Anda di halaman 1dari 218

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
atas berkat dan rahmatnya kami masih diberikan kesempatan untuk
dapat menyelesaikan materi buku ini. Adapun materi yang akan
dibahas pada buku ini adalah materi pembelajaran satu semester
mengenai seputar sejarah Islam baik di luar maupun di dalam negeri.

Buku ini kami selesaikan demi memenuhi penyelesaian tugas


pada mata kuliah Sejarah Indonesia pada masa Islam. Semoga buku ini
dapat menambah wawasan dan pengetahuan kami maupun para
pembaca buku ini.Dalam penulisan buku atau materi ini, tidak sedikit
hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa
kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan,
dorongan, dan bimbingan orangtua, sehingga kendala-kendala yang
penulis hadapi teratasi. Buku ini disusun agar pembaca dapat
memperluas ilmu tentang Sejarah Indonesia pada masa Islam, yang
kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi.
Buku ini di susun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari
diri penulis maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh
kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan yang maha esa
akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Semoga buku ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas


dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca. Penulis sadar
bahwa buku ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kami dengan segala kerendahan hati meminta maaf
dan mengharapkan kritik serta saran yang membangun guna
memperbaiki dan menyempurnakan lagi untuk kedepannya.Akhir kata

ii
kami ucapkan terima kasih dan selamat membaca, semoga buku ini
dapat bermanfaat sebagaimana mestinya bagi para pembaca.

Medan, 20 Mei 2022

Reguler E

iii
PENYUSUN BUKU
Dosen Pengampu : Pristi Suhendro M.Si

Kelompok Nama Kelompok BAB


1 Winra Sianturi 1
Raudotul Jannah
Arti Yusriyyah
Matthew Siahaan
2 Rangga Handoko 2
Roulina Simbolon
Siti Nurmaida
3 Santa Simanjuntak 3
Daniel Tambunan
Esmin Sibarani
4 Yulli Amalia 4
Listia Maibang
Putri Sitepu
5 Madona Sembiring 5
Fatma Azhari
Cresensia Simanjuntak
6 Morista Sinurat 6
Safwani Daulay
Mawar Situmorang
7 Mia Maya Sari 7
Agus Nirlan Ndruru
Dian T Purba
8 Indah Permata Sari 8
Oktavia Dewi

iv
Timoteus Gultom

DAFTAR ISI
BAB 1 KEADAAN INDONESIA MENJELANG DATANGNYA ISLAM..............1

BAB 2 PERKEMBANGAN KOTA KOTA ISLAM DAN KERAJAAN


KERAJAAN ISLAM AWAL............................................................................................25

BAB 3 KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI SUMATERA.....................................34

BAB 4 KERAJAAN ISLAM DI PULAU JAWA..........................................................60

BAB 5 KERAJAN KERAJAN ISLAM DI PEDALMAN JAWA TENGAH.........89

BAB 6 KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN.....................................................129

BAB 7 KERAJAAN KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI...................................153

BAB 8 KERAJAAN ISLAM DI MALUKU DAN PAPUA.....................................182

v
BAB 1
KEADAAN INDONESIA MENJELANG DATANGNYA
ISLAM

A. Kondisi Indonesia Menjelang Datangnya Islam

Kondisi Bangsa Indonesia pada Waktu Permulaan


Kedatangan Islam Sejarawan Barat, Brandes menyebutkan bahwa
masyarakat Nusantara sebelum kedatangan pengaruh India telah
mempunyai 10 butir aspek kebudayaan yang merupakan kepandaian
asli masyarakat Nusantara, yaitu wayang, gamelan, batik, pengerjaan
logam, astronomi, pelayaran, irigasi, mata uang, metrum (irama), dan
pemerintahan yang teratur.

Berdasarkan pendapat Brandes tersebut bukan hal yang


mengherankan jika masyarakat Nusantara waktu itu sudah aktif dalam
perdagangan maritim internasional antara India-Cina karena mampu
melakukan pelayaran (dengan perahu bercadik) di samudera dan
memanfaatkan ilmu astronomi yang mereka kuasai.

