MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah :
Indonesia Masa Kesultanan (PSEJUM6005)
Yang Diampu Oleh Bapak :
Deny Yudo Wahyudi, S.Pd, M.Hum
Anggota Kelompok 9:
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan
karunia-Nya kepada kita sehingga makalah yang berjudul “Sejarah Kerajaan Islam di
Pulau Sulawesi” ini dapat tersusun tepat pada waktunya untuk memenuhi tugas mata kuliah
Indonesia Masa Kesultanan. Pada kesempatan ini tidak lupa kami selaku penulis untuk
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Deny Yudo Wahyudi, S.P.d, M.Hum selaku dosen pengampu mata kuliah
Indonesia Masa Kesultanan.
2. Seluruh teman-teman yang telah berkontribusi menyumbangkan pikiran dan
materi dalam penyusunan makalah sampai dengan selesai.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah masih banyak kekurangan dan jauh
dari kata sempurna, untuk itu kami mohon maaf apabila masih terdapat kata yang kurang
berkenan digunakan dalam penulisan makalah ini. Kami juga terbuka terhadap kritik dan
saran dari pembaca demi perbaikan tulisan kami, sehingga diharapkan dengan hadirnya
makalah ini dapat menambah wawasan mengenai kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara
khususnya di Pulau Sulawesi sendiri.
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................................
KATA PENGANTAR.......................................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................
BAB V PENUTUP.............................................................................................................
5.1 Kesimpulan........................................................................................................
5.2 Saran..................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Ratu Bone We Tenrituppu adalah pemimpin Bone yang pertama masuk Islam
tetapi Islam diterima secara resmi pada masa Arumpone La Tenripale Matinroe Ri
Tallo Arumpone keduabelas. Pada masa ini pula Arumpone mengangkat Arung Pitu
atau Ade' Pitue untuk membantu dalam menjalankan pemerintahan. Yang mana
sebelumnya La Tenriruwa telah menerima Islam tetapi ditolak oleh hadat Bone yang
disebut Ade' Pitue sehingga dia hijrah ke Bantaeng dan wafat disana. Ketika Islam
diterima secara resmi maka susunan hadat Bone berubah lalu ditambahkan jabatan
Parewa Sara (Pejabat Syariat) yakni Petta KaliE (Qadhi). Adapun pada saat di posisi
bisu kerajaan tetap dipertahankan yang mana Bone berada pada puncak kejayaannya
setelah Perang Makassar tahun 1667-1669. Sehingga Bone menjadi kerajaan yang
paling dominan dijazirah selatan Sulawesi. Perang Makassar mengantarkan La
Tenritatta Arung Palakka Sultan Saadudin sebagai penguasa tertinggi. Kemudian
diwarisi oleh kemenakannya yaitu La Patau Matanna Tikka dan Batari Toja yang
menjadi leluhur utama aristokrat di Sulawesi Selatan.
Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa akhirnya Bone menjadi penguasa utama di
bawah pengaruh Belanda di Sulawesi Selatan dan sekitarnya pada tahun 1666 sampai
tahun 1814 ketika Inggris berkuasa sementara di daerahnya akan tetapi dikembalikan
lagi ke Belanda pada tahun 1816 setelah perjanjian di Eropa kejatuhan Napoleon
Bonaparte. Setelah perang beberapa kali mulai tahun 1824 akhirnya Bone berada di
bawah kontrol Belanda pada tahun 1905 yang dikenal dengan peristiwa Rumpa'na
Bone. Adapun pengaruh Belanda disebabkan karena meningkatnya perlawanan Bone
terhadap Belanda namun Belanda mengirimkan sekian banyak ekspedisi untuk
meredam perlawanan sampai akhirnya Bone menjadi bagian dari Indonesia pada saat
proklamasi di Bone bersama para raja bergelar Arumpone.
