Disusun Oleh :
Wardah : 322232100
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Ibu
Lister Eva Simangunsong, M.A pada bidang studi Sejarah Sumatera Utara. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Kerajaan Kuno di India bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang Kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
A. Latar Belakang........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................5
C. Tujuan Penulisan Makalah.....................................................................................................6
BAB II........................................................................................................................................7
PEMBAHASAN........................................................................................................................7
1. Latar Belakang Masuknya Kolonialisme di Sumatera Utara.............................................7
2. Berlangsungnya perkebunan dan kristenisasi di Sumatera Utara....................................11
3. Struktur sosial dan Kehidupan masyarakat pada masa kolonial Sumatera Utara..........17
BAB III.....................................................................................................................................18
PENUTUP................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kota yang saat ini ada tidaklah sama dengan kota sebelum masuknya pengaruh
Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda ke Sumatra Timur di akhir abad ke-19. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Kota adalah daerah pusat pemerintahan, ekonomi, dan kebudayaan. 1
Kota yang dimaksud sebelum masuknya pemerintah kolonial adalah peLabuan. Terdapat
banyak kota pelabuan di Sumatra Timur seperti Tanjung Pura di Kesultanan Langkat, Labuan
Deli di Kesultanan Deli, Rantau Panjang di Kesultanan Serdang, Tanjung Beringin di
Kerajaan Bedagai, Bandar Khalifah di Kerajaan Padang, Tanjung Balai di Kesultanan
Asahan, serta Siak Sri Indrapura di Kesultanan Siak. Kotakota tradisional tersebut mundur
seiring dengan masuknya pemerintah kolonial Belanda ke Sumatra Timur yang menguasai
Sumatra Timur melalui usaha perkebunan. Deli merupakan daerah pertama yang di kuasai
pemerintah kolonial Belanda. Seiiring perkembangan perkebunan di Deli pusat kota pun
berpindah dari Labuan Deli ke Medan saat ini.2
Sumatera Utara adalah salah satu daerah yang didiami oleh masyarakat yang multietnis.
1
Hal ini tampak dari banyaknya suku yang beragam yang ada di provinsi ini misalnya suku
Batak Toba, Melayu, Jawa, Pak-pak, Angkola, Nias dan Simalungun dan sebagainya.
Sumatera Utara juga merupakan salah satu wilayah yang di dalamnya didiami oleh berbagai
suku bangsa yang menyebar di seluruh daerah di Sumatera Utara mulai dari kota sampai ke
pelosok desa atau dusun. Sebagian besar suku-suku itu adalah penduduk asli namun ada juga
yang didatangkan dari luar Sumatera Utara pada saat pembukaan perkebunan di Sumatera
salah satunya di Simalungun. Daerah ini membutuhkan jumlah tenaga kerja yang relative
11
Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 528.
2
Mohammad Said, Suatu Zaman Kegelapan di Deli Koelie Kontrak Tempo Doeloe Dengan Derita dan
Kemarahannya (Medan: Harian Waspada Medan, 1990), hlm. 8.
3
Ibid.
banyak dan membutuhkan pekerjapekerja yang terampil dan berkemauan keras untuk maju di
dalam bidangnya. Hal karakter pada masyarakat simalungun yang terkadang tidak suka diatur
inilah yang membuat para penjajah mendatangkan para pekerja yang tekun, bisa diatur, dan
tidak banyak berontak. Pada awal pembukaan perkebunan, ada kesulitan bagi Belanda
mendapatkan tenaga kerja untuk menggarap perkebunan tersebut
Karakter orang Simalungun bukan tipe buruh dan tidak bisa diandalkan menjadi seorang
kuli dalam perkebunan tersebut. Orang Simalungun sudah terbiasa dengan kehidupan yang
mengikuti aroma alamnya yang begitu subur untuk hidup. Untuk menggarap perkebunan
tersebut. Belanda mendatangkan orang Jawa dimana orangnya tekun, mudah diatur serta
tidak banyak tuntutan.
