Anda di halaman 1dari 14

AKULTURASI BUDAYA ISLAM DAN HINDU-BUDDHA PADA ARSITEKTUR

MASJID MENARA KUDUS

Abstrak:

Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia
dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing.
Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa
menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Salah satu bentuk dari
adanya akulturasi budaya dapat dijumpai dari peninggalan zaman dahulu yang berbentuk
sebuah artefak, entah itu artefak berupa karya seni ataupun arsitekstur bangunan yang
terdapat pada suatu daerah. Masjid Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan dalam
bentuk bangunan yang terdapat di Kudus, Jawa Tengah.

Masjid Menara Kudus atau biasa juga disebut dengan Masjid Al-Aqsha merupakan masjid
dengan gaya bangunan kuno yang didirikan oleh sunan kudus pada tahun 1549 Masehi atau
jika dalam kalender Hijriah yakni pada tahun 956 Hijriah. Masjid yang terletak di Desa
Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah ini memiliki keunikan dalam
segi arsitekstur masjid tersebut. Menara masjid ini tampak seperti bangunan candi yang
dimana merupakan budaya Hindu-Buddha serta pola arsitekstur masjid ini tampak terlihat
perpaduan budaya antara Islam dan Hindu-Buddha sehingga menunjukkan adanya suatu
akulturasi budaya dalam pengislaman di pulau Jawa.

Kata kunci: arsitekstur, menara Masjid Menara Kudus, akulturasi, budaya Hindu-Buddha,
budaya Islam

Abstract:

Acculturation is a social process that arises when a group of people with a certain culture is
faced with a culture of a culture. The foreign culture is gradually accepted and processed into
its own culture without originating from the culture of the group itself. One form of cultural
acculturation can be found from ancient relics in the form of an artifact, whether it's artefacts
in the form of art or building architectures in an area. Menara Kudus Mosque is a legacy in
the form of a building located in Kudus, Central Java.

Masjid Menara Kudus or also known as Masjid Al Manar is a mosque with an ancient
building style founded by Sunan Suci in 1549 AD or if it is in the Hijri calendar, namely in
956 Hijriah. The mosque, which is located in Kauman Village, Kota District, Kudus
Regency, Central Java, is unique in terms of the architecture of the mosque. The minaret of
this mosque looks like a temple building which is a Hindu-Buddhist culture and the
architectural pattern of this mosque is seen as a cultural blend of Islam and Hindu-Buddhism
so that it shows the existence of a cultural acculturation in Islamization on the island of Java.

Keywords: architecture, minarets, Masjid Menara Kudus, acculturation, Hindu-Buddhism


