Anda di halaman 1dari 28

SEJARAH KERAJAAN SAMUDRA PASAI DAN KERAJAAN ACEH

DARUSSALAM

Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah

Indonesia Masa Kesultanan Yang Dibina Oleh Bapak Deny Yudo Wahyudi, S.Pd, M.Hum

Disusun Oleh:

Kelompok 1

Ahmad Nadzif Syahrifudin (200731638078)

Alvia Wulandari (200731638085)

Indah Suci Natasya (200731638056)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS ILMU SOSIAL

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

SEPTEMBER 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
petunjuknya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Dalam rangka memenuhi
tugas mata kuliah Indonesia Masa Kesultanan maka karya tulis ini dibuat dengan judul “Sejarah
Kerajaan Samudra Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam”. Adapun kami mengambil judul
tersebut karena saat ini banyak dari kita yang kurang mengetahui awal berdirinya kerajaan
Samudra Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam. Oleh sebab itu, kami berharap dengan adanya
karya tulis ini dapat meningkatkan kecintaan serta rasa bangga akan nilai historis kerajaan Islam
yang ada di Indonesia.

Tidak sedikit kesulitan yang kami hadapi. Namun berkat bantuan berbagai pihak,
makalah ini akhirnya dapat diselesaikan. Sehubungan dengan hal ini, kami menyampaikan
ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Deny Yudo Wahyudi, S.Pd, M.Hum sebagai dosen mata kuliah Indonesia
Masa Kesultanan.
2. Teman-teman yang secara langsung berpartisipasi dalam penyelesaian makalah
ini.

Kami juga menyadari akan segala kekeliruan dan kekurangan dalam makalah ini,
sehingga dengan tangan terbuka kami menerima masukan baik berupa saran ataupun kritikan
guna mendapatkan makalah yang lebih sempurna nantinya. Selain itu, kami berharap agar karya
tulis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan tercapainya tujuan dari penulisan karya tulis
ini.

Malang, 25 September 2021

Kelompok 1
i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................................................iii
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................1
1.2 Masalah atau Topik Bahasan.................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan....................................................................................................................2
BAB II.............................................................................................................................................3
PEMBAHASAN..............................................................................................................................3
2.1 Awal Berdirinya Kerajaan Samudra Pasai.............................................................................3
2.2 Perkembangan Kerajaan Samudra Pasai................................................................................5
2.3 Kemunduran Kerajaan Samudra Pasai...................................................................................8
2.4 Awal Berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam......................................................................10
2.5 Perkembangan Kerajaan Aceh Darussalam.........................................................................12
2.6 Kemunduran Kerajaan Aceh Darussalam............................................................................18
BAB III..........................................................................................................................................20
PENUTUP.....................................................................................................................................20
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................20
3.2 Saran.....................................................................................................................................21
DAFTAR RUJUKAN....................................................................................................................22

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Letak Samudra Pasai.................................................................................. 3


Gambar 2. Salah satu sisi Nisan Sultan Malik Al-Saleh...................................................... 4
Gambar 3. Mata Uang Emas Dirham................................................................................... 6
Gambar 4. Peta Letak Kerajaan Aceh Darussalam............................................................... 10
Gambar 5. Makam Sultan Ali Mughayat Syah..................................................................... 11
Gambar 6. Derham Aceh masa Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Kahar............................. 16

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam masuk menjadi agama dan arus kebudayaan mula-mula ditandai bahwa di daerah Leran
terdapatkan sebuah batu nisan dalam bentuk bahasa dan huruf Arab. Batu itu memuat keterangan
tentang meninggalnya seorang perempuan, bernama Fatimah binti Maimun, sangat mungkin
dalam tahun 1082 Masehi. Disisi lain, seorang Italia dari Venetia, bernama Marco Polo yang
pada tahun 1292 singgah di bagian Aceh Utara dalam perjalanannya dari Tiongkok ke Persia
melalui laut. Ia juga menjumpai beberapa penduduk di daerah Perlak yang sudah memeluk
agama Islam, dan juga banyak pedagang Islam dari India yang giat menyebarkan agama Islam
tersebut. Tetapi berbeda dengan di daerah sekitar kota yang mana penduduknya masih belum
mengenal Islam. Hal ini dapat disimpulkan, bahwa islamisasi di daerah Perlak tersebut belum
lama berlangsungnya.

Menurut Soekmono (1981:42), Marco Polo juga mengunjungi berbagai tempat lainnya di
ujung utara pulau Sumatra. Ia berpendapat bahwa di tempat-tempat ini penduduknya masih
belum Islam. Tetapi keadaan ini rupanya segera berubah. Ketika ditemukan makam-makam raja
Islam, di antaranya Sultan Malik as-Saleh yang meninggal tahun 1297 Masehi. Hal ini berarti,
bahwa segera sesudah kunjungan Marco Polo, ujung utara pulau Sumatra telah mulai diislamkan,
yang juga ditandai dengan keruntuhan Kerajaan Sriwijaya yang disebabkan karena faktor
perdagangan dan politik, sehingga dimanfaatkan oleh para pedagang muslim beserta mubaligh
atau pendakwah untuk menyebarkan agama Islam. Di lain sisi Islamisasi di daerah pulau
Sumatera tidak terlepas dari peranan Selat Melaka yang menjadi jalur pelayaran dan
perdagangan yang telah berlangsung sejak masa prasejarah. Ditandai dengan ditemukannya
sampah dapur berupa bekas kulit kerang (Kjokkenmoddinger) di daerah Seruwai Aceh Tamiang
dan peninggalan dari zaman Neolitik di berbagai tempat di pesisir timur Sumatera, sehingga
dapat dikaitkan dengan adanya hubungan satu kawasan dengan kawasan lainnya
(Tjandrasasmita, 1988:67).

1
Dengan demikian dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa tempat Islam memperoleh pijakannya
yang nyata yang pertama di Indonesia adalah di Aceh Utara, sedangkan waktunya adalah
menjelang akhir abad ke-13, pembawa dan penyiarnya adalah pedagang-pedagang dari India dan

cara pengislamannya berlangsung dengan damai. Oleh karena itu, fokus bahasan pada penulisan
ini hanya mengenai kerajaan kerajaan Islam yang berada di ujung utara Sumatera yang mana
terdapat dua kerajaan besar yang berpengaruh pada proses islamisasi di wilayah pulau Sumatera
sekaligus menjadi awal penyebaran Islam di nusantara yaitu Kerajaan Samudra Pasai dan
Kerajaan Aceh Darussalam.

1.2 Masalah atau Topik Bahasan


Masalah atau topik bahasan pada makalah ini ditunjukan untuk merumuskan permasalahan
yang akan dibahas pada pembahasan dalam makalah. Adapun topik bahasan yang akan dibahas
dalam makalah, adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana proses awal berdirinya Kerajaan Samudra Pasai?