Catatan Cina awal juga menyebutkan sejumlah kerajaan awal


yang memiliki hubungan dengan jalur perdagangan melalui Selat
Malaka seperti Poli, Koying, Kantoli, P’u-lei, P’ota, P’o-huang, P’en-p’en,
Tan-tan, dan Holotan yang berada di antara kerajaan-kerajaan awal
yang diperkirakan telah muncul di beberapa lokasi di Nusantara seperti
di pulau Jawa dan Sumatra.
Sejarah masuknya islam ke Indonesia atau yang dulu disebut
Nusantara, islam masuk pada abad ke 7 masehi, melalui perdagangan
pada saat itu mayoritas masyarakat Indonesia masih beragama hindu-
budha dan menganut system kepercayaan. Berikut ini merupakan
kondisi-kondisi masa menjelangnya islam masuk ke Indonesia.

1. Kondisi Geografis Indonesia

Kata Indonesia dalam pembahasan ini adalah untuk menunjukan


seluruh kesatuan wilayah yang membentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Nama Indonesia pertama kali digunakan dan
dipopulerkan oleh Adolf Philipp Wilhelm Bastian seorang etnologi dari
Jerman dalam judul karyanya yaitu “Indonesien Oder de Islan des
Malaysichen Archipels” pada tahun 1884. Namun ternyata, nama
Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh James Richardson Logan
dan George Samuel Windsor Earl pada tahun 1850. Sementara itu,
pribumi yang pertama kali menggunakan nama indonesia adalah
Suwardi Suryaningrat atau lebih dikenal dengan KI.Hajar Dewantara.

Indonesia merupakan sekelompok kepulauan terbesar di dunia.


Diperkirakan kurang lebih 3.000 pulaunya. Kepulauan Indonesia
termasuk salah satu terbanyak gunung berapinya. Indonesia
mempunyai iklim tropis yang sangat dipengaruhi oleh pegunnungan
dan laut. Temparatur berkisar sekitar 20 derajat celcius sampai 30
derajat celcius. Indonesia terletak di antara dua benua, Asia dan
Australia, dua samudra India dan Fasifik. Karena letaknya yang
demikian, kepulauan ini menjadi jembatan penyeberangan berbagai
bangsa di zaman dahulu (pra Sejarah). Dan tak kurang pula pentingnya
adalah letak Indonesia pada jalur perdagangan di antara dua pusat
perdagangan “Internasional” zaman dulu (Sejarah Indonesia Klasik),
yaitu antara India dan Cina. Juga memungkinkan Indonesia senantiasa

2
dilalui oleh pelayaran tersingkat antara Asia Timur disatu pihak dan
Asia Selatan-Asia Barat-Afrika di pihak lain. Jadi tepat dikatakan bahwa
kepulauan Indonesia terletak pada persimpangan jalan dunia.

2. Agama Dan Kepercayaan

Kepercayaan masyarakat sebelum Islam adalah Animisme dan


Dinamisme. Animisme merupakan kepercayaan terhadap roh / jiwa
orang terdahulu (nenek moyang) yang sudah meninggal untuk
disembah. Dinamisme merupakan kepercayaan terhadap pusaka /
benda kuno yang dianggap suci untuk disembah.

Agama yang dianut oleh penduduk yang mendiami kepulauan


Indonesia/Nusantara sebelum datangnya agama Islam adalah agama
Hindu dan Budha. Namun sebelum berkembangnya kedua agama
tersebut tiap suku atau masyarakat di kepulauan Indonesia/Nusantara
telah memiliki religi yang beraneka ragam. Banyak faktor yang menjadi
indikator mengapa agama Hindu dan Budha menyebar di Nusantara
kemudian melebur dengan sistem agama setempat. Selain itu, agama-
agama yang berasal dari India bagian selatan merupakan sumber utama
kebudayaan paling maju di Asia pada abad pertama Masehi.
Perkembangan agama Buddha di Nusantara tidak menentu. Diduga
agama Buddha/Hindu secara bertahap masuk ke Indonesia sejak abad
ke-1 Masehi, dan bersamaan dengan masuknya agama Hindu ke
Indonesia, juga dapat dipelajari dari beberapa kerajaan tertua yang
menganut agama Hindu, seperti Kerajaan Kutai, Mataram Kuno,
Medang Kamulan pada abad ke-4 M/Isyana, Kediri, Gosari Baru dan
Majapahit. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara
pemerintah daerah dengan negara asal agama tersebut.