culture, Islamic culture

Manusia adalah makhluk sosial dan terbentuk dari banyak unsur sistem yang
berbudaya yang artinya mereka tidak bisa rumit, seperti termasuk didalamnya adalah
hidup sendiri, mereka akan selalu saling sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa,
membutuhkan satu sama lain. Keadaan perkakas, pakaian, bangunan, dan juga
saling membutuhkan inilah yang akhirnya karya seni. Bahasa akan berperan disaat
menghadirkan kontak budaya antara satu seseorang berusaha berkomunikasi dengan
peradaban dengan peradaban lainnya. orang yang berbeda budaya, dan berusaha
Kontak budaya itu sendiri terjadi melalui menyesuaikan perbedaan-perbedaan yang
komunikasi antar manusia sehingga terdapat didalamnya, hal itu membuktikan
mereka dapat mengekspresikan budaya bahwa budaya dipelajari.
mereka antara satu dengan yang lain.
Budaya mempelajari berbagi pola atau
Menurut Peterson, Jensen, dan River,
model manusia untuk hidup seperti pola
(1965:16) Komunikasi adalah pembawa
hidup sehari-hari. Pola dan model ini
proses sosial, alat yang dimiliki manusia
meliputi semua aspek interaksi sosial
untuk mengatur, menstabilkan, dan
manusia. Budaya adalah mekanisme
memodifikasi kehidupan sosialnya.
adaptasi utama umat manusia (Louise
Diseluruh penjuru dunia pasti akan Damen, 1987). Proses yang
selalu ada budaya, oleh karena itu terdapat terinternalisasikan ini memungkinkan
banyak sekali pandangan tentang budaya manusia untuk berinteraksi dengan
itu sendiri. Dalam artian yang lebih luas anggota-anggota budaya lainnya yang juga
budaya adalah suatu cara hidup yang memiliki pola-pola komunikasi serupa.
berkembang, dan dimiliki bersama oleh Proses memperoleh pola-pola demikian
sebuah kelompok orang, dan diwariskan disebut Inkulturasi atau dalam istilah lain
dari generasi ke generasi. Budaya disebut pelaziman budaya atau
pemrograman budaya (Herskovits, Proses inkulturasi selanjutnya tergambar
1966:24). pada seorang pendatang adalah proses
akulturasi, dalam hal ini yang dimaksud
Pada proses inkulturasi terjalinlah suatu
adalah akulturasi budaya. Akulturasi
hubungan, yakni hubungan antar budaya
adalah proses penyesuaian diri yang
dan juga hubungan antar individu. Dimana
dilakukan oleh seorang pendatang yang
dalam kondisi tersebut memungkinkan
bukan hanya menyesuaikan diri tapi juga
manusia untuk berinteraksi dengan cara
untuk memperoleh budaya dari suatu
mengekspresikan dirinya sendiri serta
kelompok budaya tertentu. Hal inilah yang
menyesuaikan diri dengan keadaan yang
akhirnya dapat dikatakan sebagai
ditemui. Dalam hal menyesuaikan diri,
asimilasi. Menurut Koetjaningrat (1997)
boleh saya katakan seorang pendatang
proses akulturasi yang utama adalah unsur
akan menyesuaikan diri secara bertahap
diterimanya kebudayaan asing yang diolah
dengan hal baru yang ia hadapi, kemudian
ke dalam kebudayaan sendiri tanpa
setelah itu ia akan belajar dari hal-hal baru
menyebabkan lenyapnya kepribadian
yang ia dapatkan dapatkan dari kelompok
kebudayaan asal.
budaya yang ia datangi. Setelah itu barulah
ia akan menciptakan suatu hal yang Dengan demikian pula dapat
mempunyai relasi dengan kelompok disimpulkan bahwa sistem sosial budaya
budaya tersebut sejalan dengan pengenalan dari kedua belah pihak baik dari pendatang
yang juga ia lakukan dengan orang-orang maupun dari kelompok budaya akan
lain. Hal yang sama juga berlaku bagi mengalami perubahan dikarenakan kontak
suatu kelompok budaya tersebut, secara budaya yang telah terjadi cukup lama.
perlahan mereka pula akan mengenal serta Perbedaan jumlah individu yang kontras
menerima hal-hal baru bagi mereka yang terjadi antara si pendatang yang
dibawa oleh si pendatang tersebut. Dalam menempati lingkungan baru dengan
peristiwa tersebut pengaruh paling besar kelompok budaya dalam jumlah besar,
akan dirasakan oleh si pendatang, dimana serta sifat dominan dari kelompok budaya
ia akan mengalami perubahan perilaku dari dalam memegang kuasa penuh atas sumber
pola budaya yang ia anut sebelumnya dan daya mereka menyebabkan dampak lanjut
perlahan mulai menggantinya dengan pola perubahan budaya dari si pendatang lebih
baru yang ia pelajari yakni pola dari besar daripada kelompok budaya tersebut.
kelompok budaya yang ia datangi.
Dalam konteksnya proses akulturasi penelitiannya agar dapat menggambarkan
ialah suatu proses dimana terjadinya subjek atau objek yang diteliti mendekati
interaksi sosial budaya secara berlanjut kebenarannya. Jenis sumber yang saya
yang merekah melalui komunikasi dari gunakan berasal dari internet, artikel
seorang pendatang pada lingkungan sosial terkait, pdf, serta jurnal yang terkait.
budaya yang menurutnya baru. Ada
Hasil
banyak bentuk komunikasi sosial budaya
yang mengakibatkan adanya sebuah Program Unit Penelitian Proyek

akulturasi budaya, salah satunya adalah Pembinaan Kepurbakalaan dan

adanya bukti peninggalan masa lampau Peninggalan Nasional, Proyek

berupa artefak yang terdapat di suatu Pengembangan Media Kebudayaan,

daerah, entah itu artefak itu berupa karya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

