Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

MASUK DAN BERKEMBANGNYA KOLONIALISME KE SUMATERA


UTARA, BERLANGSUNGNYA PERKEBUNAN DAN KRISTENISASI
DI SUMATERA UTARA SERTA STRUKTUR SOSIAL DAN
KEHIDUPAN MASYARAKAT PADA MASA KOLONIAL

Dosen Pengampu Sejarah Sumatera Utara:


Lister Eva Simangunsong, M.A

Disusun Oleh :

Febiola Elisabeth Sembiring : 3223121035

Wardah : 322232100

M Anas Azhar Rambe : 3213121019

Gabriel Novrian : 3221121020

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas  dari Ibu
Lister Eva Simangunsong, M.A  pada bidang studi Sejarah Sumatera Utara. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Kerajaan Kuno di India bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Lister Eva Simangunsong, M.A  ,


selaku Dosen Sejarah Sumatera Utarayang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang Kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Medan, November 2021

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
A. Latar Belakang........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................5
C. Tujuan Penulisan Makalah.....................................................................................................6
BAB II........................................................................................................................................7
PEMBAHASAN........................................................................................................................7
1. Latar Belakang Masuknya Kolonialisme di Sumatera Utara.............................................7
2. Berlangsungnya perkebunan dan kristenisasi di Sumatera Utara....................................11
3. Struktur sosial dan Kehidupan masyarakat pada masa kolonial Sumatera Utara..........17
BAB III.....................................................................................................................................18
PENUTUP................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kota yang saat ini ada tidaklah sama dengan kota sebelum masuknya pengaruh
Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda ke Sumatra Timur di akhir abad ke-19. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Kota adalah daerah pusat pemerintahan, ekonomi, dan kebudayaan. 1
Kota yang dimaksud sebelum masuknya pemerintah kolonial adalah peLabuan. Terdapat
banyak kota pelabuan di Sumatra Timur seperti Tanjung Pura di Kesultanan Langkat, Labuan
Deli di Kesultanan Deli, Rantau Panjang di Kesultanan Serdang, Tanjung Beringin di
Kerajaan Bedagai, Bandar Khalifah di Kerajaan Padang, Tanjung Balai di Kesultanan
Asahan, serta Siak Sri Indrapura di Kesultanan Siak. Kotakota tradisional tersebut mundur
seiring dengan masuknya pemerintah kolonial Belanda ke Sumatra Timur yang menguasai
Sumatra Timur melalui usaha perkebunan. Deli merupakan daerah pertama yang di kuasai
pemerintah kolonial Belanda. Seiiring perkembangan perkebunan di Deli pusat kota pun
berpindah dari Labuan Deli ke Medan saat ini.2

Nienhuys merupakan orang pertama yang membuka perkebunan di Sumatra Timur. Ia


datang ke Deli tahun 1863 untuk menetap di Deli sebagai pengusaha dan menjadi peletak
dasar budidaya tembakau yang membuat Deli mendapat julukan “Dollar Land” di Eropa.
Tahun 1864 hasil pertama perkebunan tembakau dikirim ke Belanda. Tembakau dari Deli
membuat para spesialis tembakau terkesan karena kualitasnya yang istimewa. Ini menjadi
awal perkembangan perkebunan tembakau di Deli. Nienhuys, Cremer, dan Janssen
bekerjasama dengan meminjam modal dari Nederlandsche HandelMaatschappij (NHM) yang
selanjutnya membentuk perseroan terbatas yang dikenal dengan Deli Maatschappij.3 Hal ini
menjadi awal perkembangan kota Medan sekarang dan menjadi awal kemunduruan Labuan
Deli sebagai kota tradisional masa itu. Deli Maatschappij adalah perusahaan kolonial Belanda
yang banyak membangun fasilitas- fasilitas umum di Deli, seperti peLabuan, rumah sakit,
gedung-gedung perkantoran, jalan raya, jalur kereta api, dan lain sebagainya.

Sumatera Utara adalah salah satu daerah yang didiami oleh masyarakat yang multietnis.
1

Hal ini tampak dari banyaknya suku yang beragam yang ada di provinsi ini misalnya suku
Batak Toba, Melayu, Jawa, Pak-pak, Angkola, Nias dan Simalungun dan sebagainya.
Sumatera Utara juga merupakan salah satu wilayah yang di dalamnya didiami oleh berbagai
suku bangsa yang menyebar di seluruh daerah di Sumatera Utara mulai dari kota sampai ke
pelosok desa atau dusun. Sebagian besar suku-suku itu adalah penduduk asli namun ada juga
yang didatangkan dari luar Sumatera Utara pada saat pembukaan perkebunan di Sumatera
salah satunya di Simalungun. Daerah ini membutuhkan jumlah tenaga kerja yang relative

11
Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 528.

2
Mohammad Said, Suatu Zaman Kegelapan di Deli Koelie Kontrak Tempo Doeloe Dengan Derita dan
Kemarahannya (Medan: Harian Waspada Medan, 1990), hlm. 8.

3
Ibid.
banyak dan membutuhkan pekerjapekerja yang terampil dan berkemauan keras untuk maju di
dalam bidangnya. Hal karakter pada masyarakat simalungun yang terkadang tidak suka diatur
inilah yang membuat para penjajah mendatangkan para pekerja yang tekun, bisa diatur, dan
tidak banyak berontak. Pada awal pembukaan perkebunan, ada kesulitan bagi Belanda
mendapatkan tenaga kerja untuk menggarap perkebunan tersebut

Karakter orang Simalungun bukan tipe buruh dan tidak bisa diandalkan menjadi seorang
kuli dalam perkebunan tersebut. Orang Simalungun sudah terbiasa dengan kehidupan yang
mengikuti aroma alamnya yang begitu subur untuk hidup. Untuk menggarap perkebunan
tersebut. Belanda mendatangkan orang Jawa dimana orangnya tekun, mudah diatur serta
tidak banyak tuntutan.

Selanjutnya Belanda mendatangkan orang Jawa dari Pulau Jawa yang dikordinir dengan
orang Belanda yang sudah lebih dulu menjajah disana. Pembukaan perkebunan ini
melahirkan adanya pendatang (migrant) baru ke Simalungun. Semakin banyak perkebunan
yang di buka di Simalungun, semakin banyak orang Jawa yang didatangkan. Para migranpun
sadar akan harapan-harapan yang realistic yang dijanjikan di daerah ini. Salah satu di
antaranya adalah etnis Jawa. Etnis ini sangat terkenal karena memiliki budaya merantau dan
telah lama memiliki kehidupan yang lebih baik di daerah perantauan.

Menurut Pelly (1994:8) “Gejala perpindahan atau migrasi sebenarnya bukanlah gejala
yang aneh dalam masyarakat”. Telah banyak dilakukan kajian tentang berbagai corak migrasi
dan adaptasi di zaman modern ini. Berbagai teoripun telah pula diajukan tentang sebab-sebab
terjadinya proses tersebut. Kajian ini memperkenalkan konsep akademis mengenai dinamika
“daya dorong” dan “daya tarik”. Dikatakan bahwa penduduk dari wilayah yang minus dalam
pengertian ekonomis dan nonekonomis bisa terdorong untuk mendekati wilayah yang
mempunyai daya tarik yang kuat karena dapat menjanjikan kehidupan yang lumayan secara
ekonomis maupun secara sosial politik. Berbagai ragam penderitaan, ekonomis dan kultural
tak jarang harus dialami sebelum rasa ketenteraman didapatkan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Latar Belakang Masuknya Kolonialisme di Sumatera Utara?


2. Bagaimana Berlangsungnya Perkebunan Dan Kristenisasi di Sumatera Utara? ?
3. Bagaimana Struktur Sosial dan Kehidupan Masyarakat pada masa Koloniel ?
C. Tujuan Penulisan Makalah

1. Agar Mengetahui Latar Belakang Masuknya Kolonialisme di Sumatera Utara


2. Agar Mengetahui bagaimana berlangsung nya perkebunan dan kristenisasi di
Sumatera Utara
3. Agar Mengetahui struktur sosial dan kehidupan pada masa kolonial di Sumatera Utara
BAB II
PEMBAHASAN

1. Latar Belakang Masuknya Kolonialisme di Sumatera Utara


Sejarah mencatat, bangsa Barat menjelajah ke belahan bumi lain sejak abad ke-15
Masehi, termasuk sampai ke Nusantara atau Indonesia. Penjelajahan samudera oleh orang-
orang Eropa ini kemudian menjadi penaklukan dan penjajahan atau kolonialisme bahkan
imperialisme. Portugis menjadi bangsa Eropa pertama yang berlayar hingga ke Kepulauan
Nusantara. Alfonso de Albuqueque memimpin sekitar 18 kapal yang mengangkut 1.200
orang. Rombongan Portugis ini menaklukkan Malaka pada 1511, lalu menyasar Maluku pada
1512. Dari sini, sejarah kolonialisasi di Indonesia bermula.

