaidah
ini terkandung asumsi kesamaan: orang lain seperti diri kita dan
karena itu ingin diperlakukan yang sama.
Kemampuan empati dapat dapat dikembangkan dengan
mengikuti enam langkah yang saling berkaitan. Langkah-
langkah empati yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Langkah pertama: Mengasumsikan perbedaan.
Kita harus bisa menerima, kita bisa berbeda menghadapi
konstruksi dan situasi yang berbeda. Kita akan bebas
membayangkan pikiran dan perasaan kita dari prespektif yang
lain. Selama kita dapat menghubungkan prespektif dari hasil
bayangan kita dengan prespektif orang lain yang sebenarnya,
maka barulah kita dapat melakukan empati.
Langkah kedua: Mengenali diri.
Persiapan yang diperlukan untuk empati adalah mengenal
diri kita secukupnya, sehingga dimungkinkan peneguhan
kembali identitas individual secara mudah.
Langkah ketiga: Menunda diri.
Pada langkah ini, identitas dipertegas pada langkah kedua
untuk sementara dikesampingkan. Pusat perhatian pada langkah
ini adalah bukan pada menunda 'isi' (asumsi, nilai, perangkat
perilaku, dan sebagainya); akan tetapi fokusnya terletak pada
kemampuan mengubah dan memperluas batas.
Langkah keempat: Melakukan imajinasi terbimbing.
Jika batas diri diperluas, perbedaan antara yang internal
dengan yang eksternal (subyektif dan obyektif) dihapuskan.
Kesadaran kita bebas mengembara di antara fenomena 'di luar',
termasuk orang lain. Agar empati interpesonal yang cermat bisa
terjadi, kita harus membiarkan imajinasi kita dibimbing ke
dalam pengalaman orang lain.
Langkah kelima: Membiarkan pengalaman empati.
Jika kita membiarkan imajinasi kita dibimbing ke dalam
diri orang lain, maka kita sedang memandang orang lain,

12
seakan-akan itu adalah diri kita sendiri. Pengalaman empati,
seperti imanjinasi, harus dibiarkan. Mengarahkan pengalaman
secara sadar, menurut definisi, adalah kegiatan sadar diri.
Langkah keenam: Meneguhkan kembali diri.
Walaupun menemukan jalan untuk memasuki pengalaman
orang lain itu penting, sama perlunya juga mengingat untuk
kembali kepada diri kita sendiri. Dalam kebudayaan kita, paling
tidak proses peneguhan diri ini adalah komponen yang
diperlukan untuk komunikasi empati. Kegagalan untuk
melakukannya, dapat berakhir pada kerancuan identitas, atau
kehilangan ego.

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
2. Saran

13
Daftar Rujukan
Al Halim, Suparlan, dkk. 2016. Pendidikan Kewarganegaran Dalam Konteks
Indonesia. Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan

14

Anda mungkin juga menyukai