seni ataupun arsitekstur. Pada kajian ini Tahun 1976 melakukan ekskavasi pada 17

saya akan membahas salah satu bukti April – 17 Mei 1976 di Kudus, tepatnya di

akulturasi budaya berupa arsitekstur yang Kompleks Masjid Menara Kudus, Bukit

ada di Indonesia. Tujuan dari penulisan ini Bengawan (Rahtawu), serta Langgar

adalah untuk mempaparkan bahwa Bubrah. Ditemui bahwa ketiga lokasi

terdapat akulturasi budaya Islam dan tersebut memiliki karakteristik situs yang

Hindu-Budha pada arsitektur bangunan berbeda-beda. Tujuan ekskavasi itu sendiri

Masjid Menara Kudus yang masih tampak yakni meneliti aspek arkeologis yang

hingga saat ini. terdapat pada Masjid Menara Kudus dan


Langgar Bubrah. Kedua bangunan
bercirikan gaya peralihan era Indonesia
Metode Hindu ke masa Indonesia Islam (Ambary,
Djafar, Romli, & Awe, 1978). Namun
Metode yang saya gunakan untuk
penelitian tersebut masih harus
menulis artikel ini adalah metode
dikembangkan lagi demi menjawab
deskriptif. Metode ini berusaha
berbagai pertanyaan yang timbul bahwa
menggambarkan subjek atau objek dengan
sesungguhnya Masjid Menara Kudus
apa adanya, dengan tujuan
merupakan peninggalan kebudayaan
menggambarkan secara fakta dan
Hindu, Jawa kuno, ataupun Islam.
karakteristik objek yang diteliti secara
tepat. Penelitian deskriptif membutuhkan Masjid Menara Kudus yang terletak di
tindakan yang teliti pada setiap komponen Desa Kauman, dan, Kudus ini memiliki
tinggi bangunan 18 m dihitung dari Dalam kajian arkeologi mengenai
menaranya, serta luas bangunan seluas 10 Masjid Menara Kudus terdapat suatu hal
m persegi. Sedangkan dari bahan baku yang perlu didalami ulang, yakni kapan
pembangunannya sendiri terdiri dari batu, tepatnya didirikan masjid tersebut.
batu bata, sirap, dan juga semen. Pendalaman ini dapat dilakukan dengan
Bangunan Masjid Menara Kudus ini cara mendalami pemaknaan candra
memiliki 3 bagian yakni kaki, tubuh, dan sengkala di salah satu tiang atap menara
puncak disertai dengan adanya ukiran yang tertulis gapura rusak ewahing jagad.
bermotif Jawa dan Hindu, serta pada Menurut pemaknaan dari Soecipto
bagian menara juga dihiasi dengan Wiryosuparto, ia menyatakan bahwa
antefiks. Dari hasil ekskavasi tersebut Gapura sebagai simbol angka 9, rusak
menara Masjid Menara Kudus ini berangka 0, ewahing berangka 6, dan
diperkirakan dibuat pada tahun 1609 pada jagad berangka 1, jadi membacanya dari
hitungan Tahun Jawa atau sekitar tahun belakang (tahun 1609). Setelah itu
1685 Masehi. Hal ini dibuktikan pertanyaan-pertanyaan baru pun muncul
bedasarkan candra sengkala yang terdapat untuk menguak fakta baru, pertanyaan-
pada salah satu tiang atap menara yang pertanyaan tersebut ialah tentang
dimana disitu tertulis gapura rusak bagaimana kondisi geografis pada
ewahing jagad. Gapura sebagai simbol kawasan Masjid Menara Kudus serta
angka 9, rusak berangka 0, ewahing seperti apa kondisi sosial masyarakat
berangka 6, dan jagad berangka 1, jadi Kudus pada masa dibangunnya Masjid
membacanya dari belakang (tahun 1609). Menara Kudus. Pertanyaan-pertanyaan
Disinilah peran arkeologi sangat tersebut perlu terjawab untuk menemukan
dibutuhkan dalam merekonstruksi sejarah fakta yang sebenarnya terjadi. Namun,
kebudayaan dan cara hidup manusia serta menurut Purwadi, sebelum Sunan Kudus
proses budayanya pada masa lalu dengan hidup di Kudus (sebelumnya di Kerajaan
cara meninjau objek studi dari segi bentuk, Demak), masyarakat Kudus didominasi
fungsi, proses pembuatan, dan lain penganut Hindu. Sunan Kudus pun
sebagainya. Dalam hal ini objek arkeologi memasukkan kebiasaan mereka dalam
yang dapat diteliti adalah suatu bentuk syariat Islam secara halus, misalnya, pada
peninggalan masa lalu yang masih dapat Hari Raya Idul Qurban menyembelih
dijumpai. kerbau sebagai penghormatan, bukan sapi
karena sapi merupakan hewan yang
dimuliakan umat Hindu. Sunan Kudus pun
membangun menara untuk azan dengan Kedua agama tersebut berkembang di
desain bangunan Hindu (Purwadi & Jawa Tengah pada sekitar abad ke-8
Maharsi, 2012: 136). sampai abad ke-10 Masehi, pernyataan ini
dibuktikan dengan ditemukannya prasasti
Pembahasan
Canggal yang bergaya huruf Pallawa
Untuk mengawali pembahasan topik, dengan bahasa sansekerta berangka tahun
saya akan mempaparkan awal mula 732 M. Prasasti ini sendiri ditemukan di
keberadaan agama Hindu-Buddha di Desa Canggal, Kecamatan Kedu. Prasasti
Nusantara khususnya di Jawa ini sendiri berisi tentang pemujaan