Rempah-rempah menjadi alasan utama Portugis menyambangi Nusantara. Capaian


Portugis ini kemudian diikuti oleh kerajaan tetangga, Spanyol. Di Maluku, Portugis dan
Spanyol terlibat konflik. Portugis bersekutu dengan Kerajaan Ternate melawan Spanyol yang
merangkul Kerajaan Tidore. Tak hanya Spanyol dan Portugis, penjelajahan samudera yang
menjelma menjadi kolonialisme dan imperalisme itu nantinya juga diikuti oleh bangsa-
bangsa Eropa lainnya, termasuk Belanda, Perancis, Inggris, Italia, Belgia, hingga Jerman.
Apa latar belakang bangsa Eropa melakukan penjelajahan samudera? Salah satu penyebab
utamanya adalah jatuhnya Konstatinopel pada 1453, dari Kekaisaran Bizantium atau Romawi
Timur ke Kesultanan Turki Usmani di bawah pimpinan Sultan Mehmed II. Penaklukan
Konstantinopel (sekarang Istanbul) menjadi salah satu tonggak peristiwa penting yang
mengubah sejarah peradaban manusia: penjelajahan bangsa-bangsa Eropa.

Di Sumatra Utara, kehadiran kolonisasi Barat dalam bentuk militer, administrasi,


keagamaan dan ekonomi, berlangsung melalui tiga daerah berbeda, yaitu masuknya militer
dan administrasi di selatan, di daerah Tapanuli, keberhasilan awal kaum misionaris Kristen di
barat melalui pelabuhan Sibolga dan Barus: serta penjajahan ekonomi melalui perkebunan-
perkebunan besar di Deli. Perlu diamati bahwa segitiga itu hampir secara tepat saling
bertindihan dengan segitiga situs-situs arkeologi besar yang telah kami jelaskan sebelumnya.

Kedatangan bangsa Eropa pertama kali ke Medan, dapat dicatat dengan kehadiran Jhon
andersor seorang berkebangsaan Inggris yang melakukan (kunjungan ke Kampung Medan
tahun 1823. Dalam bukunya Mission to the East Coast of Sumatera dicatat bahwa penduduk
Kampun Medan pada waktu itu masih berjumlah 200 orang, tapi dia hanya melihat penduduk
yang berdiam di pertemuan antara dua sungai tersebut, 'Anderson menyebutkan dalam
bukunya (diterbitan di Edinburg, 1826) bahwa sepanjang Sungai Deli hingga ke dinding
tembok ' Mesjid Kampung Medan di bangun dengan batu-batu granit berbentuk bujur
sangkar. Batu-batu ini diambil dari sebuah Candi Hindu Kuno di Jawa.

Pesatnya perkembangan Kampung “Medan Putri” jugatidakterlepas dari perkebunan


tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang merupakan tembakau terbaik
untuk pembungkus cerutu. Perkebunan tembakau di Deli semakin berkembang ketika pada
tahun 1863, Sultan Deli memberikan kepada Nienhuys Van der Falk dan Elliot dari Firma
Van Keeuwen en Mainz & Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu - 0,74 ha) secara erfpacht 20
tahun di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan. Kemudian pada tahun 1866, Jannsen, P.W.
Clemen, Cremer dan Nienhuys mendirikan de Deli Maatscapij di Labuhan. Perusahaan ini
kemudian melakukan ekspansi perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869),
Sungai Beras dan Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan
perkebunan pada tahun 1874. Mengingat kegiatan perdagangantembakau yang sudahsangat
luasdan berkembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke
Kampung “Medan Putri”. Dengan demikian “Kampung Medan Putri” menjadisemakin ramai
dan selanjutnya berkembang dengan nama yang lebih dikenal sebagai “Kota Medan”
Menurut Volker, pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba dan disana sini
terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal
dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka
kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu
perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan
perekonomian di Sumatera Utara. Belanda yang menjajah Nusantara kurang lebih setengah
abad namun untuk menguasai Tanah Deli mereka sangat banyak mengalami tantangan yang
tidak sedikit. Mereka mengalami perang di Jawa dengan pangeran Diponegoro sekitar tahun
1825-1830. Belanda sangat banyak mengalami kerugian sedangkan untuk menguasai
Sumatera, Belanda juga berperang melawan Aceh, Minangkabau, dan Sisingamangaraja
didaerah Tapanuli. Jadi untuk Tanah Deli, Belanda hanya dapat menguasai kurang lebih 78
tahun mulai dari tahun 1864 sampai 1942. Penguasaan Belanda terhadap Tanah Deli baru
dimulai setelah perang Jawa berakhir barulah Gubernur Jenderal Belanda JVan den Bosch
mengerahkan pasukannya ke Sumatera dan dia memperkirakan untuk menguasai Sumatera
secara keseluruhan diperlukan waktu 25 tahun. Penaklukan Belanda atas Sumatera ini
terhenti ditengah jalan karena Menteri Jajahan Belanda waktu itu J.C.Baud menyuruh
mundur pasukan Belanda di Sumatera walaupun mereka telah mengalahkan Minangkabau
yang dikenal dengan nama perang Paderi (1821-1837).

Secara politis, penjajahan itu dapat terjadi akibat Perjanjian London yang ditandatangani
tahun 1824 oleh Inggris dan Belanda yang membagi wilayah di kedua sisi Selat Malaka.
Dalam Perjanjian itu, Inggris menyerahkan kepada Belanda wilayah-wilayah miliknya di
Sumatra (yang paling besar adalah Bengkulu di pesisir barat, di selatan Padang) dan berjanji
tidak akan menetap di Sumatra atau berhubungan dengan salah satu pemimpin di Sumatra. Di
lain pihak, Belanda menyerahkan Melaka serta wilayah-wilayah jajahannya di India kepada
Inggris dan berjanji tidak akan menjalin hubungan dengan para pemimpin Melayu di
Semenanjung Melayu. Di Sumatra, hanya Aceh yang untuk sementara lepas dari lingkup
pengaruh Barat.

2. Jalur Masuknya Kolonialisme di Sumatera Utara


Ekspansi Belanda di wilayah Medan tidak bisa dilepaskan dari sejarah eksploitasi
perkebunanperkebunan di Sumatera Timur. Belanda masuk ke wilayah Sumatera Timur
melalui Kerajaan Siak. Kolonial Belanda berhasil mengadakan perjanjian politik dengan
Kerajaan Siak yang disebut dengan Traktat Siak. Perjanjian tersebut ditandatangani pada 1
Februari 1858 oleh Sultan Ismail dan Tengku Putra dan perwakilan dari pemerintah kolonial
Belanda yaitu Residen Riau, F. N. Nieuwenhuijzen. Dengan adanya surat perjanjian tersebut,
pemerintah kolonial Belanda mulai melancarkan strategi perluasaan wilayah kekuasaanya,
terutama ke daerah Sumatera Timur yang merupaka daerah vasal (taklukan) Kerajaan Siak,
seperti Kota Pinang, Batu Bara, Badagai, Panai, Bilah, Asahan, Serdang, Langkat, Temiang,
serta daerah Kerajaan Deli (Schadee, 1918: 71-73). Pada 1862, empat tahun setelah
penandatanganan Traktat Siak, Residen E. Netscher berlayar ke berbagai kerajaan di
Sumatera Timur. Adapun tujuan Netscher, ialah memastikan sikap tunduk raja-raja yang
berada dibawah kekuasaan Siak, dan mengakui kedaulatan pemerintah Hindia Belanda atas
kerajaan mereka masing-masing sesuai isi Traktat Siak. Gayung bersambut, Sultan Mahmud
Perkasa Alam, menyatakan bersedia mengakui kedaulatan pemerintah kolonial Belanda,
tetapi dengan syarat Siak harus melepaskan Deli dari wilayah vasal-nya. Netscher menyetujui
syarat dari Deli. Maka pada 22 Agustus 1862, Sultan Mahmud Perkasa Alam
menandatangani perjanjian dengan pemerintah kolonial Belanda yang diwakili oleh E.
Netscher sebagai Residen Riau en Onderhoorigheden (Residen Riau dan daerah
taklukkannya). Perjanjian ini kemudian dikenal dengan nama Acte van Verband yang
disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Nurhamidah, 2004: 15). Adapun isi dari
perjanjian Acte van Verband adalah “bahwa Sultan Deli taat dan setia pada Raja
Belanda/Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan melaksanakan pemerintahan di Deli sesuai
adat dan peraturan; bersedia memajukan negeri dan rakyat; dan bersedia mematuhi syarat-
syarat penambahan akte yang belum jelas atau belum tercantum.