Sejarah Kerajaan Bone Kerajaan Bone didirikan oleh Manurunge ri Matajang
pada 1330 masehi Sejarah masuknya Islam ke Kerajaan Bone berawal ketika
kerajaan tersebut tidak dianggap sederajat oleh Kesultanan Gowa. Kerajaan Bone
baru akan dianggap setara apabila mau mengikuti Kesultanan Gowa memeluk agama
Islam. Lalu Raja Bone menolak persyaratan tersebut hingga timbul peperangan di
antara dua kerajaan ini. Di dalam peperangan tersebut Kerajaan Bone menyerah kalah
dan akhirnya mau memeluk Islam yang kemudian diikuti oleh rakyatnya. Dalam
perdagangan di Nusantara saat kedatangan islam di Gowa tidak dapat dipisahkan dari
kedatangan-kedatangan pedagang melayu (Palallo, 1996: 54) yang mana hal ini lebih
dulu memeluk islam di Nusantara. Maka dapat dikatakan bahwa mereka mendakwah
islam kepada penduduk negeri yang dikunjunginya berdasarkan thesis dasar setiap
muslim yakni misi agamanya selain itu juga dapat dilihat dari mubalig, pedagang,
serta fungsi ganda. Sejarah pengislamisasi di Sulawesi Selatan secara umum peran
Gowa dalam pengislaman di Sulawesi Selatan sangat viral karena Kerajaan Gowa
berpegang sangat paseng bahwa siapa yang menemukan jalan yang lebih baik maka
diharapkan menyampaikan jalan tersebut kepada Kerajaan yang lain (Mattulada,
Latoa, 1985: 131) memulai islamisasi kepada Kerajaan yang lain di Sulawesi Selatan
salah satunya Kerajaan Bone. Tetapi islamisasi Kerajaan Bone ditempuh sesudah
adanya peperangan pada sejarah Sulawesi Selatan perang tersebut dikenal dengan
sebutan musu assellengggeng atau perang pengislaman. Sesudah Kerajaan Bone
ditaklukkan maka kerajaan tersebut resmi memeluk agama islam dalam perang
pengislaman yang telah dilaksanakan oleh Gowa dan dianggap berakhir.
b. Bola Soba
Bola Soba sudah berusia 100 tahun lamanya karena Bola Soba ini
dibangun pada masa pemerintahan Raja Bone ke-30 La Pawawoi Karaeng
Sigeri yang dulunya Bola Soba dibangun untuk kediaman sang raja. Akan
tetapi saat Belanda masuk serta menduduki Bone maka Bola Soba dialih
fungsikan sebagai tempat penginapan para tamu yang mana bangunan sejarah
ini memliki panjang sekitar kurang lebih 40 meter serta terdiri atas beberapa
bagian yakni, dapur, selasar penghubung, teras, dan rumah induk.
Gambar Bola Soba
https://www.google.com/search?
q=Gambar+Bola+Soba&tbm=isch&ved=2ahUKEwjP46rhppz0AhXnkUsFHSB9BZ0Q2-
cCegQIABAA&oq=Gambar+Bola
https://www.google.com/search?
q=Gambar+patung+arung+palakka&tbm=isch&ved=2ahUKEwjn6ZL1qpz0AhWHzaACHcL
WBJsQ2-cCegQIABAA&oq=Gambar+patung+arung
https://www.google.com/search?
q=Gambar+makam+raja+bone&tbm=isch&ved=2ahUKEwiW9OOzrJz0AhV__jgGHb7wDP
8Q2-cCegQIABAA&oq=Gambar+makam+raja+bone
BAB III
Salah satu sumber yang menerangkan kerajaan Buton terdapat dalam Negara
Kertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 M. Dalam naskah kuno itu, negeri
Buton disebut dengan nama Butuni. Butuni merupakan sebuah desa tempat tinggal
para resi (pendeta) yang dilengkapi taman, lingga dan saluran air. Rajanya bergelar
Yang Mulia Mahaguru. Dalam sejarahnya, cikal bakal Buton sebagai negeri telah
dirintis oleh empat orang yang disebut dengan Mia Patamiana. Mereka adalah:
Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati. Menurut sumber sejarah lisan Buton,
empat orang pendiri negeri ini berasal dari Semenanjung Melayu yang datang ke
Buton pada akhir abad ke-13 M. Empat orang (Mia Patamiana) tersebut terbagi dalam
dua kelompok,yakni : Sipanjongan dan Sijawangkati, sedangkan lainnya Simalui dan
Sitamanajo.
Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa
pemerintahan Raja Buton ke-6, yaitu Timbang Timbangan atau Lakilapoto atau Halu
Oleo. Beliau yang diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-
Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul
Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di
Johor. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur).
Kemudian beliau sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu Gatas yang termasuk dalam
pemerintahan Buton ( Yusuf, 2006 )
Di Pulau Batu Gatas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-
Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam
Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke
Pulau Buton, menghadap Raja Buton. Syeikh Abdul Wahid setuju dengan anjuran
yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam, Beliau langsung dilantik menjadi
Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada tahun 948 H/1538 M. Walau
bagaimanapun mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena sumber yang lain
disebutkan bahwa Syeikh Abdul Wahid merantau dari Patani-Johor ke Buton pada
tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton
pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus yaitu
Sultan Kaimuddin yang artinya Penguasa Pendiri Agama Islam. Dalam riwayat yang
lain menyebut bahwa yang melantik Sultan Buton yang pertama memeluk Islam,
bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru beliau yang sengaja didatangkan dari Patani.
