Anda di halaman 1dari 33

“IMPERIALISME,KOLONIALISME DAN EXPLORASI BANGSA EROPA DI

AFRIKA”

DOSEN PENGAMPU :

Abd Haris Nasution, M.Pd

DISUSUN OLEH: KELOMPOK 6


Agnes Sentia Br Ginting (3213321006)
Dodi Hadeyasa (3211121024)
Dini Latifah Hanum (3212321001)

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL
PENDIDIKAN SEJARAH
2022
KOLONIALISME,IMPERIALISME DAN EXPLORASI BANGSA EROPA DI
AFRIKA

A. Kolonialisme dan Imperialisme

Kata Imperialisme berasal dari bahasa latinyaitu ”Imperium” yang berarti perintah.
Istilah tersebut pertama kali digunakan oleh Inggris pada tahun 1870 dan 1855. Secara
istilah Imperialisme berarti sebagai suatu usaha untuk memperoleh hubungan yang erat
antara bagian-bagian kerajaan Inggris dengan negeri induk, baik hubungan cultural
maupun mengadakan perjanjian politik dan militer. Dalam perkembanganya kata
Imperialisme mengalami perubahan arti dari semula yang berarti “Perintah” menjadi
“Hak memerintah” atau “kekuasaan memerintah” dan berubah lagi menjadi daerah
dimana kekuasaan memerintah itu dilakukan. Adapun tujuan dari Imperialisme pada
awalnya ada 3 macam yaitu: Gold, Glory, Gospel. (Mencari kekayaan, Menyebarkan
Agama dan kejayaan).

Imperialisme yang pertama kali dilakukan oleh bangsa barat pada abad 16. Adapun
Imperialisme pada saat itu dibagi dalam 2 hal yaitu: Imperialisme tua (kuno) dan
Imperialisme modern. Imperialisme kuno dilakukan dengan cara melakukan penaklukan
penaklukan negara dan bangsa lain untuk menjamin perdagangannya. Untuk kegunaannya
imperialisme kuno hanya mengambil barang mentah tanpa menyajikan balasan barang
jadi pada negeri jajahan. Imperialisme juga banyak dilakukan dengan ekspansi ekspansi
ke negara lain. Adapun yang menjadi pelopor dari Imperialisme kuno adalah negara
Portugis dan Spanyol. Sasaran mereka adalah negara-negara dikawasan Asia, Australia,
dan Amerika.

Sedangkan Imperialisme modern yang dipelopori oleh Inggris yang telah berhasil
dengan Revolusi Industrinya dan diikuti oleh negara-negara kapitalis lainya seperti
Jepang dan Amerika Serikat. Imperialisme modern dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
industri dan modalnya yang surplus dengan cara exploitasi dan penetrasi kebudayaan.
Setelah berkembangnya nasionalisme berkobar di luar Eropa, imperialisme modern
bersembunyi dalam bentuk: Protecktorat, Domonion, Negara mandap, dan negara negara
boneka. Dalam Imperialisme modern maka yang diambil adalah barang mentah tetapi
setelah itu disajikan pula barang dalam bentuk jadi kepada negara jajahan.Dalam bahasa
mudahnya dalam Imperialisme modern negara yang melakukan Imperialisme menjadikan
negara jajahan sebagai negara pemasaran hasil industri yang mengalami surplus. Tujuan
pokoknya adalah mempengaruhi dan menguasai ekonomi bangsa lain. Dengan melihat
fakta diatas tentunya jelas dan dapat kita simpulkan bahwa pada hakikatnya tujuan
imperialisme adalah sama.

Tetapi terdapat pula corak corak khusus yang membedakan satu samalain yaitu:

• Adanya perbedaan corak politik kolonial. Perbedaan corak politik kolonial yang dilakukan
oleh pemerintah kolonial di tanah jajahanya masing-masing.

• Cara yang dipakai oleh bangsa terjajah untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan
yang berbeda-beda juga.

Dua hal itu yang membedakan corak corak khusus dipelopori oleh Inggris mencapai kejayaan
pada tahun 1885 sampai dengan 1900. dengan adanya Imperialisme yang dilakukan oleh
bangsa bangsa barat tentunya juga menimbulkan dampak yang dirasakan oleh bangsa yang
terjajah antara lain adalah: Adanya kemiskinan yang terjadi di tanah jajahan, Adanya
penderitaan yang tak terhingga di tanah jajahan, Imperialisme juga menyebabkan suatu
bangsa yang terjajah mengalami pecah belah dan terbelakang, serta menyebabkan bangsa
terjajah kehilangan kepribadian.

B. Politik Kolonial Bangsa-Bangsa Eropa Di Afrika

Seperti halnya dengan Prancis kedudukan Inggris di Afrika sebagai penguasa kolonial
pada waktu sebelum Perang Dunia II sangat menonjol. Kedua negara ini percaya bahwa
mereka akan menguasai Afrika untuk waktu yang tidak terbatas, akan tetapi keduanya
mengakui kenyataan bahwa orang Eropa tidak dapat mendirikan tempat kediaman yang
permanen di Afrika Tropis.

Menurut pendapat James Griffiths politik kolonial Inggris di Afrika dapat


digeneralisasikan menjadi dua macam pola. Pertama berdasarkan tradisi C. Rhodes, seorang
tokoh pembentuk imperium dan yang kedua berdasarkan tradisi D. Livingstone, seorang
liberator. Sebenarnya berbagai macam pelaksanaan politik kolonial Inggris yang diterapkan
di Afrika hanya berdasarkan pada dua prinsip tersebut diatas yaitu: (1) penekanan kepada
kepentingan imperium Inggris atau kepentingan kaum kolonis putih ditanah koloni. (2)
penekanan pada pertanggunganjawaban sebagai pembimbing untuk penduduk bumiputera.
C. Politik Kolonial Inggris di Afrika

Seperti yang telah dibahas pada bab pendahuluan bahwa Politik Kolonial Inggris di
Afrika memiliki dua macam pola yaitu berdasarkan tradisi C. Rhodes seorang tokoh
pembentuk imperium, dan berdasarkan tradisi D. Livingstone, seorang liberator.

1. Pola Politik C. Khodes

Politik kolonial ini dilakukan dengan penekanan kepada kepentingan

imperium Inggris atau kepentingan kaum kolonis di koloni.

2. Pola Politik D. Livingstone

Pada politik ini menekankan kepada pertanggungjawab sebagai

pembimbing untuk bumi putera.

3. Sistem pemerintahan In Direct rule

Dalam sistem pemerintahan ini adalah sistem pemerintahan tidak langsung yaitu melalui
birokrasi-birokrasi yang ada. Membiarkan tetap berlangsungnya kebiasaan-kebiasaan yang
telah berlaku di tanah jajahan. Membimbing penduduk di tanah jajahan kearah pemerintahan
sendiri yang mandiri secara pelan pelan dan Evolusioner.

Didaerah-daerah ”Hitam” Afrika Barat tradisi Living Stone lebih banyak diikuti,
dibandingkan di daerah Afrika Timur dan Tengah. Karena situasinya lebih kompleks, maka
terjadilah persoalan mengenai penggunaan dua tradisi tersebut. Di Rhodesia Selatan dan di
Kenya bagian koloni, berlakulah sistem koloni dimana tiap daerah kekuasaan dikuasai oleh
seorang gubernur. Dimana gubernur ini merupakan wakil kepala negara Inggris yang
dilengkapi oleh dewan eksekutif dan dewan legislatif. Anggota-anggota dewan eksekutif dan
legislatif ini sebagian ditunjuk oleh gubernur dan sebagian lagi dipilih langsung oleh warga
negara putih dalam masyarakat tersebut. Setelah melalui proses evolusi, anggota yang dipilih
oleh dewan-dewan itu dikurangi dan sehingga anggota hasil pilihan lebih banyak. Melalui
tingkat self-government, akhirnya pada fase terakhir koloni menjadi negara yang merdeka
penuh.Pada tahun 1910 Uni Afrika Selatan memperoleh self-government dan Rhodesia
Selatan pada tahun 1923. Proses perkembangan tanah jajahan menjadi negara
berpemerintahan sendiri seperti yang telah disebutkan diatas sesudah Perang Dunia II juga
dilaksanakan terhadap protektorat dan koloni yang berpenduduk non Putih.
Untuk Afrika Timur kaum imperialis di Inggris memperdebatkan penambahan kekuasaan
kepada pemimppin-pemimpin masyarakat kulit putih di Kenya dalam dewan legislatif dan
eksekutif. Pendapat ini dikemukan oleh menteri negara L.S. Amery (1924-1929) yang
menggantikan Duke of Devonshire. Devonshire berasal dari partai Konservatif pernah
mengemukakan doktrin yang berisi bahwa pemerintah kerajaan secara tegas memandang
bahwa kepentingan penduduk bumiputera harus didahulukan dari pada kepentingan ras-ras
emigran lainnya. Selanjutnya ia menyimpulkan bahwa pemerintah Kerajaan akan
membentuk suatu trust untuk keperluan penduduk Afrika. Akan tetapi pelaksanaan doktrin
ini mengalami kesulitan, sehingga tradisi D. Livingstone tidak dapat dilaksanakan
sepenuhnya.

Keadaan penduduk di Afrika tropis dan sub-tropis berbeda. Di Afrika tropis seperti di
Afrika Barat Inggris, tidak ada orang Barat yang ingin menetap didaerah tersebut. Karena
iklim yang tidak menarik orang-orang Barat, maka di Afrika tropis orang Hitam merupakan
mayoritas. Orang-orang kulit putih hanya berjumlah sedikit, sebagian besar pegawai
pemerintah melaksanakan prinsip ”trust” didaerah tersebut. Penduduk bumiputera sangat
memegang teguh peraturan yang terdapat dalam lingkungan kulturilnya sendiri. Penduduk
bumiputera memajukan tingkat peradabannya tanpa memutuskan hubungan dengan masa
lampau. Mereka mengambil metode dan peradaban Eropa, mengikuti kemajuan-kemajuan di
Barat. Walaupun dalam banyak hal orang-orang Eropa berkuasa dan memberikan
pengaruhnya, namun pada umumnya dapat dikatakan bahwa dibagian Afrika tropis ini,
penduduk bumiputera merupakan tuan dalam rumahnya sendiri.