Setahun setelah penandatanganan perjanjian Acte van Verband, tepatnya pada 5 Maret
1863, Netscher kembali melakukan perjanjian tambahan dengan Sultan Mahmud Perkasa
Alam. Ketentuan yang termuat dalam perjanjian tambahan tersebut antara lain bahwa tanah-
tanah di Deli tidak akan diperjualbelikan kepada orang-orang Eropa dan orang-orang asing
lainnya (Nurhamidah, 2004: 15). Dengan demikian, tanah Deli hanya boleh diperjualbelikan
dengan pemerintah kolonail Belada saja. Adanya perjanjian ini, membuat posisi pemerintah
kolonial semakin kuat karena orang-orang asing lainnya tidak dibenarkan mendapatkan tanah
di wilayah ini. Untuk memperkuat kedudukannya di Deli, pemerintah kolonial Belanda
kemudian membangun kantor perwakilannya di wailayah tersebut. Oleh sebab itu,
ditempatkanlah kontrolir J. A. M. de Cats Baron de Raet di Labuhan (Ibukota Kerajaan Deli),
sebagai perwakilan pemerintah kolonial Belanda di Deli (Nurhamidah, 2005: 19). Dengan
ditandatanganinya Acte van Verband oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam, sejak saat itu pula
pemerintah kolonial Belanda mulai melakukan kontrak politik dan memulai eksploitasinya di
wilayah Deli.

Dengan Akta Perjanjian itu pula Belanda semakin mudah mengontrol dan mendikte
sultan sesuai kemauan politiknya. Setelah penandatanganan Acte van Verband seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, Labuhan mulai dilirik untuk dijadikan wilayah perkebunan
tembakau. Pada 1863, seorang pengusaha perkebunan berkebangsaan Belanda di Surabaya,
Jacobus Nienhuys, sampai di Deli atas ajakan seorang keturanan Arab yang mengaku
pangeran Deli, Said Abdullah Ibn Umar Bilsagih. Dalam ajakannya, Abdullah menyatakan
bahwa wilayah Deli sangat cocok untuk perkebunan tembakau. Atas bantuan Abdullah,
Nienhuys kemudian berhasil mendapatkan konsesi tanah dari Sultan Mahmud Perkasa Alam
untuk penanaman tembakau di wilayah Deli (Pelzer, 1985: 55). Daerah konsesi yang pertama
untuk penanaman tembakau terletak di tepi sungai Deli yaitu seluas 4.000 bau (bouw).
Konsesi ini diberikan selama 20 tahun. Selama 5 tahun pertama Nienhuys dibebaskan dari
pembayaran pajak dan sesudah itu baru membayar f 200 setahun (Wie, 1977: 3). Dalam
perkembangnnya, usaha perkebunan tembakau Nienhuys di Labuhan Deli terbilang berhasil.
Lahan yang digunakan oleh Nienhuys di wilayah tersebut mampu menghasilkan daun
tembakau berkualitas tinggi sebagai pembungkus cerutu yang halus. Sehingga harga yang
ditetapkan untuk tembakau dari Deli cukup tinggi di pasar dunia. Keberhasilan ini lantas
dimanfaatkan Nienhuys untuk memperluas lahan perkebunan tembakaunya dengan
menyusuri sungai Deli ke hulu hingga dia sampai ke sebuah kampung di pertemuan sungai
deli dan sungai Babura. Kampung tersebut ialah Kampung Medan Putri (Anderson, 1971:
273). Kemudian Nienhuys merasa tertarik untuk menetap di kampung tersebut. Maka pada
1869, Nienhuys memindahkan kantor perusahaanya, Deli Maatschappij, dari Labuhan ke
Medan, karena letak Jurnal Sejarah – Vol. 1/2 (2018): 65 - 83 | 68 Medan yang lebih tinggi
dari Labuhan dapat terhindar dari banjir. Alasan lain karena Medan sendiri pada waktu itu
masih penuh dengan hutan sehingga cukup mudah untuk melakukan perluasan lahan
perkebunan tembakau.

3. Berlangsungnya Kolonialisme di Sumatera Utara


Berlangsungnya Kolonialisme di Sumtera Utara terbagi dalam beberapa aspek, yaitu:
A. Ekonomi
Hasil-hasil studi sejarah perekonomian India selama zaman kolonial malahan
telah banyak mempengaruhi pula kebijaksanaan ekonomi India selama tahun-tahun
pertama sesudah kemerdekaan India tercapai. Meskipun studi sejarah perekonomian
perekonomian Indonesia masih kurang berkembang dibanding dengan studi sejarah
perekonomian India atau beberapa negara Asia lainnya.Berbagai kajian mutakhir
tentang sejarah perekonomian Indonesia selama zaman kolonial disajikan dalam
konperensi pertama yang secara khusus membahas sejarah perekonomian Indonesia.
Kebangkitan studi sejarah Perekonomian Indonesia selama dasawarsa terakhir ini
dimungkinkan oleh beberapa perkembangan yang menguntungkan. Pertama sejak
pertengahan dasawarsa 1960-an banayk bahan arsip di negeri Belanda dan Indonesia
tentang administrasi pemerintah kolonial Belanda di Indonesia selama abad ke-19 dan
ke-20 telah dibuka untuk umum. Pengkajian yang lebih mendalam ini telah
menghasilkan temuan-temuan baru yang dapat menumbangkan berbagai pendangan
mapan tentang masa lampau, seperti misalnya kayakinan yang umumnya terdapat
pada para sejarawan bahwa akibat Sistem Tanam Paksa, para petani di Jawa telah
menjadi lebih miskin.
Perkembangan kedua yang juga amat mendorong kebangkitan studi sejarah
perekonomian Indonesia adalah usaha kompilasi dan seleksi sejumlah data statistik
yang amat besar tentang sejarah perekonomian Indonesia selama kurun waktu 1816-
1940 yang sejak awal dasawarsa 1970-an dilakukan oleh sekelompok kecil ekonom
Belanda dibawahpimpinan almarhum P. Creutsberg, seorang pensiunan dari biro
pusat Statistik, Jakarta. Maka beberapa ekonom di Australia dan di negeri Belanda
yang semula menaruh perhatian dan perkembangan Indonesia masa kini, mulai
mengalihkan perhatian mereka pada sejarah ekonomi Indonesia selama abad ke-19
dan awal abad ke-20 dalam rangka usaha mereka untuk mnemahami dengan lebih
baik perkembangan ekonomi indonesia masa kini.
Namun munculnya ekonom sekelompok kecil ekonom-ekonom di Australia dan
negeri Belanda yang menaruh perhatian pada sejarah perekonomian Indonesia akan
mendapat "warna" dan dimensi baru, oleh karena itu kajian historis oleh para ekonom
ini akan lebih banyak dilakukan menurut pola yang dirintis oleh para "sejarawan
ekonomi baru".
B. Sosial Budaya
Semakin luasnya kekuasaan Kolonial di Indonesia maka untuk mempertahankan
dan menjalankan struktur dan tugasnya, pemerintah Kolonial memanfaatkan potensi
manusia Indonesia. Kebutuhan akan tenaga kerja manusia yang profesional,
setidaknya tenaga kerja yang bisa membaca dan menulis semakin dibutuhkan.
Sistem Tanam Paksa. Keadaan tersebut semakin diperkuat keberadaannya setelah
adanya tuntutan perbaikan nasib bangsa, terutama dalam bidang pendidikan dan
wawasan bangsa Indonesia dari golongan humanis, akhirnya mendorong pemerintah
Kolonial untuk mengadakan pendidikan bagi kaum pribumi. Pelaksanaan politik
pendidikan oleh pemerintah Kolonial pada awalnya bertujuan untuk menyiapkan
individu yang bisa membaca dan menulis, sehingga nantinya bisa dipekerjakan pada
perkebunan-perkebunan atau perusahaanperusahaan industri. Tenaga kerja yang bisa
membaca dan menulis ini biasanya ditempatkan sebagai mandor yang mengawasi
para pekerja atau buruh lainnya. Penerimaan pegawai tentu diambil atas dasar
keloyalan pada pemerintah, sehingga dapat memperkuat struktur pemerintahan
kolonial di Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan kolonial bagi bangsa Indonesia
pada dasarnya tidak terlepas dari usaha pelaksanaan politik etis. Pendidikan ini mulai
dirintis oleh Fransen van der Putte pada pertengahan abad ke-19 yang menekankan
perlunya peningkatan pendidikan bumiputera, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa
tujuan awalnya hanya untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja yang bisa
membaca dan menulis saja. Tenaga kerja ini nantinya disalurkan untuk membantu
tugas-tugas pemerintah Kolonial, termasuk dalam mengelola perkebunan-perkebunan.
Dalam menunjang pelaksanaan pengajaran di tingkat rendahan, yakni pengajaran
untuk bumiputera, maka pemerintah Kolonial membuka sekolah-sekolah guru
(kweekschool) di berbagai daerah antara lain di Surakarta (1852), di Bukittinggi
(1858), Tapanuli (1864), dan Bandung (1866). Penyelenggaraan pendidikan Kolonial
di Indonesia dalam perkembangan selanjutnya difokuskan pula untuk tujuan-tujuan
tertentu, seperti sebagai sarana untuk mencapai kejayaan agama Protestan di
Indonesia. Dengan kata lain, tujuan pendidikan bagi bidang keagamaan dilakukan
pemerintah Kolonial untuk menyebarkan agama Protestan. Penyebaran agama
Protestan ini dilakukan dengan memfungsikan kembali organisasi yang diberi nama
Zending, yakni sebuah organisasi missionaris agama Protestan yang sebenarnya telah
dirintis sejak VOC masuk ke Indonesia. Melalui organisasi inilah akhirnya agama
Protestan menyebar dan berkembangnya di beberapa daerah di Indonesia, seperti
Maluku, Minahasa, Nusa Tenggara Timur, Jawa, Batavia, Halmahera, Buru, Irian,
Poso, Tapanuli (Sumatra) dan Sulawesi Tenggara. Pertumbuhan dan perkembangan
agama Protestan ini ditandai dengan banyaknya fasilitas yang mendukung
pelaksanaan agamanya, seperti sekolah-sekolah Zending yang banyak didirikan
dibeberapa daerah, seperti di Jepara (1852), Pasundan (1858), Irian, Halmahera, dan
Buru (1859), Jawa Tengah (1859), dan Batavia (1861).