3. Politik dan Pemerintahan

3
Kebanyakan sistem politik di Indonesia sebelum datangnya
Islam adalah Monarki (secara turun - menurun) dalam kerajaan -
kerajaan Hindu/Budha.

Beberapa kerajaan tertua di Nusantara telah menunjukkan


keadaan tatanan politik dan pemerintahan. Kekuasaan pemerintah
pusat diperkuat melalui pelaksanaan rencana-rencana mengenai ritual
dan birokrasi. Pertemuan tahunan adalah cara untuk menyatukan
masyarakat di ibu kota. Hasil dari produk industri dan pertanian lebih
banyak dicadangkan untuk upacara secara kualitas dan kuantitas.
Penyelenggaraan ini membutuhkan produk pertanian, pajak, dan kerja
paksa.

Disinilah terlihat kesetiaan atau loyalitas rakyat antara rakyat


dan dari penguasa bawahan kepada penguasa atasan atau yang lebih
tinggi dan dominan. Monopoli kedudukan pemerintahan berada di
tangan sekelompok penguasa yang dipimpin oleh seorang
penguasa.Hubungan antara raja dan pegawai di bawahannya
merupakan bentuk clientship yaitu artinya ikatan antara seorang
penguasa politik tertinggi dan orang yang dikuasakan untuk
menjalankan sebagian dari kekuasan penguasa tertinggi.

4. Perekonomian dan Perindustrian

Diketahui, pada masa kerajaan tertua di Nusantara ini,


disebutkan pula kehidupan ekonomi masyarakat pada masa itu.
Permukiman tersebut tersebar di lembah sungai dan dataran
pegunungan, dengan masyarakat yang menggunakan segala
aktivitasnya sebagai penopang utama stabilitas dan keberlanjutan
ekonomi pemerintah. Daerah pedalaman adalah adalah area pertanian
tertutup. Perdagangan sebagai kegiatan ekonomi yang perlu adanya
keterbukaa hanya dilakukan oleh segelintir orang yang perlu

4
menempuh perjalanan jauh d engan menggunakan gerobak atau
sampan untuk berdagang. Perdagangan luar negeri hanyalah
berpengaruh terutama pada istana dan para pedagang dan kota-kota
pelabuhan. Perdagangan ini bukan untuk kepentingan penduduk desa,
bangsawan, atau pemuka agama daerah pada umumnya.

Sisi lain perekonomian adalah pertanian yang merupakan tulang


punggung perekonomian sebagian besar pemerintahan yang pernah
ada di wilayah Nusantara. Hasil pertanian persawahan menjamin
stabilitas dan persediaan makanan secara teratur. pekerjaan yang
dibutuhkan dalam pengolahan lahan persawahan pada skala yang luas
berhubungan timbal-balik dengan perkembangan masyarakat dan
administrasi. Beras menjadi tulang punggung utama ekonomi kerajaan.
Beras dipertukarkan dengan komoditas lainnya, rempah-rempah (dari
wilayah lokal) yang kemudian dipertukarkan dengan komoditas
perdagangan dari luar seperti kain, keramik dan lain-lain terutama dari
India dan Cina.

Sebagai penyeimbang kehidupan ekonomi yang semakin


berkembang, sektor industri juga didorong untuk berkembang. Yang
dimaksud dengan industri di sini meliputi industri rumah tangga,
industri kerajinan, dan industri logam. Mereka tidak hanya membuat
barang/perkakas untuk kebutuhan mereka dan rakyat jelata, tetapi juga
untuk kebutuhan raja dan kerabatnya.