Awal Mula Peradaban Hindu-Buddha terhadap Dewa Siwa dalam ajaran agama

di Nusantara Hindu. Selain agama Hindu, agama lain


yang peradabannya cukup berkembang di
Para tokoh agama apapun agama itu
Nusantara terutama di Jawa adalah agama
pasti akan berusaha menyebarluaskan
Buddha. Yakni pada abad ke-8 Masehi
ajaran agama yang dianutnya, atau dalam
penyebaran ajaran Buddha meningkatkan
Islam disebut dengan istilah dakwah, tak
dibawah kekuasaan Syailendra. Beberapa
terkecuali dalam hal ini adalah agama
candi Hindu diubah untuk ajaran Buddha,
Hindu-Buddha. Menurut Coedes,
sebagaimana Candi Bima di dataran tinggi
peninggalan arkeologis serta sumber dari
Dieng (Munoz, 2009:182). Berita dari
Cina menunjukkan bahwa pada paruh
seorang pendeta Buddha, I'tsing
pertama abad ke-5 Masehi merupakan
menyatakan bahwa pada tahun 664 datang
masa dimana pertama kalinya peradaban
pendeta Hwi-ning dan Holing yang
Hindu-Buddha hadir di Nusantara yang
dibantu pendeta Jnanabharda untuk
dibuktikan dengan ditemukannya prasasti
menerjemahkan berbagai Kitab Buddha
dari Mulawarman di Kalimantan dan
Hinayana. Dalam berita Tionghoa pada era
Punawarman di Jawa (Coedes, 2010:90).
Dinasti T'ang (619-906 M) disebut nama
Prasasti yang ditemukan di Kalimantan
Kerajaan Kaling atau Holing di Jawa
didalamnya dituliskan jika Raja
Tengah yang rakyatnya sejahtera.
Mulawarman datang dengan membawa
ajaran Siwa beserta penganut ajaran Sejak tahun 674 M kerajaan tersebut