Sedangkan di Afrika sub tropis, dimana terdapat kolonis-kolonis Putih yang mendirikan
industri, kota-kota dan perusahaan-perusahaan lainnya, penduduk bumiputera mendapat
tantangan yang lebih berat dibandingkan dengan penduduk bumiputera yang berada
didaerahtropis. Mereka berhadapan langsung dengan kekuatan-kekuatan ekonomi dan sosial
bangsa asing. Kemungkinan besar kekuatan-kekuatan tersebut membantu kemajuan materil,
akan tetapi pada umumnya lebih cenderung untuk memperlambat kemajuan spirituil dan
kulturil. Pada umumnya dalam masyarakat daerah sub tropis berlaku pemisahan berdasarkan
ras, dimana ras Hitam menduduki tingkat yang rendah. Dalam bidang politik mereka tidak
terhitung, dan dalam bidang ekonomi mereka sangat lemah. Masalah ras ini terdapat di
Rhodesia Selatan dan Afrika Selatan, sedangkan di Kenya dan Uganda kesulitan-kesulitan
timbul karena penduduknya bersifat multi-rasial. Dimata orang kulit putih, penduduk
bumiputera dianggap sebagai ”hewer of wood” dan ”drawer of water”.
Perbedaan yang menyolok antara Afrika tropis dan sub tropis adalah mengenai masalah
tanah di Gold Coast, Nigeria dan Uganda penduduk bumiputera memiliki tanah dan
dikerjakan sendiri. Sedangkan penduduk bumiputera di Afrika Selatan adalah penduduk yang
tidak bertanah. Masalah tanah merupakan masalah yang rumit, apalagi kalau tanah itu jatuh
ketangan kaum kolonis Putih atau bangsa asing lainnya. Tanah merupakan dasar
kemakmuran dan ketenangan bagi penduduk bumiputera.

Prancis yang mengunakan teknik direct rule, berbeda dengan prinsip yang digunakan
oleh Inggris yaitu menggunakan teknik indirect rule, untuk memerintah tanah jajahannya di
Afrika. Eksperimen Inggris mengenai indirect rule di Afrika Barat dilakukan di Nigeria
Utara. Frederick Lugard yang merupakan High Commissioner di Nigeria Utara pada tahun
1900- 1907 banyak dihubung-hubungkan dengan pemasukan teknik pemerintahan secara
indirect rule tersebut. F Lugard kekurangan tenaga administrasi yang terlatih untuk
memerintah daerah yang sangat luas itu. Dalam keadaan yang mendesak Lugard terpaksa
membiarkan para emir tetap menduduki posnya masing-masing. Mereka tetap berkuasa di
wilayahnya, akan tetapi kekuasaan mereka berada dibawah pengawasan residen Inggris.

Kemudian sistem indirect rule juga diterapkan di Nigeria Selatan, Gold Coast, Ashanti,
Sierra Leone. Di Afriak Timur sistem ini juga dilaksanakan bahkan di Uganda telah lebih
awal dimulai, karena F. Lugard imutmengambil bagian dalam mengatur administrasi daerah
tersebut. Sistem indirect rule ini tidak dapat diterapkan di daerah pantai Afrika yang memiliki
penduduk campuran dan tidak lagi mengenal tradisi masyarakat kesukuan. Pada tahun 1930
Sir Donald Cameron merumuskan bahwa indirect rule adalah suatu konsep pemerintahan
yang memungkinkan penduduk bumiputera melengkapi diri untuk mencapai kemajuan dan
berdiri diatas kakinya sendiri. Pemerintah Inggris dan pemerintah bumiputera masing-masing
terpisah dengan status dan kewajiban-kewajiban yang berbeda, tetapi keduanya bekerjasama
dan merupakan satu pemerintahan. Kewajiban yang harus dilakukan oleh pegawai-pegawai
pemerintah Inggris ditujukan terutama untuk melatih penguasa-penguasa bumiputera agar
dapat bertindak sebagai penguasa-penguasa yang maju.

D. Konsep Politik Kolonial Inggris

Latar belakang Inggris datang ke Afrika adalah untuk menerapkan sistem indirect rule
yang bertujuan untuk membimbing penduduk bersama penguasa-penguasa bumiputera untuk
mencapai status pemerintahan sendiri dengan cara mempergunakan sebaik-baiknya elemen-
elemen dalam masyarakat yang telah dikenal dan dihargai oleh penduduk. Berdasarkan
sistem ini maka fungsi pemerintah Inggris bukan menghancurkan kebudayaan dan lembaga-
lembaga penduduk bumiputera, tetapi bahkan mempertahankan elemen-elemen yang positif,
kemudian digabungkan dengan elemen-elemen berdasarkan gagasan Barat.

Pada tahun 1926 konsep Dual Mandate yang dikemukakan oleh Lugard dan
mengandung arti bahwa tugas Inggris di Afrika adalah untuk memenuhi kepentingan Inggris
dan penduduk Afrika. Seperti Negara negara kolonis lainnya, Inggris menuntut koloninya
untuk dapat memenuhi kebutuhan politik, ekonomi dan moril negeri metropolitan. Akan
tetapi disamping itu pembangunan yang dilakukan dikoloni dalam banyak bidang untuk
memajukan pendidikan, lalu lintas, perdagangan, ekonomi, kesehatan, pengadilan,
penghapusan perbudakan dansebagainya membawa pengaruh dan sebagainya
membawapengaruh dan perkembangan positif bagi penduduk bumiputera.

Prinsip pokok politik kolonial Inggris yang disebut trusteeship, dimana pemerintah
Inggris berkedudukan sebagai pembimbing penduduk bumiputera untuk mencapai
pemerintahan sendiri walaupun mengambil waktu yang lama. Lugard berpendapat bahwa
Inggris sebagai ”trustee” berkewajiban melakukan pembangunan bagi kemajuan dan
peradaban penduduk Afrika dan disamping itu juga Inggris berkewajiban untuk
mengembangkan sumber-sumber ekonomi Afrika. Sumber hukum untuk koloni harus dicari
di koloni itu sendiri bukan dari pemerintah metropolitan. Administrasi pemerintahan indirect
rule memberi kesempatan bagi penduduk bumiputera untuk mencapai pemerintahan sendiri.
Inggris bercita-cita agar koloni-koloni yang telah memperoleh pemerintahan sendiri itu
menjadi anggota Commonwealth.

Sesudah Perang Dunia II, politik kolonial Inggris tidak banyak berubah.
Kecenderungan umum diseluruh wilayah milik Inggris di Afrika adalah untuk:

1. Menambah jumlah anggota perwakilan yang terdiri dari orang-orang Afrika dalam
dewan-dewan baik eksekutif maupun legislatif.

2. Memasukkan elemen memilih dalam dewan-dewan eksekutif.

3. Memberikan perhatian lebih kepada pembangunan bidang ekonomi dengan


menggunakan bantuan-bantuan berdasarkan program yang direncanakan.

Lord Hailey dan juga seorang pegawai kolonial Inggris, mengemukakan bahwa
kegagalan Ingggris bukan dalam hal melakukan eksploitasi, tetapi dalam hal organisasi
pembangunan ekonomi yang kurang sistematis. Ia juga menyatakan bahwa Inggris tidak
akan berhasil baik dalam membangun lembaga-lembaga politik yang berdasarkan sumber-
sumber materil yang lemah, kesehatan yang kurang memuaskan dan pikiranpikiran yang
tidak maju.

E.Pelaksanaan Politik Kolonial Inggris di Afrika

a. Pelaksanaan Politik Kolonial Inggris di Afrika

Dalam bidang sosial, sesuai dengan program memperluas dan memperdalam kekuasaan
Inggris serta melakukan pasifikasi keadaan, maka ia melakukan tindakan sebagai berikut:

a. Mengirim rombongan untuk melakukan penelitian terhadap daerah pedalaman.

b. Memperluas daerah kekuasaan Inggris diwilayah Nigeria

c. Memperbaiki pusat kedudukan pemerintah, dari Lokoya ke Zungeru yang terletak ditepi
sungai Kaduna, 12 mil dari Wushishi, tempat garsinun Inggris.

d. Memperbaiki lalulintas, sehingga hubungan lalulintas tidak hanya mengambil jalan sungia
seperti sediakala, tetapi juga dengan kereta api.

e. Membuat macam-macam peraturan.

f. Mendirikan badan-badan pengadilan.

Rombongan penyelidik dengan tugas meneliti keadaan sosial dan keadaan alam
Nigeria Utara segera dikirim dan hasilnya akan besar artinya bagi pelaksanaan program
tersebut. Makin luas daerah yang dikuasai oleh Inggris, makin terasa bahwa lalulintas
melalui sungai tidak lagi memadai. Demi lancarnya jalan pemerintahan, pengangkutan
barang-barang dagangan dan terjaminnya keamanan, maka dibentuklah departemen lalulintas.
Pada waktu itu Lagos Railway yang beroperasi di Nigeria Selatan baru menghubungkan
Lagos dengan Ibadan. Jalan kereta api ini diperluas ke utara sampai Jebba melalui Ilorin.
Atas usul Lugard, disebelah utara didirikan jalan tram yang menghubungkan Zungeru
dengan Wushishi. Pembuatan jalan kereta api dibagian utara ini dipercepat karena dua
masalah yaitu: (1) kapas Nigeria yang diakui sangat bagus kwalitasnya dapat diekspor secara
besar-besaran. (2) insidenpemberontakan di Satiru, dimana pemberontakan ini dipimpin oleh
Mahdi.
Dalam bidang politik, perluasan kekuasaan Inggris didaerah utara ini dilakukan
dengan cara memberi “surat penunjukan” kepada emir-emir didaerah itu. Surat tersebut berisi
bahwa emir yang ditunjuk menjadi kepala daerah harus mengakui kekuasaan protektorat
sebagai penguasa tertinggi dan mengikuti perintah High Commissioner.

Pengaruh kepala-kepala daerah bumiputera masih dipertahankan, rakyat diperintah


melalui pemimpin-pemimpin yang berkuasa secara turun temurun atau karena dipilih.
Susunan pemerintah yang menggunakan pengaruh kepala daerah bumiputera berarti
bahwa lembaga-lembaga atau dewan-dewan yang telah lama ada dapat berlangsung terus.
Hukum, adat kebiasaan lokal tetap berlaku. Akan tetapi para pejabat-pejabat bumiputera
bukanlah penguasa yang bebas menjalankan pemerintahan. Mereka diangkat dan ditunjuk
oleh High Commissioner dan harus tunduk kepada isi “surat penunjukan”.

Untuk menjaga ketertiban dan keamanan dibentuk badan-badan pengadilan yang


disebut Supreme Court, Provincial Court, dan Native Coart. Pengadilan tertinggi berada
dibawah kepala kehakiman Inggris, menggunakan prosedur dan hukum Inggris, mempunyai
kekuasaan mengadili segala macam perkara didaerah kota, asal bukan perkara penduduk
bumiputera. Pengadilan bumiputera mengadili perkara bumiputera dengan menggunakan
hukum dan tradisi penduduk.

Daerah kekuasaan Inggris semakin luas, jumlah residen yang semula hanya dua orang
ditambah, masing-masing menjadi kepala daerah provinsi. Diseluruh daerah terdapat 11
provinsi dan dibagi menjadi 40 distrik, masing-masing distrik dibawah kekuasaan seorang
pegawai urusan politik. Pegawai ini dibantu oleh dua atau tiga orang asisten dan menjalankan
tugas yang pada dasarnya mempertahankanbarlangsungnya pemerintahan kolonial Inggris.
Tugas-tugasnya adalah mendengarkan keluhan-keluhan penduduk, mengadili perkara-perkara
yang dimintakan banding, mengusut ketidakadilan, memberi saran perbaikan untuk penguasa
lokal. Rencana tentang sistem pemerintahan yang dibuat secara kebetulan ini membawa hasil
yang baik dan memakanbiaya yang sedikit, oleh sebab itu diterima baik oleh kementrian
Tanah Jajahan.

