Anda di halaman 1dari 29

SEJARAH KERAJAAN ISLAM DI PULAU SULAWESI

MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah :
Indonesia Masa Kesultanan (PSEJUM6005)
Yang Diampu Oleh Bapak :
Deny Yudo Wahyudi, S.Pd, M.Hum

Anggota Kelompok 9:

1. Bayu Andika Putra (200731638149)


2. Riski Aldi Febrian (200731638032)
3. Wensya Melati Sukma (200731638064)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU SOSIAL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
NOVEMBER 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan
karunia-Nya kepada kita sehingga makalah yang berjudul “Sejarah Kerajaan Islam di
Pulau Sulawesi” ini dapat tersusun tepat pada waktunya untuk memenuhi tugas mata kuliah
Indonesia Masa Kesultanan. Pada kesempatan ini tidak lupa kami selaku penulis untuk
mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Deny Yudo Wahyudi, S.P.d, M.Hum selaku dosen pengampu mata kuliah
Indonesia Masa Kesultanan.
2. Seluruh teman-teman yang telah berkontribusi menyumbangkan pikiran dan
materi dalam penyusunan makalah sampai dengan selesai.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah masih banyak kekurangan dan jauh
dari kata sempurna, untuk itu kami mohon maaf apabila masih terdapat kata yang kurang
berkenan digunakan dalam penulisan makalah ini. Kami juga terbuka terhadap kritik dan
saran dari pembaca demi perbaikan tulisan kami, sehingga diharapkan dengan hadirnya
makalah ini dapat menambah wawasan mengenai kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara
khususnya di Pulau Sulawesi sendiri.

Malang, 22 November 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................................

KATA PENGANTAR.......................................................................................................

DAFTAR ISI......................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................

1.1 Latar Belakang...................................................................................................


1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................
1.3 Tujuan................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN (KERAJAAN BONE).............................................................

2.1 Sejarah Kerajaan Bone.....................................................................................


2.2 Kejayaan dan Keruntuhan Kerajaan Bone........................................................
2.3 Peninggalan Kerajaan Bone..............................................................................

BAB III PEMBAHASAN (KERAJAAN BUTON).........................................................

3.1 Pembentukan Kesultanan Buton........................................................................

3.2 Masuknya Islam di Kesultanan Buton...............................................................

3.3 Sistem Pemerintahan Kesultanan Buton............................................................

BAB IV PEMBAHASAN (KERAJAAN GOWA-TALLO)...........................................

4.1 Sejarah Kerajaan Gowa-Tallo............................................................................

4.2 Raja-Raja dari Kerajaan Gowa-Tallo pada Masa Islam....................................

4.3 Peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo....................................................................

BAB V PENUTUP.............................................................................................................

5.1 Kesimpulan........................................................................................................

5.2 Saran..................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Agama islam pertama masuk ke Indonesia melalui proses perdagangan, pendidikan,


dll. Tokoh penyebar islam adalah walisongo antara lain; Sunan Ampel, Sunan Bonang,
Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan
Drajat, Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim).

Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi


Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi
memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya
penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum
Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya
beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak,
Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran,
keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada
abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh
kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda.
Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam
bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke
Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut
kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar
menunjukkannya sebagai rahmatan lil’alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya
pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan
kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang
bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal
dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai
yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani
berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan
dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi.
Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan
menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum
kolonialis. Setiap kali para penjajah terutama Belanda menundukkan kerajaan Islam di
Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut
berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah
hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang
telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat
Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit
pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana sejarah dari Kerajaan Bone?
b. Bagaiman sejarah dari Kesultanan Buton?
c. Bagaimana sejarah dari Kerajaan Gowa-Tallo
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui sejarah dari Kerajaan Bone.
b. Untuk mengetahui sejarah dari Kesultanan Buton.
c. Untuk mengetahui sejarah dari Kerajaan Gowa-Tallo.
BAB II

PEMBAHASAN KERAJAAN BONE

2.1 Sejarah Kerajaan Bone

Kesultanan atau Kerajaan Bone sering dikenal dengan Akkarungeng ri Bone


yang merupakan kesultanan yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya
di daerah Provinsi Sulawesi Selatan sekarang dengan menguasai areal sekitar 2600
km2. Kerajaan Bone pada awal abad XIV dimulai dengan kedatangan Tomanurung Ri
Matajang Matasilompoe yang mempersatukan 7 komunitas yang dipimpin oleh
Matoa. Manurung Ri Matajang menikah dengan Manurung Ri Toro yang melahirkan
La Ummasa Petta Panre Bessie sebagai Arumpone kedua. We Pattanra Wanua yakni
Saudara perempuan yang menikah dengan La Pattikkeng Arung Palakka yang
melahirkan La Saliyu Karampelua sebagai Arumpone ketiga pada masa Kerajaan
Bone yang semakin luas karena berkat keberaniannya. Perluasan Kerajaan Bone ke
utara bertemu dengan Kerajaan Luwu yang berkedudukan di Cenrana muara sungai
Walennae yang terjadi pada saat perang antara Arumpone kelima La Tenrisukki
dengan Datu Luwu Dewaraja yang berakhir dengan kemenangan Bone dan Perjanjian
Damai Polo Malelae Ri Unynyi. Dinamika politik militer diera itu kemudian
ditanggapi dengan usulan penasehat kerajaan yaitu Kajao Laliddong pada Arumpone
ketujuh La Tenrirawe Bongkangnge yaitu dengan membangun koalisi dengan
tetangganya yaitu Wajo dan Soppeng yang mana koalisi tersebut dikenal dengan
Perjanjian Tellumpoccoe.

