Anda di halaman 1dari 10

A.

Latar Belakang Prancis Menjajah Maroko

Maroko merupakan wilayah yang memiliki peradaban panjang yang terletak di

Afrika bagian utara wilayah ini pernah dikuasai oleh khartago,Romawi, bani

Ummayah, dan Bani Abbasiah. Setelah terpisah dari Bani Abbasiah wilayah

Maroko menjadi wilayah yang independen dan diperintah oleh seorang Sultan

dengan sebutan Sherif. Wilayah Maroko yang strategi yaitu sebagai wilayah

penghubung benua Afrika dan Eropa, membuat bangsa barat saling bersaing

untuk memperebutkan Maroko. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut

diadakanlah suatu Konferensi yang bernama Konferensi Algeciras/ Konferensi

Greenland pada tanggal 7 April 1906 M yang terdiri dari 14 negara termasuk

Amerika Serikat. Tujuan konferensi tersebut adalah untuk menemukan solusi

untuk Krisis Maroko pertama tahun 1905 antara Prancis dan Jerman, yang muncul

ketika Jerman menanggapi upaya Prancis untuk membentuk protektorat atas

negara merdeka Maroko.(Darsiti Soeratman 1969)

  Maka hasil dari Konferensi Algeciras adalah membagi-bagi wilayah Maroko dan

wilayah Afrika lainnya yaitu prancis menguasai wilayah selatan Maroko hingga

terpisahlah Mauritania dari Maroko, sementara Spanyol menguasai bagian Utara

yang wilayahnya dinamakan Sahara Barat, Prancis juga menguasai sisi utara

Sahara Barat (wilayah Maroko saat ini) tidak mau ketinggalan Spanyol juga

menguasai pesisir utara Maroko yaitu wilayah Rif di Maroko. Disamping itu juga

Inggris, Italy, Jerman juga menguasaai wilayah Afrika yang lainnnya berdasarkan

Konferensi Algeciras tersebut.


Setelah Konferensi Algeciras diadakan pada tahun 1906 M terjadilah berbagai

konflik antara tentara Prancis dan penduduk Maroko.(Darsiti Soeratman 2019)

Pengaruh Prancis di Maroko semakin kuat akan tetapi perekonomiannya terancam

disebabkan adanya pemberontakan-pemberontakan di bergai wilayah Maroko

termasuk di ibu kota Maroko yaitu Fez. Kemudia pada tahun 1911 pemerintah

Prancis mengerahkan kekuatan penuh armada tempurnya ke Maroko dan pada

tanggal 21 Mei 1911 tentara Prancis berhasil menguasai ibu kota Maroko yaitu

Fez. Maka secara resmi pada tanggal 30 Maret 1912 Sultan Abdul al- Hafid

menandatangani perjanjian fez yang menjadikan penyerahan kedaulatan Maroko

pada Prancis.(Darsiti Soeratman 1969)

B. Penerapan Kolonialisme Prancis di Maroko

Sejak tahun 1912 setelah diadakannya perjanjian Fez, yang ditanda-tangani oleh

Sultan Maroko dan pemerintah Prancis, Maroko menjadi wilayah

protektorat(bagian kekuasaan) Prancis, Sultan Maroko masih tetap menjadi kepala

negara walaupun hanya sebatas lambang/simbolis saja Dan pemerintahan Maroko

dipegang oleh residen Jendral Prancis serta bertindak atas nama pemerintah

Prancis. Residen Jendral Prancis yang pertama menjabat adalah Hubert Lyautey.

Banyak pengaruh kebijakan-kebijakan Prancis terhadap masyarakat Maroko yaitu

sebagai berikut:(Darsiti Soeratman 2019)

1. Penerapan Kolonialisme Prancis Dalam Bidang Politik

Sebelum Perang Dunia II, politik kolonial Prancis yang dijalankan di daerah-

daerah koloninya berdasarkan suatu doktrin "asimilasi". Teori ini didasarkan pada
dugaan bahwa orang-orang Afrika termasuk Maroko dapat dijadikan sebagai

warga negara Prancis. Prinsip asimilasi tersebut mengandung gagasan yang

tercetus dalam zaman revolusi "equality dan "fraternity"; disamping itu juga

mengandung filsafat politik yang kemudian dianut oleh Imperium Prancis yang

disebut "paternalisme". Tujuan politik asimilasi tersebut ialah mengintegrasi

daerah milik di seberang lautan dengan Prancis, mengasimilasi penduduk Maroko

dengan Prancis baik politik, sosial, ekonomi, etnis, religius, maupun kultural.