Dalam bidang pendidikan, Sir Donald Cameron membuat rumusan tentang sistem
indirect rule, memperluas bidang pendidikan dengan mendirikan Higher College di Yaba,
sebuah perguruan yang tingkatannya tertinggi di Nigeria pada waktu itu. Dalam bidang
pendidikan Barat, daerah Selatan lebih maju daripada daerah Utara. Di provinsi Utara selama
beratus-ratus tahun diselenggarakan sekolah-sekolah ayng berdasarkan agama Islam. Pada
tahun 1930 pendidikan untuk anak-anak perempuan disebelah Utara baru dimulai.

Pemerintah kolonial mulai memperluas bidang pendidikan. Karena banyak pemuda-


pemuda yang dikirim kenegara-negara Barat untuk menuntut pelajaran yang lebih mendalam,
maka pada generasi baru muncul golongan terpelajar yang mulai mengenal gagasan-gagasan
politik, bentuk-bentuk revolusi baik sosial maupun politik. Dalam bidang ekonomi,
Kemajuan ekonomi di Sierra Leone merupakan jembatan untuk mendekatkan daerah
protektorat dan koloni. Hal ini disebabkan karena pada tahun 1930 sumber-sumber
penghasilan terbesar berupa tambang-tambang maupun pertanian terdapat didaerah
pedalaman.

b. Pelaksanan Politik Kolonial Inggris di Afrika bagian Selatan

Sesudah perang Boer II berakhir, kekuasaan Inggris di Afrika bagian selatan meliputi
Cape Colony, Natal, Orange Colony, Transvaal dan tiga daerah High Commissioner. Tiga
daerah ini berada dibawah kekuasaan nggris, sedangkan empat koloni lainnya berkembang
sendiri, menjadi Uni Afrika Selatan dan pada tahun 1948 secara resmi mulai melaksanakan
politik ”aparthied”.

Pelaksanaan sistem indirect rule di koloni tidak selalu sama. Pada tahun 1951-1955
sistem indirect rule di Bechuana diganti dengan direct rule, karena danya masalah Khama
dikalangan suku Bamangwate. Masalah tersebut yaitu ketika Seretse Khama yang merupakan
kemenakanTsekedi yang menjadi kepala suku Bamangwate menikah dengan wanita Inggris.
Pernikahan ini ditentang oleh Tsekedi. Dalam sidang tradisionil, sidang pertama memutuskan
menentang tindakan Seretse, sidang keduatidak dapat mengambil keputusan dan sidang
ketiga menerima Seretse sebagai kepala suku bersama isterinya. Tsekedi sangat menentang
keputusan tersebut.

Pemerintah Inggris khawatir akan timbulnya konfllik dalam suku tersebut. Oleh sebab
itu, maka pada tahun 1950 pemerintah memutuskan mengasingkan Seretse dari protektorat
Bechuana selama lima tahun dan dan dalam waktu yang sama itu Tsekedi dilarang tinggal di
reseve. Kekosongan kepala suku ini mengakibatkan sistem indirect rule diganti dengan direct
rule.

Kepala suku, Subhousa II berusaha memerintah sebaik-baiknya dengan cara


melakukan kerjasama dengan seluruh penduduk Swazi, baik Hitam maupun Putih. Kesulitan
besar yang dihadapi adalah menyangkut masalah pendidikan, ekonomi, dan politik.
Dibandingkan dengan Basutoland, kemajuan pendidikan di Swaziland lebih lemah. Hanya
25% dari jumlah anak dalam usia sekolah belajar di sekolah-sekolah dan sebagian besar
terdiri atas anak-anak perempuan. Dalam bidang politik negeri ini menghadapi kesulitan
dalam mengubah sistem pemerintahan ”dual” yang berdasarkan pemerintahan tradisionil
menjadi sistim pemerintahan modern secara Barat. Namun demikian gagasan-gagasan
demokrasi mulai berkembang didaerah itu dan kepala suku memegang peranan besar dalam
memajukan daerahnya.

Dalam bidang pendidikan, dibandingkan dengan Swaziland dan Bechuanaland,


pendidikan di Basutoland mengalami perkembangan yang paling maju. Pendidikan berada
ditangan misi Gereja Evangeli Paris dan Gereja Katolik Roma. Dua pertiga muridnya terdiri
atas anak-anak perempuan. Kesadaran naisonal sangat kuat, mereka selalu menentang usaha
penggabungan dengan Uni Afrika Selatan walaupun dalam kenyataannya ekonomi mereka
tergantung kepada Uni.

c. Pelaksanaan Politik Kolonial Inggris di Afrika Tengah

Dalam bidang ekonomi, tanah-tanah yang subur jatuh ketangan orangorang Eropa dan
peraturan pajak itu memaksa orang-orang Hitam mengikuti sistem ekonomi uang, berarti
mereka terpaksa bekerja pada orang Eropa agar memperoleh uang.

Sejak permulaan abad 20 makin banyak pendatang baru dari Eropa yang datang ke
Rhodesia Selatan. Mereka mengusahakan pertanian ditanahtanah yang subur atau membuka
pertambangan. Para kolonis yang makin besar jumlahnya itu menghendaki kedudukan yang
tidak tergantung lagi pada pemerintah Inggris.

Dalam bidang sosial, bertambahnya penduduk kolonis secara tiba-tiba sesudah perang
berakhir membawa gagasan-gagasan baru yang menyangkut masalah ras. Perdana menteri
Golfrey Huggins yang mempunyai gagasan liberal, menyatakan bahwa masyarakat Putih
tidak dapat hidup tanpa buruh Hitam. Kehidupan orang Hitam harus ditingkatkan, tetapi
orang-orang Afriak itu harus tetap tinggal ditempat mereka masing-masing.

Rhodesia Utara mengalami perkembangan yang berbeda. Sebagai daerah protektorat,


penduduk bumiputera ”dilindungi” itu tidak memiliki hak pilih. Hanya warganegara Inggris
yang mempunyai hak pilih dan mereka mendapat separuh jatah jumlah kursi di dewan
legislatif. Pemerintah menunjuk orang Eropa yang diberi tugas mewakili penduduk
bumiputera.

Pada tahun 1948 ketika pemerintah Afrika Selatan dengan resmi melaksanakan politik
”apartheid”, penduduk bumiputera Rhodesia Utaramakin menentang kekuasaan Putih di
negerinya. Dengan maksud agar supremasi Putih di Afrika Tengah dapat dipertahankan,
Higgins dan Roy Welensky menyetujui gagasan pemerintah Inggris. Konferensi untuk
membicarakan masalah tersebut segera diadakan, akan tetapi dalam konferensi tersebut tidak
terdapat wakil penduduk bumiputera. Akibatnya Dr. Banda memimpin delegasi kepada
pemerintah Inggris dan memprotes tindakan orang-orang Putih di Afrika Tengah. Wakil-
wakil Afrika tersebut diterima oleh menteri Tanah Jajahan yaitu James Griffiths yang berasal
dari partai buruh. Dimana menteri ini meyakinkan Dr. Banda dan kawan-kawannya bahwa
usul yang akan disampaikan oleh masyarakat Putih di Afrika Tengah tidak akan diterima.
Akan tetapi karena adanya perubahan kabinet akhirnya usul pembentukan federasi oleh
masyarakat Eropa di Afrika Tengah diterima.Pada tahun 1964 Rhodesia Utara mendapat
status ”self goverment dan mengganti namanya dengan Zambia. Demikian pula Nyasaland
yang mengambil nama baru yaitu Malawi.

F. Politik Kolonial Perancis di Afrika

Ada bermacam corak ragam politik kolonial barat di Afrika, akan tetapi pada
dasarnya tujuan mereka adalah sama yaitu politik pecah belah atau adu domba. Hal ini
dilakukan untuk mempermudah didalam usaha untuk tetap menguasai tanah jajahan. Dalam
hal ini penulis ingin menyampaikan politik kolonial yang dilakukan oleh Inggris dan Prancis
di Afrika. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan kedua negara tersebut yang berhasil
mendominasi negara-negara di Afrika.Politik kolonial yang dilakukan Prancis di Afrika
diantaranya:

a. Politik Asimilasi/Percampuran

Dalam hal ini orang-orang pribumi di Afrika diperlakukan sama dengan orang
Prancis, perlakuan yang sama ini diberikan disegala bidang kehidupan antara lain:
Pendidikan, hukum, sosial ekonomi maupun hak yang sama dalam Parlemen

b. Politik Asosiasi

Pada politik ini maka Prancis melebur orang pribumi dan mencetak kembali menjadi
orang orang yang berjiwa Prancis.

c. Politik Devide At Impera

Politik ini dilakukan dengan memecah belah penduduk pribumi sehingga lebih mudah
untuk dikuasai.

d. Politik Conversion au Cristianisme


Politik ini dilakukan dengan cara mengadakan Kristenisasi terhadap penduduk
pribumi. Jadi apabila kita bandingkan Politik kolonial dari kedua negara tersebut memang
mengalami perbedaan corak, akan tetapi pada dasarnya adalah sama yaitu sama sama
dilakukan untuk tetap bisa menguasai wilayah jajahan. Berbeda dengan di Asia, di Afrika
sebagian besar jatuh ke kaum kolonialis dan imperialis tanpa disertai perlawanan yang hebat,
walaupun ada juga yang disertai oleh sebuah perlawanan yang hebat yang dilakukan oleh
kaum nasionalis yang ada. Akan tetapi sebagian besar negara Afrika jatuh ketanah jajahan
akibat dari perjanjian perjanjian yang diadakan antara kaum imperialis sendiri atau kaum
imperialis dengan kepala kepala suku yang ada di Afrika.