Ratu Bone We Tenrituppu adalah pemimpin Bone yang pertama masuk Islam
tetapi Islam diterima secara resmi pada masa Arumpone La Tenripale Matinroe Ri
Tallo Arumpone keduabelas. Pada masa ini pula Arumpone mengangkat Arung Pitu
atau Ade' Pitue untuk membantu dalam menjalankan pemerintahan. Yang mana
sebelumnya La Tenriruwa telah menerima Islam tetapi ditolak oleh hadat Bone yang
disebut Ade' Pitue sehingga dia hijrah ke Bantaeng dan wafat disana. Ketika Islam
diterima secara resmi maka susunan hadat Bone berubah lalu ditambahkan jabatan
Parewa Sara (Pejabat Syariat) yakni Petta KaliE (Qadhi). Adapun pada saat di posisi
bisu kerajaan tetap dipertahankan yang mana Bone berada pada puncak kejayaannya
setelah Perang Makassar tahun 1667-1669. Sehingga Bone menjadi kerajaan yang
paling dominan dijazirah selatan Sulawesi. Perang Makassar mengantarkan La
Tenritatta Arung Palakka Sultan Saadudin sebagai penguasa tertinggi. Kemudian
diwarisi oleh kemenakannya yaitu La Patau Matanna Tikka dan Batari Toja yang
menjadi leluhur utama aristokrat di Sulawesi Selatan.
Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa akhirnya Bone menjadi penguasa utama di
bawah pengaruh Belanda di Sulawesi Selatan dan sekitarnya pada tahun 1666 sampai
tahun 1814 ketika Inggris berkuasa sementara di daerahnya akan tetapi dikembalikan
lagi ke Belanda pada tahun 1816 setelah perjanjian di Eropa kejatuhan Napoleon
Bonaparte. Setelah perang beberapa kali mulai tahun 1824 akhirnya Bone berada di
bawah kontrol Belanda pada tahun 1905 yang dikenal dengan peristiwa Rumpa'na
Bone. Adapun pengaruh Belanda disebabkan karena meningkatnya perlawanan Bone
terhadap Belanda namun Belanda mengirimkan sekian banyak ekspedisi untuk
meredam perlawanan sampai akhirnya Bone menjadi bagian dari Indonesia pada saat
proklamasi di Bone bersama para raja bergelar Arumpone.
Sejarah Kerajaan Bone Kerajaan Bone didirikan oleh Manurunge ri Matajang
pada 1330 masehi Sejarah masuknya Islam ke Kerajaan Bone berawal ketika
kerajaan tersebut tidak dianggap sederajat oleh Kesultanan Gowa. Kerajaan Bone
baru akan dianggap setara apabila mau mengikuti Kesultanan Gowa memeluk agama
Islam. Lalu Raja Bone menolak persyaratan tersebut hingga timbul peperangan di
antara dua kerajaan ini. Di dalam peperangan tersebut Kerajaan Bone menyerah kalah
dan akhirnya mau memeluk Islam yang kemudian diikuti oleh rakyatnya. Dalam
perdagangan di Nusantara saat kedatangan islam di Gowa tidak dapat dipisahkan dari
kedatangan-kedatangan pedagang melayu (Palallo, 1996: 54) yang mana hal ini lebih
dulu memeluk islam di Nusantara. Maka dapat dikatakan bahwa mereka mendakwah
islam kepada penduduk negeri yang dikunjunginya berdasarkan thesis dasar setiap
muslim yakni misi agamanya selain itu juga dapat dilihat dari mubalig, pedagang,
serta fungsi ganda. Sejarah pengislamisasi di Sulawesi Selatan secara umum peran
Gowa dalam pengislaman di Sulawesi Selatan sangat viral karena Kerajaan Gowa
berpegang sangat paseng bahwa siapa yang menemukan jalan yang lebih baik maka
diharapkan menyampaikan jalan tersebut kepada Kerajaan yang lain (Mattulada,
Latoa, 1985: 131) memulai islamisasi kepada Kerajaan yang lain di Sulawesi Selatan
salah satunya Kerajaan Bone. Tetapi islamisasi Kerajaan Bone ditempuh sesudah
adanya peperangan pada sejarah Sulawesi Selatan perang tersebut dikenal dengan
sebutan musu assellengggeng atau perang pengislaman. Sesudah Kerajaan Bone
ditaklukkan maka kerajaan tersebut resmi memeluk agama islam dalam perang
pengislaman yang telah dilaksanakan oleh Gowa dan dianggap berakhir.

2.2 Kejayaan dan Keruntuhan Kerajaan Bone

Kerajaan Bone mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Arung


Palakka sultan ke-15 yang bertakhta antara 1672-1696 M yang mana hal ini terdapat
dibawah kekuasaan Kerajaan Bone yang mampu memakmurkan rakyatnya dengan
potensi yang beragam seperti dalam bidang pertanian, perkebunan, dan kelautan.
Selain itu kekuatan militernya semakin kuat, sesudah belajar dari lemahnya
pertahanan mereka kalah saat menghadapi Kerajaan Gowa. Sesudah jatuhnya
Kesultanan Gowa Kerajaan Bone menjadi kuat di seantero Sulawesi bahkan sultan
yang berkuasa berhasil mengajak Kesultanan Luwu, Soppeng, dan sejumlah negara
kecil lainnya untuk bersekutu.