tersebut di Kutai. Di tanah Jawa tepatnya dipimpin oleh Ratu Simo (Dinas

di Jawa Tengah berkembang pula agama Pendidikan Prov Jateng, 2004:86). Para

Hindu Siwa Trimurti, serta ikut datang ahli ada yang memperkirakan bahwasanya

juga pengaruh agama Buddha Mahayana. agama Hindu di Jawa telah muncul
sebelum Sanjaya menjadi raja di Medang awalnya di tempat Menara Kudus tersebut
Bhumi Mataram yakni sekitar tahun 717- terdapat sumur yang dimana warga
760 Masehi. Agama Hindu terus percaya bahwa airnya merupakan sumber
berkembang di Jawa sampai akhirnya kehidupan. Sumber kehidupan yang
mencapai puncak kejayaannya setelah dimaksudkan disini adalah memberi
pada tahun 856 Masehi Mpu Manuku kehidupan yang dimana jika ada orang
Rakai Pikatan membangun Candi yang sudah meninggal, lalu diobati dengan
Siwagrha atau Candi prambanan. Sejak air sumur tersebut, orang itu bisa hidup
zaman pemerintahan Mpu Manuku Rakai kembali. Namun hal ini akan
Pikatan sampai zaman pemerintahan menimbulkan perilaku musyrik di
Kertanegara banyak sekali masyarakat kalangan masyarakat sehingga sumur
Jawa yang menganut agama Hindu- tersebut ditutup dengan bangunan menara
Buddha. Barulah ketika kerajaan Islam itu sendiri. Bukan hanya itu, cerita lainnya
pertama di Jawa berdiri yakni Kesultanan juga menyebutkan bahwa sumur tersebut
demak para masyarakat Jawa yang beralih juga digunakan sebagai tempat untuk
memeluk agama Islam, sedangkan orang mengubur kitab-kitab ajaran Hindu agar
Jawa yang masih menganut agama Hindu tidak dipelajari oleh masyarakat Kudus.
kebanyakan memilih untuk pindah ke Bali. Hal ini dilakukan karena ditakutkan jika
Agama Hindu mulai mengalami ajaran Hindu menyebar di Kudus akan
kemunduran di Jawa yakni pada tahun menghambat perkembangan Islam. Dalam
1527, dimana kala itu Majapahit kandungan cerita tersebut dapat kita
ditaklukan oleh Sultan Trenggono dari tafsirkan secara logika bahwa menara
Kesultanan Demak. Meski demikian tersebut merupakan bangunan suci yang
belum ada sumber atau referensi yang saya harus dirawat karena terdapat kitab suci
temukan tentang kapan agama Hindu didalamnya.
menjalar ke Kudus.
Fakta lain adalah bahwa berdasarkan
Masjid Menara Kudus riset arkeolog hiasan porselen yang
tertempel pada dinding bagian luar
Masjid Menara Kudus kini tak hanya
bangunan Menara Kudus berjumlah 32
menjadi tempat beribadah saja melainkan
buah, 20 buah berwarna biru bermotif
juga menjadi cagar budaya. Selain itu
pemandangan alam (masjid, manusia, unta,
terdapat mitos yang berkembang di
dan pohon kurma), sedangkan 12 buah
masyarakat tentang bagian menara dari
lainnya berwarna merah putih dengan
masjid ini. Mitos tersebut yakni pada
motif bunga (Supatmo, 2014: 72). Pada 28 2002:87). Fungsi Menara Kudus sendiri
Agustus 2008 dua arkeolog asal Jepang menurut sejarah lisan merupakan tempat
yakni Sakai Takashi bersama rekannya mengumandangkan azdan dan menyimpan
Takimoto Tadashi berkunjung ke Masjid beduk yang ditabuh menjelang tiba waktu
Menara Kudus untuk mempelajari asal salat lima waktu (hingga kini masih
mula dari keramik-keramik yang berlaku). Ada juga yang berpendapat
menempel pada Masjid Menara Kudus. bahwa Menara Kudus digunakan sebagai
Pada akhirnya mereka mendapati bahwa mercusuar atau memandu kapal yang
dua keramik yang menempel diatas pintu melewati Selat Muria.
bagian utara dan selatan dari Masjid
Menara Kudus ini berasal dari produksi
pabrik keramik di Vietnam pada abad ke
14-15. Keramik di bagian utara memiliki
warna dasar putih dengan bentuk segi
empat dengan motif bunga sedikit
kebiruan di bagian tengah. Sedangkan
Gambar 1. Keramik pada Menara kudus (Sumber:
keramik pada bagian selatan memiliki docplayer.info)
ukuran yang lebih besar dan juga lebih
Bedasarkan denah bangunan Masjid
cantik yang didominasi warna biru serta
Menara Kudus, para ahli berbeda pendapat
bermotifkan bunga khas Vietnam beserta
dalam hal ini. Pendapat pertama
bentuknya juga bernuansa Islam. Tradisi
mengatakan bahwa bangunan tersebut
penggunaan hiasan keramik itu sendiri
didirikan sebelum orang Islam datang ke
terinsipirasi dari hiasan porselen tembok
Kudus dan bangunan Menara Kudus
sebagai seni bangunan Islam di Asia Barat
adalah sebuah candi yang berubah
serta di Asia Tengah. Piring porselen yang
fungsinya. Sedangkan pendapatan kedua
terdapat pada Masjid Menara Kudus
ahli perpendapat bahwa bangunan menara
semula berasal dari Vietnam dan
tersebut didirikan untuk memanggil orang,
Tiongkok, tetapi karena ada banyak yang
layaknya bale Kulkul di Bali. Pendapat
telah rusak atau lepas, maka sebagian
yang kedua ini dikemukakan oleh
besar telah diganti dengan porselen dari
Roesmanto, beliau berpendapat bahwa
Belanda (Restorasi pada masa kolonialis
arsitekstur bangunan Menara Kudus ini
Belanda) bahkan diperkirakan porselen
mirip menara yang beratap atau tempat
asli dari bangunan lama itu sekarang
kulkul (jika di Jawa biasanya disebut
tinggal satu buah (periksa Miksic,
kentongan) yang fungsinya untuk Hindu, Jawa, Cina, dan Islam
menyampaikan informasi agar terdengar
dari jauh. Selain itu arsitekstur dari Masjid
Menara Kudus ini sendiri jika dilihat dari
ornamen yang terdapat pada susunan
tangganya juga mirip seperti yang berada
di Candi Kidal, Candi Jago, dan Candi
Singasari yang berada di Jawa Timur.
Pernyataan tersebut diperoleh karena
adanya persamaan dalam hal bentuk
arsitektur antara Menara milik Masjid
Menara Kudus bale Kulkul yang ada di
Bali. Fakta kedua yang memperkuat
pernyataan Roesmanto tersebut adalah
bahwa arsitekstur bangunan Menara kudus
ini memiliki pejal yang tinggi sebagai
penyangga bale layaknya candi-candi di Gambar 2. Bale Kulkul (sumber: Pinterest)
Jawa Timur seperti candi Singosari
contohnya. Dari fakta kedua tersebut dapat
disimpulkan bahwa arsitekstur bangunan
Masjid Menara Kudus bercorak candi khas
Jawa Timur dengan perpaduan budaya