C. Pendidikan
Pendidikan sudah dimulai sejak adanya manusia. Pendidikan itu diperoleh dari
keluarga masyarakat sekelilingnya. Perkembangan pendidikan saat ini ini tidak bisa
dilepaskan dari perkembangan pendidikan yang terjadi dimasa lampau. Dimana
pendidikan sisa-sisa zaman kolonial itu masih ada di zaman sekarang. Perkembangan
pendidikan dizaman pra kolonial dan ketika zaman kolonial yang mampu melahirkan
kaum Intelektual muda Indonesia yang menjadi tokoh sentral dalam pergerakan
kebangsaan Indonesia Pada awal abad ke 20 ada keinginan dari golongan orang
Belanda untuk mengubah cara penjajahannya di Indonesia, golongan ini menyebut
dirinya sebagai kelompok etika, pelopornya adalah Van Deventer. Politik Etika ini
terdengar pengaruhnya terasa juga terasa sampai ke daerah jajahan Belanda di
Sumatera Utara. Penghidupan para karyawan yang sangat sengsara menyebabkan
seringnya terjadi kerusuhan di perkebunan-perkebunan Belanda, bukan hanya para
karyawan yang tidak senang terhadap pemerintah Belanda tetapi juga penduduk
setempat. Akibat seringnya terjadi kerusuhan yang dilakukan oleh penduduk di
perkebunan maka, hal ini menimbulkan kerugian pada pihak Belanda sebagai
pengusaha perkebunan. Kerusuhan ini harus dihentikan oleh Belanda untuk menjamin
keberlangsungan para penanam modal asing yang menanamkan modalnya di
perkebunan di Sumatera Timur. Sekolah-sekolah dibuka juga bukan hanya karena
banyak orang yang berhaluan etika tetapi karena kebutuhan akan pegawai rendahan
yang mendesak untuk dipekerjakan di perkebunan. Kurikulum yang digunakan
hanyalah membaca, menulis dan berhitung saja, hanya berupa pengetahuan yang
paling dasar dan sederhana.Setelah Sumatera Timur diduduki oleh tentara Jepang
pada permulaan tahun 1942, maka berakhirlah pemerintahan Belanda di Sumatera
Timur. Sekolah yang menggunakan bahasa Belanda seperti voolkschool,
vervogschool, H.I.S, E.L.S., Standart School sebagai bahasa pengantarnya dihapuskan
dan diganti dengan sekolah system pendidikan Jepang.

D. Agama
Banyak anggapan umum yang mengidentikkan ‘agama Batak’ dengan Kristen
Protestan. Bahkan ada ungkapan ‘kemana pun Orang Batak pergi ia akan selalu
membawa gerejanya’. Anggapan ini turut dibuktikan dengan tersebarnya gereja Batak
Protestan seperti HKBP, HKI, GKI dsb di seantero Indonesia.
Namun, sejarah masuknya Kristen di Batak tidak muncul semata-mata dari
dinamika internal masyarakat Batak itu sendiri, tetapi juga melalui upaya Kristenisasi
dari pihak kolonial Belanda yang berkali-kali bergesekan dengan politik kekuasaan
lokal di Batak. Upaya Kristenisasi kolonial untuk mengkristenkan Batak secara total
gencar terlaksana dengan datangnya missionaris RMG (Rheinische
Missionsgesellschaft) Jerman bernama Ludwig Ingwer Nommensen.
Nommensen dikenal sebagai ‘rasul orang Batak’ dan ia bisa disebut sebagai tokoh
kunci dalam perubahan agama, kebudayaan, dan tradisi Batak. Nama Nommensen
sendiri cukup dikenal di Sumatera Utara karena ialah yang membawa modernisasi ke
Batak. Ia seringkali digambarkan sebagai misionaris yang menyelamatkan Batak dari
kegelapan masyarakat pagan yang kanibal dan misterius.
Untuk lebih dalam melihat sejarah Agama Batak, Jan S Aritonang dalam Sejarah
Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2004) menyebutkan pentingnya tahun
1818 sebagai momen pembuka dinamika agama di Batak. Pada tahun itu, kelompok
‘Islam puritan’ yang disebut golongan Padri melakukan ekspansi besar-besaran di
Batak dibawah komando Tuanku Nan Receh dan menyebarkan Islam ke tanah Batak
dengan jalan pedang.
Pasukan Padri membantai orang Batak yang enggan menukar agama mereka
dengan Islam. Bahkan Sisingamangaraja X meninggal di tangan pasukan Padri.
Pasukan Padri hanya takluk oleh wabah penyakit di pusat kekuasaan Raja Batak yang
disebabkan oleh mayat-mayat manusia korban perang yang berserakan dan
membusuk. Ekpansi Padri megislamkan pusat Batak gagal, sehingga pada 1820
pasukan Padri bergerak ke selatan dan secara berangsur-angsur mengislamkan daerah
Sipirok, Angkola, Natal, dan Mandailing.
Tak lama setelah pasukan Padri hengkang dari pusat wilayah Batak, pada tahun
1834 dua misionaris dari Gereja Baptis Amerika bernama Samuel Munson dan Henry
Lyman mencoba mengkristenkan orang Batak yang masih beragama Sipelebegu.
Namun kedatangan dua misionaris itu tidak diterima dengan baik. Malangnya, mereka
dibunuh karena rasa trauma dakwah agama pada masa datangnya pasukan Padri.
Dalam versi yang lebih ekstrem yang sering dikisahkan dalam cerita lokal Kristen
Batak, mayat kedua penginjil tersebut dibawa ke pasar dan dimakan oleh penduduk
lokal.