(Darsiti Soeratman 2019)

Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, bahasa-bahasa Maroko dan kebudayaannya

tidak diberikan dalam pendidikan kolonial Prancis. Hal ini dikaitkan dengan

anggapan bahwa setiap orang Prancis percaya akan misi kultur Prancis yang

universal dan sah sebagai pemberian terbesar Prancis kepada dunia.' Jadi, dalam

khayalan Prancis, merupakan satu blok daerah yang berpenduduk orang-orang

dengan berbagai macam warna kulit dan dengan agama yang bcrbeda-beda, tetapi

tanpa memandang apakah ia tinggal di Paris atau Fez; mereka semua berbahasa

dan berkultur Prancis dan semuanya akan diwakili di dalam Parlemen di Paris.

(Darsiti Soeratman 2019)

Cita-cita membentuk bloc francais tersebut berarti bahwa politik kolonial Prancis

tidak pernah memiliki suatu program untuk memajukan koloni tersebut menuju ke

arah pemerintahan sendiri. Sistem pemerintahan Prancis yang disebut "direct

rule" sesungguhnya adalah pemerintahan oleh pegawai-pegawai dari pemerintah

metropolitan yang menentukan politik berdasarkan gagasan-gagasan metropolitan

atau berdasarkan kepentingan- kepentingan metropolitan. Dalam pemerintahan


tersebut beberapa orang dari daerah koloni seperti Maroko ikut mengambil

bagian. Dengan tujuan mengasimilasi penduduk, maka di tiap koloni sangat

diperlukan munculnya kelompok-kelompok yang berpendidikan dan berbudaya

Prancis serta pemimpin-pemimpin politik. Politik Asimilasi yang terjadi pada

Maroko merupakann salah satu perwujudan dari paham Liberalisme yang

diterapkan oleh pemerintahan Prancis. Akan tetapi sebaik-baiknya Kolonialisme

tetap tindakan Kolonialisme itu memberikan penderitaan pada masyarakat yang

terjajah termasuk Maroko. Selain Politik Asimilasi dalam bidang pemerintahan

juga kenyataannya Sultan mempunyai kekuasaan, eksistensi lembaga-lembaga

bumi putera dibarkan terus berlangsung dan disampingnya dimasukan lembaga-

lembaga pemerintah yang berasal dari Prancis sehingga antara lembaga yang di

kelola Bumi putera bisa beriringan dengan lembaga pemerintah Prancis. Sekolah-

sekolah dibuka,baik untuk anak-anak Prancis maupun anak-anak Maroko,

sedangkan pendidikan untuk anak-anak suku Berber dikhususkan karena

disesuaikan dengan kebudayaanya dan ancamannya. Akan tetapi sedikit sekali

anak-anak bumi putera khususnya yang beragama islam tertarik akan pendidikan

kolonial tersebut.(Darsiti Soeratman 2019)

1. Penerapan Kolonialisme Prancis Dalam Bidang Ekonomi

Seluruh kebijakan ekonomil seharusnya didasarkan atas tujuan untuk memajukan

masyarakat bumiputera. Penduduk bumiputra tidak boleh diancam, tidak boleh

diperintah untuk kepentingan ekploitasi. Koloni adalah tempat tinggal bagi

penduduk bumiputra dan orang-orang Eropa Walaupun politik pemerintah

ditujukan untuk kemajuan penduduk bumiputra, namun pada kenyataannya


Tujuan kebijakan ekonomi kolonial adalah untuk memajukan produksi dan

membawa kemakmuran bagi penduduk di seberang lautan (Prancis). Caranya

adalah dengan menaikkan standar hidup penduduk daerah Maroko. Pemerintah

menganjurkan adanya industrialisasi di tanah-tanah koloni dan kerja penelítian

untuk memperbaiki kualitas pertanian atau hasil lainnya.(Darsiti Soeratman 2019)

Selain tanahnya yang subur, sumber kekayaan alamnya juga menarik modal asing

untuk masuk ke Maroko. Krisis Maroko yang terjadi hingga dua kali

membuktikan adanya persaingan di antara negara-negara kapitalis Barat untuk

memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dinegeri tersebut. Akan tetapi,

sejak 1912, setelah Maroko menjadi daerah protektorat Prancis, maka pengusaha-

pengusaha dan modal Prancislah yang memperoleh banyak kesempatan untuk

melakukan eksploitasi di daerah tersebut. Hasil pertambangan yang menduduki

tempat tertinggi adalah fosfat, kemudian di susul oleh batubara, besi, mangan,

timah hitam, seng dan kobal. Pertambangan fosfat dikuasai oleh perusahaan

Office Cherifien des Phosphates, yang didirikan pada 1920. Pertambangan lainnya

juga dikerjakan oleh kongsi-kongsi dagang swasta. Industri yang telah ada juga

dikembangkan seperti industri kulit, barang pecah belah dan permadani. industri-

industri tersebut masih dikerjakan Tetapi, pada umumnya secara tradisional.