Selanjutnya Belanda mendatangkan orang Jawa dari Pulau Jawa yang dikordinir dengan
orang Belanda yang sudah lebih dulu menjajah disana. Pembukaan perkebunan ini
melahirkan adanya pendatang (migrant) baru ke Simalungun. Semakin banyak perkebunan
yang di buka di Simalungun, semakin banyak orang Jawa yang didatangkan. Para migranpun
sadar akan harapan-harapan yang realistic yang dijanjikan di daerah ini. Salah satu di
antaranya adalah etnis Jawa. Etnis ini sangat terkenal karena memiliki budaya merantau dan
telah lama memiliki kehidupan yang lebih baik di daerah perantauan.
Menurut Pelly (1994:8) “Gejala perpindahan atau migrasi sebenarnya bukanlah gejala
yang aneh dalam masyarakat”. Telah banyak dilakukan kajian tentang berbagai corak migrasi
dan adaptasi di zaman modern ini. Berbagai teoripun telah pula diajukan tentang sebab-sebab
terjadinya proses tersebut. Kajian ini memperkenalkan konsep akademis mengenai dinamika
“daya dorong” dan “daya tarik”. Dikatakan bahwa penduduk dari wilayah yang minus dalam
pengertian ekonomis dan nonekonomis bisa terdorong untuk mendekati wilayah yang
mempunyai daya tarik yang kuat karena dapat menjanjikan kehidupan yang lumayan secara
ekonomis maupun secara sosial politik. Berbagai ragam penderitaan, ekonomis dan kultural
tak jarang harus dialami sebelum rasa ketenteraman didapatkan.
B. Rumusan Masalah
Kedatangan bangsa Eropa pertama kali ke Medan, dapat dicatat dengan kehadiran Jhon
andersor seorang berkebangsaan Inggris yang melakukan (kunjungan ke Kampung Medan
tahun 1823. Dalam bukunya Mission to the East Coast of Sumatera dicatat bahwa penduduk
Kampun Medan pada waktu itu masih berjumlah 200 orang, tapi dia hanya melihat penduduk
yang berdiam di pertemuan antara dua sungai tersebut, 'Anderson menyebutkan dalam
bukunya (diterbitan di Edinburg, 1826) bahwa sepanjang Sungai Deli hingga ke dinding
tembok ' Mesjid Kampung Medan di bangun dengan batu-batu granit berbentuk bujur
sangkar. Batu-batu ini diambil dari sebuah Candi Hindu Kuno di Jawa.
Secara politis, penjajahan itu dapat terjadi akibat Perjanjian London yang ditandatangani
tahun 1824 oleh Inggris dan Belanda yang membagi wilayah di kedua sisi Selat Malaka.
Dalam Perjanjian itu, Inggris menyerahkan kepada Belanda wilayah-wilayah miliknya di
Sumatra (yang paling besar adalah Bengkulu di pesisir barat, di selatan Padang) dan berjanji
tidak akan menetap di Sumatra atau berhubungan dengan salah satu pemimpin di Sumatra. Di
lain pihak, Belanda menyerahkan Melaka serta wilayah-wilayah jajahannya di India kepada
Inggris dan berjanji tidak akan menjalin hubungan dengan para pemimpin Melayu di
Semenanjung Melayu. Di Sumatra, hanya Aceh yang untuk sementara lepas dari lingkup
pengaruh Barat.
Setahun setelah penandatanganan perjanjian Acte van Verband, tepatnya pada 5 Maret
1863, Netscher kembali melakukan perjanjian tambahan dengan Sultan Mahmud Perkasa
Alam. Ketentuan yang termuat dalam perjanjian tambahan tersebut antara lain bahwa tanah-
tanah di Deli tidak akan diperjualbelikan kepada orang-orang Eropa dan orang-orang asing
lainnya (Nurhamidah, 2004: 15). Dengan demikian, tanah Deli hanya boleh diperjualbelikan
dengan pemerintah kolonail Belada saja. Adanya perjanjian ini, membuat posisi pemerintah
kolonial semakin kuat karena orang-orang asing lainnya tidak dibenarkan mendapatkan tanah
di wilayah ini. Untuk memperkuat kedudukannya di Deli, pemerintah kolonial Belanda
kemudian membangun kantor perwakilannya di wailayah tersebut. Oleh sebab itu,
ditempatkanlah kontrolir J. A. M. de Cats Baron de Raet di Labuhan (Ibukota Kerajaan Deli),
sebagai perwakilan pemerintah kolonial Belanda di Deli (Nurhamidah, 2005: 19). Dengan
ditandatanganinya Acte van Verband oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam, sejak saat itu pula
pemerintah kolonial Belanda mulai melakukan kontrak politik dan memulai eksploitasinya di
wilayah Deli.