G. Latar Belakang Imperialisme Eropa

Penemuan pantai barat Afrika pada pertengahan abad 15 ternyata telah mampu
melewati Tanjung Harapan pada akhir abad 15 ditandai keberhasilan Vasco da Gama tiba di
Calicut India. Keinginan besar bangsa – bangsa Eropa yang dipelopori Portugis dan Spanyol
ke dunia timur menjadikan pesisir pantai barat Afrika hanya dijadikan daerah persinggahan
dan sumber budak sejak awal abad 16. Pendudukan bangsa – bangsa Eropa umumnya tidak
permanen sampai terjadinya Kongres Berlin tahun 1885. Banyak faktor yang mendorong
bangsa – bangsa Eropa memasuki Afrika, pada mulanya mereka melakukan penelusuran di
pesisir pantai barat Afrika semata – mata untuk mencari jalur ke timur setelah lewat utara
tidak berhasil akibat tertutupnya laut Tengah setelah berhasil dikuasai Turki pada 1453.
Keinginan ini semakin bersemangat sebagai akibat dari kekalahan Dinasti Ummayah di
Andalusia pada 1492, dengan alasan mengejar suku bangsa Moor yang melarikan diri ke
Afrika maka mereka masuk semakin dalam dan ke selatan dari benua Afrika. Awal abad 16
diputuskannya mengambil budak – budak dari Afrika guna diperkerjakan di Amerika, hal ini
semakinmemperpanjang sejarah penjarahan atas benua yang sebelumnya tenang.Menurut ahli
sejarah Portugis Cadornega bahwa pada abad 16 orang –orang Portugis telah memperbudak
hampir 1 juta “dari Congo bagian barat dan Angola utara”. Hal ini juga dilakukan oleh
bangsa – bangsa Eropa lainnya seperti Inggris, Prancis, Spanyol dan lain – lain. Apabila
perdagangan budak hanya untukkebutuhan Afrika sendiri dan Eropa maka perdagangan itu
tetap terkendali.Dari penjelasan di atas tampak jelas faktor apa yang mendorong bangsa –
bangsa Eropa memasuki Afrika yang terakomodasi dalam bentuk semboyan 3G (Gold,
Gospel dan Glory) nya Portugis, “Misi memperadabkan” oleh bangsa – bangsa Eropa
umumnya. Jelas bahwa faktor ekonomi sangat menentukan dalam usaha mereka menduduki
daerah – daerah diberbagai kawasan di dunia. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa kawasan
Afrika umumnya hanya dijadikan wilayah persinggahan karena tujuan utama mereka adalah
“wilayah timur”. Akibatnya pendudukan atas Afrika cenderung kurang intensif. Kalau pada
mulanya wilayah pantai barat bagian utara), maka posisi itu segera secara bertahap bergeser
ketangan Inggris, Perancis, Jerman dan bagian selatan sudah bercokol Belanda sejak abad 17
akibat “kekuatan” baik di bidang armada laut, ekonomi maupun negoisasi di antara sesama
mereka.

Imperialisme semakin berkembang di dunia ini pada abad 17 dan abad 18 sehingga
semakin marak pula persaingan sesama mereka. Revolusi industri di Inggris yang dimulai
pada pertengahan abad 18 yang diikuti oleh Jerman dan Perancis memaksa mereka semakin
mengintensifkanpencarian daerah– daerah baru juga makin memantapkan kedudukan pada
daerah – daerah yang sudah dikuasai. Maka dimulailah era imperialisme modern.

Ciri – ciri pokok dari imperialisme menurut W.I. Lenin yang dikutip oleh Darsiti
Suratman (1965) adalah:

1. Pemusatan produksi dan modal, yang telah mencapai tingkat perkembangan yang
jauh, dengan mengadakan monopoli –monopoli yang akan memegang peranan – peranan
dalam kehidupan ekonomi dan menentukan.

2. Peleburan modal bank dengan modal industri dan adanya oligarkhi keuangan
dengan dasar “kapitalisme keuangan”.

3. Ekspor modal dibedakan dari ekspor barang – barang dan mempunyai arti yang
besar dan istimewa.

4. Terbentuknya persekutuan – persekutuan kapitalis internasional yang melakukan


monopoli dengan mengadakan pembagian dunia untuk golongan mereka.

5. Pembagian tanah di dunia di antara negara – negara kapitalis besar telah


dilaksanakan.

H. Pendudukan Eropa di Afrika Selatan

Dalam kaitannya dengan Afrika yang semakin penting artinya setelah menjelang
pertengahan abad 19 negara – negara di Amerika Latin telah memperoleh kemerdekaan,
sedangkan di Asia perebutan antar sesama Eropa semakin intensif bahkan telah berhasil
memperkokoh posisi di wilayah jajahan masing – masing. Afrika selatan yang sejak akhir
abad 17 (Jan Van Riebeeck mendirikan Kaap Koloni) dikuasai oleh orang – orang Boer
(Orang – orang Belanda yang melakukan kolonisasi dan umumnya sebagai petani), dengan
adanya Tracted London tahun 1814 maka kedudukan itu menjadi milik InggrisKeberhasilan
Inggris ini mengakibatkan Inggris makin kokoh karena takduk selatan Afrika yang
merupakan pintu penting ke Asia berada di tangan Inggris. Akibatnya orang – orang Boer
melakukan perjalanan ke utara tahun 1836 dan berhasil mendirikan pusat – pusat baru yaitu:
Natal, Transvaal, Oranje – Vrijstaat yang keberadaannya diakui oleh Inggris. Ditemukannya
tambang – tambang intan, berlian, emas dan lainnya mendorong Inggris ingin menguasai
daerah – daerah potensial di atas. Tahun 1844 berhasil menguasai Natal dan tahun 1877
Transvaal. Nafsu Inggris menaneksasi daerah – daerah di atas mendapat perlawanan dari
Transvaal, maka terjadilah Perang Boer I tahun 1877 – 1881 di bawah pimpinan Paul
Krueger yang berhasil menghadang kekuatan Inggris. Berdasarkan konvensi Pretoria (tahun
1881) ditetapkan bahwa “Hak – hak orang Transvaal untuk memerintah sendiri diakui tapi
tetap berada di bawah Suzerainty Ratu Inggris. Istilah ini dihilangkan berdasarkan keputusan
Konvensi London tahun 1884. Kembali Inggris melancarkan serangan tahun 1896 tapi tetap
mengalami kegagalan. Dua kali mengalami kegagalan menyebabkan Inggris semakin
bersemangat untuk mencapai cita – citanya dan itu berhasil dengan meletusnya Perang Boer
II tahun 1899 – 1902 dibawah komando Jenderal Kitchener.Akhir dari peperangan ini
ditandai dengan ditandatanganinya “Perjanjian Vereeniging” dengan isi:

1. Republik – republik Transvaal dan Orange Free State dianeksasi Inggris.

2. Orang – orang Boer menjadi warga Inggris, dijanjikan akan diberi konvensasi uang
guna membangun kembali perkampungan mereka.

3. Pemerintahan sendiri akan segera diserahkan.

4. Bahasa Belanda dan Inggris dipergunakan di sekolah – sekolah dan pengadilan.

5. Tahun 1909 berdasarkan Act of Nation, daerah – daerah Inggris di Afrika Selatan
seperti Cape Colony, Natal, Orange Free State dan Transvaal memiliki pemerintahan sendiri
dan digabungkan ke dalam Uni Afrika SelatanI.

I. Konflik Antar Kaum Imperialis Eropa di Afrika

Konflik yang terjadi saat itu tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan negara-
negara imperialis dari Eropa yang sama-sama ingin menguasai wilayah Afrika. Hal ini dapat
dilihat dari usaha-usaha yang dilakukan oleh bangsa Eropa sebagai berikut. Prancis ingin
memperluas wilayah jajahanya dengan menaklukkan daerah Maroko kemudian membuat
rencana untuk memperluas lagi kearah Pantai Atlantik sampai Samudra Indonesia. Tetapi
usaha itu gagal di Sungai Nil karena bertubrukan dengan Inggris yang saat itu juga dalam
usaha untuk memperluas wilayah dari Cape Town (Afsel) sampai Cairo (Mesir). Adapun
benturan itu terjadi di Fasyoda di tepi Sungai Nil. Dengan adanya benturan itu maka lahirlah
istilah Krisis Fasyoda. Yang berpusat di Sudan.Yang juga tidak dapat dilepaskan dari Konflik
diatas adalah mengenai terusan Suez yang dibangun oleh Ferdinand de Lesseps pada tahun
1869. Inggris mula mula menolak mentah mentah rencana dibangunnya Terusan Suez karena
dianggap akan mendatangkan ancaman terhadap India. Tetapi kemudian setuju dengan
catatan turut memegang saham dalam PT Internasional Terusan Suez. Pada saat itu Mesir
sedang mengalami kesulitan masalah keuangan sehingga mengajukan proposal kepada
Prancis, akan tetapi karena Prancis baru saja melunasi utang perangnya pada Jerman maka
proposal itu tidak dapat dipenuhi oleh Prancis. Dengan mengetahui hal itu maka Inggris
memanfaatkan momentum tersebut untuk membeli seluruh saham Terusan Suez dan
menguasainya. Perlu dicatat bahwa Terusan Suez merupakan kunci pintu masuk ke India,
dengan demikian akan memudahkan akses Inggris terhadap India.

Selain itu dengan menguasai terusan Suez dan pulau Perin maka Laut Merah akan
berada dibawah pengawasan Inggris disamping itu juga menguasai pintu pintu masuk laut
tengah karena Selat Jabaltarik juga telah dikuasai. Bahkan Akhirnya negara Mesir juga
berhasil dikuasai oleh Inggris dan menjadi negara persemakmuran Inggris dengan nama
“Anglo Egyption Sudan”. Sementara di Eropa saat itu juga sedang terjadi Krisis karena
adanya pergeseran politik. Prancis mulai terancam dengan keberadaan Jerman dan berusaha
memperbaiki hubungannya dengan Inggris. Maka pada tahun 1904 terjadilah perjanjian
antara Inggris dan Prancis yang menyatakan. Prancis melupakan insiden Fashoda dan tidak
akan merintangi politik Inggris di Mesir. Sementara Inggris memberikan kebebasan kepada
Prancis di Maroko.Dengan melihat uraian diatas tampak bahwa Afrika saat itu secara
kekuasaan dibagi menjadi beberapa daerah jajahan. Adapun penguasa di Afrika antara lain
adalah: Inggris, Prancis, Jerman, Belgia, Italia, Portugis dan Spanyol. Hanya Liberia dan
Afrika Selatan saja yang Merdeka. Liberia tetap merdeka karena didirikan oleh mantan-
mantan budak yang telah dibebaskan dari Amerika Serikat. Sedangkan Afrika Selatan tetap
merdeka karena yang memegang kekuasaan adalah orang kulit putih yaitu orang-orang Boer
yang merupakan keturunan Inggris dan dibentuk dibentuk Dominion oleh Inggris. Yang tidak
dapat dilupakan juga bahwa pada saat itu terjadi diskriminasi ras antara orang kulit putih
dengan orang kulit gelap yang sampai sekarang terkenal dengan istilah Politik Apharteid.