Kejayaan Kerajaan Bone pada masa pemerintahan Latenritatta Towappatunru


Daeng Serang Datu Mario Riwawo Aru Palakka Malampee Gemmekna Petta
Torisompae Matinroeri Bontoala saat pertengahan abad ke-17. Lahirnya Sere Alusu’
diketahui sudah ada sebelum masuknya Agama Islam di Kabupaten Bone yaitu sekitar
tahun 1611 pada masa pemerintahan La Tenrirua Sultan adam Raja Bone ke-11 serta
sudah diperagakan oleh para bissu sebab bissu juga mempunyai peran sebagai pendeta
agama sebelum masuknya Agama Islam di Kabupaten Bone. Bissu merupakan
seorang laki-laki yang gaya dan tingkah lakunya seperti perempuan. Bissu memegang
peranan penting di istana sebagai pemelihara benda pusaka, pemimpin ritual
keagamaan, serta melaksanakan pengobatan dengan mantra-mantra. (Syahrir 2003:
13).
Kerajaan Bone yang ada dalam catatan sejarah didirikan oleh Manurungnge
Rimatajang pada tahun 1330 yang mencapai puncak kejayaan pada masa
pemerintahan Latenritatta Towappatunru Daeng Serang Datu Mario Riwawo Aru
Palakka Malampee Gemmekna Petta Torisompae Matinroeri Bontoala di pertengahan
abad ke-17. Kebesaran Kejayaan Bone di masa lalu dapat dilihat dari beberapa
warisan seni dan budaya termasuk Sere Alusu. Tari Alusu atau Sere Alusu adalah
tarian rakyat yang sudah ada sejak raja Bone Tomanurung sampai sekarang ini. Meski
mengalami beberapa perubahan dan fungsi namun tetap bertahan sampai sekarang ini.
Sebelum masuknya Agama Islam di Kabupaten Bone Sere Alusu Berfungsi untuk
kelengkapan upacara-upacara sakral yang ada di Kabupaten Bone (wawancara dengan
Andi Yoshand, 25 Oktober 2020).
Kesultanan Bone mulai mengalami kemunduran setelah Sultan Ismail
Muhtajuddin, raja ke-24 wafat pada 1823 M. Sesudah itu kekuasaan dilanjutkan oleh
Arung Datu (1823-1835 M). Arung Datu berusaha merevisi Perjanjian Bongaya yang
disepakati Kerajaan Gowa dan VOC hingga akhirnya memicu kemarahan Belanda
kemudian Belanda meluncurkan serangan hingga berhasil menduduki Kerajaan Bone
sementara Arung Datu diasingkan pada pengasingan tetapi Arung Datu masih
berupaya menyerang dengan usahanya yang selalu dapat ditumpaskan kepada
pasukan Belanda.
Keruntuhan Kerajaan Bone pada masa pemerintahan Raja Bone ke-31 La
Pawawoi Karaeng Sigeri yakni terjadi pada tanggal 20 November 1905 dengan
terbunuhnya Petta Ponggawae’ anak dari Arumpone sekaligus komandan perang
pasukan Kerajaan Bone. Pada masa peperangan Belanda mengerahkan sekitar 1.332
personel militer, 575 personel non tempur, tujuh kapal perang, 316 ekor kuda, dan
berton-ton mesiu yang siap diledakkan. Pada masa peperangan Kerajaan Bone
memperkuat pertahanan di Pelabuhan Bajoe yang menjadi tempat penyerangan
pertama pasukan Belanda dan tempat berlabuhnya kapal-kapal perang Hindia
Belanda. Perang pecah di pesisir pantai Bajoe berteriakan meriam tak henti-henti
terdengar serta mengeluarkan peluru dari moncongnya yang membuat banyak pohon-
pohon kelapa di pinggir pantai ikut terbakar sebab kekuatan pasukan militer Belanda
yang sangat kuat dalam persenjataan yang lengkap membuat pertahan di pesisir
pelabuhan Bajoe jebol.
Pada saat Belanda berhasil menduduki Kerajaan Bone sebelum Arumpone ia
sudah diasingkan ke daerah Tanah Toraja dengan perjalanan yang cukup lama yang
dilalui oleh rombongan Arumpone untuk menuju ke Tanah Toraja. Banyak hal yang
terjadi ketika perjalanan di dalam hutan yakni rombongan Arumpone harus membuat
jalan baru untuk dilalui agar tidak diketahui keberadaannya oleh pasukan Belanda.
Pada saat di perjalanan rombongan Petta Sele yang menjadi rombongan pembuka
jalan untuk Arumpone ia bertemu dengan lima orang pasukan Wajo yang membawa
seorang tawanan ternyata orang tersebut adalah salah satu laskar rakyat Bone. Orang
itu dijadikan tawanan oleh pasukan Wajo kerena tertangkap basah sedang berusaha
memperkosa seorang perempuan di tengah hutan. akhirnya rakyat Bone bercerita
kepada Petta Sale bahwa dia tergoda nafsu tersebut hingga memperkosa perempuan
tersebut. Perempuan tersebut adalah istri dari seorang rakyat Bone yang menjadi
mata-mata Belanda yang mengakibatkan sekitar 30 pasukan Bone menjadi tawanan
oleh pasukan Belanda. akhirnya orang tersebut membunuh suami perempuannya
tetapi ia ikut untuk memberontak perempuan tersebut dipukul hingga pingsan. Sebab
dengan adanya ketakutan perempuan tersebut maka ia berteriak dengan sadar dan
terdengar oleh pasukan Belanda yang akhirnya perempuan tersebut dibawa ke daerah
pertahanan Pallime untuk dikenakan hukum adat. Akan tetapi ketika di tengah hutan
lelaki tersebut tergoda nafsu dan memperkosa perempuannya.
Sesudah hampir tiga bulan melaksanakan perjalanan akhirnya rombongan
Arumpone beserta Petta Sale sampai di daerah Buttu Batu di sinilah peperangan
terakhir terjadi antara Kerajaan Bone dan Hindia Belanda. Sedangkan Petta
Ponggawae telah gugur sebelumnya di daerah Bulu Awo ketika berusaha menahan
pasukan Belanda yang mengejar Arumpone. Dua orang pasukan Arumpone gugur
dalam perang terakhir di Buttu Batu yang akhirnya Arumpone mengakui kekuatan
lawan dan merelakan dirinya menjadi tawanan pasukan Belanda. Arumpone dibawa
ke Batavia lalu dikirim ke Bandung selama menjadi tawanan Belanda Arumpone
selalu disuruh untuk menghentikan pemberontakan masyarakatnya di Bone. Tetapi
Arumpone selalu menolak hal tersebut Akhirnya Arumpone dikirim kembali ke
Batavia, dan di sanalah Arumpone menjemput ajalnya pada tanggal 17 Januari 1911.

2.3 Peninggalan Kerajaan Bone


a. Museum La Pawawoi
Salah satu peninggalan yang terkenal dari kerajaan Bone yakni
Museum La Pawawoi. La Pawawoi diambil dari nama Raja Bone yang ke-
XXXI. Sebelum menjadi museum, tempat ini awalnya merupakan istana raja
Bone, A Mappanyukki, Raja Bone yang ke-XXXIV. Kemudian pada tahun
1982 diresmikan menjadi museum oleh Mendikbud RI Prof. Daud Yusuf kala
itu. Museum ini masuk dalam kategori Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan
Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Lokasinya sendiri ada di Jl. Thamrin
Watampone.