Gambar 3. Masjid Menara Kudus (sumber: Wikipedia)

Masjid Al-Aqsha Kudus dibangun pada


tahun 1549 M. Dalam perkembangan
arsitektur masjid di Jawa, bangunan disebelah masjid adalah miliknya masjid.
Menara Kudus merupakan minaret Ada alasan tertentu pada penyebutan
pertama yang melengkapi sebuah masjid Masjid Menara Kudus ini oleh orang-
(Roesmanto,2013: 27-29). Namun dalam orang, yakni dimana para masyarakat
perihal asal usul, Ashadi Siregar Kudus kuno lebih memaknai bangunan
mempunyai pendapatnya sendiri, menaranya yang terdapat disebelah masjid.
menurutnya Menara Kudus pada mulanya Sebagai tolak ukur, kita ambil contoh
adalah bangunan semacam tetenger yang yakni Masjid Banten yang sama-sama
dibuat oleh komunitas Budo di wilayah memiliki menara, tetapi masyarakat
yang selanjutnya bernama Kudus dan Banten lebih memilih untuk menyebutnya
Sunan kudus memanfaatkan bangunan itu Masjid Banten daripada Masjid Menara
untuk dakwah. Kata menara dikaitkan Banten. Dalam hal ini Menara Kudus
dengan keberadaan masjid kuno dan nama memiliki fungsi sebagai penanda dan
Kota Kudus. simbol persatuan masyarakat Kudus pada
zaman dahulu. Menara Kudus adalah axis
Dalam hal penamaan sendiri diketahui
mundi, sebuah pilar kosmik yang
bahwa ada dua kemungkinan penamaan
menghubungkan bumi tempat berpijak
"menara" pada Masjid Menara Kudus.
manusia dengan surga sebagai tempat
Yang pertama adalah perubahan nama dari
setelah meninggal dunia. Dengan
kata "Al-Manar" yang dimana tertulis pada
demikian, menara dijadikan pusat
inskripsi di dalam Masjid Menara Kudus,
peribadatan masyarakat Kudus kuno
Al-Manar sendiri adalah nama lain dari
(Ashadi, 2009: 67-75).
Masjid Menara Kudus selain Al-Aqsha.
Kedua, sebutan adanya menara (mirip Pernyataan dari Ashadi Siregar tersebut
candi) di sebelah tenggara masjid ini secara ilmiah perlu didalami dengan
sekarang. Ada yang berpendapat bahwa penafsiran dari Suparno Boddhi Cakra
kata menara berasal dari kata al-. manar, yang merupakan pandita generasi ketiga di
sebagaimana orang dulu menyebut nama Kudus. Menurut tafsiran beliau, 6 Agustus
didasarkan atas kebiasaan yang 2018, bahwa Menara Kudus merupakan
dihubungkan dengan kehidupannya. bangunan Hindu-Buddha selama 60 tahun,
Kembali Ashadi mengemukakan pendapat tetapi, selanjutnya diberi tambahan kubah
dalam penamaan masjid ini, menurutnya bagian atasnya. Ciri penguatnya, lanjut
penyebutan Masjid Menara Kudus ini sang pandita, relung di menara semula
seolah menjelaskan bahwa menara digunakan sebagai tempat arca dan bentuk
bangunannya sebagaimana candi. Pada 765 M) menikahi puteri Pangeran
masa pra Sunan Kudus di Kudus Tandaterung dan putri Sunan Bonang
(sebelumnya di Kesultanan Demak) di (Salam, 1977: 10). Perkawinan Sunan
Kudus ada Raja Bagus Anom di Kerajaan Kudus dengan Dewi Rukhil dikaruniai
Barong Keramat, kini di Desa Barongan, seorang anak lelaki bernama Amir Hasan,
Kecamatan Kota, Kudus. Pembuatan candi sedangkan perkawinan Sunan Kudus
semula ditolak oleh Ratu Dwarawati, istri dengan puteri Pangeran Pecat Tanda
Raja Brawijaya, karena model Terung dari Majapahit dikaruniai delapan
bangunannya tidak berpostur Majapahit anak, yakni Nyi Ageng Pembayun,
sehingga bangunan dipugar dan dibuang Panembahan Palembang, Panembahan
atapnya. Ratu Dwarawati saat itu menjadi Mekaos Honggokusumo, Panembahan
muslimah setelah diperisteri oleh Sunan Kodhi, Panembahan Karimun,
Kudus sehingga bangunan menara diberi Penembahan Joko (wafat masih muda),
tulisan gapura rusak ewahing jagad, atap Ratu Pakojo, dan Ratu Probobinabar
candi yang ditambah dengan kubah bagian (menikah dengan Pangeran Poncowati,