a. Terusan Sues dan Perebutan Negara–negara Eropa atas Wilayah Tersebut

Apabila pintu Selatan telah aman di tangan Inggris, ternyata muncul tantangan baru
yang lebih menarik yaitu berhasilnya Perancis bersama Mesir membuka Terusan Sues tahun
1869. Inggris yang tadinya menyangsikan keberhasilan tersebut, begitu bersemangat melihat
betapa strategisnya kawasan yang menjadi pusaran dunia. Kesempatan itu terbuka dengan
bangkrutnya pemerintahan Khedive Ismail (1863 – 1897) yang tidak efektif mengelola
keuangan negara sehingga terlilit hutang (tahun 1863 sebesar 3 juta pound dan tahun 1876
menjadi 80 juta pound) terpaksa menjual saham mereka atas Terusan Sues. Perdana Menteri
Disraeli melakukan banyak cara sehingga saham – saham Mesir jatuh ke tangan Inggris than
1875 (seharga $4.080.000 sebanyak 176.602 lembar saham yang merupakan 44 persen),
maka sejak itulah terjadi “Dua Control” di Mesir yang dilakukan oleh Inggris dan Perancis.
Bagi Inggrisyang telah menguasai pintu selatan Afrika ke Asia, posisi Terusan Sues sangat
penting, karena Sues adalah “The Key of India”. Sedangkan India adalah pusat jajahan
Inggris di Asia (di India Inggris juga terlibat persaingan sengit dengan Perancis).Tahun 1876
Khedive Ismail mengajukan pinjaman pada Perancis dan Inggris guna menutupi keuangan
negara yang semakin seret akibat salah kelola. Akibat dari pinjaman tersebut maka
dibentuklah komite internasional “Comite pour la Caisse de la Dette Publique” yang bertugas
mengawasi keuangan Mesir yang beranggotakan Inggris, Perancis, Jerman, Italia dan Austria.
Pembaharuan dilakukan di bidang politik dan keuangan. Mesir dijadikan kerajaan berundang
– undang. Inggris menempatkan Wilson sebagai menteri keuangan dan Perancis menduduki
de Blignieres sebagai menteri pekerjaan umum. Dengan penempatan dan pengawasan oleh
bangsa – bangsa Eropa khususnya Inggris dan Perancis menjadikan Mesir sebagai bangsa
yang terbelenggu kemerdekaannya. Khedeve Ismail menyadari hal itu mencoba melakukan
sabotase – sabotase, menteri – menteri Eropa dipecat dan dibentuk kabinet baru. Tentu
sajtindakan khedive ditentang keras oleh Perancis dan Inggris. Mereka menuntut Khedive
Ismail meletakkan jabatan dan menundukkan puteranya Tewfiq sebagai Khedive. Tewfiq
yang berada dibawah kendali dua negara adidaya membuat peraturan baru berupa
mengurangi separuh dari gaji tentara dan pegawai – pegawai. Tindakan inilah yang
mendorong rakyat berontak dan meletuslah perlawanan tahun 1882 dibawah pimpinan
Kolonel Ahmad Arabi Pasha dengan semboyan “Egypt for Egyption”.
Meletusnya pemberontakan ditandai dengan terbunuhnya lima puluh warga Eropa di
Iskandaria. Inggris melancarkan serangan terhadap kubu Arabi Pasha dengan memuntahkan
peluru dengan dahsyat sedangkan Perancis pada posisi sulit ini memilih mundur dari arena
karena adanya tekanan dari parlemen yang menuntut lebih memfokuskan diri pada
“revanche” terhadap Jerman juga karena takut terjadi krisis internasional. Kondisi ini
memaksa Inggris minta bantuan Turki dan Italia tapi ditolak maka dengan kekuatan besar di
bawah pimpinan jenderal Woseley berhasil mematahkan perlawanan bangsa Mesir tersebut.
Keberhasilan ini menempatkan Inggris menjadi penguasa tunggal (SingleControl/British
Control) di Mesir yang memiliki Terusan Sues terbukti 80 persen kapal – kapal yang melalui
Terusan Sues berbendera Inggris. Dapat dibayangkan betapa kuat kedudukan Inggris pada
waktu itu karena berhasil menguasai dua pintu di Afrika menuju ke dunia Timur yang
merupakan primadona bagi bangsa – bangsa Eropa.

b. Pendudukan Perancis di Ajazair dan Tunis

Kegemilangan Inggris di Afrika juga dirasakan oleh Perancis sebagai salah satu
adikuasa di benua itu. Berawal dari Aljazair, di mata Perancis Aljazair memiliki potensi alam
yang sangat baik juga manusianya sekaligus letak Aljazair yang berseberangan langsung
dengan Perancis sehingga Aljazair bagaikan “jendela” bagi Perancis untuk memasuki wilayah
– wilayah lain di Afrika. Dalam mencapai cita – cita tersebut peran para pedagang dan
penjelajah tidak dapat diabaikan, seperti perserikatan dagang “Compagnie Francaise de
L’Afrique Equatoriale” milik Count de Semelle. Upaya pendudukan Aljazair dimulai dari
masalah hutang yaitu dua saudagar Yahudi yaitu Jacob Bakri dan Busnach tidak bisa
melunasi hutangpiutangnyasampaitahun 1927. Akibatnya Dey Hussein (penguasa Aljazair)
memanggil konsul Perancis (Deval) di negaranya guna membicarakan masalah tersebut,
ternyata pembicaraan tersebut tidak menghasilkan kata sepakat sehingga konsul Perancis
tersebut diusir dari Aljazair.Pengusiran itu menyebabkan Perancis memblokir pelabuhan
Aljazair selama tiga tahun, yang justru mengakibatkan Perancis mengalami kerugian sebesar
7.000.000 francs per tahun karena kapal – kapal yang berlabuh menjadi sasaran tembakan
orang – orang Aljazair dan orang –orangnya dibunuh. Kondisi ini diperparah Perancis juga
harus mensuplai kembali kebutuhan Aljazair sebanyak 24.000.000 francs. Usaha
menaklukkan Aljazair dengan sungguh dilakukan Perancis mulai awal 1830 denga
mengirimkan ekspedisi atas perintah Charles X. Perancis meminta bantuan pada Muhammad
Ali di Mesir tapi ditolak sedangkan konsul Inggris di Aljazair bersikap hati – hati. Pada maret
1830 armada –armada Perancis yang didukung tentara yang kuat memasuki Aljazair, maka
terjadilah pertempuran yang dimenangkan Perancis pada Juli 1830 dan Dey Hussein dibuang
ke Nepels bersama seluruh keluargaSetelah memantapkan kedudukannya di Aljazair maka
Perancis berniat meluaskan wilayah jajahannya ke Tunis yang berada di sebelah Timur
Aljazair. Pengusaha Tunis pada waktu itu boros sehingga terlilit hutang yang jumlahnya
mencapai 35 juta dari bank Paris. Untuk menutupinya maka penguasa tersebut membebankan
pada rakyatnya dalam bentuk pajak yang berat yang tentu saja akan semakin memperhebat
pemberontakan.Posisi Tunis yang sangat strategis menyebabkan jadi rebutan berbagai negara
seperti: Perancis, Italia dan Inggris. Kalau bagi Perancis Tunis sudah jelas, sedangkan bagi
Italia Tunis adalah wilayah kekuasaan Roma dan Italia adalah kelanjutan dari Roma. Di mata
Italia Tunis adalah bagian dari Italia Irreaenta yaitu wilayah Itali yang belum dimerdekakan
dan penguasaan atas Tunis adalah bagian dari Itaia la Prima. Apabila Tunis dikuasai maka
berarti jalur yang melewati selat Messina dan Secilia berada di tangan Italia. Tampaklah
bahwa lagi Italia penaklukkan atas Tunis adalah segalanya untuk menaikkan pamornya di
mata dunia. Itulah sebabnya saat terjadi pelelangan perusahaan jalan Kereta Api milik
Inggris di Tunis Italia sanggup membayar empat juta francs lebih tinggi tiga juta francs dari
tawaran Perancis, karena bagi kedua negara ini bagi yang tidak berhasil menguasai
perusahaan tersebut berarti menderita kekalahan dan penghinaan bagi bangsa.Kekalahan
Perancis atas perusahaan Inggris tersebut bukanlah akhir segalanya, Jules Ferry yang tengah
mempersiapkan diri untuk menduduki kembali jabatan Perdana Menteri melihat peluang
menduduki Tunis guna menaikkan pamornya. Itulah sebabnya dengan dalih mengejar suku –
suku Tunis yang mengganggu diperbatasan Aljazair maka pasukan militer Perancis
memasuki Tunis pada tahun 1881. Akhir dari pertikaian ini ditandatanganinya Perjanjian di
Bardo pada tahun yang sama, dengan isi “bahwa sejak ditandatanganinya perjanjian tersebut
maka semua hubungan Tunis denga bangsa – bangsa asing harus berada di bawah
pengawasan Perancis. Sebaliknya Perancis akan melindungi Tunis dari gangguan –
gangguan musuh. Keuangan Tunis juga diatur oleh Perancis. Tahun 1883 Tunis dijadikan
Protektorat Perancis.

c. Pantai Barat Afrika

Penelusuran pantai barat Afrika oleh Portugis pada pertengahan abad 15 membawa
bangsa ini tiba di daerah yang mereka sebut “Gold Coast” pada tahun 1471. Selanjutnya
Portugis mendirikan benteng tahun 1482 dan memutuskan sebagai pusat pendudukan utama
di Afrika Barat. Pada tahun yang sama Portugis juga sudah sampai daerah Sungai Congo dan
daerah-daerah di sekitar Teluk Guenia dan mendirikan benteng-benteng. Sebelumnya
Portugis sudah bertemu Kerajaan Benin pada tahun 1470 an. Disebutkan bahwa tahun 1486
Joao Affonso d’ Aveiro adalah utusan Portugis untuk melakukan hubungan diplomatik dan
perdagangan dengan Benin, dikatakannya bahwa hubungan tersebut berlangsung selama 100
tahun. Salah satu sumber disebutkan bahwa Portugis membeli emas sepanjang pantai Afrika
Barat.Tahun 1555 Inggris berhasil berlabuh di Sungai Thames dan memperoleh 180 kg emas
dan 250 kg gading gajah. Keuntungan yang begitu besar mendorong Ratu Elizabeth ikut
menanamkan modal dalam perdagangan di Afrika. Dari penjelasan di atas menunjukkan
betapa menguntungkannya hubungan dengan Afrika bagi bangsa-bangsa Eropa, tapi berita
yang sampai di Eropa seolah menggambarkan Afrika sebagai benua hitam gelap, tidak
beradab, sangat terbelakang, dan lain-lain. Ternyata berita-berita seram tersebut tidak lain
untuk menghindarkan persaingan antar sesama orang Eropa. Kejadiannya jutru sebaliknya
tidak menyurutkan mereka berbondong-bondong memasuki Afrika melalui pantai barat.
Sepanjang abad 17, Inggris dan Swedia mendirikan loji di sepanjang pesisir Pantai Emas.
Tahun 1850 Inggris berhasil membeli daerah-daerah pendudukan Swedia di Pantai Emas,
sedangkan Belanda pada tahun 1871 menyerahkan koloninya di Pantai Emas kepada Inggris.
Kondisi ini membawa Inggris mempunyai supermasi di daerah-daerah di atas.Pusat jajahan
Perancis di pantai barat adalah Senegal yang berhasi diduduki tahun 1860. Apabila pada abad
15 Portugis sudah mendirikan pos-pos perdagangan di daerah ini, namun menjelang abad 17
posisi ini digantikan oleh Perancis dan pada akhir abad 19 sepenuhnya sudah berada di bawah
kendali Perancis. Tahun 1842 Perancis telah mendirikanloji-loji di Pantai Gading, untuk
selanjutnya mendudukinya tahun 1883. Perancis berhasil melakukan perjanjian dengan Raja
Benin (Dahomey) tahun 1878 walaupun daerah ini sebelumnya milik Portugis, lebih lanjut
Perancis sudah dapat mendirikan loji di daerah ini. Setelah berhasil mengatasi konflik dengan
Jerman dengan kompensasi Togo maka dengan mantap Perancis menduduki Guinea. Daerah
lain yang dapat dikuasai adalah Gabon, Porto Novo. Bagi Perancis Benin, Pantai Gading, dan
Guenia merupakan “jendela-jendela di laut” yang sangat berguna bagi perdagangan dan basis
untuk masuk ke pedalaman. Kawasan pantai dan pedalaman ini disebut Afrika Barat
Perancis.Jerman sebagai kaum imperialis “kesiangan” juga ikut ambil bagian dalam
perebutan di wilayah barat ini dengan cara melakukan perjanjian dengan raja-raja setempat
diikuti dengan pembayaran kompensasi berupa uang, maka Jerman dapat mengibarkan
bendera di daerah-daerah yang dituju, cara lain dilakukan adalah dengan melakukan
perundingan dengan Perancis sehingga Jerman berhasil memperoleh Togo (1884) yang
merupakan jajahan Jerman pertama di Afrika. Kamerun (1884) dan Afrika Barat Daya (1844)
adalah daerah lain yang menyusul dapat dikuasai, diikuti Caprivistrip didapat melalui
Perjanjian Helgoland (1890).