2. Bagaimana perkembangan Kerajaan Samudra Pasai?
3. Bagaimana kemunduran Kerajaan Samudra Pasai?
4. Bagaimana proses awal berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam?
5. Bagaimana perkembangan Kerajaan Aceh Darussalam?
6. Bagaimana kemunduran Kerajaan Aceh Darussalam?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan masalah atau topik bahasan yang telah dipaparkan di atas, maka kami memiliki
sebuah tujuan dari penulisan makalah ini. Adapun tujuan dari penulisan makalah adalah sebagai
berikut:

1. Untuk mengetahui proses awal berdirinya Kerajaan Samudra Pasai.


2. Untuk mengetahui perkembangan Kerajaan Samudra Pasai.
3. Untuk mengetahui kemunduran Kerajaan Samudra Pasai.
4. Untuk mengetahui proses awal berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam.
5. Untuk mengetahui perkembangan Kerajaan Aceh Darussalam.
6. Untuk mengetahui kemunduran Kerajaan Aceh Darussalam.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Awal Berdirinya Kerajaan Samudra Pasai


Kerajaan Samudra Pasai sudah memegang posisi yang utama pada masa Sriwijaya. Hal
ini dikarenakan posisi kerajaan Samudra Pasai yang strategis. Kerajaan Samudra Pasai terletak di
pantai barat Selat Malaka, kurang lebih berjarak sekitar 15 km disebelah timur Lhokseumawe,
Nangro Aceh. Bahkan, selat Malaka sudah menjadi pusat lalu lintas perdagangan pada masa itu.

Dalam sebuah hikayat dikatakan bahwa pusat pertama dari kerajaan Samudra Pasai
adalah Muara Sungai Peusangan. Sungai dengan yang cukup panjang dan lebar berada di
sepanjang jalur pantai yang menjadi jalur bagi perahu-perahu dan kapal ke pedalamanan.
Terdapat dua kota yang berada diseberang muara sungai Peusangan yaitu Pasai dan Samudra.
Kota Pasai terletak ke arah muara, sedangkan kota Samudra terletak ke arah pedalaman.

Jauh sebelum masuknya Islam ke Indonesia dan berdirinya Samudra Pasai, terdapat
sebuah kerajaan Aceh Besar. Kerajaan itu bernama Lamuri. Oleh Marcopolo, ia menyebut
kerajaan tersebut dengan Lambri.

3
Gambar 1. Peta Letak Samudra Pasai
(Sumber: idsejarah.net)

Kerajaan Samudra Pasai diperkiran berdiri pada awal abad ke-13 M. Menurut Kemnet W.
Morgan dalam karyanya yang berjudul “Islam Jalan Lurus” mengatakan bahwa pendiri dari
kerajaan Samudra Pasai adalah Malik Al-Saleh. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan
makam raja Samudra pertama yang ditemukan diperkuburan yang berada disekitar desa
Samudra. Pada nisan yang ditemukan ditemukan bahwa Raja Al Mulakkab Sultan Malik Al
Saleh yang wafat pada 696 (1279 M).

Gambar 2. Salah satu sisi Nisan Sultan Malik Al-Saleh.


(Sumber: jkma-aceh.org)

Dikatakan didalam Hikayat Raja-raja Pasai, sebelum memiliki gelar Malik Al-Saleh pada
saat menjadi raja, ia memiliki gelar Merah Sile atau Merah Selu. Merah Selu merupakan putra
Merah Gajah. Nama Merah adalah gelar bangsawan yang dipakai di Sumatera Utara. Nama Selu
diperkirakan berasal dari kata Sungkala yang berasal dari kata Sanskrit Chula.
Kepemimpinannya yang menonjol membuatnya memimpin sebagai raja.

Terdapat berbagai pendapat menganai bagaimana cara Sultan Malik Al-Saleh memeluk
agama Islam. Pertama, ada dugaan bahwa bahwa Malik-Al Saleh memuluk agama Islam setelah
menikah dengan puteri sultan Perlak. Kedua, menurut Hikayat Raja-raja Pasai, raja Merah Silu
masuk Islam setelah bermimpi bertemu dengan Rasullullah. Di dalam mimpi tersebut, Nabi

4
Muhammad meyuruh raja Merah Silu untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Rasulullah
kemudian memberikan nama Islam yaitu Malik Al-Saleh. Sultan Malik Al-Saleh kemudian dapat
membaca al-Quran dari awal hingga akhir tanpa belajar sebelumnya.

Ketiga, ada yang menyebutkan bahwa Malik Al-Saleh masuk Islam setelah pertemuannya
dengan Syaikh Ismail, seorang utusan yang diperintaha oleh Syarif Makkah yang datang
langsung dari Makkah. Hal ini berdasarkan hadist Rasullullah yang memberitahu untuk
mengislamkan Samudera dan menyuruhnya mengucapkan dua kalimat syahadat. Oleh Syarif
Makkah, ia kemudian memberi gelar Sultan Malik Al-Saleh. Masuk Islamnya raja Samudra
Pasai ini kemudian diikuti oleh seluruh pembesar kerajaan dan penduduknya.

Sultan Malik Al-Saleeh kemudian menikah dengan Puteri Ganggang Sari (Puteri
Raihani), ia adalah salah satu dari puteri Sultan Perlak Makhdum Alauddin Malik Muhammad
Amin Syah II Johan Berdaulat. Pernikahan dilangsungkan sesuai dengan hukum Islam karena
sebelumnya kerajaan Perlak sudah memeluk agama Islam. Hal ini berdasarkan berita yang
dibawa oleh Marco Polo pada tahun 1292 saat berkunjung ke Sumatera. Dari pernikahannya,
sultan Malik Al-Saleh dikarunia seorang anak laki-laki yang bernama Muhammad Malikuzzahir
yang nantinay akan menjadi raja menggantikan Malik Al-Saleh.

2.2 Perkembangan Kerajaan Samudra Pasai


Berkembangnya kerajaan Samudra Pasai tidak dapat dilepaskan dari letak geografisnya
yang startegis dan selalu berkaitan dengan pelayaran dan perdagangan internasional melewati
Selat Malaka sejak berabad-abad sebelum masehi. Para pedagang muslim dari segala penjuru
negeri seperti Arabia, Persi (Iran), dan negeri-negeri Timur Tengah lainnya sudah datang sejak
abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Awal abad ke-16 bisa dikatakan sebagai puncaknya dari kerajaan
Samudra Pasai. Terdapat dalam berita Tome’ Pires (1512-1515) bahwa kerajaan Samudra Pasai
mengalami kemajuan dalam berbagai bidang yaitu politik pemerintahan, keagamaan, dan
perekonomian perdagangan.