Disamping itu, didirikan pula industri modern dengan mendatangkan tenaga-

tenaga ahli dari Prancis. Jadi pada intinya kebijakan untuk menaikan taraf hidup

masyarakat Maroko oleh Prancis adalah supaya masyarakat Maroko bisa

menghasilkan produksi barang yang lebih berkualitas untuk masyarakat Prancis.

(Darsiti Soeratman 2019)


C. Perlawanan Maroko Dalam Melawan Penjajah

Perlawanan Maroko dalam melawan penjajah tidak akan terlepas dari tokoh yang

bernama Muhammad bin Abdul Karim Khitabi. Setelah bebas dari penjara

Muhammad bin Abdul Karim Khitabi langsung mengumpulkan orang-orang Riff

Maroko yang berjumlah 3.000 personil. Dengan kecerdasannya dan talenta

keperwiraannya, Muhammad bin Abdul Karim Khitabi kemudian menemukan

strategi baru guna melawan penjajah Spanyol yang diberi nama Hard al-Ashabat/

Perang Gerilya, Muhammad bin Abdul Karim Khitabi merupakan penemu taktik

Gerilya dalam perang. Selain itu Syekh Muhammad bin Abdul Karim Khitabi

juga menerapkan strategi penggalian membuat sebuah terowongan hingga ke

musuh. Maka untuk melawan pemberontak di Riff Raja Spanyol yaitu Alfonso

XII mengirimkan sejumlah pasukan besar yang dipimpin oleh Jendral Silvestre

dengan 60.000 tentara untuk melawan pasukan muslim yang berjumlah 3.000

personil. Maka pada tanggal 22 Juli 1921 terjadilah pertempuran yang dikenal

dengan pertempuran Annual. Pertempuran tersebut dimenangkan oleh kaum

Muslimin pimpinan Muhammad bin Abdul Karim Khitabi, dengan taktik Gerilya

dan pembuatan terowongan hingga ke musuh,membuat tentara Spanyol yang

jumlahnya besar tidak berdaya. Lebih dari 20 ribu orang tentara Spanyol tewas

sedangkan dipihak Muslimin adalah 1 ribu orang tentara yang gugur.Kelahan

tersebut menjadikan Spanyol mengalami krisis di negaranya bahkan menjadi

sebab runtuhnya kerajaan Spanyol dan dibentuknya Republik Spanyol.(Er, Social,

and Studies 2020)


Setelah mengalahkan Spanyol Syekh Muhammad bin Abdul Karim Khitabi

beserta pasukannya menghadapi tantangan baru yaitu melawan Prancis, karena

Prancis menilai bahwa pemberontak yang berasal dari Riff Maroko ini merupakan

ancaman besar dan membangkitkan semangat Nasionalisme Islam di Maroko.

Maka pada tahun 1926 M Prancis mengirikm marsekal Petain ke Maroko dengan

jumlah pasukan sebesar 500 ribu tentara guna melawan pasukan pimpinan Syekh

Muhammad bin Abdul Karim Khitabi yang berjumlah 20 ribu.

Pertempuran tersebut berhasil dimenangkan oleh kaum Muslimin dan membuat

Prancis menjadi geram. Maka untuk melemahkan kaum muslimin Prancis

melakukan siasat dengan melakukan perundingan dengan Syekh Muhammad bin

Abdul Karim Khitabi, Prancis memberikan angan-angan bahwa memberikan

jaminan kepada kaum muslimin dan memberi kehidupan yang aman serta

merdeka pada penduduk Maroko. Akan tetapi Prancis mengingkari janjinya

bahkan menculik Syekh Muhammad bin Abdul Karim Khitabi ketika perundingan

dan dibuang kepulauan Samudra Hindia. Akibat diculiknya Syekh Muhammad

bin Abdul Karim Khitabi oleh Prancis,perlawanan melawan Prancis pun berakhir

karena tidak ada sosok pemimpin yang disegani oleh kaum muslimin Maroko.(Er

et al. 2020)

Selain perjuangan Syekh Muhammad bin Abdul Karim Khitabi dalam melawan

penjajah, di kota Fez juga muncul organisasi yang berdasarkan agama Islam,

dipimpin oleh Allal al Fassi. Selain itu, di Rabat juga berdiri organisasi yang

dipengaruhi oleh Balafrej, seorang cendekiawan lulusan Universitas Fuad di Kairo

dan Fakultas Sastra serta Hukum di Paris. Pada 1927, kedua organisasi tersebut
bersatu membentuk Liga Maroko, vang menuntut pembaharuan dan kemajuan

bagi Maroko. Liga Maroko tersebut mempunyai cabang- cabang dikota-kota lain.