d. Afrika Pedalaman

Antara abad lima sampai abad sembilan belas daerah pedalaman Afrika Tengah
belum banyak dijamah oleh orang Eropa. Seperti halnya diberbagai bagian Afrika lainnya.
Orang-orang Eropa sudah puas tinggal di pesisir dan membiarkan arus barang digantarkan
kepada mereka dari daerah pedalaman oleh para pedagang setempat.Penjelajahan secara
sistematis atas Afrika Tengan oleh Eropa dimulai pada pertengahan abad 19. Tokoh-tokoh
penjelajah pedalaman ini adalah David Livingstone, Richard F. Burton, John H. Speke dan
Henri Morton Stanley. Kehadiran David Livingstone di pedalaman Afrika menjadi momental
karena dengan hilangnya Livingstone di rimba Afrika mendorong Henri Morton Stanley
melakukan petualangan sehingga makin terkuak rahasia pedalaman Afrika. Penjelajahan
Livingstone dimulai tahun 1841 dalam rangka menjalankan tugas dari London Missionary
Sosiety di Cape Town, bergerak menuju Bechuana (pusat missi terjauh dipedalaman) dan
tinggal disitu selama delapan tahun. Tahun 1849 berhasil sampai danau Ngawi, perjalanan
berikutnya tiba di daerah Sungai Zambesi bagian hulu dan Sungai Congo sampai akhirnya
berhasil melintasi Gurun Kalahari. Tahun 1853 Livingstone bertekad membuka jalan ke barat
menuju Atlantik yang akhirnya berhasil tiba di Angola. Usaha ke barat dihentikan, berikutnya
Livingstone mengarahkan misi ke timur dengan menelusuri Sungai Zambesi. Tahun 1857
Livingstone sepenuhnya menerjunkan diri sebagai penjelajah dangan melepaskan tugasnya
dari London Missionary Sosiety dan berhasil menemukan Sungai Shire, Danau Shirwa, dan
Danau Nyasa.Tahun 1865 kembali Livingstone menelusuri pedalaman Afrika, bergerak dari
Zanzibar terus Danau Nyasa sampai Danau Tanganyika. Pada penjelajahan kali ini
keberadaannya tidak dapat dipantau oleh lembaga yang mengirimnya selama lima tahun
sehingga mendorong mereka mengutus Stanley untuk mencarinya. Usaha tersebut berhasil
tahun 1871 di Ujiji tepi Danau Tanganyika.Henry Morton Stanley (1841-1904) mendapat
tugas dari James Gordon Bennt Jr., pemimpin redaksi harian Amerika Serikat “New York
Herald” untuk mencari David Livingstone yang dinyatakan hilang di rimba raya Afrika.
Stanley berangkat pada 10 Nopember 1871, bergerak dari Afrika bagian timur atas bantuan
orang-orang Arab dan penduduk asli setempat. Perjalanan yang sangat membahayakan
tersebut membuahkan hasil dengan terjadinya pertemuan di daerah atas. Pertemuan itu
membuahkan hasil kerjasama dalam menjelajah Afrika menuju ke arah utara Tanganyika.
Pertemuan ini menjadi berita menarik bagi pembaca “New York Herald”. Kerjasama yang
hanya berlangsung selama satu tahun tersebut berakhir dengan perjalanan masing-masing.
Livingstone bergerak ke arah selatan sampai akhirnya wafat pada tahun 1873. Sedangkan
Stanley melanjutkan perjalanan yang sangat berat ke barat sampai ke tepi Atlantik atas biaya
“Daily Herald” dan “London Daily Telegraph” dalam kurun waktu tiga tahun (17 Nopember
1874 sampai 11 Agustus 1877). Perjalanan yang sangat menakjubkan itu dituangkandalam
bentuk tulisan yang diterbitkan tahun 1878 dengan judul Through the Dark Continent. Tahun
1879 kembali Stanley menelusuri Sungai Congo dan Afrika Tengah atas sponsor dari Raja
Leopold II umumnya menghasilkan karya berjudul The Congo, terbit tahun 1885. Karya-
karya menumental Stanley tentang kekayaan yang tak terhingga dari Afrika pedalaman,
membuka mata bangsa Eropa. Didukung pula oleh karya-karya hebat Levingstone antara lain:
Missionary Travelsin in South Afrika (1857) dan The Zambesi and its Tributaries (1865)
tentang perjalanannya selama menjelajah Afrika. Karya kedua tokoh di atas membuat bangsa
Eropa berlomba-lomba untuk secepatnya menguasai harta karun tersebut.

e. Raja Leopold II dan Krisis Congo

Apabila pada waktu itu penguasa-penguasa Eropa belum berpikir jauh ke depan
tentang bagaimana cara mencari dan memanfaatkan daerah-daerah khususnya Afrika yang
masih. Menjadi benua gela, tidak demikian bagi Raja Belgia Leopold II yang telah
memandang jauh kedepan bahwa perlu bagi Belgia untuk mendapatkan daerah jajahan agar
industri di negerinya dapat berkembang dengan baik. Untuk itu pada 12 September 1876
mengadakan konferensi internasional di Brussel yang dihadiri oleh para ahli geografi,
penjelajah dan tokoh-tokoh dari berbagai kawasan Eropa dengan tujuan mengeksplorasi
pedalaman Afrika dalam rangka memperadabkan. Pertemuan ini berhasil mendirikan
lembaga yang diberi nama International Association for the Exploration and Civilization of
Central Afrika.Sesuai dengan maksud yang sesungguhnya dari Raja Leopold II mendirikan
organisasi diatas, maka setelah mengetahui bahwa Stanley telah kembali ke Eropa dengan
membawa manuskrip-manuskrip yang sangat berharga mengirimkan utusan guna menemui
Stanley dengan harapan Stanley berkenan menemuinya di Brussel. Keinginan itu tertunda
karena keinginan sesungguhnya dari Stanley agar manuskrip-manuskrip itu jatuh ke tangan
Inggris. Untuk itu Leopold menuju Liverpool, Manchester dan Glasgow untuk mendapatkan
modal, tapi usaha itu sia-sia karena politik pemerintah Gladstone belum bersifat imperalis.
Dengan perasaan kecewa Stanley menerima tawaran Raja Leopold II, untuk itu didirikanlah
badan yang merupakan bagian dari International Association for the Exploration and
Civilization of Central Afrika dengan nama Committee d’Etudes du Haut-Congo (1878) yang
bertugas menyelidiki dan mempelajari Congo Atas yang anggotanya terdiri dari para
pedagang dan tokoh-tokoh Belgia. Dana yang disediakan oleh Raja Leopold sebesar satu juta
franc ($330.000) untuk membiayai Stanley dan berharap dapat mendirikan jalur kereta api di
Afrika.Perjalanan rahasia ini dimulai dari pantai sebelah timur (Zanzibar) terus ke barat
dengan menggunakan dinamit sehingga pekerjaan menjadi lebih mudah walaupun untuk
mencapai jarak 80 km membutuhkan waktusatu tahun. Usia ini berhasil membuka jalan dari
Lautan Atlantik sampai ke aliran tengah Sungai Congo yang memakan waktu lima tahun.
Buah perjalanan panjang ini mampu mendirikan 42 perkampungan dan berhasil mengadakan
perjanjian dengan 450 orang kepala suku.Melihat keberhasilan Stanley maka Perancis
mengirim Savornan de Brazza (1852-1905) berangkat ke Afrika. Melalui Sungai Ogowo di
Gabon terus ke Stanley pool, lebih lanjut ia berhasil mengadakan perjanjian dengan Raja
setempat “Makoko” dan menduduki bagian utara Congo (nantinya menjadi Congo Perancis
dengan ibukota Brazzaville).Inggris menyesali tindakan menolak tawaran Stanley, untuk itu
Menteri Luar Negeri Inggris Lord Granville mengadakan kerjasama dengan Portugis yang
secara historis memiliki wilayah muara Sungai Congo. Tindakan yang dilakukan oleh
Portugis adalah mengklaim bahwa batas utara Angola adalah 5 derajat garis bujur selatan.
Tindakan Portugis ini mendapat dukungan penuh dari Inggris diikuti dengan perjanjian antara
kedua negara ini. Akibatnya, Inggris mendapat hak untuk mengarungi Sungai Congo dan
dibentuk komisi pertama pengawas pelayaran di Sungai Congo. Tantangan Portugis dan
Inggris membawa Belgia mengajak Amerika Serikat menanamkan modal di Congo dengan
imbalan Amerika Serikat yang pertama kali mengakui keberadaan International Congo
Association. Belgia juga mengadakan kerjasama dengan Perancis dengan kompensasi sebagai
pembeli pertama apabila Association menjual tanah di Congo. Perancis didukung Jerman
melakukan protes atas perjanjian Portugis dan Inggris denganmengatakan bahwa perjanjian
itu tidak akan diratifikasi. Terjadilah kesepakatan antara Perancis dengan Inggris untuk
melakukan kompensasi internasional guna membahas masalah besar tersebut.Perdana
Menteri Jerman Bismarck mengusulkan konferensi itu dilaksanakan di Berlin Jerman dengan
mengundang negara-negara Eropa yang mempunyai kepentingan dan Amerika Serikat untuk
membahas masalah perdagangan, perbudakan, bea, kedudukan Raja Leopard (Belgia), dan
lain-lain.