Gambar Museum La Pawowoi


https://www.google.com/search?
q=Gambar+Museum+La+Pawawoi&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=2ahUKEwigg
8Xappz0AhXDxzgGHQlBB38Q_AUoAXoECAEQAw&biw=1280&bih=648&dpr=1.5#i
mgrc=H91yyyW

b. Bola Soba
Bola Soba sudah berusia 100 tahun lamanya karena Bola Soba ini
dibangun pada masa pemerintahan Raja Bone ke-30 La Pawawoi Karaeng
Sigeri yang dulunya Bola Soba dibangun untuk kediaman sang raja. Akan
tetapi saat Belanda masuk serta menduduki Bone maka Bola Soba dialih
fungsikan sebagai tempat penginapan para tamu yang mana bangunan sejarah
ini memliki panjang sekitar kurang lebih 40 meter serta terdiri atas beberapa
bagian yakni, dapur, selasar penghubung, teras, dan rumah induk.
Gambar Bola Soba

https://www.google.com/search?
q=Gambar+Bola+Soba&tbm=isch&ved=2ahUKEwjP46rhppz0AhXnkUsFHSB9BZ0Q2-
cCegQIABAA&oq=Gambar+Bola

c. Patung Arung Palakka


Arung Palakka sangat populer dikalangan masyarakat Bone karena ia
adalah salah satu raja Bone yang memerintah pada masa Arung Palakka yang
mana hal ini dapat diketahui bahwa ia berhasil dalam membawa Bone ke masa
kejayaannya. Adapun tokoh Arung Palakka adalah putra raja Bone ke-13 ia
lahir pada 15 september 1634 patung Arung Palakka ini terletak di taman
bunga watampone.

Gambar Patung Palakka

https://www.google.com/search?
q=Gambar+patung+arung+palakka&tbm=isch&ved=2ahUKEwjn6ZL1qpz0AhWHzaACHcL
WBJsQ2-cCegQIABAA&oq=Gambar+patung+arung

d. Makan Raja Bone


Kerajaan Bone menyisihkan peninggalan berupa makam para raja yang
pernah memimpin Bone yang mana makam sejarah ini terletak di belakang
masjid tua Al-Mujahidin di jalan sungai Citarum Watampone yang mana situs
bersejarah ini adalah tinggalan Raja Bone yang pertama yaitu Manunurunge
Ri Matajang yang berkuasa sejak 1330-1365 M yakni salah satu raja yang
dimakamkan di kompleks pemakaman raja Bone ke-16 yakni, Lapatau Matana
Tikka serta Raja-Raja Bone lainnya.
Gambar makam Raja Bone

https://www.google.com/search?
q=Gambar+makam+raja+bone&tbm=isch&ved=2ahUKEwiW9OOzrJz0AhV__jgGHb7wDP
8Q2-cCegQIABAA&oq=Gambar+makam+raja+bone
BAB III

PEMBAHASAN KESULTANAN BUTON

3.1 Pembentukan Kesultanan Buton

Salah satu sumber yang menerangkan kerajaan Buton terdapat dalam Negara
Kertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 M. Dalam naskah kuno itu, negeri
Buton disebut dengan nama Butuni. Butuni merupakan sebuah desa tempat tinggal
para resi (pendeta) yang dilengkapi taman, lingga dan saluran air. Rajanya bergelar
Yang Mulia Mahaguru. Dalam sejarahnya, cikal bakal Buton sebagai negeri telah
dirintis oleh empat orang yang disebut dengan Mia Patamiana. Mereka adalah:
Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati. Menurut sumber sejarah lisan Buton,
empat orang pendiri negeri ini berasal dari Semenanjung Melayu yang datang ke
Buton pada akhir abad ke-13 M. Empat orang (Mia Patamiana) tersebut terbagi dalam
dua kelompok,yakni : Sipanjongan dan Sijawangkati, sedangkan lainnya Simalui dan
Sitamanajo.

Kelompok pertama beserta para pengikutnya menguasai daerah Gundu-


Gundu, sementara kelompok kedua dengan para pengikutnya menguasai daerah
Barangkatopa. Sipanjongan dan para pengikutnya meninggalkan tanah asal di
Semenanjung Melayu menuju kawasan timur dengan menggunakan sebuah perahu
yang di beri nama LAKULEBA pada bulan Syaban 634 Hijriyah (1236 M). Dalam
perjalanan itu, mereka singgah pertama kalinya di pulau Malalang, terus ke Kalaotoa
dan akhirnya sampai di Buton, mendarat di daerah Kalampa. Kemudian mereka
mengibarkan bendera Kerajaan Melayu yang disebut bendera Longa-Longa. Ketika
Buton berdiri, bendera Longa-Longa ini dipakai sebagai bendera resmi
dikerajaanButon. Sementara itu Simalui dan para pengikutnya mendarat di Teluk
Bumbu, kemudian masuk dalam daerah Wakarumba. Pola hidup mereka berpindah-
pindah hingga akhirnya berjumpa dengan kelompok Sipanjonga. Karena pertempuran
tersebut, terjadi percampuran melalui perkawinan.
Sipanjonga menikah dengan Sibaana, saudara Simalui dan memiliki seorang
putera yang bernama Betoambari. Setelah dewasa, Betoambari menikah dengan
Wasigirina, putri Raja Kamaru. Dari perkawinan ini, kemudian lahir seorang anak
bernama Sangariarana. Seiring perjalanan, Betoambari kemudian menjadi penguasa
daerah Peropa, dan Sangariarana menguasai daerah Baluwu. Dengan terbentuknya
desa Peropa dan Baluwu, berarti telah ada empat desa yang memiliki ikatan
kekerabatan, yaitu: Gundu-Gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu. Keempat desa
ini kemudian disebut Empat Limbo, dan para pimpinannya disebut Bonto. Kesatuan
keempat pemimpin desa (Bonto) ini disebut Patalimbona. Mereka inilah yang
berwenang memilih dan mengangkat seorang yang akan menjadi Raja di kerajaan
Buton berada. Selain empat Limbo di atas, di pulau Buton juga telah berdiri beberapa
kerajaan kecil yaitu: Tobe-Tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga.
Dalam perjalanannya, kerajaan-kerajaan kecil dan empat Limbo di atas
kemudian bergabung dan membentuk sebuah kerajaan baru, dengan nama kerajaan
Buton. Pada saat itu, kerajaan tersebut memilih seorang wanita yang bernama Wa Kaa
Kaa sebagai raja. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1332 M. Berkaitan dengan asal-
usul nama Buton, menurut tradisi lokal berasal dari Butuni, sejenis pohon beringin
(barringtonia asiatica). Penduduk setempat menerima penyebutan ini sebagai tanda
dari para pelaut nusantara yang sering singgah di pulau itu. Namun dari sebuah kitab
sejarah yang berjudul Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wadaarul Munajat (Hakikat
Asal kejadian Negeri Buton Dan Negeri Muna) nama BUTUNI berasal dari perkataan
BATHNIY kata Arab bathni atau bathin, yang berarti perut atau kandungan. Menurut
perkiraan, nama ini telah ada sebelum Majapahit datang menaklukkannya. Dalam
surat-menyurat, kerajaan ini menyebut dirinya Butuni, orang Bugis menyebutnya
Butung, dan Belanda menyebutnya Buton. Selain itu, dalam arsip Belanda, negeri ini
juga dicatat dengan nama Butong ( Zuhdi, 1996 )