Dengan Akta Perjanjian itu pula Belanda semakin mudah mengontrol dan mendikte
sultan sesuai kemauan politiknya. Setelah penandatanganan Acte van Verband seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, Labuhan mulai dilirik untuk dijadikan wilayah perkebunan
tembakau. Pada 1863, seorang pengusaha perkebunan berkebangsaan Belanda di Surabaya,
Jacobus Nienhuys, sampai di Deli atas ajakan seorang keturanan Arab yang mengaku
pangeran Deli, Said Abdullah Ibn Umar Bilsagih. Dalam ajakannya, Abdullah menyatakan
bahwa wilayah Deli sangat cocok untuk perkebunan tembakau. Atas bantuan Abdullah,
Nienhuys kemudian berhasil mendapatkan konsesi tanah dari Sultan Mahmud Perkasa Alam
untuk penanaman tembakau di wilayah Deli (Pelzer, 1985: 55). Daerah konsesi yang pertama
untuk penanaman tembakau terletak di tepi sungai Deli yaitu seluas 4.000 bau (bouw).
Konsesi ini diberikan selama 20 tahun. Selama 5 tahun pertama Nienhuys dibebaskan dari
pembayaran pajak dan sesudah itu baru membayar f 200 setahun (Wie, 1977: 3). Dalam
perkembangnnya, usaha perkebunan tembakau Nienhuys di Labuhan Deli terbilang berhasil.
Lahan yang digunakan oleh Nienhuys di wilayah tersebut mampu menghasilkan daun
tembakau berkualitas tinggi sebagai pembungkus cerutu yang halus. Sehingga harga yang
ditetapkan untuk tembakau dari Deli cukup tinggi di pasar dunia. Keberhasilan ini lantas
dimanfaatkan Nienhuys untuk memperluas lahan perkebunan tembakaunya dengan
menyusuri sungai Deli ke hulu hingga dia sampai ke sebuah kampung di pertemuan sungai
deli dan sungai Babura. Kampung tersebut ialah Kampung Medan Putri (Anderson, 1971:
273). Kemudian Nienhuys merasa tertarik untuk menetap di kampung tersebut. Maka pada
1869, Nienhuys memindahkan kantor perusahaanya, Deli Maatschappij, dari Labuhan ke
Medan, karena letak Jurnal Sejarah – Vol. 1/2 (2018): 65 - 83 | 68 Medan yang lebih tinggi
dari Labuhan dapat terhindar dari banjir. Alasan lain karena Medan sendiri pada waktu itu
masih penuh dengan hutan sehingga cukup mudah untuk melakukan perluasan lahan
perkebunan tembakau.