Dengan latar belakang seperti itu, diaturlah rencana matang pembagian wilayah
pada tahun 1861 antara Zending Ermelo dan Zending RMG. Pembagian wilayah
mempertimbangkan mana kelompok masyarakat yang masih beragama lokal dan
mana yang beragama Islam. Kecenderungan para penginjil kolonial awal lebih
mengutamakan orang Batak yang masih beragama Sipelebegu. Untuk memuluskan
misi kristenisasi di Tanah Batak dari gangguan pasukan Padri yang telah berkembang
di Sumatra, pemerintah Hindia Belanda menciptakan segregasi wilayah untuk
memisahkan Aceh dan Sumatera Barat dari Batak (Sumatera Utara). Batak dengan
demikian harus menjadi wilayah di bawah monopoli pemerintahan Hindia Belanda.

Dengan kondisi demikian, Nommensen hadir sebagai missionaris yang berbeda


dari para pendahulunya. Ia digambarkan oleh Steenbrink dan Aritonang dalam A
History of Christianity in Indonesia (2008) sebagai orang berkepribadiaan lugas,
mampu berbahasa Batak, dan mengetahui serta menghormati adat Batak. Nommensen
dengan identitas sebagai orang Jerman namun fasih berbahasa Batak berhasil
merangkul Raja Pontas Lumbangtobing untuk membaptis masyarakat Batak di
Silindung sampai menyebar ke Pearaja (Tapanuli Tengah).
Selaras dengan keberhasilan Nommensen, Belanda masuk ke Tapanuli dan
mengubah paradigma hukum lokal dan sistem bius menjadi hukum-hukum liberal
Agrarische Wet 1870. Upaya mengkapitalisasi tanah orang Tapanuli mustahil terjadi
tanpa gerakan missionaris Kristen.

Di samping merangkul penduduk Tapanuli untuk mendukung hukum agraria


liberal, Nommensen sebagai agamawan dan guru juga mengisi peran mengajari
penduduk Tapanuli untuk bertukang, menjahit, berhitung, dan baca tulis agar dapat
dipekerjakan sebagai buruh upahan di tanah garapan kolonial, sementara para
perempuan diajari pengobatan modern untuk menggantikan peran para datuk dalam
bidang obat-obatan tradisional.

Misi dekulturisasi dan depaganisasi yang dilakukan Nommensen disebut dalam A


History of Christianity in Indonesia dengan cara melarang adat-adat yang
berhubungan dengan identitas Batak dan ritual Sipelebegu seperti tor-tor dan
gondang. Namun ada beberapa aspek adat Batak yang diadopsi menjadi bagian dari
teologi Kekristenan Batak. Konsep spiritual lokal Batak mengenai Debata Natolu,
misalnya, ditafsirkan ulang dengan mengacu pada konsep trinitas Kristen. Masuknya
nama Debata sebagai nama pencipta di dalam Alkitab yang diterjemahkan oleh
Nommensen dan P.H Johannsen pada tahun 1874 menjadi satu langkah agar teologi
Kristen lebih diterima masyarakat Batak.
Suksesnya kolonialisasi di Batak dan upaya memodernkan Batak berbanding lurus
dengan kuatnya agama Kristen Protestan di Batak. Dengan kata lain, kemana pun
pengaruh Nommensen tersebar, kekuasaan kolonial menyertainya. Kristenisasi pun
turut menjadi pemantik pecahnya perang Batak. Pengaruh Nommensen dalam
mengubah adat, membuat pendidikan formal Kristen pada anak muda, dan
memberikan stigma buruk pada kepercayaan lokal semakin besar. Dengan kekuatan
itu pula, Nommensen dan rekan-rekannya sesama penginjil mencoba menyiasati
Belanda untuk membangun benteng di Bahal Batu untuk melancarkan proyek
kolonialisasi dan Kristenisasi dari gangguan dan upaya pengusiran oleh para pengikut
Sisingamangaraja XII.
Membangun benteng di wilayah Sisingamangaraja XII sama saja mengumumkan
perang. Pada 16 Februari 1878 Sisingamangaraja XII mengumumkan perang Batak,
beraliansi dengan Sultan Aceh dan Raja Trumon. Namun perlawanan
Sisingamangaraja pada akhirnya surut pada kisaran tahun 1900-an. Pasca-perang
Batak, agama Kristen jauh lebih leluasa menyebar di tanah Batak. Pengaruh
Nommensen telah sampai di Toba dan Angkola, daerah pusat kebudayaan Batak.
Wafatnya Sisingamangaraja XII pada 1907 menjadi puncak terlucutinya
kekuasaan adat lokal dan pada gilirannya penyebaran agama Kristen lewat Zending
RMG semakin gencar. Ini berdampak pada semakin terpinggirkannya pengikut
Sisingamangaraja XII yang kemudian berhimpun dalam Ugamo Parmalim.

E. Politik
Daendels atau Raffles sudah meletakkan dasar pemerintahan yang modern. Para
Bupati dijadikan pegawai negeri dan digaji, padahal menurut adat istiadat kedudukan
bupati adalah turun temurun dan mendapat upeti dari rakyat. Bupati dijadikan alat
kekuasaan pemerintah kolonial. Pamong praja yang dahulu berdasarkan garis
keturunan sekarang menjadi sistem kepegawaian.Jawa dijadikan tempat pusat
pemerintahan dan membaginya menjadi wilayah perfektuf.Belanda dan Inggris
melakukan intervensi terhadap persoalan kerajaan, contohnya tentang pergantian tahta
kerajaan sehingga imperialis mendominasi politik di Indonesia. Yang mengakibatkan
peranan elite kerajaan berkurang dalam politik, dan kekuasaan pribumi bahkan bisa
runtuh.Hukum yang dulu menggunakan hukum adat diubah menggunakan sistem
hukum barat modern.Kebijakan yang diambil raja dicampuri Belanda.
Perubahan dalam politik pemerintahan kembali terjadi akibat kebijakan politik
Pax Nederlanica di akhir abad 19 menuju awal abad 20. Jawa menjadi pusat
pemerintahan dan membaginya menjadi wilayah perfektuf. Selain itu, sistem
pemerintahan di Indonesia sekarang merupakan warisan dari penerapan ajaran Trias
Politica yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam badan yudikatif di
struktur tersebut, pemerintahan kolonial Belanda membagi badan peradilan menjadi
tiga macam berdasarkan golongan masyarakat di Hindia-Belanda. Badan peradilan
tersebut terdiri dari peradilan untuk orang Eropa, peradilan orang Timur Asing, dan
peradilan orang pribumi. Dalam badan legislatif, pemerintah kolonial Belanda
membentuk Volksraad atau Dewan Rakyat pada tahun 1918.

Berlangsungnya Perkebunan dan Kristenisasi Di Sumatera Utara

1. Perkebunan Di sumatera Utara


Sumatera Utara merupakan salah satu pusat perkebunan di Indonesia. Komoditi hasil
perkebunan yang paling penting dari Sumatera Utara saat ini antara lain kelapa sawit, Karet,
kopi, coklat dan tembakau. Bahkan di kota Bremen, Jerman, tembakau Deli sangat terkenal.
Luas tanaman karet rakyat di Sumatera Utara selama periode 2013-2016 mengalami
pertumbuhan rata-rata sebesar 0,45 persen per tahun. Pada tahun 2013 luas tanaman karet
rakyat adalah sebesar 394.113,57 ha, menjadi 394.519 ha pada tahun 2016. Kabupaten
Mandailing Natal, Langkat, dan Padang Lawas Utara merupakan pusat perkebunan karet
rakyat di Sumatera Utara. Sedangkan luas tanaman kebun kelapa sawit rakyat di Sumatera
Utara pada tahun 2016 sebesar 417.809 ha dengan produksi 5.775.631,82 ton tandan buah
segar (TBS). Kabupaten Asahan merupakan pusat perkebunan kelapa sawit rakyat di
Sumatera Utara. Di daerah ini terdapat 72.935 ha kebun sawit rakyat atau 18 persen dari
seluruh perkebunan kelapa sawit rakyat Sumatera Utara.
Produksi kopi (Robusta dan Arabika) Sumatera Utara tahun 2016 adalah sebesar 63.142
ton dengan luas lahan 84.605 ha. Kabupaten Dairi, Simalungun dan Humbanghasundutan
merupakan penghasil kopi dari Sumatera Utara. Bahkan kopi Sidikalang sudah dikenal di
Pulau Jawa dan Eropa. Di Sumatera Utara terdapat tiga Perkebunan Besar BUMN dan
ratusan perkebunan besar swasta. Sama seperti pada perkebunan rakyat, jenis tanaman
perkebunan besar yang ada di Sumatera Utara diantaranya kelapa sawit, karet, coklat, teh,
tembakau dan tebu.