Mereka memeliki peranan penting dalam pelayaran dan perdagangan internasional .


Perkembangan pelayaran dan perdagangan ini disebabkan adanya upaya-upaya untuk
mengembangkan kekuasaan dibawah bani Umayyah (660-749), Di Asia Timur yang berada
dibawah Dinasti Tang (618-907), dan Asia Tenggara dibawah kerajaan Sriwijaya abad ke-7-14
M).

5
Kerajaan Sriwijaya yang sebelumnya mendominasi secara perlahan mengalami
kemunduran yang disebebkan oleh adanya perluasaan kerajaan Singhasari dari Jawa. Secara
perlahan sejak abad ke-7 dan ke-8 hingga abad ke-11 daerah pesisir Selat Malaka serta Cina
Selatan banyak bermunculan komunitas-komunitas muslin dikarenakan islamisasi. Komunitas-
komunitas muslim ini akhrinya tumbuh menjadi Samudra Pasai yang menjadi kerajaan Islam
pertama di Indonesia.

Dalam kehidupan perekonomian, kerajaan Samudra Pasai tidak memiliki basic agraris.
Kerajaan Samudra Pasai memiliki basic perekenomian pelayaran dan perdagangan. Dengan
melakukan pengawasan terhadap perdagangan dan pelayaran yangmenjadi sendi-sendi
kekuasaan menyebabkan kerajaan Samudra Pasai mendapatkan penghasilan dan memperoleh
pajak yang besar.

Tome Fires mengatakan bahwa di kerajaan Samudra Pasar terdapat mata uang dirham.
Setiap kapal yang membawa barang dari Barat akan dikenakan pajak sejumlah 6%. Ditinjau dari
segi sosial ekonominya, Samudra Pasai merupakan sebuah daerah yang penting yang menjadi
penghubungan antara pusat-pusat perdagangan di kepulauan Indonesia, India, Cina, dan Arab.
Bukti adanya mata uang emas yang disebut dirham tersebut menandakan bahwa kerajaan
Samudra Pasar adalah kerajaan yang makmur.

Pada mata uang dirham tersebut terdapat nama raja-raja yang memimpin kerajaan
Samudra Pasai dan urutannya adalah Sultan Malik al-Saleh (wafatr 696 H/ 1297 M0, Sultan
Muhammad Malik az-zahir (1297-1326), Sultan Mahmud Malik az-zahir (lk. 1346-1384), Sultan
Zain al-‘Abidin Malik az-Zahir (1383-1405), Sultanah Nahrisyah 91405-1412), Abu Zaid Malik
az-Zahir (1412-?), dan Mahmud Malik az-Zahir 91513-15240.

Gambar 3. Mata Uang Emas Dirham

6
(Sumber: anakaseliindonesia.wordpress.com)

Terjaganya kemakmuran di kerajaan Samudra Pasai hingga masa sultan yang terakhir
yaitu Sultan Zain al’Abidin (1513-1524). Tome’ Pires, seorang pengelana yang berasal dari
portugis, dalam perjalanan ke Nusantara pada awal abas ke-16 mengatakan bawah kesultanan
Samudra Pasai adalah kesultanan yang kaya dan makmu dimana terdapat 20.000 penduduk
Samudra Pasai. Kerajaan Samudra Pasai memiliki hasil bumi berupa lada, sutera, dan kapur
barus. Tome Pires banyak melihat pedagang muslim di Pasai. Kebanyakan dari mereka adalah
orang Rumi (Penduduk Konstantinopel yang berada dibawah kekuasaan Turki-Usmani), Turki,
Arab, Persia, Gujarat, Keling, Jawa, Siam-Kedah, Pegu, dan Beruas.

Selanjutnya dalam hubungan antarkerajaan, kerajaan Samudra Pasai dibawah


kepemimpinan Sultan Malik Al-saleh sudah memeiliki hubungan dengan Cina. Hal ini terdapat
dalam berita sejarah dinasti Yuaan pada tahun 1282 M. Isi dari berita tersebut dikatakan bahwa
ada seorang utusan dari Cina yang dikirim untuk menemui seorang menteri daro kerajaan
Sumatra di Quilon yang meminta agar raja Sumatra (Samudra) mengirim utusannya (duta) ke
Cina. Kerajaan Samudra Pasai juga mengadakan hubungan dengan Malaka hingga mengikat
hubungan dalam perkawinan.

Dalam bidang keagamaan, kerajaan Samudra Pasai memiliki peranan penting dalam
penyebaran agama Islam di Asia Tenggara. Salah satunya adalah kerajaan Malaka menjadi
kerajaan yang memiliki corak Islam karena memiliki hubungan yang erat dengan kerajaan
Samudra Pasai. Kerajaan Samudra Pasai juga memberikan kontribusi yang besar dalam
penyebaran Islam di Tanah Jawa. Hal ini dilakukan kerajaan Samudra Pasai dengan
mengirimkan para ulama ke Tanah Jawa untuk menyebarkan agama Islam. Selain itu, banyak
pula ulama yang berasal dari Jawa yang menimba ilmu di kerajaan Samudra Pasai.

Sedangkan kehidupan sosial dan budaya, masyarakat kerajaan Samudra Pasai diatur
berdasarkan aturan-aturan dan okum-okum Islam. Dalam pelaksanaanya banyak terdapat
persamaan antara kehidupan sosial yang ada di Samudra Pasai dengan di negeri Mesir dan Arab.
Maka dari itu, tidak heran hingga sekarang Aceh terkenal dengan julukannya yaitu serambi
Mekkah. Dalam perkembangan budaya, kerajaan Samudra Pasai berkembang menjadi penghasil
karya tulis yang baik. Beberapa orang berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh
agama Islam untuk menulis karya mereka dalam bahasa Melayu yang kemudian dikenal dengan

7
bahasa Jawi dan hurufnya disebut dengan Arab Jawi. Salah satu karya tulisnya adalah Hikayat
Raja Pasai (HRP) yang diperkirakan ditulis sekitar tahun 1360 M.