paling atas dan diberi nama menara, Panglima Perang Sunan Kudus) (Salam,
sebelumnya bernama candi atau pura. 1986: 13). Sunan Kudus menikah dengan
Kisah ini, menurut sang pandita, Dewi Ruhil dan dikaruniai seorang anak,
bersumber dari Kidung Rumekso ing sedangkan perkawinan dengan putri
Wengi anggitan (karya) Sunan Kalijaga Pangeran Husen (Pecat Tanda Terung)
bagian Sekar Sinom pupuh 8 – 10. dikaruniai delapan anak (Abdullah, 2015:
97).
Namun sepertinya tafsiran dari Suparno
Boddhi Cakra perlu didalami lebih lanjut Sementara itu dalam konteks bangunan
lagi karena pada catatan sejarah tidak Menara Kudus, Ketua Parisada Hindu
pernah disebutkan bahwa Sunan Kudus Dharma Indonesia Kabupaten Kudus
pernah menikah dengan Dwarawati. memiliki pendapatnya sendiri, menurutnya
Berikut ini pernyataan menurut beberapa dalam pandangan Hindu Menara Kudus
ahli mengenai perihal perkawinan Sunan sendiri lebih tepatnya disebut dengan
Kudus, menurut Sunyoto, Sunan Kudus kulkul atau rumah kentongan yang
menikah dengan putrinya, Pecat Tanda fungsinya untuk mengumpulkan warga
Terung dan Dewi Rukhil binti Sunan dalam kegiatan tertentu. Pada saat ini juga
Bonang (Sunyoto, 2016: 324). Menurut pada bagian atas Menara Kudus terdapat
Salam, Sunan Kudus (Ja’far Shodiq, 700 – beduk dan kentongan yang masih
digunakan sebagai penanda masuk waktu suluran). Bingkai lingkaran luar medalion
sholat. Untuk menjaga kelestarian serta bermotif empat lengkung kurung kurawal
keutuhan Menara itu sendiri, para peziarah (Islami) atau bunga padma (Hinduis).
atau wisatawan tidak semuanya Lingkaran lebih kecil di dalamnya penuh
diperkenankan untuk menaiki Menara dengan motif sulur-suluran dalam posisi
Kudus. melingkar. Ornamen dengan pola piagam
paling signifikan ditemukan pada dua
Pada bagian atas Menara Kudus ini
lawang kembar, pada posisi kanan-kiri
terdapat tangga yang digunakan untuk
daun pintunya, yang terdapat hiasan
mencapai bagian atas menara ini, tangga
berpola piagam bermotif khas stilisasi
tersebut terbuat dari kayu jati. Sementara
dedaunan dan sulur-suluran, tetumbuhan
itu dibagian bawah menara terdapat undak-
khas tropis, meliuk-liuk bercorak seni khas
undakan yang terbuat dari tekel serta
Majapahit. Ornamen berpola medalion
kanan kirinya dihiasi dengan miniatur
banyak dijumpai pada relief Candi
bangunan candi. Dalam catatan Ashadi,
Penataran di Jawa Timur dengan motif
pada salah satu tangga (kayu) menara
sulur-suluran dan stilisasi pengaburan
tertera angka tahun 1313 H/1895 M, pada
figur binatang, seperti singa, gajah atau
gapura kori sebelah timur bangunan tajuk
burung. Dengan demikian, hiasan berpola
tertera angka tahun 1210 H/1796 M, di
medalion di Masjid Menara Kudus
atas tiang atap bangunan tajuk tertera
merupakan pola kesinambungan tradisi
angka tahun 1145 H/1732 M, di bagian
seni hias pra-Islam (Supatmo, 2014: 76).
depan pintu masuk makam Sunan Kudus
Namun ada pula pendapat yang
tertera angka tahun Jawa 1895 atau 1296
mengatakan bahwa Menara Kudus
H/1878 M, di bagian muka dan belakang
merupakan situs Islam dalam bentuk
gapura kori di serambi masjid tertera
menara yang merupakan bentuk awal
angka tahun Jawa 1727 (di sebelah barat)
bangunan Menara Kudus. Namun ternyata
dan 1215 H (di sebelah timur) yang
hal ini bukan isapan jempol semata, ada
keduanya menunjukkan angka tahun 1800
beberapa bukti yang menguatkan
M (Ashadi, 2009: 78). Seni hias (ornamen)
pernyataan tersebut. Pertama, Masjid
pada kompleks Menara Kudus pada bagian
Menara Kudus didirikan pada tahun 1609
luar, teras depan, terdapat beberapa hiasan
dalam kalender Jawa atau tahun 1685