1. B.Proses Penyebaran Islam Di Indonesia


 Teori-Teori Masuknya Islam Ke Indonesia
1. Teori Gujarat

Teori Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke


Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M.

5
Gujarat ini terletak di India bagain barat, berdekaran dengan Laut Arab.
Tokoh yang menyosialisasikan teori ini kebanyakan adalah sarjana dari
Belanda. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah J.
Pijnapel dari Universitas Leiden pada abad ke 19. Menurutnya, orang-
orang Arab bermahzab Syafei telah bermukim di Gujarat dan Malabar
sejak awal Hijriyyah (abad ke7 Masehi), namun yang menyebarkan
Islam ke Indonesia menurut Pijnapel bukanlah dari orang Arab
langsung, melainkan pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan
berdagang ke dunia timur, termasuk Indonesia.

Dalam perkembangan selanjutnya, teori Pijnapel ini diamini dan


disebarkan oleh seorang orientalis terkemuka Belanda, Snouck
Hurgronje. Menurutnya, Islam telah lebih dulu berkembang di kota-kota
pelabuhan Anak Benua India. Orang-orang Gujarat telah lebih awal
membuka hubungan dagang dengan Indonesia dibanding dengan
pedagang Arab. Kaum saudagar Gujarat datang melalui Selat Malaka
dan menjalin kontak dengan orang-orang lokal di bagian barat
Nusantara yang kemudian melahirkan Kesultanan Samudera Pasai
sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia. Salah satu bukti yang
mendukung teori ini adalah ditemukannya makam Malik As-Saleh
dengan angka 1297. Nama asli Malik As-Saleh sebelum masuk Islam
adalah Marah Silu. Ia merupakan pendiri Kesultanan Samudera Pasai di
Aceh. Dikutip dari buku Arkeologi Islam Nusantara (2009) karya Uka
Tjandrasasmita, corak batu nisan Sultan Malik As-Saleh memiliki
kemiripan dengan corak batu nisan di Gujarat. Selain itu, hubungan
dagang antara Nusantara dengan India telah lama terjalin Ditemukan
pula batu nisan lain di pesisir utara Sumatera bertanggal 17 Dzulhijjah
831 H atau 27 September 1428 M. Makam ini memiliki batu nisan
serupa dari Cambay, Gujarat, dan menjadi nisan pula untuk makam

6
Maulana Malik Ibrahim, salah satu Walisongo, yang wafat tahun 1419.

2. Teori Persia

Teori bahwa ajaran Islam masuk ke Nusantara dari bangsa Persia (atau
wilayah yang kemudian menjadi negara Iran) pada abad ke-13 Masehi
didukung oleh Umar Amir Husen dan Husein Djajadiningrat.
Abdurrahman Misno dalam Reception Through Selection-Modification:
Antropologi Hukum Islam di Indonesia (2016) menuliskan,
Djajadiningrat berpendapat bahwa tradisi dan kebudayaan Islam di
Indonesia memiliki persamaan dengan Persia. Salah satu contohnya
adalah seni kaligrafi yang terpahat pada batu-batu nisan bercorak Islam
di Nusantara. Ada pula budaya Tabot di Bengkulu dan Tabuik di
Sumatera Barat yang serupa dengan ritual di Persia setiap tanggal 10
Muharam. Akan tetapi, ajaran Islam yang masuk dari Persia
kemungkinan adalah Syiah. Kesamaan tradisi tersebut serupa dengan
ritual Syiah di Persia yang saat ini merujuk pada negara Iran. Teori ini
cukup lemah karena mayoritas pemeluk Islam Indonesia adalah
bermazhab Sunni. Kelebihan dari Teori Persia Salah satu bukti Teori
Persia yang menjadi kelebihannya adalah adanya perayaan 10
Muharam di Bengkulu dan Sumatera Barat yang dikenal sebagai Tradisi
Tabot. Pasalnya, tradisi untuk mengenang cucu Nabi Muhammad SAW,
Husain bin Ali, ini juga dikenal di Persia. Selain itu, adanya penyerapan
dan penambahan kosa kata bahasa Persia ke dalam bahasa Melayu. Hal
itu dibuktikan dalam beberapa buku yang memuat kosa kata Persia,
yang diserap ke dalam bahasa Melayu. Bukti lain adalah adanya
persamaan nisan pada makam Malik al-Shalih dan makam Maulana