3.2 Masuknya Islam di Kesultanan Buton

Dengan Wa Kaa Kaa sebagai raja, Kerajaan Buton semakin berkembang


hingga Islam masuk ke Buton melalui Ternate pada pertengahan abad ke-16 M.
Selama masa pra Islam, di Buton telah berkuasa enam orang raja, dua di antaranya
perempuan. Perubahan Buton menjadi kesultanan terjadi pada tahun 1542 M (948 H),
bersamaan dengan pelantikan Lakilaponto sebagai Sultan Buton pertama, dengan
gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis. Setelah Raja Lakilaponto masuk
Islam, kerajaan Buton semakin berkembang dan mencapai masa kejayaan pada abad
ke 17 M. Ikatan kerajaan dengan agama Islam sangat erat, terutama dengan unsur-
unsur sufistik.

Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa
pemerintahan Raja Buton ke-6, yaitu Timbang Timbangan atau Lakilapoto atau Halu
Oleo. Beliau yang diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-
Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul
Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di
Johor. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur).
Kemudian beliau sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu Gatas yang termasuk dalam
pemerintahan Buton ( Yusuf, 2006 )
Di Pulau Batu Gatas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-
Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam
Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke
Pulau Buton, menghadap Raja Buton. Syeikh Abdul Wahid setuju dengan anjuran
yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam, Beliau langsung dilantik menjadi
Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada tahun 948 H/1538 M. Walau
bagaimanapun mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena sumber yang lain
disebutkan bahwa Syeikh Abdul Wahid merantau dari Patani-Johor ke Buton pada
tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton
pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus yaitu
Sultan Kaimuddin yang artinya Penguasa Pendiri Agama Islam. Dalam riwayat yang
lain menyebut bahwa yang melantik Sultan Buton yang pertama memeluk Islam,
bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru beliau yang sengaja didatangkan dari Patani.
Raja Halu Oleo setelah dilantik sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama,
dinamakan Sultan Murhum.

3.3 Sistem Pemerintahan Kesultanan Buton dalam Naskah Adat Istiadat Tanah
Butun
Istiadat Tanah Negeri Butun merupakan salah satu naskah Buton yang
merekam peraturan- peraturan yang diciptakan untuk kerajaan Butun, salah satunya
adalah tentang sistem pemerintahan yang berlaku di kerajaan tersebut. Kekuasaan
tertinggi di kerajaan Butun dipegang oleh sultan. Sedangkan struktur kekuasaan
dalam kerajaan dipegang oleh dua golongan atas, yaitu Kaomu dan Walaka. Kaomu
adalah golongan yang dianggap keturunan langsung dari Wa Kaa Kaa, raja pertama
Butun ( Yunus, 1995). Golongan inilah yang berhak menjadi sultan. Golongan Kaomu
terdiri dari tiga kelompok, yaitu Tanailandu (kelompok tertinggi dari golongan
Kaomu), Tapi-Tapi (kelompok kedua dari golongan Kaomu), dan Kumbewaha
(kelompok ketiga dari golongan Kaomu). Walaka adalah keturunan Si Panjonga,
merupakan golongan kedua dalam struktur sosial kerajaan. Walaka bertugas
memegang adat dan mengawasi pemerintahan yang dijalankan oleh sultan. Golongan
Walaka inilah yang mempunyai wewenang memilih dan mengangkat sultan.

Gambar 1 Peta batas wilayah tugas dalam sistem pemerintahan kesultanan


buton
( Sumber: www.kumparan.com )

Selain dua golongan bangsawan tersebut, ada dua golongan lagi yaitu
Papara dan Batua. Papara adalah rakyat biasa, sedangkan Batua adalah orang
yang bergantung kepada orang lain sebagai budak atau karena berhutang.
disebutkan bahwa sultan mempunyai kedudukan tertinggi di dalam sistem
pemerintahan, dalam kedudukannya tersebut sultan tidak boleh berbuat
semaunya sendiri. Sultan tidak boleh melanggar larangan yang sudah
ditetapkan dalam istiadat. Ancaman bagi pelanggaran yang dilakukan sultan
adalah diturunkan dari tahta atau hukuman mati. Sultan juga tidak boleh
menggunakan kata-kata yang menyakitkan hati.