ukiran batu cadas berpola medalion kecil
Masehi. Dalam hal ini pembangunan pada
yang ditempel berjajar dengan motif
tahun 1609 dapat dibuktikan dengan
tetumbuhan menjalar (lung-lungan, sulur-
adanya tulisan Bahasa Jawa Kuno di papan
jati yang terdapat di menara bagian Melayu Kuno sudah digunakan yang
atas/puncak hingga kini, dekat dengan bercampur dengan bahasa Sanskerta (Uka
beduk yang sekaligus menjadi simbol Tjandrasasmita, 2009). Dengan demikian,
peribadatan agama Islam, yang kedua tulisan Jawa di Menara Kudus sebagai
adalah orientasi bangunan menara sama penanda bangunan menara dibuat setelah
dengan orientasi bangunan masjid, serta era Hindu-Buddha di Indonesia atau era
dengan adanya perbedaan bangunan Islam.
Menara Kudus yang hanya terdiri dari satu
Simpulan
bangunan bukan seperti candi yang ada
bangunan pelengkap disekitarnya. Dengan demikian dapat disimpulkan
Masjid Menara Kudus didirikan pada era
Dalam ilmu arkeologi, bukti masa
penyebaran Islam di Jawa oleh Wali
pembuatan merupakan data utama, jika
songo. Hal ini dapat dibuktikan dengan
tidak ada angka atau tahun, dicari bukti
tulisan gapura rusak ewahing jagad yang
lain, misalnya melakukan ekskavasi di
terdapat pada candra sengkala pada tiang
sekitar bangunan. Hasil ekskavasi,
atap Menara Kudus. Adapun makna
misalnya arang dan keramik, dapat
menurut para ahli dari tulisan tersebut
dijadikan bahan penentuan umur
yakni, gapura yang merupakan simbol
bangunan. Akan tetapi, bukti arkeologis
angka 9, rusak yakni simbol angka 0,
yang masih ada, yaitu tulisan berhuruf
ewahing angka 6, serta jagad yang berarti
Jawa Kuno menandakan tahun 1609 M.
angka 1, dengan pembacaan dari belakang
Menurut Tjandrasasmita, sebelum
yang akhirnya menemui sebuah kombinasi
kedatangan Islam di Indonesia, yang lazim
angka 1609, angka tersebutlah yang
dikenal dengan zaman kerajaan Indonesia
diyakini sebagai tahun pembuatan dari
Hindu-Buddha yakni abad ke-4 sampai
Masjid Menara Kudus. Pernyataan jika
abad ke 16 M jenis tulisan (aksara) yang
Masjid Menara Kudus didirikan pada era
digunakan pada prasasti dan naskah kuno
Wali songo didasari oleh aturan dari ilmu
ialah tulisan pallawa, pranagari, Jawa
arkeologi, yang dimana mengatakan
Kuno (kawi), Sunda Kuno, dan Bugis.
bahwa bukti masa pembuatan dijadikan
Sejak abad ke-7 M pada prasasti Kerajaan
sebagai data utama, dan bukti pembuatan
Sriwijaya di Kedukan Bukit, Talang Tuwe,
dari Masjid Menara Kudus itu sendiri
Telaga Batu, Kota Kapur, Merangin, Alas
terdapat pada tulisan gapura rusak
Pasemah, dan lain-lain belum
ewahing jagad. Pernyataan tersebut
menggunakan tulisan Jawa, tetapi bahasa
semakin kuat ketika kita mengetahui fakta
bahwa umat Hindu tidak mungkin Kesultanan Demak melalui rajanya kala itu
membangun Menara Kudus dikarenakan yakni Sultan Trenggono yang membuat
eksistensinya di Kudus telah mengalami umat Hindu di Jawa mengalami penurunan
kemunduran tatkala ketika pada tahun dan bermigrasi ke Bali.
1527 M, Majapahit ditaklukan oleh

Daftar Rujukan
http://garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/1757726
http://garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/1218640
http://garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/635975
http://garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/1318247
http://garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/919269
https://ejournal.upi.edu/index.php/jpis/article/download/6925/pdf
http://garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/829008
http://garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/1796423

Anda mungkin juga menyukai