7
Malik Ibrahim, yang memiliki kemiripan dengan nisan yang ada di
Persia. Kelemahan dari Teori Persia Meski memiliki beberapa
kelebihan, namun ada sebagian ahli yang masih meragukan bukti-bukti
terkait masuknya Islam dari Persia. Hal ini karena bukti-bukti yang ada
masih diragukan dan dirasa kurang kuat. Terlebih lagi, Persia bukanlah
wilayah pusat agama Islam. Ditambah lagi, pedagang yang berasal dari
Persia jumlahnya tidak seberapa. Pedagang Persia yang bertransaksi di
Indonesia saat itu masih kalah jumlahnya dengan pedagang Arab, China,
dan India.

3. Teori Arab

Teori selanjutnya tentang masuknya Islam di Indonesia


diperkirakan berasal dari Timur Tengah, tepatnya Arab. Teori Arab
(Mekah) ini didukung oleh J.C. van Leur, Anthony H. Johns, T.W. Arnold,
hingga Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka. Menurut Buya
Hamka, Islam sudah menyebar di Nusantara sejak abad 7 M. Hamka
dalam bukunya berjudul Sejarah Umat Islam (1997) menjelaskan salah
satu bukti yang menunjukkan bahwa Islam masuk ke Nusantara dari
orang-orang Arab. Bukti yang diajukan Hamka adalah naskah kuno dari
Cina yang menyebutkan bahwa sekelompok bangsa Arab telah
bermukim di kawasan Pantai Barat Sumatera pada 625 M.

Di kawasan yang pernah dikuasai Kerajaan Sriwijaya itu juga


ditemukan nisan kuno bertuliskan nama Syekh Rukunuddin, wafat
tahun 672 M. Teori dan bukti yang dipaparkan Hamka tersebut
didukung oleh T. W. Arnold yang menyatakan bahwa kaum saudagar
dari Arab cukup dominan dalam aktivitas perdagangan ke wilayah
Nusantara. Sebagian dari pedagang Arab tersebut kemudian menikah
dengan warga lokal dan membentuk komunitas muslim. Mereka
bersama-sama kemudian melakukan kegiatan dakwah Islam di

8
berbagai wilayah di Nusantara. dan kelemahan. Kelebihan Teori
Mekkah yaitu adanya persamaan mazhab di Arab dan di Indonesia,
yang memakai mazhab Syafi'i. Selain alasan kesamaan mazhab, Hamka
melihat bahwa gelar raja-raja Pasai adalah al-Malik, bukan Shah atau
Khan seperti yang terjadi di Persia dan India. Dalam Hikayat Raja-raja
Pasai yang ditulis setelah 1350, disebutkan bahwa Syaikh Ismail datang
dari Mekkah melalui Malabar menuju Pasai dan mengislamkan rajanya,
Merah Silu, yang kemudian bergelar Malik al-Shalih. Hal ini sekaligus
membantah Teori Gujarat, yang menyatakan bahwa pengaruh Islam di
Indonesia datang dari Gujarat, India. Teori Mekkah menyebut jika Islam
masuk ke Indonesia dari Mekkah, sebagai pusat agama Islam,
sementara Gujarat hanya sebagai tempat singgah. Di samping itu, pada
abad ke-13, telah terdapat ulama-ulama Jawa yang mengajarkan
tasawuf di Mekkah. Naguib Al-Attas juga pembela Teori Arab, yang
berargumen bahwa sebelum abad ke-17, seluruh literatur keagamaan
Islam yang relevan tidak mencatat satu pengarang Muslim India.
Disamping kelebihannya, Teori Mekkah juga memiliki kelemahan, yaitu
kurangnya fakta terkait peranan bangsa Arab dalam proses penyebaran
agama Islam di Indonesia.