BAB IV

PEMBAHASAN KERAJAAN GOWA-TALLO

4.1 Sejarah Kerajaan Gowa-Tallo


Kerajaan Gowa-Tallo adalah sebuah kerajaan yang terletak di Pulau Sulawesi
khususnya di daerah Sulawesi Selatan dan ibukotanya terletak di Makassar. Kerajaan
ini memiliki wilayah yang strategis. Hal tersebut dikarenakan wilayah kerajaan ini
berada di dalam jalur pelayaran serta pusat perdagangan yang terpenting di Nusantara.
Menurut Soedjipto Abimanyu di dalam bukunya yang berjudul “Kitab Kerajaan
Terlengkap Kearifan Raja-Raja Nusantara” (2014), Kerajaan Gowa dan Kerajaan
Tallo awalnya sempat terpisah dan saling berseteru yang kemudian membentuk
sebuah persatuan pada tahun 1528 dan membuat kerajaan tersebut mengalami masa-
masa kejayaan. Pada awal abad ke-17 Masehi, Kerajaan Gowa-Tallo menjadi kerajaan
Islam atau kesultanan. Penguasa Gowa-Tallo yang pertama kali memluk Agama Islam
adalah I Mangarangi Daeng Manrabbia (1593-1639) yang kemudian merubah
Namanya menjadi Sultan Alauddin I. Sebelum menjadi kerajaan bercorak Islam,
awalnya Kerajaan Gowa-Tallo menganut sistem kepercayaan animisme atau
kepercayaan terhadap roh leluhur yang disebut dengan To Manurung.
Pada awalnya di daerah Gowa terdiri atas Sembilan komunitas atau kelompok,
yang dikenal dengan nama Bate Salapang atau Sembilan Bendera. Sembilan Bendera
tersebut terdiri atas Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata,
Bissei, Sero, dan Kalili. Tumanurung yang pada saat itu ingin menyatukan ke
sembilan wilayah itu menjadi satu melakukan berbagai cara, baik dengan cara damai
maupun paksaan untuk membentuk Kerajaan Gowa.
Pada akhirnya Kerajaan Gowa didirikan oleh Tumanurung pada abad ke-14
Masehi. Namun pada abad ke-15, kerajaan ini terbelah menjadi dua bagian setelah
masa pemerintahan Tonatangka Lopi. Hal tersebut dikarenakan kedua putranya, yaitu
Batara Gowa dan Karaeng Loe ri Sero saling memperebutkan takhta dan
menyebabkan peperangan saudara. Dikutip dari tulisan William P. Cummings yang
berjudul “Islam, Empire and Makassarese Historiography in the Reign of Sultan
Alauddin (1595-1639)”, dimana dijelaskan bahwa Batara Gowa berhasil mengalahkan
adiknya. Akibat kekalahan Karaeng Loe kalah dalam pertempuran saudara, ia turun
ke muara Sungai Tallo dan mendirikan sebuah kerajaan baru yang diberi nama
Kerajaan Tallo.
Akan tetapi, kedua kerajaan ini sering sekali berpolemik selama bertahun-
tahun. Hingga pada akhirnya, setelah tahun 1565, Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo
Bersatu Kembali melalui kesepakatan Rua Karaeng Se’re yang artinya Dua Raja,
Seorang Hamba. Setelah bersatunya kembali dua kerajaan ini diberilah nama
Kerajaan Gowa-Tallo atau Kerajaan Makassar. Menurut M.C. Ricklefs dalam
bukunya yang berjudul “Sejarah Indonesia Modern 1200-2008” (2008), terdapat
sistem pembagian kekuasaan pada Kerajaan Gowa-Tallo, di mana raja dari kerajaan
ini berasalh dari garis keturunan Gowa sedangkan perdana menterinya berasal dari
garis keturunan Tallo. Hal tersebut terjadi seiring waktu, hingga akhir abad ke-16 atau
awal abad ke-17 Masehi, Kerajaan Gowa-Tallo memasuki masa Islam dan berubah
menjadi sebuah kesultanan. Bukan hanya bentuk kerajaannya saja yang berubah,
melainkan gelar dari pememimpinnya juga berubah menjadi sultan.

4.2 Raja-Raja dari Kerajaan Gowa-Tallo pada Masa Islam


a. Sultan Alauddin (1591-1639 Masehi)
Awalnya Sultan Alauddin memiliki nama asli, yaitu Karaeng
Matowaya Tumamenanga Ri Agamanna. Beliau merupakan raja Gowa-Tallo
yang pertama kali memeluk Agama Islam. Pada masa pemerintahan Sultan
Alauddin, Kerajaan Gowa-Tallo mulai ikut langsung dalam dunia pelayaran
dan perdagangan. Karena hal itu, kesejahteraan rakyat Kerajaan Gowa- Tallo
semakin meningkat daripada sebelumnya.
b. Sultan Muhammad Said (1639-1653 Masehi)
Pemerintahan Sultan Muhammad Said berjalan sekitar 14 tahun
lamanya. Selama 14 tahun tersebut, beliau mampu membuat wilayah tersebut
berkembang pesat di bidang bandar transit. Bahkan pada masa pemerintahan
beliau Kerajaan Gowa-Tallo pernah mengirimkan pasukannya ke Maluku
untuk membantu Maluku dalam perang melawan Belanda.

c. Sultan Hasanuddin (1653-1669 Masehi)

Gambar 4.2.1 Sultan Hasanuddin


(https://www.tribunnews.com/pendidikan/2021/10/12/mengenal-pahlawan-
sultan-hasanuddin-sang-ayam-jantan-dari-timur-raja-kerajaan-islam-gowa-
tallo)

Sultan Hasanuddin merupakan putra dari Sultan Muhammad Said.


Pada era pemerintahan beliau, Kerajaan Gowa-Tallo mencapai masa kejayaan.
Kerajaan Gowa Tallo mampu menguwasai hamper seluruh wilayah Sulawesi
Selatan dan mampu memperluas wilayah kekuasaanya hingga ke Nusa
Tenggara, yaitu Sumbawa dan Sebagian Flores. Karena hal tersebut membuat
aktivitas pelayaran dan perdagangan melalui Laut Flores harus singgah
terlebih dulu di pusat Kerajaan Gowa-Tallo.
Belanda yang mendengar perihal itu menentang kebijakan tersebut.
Hal tersebut dikarenakan Belanda yang memiliki kekuasaan di Maluku
terhalang oleh kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo. Pertentangan antara kedua
belah pihak tersebut sering menimbulkan peperangan. Keberanian Sultan
Hasanuddin dalam memporak-porandakan Pasukan Belanda di Maluku
mengakibatkan Belanda semakin terdesak. Karena keberanian beliau tersebut,
membuat Belanda memberikan julukan kepada beliau sebagai “Ayam Jantan
dari Timur”.
Untuk menguasai wilayah Makassar, Belanda melakukan politik
devide et impera atau politik pecah belah yang kemudian Belanda menjalin
hubungan dengan Kerajaan Bone. Pada masa itu, Kerajaan Bone berada di
bawah pimpinan Aru Palaka sedang melakukan pemberontakan terhadap
Kerajaan Gowa-Tallo. Pasukan Belanda yang dibantu oleh pasukan Aru
Palaka berhasil mendesak Kerajaan Gowa-Tallo dan dapat menguasai kota
kerajaan tersebut. Sehingga Sultan Hasanuddin terpasa harus menandatangani
Perjanjian Bongaya pada tahun 1667 Masehi. Berikut ini adalah isi dari
Perjanjian Bongaya, yaitu sebagai berikut:
 VOC yaitu kompeni dagang Belanda memperoleh hak untuk
memonopoli dagang di wilayah Makassar.
 Belanda dapat mendirikan benteng di pusat Kerajaan Gowa-
Tallo yang diberi nama Benteng Rotterdam.
 Gowa-Tallo harus melepaskan daerah kekuasaanya seperti
Bone dan pulau-pulau di luar wilayah Makassar.
 Aru Palaka diakui sebagai raja dari Kerajaan Bone.
d. Raja Mapasomba
Raja Mapasomba atau dikenal sebagai Sultan Amir Hamzah
merupakan putra dari Sultan Hasanuddin yang telah turun takhta setelah
menyerah kepada Belanda. Awalnya Sultan Hasanuddin berharap ia bekerja
sama dengan Belanda agar wilayah Gowa-Tallo tetap bertahan. Aakn teteapi
watak dari Raja Mapasomba lebih keras dari pada Sultan Hasanuddin sehingga
Belanda mengerahkan pasukannya untuk melawan perlawanan yang dilakukan
oleh Raja Mapasomba.
4.3 Peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo
a. Fort Rotterdam