2.3 Kemunduran Kerajaan Samudra Pasai


Terdapat dua faktor yang menyebabkan kemunduran kerajaan Samudra Pasai yaitu faktor
intern dan faktor ekstern.

a. Faktor Intern
a) Tidak adanya pengganti pemimpin yang lebih cakap dan terkenal setelah
Sultan Malik At-Tharir
Setelah sultan Malik At-Tharir wafat, tidak temukan pengganti yang lebih
cakap yang bisa menggantikan sultan Malik At-Tharir. Samudra Pasai
yang sebelumnya berperan penting dalam penyebaran agama Islam
kemudian diambil alih oleh kerajaan Aceh yang menyebarkan agama
Islam.
Berdirinya sebuahy kerajaan di Aceh yang mulai merintis sebuah
peradaban yang lebih besar dan maju yaitu Kerajaan Aceh Darussalam
menyebabkan kerajaan Samudra Pasai semakin melemah. Secara perlahan
pamor kerajaan Samudra Pasai mulai meredup dan berada dibawah
kendali kerajaan Aceh Darussalam.
b) Adanya perebutan kekuasaan
Adamya pemberontakan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap
kerajaan Samudra Pasai sehingga menyebabkan beberapa pertikaian di
Samudra Pasai yang menimbulkan terjadinya perang saudara. Namun pada
akhrinya kerajaan Samudra Pasai mengalami keruntuhan setelah
ditaklukkan oleh Portugis yang telah mendudukinya selama tiga tahun dan
mulai dikuasai sejak tahun 1521 M.
b. Faktor Ekstern
a) Adanya serangan dari Majapahit pada tahun 1339
Mahapatih Gajah Mada dari kerajaan Majapahit mendengar adanya kabar
mengenai kebesaran kerajaan di Sumatra yaitu Samudra Pasai. Khawatir

8
dengan pesatnya kemajuan di kerajaan Samudra Pasar membuat Gajah
Mada menyusun rencana untuk melakukan penyerangan ke kerajaan
Samudra Pasai.

b) Berdirinya Bandar Malaka dengan letak yang lebih strategis


Kerajaan Samudra Pasai yang dikenal sangat penting dalam arus
perdagangan di kawasan Asia Tenggara secara perlahan mengalami
kemerosotan dengan munculnya bandar perdagangan di Malaka yang
terdapat di Semenanjung Melayu setelah dikuasainya kerajaan Samudra
Pasai oleh kerajaan Malaka.
c) Serangan Portugis
Kerajaan Samudra Pasai yang sedang melemah dimanfaatkan oleh orang-
orang Portugis untuk menyerang kerajaan Samudra Pasai hingga
mengalami keruntuhan.

2.4 Awal Berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam


Kerajaan Aceh Darussalam berdiri setelah runtuhnya kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan
Aceh Darussalam merupakan salah satu kerajaan Islam yang berada di ujung Utara pulau
Sumatera dan ujung Barat dari kepulauan Nusantara dengan ibukota Kutaraja Banda Aceh.
Terdapat sebuah kronik yang mengatakan bahwa kekuasaan Aceh bermula pada pertengahan ke-
2 tahun 601 H atau 1205 M, yaitu ketika terdapat orang asing dari Barat yang datang ke Aceh.
Orang tersebut membawa agama Islam dan menikah dengan orang Aceh. Ia kemudian menetap
dan memiliki gelar Soeltan Djohan Syah.

Sementara itu, dikatakan oleh Joao de Barros bahwa pendiri kerajaan Aceh adalah Raja
Ibrahim. Berdasarkan sumber dari orang-orang Portugis yang datang ke kepulauan Nusantara,
mengatakan bahwa Aceh dulunya merupakan daerah jajahan kerajaan Pedir yang diperintah
sendiri oleh ayah Raja Ibrahim. Raja Ibrahim kemudia menduduki tahta menggantikan ayahnya,
hal pertama yang dilakukan oleh Raja Ibrahim adalah memerdekakan diri dan melepaskan diri
dari Pedir. Ia kemudian melakukan perluasan wilayah hingga Daya serta Pedir yang dulunya

9
pernah menjajah. Perluasan wilayah ini terus dilakukan hingga Raja Ibrahim menguasai Pasai
serta mengusir orang-orang Portugis yang berada di Pasai.

Menurut Veth, Raja Ibrahim merupakan anak dari Sultan Ali Mughayat Syah, yaitu
seorang budak yang dimerdekakan oleh Sultan Pedir dan memerintah Aceh. Ali Mughayat Syah
kemudian mempunyai seorang anak yaitu Salahaddin atau yang disebut dengan Raja Ibrahim.
Selain itu, terdapat pula pendapat yang mengatakan bahwa kerajaan Aceh merupakan suatu
bentuk perluasan dari kerajaan sebelumnya yaitu Meurah Johan abad ke-13.

Sedangkan menurut versi pada umumnya, Kerajaan Aceh didirikan oleh Sultan Ali
Mughayat Syah pada tahun 1496 atau pada abad ke 16. Boeston as-salatin juga mengatakan
bahwa sultan yang pertama kali menduduki tahta Aceh bernama Sultan Ali Mughayat Syah. Ia
menduduki tahta pada tahun 913 H atau tahun 1507 sampai dengan tahun 928. Sebelum itu,
dikatakan tidak ada sultan di Aceh

Pada awalnya, kerajaan Aceh berdiri diatas wilayah kerajaan Lamuri serta wilayah Aceh
besar lainnya, selama masa kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah wilayah kerajaan Aceh
diperluas dengan menaklukkan wilayah-wilayah di pesisir timur Sumatera yang berada dekat
dengan Pelabuhan Malaka yaitu, Daya, Pedir.

Terdapat alasan yang menjadikan Sultan Ali Mughayat Syah menaklukkan daerah di
sekitar Selat Malaka karena daerah-daerah tersebut memiliki potensi yang besar dalam kegiatan
perdagangan. Wilayah di sekitar Selat Malaka juga berada dalam lalu lintas perdagangan
Nusantara, sehingga dengan menaklukkan daerah sekitar Selat Malaka maka Kerajaan Aceh
memiliki kesempatan untuk berkembang.

10
Gambar 4. Peta Letak Kerajaan Aceh

(Sumber : kitabelajar.github.io)

Baru pada tahun, 1524 Kerajaan Aceh berhasil menduduki wilayah Pasai serta Aru. Hal
ini berarti bahwa Kerajaan Aceh berdiri ketika kerajaan Samudera Pasai berada di ambang
kehancuran. Hal ini dikarenakan Samudera Pasai mengalami konflik baik itu konflik internal
maupun eksternal, sehingga kerajaan Aceh dengan mudah menduduki Samudera Pasai. Kerajaan
Aceh sendiri kemudian menjadi kerajaan Islam yang besar serta menyebarkan agama Islam.

Pelabuhan Malaka kala itu menjadi pusat perdagangan Internasional, yang kemudian
pada tahun 1511 dikuasai oleh Portugis, yang mana hal ini mengakibatkan pedagangan beralih
dari Pelabuhan Malaka dan mencari Pelabuhan dagang lain seperti Pelabuhan Aceh, yang mana
masih berada di sekitar Selat Malaka. Hal ini tentunya membawa keuntungan bagi Kerajaan
Aceh sehingga Pelabuhan Aceh menjadi pusat perdagangan rempah-rempah khususnya lada
yang merupakan komoditas utama.