Sejarah Perkebunan Di Sumatera Utara


Sejarah perkebunan di Nusantara telah dimulai sebelum kedatangan bangsa Eropa. Para
saudagar Nusantara telah menjalin kerja sama perdagangan rempah-rempah dengan para
pedagang dari India, Mesir, Arab, dan Cina. Baru setelah abad ke-15 para pedagang dari
Eropa mulai berdatangan ke Nusantara. Belanda secara khusus mulai menancapkan pengaruh
di Nusantara pada abad ke-17 dan tergambar di infografis situasi pasang-surut dari tahun
1600 hingga 1949.
Pada masa itu harga jual rempah-rempah di pasaran dunia melampaui emas. Belanda
mulai memperkenalkan kongsi-kongsi dagang untuk memasarkan rempah ke Eropa. Untuk
memenuhi kontinuitas permintaan, mereka membangun perkebunan di wilayah yang mereka
tempati. Tertera keterangan di infografis bahwa semua perkebunan milik Pemerintah
Kolonial Belanda diambil alih oleh Pemerintah RI setelah dilakukan penandatanganan KMB
pada 27 Desember 1949 di Den Haag, Belanda. Sepuluh tahun kemudian, 1959 pengelolaan
perkebunan nasional dilakukan di bawah pengawasan dan penanganan Pusat Perkebunan
Negara Baru (PPN-Baru) dan Perusahaan Negara Perkebunan (PNP).
Sejarah perkebunan di Sumatera utara dimulai pada abad ke-19 yang semula diadakan di
pulau Jawa kemudian mulai dikembangkan dan meluas di luar pulau Jawa, khususnya pulau
sumatera. Perkebunan yang pertama dibuka adalah perkebunan tembakau yang terkenal
dengan nama “Tembakau Deli.” Perkebunan tembakau deli merupakan perkebunan modern
pertama yang dimiliki Belanda di Hindia Belanda (Indonesia). Kemitraan usaha perkebunan
yang diawali oleh Sultan Mahmud Al-Rasyid (1858-1873) yang memberikan konsesi lahan
kepada pengusaha Belanda, Jacob Nienhuys, menghasilkan keuntungan yang melimpah bagi
kedua belah pihak. Banyak tenaga kerja asing yang dipekerjakan di lahan-lahan perkebunan.
Kota semakin penuh dengan para pendatang. Keuntungan perkebunan menjadi modal
ekonomi dan pemerintahan bagi kesultanan dalam membangun Istana Maimun, Masjid Raya
Medan (Masjid Raya Al Mashun), dan sejumlah infrastruktur lainnya.
Kemajuan sektor perkebunan menjadi cikal bakal modernisasi di Medan (Tanah Deli),
dari sebelumnya kawasan perkampungan kumuh bertransformasi menjadi kota kosmopolitan.
Kawasan yang berada di dekat lingkungan Istana Maimun berkembang pesat dengan
berdirinya sejumlah bangunan megah dan modern, seperti stasiun kereta api, kantor pos
besar, hotel, bank, dan masih banyak lagi. Keuntungan perdagangan tembakau juga
memperkuat struktur keuangan pemerintahan kolonial. Dengan keuangan yang melimpah,
Pemerintah Kolonial mampu membiayai berbagai operasional yang dilakukan, termasuk
untuk membiayai tentara Marsose (KNIL) mereka yang bertugas di seluruh wilayah Hindia
Belanda. Menguasai ekonomi dan politik di Sumatera Utara, menjadi pintu masuk bagi
mereka menguasai Aceh dan perairan Selat Malaka. Mereka mampu membiayai operasional
perang di Aceh dan dalam sejarah tercatat sebagai salah satu perang yang terlama di dunia.
Sektor perkebunan ini membuat Medan menjelma menjadi kota terbesar nomor tiga di
Indonesia, setelah Jakarta dan Surabaya
2. Kristenisasi Di sumatera Utara

Kekristenan di Sumatra Utara merupakan komunitas keagamaan Kekristenan terbesar di


pulau Sumatera Utara. Secara jumlah, Kekristenan di provinsi Sumatera Utara adalah
kekristenan terbesar kedua di Indonesia setelah provinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam
Sensus Penduduk Indonesia, jumlah pemeluk agama Kekristenan di Sumatra Utara sebanyak
4.025.737 jiwa atau 31,01% dari 12.982.204 jiwa penduduk Sumatra Utara tahun 2010,
dimana Protestan 3.509.700 jiwa (87,18%) dan Katolik 516.037 jiwa (12,82%). Salib Kasih
yang terletak di kecamatan Siatas Barita kabupaten tapanuli Utara, merupakan bukti sejarah
masuknya agama kristen ke Sumatra Utara.

Sejarah Kristenisasi Di Sumatera Utara


Salah satu pendapat yakni dari Jan Bakker SJ yang menulis di majalah "Basis" pada
tahun 1969, bahwa agama Katolik sudah ada pada abad ke-7 Masehi dan berakar di Sumatra
Utara yang kemudian menyebar ke daerah lain, termasuk pulau jawa. Jan Bakker
menggunakan berbagai literasi Islam, dan dia meyakini pula bahwa Katolik datang dari India
selatan. Katolik berkembang di India Selatan lewat perdagangan dan mulai menyebar hingga
ke Sumatra Utara. Gereja Kristen Katolik mulai ditanam di daerah Tapanuli sebelum tahun
600 oleh saudagar dari India yang menamakan diri Thomas Christians.
Jan Baker mendasarkan teorinya pada tulisan ilmuwan Islam bernama Shaykh Abu Salih
al-Armini, yang menulis semacam buku ensiklopedi berjudul "Tadhakkur Fiha Akhbar Min
al-Kana’is wal-Adyar min Nawahin Misri wal Iqtha’aihu" yang berisi daftar gereja dan
pertapaan di Mesir dan wilayah Timur lainnya. Dalam bukunya, Abu Salih menyebut di
Fansur yaitu tempat asal kamper, terdapat sekelompok Kristen Nestorian dan sebuah gereja
yang dipersembahkan kepada Maria. Di antara sumber-sumbernya, Abu Salih menggunakan
kitab Nazm Al-Jawhar karya Sa'id Bin Al-Batriq yang berasal dari tahun 910 dan
mengisahkan sejumlah peristiwa dari abad ke-7.
Menurut Bakker, ‘Fansur’ itu sama dengan ‘Pansur’ yang ada di dekat Baros Tapanuli.
Dia juga menulis penyebutan Kristen Nestorian dari Abu Salih keliru dan meluruskannya
sebagai Katolik. AJ Butler juga memberikan catatan terhadap terjemahan BTA Evetts atas
karya Abu Salih ke dalam bahasa Inggris, berjudul The Churches and Monasteries of Egypt
Attributed to Abu Sahlih The Armenian, menjelaskan bahwa kata Fahsur memang tertulis
dalam manuskrip aslinya. Namun, kata ini seharusnya ditulis Mansur, sebuah negara di
zaman kuno yang terdapat di barat laut India, terletak di sekitar Sungai Indus. Mansur
merupakan negara utama yang terkenal di antara orang-orang Arab dalam hal komoditas
kamper.
Terlepas dari berbagai pendapat awal mula masuknya Injil ke Indonesia atau secara khusus
Sumatra Utara, sebelum Vereenigde Ostindische Compagnie (VOC) atau Persatuan
Perusahaan Hindia Timur asal Belanda, Kekristenan di Sumatra Utara tidak berkembang
bahkan hingga pada masa kedudukan pemerintahan Inggris di Sumatra dan mengutus para
misionaris, Kekristenan cenderung tidak berkembang.
Pemeluk agama kristen di sumatera utara umumnya berasal dari suku Batak (Toba, Karo,
Simalungun, Pakpak, Angkola, Mandailing), Nias dan sebagian lagi dari Tionghoa, Jawa
serta pendatang dari timur seperti orang Minahasa, Maluku, NTT, dan Papua. Berdasarkan
data Kementrian Dalam Negeri tahun 2021, preentsi pemeluk agama Kristen di Sumatera
utara sebanyak 31,21%, dimana mayoritas Protestan yakni 6,90% dan katolik 4,31%.