Walaupun demikian, sebelum 1930, gerakan rakyat di Maroko belum memiliki

garis perjuangan yang tegas dan jelas.(Darsiti Soeratman 2019)

D.Proses Kemerdekaan Maroko Atas Prancis

Proses perjuangan kemerdekaan Maroko atas Prancis berawal kita terjadinya

perang Dunia II yang melanda Eropa. jatuhnya kekuasaan Prancis oleh Jerman,

pendaratan tentara Inggris-Amerika di Maroko dan pertemuan Sultan dengan

presiden Franklin Roosevelt, disambut gembira oleh kaum nasionalis dan mereka

mulai menghentikan pertentangan-pertentangan yang bersifat pribadi.Mereka

berjuang menuntut kemerdekaan tetapi ditentang keras oleh pemerintah Prancis

yang berpegang pada ketentuan perjanjian Fez yang menyatakan bahwa status

Maroko adalah protektorat yang "tidak dapat dipisahkan dari Prancis". Maka,

Residen Jenderal Gabriel Pauax melakukan penangkapan terhadap pemimpin-

pemimpin Istiqlal dengan tuduhan melakukan kolaborasi dengan Jerman.

Akibatnya, timbul demontrasi di Rabat dan Fez yang disertai pembunuhan dan

penahanan.(Darsiti Soeratman 2019)

Walaupun mengalami banyak rintangan, perjuangan untuk mencapai cita-cita

kemerdekaan negerinya tetap dijalankan. Di Maroko, organisasi partai diperkuat;

cabang-cabang baru yang dibentuk tersebar di seluruh negeri. Di samping itu,

perjuangan di luar negeri juga dilakukan dengan menghubungi Perserikatan

Bangsa-Bangsa, pembentukan Liga Arab dan hubungan dengan kaum nasionalis


Aljazair dan Tunisia. Sultan Maroko juga memihak kaum nasionalis. Oleh sebab

itu, maka ketika Prancis menerima Konstitusi baru (1946), di mana daerah

seberang lautan dapat mengirimkan wakil-wakilnya ke lembaga-lembaga legislatif

di Paris, penduduk bumiputera Maroko tidak menyambutnya dengan penuh

kegembiraan.(Darsiti Soeratman 2019)

Mereka tidak dapat percaya, bahwa pemerintah Prancis akan membawa perbaikan

bagi negerinya. mengunjungi Tangier, kota internasional. Sejak 1899, tidak ada

Sultan di Maroko yang mengunjungi kota tersebut. Sultan mengucapkan pidato

dan Sultan Maroko memegang peranan yang penting. Pada 1947, ia berbicara

tentang "hak-hak yang sah milik penduduk Maroko", Kemudian Sultan

menyatakan kepada pers tentang penggabungan Maroko kepada Liga Arab dan

dunia di Laut Tengah bagian timur. Pada akhir 1955 Sultan Muhammad V

berhasil menegosiasikan pemulihan bertahap kemerdekaan Maroko dalam rangka

saling ketergantungan antra Prancis dan Maroko. Sultan setuju untuk

melembagakan reformasi yang akan merubah Maroko menjadi monarkik

konstitusional dengan bentuk pemerintahan yang demokratis. Sehingga pada

tangga 7 April 1956 Prancis secara resmi mengakhiri protektoratnya diwiyalah

Maroko yang menandai kemerdekaan dari negara Maroko. (Darsiti Soeratman

2019)

DAFTAR PUSTAKA

Darsiti Soeratman. 1969. Sejarah Afrika Zaman Imperialisme

Modern, Jilid I. Yogyakarta: Penerbit Vita.


Darsiti Soeratman. 2019. SEJARAH AFRIKA. Yogyakarta: Penerbit

Ombak.

Er, Mevliyar, Researcher Social, and Science Studies. 2020. The

Palgrave Encyclopedia of Imperialism and Anti-Imperialism.

London.

Anda mungkin juga menyukai