Keberadaan mengenai kerajaan Aceh Darussalam diperkuat dengan ditemukannya batu


nisan di komplek makam Kandang XII yang berada di Gampong Kampung Baru Kelurahan
Keraton, Kecamatan Baiturahman. Batu nisan tersebut ialah batu nisan Sultan Ali Mughayat
Syah yaitu pendiri kerajaan Aceh. Dalam batu nisan tersebut disebutkan bahwa Sultan Ali
Mughayat Syah meninggal pada 12 Dzulhijah tahun 936 atau tahun 1530.

Gambar 5. Makam Sultan Ali Mughayat Syah

(Sumber : id.wikipedia.org)

11
Setelah Sultan Ali Mughayat Syah meninggal tahta kerajaan Aceh diambil oleh anaknya
yaitu Salahuddin. Dan berlanjut hingga sultan-sultan berikutnya. Salah satu sultan yang terkenal
membawa masa keemasan bagi kerajaan Aceh ialah Sultan Iskandar Muda.

2.5 Perkembangan Kerajaan Aceh Darussalam


Sepeninggal Sultan Ali Mughayat Syah, tahta kerajaan Aceh berada di tangan anaknya
yaitu Salahuddin. Dikatakan bahwa Salahuddin merupakan seorang yang lemah. Hal ini jelas
tidak sesuai dengan gambaran Raja Ibrahim yang dikatakan bahwa Salahuddin merupakan anak
dari Sultan Ali Mughayat Syah yang disebut pula dengan Ibrahim. Dimana Raja Ibrahim
digambarkan sebagai seorang yang kuat serta ambisius.

Kepemimpinan Salahuddin berakhir pada tahun 1537 dan digantikan oleh Sultan
Alauddin Riayat Syah al-Kahar. Pada masa kepemimpinannya, Ia melakukan perluasan wilayah
serta menjadi organisator dalam pemerintahan Aceh yang melakukan pengadaan pembagian
penduduk atas bangsa, suku serta melakukan penguatan agama Islam. Sementara itu, Sultan
Alauddin Riayat Syah juga meminta bantuan terhadap Sultan Turki untuk menghadapi orang-
orang Portugis. Ia juga berhasil menjadi Sultan yang kedua kalinya menduduki Aru. Meskipun
begitu, pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah banyak terjadi pemberontakan
bahkan perebutan kekuasaan. Sultan Alauddin kemudian berkuasa hingga tahun 1571.

Dalam kerajaan Aceh sendiri Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, meskipun
begitu pemerintahan Aceh selalu dikendalikan oleh Oleebalang atau orangkaya. Terdapat hikayat
yang menyatakan bahwa terdapat Sultan yang diturunkan secara paksa, yaitu Sultan Sri Alam,. Ia
adalah anak dari Sultan Aladdin Riayat Syah al-Kahhar. Penurunan paksi ini dilakukan karena Ia
memiliki perangai yang buruk yaitu dengan membagikan harta-harta kerajaan terhadap para
pengikutnya.

Setelah Sultan Sri Alam digulingkan pada tahun 1579. Kerajaan Aceh dipimpin oleh
Sultan Zainal Abidin, tetapi tidak lama setelah itu Ia terbunuh karena kekejamannya serta
kecanduannya terhadap berburu dan adu binatang. Penguasa Aceh yang selanjutnya yaitu Sultan
Zainal al-Abidin, Ia juga dibunuh karena perangainya yang kejam. Sultan Zainal al-Abidin
dibunuh pada tahun 1577.

12
Penguasa berikutnya ialah Sultan Ala ad-din dari Perak dalam pemerintahannya Ia
melakukan penyerangan terhadap Johor pada tahun 1582 dan tidak menghasilkan apapun.
Kemudian pada tahun 1586, pemerintahan Aceh di duduki oleh Sultan Ali Riayat Syah atau
Radja Boejoeng yaitu seorang pangeran dari Indrapura. Sultan Aceh selanjutnya ialah Sultan Ala
ad-din Riayat Syah anak Firman Syah, Ia diturunkan karena pada masa pemerintahannya wilayah
Aru melepaskan diri.

Tahta Aceh selanjutnya berada di tangan anaknya yaitu Sultan Ali Riayat Syah atau
Sultan Moeda, dibawah pemerintahannya, Aceh dierang oleh Portugis. Sehingga pada tahun
1607 kepemimpinan digantikan oleh Sultan Iskandar Muda. Kerajaan Aceh berada dalam masa
keemasan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Ia memimpin Aceh pada tahun 1607
hingga 1636 M. Dibawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda kerajaan Aceh berkembang
menjadi kerajaan yang besar serta menjadi daerah penghubung atas kegiatan perdagangan
dengan Barat. Berbagai hal dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda untuk membawa masa
keemasan bagi Aceh.

Berbagai hal dilakukan seperti menghadapi persaingan dengan bangsa asing yang
berlomba-lomba untuk menguasai jalur perdagangan. Sultan Iskandar Muda memperkuat armada
serta Angkatan perang untuk melindungi wilayah kerajaan Aceh. Sementara itu, Sultan Iskandar
Muda juga menjalin hubungan kersajasama dengan Kerajaan Turki, Kerjasama ini

Selama masa pemerintahannya, Sultan Iskandar Muda juga menolak untuk melakukan
kegiatan perdagangan dengan Inggris dan Belanda. Pada masa itu,kerajaan Aceh juga melakukan
perluasan wilayah hingga menduduki daerah-daerah seperti Aru, Pahang, Kedah, Perlak serta
Indrapura. Sehingga dengan inilah wilayah kerajaan Aceh menjadi semakin luas. Kerajaan
Aceh dibawah kepimimpinan Sultan Iskandar Muda juga melakukan penyatuan terhadap negeri-
negeri di sepanjang pesisir timur dan barat Sumatera, Kedah, Perak, Johor, dan Padang

Setelah Sultan Iskandar Muda wafat tahta Aceh digantikan oleh menantunya yaitu Sultan
Iskandar Thani yang memerintah pada tahun 1636 hingga 1641 M. Dimana pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar Thani juga terdapat ulama besar yaitu Nuruddin Ar-raini. Karya
yang dihasilkan oleh Nuruddin Ar-raini ialah buku mengenai sejarah Aceh yang berjudul
Bustanu’salatin. Setelah Sultan Iskandar Thani meninggal, barulah terjadi pergantian pemimpin

13
dari yang awalnya seorang laki-laki dengan gelar Sultan berubah menjadi seorang perempuan
dengan gelar Sultanah.