Raja Halu Oleo setelah dilantik sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama,
dinamakan Sultan Murhum.
3.3 Sistem Pemerintahan Kesultanan Buton dalam Naskah Adat Istiadat Tanah
Butun
Istiadat Tanah Negeri Butun merupakan salah satu naskah Buton yang
merekam peraturan- peraturan yang diciptakan untuk kerajaan Butun, salah satunya
adalah tentang sistem pemerintahan yang berlaku di kerajaan tersebut. Kekuasaan
tertinggi di kerajaan Butun dipegang oleh sultan. Sedangkan struktur kekuasaan
dalam kerajaan dipegang oleh dua golongan atas, yaitu Kaomu dan Walaka. Kaomu
adalah golongan yang dianggap keturunan langsung dari Wa Kaa Kaa, raja pertama
Butun ( Yunus, 1995). Golongan inilah yang berhak menjadi sultan. Golongan Kaomu
terdiri dari tiga kelompok, yaitu Tanailandu (kelompok tertinggi dari golongan
Kaomu), Tapi-Tapi (kelompok kedua dari golongan Kaomu), dan Kumbewaha
(kelompok ketiga dari golongan Kaomu). Walaka adalah keturunan Si Panjonga,
merupakan golongan kedua dalam struktur sosial kerajaan. Walaka bertugas
memegang adat dan mengawasi pemerintahan yang dijalankan oleh sultan. Golongan
Walaka inilah yang mempunyai wewenang memilih dan mengangkat sultan.
Selain dua golongan bangsawan tersebut, ada dua golongan lagi yaitu
Papara dan Batua. Papara adalah rakyat biasa, sedangkan Batua adalah orang
yang bergantung kepada orang lain sebagai budak atau karena berhutang.
disebutkan bahwa sultan mempunyai kedudukan tertinggi di dalam sistem
pemerintahan, dalam kedudukannya tersebut sultan tidak boleh berbuat
semaunya sendiri. Sultan tidak boleh melanggar larangan yang sudah
ditetapkan dalam istiadat. Ancaman bagi pelanggaran yang dilakukan sultan
adalah diturunkan dari tahta atau hukuman mati. Sultan juga tidak boleh
menggunakan kata-kata yang menyakitkan hati.
BAB IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesultanan atau Kerajaan Bone sering dikenal dengan Akkarungeng ri Bone yang
merupakan kesultanan yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya di daerah
Provinsi Sulawesi Selatan sekarang dengan menguasai areal sekitar 2600 km2. Kerajaan
Bone pada awal abad XIV dimulai dengan kedatangan Tomanurung Ri Matajang
Matasilompoe yang mempersatukan 7 komunitas yang dipimpin oleh Matoa. Adapun pada
saat di posisi bisu kerajaan tetap dipertahankan yang mana Bone berada pada puncak
kejayaannya setelah Perang Makassar tahun 1667-1669. Sehingga Bone menjadi kerajaan
yang paling dominan dijazirah selatan Sulawesi. Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa
akhirnya Bone menjadi penguasa utama di bawah pengaruh Belanda di Sulawesi Selatan dan
sekitarnya pada tahun 1666 sampai tahun 1814 ketika Inggris berkuasa sementara di
daerahnya akan tetapi dikembalikan lagi ke Belanda pada tahun 1816 setelah perjanjian di
Eropa kejatuhan Napoleon Bonaparte. Setelah perang beberapa kali mulai tahun 1824
akhirnya Bone berada di bawah kontrol Belanda pada tahun 1905 yang dikenal dengan
peristiwa Rumpa'na Bone. Sejarah Kerajaan Bone Kerajaan Bone didirikan oleh Manurunge
ri Matajang pada 1330 masehi Sejarah masuknya Islam ke Kerajaan Bone berawal ketika
kerajaan tersebut tidak dianggap sederajat oleh Kesultanan Gowa. Di dalam peperangan
tersebut Kerajaan Bone menyerah kalah dan akhirnya mau memeluk Islam yang kemudian
diikuti oleh rakyatnya.