Gambar 4.3.1 Benteng Rotterdam


(https://www.kompas.com/stori/read/2021/08/19/140000379/benteng-fort-
rotterdam--sejarah-fungsi-dan-kompleks-bangunan?page=all)

Fort Rotterdam atau Benteng Rotterdam adalah sebuah benteng


peninggalan dari Kerajaan Gowa-Tallo. Letak dari benteng ini berada di
pinggir pantai barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Pada awalnya benteng
ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-
14 konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas. Batu tersebut diambil
dari Pegunungan Karst yang terdapat di daerah Maros. Benteng Rotterdam ini
memiliki bentuk yang menyerupai seekor penyu yang hendak turun ke lautan.
Karena bentuknya tersebut muncullah sebuah filosofi Kerajaan Gowa, bahwa
penyu dapat hidup di darat maupun di air. Begitu juga dengan Kerajaan Gowa-
Tallo yang yang dapat Berjaya di wilayah daratan maupun lautan.
b. Masjid Katangka
Masjid Katangka didirikan pada tahun 1605 Masehi oleh Kerajaan
Gowa-Tallo. Sejak berdirinya, masjid ini sering mengalami pemugaran atau
perubahan beberapa kali. Karena hal tersebut banyak sejarawan yang sulit
untuk mengidentifikasi bentuk asli dari Masjid Katangka tersebut.

Gambar 4.3.3 Masjid Katangka


(https://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Katangka)

c. Kompleks Makam Raja Gowa-Tallo

Gambar 4.3.4 Kompleks Pemakaman Raja Gowa-Tallo


(http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/cagarbudaya/detail/PO2016021000126/k
ompleks-makam-raja-tallo)

Kompleks pemakaman raja-raja Gowa-Tallo merupakan sebuah


kompleks makam kuno yang dipakai sejak abad ke-17 sampai dengan abad ke-
19 Masehi. Lokasi kompleks pemakaman tersebut terletak di dekat pinggir
barat muara Sungai Tallo. Berdasarkan hasil penggalian yang dilakukan oleh
Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, ditemukan beberapa fakta bahwa
struktur dari pemakaman tersebut berstruktur tumpeng tinding. Sejumlah
makam terletak di atas pondasi bangunan, bahkan terkadang ditemukan
pondasi di atas bangunan makam.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kesultanan atau Kerajaan Bone sering dikenal dengan Akkarungeng ri Bone yang
merupakan kesultanan yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya di daerah
Provinsi Sulawesi Selatan sekarang dengan menguasai areal sekitar 2600 km2. Kerajaan
Bone pada awal abad XIV dimulai dengan kedatangan Tomanurung Ri Matajang
Matasilompoe yang mempersatukan 7 komunitas yang dipimpin oleh Matoa. Adapun pada
saat di posisi bisu kerajaan tetap dipertahankan yang mana Bone berada pada puncak
kejayaannya setelah Perang Makassar tahun 1667-1669. Sehingga Bone menjadi kerajaan
yang paling dominan dijazirah selatan Sulawesi. Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa
akhirnya Bone menjadi penguasa utama di bawah pengaruh Belanda di Sulawesi Selatan dan
sekitarnya pada tahun 1666 sampai tahun 1814 ketika Inggris berkuasa sementara di
daerahnya akan tetapi dikembalikan lagi ke Belanda pada tahun 1816 setelah perjanjian di
Eropa kejatuhan Napoleon Bonaparte. Setelah perang beberapa kali mulai tahun 1824
akhirnya Bone berada di bawah kontrol Belanda pada tahun 1905 yang dikenal dengan
peristiwa Rumpa'na Bone. Sejarah Kerajaan Bone Kerajaan Bone didirikan oleh Manurunge
ri Matajang pada 1330 masehi Sejarah masuknya Islam ke Kerajaan Bone berawal ketika
kerajaan tersebut tidak dianggap sederajat oleh Kesultanan Gowa. Di dalam peperangan
tersebut Kerajaan Bone menyerah kalah dan akhirnya mau memeluk Islam yang kemudian
diikuti oleh rakyatnya.

Kerajaan Bone mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Arung Palakka
sultan ke-15 yang bertakhta antara 1672-1696 M yang mana hal ini terdapat dibawah
kekuasaan Kerajaan Bone yang mampu memakmurkan rakyatnya dengan potensi yang
beragam seperti dalam bidang pertanian, perkebunan, dan kelautan. Sesudah jatuhnya
Kesultanan Gowa Kerajaan Bone menjadi kuat di seantero Sulawesi bahkan sultan yang
berkuasa berhasil mengajak Kesultanan Luwu, Soppeng, dan sejumlah negara kecil lainnya
untuk bersekutu. Kejayaan Kerajaan Bone pada masa pemerintahan Latenritatta
Towappatunru Daeng Serang Datu Mario Riwawo Aru Palakka Malampee Gemmekna Petta
Torisompae Matinroeri Bontoala saat pertengahan abad ke-17. Bissu merupakan seorang
laki-laki yang gaya dan tingkah lakunya seperti perempuan. Sesudah itu kekuasaan
dilanjutkan oleh Arung Datu (1823-1835 M). Arung Datu berusaha merevisi Perjanjian
Bongaya yang disepakati Kerajaan Gowa dan VOC hingga akhirnya memicu kemarahan
Belanda kemudian Belanda meluncurkan serangan hingga berhasil menduduki Kerajaan
Bone sementara Arung Datu diasingkan pada pengasingan tetapi Arung Datu masih berupaya
menyerang dengan usahanya yang selalu dapat ditumpaskan kepada pasukan Belanda. Pada
masa peperangan Belanda mengerahkan sekitar 1.332 personel militer, 575 personel non
tempur, tujuh kapal perang, 316 ekor kuda, dan berton-ton mesiu yang siap diledakkan. Pada
masa peperangan Kerajaan Bone memperkuat pertahanan di Pelabuhan Bajoe yang menjadi
tempat penyerangan pertama pasukan Belanda dan tempat berlabuhnya kapal-kapal perang
Hindia Belanda. Pada saat Belanda berhasil menduduki Kerajaan Bone sebelum Arumpone ia
sudah diasingkan ke daerah Tanah Toraja.