C. Pendidikan
Pendidikan sudah dimulai sejak adanya manusia. Pendidikan itu diperoleh dari
keluarga masyarakat sekelilingnya. Perkembangan pendidikan saat ini ini tidak bisa
dilepaskan dari perkembangan pendidikan yang terjadi dimasa lampau. Dimana
pendidikan sisa-sisa zaman kolonial itu masih ada di zaman sekarang. Perkembangan
pendidikan dizaman pra kolonial dan ketika zaman kolonial yang mampu melahirkan
kaum Intelektual muda Indonesia yang menjadi tokoh sentral dalam pergerakan
kebangsaan Indonesia Pada awal abad ke 20 ada keinginan dari golongan orang
Belanda untuk mengubah cara penjajahannya di Indonesia, golongan ini menyebut
dirinya sebagai kelompok etika, pelopornya adalah Van Deventer. Politik Etika ini
terdengar pengaruhnya terasa juga terasa sampai ke daerah jajahan Belanda di
Sumatera Utara. Penghidupan para karyawan yang sangat sengsara menyebabkan
seringnya terjadi kerusuhan di perkebunan-perkebunan Belanda, bukan hanya para
karyawan yang tidak senang terhadap pemerintah Belanda tetapi juga penduduk
setempat. Akibat seringnya terjadi kerusuhan yang dilakukan oleh penduduk di
perkebunan maka, hal ini menimbulkan kerugian pada pihak Belanda sebagai
pengusaha perkebunan. Kerusuhan ini harus dihentikan oleh Belanda untuk menjamin
keberlangsungan para penanam modal asing yang menanamkan modalnya di
perkebunan di Sumatera Timur. Sekolah-sekolah dibuka juga bukan hanya karena
banyak orang yang berhaluan etika tetapi karena kebutuhan akan pegawai rendahan
yang mendesak untuk dipekerjakan di perkebunan. Kurikulum yang digunakan
hanyalah membaca, menulis dan berhitung saja, hanya berupa pengetahuan yang
paling dasar dan sederhana.Setelah Sumatera Timur diduduki oleh tentara Jepang
pada permulaan tahun 1942, maka berakhirlah pemerintahan Belanda di Sumatera
Timur. Sekolah yang menggunakan bahasa Belanda seperti voolkschool,
vervogschool, H.I.S, E.L.S., Standart School sebagai bahasa pengantarnya dihapuskan
dan diganti dengan sekolah system pendidikan Jepang.
D. Agama
Banyak anggapan umum yang mengidentikkan ‘agama Batak’ dengan Kristen
Protestan. Bahkan ada ungkapan ‘kemana pun Orang Batak pergi ia akan selalu
membawa gerejanya’. Anggapan ini turut dibuktikan dengan tersebarnya gereja Batak
Protestan seperti HKBP, HKI, GKI dsb di seantero Indonesia.
Namun, sejarah masuknya Kristen di Batak tidak muncul semata-mata dari
dinamika internal masyarakat Batak itu sendiri, tetapi juga melalui upaya Kristenisasi
dari pihak kolonial Belanda yang berkali-kali bergesekan dengan politik kekuasaan
lokal di Batak. Upaya Kristenisasi kolonial untuk mengkristenkan Batak secara total
gencar terlaksana dengan datangnya missionaris RMG (Rheinische
Missionsgesellschaft) Jerman bernama Ludwig Ingwer Nommensen.
Nommensen dikenal sebagai ‘rasul orang Batak’ dan ia bisa disebut sebagai tokoh
kunci dalam perubahan agama, kebudayaan, dan tradisi Batak. Nama Nommensen
sendiri cukup dikenal di Sumatera Utara karena ialah yang membawa modernisasi ke
Batak. Ia seringkali digambarkan sebagai misionaris yang menyelamatkan Batak dari
kegelapan masyarakat pagan yang kanibal dan misterius.
Untuk lebih dalam melihat sejarah Agama Batak, Jan S Aritonang dalam Sejarah
Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2004) menyebutkan pentingnya tahun
1818 sebagai momen pembuka dinamika agama di Batak. Pada tahun itu, kelompok
‘Islam puritan’ yang disebut golongan Padri melakukan ekspansi besar-besaran di
Batak dibawah komando Tuanku Nan Receh dan menyebarkan Islam ke tanah Batak
dengan jalan pedang.
Pasukan Padri membantai orang Batak yang enggan menukar agama mereka
dengan Islam. Bahkan Sisingamangaraja X meninggal di tangan pasukan Padri.
Pasukan Padri hanya takluk oleh wabah penyakit di pusat kekuasaan Raja Batak yang
disebabkan oleh mayat-mayat manusia korban perang yang berserakan dan
membusuk. Ekpansi Padri megislamkan pusat Batak gagal, sehingga pada 1820
pasukan Padri bergerak ke selatan dan secara berangsur-angsur mengislamkan daerah
Sipirok, Angkola, Natal, dan Mandailing.