Kerajaan Bone mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Arung Palakka
sultan ke-15 yang bertakhta antara 1672-1696 M yang mana hal ini terdapat dibawah
kekuasaan Kerajaan Bone yang mampu memakmurkan rakyatnya dengan potensi yang
beragam seperti dalam bidang pertanian, perkebunan, dan kelautan. Sesudah jatuhnya
Kesultanan Gowa Kerajaan Bone menjadi kuat di seantero Sulawesi bahkan sultan yang
berkuasa berhasil mengajak Kesultanan Luwu, Soppeng, dan sejumlah negara kecil lainnya
untuk bersekutu. Kejayaan Kerajaan Bone pada masa pemerintahan Latenritatta
Towappatunru Daeng Serang Datu Mario Riwawo Aru Palakka Malampee Gemmekna Petta
Torisompae Matinroeri Bontoala saat pertengahan abad ke-17. Bissu merupakan seorang
laki-laki yang gaya dan tingkah lakunya seperti perempuan. Sesudah itu kekuasaan
dilanjutkan oleh Arung Datu (1823-1835 M). Arung Datu berusaha merevisi Perjanjian
Bongaya yang disepakati Kerajaan Gowa dan VOC hingga akhirnya memicu kemarahan
Belanda kemudian Belanda meluncurkan serangan hingga berhasil menduduki Kerajaan
Bone sementara Arung Datu diasingkan pada pengasingan tetapi Arung Datu masih berupaya
menyerang dengan usahanya yang selalu dapat ditumpaskan kepada pasukan Belanda. Pada
masa peperangan Belanda mengerahkan sekitar 1.332 personel militer, 575 personel non
tempur, tujuh kapal perang, 316 ekor kuda, dan berton-ton mesiu yang siap diledakkan. Pada
masa peperangan Kerajaan Bone memperkuat pertahanan di Pelabuhan Bajoe yang menjadi
tempat penyerangan pertama pasukan Belanda dan tempat berlabuhnya kapal-kapal perang
Hindia Belanda. Pada saat Belanda berhasil menduduki Kerajaan Bone sebelum Arumpone ia
sudah diasingkan ke daerah Tanah Toraja.
Buton adalah sebuah pulau yang pernah menjadi menorehkan tinta sejarah di bumi
nusantara. Namun seringkali dalam sejarah Indonesia, sejarah kerajaan ataupun kesultanan
Buton tidak dimasukkan ke dalam ruang lingkup sejarah nasional. Sejarah Buton seringkali
terlepas dari rangkaian sejarah di nusantara. Padahal dalam perlayara dan perdagangan di
nusantara, Buton memainkan peran vital. Terbentuknya kerajaan Buton tidak terlepas dari
peran Mia Patamiana (empat orang) yang berasal dari Semenanjung Malaya abad ke-
XIII. Keturunan Mia Patamiana menjadi raja dan bangsawan, dengan raja pertamanya Wa
Kaa Kaa seorang perempuan.
5.2 Saran
Dengan penulisan makalah ini diharapkan teman-teman yang membaca mengerti dan
memahami lagi sejarah kerajaan-kerajaan islam di sulawesi yang diamana ini akan
menambah pengetahuan serta wawasan teman-teman terhadap kerajaan-kerajaan yang ada di
sulawesi. Kami menyadari bahwasanya makalah kami ini kurang dari kata sempurna dengan
hal itu maka penulis berharap kritik maupun saranya dari teman-teman agar terciptanya
sebuah makalah yang sempurna kedepanya.
DAFTAR PUSTAKA
1) KERAJAAN BONE
a) Amarseto, Binuko. 2017. Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Relasi
Inti Media
b) Mattulada, Latoa. 1985. Suatu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik
Orang Bugis. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
c) Syahrir, Nurlina. 2003. Bissu Dalam Masyarakat Pangkep Kedudukan
Upacara dan Sejarahnya. Makassar: badan Pengembang Bahasa dan Seni
FBS UNM
2) KERAJAAN BUTON
a) Yusuf, Mundzirin dkk. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Yogyakarta :
Penerbit Pustaka. 2006.
b) Yunus, Abdurrahman Rohim. Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan di
Kesultanan Buton Pada Abad ke-IX. Jakarta : INIS. 1995.
c) Zuhdi, Susanto. Kerajaan Tradisional Sulawesi Selatan Kesultanan Buton.
Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996.
3) KERAJAAN GOWA-TALLO
a) Dumadi, Sagimun Mulus. Pahlawan Nasional: Sultan Hasanudin (Ayam
Jantan dari Ufuk Timur). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1992.
b) Sewang, Ahmad M. Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad
XVII). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2005.
c) Sulistyo, Bambang. Konflik, Kontrak Sosial, dan Pertumbuhan Kerajaan-
kerajaan Islam di Sulawesi Selatan. Jurnal Pendidikan Sains Sosial dan
Kemanusiaan. 2014.