Buton adalah sebuah pulau yang pernah menjadi menorehkan tinta sejarah di bumi
nusantara. Namun seringkali dalam sejarah Indonesia, sejarah kerajaan ataupun kesultanan
Buton tidak dimasukkan ke dalam ruang lingkup sejarah nasional. Sejarah Buton seringkali
terlepas dari rangkaian sejarah di nusantara. Padahal dalam perlayara dan perdagangan di
nusantara, Buton memainkan peran vital. Terbentuknya kerajaan Buton tidak terlepas dari
peran Mia Patamiana (empat orang) yang berasal dari Semenanjung Malaya abad ke-
XIII. Keturunan Mia Patamiana menjadi raja dan bangsawan, dengan raja pertamanya Wa
Kaa Kaa seorang perempuan.

Adanya interaksi dengan pelayaran dan perdagangan di nusantara membuat pengaruh


terhadap kerajaan Buton. Buton menjadi kesultanan karena peran dan pengaruh dari seorang
ulama Syeikh Abdul Wahid yang berasal dari Johor. Sultan pertama dari kesultanan Buton
adalah Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis. Beliaulah yang berperan besar
terhadap pengislaman kerajaan Buton. Perubahan yang terjadi ternyata berpengruh besar
terhadap seluruh aspek kenegaraan Buton. Hal ini terlihat dari Pengaruh dan peninggalan
yang banyak diberikan oleh kesultanan Buton. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian lebih
dalam untuk menggali sumber-sumber dan data.

Kerajaan Gowa-Tallo adalah sebuah kerajaan yang terletak di Pulau Sulawesi


khususnya di daerah Sulawesi Selatan dan ibukotanya terletak di Makassar. Kerajaan ini
memiliki wilayah yang strategis. Pada awalnya di daerah Gowa terdiri atas Sembilan
komunitas atau kelompok, yang dikenal dengan nama Bate Salapang atau Sembilan Bendera.
Hal tersebut dikarenakan kedua putranya, yaitu Batara Gowa dan Karaeng Loe ri Sero saling
memperebutkan takhta dan menyebabkan peperangan saudara. Cummings yang berjudul
“Islam, Empire and Makassarese Historiography in the Reign of Sultan Alauddin (1595-
1639)”, dimana dijelaskan bahwa Batara Gowa berhasil mengalahkan adiknya. Hingga pada
akhirnya, setelah tahun 1565, Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo Bersatu Kembali melalui
kesepakatan Rua Karaeng Se’re yang artinya Dua Raja, Seorang Hamba. Awalnya Sultan
Alauddin memiliki nama asli, yaitu Karaeng Matowaya Tumamenanga Ri Agamanna. Beliau
merupakan raja Gowa-Tallo yang pertama kali memeluk Agama Islam.

Selama 14 tahun tersebut, beliau mampu membuat wilayah tersebut berkembang


pesat di bidang bandar transit. Karena hal tersebut membuat aktivitas pelayaran dan
perdagangan melalui Laut Flores harus singgah terlebih dulu di pusat Kerajaan Gowa-Tallo.
Belanda yang mendengar perihal itu menentang kebijakan tersebut. Hal tersebut dikarenakan
Belanda yang memiliki kekuasaan di Maluku terhalang oleh kekuasaan Kerajaan Gowa-
Tallo. Untuk menguasai wilayah Makassar, Belanda melakukan politik devide et impera atau
politik pecah belah yang kemudian Belanda menjalin hubungan dengan Kerajaan Bone. Raja
Mapasomba atau dikenal sebagai Sultan Amir Hamzah merupakan putra dari Sultan
Hasanuddin yang telah turun takhta setelah menyerah kepada Belanda. Batu tersebut diambil
dari Pegunungan Karst yang terdapat di daerah Maros. Masjid Katangka didirikan pada tahun
1605 Masehi oleh Kerajaan Gowa-Tallo. Karena hal tersebut banyak sejarawan yang sulit
untuk mengidentifikasi bentuk asli dari Masjid Katangka tersebut. Kompleks pemakaman
raja-raja Gowa-Tallo merupakan sebuah kompleks makam kuno yang dipakai sejak abad ke-
17 sampai dengan abad ke-19 Masehi.

5.2 Saran

Dengan penulisan makalah ini diharapkan teman-teman yang membaca mengerti dan
memahami lagi sejarah kerajaan-kerajaan islam di sulawesi yang diamana ini akan
menambah pengetahuan serta wawasan teman-teman terhadap kerajaan-kerajaan yang ada di
sulawesi. Kami menyadari bahwasanya makalah kami ini kurang dari kata sempurna dengan
hal itu maka penulis berharap kritik maupun saranya dari teman-teman agar terciptanya
sebuah makalah yang sempurna kedepanya.

DAFTAR PUSTAKA

1) KERAJAAN BONE
a) Amarseto, Binuko. 2017. Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Relasi
Inti Media
b) Mattulada, Latoa. 1985. Suatu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik
Orang Bugis. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
c) Syahrir, Nurlina. 2003. Bissu Dalam Masyarakat Pangkep Kedudukan
Upacara dan Sejarahnya. Makassar: badan Pengembang Bahasa dan Seni
FBS UNM

2) KERAJAAN BUTON
a) Yusuf, Mundzirin dkk. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Yogyakarta :
Penerbit Pustaka. 2006.
b) Yunus, Abdurrahman Rohim. Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan di
Kesultanan Buton Pada Abad ke-IX. Jakarta : INIS. 1995.
c) Zuhdi, Susanto. Kerajaan Tradisional Sulawesi Selatan Kesultanan Buton.
Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996.

3) KERAJAAN GOWA-TALLO
a) Dumadi, Sagimun Mulus. Pahlawan Nasional: Sultan Hasanudin (Ayam
Jantan dari Ufuk Timur). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1992.
b) Sewang, Ahmad M. Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad
XVII). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2005.
c) Sulistyo, Bambang. Konflik, Kontrak Sosial, dan Pertumbuhan Kerajaan-
kerajaan Islam di Sulawesi Selatan. Jurnal Pendidikan Sains Sosial dan
Kemanusiaan. 2014.

Anda mungkin juga menyukai