Tak lama setelah pasukan Padri hengkang dari pusat wilayah Batak, pada tahun
1834 dua misionaris dari Gereja Baptis Amerika bernama Samuel Munson dan Henry
Lyman mencoba mengkristenkan orang Batak yang masih beragama Sipelebegu.
Namun kedatangan dua misionaris itu tidak diterima dengan baik. Malangnya, mereka
dibunuh karena rasa trauma dakwah agama pada masa datangnya pasukan Padri.
Dalam versi yang lebih ekstrem yang sering dikisahkan dalam cerita lokal Kristen
Batak, mayat kedua penginjil tersebut dibawa ke pasar dan dimakan oleh penduduk
lokal.
Dengan latar belakang seperti itu, diaturlah rencana matang pembagian wilayah
pada tahun 1861 antara Zending Ermelo dan Zending RMG. Pembagian wilayah
mempertimbangkan mana kelompok masyarakat yang masih beragama lokal dan
mana yang beragama Islam. Kecenderungan para penginjil kolonial awal lebih
mengutamakan orang Batak yang masih beragama Sipelebegu. Untuk memuluskan
misi kristenisasi di Tanah Batak dari gangguan pasukan Padri yang telah berkembang
di Sumatra, pemerintah Hindia Belanda menciptakan segregasi wilayah untuk
memisahkan Aceh dan Sumatera Barat dari Batak (Sumatera Utara). Batak dengan
demikian harus menjadi wilayah di bawah monopoli pemerintahan Hindia Belanda.
E. Politik
Daendels atau Raffles sudah meletakkan dasar pemerintahan yang modern. Para
Bupati dijadikan pegawai negeri dan digaji, padahal menurut adat istiadat kedudukan
bupati adalah turun temurun dan mendapat upeti dari rakyat. Bupati dijadikan alat
kekuasaan pemerintah kolonial. Pamong praja yang dahulu berdasarkan garis
keturunan sekarang menjadi sistem kepegawaian.Jawa dijadikan tempat pusat
pemerintahan dan membaginya menjadi wilayah perfektuf.Belanda dan Inggris
melakukan intervensi terhadap persoalan kerajaan, contohnya tentang pergantian tahta
kerajaan sehingga imperialis mendominasi politik di Indonesia. Yang mengakibatkan
peranan elite kerajaan berkurang dalam politik, dan kekuasaan pribumi bahkan bisa
runtuh.Hukum yang dulu menggunakan hukum adat diubah menggunakan sistem
hukum barat modern.Kebijakan yang diambil raja dicampuri Belanda.
Perubahan dalam politik pemerintahan kembali terjadi akibat kebijakan politik
Pax Nederlanica di akhir abad 19 menuju awal abad 20. Jawa menjadi pusat
pemerintahan dan membaginya menjadi wilayah perfektuf. Selain itu, sistem
pemerintahan di Indonesia sekarang merupakan warisan dari penerapan ajaran Trias
Politica yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam badan yudikatif di
struktur tersebut, pemerintahan kolonial Belanda membagi badan peradilan menjadi
tiga macam berdasarkan golongan masyarakat di Hindia-Belanda. Badan peradilan
tersebut terdiri dari peradilan untuk orang Eropa, peradilan orang Timur Asing, dan
peradilan orang pribumi. Dalam badan legislatif, pemerintah kolonial Belanda
membentuk Volksraad atau Dewan Rakyat pada tahun 1918.
Suku Batak adalah salah satu suku di Indonesia yang mempertahankan kebudayaanya
Mereka memegang teguh tradisi dan adat. Pada masa lampau orang Batak tidak suka terhadap
orang luar (Barat/sibottar mata) kerena mereka dianggap sebagai penjajah. Selain itu, ada
paham bagi mereka bahwa orang yang berada di luar suku mereka adalah musuh, sebab masa
itu sering terjadi perang antar suku. Sebelum kristen masuk, suku Batak adalah penganut
kepercayaan . Kehidupan agamanya bercampur, antara menganut kepercayaan Animisme,
Dinamisme dan Magi. Ada banyak nama dewa atau begu (setan) yang disembah, seperti begu
djau (dewa yang tidak dikenal orang), begu antuk (dewa yang memukul kepala seseorang
sebelum ia mati), begu siherut (dewa yang membuat orang kurus tinggal kulit), dan lainnya.