Sultanah yang pertama kali diangkat dalam kerajaan Aceh yaitu Ratu Tajul Alam
Safiatuddin Syah. Ia adalah anak dari janda dari Sultan Iskandar Thani dan anak dari Sultan
Iskandar Muda. Pada masa pemerintahannya, Ia dikatakan sebagai seorang perempuan yang
Tangguh dan cakap, Ia meninggal pada tahun 1675. Pemimpin Aceh selanjutnya adalah anaknya
yaitu Sri Paduka Putri yang bergelar Sultanah Nurul Alam Nakiatuddin Syah. Pada masa
pemerintahannya terdapat pembentukan wilayah Aceh menjadi tiga bagian yang disebut dengan
Aceh Lhee Sagoe yaitu sagi XXI mukim, sagi XXV mukim dan sagi XXVI mukim.

Sultanah kedua di Aceh ini meninggal pada tahun 1678, dan digantikan oleh Putri Raja
Setia yang bergelar Sultanah Inayat Syah Zakiatuddin Syah pada masa pemerintahannya tidak
dikatakan terjadi kemunduran dalam kerajaan. Tetapi setelah Ia meninggal pada tahun 1688.
Terjadi banyak perpecahan yaitu munculnya golongan masyarakat yang menginginkan penguasa
laki-laki. Tetapi pada akhirnya, pemerintahan Aceh berikutnya dipimpin oleh seorang perempuan
yaitu Ratu keempat yang Bernama Puteri Punti yang bergelar Sultanah Kamalayat Syah. Pada
masa pemerintahannya, terdapat dua kubu dalam masyarakat yang saling bertentangan yaitu satu
setuju akan pemimpin perempuan yang satunya menginginkan pemimpin laki-laki.

Pemimpin Aceh adalah seorang laki laki yaitu Sultan Badr al-Alam Syarif Hasiim Djamal
ad-Din yang berkuasa pada 1699 hingga 1702. Hingga akhir dari kerajaan Aceh, dipimpin oleh
pemimpin laki-laki. Sultan terakhir Aceh yaitu Sultan Muhammad Daud Syah.

Letak kerajaan Aceh Darussalam yang berada dalam posisi strategis dalam bidang
perdagangan menjadikan kerajaan Aceh berkembang pesat. Hal ini pula yang menjadikan
kerajaan Aceh menjadi kerajaan yang Makmur. Mata pencaharian penduduk Aceh ialah
berdagang dan bercocok tanam. Kegiatan pertanian penduduk Aceh ialah menanam padi dan
lada. Penduduk Aceh juga menanam pohon seperti pohon buah, pohon kelapa maupun pohon
pinang. Meskpun begitu, tanaman lada menjadi komoditas utama dalam bidang perdagangan.

Sementara itu terdapat komoditas lain seperti beras, daging, ikan, buah-buahan maupun
binatang ternak. Wilayah Pidie merupakan lumbung beras bagi kerajaan Aceh. Selain itu

14
penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan memiliki mata pencaharian sebagai pandai besi,
tembaga serta mengubah barang mentah menjadi barang jadi.

Meskipun begitu, beberapa pedagangan asing lebih tertarik terhadap lada selain itu lada
juga menjadi dagangan utama karena banyaknya pohon-pohon lada yang tumbuh di Aceh.
Bahkan satiap tahun kerajaan Aceh memanen lada hingga 20 buah kapal. Di Aceh sendiri juga
terdapat barang-barang yang didatangkan dari luar negeri seperti, pakaian dari India dan porselin
dari Cina

Kerajaan Aceh merupakan kerajaan dengan basis surplus komoditi perdagangan dari
daerah pedesaan. Surplus produksi perdagangan sendiri didapat dari hasil monopoli barang
dagang

di daerah kekuasaan Aceh seperti Sultan menerima pajak dari hasil produksi, baik produksi
hutan maupun perkebunan. Sedangkan hasil dari perkebunan lada di Aceh dikelola oleh
golongan orang kaya. Selain itu, pemimpin-pemimpin Aceh juga memiliki kebun sendiri, yaitu
perkebunan lada yang berada di daerah pedalaman. Sementara itu, dilain melakukan
perdagangan lada, Aceh juga melakukan kegiatan import, seperti import kain sutera serta minyak
wangi. Hal ini pula yang menjadikan perekonomian meingkat pesat.

Di sisi lain, pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, penghasilan ekonomi
diperoleh dari kegiatan perniagaan, yaitu dengan diterapkannya bea cukai bagi daerah-daerah
bawahan Aceh serta kapal-kapal yang berlabuh di Pelabuhan Aceh. Selain itu, Sultan Iskandar
Muda juga melakukan monopoli perdagangan lada yaitu dengan cara membawa lada ke Banda
Aceh kemudian ditawarkan dengan harga yang lumayan tinggi. Hal ini dilakukan sebagai upaya
dalam meningkatkan perekonomian kerajaan Aceh.

Oleh karena itulah, perdagangan lada di wilayah Aceh lebih mahal daripada harga lada
yang dijual didaerah yang ditaklukan Aceh, sehingga dengan ini Aceh mendapat banyak
keuntungan dari perdagangan lada. Sementara itu, kerajaan Aceh juga melakukan hubungan
persahabatan dengan negara Asing, seperti Eropa dan Inggris. Karena negara-negara asing
tersebut ingin berdagangan di wilayah Aceh, maka kerajaan Aceh mengajukan syarat-syarat
seperti pembayaran pajak serta bea cukai. Sementara itu, sebagai timbal balik atas kerja sama
kerajaan Aceh juga melakukan perdagangan ke luar negeri seperti melakukan kegiatan eskpor.

15
Salah satu kompoenna penting dalam kegiatan perdagangan adalah alat tukar berupa uang
logam. Uang logam pada saat itu dinamakan dengan Derham Aceh. Uang logam Derham Aceh
memiliki diameter sekitar 12 sampai 14 mm dan terbuat dari emas antara 17 sampai 18 karat. Di
kedua sisi uang logam terdapat aksara Arab yang dicetak timbul dengan relative kasar. Ciri khas
dari Derham Aceh ini ialah adanya nama yang berbeda di ukir di uang logam berdasarkan raja
yang memerintah pada saat itu.

Gambar 6. Derham Aceh masa Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Kahar

(Sumber : Mata Uang Emas Kerajaan-Kerajaan di Aceh)

Dari gambar tersebut bisa dilihat bahwa penulisan aksara Arab pada Derham Aceh
dilakukan berdasarkan Sultan yang memerintah pada saat itu, yaitu sisi depan tertulis ‘Alau ad-
Din bin ‘Ali Malik az-Zahir, sedangkan sisi belakang tertulis as-Sultan al- adil yang berarti Raja
yang adil. Penulisan as-Sultan al-adil pada Derham Aceh sendiri sudah dipakai sejak masa
kerajaan Samudera Pasai. Sementara itu, sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda,
penulisan as-Sultan al-adil sudah dipergunakan dalam Derham Aceh.