Konferensi digelar dari 15 Nopember 1884 sampai 1885 dengan hasil:

1. Eksploitasi daerah Congo harus dilakukan untuk kepentingan modal internasional.


2. Daerah Congo (seluruh Afrika Tengah dari pantai ke pantai) menjadi wilayah
perdagangan bebas internasional. Untuk itu dibentuk Komisi Internasional yang bertugas
mengawasi dan menjaga ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.

3. Suatu negara apabila melakukan aneksasi daerah Afrika, harus memberitahukan


negara-negara lain agar tidak terjadi konflik. Pendudukan harus dilakukan secara permanen.

4. Apabila perang meluas, maka daerah Congo harus dalam posisi netral.

5. Perdagangan budak harus ditiadakan sama sekali.

6. Daerah Congo menjadi daerah merdeka dengan wilayah terbatas. Sebagian sebelah
selatan muara Sungai Congo diserahkan pada Portugis (Angola), sisanya atas wilayah
“Congo Merdeka”.

7. Memperbaiki harkat bangsa bumi putera, melindungi missionarism.

8. Pelayaran Sungai Niger juga bebas (Suratman, 1965 dan Kolit, 1972).Dengan
ditandatanganinya konferensi ini, maka krisis yang melibatkan berbagai negara Eropa di
Congo dapat diakhiri dengan damai.

Konferensi yang dikenal pula sebagai Kongres Berlin, sangat besar pengaruhnya
bagiAfrika sendiri, Eropa, dan dunia. Bagi Afrika, konsekuensi yang harus ditanggung adalah
terbagi-baginya Afrika di antara sesama bangsa Eropa dengan pendudukan secara intensif,
berbeda dengan sebelumnya. Kondisi abad sembilan belas dan berlanjut pada awal abad dua
puluh karena pendudukan Eropa atas Asia sudah mantap, bahkan sebagian sudah mulai
bangkit. Sedang Afrika merupakan masa yang paling intensif perebutan sesama Eropa,
sehingga sering terlibat krisis seperti: KrisisCongo, Fashoda, Maroko, dan Afrika Selatan.
Dari awal pendudukan sampai tahun 1876, daerah yang diduduki baru mencapai 10,8 persen.
Pada tahun 1900 sudah mencapai 90,4 persen (terjadi kenaikan sebesar 79,6 persen).
Penjajahan yang sangat intensif ini cenderung meninggalkan kaidah-kaidah sebagai bangsa
beradab sebagaimana termaktub dalam Piagam Kongres Berlin. Ternyata nafsu
serakahmengalahkan segala-galanya demi mencapai tujuan.

f. Afrika Timur

Persaingan cukup sengit antara Inggris dengan Jerman di Afrika Timur. Diawali
adanya kerjasama antara Inggris dengan Sultan Bargash dari Zanzibar tahun 1876. Penjelajah
Inggris juga sukses mencapai daerah Kalimanjaro, melalui British East Afrika Company,
Inggris juga mendapatkan daerah seluas 400 mil di Zanzibar Utara. Sedangkan Jerman
memulai usahanya dengan ekspedisinya yang dilakukan oleh Kan Peters tahun 1884 dengan
mendirikan lembaga Gesellschaft fur Deutsch Kolonization. Ekspedisi itu berhasil membuat
Jerman melakukan kerjasama dengan penguasa penguasa di Uganda, Nguru, Usugara, dan
Ukami, juga di selatan dari Mozambique sampai Umba seluas 600 mil. Jerman berniat pula
ke barat sampai perbatasan Congo dan ke utara sampai Sungai Nil. Tindakan ini merupakan
penghalang bagi Inggris yang mencita-citakan menyatukan wilayah jajahan melalui jalur
kereta api dari Cape Town sampai ke Cairo di Mesir.Pertentangan kedua bangsa ini dapat
diakhiri dengan diadakannya Perjanjian Helgoland tahun 1890 dengan isi:

• Inggris diakui sebagai pelindung atas daerah Uganda dan memperoleh hak-hak
protektorat atas Zanzibar dan kepulauanZemba, Witu, dan Nyasaland. Sebagai gantinya,
Jerman mendapatkan Pulau Helgoland.

• Jerman mendapat izin memperluas jajahannya Kamerun sampai Danau Chad dan
Afrika Barat daya memperoleh Caprivizippel seluas 20 mil ke timur sampai Sungai
Zambesi.Kesepakatan kedua negara ini mengakhiri krisis diantara mereka, krisis muncul
kembali dengan datangnya keberatan dari Perancis atas sumremasi Inggris di Zanzibar.
Perancis menunjuk isi perjanjian tahun 1862 yang menjamin kebebasan Zanzibar sebagai
pelabuhan terpenting di Afrika Timur. Konflik dapat diatasi dengan disepakatinya perjanjian
tahun 1890 yang isinya antara lain: Perancis mendapat kebebasan mendapatkan Madagaskar
dan Sahara, sebaliknya Perancis tidak keberatan Afrika Timur di bawah kekuasaan Inggris.
Disamping itu disepakati pula ketentuan batas-batas yang jelas di Gambia, Sierra Lcone, dan
Gold Coast. Daerah lain yang berhasil dikuasai Inggris yaitu Uganda yang dijadikan
protektorat tahun 1894.Tahun 1891 Inggris mengadakan perjanjian, kali ini dengan Italia
untuk menentukan batas-batas garis demokrasi antara keduanya di Afrika Timur. Itali
diperkenankan meluaskan wilayahnya sampai Ethiopia sampai garis meridian 35 derajat
lintang timur. Garis ini menempatkan Inggris sebagai penguasa Sudan, juga merupakan
koridor yang menghubungkan Mesir dengna Uganda.

g. Krisis Fashoda

Bermula dari Aljazair di utara, maka secara perlahan Perancis memasuki Sahara
sehingga sebagian besar daerah ini dibawah taklukan Perancis. Di pantai barat Perancis
bergerak dari Senegal terus kepedalaman. Di timur Perancis juga bercokol di Somalia dan
Bab - el Mandeb. Perancis bercita-cita menggabung daerah kekuasaannya dari barat ke timur
yang dikenal dengan istilah “dari samudera ke samudera”. Untuk itu perlu menduduki seluruh
Congo, Sudan, dan Ethiopia.Kehendak ini tentunya akan berhadapan dengan kekuatan besar
Inggris yang ingin menyatukan wilayahnya “from Cape to Cairo” sehingga Inggripun
bermaksud menaklukkan daerah-daerah yang sama. Setelah berhasil mengatasi kemelut di
Mesir, maka selanjutnya Inggris dengan menggunakan tangan Mesir memasuki Sudan (secara
historis, Sudan milik Mesir). Pada ekspedisi pertama tidak berhasil dan Jenderal Gordon mati
terbunuh ditangan Mahdi, tetapi tahun 1885 pada ekspedisi berikutnya Sudan berhasil
dikuasai. Gigihnya Inggris mendapatkan Sudan karena Sudan memilki posisi yang sangat
strategis juga sebagai penyangga bagi amannya kedudukan Inggris di Mesir, lebih-lebih
setelah Ethiopia dari Italia yang bagi Inggris berarti ancaman dari orang-orang Derwish yang
bekerjasama dengan Ethiopia. Inggris juga melakukan kerjasama dengan Italia (1891) dan
Jerman (1892).Dalam rangka mewujudkan cita-citanya, maka Perancis mengirimkan
ekspedisi dibawah pimpinan J. B. Marchand tahun 1896 dengan jumlah peserta 234 orang
yang sebagian besar adalah penduduk bumi putera dan diperintahkan mengibarkan bendera
Perancis di Sudan. Sementara itu, mendengar ekspedisi Perancis maka Inggris pun
mengirimkan ekspedisi pula dibawah pimpinan Kitchener. Tahun 1896 sudah mencapai
Dongola, terus ke selatan sampai Atbara setelah berhasil mengalahkan kaum Derwish tahun
1898 dan menguasai Omdurman. Ketika mendekati Fashoda, Kitchner menemukan bendera
Perancis telah berkibar. Terjadilah ketegangan antara kedua pemimpin tersebut. Akhirnya
untuk menyelesaikan krisis antara dua pasukan tersebut diserahkan kepada negaranya
masing-masing. Dengan pertimbangan lebih mendahulukan “Revance” terhadap Jerman dan
adanya kasus “Drayfus”, maka Perancis memilih mundur guna menghindarkan konflik yang
lebih besar yang berarti kemenangan bagi Inggris.