Sejarah Masuknya Kekristenan Ke Suku Batak

1. Kehidupan Suku Batak Sebelum Kristen Masuk Di Tanah Batak


Suku Batak adalah salah satu suku di Indonesia yang mempertahankan kebudayaanya
Mereka memegang teguh tradisi dan adat. Pada masa lampau orang Batak tidak suka terhadap
orang luar (Barat/sibottar mata) kerena mereka dianggap sebagai penjajah. Selain itu, ada
paham bagi mereka bahwa orang yang berada di luar suku mereka adalah musuh, sebab masa
itu sering terjadi perang antar suku. Sebelum kristen masuk, suku Batak adalah penganut
kepercayaan . Kehidupan agamanya bercampur, antara menganut kepercayaan Animisme,
Dinamisme dan Magi. Ada banyak nama dewa atau begu (setan) yang disembah, seperti begu
djau (dewa yang tidak dikenal orang), begu antuk (dewa yang memukul kepala seseorang
sebelum ia mati), begu siherut (dewa yang membuat orang kurus tinggal kulit), dan lainnya.
Suku Batak hidup dengan bercocok tanam, berternak hewan dan berladang. Mereka
menjual hasil dari perternakan dan cocok tanam ke pasar (onan) pada hari tertentu. Di pasar
mereka melakukan transaksi untuk keperluan sehari-hari seperti membeli beras, garam,
tembakau, dan lainnya.
Keadaan yang dinamis ini, sering terusik oleh permusuhan antara satu kampung dengan
kampung lainya. Tidak jarang permusuhan berakibat pembunuhan dan terjadi saling balas
dendam turun-temurun. Jika di kampung terjadi wabah, seperti pes dan kolera, mereka akan
meminta pertolongan Raja sisingamangaraja yang berada di Bakkara. kemudian datang dan
melakukan upacara untuk menolak "Bala" dan kehancuran.
Hampir semua roda kehidupan orang Suku Batak dikuasai oleh aturan-aturan adat yang
kuat. Sejak mulai lahirnya seorang anak, beranjak dewasa, menikah, memiliki anak hingga
meninggal harus mengikuti ritual-ritual adat.

Sejarah Masuknya Kekristenan Ke Suku Batak

1. Kehidupan Suku Batak Sebelum Kristen Masuk Di Tanah Batak

Suku Batak adalah salah satu suku di Indonesia yang mempertahankan kebudayaanya
Mereka memegang teguh tradisi dan adat. Pada masa lampau orang Batak tidak suka terhadap
orang luar (Barat/sibottar mata) kerena mereka dianggap sebagai penjajah. Selain itu, ada
paham bagi mereka bahwa orang yang berada di luar suku mereka adalah musuh, sebab masa
itu sering terjadi perang antar suku. Sebelum kristen masuk, suku Batak adalah penganut
kepercayaan . Kehidupan agamanya bercampur, antara menganut kepercayaan Animisme,
Dinamisme dan Magi. Ada banyak nama dewa atau begu (setan) yang disembah, seperti begu
djau (dewa yang tidak dikenal orang), begu antuk (dewa yang memukul kepala seseorang
sebelum ia mati), begu siherut (dewa yang membuat orang kurus tinggal kulit), dan lainnya.
Suku Batak hidup dengan bercocok tanam, berternak hewan dan berladang. Mereka
menjual hasil dari perternakan dan cocok tanam ke pasar (onan) pada hari tertentu. Di pasar
mereka melakukan transaksi untuk keperluan sehari-hari seperti membeli beras, garam,
tembakau, dan lainnya.
Keadaan yang dinamis ini, sering terusik oleh permusuhan antara satu kampung dengan
kampung lainya. Tidak jarang permusuhan berakibat pembunuhan dan terjadi saling balas
dendam turun-temurun. Jika di kampung terjadi wabah, seperti pes dan kolera, mereka akan
meminta pertolongan Raja sisingamangaraja yang berada di Bakkara. kemudian datang dan
melakukan upacara untuk menolak "Bala" dan kehancuran.
Hampir semua roda kehidupan orang Suku Batak dikuasai oleh aturan-aturan adat yang
kuat. Sejak mulai lahirnya seorang anak, beranjak dewasa, menikah, memiliki anak hingga
meninggal harus mengikuti ritual-ritual adat.

2. Masuknya Penginjil Ke Tanah Batak


Penginjil Utusan Pekabaran Injil Baptis Inggris
Pada tahun 1820 tiga utusan Pekabaran Injil Baptis Inggris yaitu Nathan ward, Evans dan
Richard burton dikirim ke Bengkulu untuk menemui Raffles. Kemudian raffles menyarankan
supaya mereka pergi ke Utara, ke daerah tempat tinggal suku Batak yang masih kafir, Burton
dan Ward menuruti petunjuk Raffles. Mereka pergi ke Utara, awalnya mereka bekerja di
pesisir, kemudian tahun 1824 masuk ke daerah lebih dalam lagi, yakni silindung wilayah
suku Batak Toba. Saat mereka tiba di Silindung, mereka diterima dengan baik oleh raja
setempat, namun perjalanan penginjilan mereka terhenti ketika terjadi salah paham dengan
penduduk. Penduduk salah menafsirkan khotbah penginjil tersebut yang mengatakan bahwa
kerajaan mereka harus menjadi lebih kecil, seperti anak kecil. Penduduk tidak suka hal ini,
karena itu para penginjil tersebut diusir pada tahun itu juga.

Penginjil Utusan American Board of Commissioners for Foreign Mission


Pada tahun 1834 dua orang Amerika yaitu Munson dan Lyman yang merupakan utusan
gereja Kongregationalis Amerika yang diutus oleh The American Board of Commissioners
for Foreign Mission(ABCFM) di Boston untuk masuk ke Sumatera. Pada 17 Juni 1834
mereka tiba di Sibolga dan menetap beberapa hari di sana. Pada 23 Juni 1834, mereka
berangkat menuju pegunungan Silindung. Dalam perjalanan, ketika tiba di pinggir Lembah
Silindung, pada malam hari 28 Juni 1834, mereka dihadang, ditangkap, dan dibunuh di dekat
Lobu Pining. Pembunuhnya adalah Raja Panggalamei, yang merupakan Raja di Pintubosi
yang tinggal di Singkak. Ia membunuh bersama dengan rakyatnya.

Penginjil utusan Rheinische Missionsgesellschaft


Pada 31 Maret 1861, dua orang Batak pertama dibaptis, yaitu: Jakobus Tampubolon dan
Simon Siregar. Pada tahun yang sama tepatnya pada 7 Oktober 1867 yang diadakan rapat
empat pendeta di Sipirok, yang diikuti oleh dua pendeta Jerman dan Belanda, Mereka
melakukan rapat untuk menyerahkan misi penginjilan kepada Rheinische
Missionsgesellschaft. Hari tersebut dianggap menjadi hari berdirinya Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP). Kemudian Ludwig Ingwer Nommensen (1834-1918)tiba di Padang pada
tahun 1862. Ia menetap di Barus beberapa saat untuk mempelajari bahasa dan adat Batak dan
Melayu. Dalam menyampaikan Injil, Nommensen dibantu oleh Raja Pontas Lumban Tobing
(Raja Batak Pertama yang dibaptis) untuk mengantarnya dari Barus ke Silindung dengan
catatan tertulis bahwa ia tidak bertanggung jawab atas keselamatannya. Pada awalnya
Nommensen tidak diterima baik oleh penduduk, karena mereka takut kena bala karena
menerima orang lain yang tidak memelihara adat. Pada satu saat, diadakan pesta nenek
moyang Siatas Barita, biasanya disembelih korban. Saat itu, sesudah kerasukan roh, Sibaso
(pengantara orang-orang halus) menyuruh orang banyak untuk membunuh Nommensen
sebagai korban, yang pada saat itu hadir di situ. Sikap penolakan ini disebabkan kekhawatiran
bahwa Nommensen adalah perintisan dari pihak Belanda.