Sementara itu, dimensi budaya kerajaan Aceh meliputi konsep, aturan serta makna yang
dimiliki oleh penduduk Aceh yang digunakan sebagai landasan untuk berperilaku dalam
kehidupan mereka. Salah satu budaya Aceh dalam dimensi politik yaitu gelar “sultan” yang
digunakan untuk menyebut penguasa Aceh meskipun Aceh disebut sebagai sebuah “kerajaan”.

16
Hal ini dikarenakan Aceh merupakan kerajaan Islam yang berdiri dengan implementasi dari
ajaran Islam itu sendiri.

Selain itu, kerajaan Aceh juga menganut tradisi kekuasaan yaitu terdapat penguasa lokal
atau uleebalang biasanya terdiri masyarakat yang kaya raya. Penguasa lokal ini biasanya menjadi
pusat asal aktivitas kerajaan berasal. Penguasa lokal biasanya memegang tanggung jawab dalam
tugas keagamaan serta memiliki peran dalam bidang politik seperti deputi sultan maupun
penasihat sultan.

Sementara itu, Aceh dikenal sebagai “pusat studi keIslaman” artinya banyak berdatangan
orang-orang asing maupun ulama yang berdatangan ke Aceh dengan tujuan untuk pendidikan.
Tradisi ini sudah dilakukan sejak kerajaan Samudera Pasai, jadi bisa dikatakan kerajaan Aceh
mengadopsi tradisi dari sejak kerajaan Samudera Pasai. Apalagi pada saat itu, Aceh memiliki
kemajuan intelektual yang tinggi. Salah satu ulama yang datang ke Aceh adalah Nur al-Din al-
Raniri yaitu seorang ulama dari Gujarat, India. Karya Raniri yang terkenal pada masa
kepemimpinan Sultan Iskandar Thani yaitu kitab berjudul Bustan al-Salatin yaitu kitab mengenai
taman-taman raja dan berisi adat istiadat Aceh dan Asrar al-Insan fi Ma’rifat al-Ruh wa al-
Rahman.

Budaya yang lain pada kerajaan Aceh ialah adanya budaya memuliakan tamu di kalangan
masyarakat Aceh. Sebagai contoh, ketika Frederick de Houtman yaitu seorang pedagang, pelaut
dari Belanda yang berkunjung ke Aceh pada 24 Juni 1599 mendapat sambutan yang baik dengan
jamuan kerajaan oleh al-Mukammil serta disajikan pula acara kesenian dan hadiah kerajaan.

Sementara itu, kondisi Aceh yang menjadi pusat perdagangan dengan didatangi berbagai
bagai orang dari luar negeri tentunya mengakibatkan terjadinya percampuran penduduk yang
terdiri dari etnis dan bangsa yang berbeda. Dari sini kemudian terjadi adanya akulturasi budaya,
salah satunya ialah adanya pengadopsian Bahasa Melayu menjadi Bahasa resmi kerajaan, bukan
Bahasa Aceh. Aceh juga mempertahankan Bahasa Melayu sebagai lingua franca di Nusantara.

2.6 Kemunduran Kerajaan Aceh Darussalam


a. Faktor Internal
a) Pengangkatan Sultanah

17
Sejak kematian Sultan Iskandar Muda, posisi penguasa Aceh dipegang oleh
menantunya yaitu Sultan Iskandar Thani. Baru setelah kematian Sultan Iskandar
Thani, para Uleebalang mengangkat janda dari Iskandar Thani yaitu Ratu Tajul
Alam Safiatuddin Syah. Pengangaktan Sultanah ini dikarenakan para Uleebalang
ingin mengurangi adanya kontrol ketat seperti saat dipimpin oleh Sultan. Serta
terdapat ketakutan apabila Sultan yang memimpin akan terjadi adanya raja yang
tiran seperti Sultan Iskandar Muda. Dengan kondisi seperti ini, mengakibatkan
para Uleebalang bebas dalam melakukan kegiatan perdagangan.

b) Perang Saudara
Pada masa pemerintahan Sultanah, terjadi protes masyarakat dari kaum wujudiyah
yang menginginkan penguasa laki-laki atau Sultan. Kekacauan ini berhasil dengan
dibentuknya tiga sagoe yaitu pembentukan wilayah Aceh menjadi tiga bagian.
Perang saudara lainnya terjadi ketika masa kepemimpinan Sultan Alauddin Jauhar
Alamsyah terdapat seorang keturunan Sultan yang terbuang yaitu Sayyid Husain
yang mengklaim mahkota kesultanan. Perang saudara yang terjadi lainnya ialah
ketika adanya perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku
Ibrahim yang nantinya bergelar Sultan Mansur Syah.

b. Faktor Eksternal
a) Menguatnya kekuasaan Belanda.
Desakan dari bangsa Eropa terutama Belanda turut berperan dalam kemunduran
kerajaan Aceh. Menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat
Malaka mengakibatkan jatuhnya wilayah taklukan Aceh seperti Minangkabau,
Siak, Tapanuli, Mandailing, Deli. Sementara itu, wilayah Barus dan Bengkulu
menjadi wilayah jajahan Belanda.
b) Perang Aceh dan Belanda

18
Perang antara Aceh dan Belanda bermula pada 26 Maret 1873 yaitu dengan
Belanda yang melakukan ancaman terhadap kerajaan Aceh. Tetapi hal ini gagal
dilakukan sampai dengan 1893 pihak Belanda beranggapan telah gagal dalam
merebut Aceh. Tetapi pada tahun 1896, seorang ahli Islam dari Universitas
Leiden memberikan saran terhadap Belanda agar berhasil menaklukkan Aceh
dengan cara merangkul pasa Uleebalang serta menghabisi kaum ulama. Sehingga
pada tahun 1903, Sultan terakhir Aceh yaitu Sultan Muhammad Daud Syah
menyerahkan diri terhadap Belanda setelah anak, istri dan ibunya ditangkap oleh
Belanda. Pada tahun 1907, Sultan Muhammad Daud Syah dibuang ke Ambon dan
ke Batavia. Hal inilah yang kemudian menjadi akhir dari kerajaan Aceh
Darussalam.