Suku Batak hidup dengan bercocok tanam, berternak hewan dan berladang. Mereka
menjual hasil dari perternakan dan cocok tanam ke pasar (onan) pada hari tertentu. Di pasar
mereka melakukan transaksi untuk keperluan sehari-hari seperti membeli beras, garam,
tembakau, dan lainnya.
Keadaan yang dinamis ini, sering terusik oleh permusuhan antara satu kampung dengan
kampung lainya. Tidak jarang permusuhan berakibat pembunuhan dan terjadi saling balas
dendam turun-temurun. Jika di kampung terjadi wabah, seperti pes dan kolera, mereka akan
meminta pertolongan Raja sisingamangaraja yang berada di Bakkara. kemudian datang dan
melakukan upacara untuk menolak "Bala" dan kehancuran.
Hampir semua roda kehidupan orang Suku Batak dikuasai oleh aturan-aturan adat yang
kuat. Sejak mulai lahirnya seorang anak, beranjak dewasa, menikah, memiliki anak hingga
meninggal harus mengikuti ritual-ritual adat.
-sosial
Pembukaan perkebunan deli oleh jacob nienhyus membawa banyak masayarakat asing datang
ke sumatera timur diantaranya ada beberapa etnis yaitu:
1.cina
2.melayu
3.jawa
Orang dari etnis tersebut dibawa untuk dijadikan buruh perkebunan di sumatera kehidupan
sosial masyarakat jawa dan cina sangat berbeda dari cara mereka diperlakukan hal ini bisa di
lihat dari barak perkebunan orang jawa yang kumuh, kotor dan kesehatannya yang tidak
terjaga
(Barak/tempat tinggal buruh jawa)
Sangat berbeda jika melihat barak/tempat tinggal buruh yang didatangkan dari cina
tempatnya bersih, rapi dan kesehatannya terjaga
(barak/tempat tinggal buruh cina)
Perbedaaan tempat tinggal menyebabkan adanya perbedaaan kelas sosial dimana kelas atas di
isi oleh orang eropa atau pemilik perkebunan, kelas kedua diisi oleh orang timur/pendatang
contohnya orang orang cina dan jepang selanjutnya adalah kelas bawah yang dihuni oleh
orang orang pribumi dan india(rosmaida:128).
Nasib perempuan pada masa kolonialisme sangat tragis dan menyedihkan contohnya
terjadinya pergundikan dalam perkebunan yang melibatkan antara laki-laki eropa dan kuli
perempuan yang menjadi nyainya Hubungan yang terjalin atas dasar kekuasaan laki-laki kulit
putih ini lebih buruk dari yang terjadi di tengah masyarakat sipil dan tangsi. Para nyai
seringkali memperoleh hukuman dan siksaan yang kejam apabila tidak menuruti kemauan
tuannya. Pergundikan di tangsi dan perkebunan akan membawa akhir yang tidak lebih baik
daripada pergundikan di kalangan sipil(hendra:144). Para nyai yang ditinggal oleh tuannya
kembali ke belanda tidak mempunyai pilihan selain menjadi pelacur di barak barak buruh hal
ini menyebabkan banyaknya jumlah wanita yang hamil di luar pernikahan.