Perkembangan kekristenan setelah Injil masuk di tanah Batak


Suku Batak yang masuk Kristen mendapat tekanan dan diusir dari kampung halamannya
karena tidak mau memberi sumbangan untuk upacara-upacara suku. Keadaan seperti ini
mamaksa mereka berkumpul pada satu kampung tersendiri, yaitu Huta Dame (kampung
damai). Setelah tujuh tahun Nommensen melakukan penginjilan, orang Batak yang masuk
Kristen berjumlah 1.250 jiwa. Sepuluh tahun kemudian pada tahun 1881 jumlahnya naik lima
kali lipat, hingga jumlah orang Batak yang masuk Kristen adalah sekitar 6.250 orang. Pada
tahun 1881, Nommensen diangkat menjadi Ephorus oleh RMG. Jabatan tersebut dipegangnya
hingga ia meninggal dunia pada 23 Mei 1918. Orang Batak memberi gelar kepada
Nommensen dengan sebutan “Ompu i”. Gelar Ini Menyejajarkan Nommensen dengan
Sisingamangaraja sebagai raja-imam.

Kehiudpan masayarakat pada masa colonial

-sosial
Pembukaan perkebunan deli oleh jacob nienhyus membawa banyak masayarakat asing datang
ke sumatera timur diantaranya ada beberapa etnis yaitu:
1.cina
2.melayu
3.jawa
Orang dari etnis tersebut dibawa untuk dijadikan buruh perkebunan di sumatera kehidupan
sosial masyarakat jawa dan cina sangat berbeda dari cara mereka diperlakukan hal ini bisa di
lihat dari barak perkebunan orang jawa yang kumuh, kotor dan kesehatannya yang tidak
terjaga
(Barak/tempat tinggal buruh jawa)
Sangat berbeda jika melihat barak/tempat tinggal buruh yang didatangkan dari cina
tempatnya bersih, rapi dan kesehatannya terjaga
(barak/tempat tinggal buruh cina)
Perbedaaan tempat tinggal menyebabkan adanya perbedaaan kelas sosial dimana kelas atas di
isi oleh orang eropa atau pemilik perkebunan, kelas kedua diisi oleh orang timur/pendatang
contohnya orang orang cina dan jepang selanjutnya adalah kelas bawah yang dihuni oleh
orang orang pribumi dan india(rosmaida:128).
Nasib perempuan pada masa kolonialisme sangat tragis dan menyedihkan contohnya
terjadinya pergundikan dalam perkebunan yang melibatkan antara laki-laki eropa dan kuli
perempuan yang menjadi nyainya Hubungan yang terjalin atas dasar kekuasaan laki-laki kulit
putih ini lebih buruk dari yang terjadi di tengah masyarakat sipil dan tangsi. Para nyai
seringkali memperoleh hukuman dan siksaan yang kejam apabila tidak menuruti kemauan
tuannya. Pergundikan di tangsi dan perkebunan akan membawa akhir yang tidak lebih baik
daripada pergundikan di kalangan sipil(hendra:144). Para nyai yang ditinggal oleh tuannya
kembali ke belanda tidak mempunyai pilihan selain menjadi pelacur di barak barak buruh hal
ini menyebabkan banyaknya jumlah wanita yang hamil di luar pernikahan.

-budaya
Setelah mendapatkan gaji dari mandor perkebunan maka para buruh pribumi akan langsung
dihabiskan pada malam setelah gajian hal itu disebut dengan “malam keramaian” pada malam
itu dilakukan kegiatan kehiburan bagi para buruh seperti adanya acara kesenian, perjudian,
pelacuran sampai candu berupa opium. Setelah malam tersebut maka uang gaji mereka akan
habis dan mereka tidak punya pilihan selain memperpanjang kontrak mereka untuk
mendapatkan uang(yasmis:2007)

-ekonomi
Pembagian gaji oleh buruhpu memiliki perbedaan yang cukup signifikan seperti berikut:

Dimana perbedaan dari kedua etnis sangat berbeda upah pribumi lebih sedikit dari pada upah
buruh cina upah buruh pribumi sekitar 0,29-0,46 rupiah pada 1910, pada 1913 upah pribumi
naik jadi 0,30-0,50 rupiah. Dikarenakan upah pribumi begitu kecil dan sering habis di malam
keramaian maka untuk menghidupi kebutuhan sehari hari maka banyak buruh pribumi yang
berhutang di kedai kedai yang didirikan oleh para mandor lalu jika hutang tidak dibayar
mereka dipaksa kerja tanpa mendapatkan upah mereka sehingga mengikat mereka dalam
kontrak yang tidak pernah berakhir.

-kepercayaan
Kepercayaan masyarakat asli sumatera utara awalnya adalah kepercayaan terhadap nenek
moyang tetapi terjadinya kristenisasi di sumatera yang dibawa oleh zending dari belanda
menyebarkan agama kristen di sumatera utara tetapi ada juga kepercayaan yang sudah ada
pada masa kerajaan islam dan hindu budha serta kepercayaan yang di bawa oleh orang cina
dan india ke sumatera utara menambah banyaknya kultur di sumatera utara.

-kesehatan
Kehigenisan dan kesehatan masayarakat sumatera utara kurang terjaga di tanah karo pada
masa itu gaya hidup sehat tidak terjaga kebiasaan masyarakat karo yang tidak mencuci tangan
saat makan, memakan makanan mentah, dan sanitasi yang buruk tanah karo pernah
mengalami wabah lepra/kusta yang melanda tanah karo keterbelakangan pikiran dan
kebiasaan masyarakat yang sering berkumpul dan makan bersama membuat penyebaran
wabah semakin cepat(eva:37).
Bukannya mencari cara untuk menyembuhkan wabah masyarakat karo malah mengasingkan
orang oarang yang terkena lepra dan mengusirnya sehingga berisiko untuk menyebar lebih
jauh lagi. Pemerintah kolonial melihat hal ini segera membuat kebijakan dengan membangun
tempat isolasi sementara dan membangun rumah sakit khusus kusta lau simomo dalam
penegahan dan pengobatan lepra.
BAB III
PENUTUP
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan
dalam makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya
pengetahuan kurangnya yang kami peroleh hubungannya dengan makalah ini. Penulis
banyak berharap kepada para pembaca yang budiman memberikan kritik saran yang
membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis para pembaca khusus pada penulis.

DAFTAR PUSTAKA
https://www.idntimes.com/travel/destination/nurul-chairina/keindahan-bangunan-kolonial-
belanda-di-medan-c1c2/7

http://repositori.kemdikbud.go.id/14187/1/Sejarah%20perlawanan%20terhadap%20kolonialisme
%20dan%20imperialisme%20di%20sumatera%20utara.pdf

https://gapki.id/news/2314/pulau-sumatera-feeding-world-dan-reforestasi-melalui-kebun-sawit

https://sumutprov.go.id/artikel/artikel/perkebunan-dan-kehutanan

https://aceh.tribunnews.com/2019/07/04/narasi-tentang-sejarah-perkebunan-di-sumut

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kekristenan_di_Sumatra_Utara

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sejarah_masuknya_Kekristenan_ke_suku_Batak

https://ojs.uma.ac.id/index.php/agrica/article/view/1159

https://ojs.unud.ac.id/index.php/JAA/article/view/67664

Rosmaida Sinaga, kolonialisme belanda dan multikulturalisme masyarakat kota medan, yayasan kita
menulis, 2020

Hendra kurniawan, Historia Vitae:seri pengetahuan sejarah, majalah ilmiah vol 28, issn 0215-8809,
universitas sanata dharma

Yasmis, tesis: kuli kontrak di perkebunan tambakau deli-sumatera timur tahun 1880-1915, 2007

Lister eva simangunsong, sejarah epidema lepra di tanah karo, penerbit ombak, 2019

Anda mungkin juga menyukai