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kerajaan Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di nusantara yang
terletak di pantai barat Selat Malaka tepatnya berpusat di muara sungai Peusangan. Kerajaan
Samudra Pasai diperkirakan berdiri pada abad ke-13 Masehi dengan raja pertama Kerajaan
Samudra Pasai adalah Sultan Malik al-Saleh. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan nisan.
Pada nisan tersebut dikatakan bawah Raja Al Mulakkab Sultan Malik al-Saleh wafat pada 696
(1279 M). Perkembangan Kerajaan Samudra Pasai disektor ekonomi dibuktikan dengan menjadi
basic perekonomian pelayaran dan perdagangan dengan menggunakan mata uang dirham.
Kerajaan Samudra Pasai juga menjalin hubungan kerajaan dengan Cina dan Malaka untuk
aktivitas politiknya. Selain itu, Kerajaan Samudra Pasai memiliki peranan yang penting dalam
penyebaran agama Islam baik penyebaran di luar negeri maupun di Nusantara. Di kehidupan
sosial masyarakat Samudra Pasai diatur berdasarkan aturan-aturan dan okum-okum Islam
sehingga kemakmuran Samudra Pasai terjaga hingga pada masa sultan terakhir yaitu Sultan Zain

19
al Abidin. Sedangkan kemunduran Kerajaan Samudra Pasai terdapat dua faktor yang
menyebabkan kemunduran kerajaan Samudra Pasai yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Jikalau
faktor intern kemunduran Kerajaan Samudra Pasai ditandai dengan tidak adanya pengganti
pemimpin yang lebih cakap dan terkenal setelah Sultan Malik At-Tharir dan adanya perebutan
kekuasaan antar keluarga kerajaan. Jikalau faktor ekstern ditandai dengan adanya serangan dari
Majapahit pada tahun 1339, berdirinya Bandar Malaka dengan letak yang lebih strategis, dan
adanya serangan dari portugis.

Sedangkan Kerajaan Aceh Darussalam didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada
tahun 1496. Namun Sultan Ali Mughayat Syah baru naik tahta pada tahun 1507. Kerajaan Aceh
berada di ujung Utara pulau Sumatera dan ujung Barat dari kepulauan Nusantara dengan ibukota
Kutaraja Banda Aceh. Kehidupan perekonomian kerajaan Aceh yaitu pertanian dan perdagangan.
Komoditas utama dalam perdagangan yaitu tanaman lada. Sedangkan perkembangan di bidang
politik ditandai terdapat banyak Sultan dalam kerajaan Aceh yaitu 24 Sultan dan 4 Sultanah atau
pemimpin perempuan. Salah satu Sultan yang terkenal yaitu Sultan Iskandar Muda.
Perkembangan

pada bidang budaya meliputi: Upacara seremoni terhadap tamu yang datang ke Aceh, Akulturasi
Budaya : Bahasa Melayu sebagai Lingua Franca, Penguasa Lokal atau Oleebalang, Pusat Studi
ke Islaman. Kemunduran Kerajaan Aceh Darussalam terdapat dua faktor yaitu faktor internal dan
faktor eksternal, Jika faktor internal ditandai dengan pergantian pemimpin dari Sultan menjadi
Sultanah dan terjadi perang saudara. Sedangkan jika faktor eksternal ditandai dengan
menguatnya kekuasaan Bangsa Eropa terutama Belanda dan terjadinya Perang Aceh dengan
Belanda.

3.2 Saran
Makalah ini kami buat sehingga diharapkan dapat menjadi sumber pembelajaran sejarah,
khususnya mahasiswa sejarah. Kami berharap penulisan makalah ini dapat memberikan
perhatian dan minat mahasiswa jurusan Pendidikan Sejarah dalam mata kuliah Indonesia Masa
Kesultanan tentang sejarah Kerajaan Samudra Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam. Mengingat
bahwa Kerajaan Samudra Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam sangat memiliki pengaruh yang
sangat besar khususnya terkait awal penyebaran agama Islam di nusantara.

20
Tulisan ini diharapkan mampu membuka wawasan bagi mahasiswa untuk mengetahui
Kerajaan Samudra Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam bahwa kedua kerajaan besar tersebut
sangat kolektif dalam melakukan penyebaran agama Islam, sehingga dapat membuka wawasan
mahasiswa supaya mengambil hikmah dan nilai nilai histroris dari kedua kerajaan tersebut.

DAFTAR RUJUKAN

Alfian, T.I. 1986. Mata Uang Emas Kerajaan-Kerajaan Di Aceh. Daerah Istimewa Aceh:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Alfian, T.I. 1999. Aceh dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jurnal Ketahanan
Nasional, IV(2), 39-52.

Djajadiningrat, R.H. 1982. Kesultanan Aceh. Daerah Istimewa Aceh: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.

Hadi, A. 2008. Menguak Beberapa Dimensi Budaya Kerajaan Aceh (Sebuah Kajian Historis).
MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 32(1).

H, Nurjannah, dkk. 2017. Pemetaan dan Penilaian Pemakaman Sejarah Samudra Pasai di
Kabupaten Aceh Utara. Paramita: Historical Studies Journal, 27(1),90-102

21
Kusnan. 1993. Samudra Pasai Masa Kesultanan Malik Al Saleh. Skripsi tidak diterbitkan.
Surabaya: FA IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Muhzinat, Z. 2021. Perekonomian Kerajaan Aceh Darussalam Era Sultan Iskandar Muda.
Tsaqofah Dan Tarikh: Jurnal Kebudayaan Dan Sejarah Islam, 5(2), 73–82.

Poesponogoro, Marwati Djoened., Notosusanto, N. 2010. Sejarah Nasional Indonesia III:


Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusantara.
Jakarta: Balai Pustaka.

Reid, A. (2005). Asal mula konflik Aceh: dari perebutan pantai Timur Sumatra hingga akhir
kerajaan Aceh abad ke-19. Yayasan Obor Indonesia.

Sulistiono, B. 2015. Menelusuri Tingggalan Arkeologi Kesultanan Samudera Pasai. Makalah


disajikan dalam Diskusi Persiapan Pameran Peninggalan Kesultanan Samudera Pasai,
Lembaga Pentashihan & Mushaf al-Quran, Jakarta, 18 Maret.

Suud, F. M. 2015. Perempuan Islam Dalam Sejarah Kerajaan Aceh Darussalam (1641-1699 M).
Serambi Tarbawi, 3(1).
Soekmono, R. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta: Kanisius

Tjandrasasmita, Uka. 1988. “Peranan Samudera Pasai dalam Perkembangan Islam di Beberapa
Daerah di Asia Tenggara”, dalam Hasan M. Ambary & Bachtiar Aly. Aceh dalam
Retrospeksi dan Refleksi Budaya Nusantara. Jakarta: INTIM.
Yakin, Ayang Utriza. 2015. Islamisasi dan Syariatisasi Samudera Pasai Abad ke-14 Masehi.
Islamica: Jurnal Studi Keislaman, 9(2),269-294.
Yatim, B. 2016. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Yunita, E., Amsia, T., & Syaiful, M. 2015. Perjuangan Sultan Iskandar Muda dalam Mencapai
Kejayaan Kerajaan Aceh di Nusantara. PESAGI (Jurnal Pendidikan Dan Penelitian
Sejarah), 3(6).

22
23

Anda mungkin juga menyukai