h. Krisis Maroko

Maroko terletak di Afrika bagian utara sebelah barat, letaknya sangat strategis di Selat
Gibraltar dan berhadapan langsung dengan Spanyol bagian selatan. Selat ini satu-satunya
pintu masuk-keluar dari dan ke Laut Tengah. Dari abad 17 sampai abad awal abad 19 mampu
bertahan sebagai negara berdaulat.Letak yang sangat strategis menempatkan Maroko menjadi
incaran negara-negara Eropa yang tengah gencar-gencarnya meluaskanskekuasaan khususnya
di Afrika apalagi Maroko begitu dekat dengan Eropa. Atas alas an itulah dan historis Spanyol
mengirimkan pasukannya ke Maroko tapi dapat dihalau oleh Inggris. Inggris tidak
menginginkan ada kekuasaan permanen di Maroko. Perancis berkeinginan di Maroko
sedangkan Jerman sejak 1873 sudah menempatkan perwakilannya di Maroko. Itulah
sebabnya ketika Perancis mendirikan pangkalan militer di Fez maka negara-negara Eropa
ramai-ramai melakukan protes, maka untuk menghindarkan konflik yang lebih besar maka
diadakanlah konvensi yang membahas masalah Maroko tahun 1880 yang dihadiri lima belas
negara Eropa dan Amerika Serikat di Madrid. Hasilnya “Status quo Sultan Maroko harus
dipertahankan dan Maroko tetap menjalankan politik pintu terbuka”. Sejak itu maka banyak
negara berlomba menanamkan modal di Maroko.Mundurnya Perancis dari Fashoda
merupakan tamparan dahsyat bagi Perancis, negara inipun tidak bisa melupakan sakit yang
dirasakan setelah mundur dari Suez pada saat terjadinya perang melaawan rakyat Mesir.
Kekalahan demi kekalahan yang diderita Perancis perlu suatu terapi untuk
menyembuhkannya. Maka tepat yang dapat dilakukan adalah menduduki Maroko. Kalau
Inggris telah menduduki pintu keluar menuju India yaitu Suez, maka Perancis harus
menguasai pintu masuk yaitu Maroko. Disaat Inggris sibuk menghadapi perjuangan bangsa
Boer di Afrika Selatan, Perancis diam-diam melakukan perjanjian dengan Italia yang isinya
“Italia tidak keberatan Perancis di Maroko, sebaliknya Perancis tidak akan menghalangi
keinginan Italia di Tripoli dan Cyrenaica”. Perjanjian ini ditambah tahun 1902 dengan
memasukkan “apabila salah satu negara diserang musuh, maka yang lain akan bersikap
netral”.Langkah Perancis berikutnya adalah melakukan perjanjian dengan Spanyol tahun
1904 dengan intinya “Spanyol mendapatkan pantai utara termasuk Tanjir dan Fez serta
sedikit bagian selatan, selebihnya menjadi milik Perancis”. Perjanjian ini penting bagi
Perancis yang membutuhkan dukungan dari berbagai pihak untuk mewujudkan impian
mendapatkan Maroko lebih-lebih Spanyol berhadapan langsung dengan Maroko dan secara
historis merasa memiliki wilayah ini. Tapi tampaknya Spanyolmasih ragu-ragu untuk
merealisasikan isi perjanjian ini karena takut akan terjadi krisis internasional.Usaha lain yang
sangat penting dilakukan oleh Perancis adalah menerima tawaran Inggris untuk mengakhiri
pertikaian dengan Perancis khususnya mengenai Afrika yang menempatkan kedua negara
besar sebagai musuh bebuyutan. Bagi Perancis yang telah membangun Suez sejak awal dan
harus menelan pil pahit mundur dari Mesir merupakan tamparan yang sangat dahsyat.
Berbagai cara telah dilakukan agar dapat kembali ke Mesir, tapi selalu mengalami kegagalan.
Sedangkan bagi Inggris, Maroko sangat vital. Inggris tidak menginginkan satu negara pun
menguasai wilayah itu. Lebih-lebih kalau yang menguasainya Perancis. Pintu masuk Laut
Tengah menjadi sangat berbahaya. Untuk itu Inggris menempuh jalan damai dengan
Perancis. Maka pada tahun 1904 disepakati “Maroco Egyption Agreement” yang dikenal pula
dengan nama Entente Cordiale. Karena telah terjalin ikatan hati antara kedua negara itu
dengan mengakhiri semua pertentangan. Inti dari perjanjian di atas adalah “Perancis akan
melupakan/melepaskan kepentingan di Mesir, sebagai imbalannya Inggris tidak keberatan
Perancis di Maroko dengan beberapa catatan yaitu tidak boleh ada benteng di Jabaltaruk”.
Sementara Spanyol tetap mendapat Fez sebagaimana perjanjian sebelumnya, Tanjir berada
dibawah pengawasan internasional demi kelancaran pelayaran internasional.Bagi Perancis,
berakhirnya pertentangan dengan Inggris berarti tidak ada kekuatan besar yang akan
menghalanginya lagi di Maroko. Maka sejak itu, Perancis semakin menanamkan pengaruh di
Maroko. Penanaman modal Perancis semakin intensif dan dipihak lain secara bersamaan
keuangan Maroko mengalami kebangkrutan akibat tidak mampu mengelola dengan baik,
maka dengan alasan ini Perancis masuk semakin dalam pada urusan dalam negeri Maroko
seperti mengawasi masalah keuangan, pemerintahaan, keamanan, dan lain-lain.Tindakan
Perancis di Maroko ini mendapat protes dari Jerman. Jerman pun baru mengetahui bahwa
telah terjadi berbagai perjanjian rahasia antara Perancis dengan sekutu-sekutunya. Bagi
Jerman, Maroko tetaplah negara bebas sesuai Perjanjian Madrid tahun 1880. Konflik ini
memuncak dengan adanya kunjungan Kaisar Jerman Eilhem II mengunjungi Tanjirdan
menyatakan mengakui kedaulatan Maroko. Untuk menghindarkan konflik yang lebih besar,
maka Perancis menerima tuntutan Jerman untuk mengadakan konferensi bagi Maroko yang
diikuti oleh negara-negara Perancis, Inggris, Rusia, Jerman, Spanyol, Amerika Serikat, Italia,
dan Australia. Konferensi itu diberi nama konferensi Algeciras tahun 1806. Isinya antara lain:
1) Kedaulatan Sultan Maroko tetap diakui. 2) Masalah kepolisian dan bank nasional dibawah
pengawasan internasional. 3) Maroko tetap menjalankan politik pintu terbuka. 4) Perancis
diperkenankan menjalankan penetrasi damai di Maroko, kecuali pantai utara. 5) Pantai utara
diserahkan pada Spanyol.Sesuai dengan konferensi diatas, maka Perancis memantapkan
kedudukannya di Maroko, tetapi kondisi didalam Maroko sendiri menjadi bergolak karena
munculnya perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Perancis. Pergolakan-pergolakan yang
terjadi dan sikap Perancis menghadapi pergolakan tersebut membuat Jerman masuk kembali
ke masalah Maroko dengan mengakui kemerdekaan Maroko tahun 1808. Akibatnya
pemberontakan-pemberontakan semakin hebat tahun 1911. Ibukota Maroko, Fez dapat
dikepung oleh kaum pemberontak dan tentara Perancis menduduki kota tersebut. Tindakan
ini memaksa Jerman mengirimkan kapal-kapal perangnya ke Maroko yang merupakan
tantangan bagi Perancis dan Inggris. Menurut Inggris, tindakan Jerman tersebut mengancam
perdamaian dunia karena melibatkan tiga negara besar, yaitu Perancis, Jerman, dan Inggris,
tetapi kondisi ini dapat diakhiri dengan perjanjian yang intinya Jerman harus meninggalkan
Maroko dan mengakui kekuasaan Perancis atas Maroko. Sebagai imbalannya, Jerman
mendapatkan sebagian daerah Perancis di Kongo. Dengan berakhirnya krisis Maroko II ini,
maka Perancis makin memantapkan kedudukannya di Maroko dan tahun 1918 Maroko
dijadikan protektorat.

J. Eksplorasi Eropa Dan Akibat Akibatnya Bagi Bangsa Afrika

Benua Afrika sering dikatakan sebagai “The Dark Continent” karena benua Afrika
sebagian besar belum dikenal oleh dunia internasional. Daerah yang dikenal hanya sebagian
kecil Afrika bagian Utara yang letaknya dekat dengan Eropa. Pada zaman Roma kuno
sebagian dari daerah Afrika utara dimasukkan dalam “Imperium Romanum”. Daerah tersebut
dinamakan Africano. Pada awalnya orang orang mengira bahwa daerah ini tidak
berpenduduk, dan hanya didiami oleh binatang buas.Tahun 1453 merupakan tahun yang
penting bagi sejarah dunia, yaitu jatuhnya kota Konstantinopel yang mengakibatkan
runtuhnya perdagangan Eropa karena Sultan Turki menutup Bandar-bandarnya bagi kapal-
kapal kaum Nasrani. Tetapi orang Eropa berusaha mencari jalan lain yang nantinya akan
membawa mereka menuju dunia timur. Dalam usahanya mencari jalan baru maka daerah
Afrika yang tadinya dikatakan masih dalam keadaan gelap berangsur-angsur mulai dikenal
oleh dunia barat. Penjelajahan daerah Afrika pada awalnya dipelopori oleh Portugis dengan
tokoh Bartolomeuz Diaz dan kemudian disusul oleh Vasco da Gama. Setelah sampai
sedemikian jauh daerah Afrika yang telah dikenal oleh dunia barat barulah daerah-daerah
yang letaknya masih ditepi saja. Sedangkan daerah pedalaman masih dalam keadaan “The
Dark Continent”.Daerah Afrika tersebut kemudian diduduki oleh bangsa Eropa dari berbagai
negara seperti: Inggris, Prancis, Jerman, Italia, dan lain-lain. Sedangkan tokoh tokoh
penjelajahanya antara lain adalah: Henry Morthon Staenly, DavidLivingstone, Baker,
Gordon, de Brazza. Berkat aktivitas para penjelajah boleh dikatakan seluruh daerah Afrika
sudah dikenal seluruhnya. Dengan demikian daerah Afrika tidak merupakan dunia gelap atau
“The Dark Continent”. Tetapi dengan dikenalnya seluruh Afrika berarti pula datangnya
bencana bagi orang-orang asli Afrika yaitu datangnya bahaya Imperialisme(penjajahan).
Dengan demikian disadari atau tidak maka para penjelahahpun turut ambil bagian dalam
pembentukan imperialis kapitalis bangsanya. Selain parapenjelajah yang juga berperan disini
adalah para pedagang-pedagang besar.Ditulisan ini penulis akan menyajikan tokoh tokoh
expedisi Afrika beserta dengan hasil-hasilnya seperti arti Expedisi Livingstone: Penemuan
baru hasil dari ekspedisi yang dihasilkan Livingstone dan kawan-kawan sangat berarti besar
bagi pengungkapan Afrika, terlebih setelah terbitnya buku-buku karya Livingstone Cs, yang
membuka mata bangsa Eropa tentang eloknya Afrika. Afrika merupakan sebuah benua baru
dengan sumber kekayaan yang sangat luar biasa sehingga memancing minat bangsa-bangsa
lain untuk menguasainya terutama bangsa barat. Tercatat ada beberapa negara yang berebut
untuk menguasai Afrika, bahkan Afrika yang sangat luas itu nantinya kekuasaannya akan
dibagi-bagi menjadi beberapa bagian sesuai negara yang menguasainya. Berikut adalah
beberapa negara yang berusaha menguasai Afrika: Jerman, Inggris, Belgia, Prancis, dan lain-
lain.Untuk menghindari konflik di Afrika menyangkut perebutan kekuasaan di Afrika maka
terciptalah sebuah konggres di Berlin (Jerman) pada tahun 1885.

Adapun hasil konggres Berlin antara lain adalah;

1. Kongo dalam status Free state dalam penguasaan Belgia, Artinya semua negara
boleh bertindak leluasa akan tetapi harus terbuka untuk perdagangan bebas (Politik pintu
terbuka tetap dijalankan).

2. Para peserta kongres Berlin berjanji untuk melindungi penduduk bumi putera
terutama dibidang kesehatan, moril dan materil.

3. Prancis mendapat bagian daerah di sebelah utara muara sungai Kongo dengan
ibukota Brazzaville.

4. Hak Portugis atas Angola diakui tetapi daerah yang ditambahkan kepada
Mozambiek harus diserahkan kepada Inggris dan kemudian daerah itu disebut dengan
Rhodesia.

5. Antara Inggris dan Jerman dibuat persetujuan yang mengatur bahwa Zanzibar
diserahkan pada Inggris dan ditukar dengan pulau Helgolandia yang letaknya dekat dengan
Jerman.
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, A. H., Tanjung, F., & Diansyah, A. (2019). The Dark Continent: Sejarah
Afrika. Yayasan Kita Menulis.

Anda mungkin juga menyukai