-budaya
Setelah mendapatkan gaji dari mandor perkebunan maka para buruh pribumi akan langsung
dihabiskan pada malam setelah gajian hal itu disebut dengan “malam keramaian” pada malam
itu dilakukan kegiatan kehiburan bagi para buruh seperti adanya acara kesenian, perjudian,
pelacuran sampai candu berupa opium. Setelah malam tersebut maka uang gaji mereka akan
habis dan mereka tidak punya pilihan selain memperpanjang kontrak mereka untuk
mendapatkan uang(yasmis:2007)
-ekonomi
Pembagian gaji oleh buruhpu memiliki perbedaan yang cukup signifikan seperti berikut:
Dimana perbedaan dari kedua etnis sangat berbeda upah pribumi lebih sedikit dari pada upah
buruh cina upah buruh pribumi sekitar 0,29-0,46 rupiah pada 1910, pada 1913 upah pribumi
naik jadi 0,30-0,50 rupiah. Dikarenakan upah pribumi begitu kecil dan sering habis di malam
keramaian maka untuk menghidupi kebutuhan sehari hari maka banyak buruh pribumi yang
berhutang di kedai kedai yang didirikan oleh para mandor lalu jika hutang tidak dibayar
mereka dipaksa kerja tanpa mendapatkan upah mereka sehingga mengikat mereka dalam
kontrak yang tidak pernah berakhir.
-kepercayaan
Kepercayaan masyarakat asli sumatera utara awalnya adalah kepercayaan terhadap nenek
moyang tetapi terjadinya kristenisasi di sumatera yang dibawa oleh zending dari belanda
menyebarkan agama kristen di sumatera utara tetapi ada juga kepercayaan yang sudah ada
pada masa kerajaan islam dan hindu budha serta kepercayaan yang di bawa oleh orang cina
dan india ke sumatera utara menambah banyaknya kultur di sumatera utara.
-kesehatan
Kehigenisan dan kesehatan masayarakat sumatera utara kurang terjaga di tanah karo pada
masa itu gaya hidup sehat tidak terjaga kebiasaan masyarakat karo yang tidak mencuci tangan
saat makan, memakan makanan mentah, dan sanitasi yang buruk tanah karo pernah
mengalami wabah lepra/kusta yang melanda tanah karo keterbelakangan pikiran dan
kebiasaan masyarakat yang sering berkumpul dan makan bersama membuat penyebaran
wabah semakin cepat(eva:37).
Bukannya mencari cara untuk menyembuhkan wabah masyarakat karo malah mengasingkan
orang oarang yang terkena lepra dan mengusirnya sehingga berisiko untuk menyebar lebih
jauh lagi. Pemerintah kolonial melihat hal ini segera membuat kebijakan dengan membangun
tempat isolasi sementara dan membangun rumah sakit khusus kusta lau simomo dalam
penegahan dan pengobatan lepra.
BAB III
PENUTUP
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan
dalam makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya
pengetahuan kurangnya yang kami peroleh hubungannya dengan makalah ini. Penulis
banyak berharap kepada para pembaca yang budiman memberikan kritik saran yang
membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis para pembaca khusus pada penulis.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.idntimes.com/travel/destination/nurul-chairina/keindahan-bangunan-kolonial-
belanda-di-medan-c1c2/7
http://repositori.kemdikbud.go.id/14187/1/Sejarah%20perlawanan%20terhadap%20kolonialisme
%20dan%20imperialisme%20di%20sumatera%20utara.pdf
https://gapki.id/news/2314/pulau-sumatera-feeding-world-dan-reforestasi-melalui-kebun-sawit
https://sumutprov.go.id/artikel/artikel/perkebunan-dan-kehutanan
https://aceh.tribunnews.com/2019/07/04/narasi-tentang-sejarah-perkebunan-di-sumut
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kekristenan_di_Sumatra_Utara
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sejarah_masuknya_Kekristenan_ke_suku_Batak
https://ojs.uma.ac.id/index.php/agrica/article/view/1159
https://ojs.unud.ac.id/index.php/JAA/article/view/67664
Rosmaida Sinaga, kolonialisme belanda dan multikulturalisme masyarakat kota medan, yayasan kita
menulis, 2020
Hendra kurniawan, Historia Vitae:seri pengetahuan sejarah, majalah ilmiah vol 28, issn 0215-8809,
universitas sanata dharma
Yasmis, tesis: kuli kontrak di perkebunan tambakau deli-sumatera timur tahun 1880-1915, 2007
Lister eva simangunsong, sejarah epidema lepra di tanah karo, penerbit ombak, 2019