4. Teori Cina

Penyebaran Islam di Indonesia juga diperkirakan masuk dari Cina.


Ajaran Islam berkembang di Cina pada masa Dinasti Tang (618-905 M),
dibawa oleh panglima muslim dari kekhalifahan di Madinah semasa era
Khalifah Ustman bin Affan, yakni Saad bin Abi Waqqash. Kanton pernah
menjadi pusatnya para pendakwah muslim dari Cina. Jean A. Berlie
(2004) dalam buku Islam in China menyebut relasi pertama antara
orang-orang Islam dari Arab dengan bangsa Cina terjadi pada 713 M.

9
Diyakini bahwa Islam memasuki Nusantara bersamaan migrasi orang-
orang Cina ke Asia Tenggara.

Mereka dan memasuki wilayah Sumatera bagian selatan Palembang


pada 879 atau abad ke-9 M. Bukti lain adalah banyak pendakwah Islam
keturuna Cina yang punya pengaruh besar di Kesultanan Demak,
kerajaan Islam pertama di Jawa, seiring dengan keruntuhan
Kemaharajaan Majapahit pada perjalanan abad ke-13 M. Sebagian dari
mereka disebut Wali Songo. Dalam buku Sejarah yang ditulis oleh Nana
Supriatna diungkapkan, Kesultanan Demak didirikan oleh Raden Patah,
putra Raja Majapahit dari istri seorang perempuan asal Cina yang telah
masuk Islam. Raden Patah yang memiliki nama Cina, Jin Bun,
memimpin Demak bersama Wali Songo sejak 1500 M.

Proses Islamisasi yang berkembang di Indonesia minimal melalui


enam cara, yaitu:

1.Saluran Perdagangan, hal ini sesuai dengan kesibukan lalu lintas


perdagangan abad-7 sampai abad ke-16, perdagangan antara negeri-
negeri di bagian barat, Tenggara dan Timur benua Asia dan dimana
pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia, India) turut serta
menggambil bagiannya di Indonesia. Relasi niaga ini kemudian
memunculkan interaksi antara para pedagang asing yang beragama
Islam itu dengan orang-orang Nusantara di berbagai tempat yang
disinggahi. Tidak sedikit para saudagar muslim itu yang menetap di
daerah-daerah pesisir di Nusantara. Lambat-laun, tempat yang mereka
tinggali berkembang menjadi perkampungan muslim. Interaksi yang
sering muncul saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya.
Pengaruh ini membuat pergeseran dalam sistem kehidupan
bermasyarakat di Nusantara, termasuk dalam hal kepercayaan.

10
2. Saluran Pernikahan, ikatan perkawinan merupakan ikatan lahir batin,
dengan pernikahan terbentuklah sebuah keluarga kecil yang akhirnya
menjadi cikal bakal masyarakat besar, dalam hal ini berarti membentuk
masyarakat muslim.Bermukimnya para pedagang muslim di beberapa
wilayah di Nusantara menimbulkan interaksi dengan masyarakat
setempat. Banyak orang asing tersebut yang kemudian menikah dengan
perempuan asli Nusantara yang kemudian menjadi salah satu saluran
Islamisasi, yakni melalui pernikahan. Pernikahan antara orang asing
beragama Islam dengan pribumi juga terjadi di kalangan bangsawan
atau istana yang membuat penyebaran Islam semakin masif dan efektif.
Saluran Islamisasi melalui pernikahan menjadi akar yang kuat untuk
membentuk masyarakat muslim. Inti dari masyarakat adalah keluarga.
Setelah memiliki keturunan, maka persebaran Islam semakin meluas.

3.Saluran Tashawwuf banyak dijumpai dalam seni sastra berupa babad


dan hikayat. Ajaran ini terutama berkembang di Jawa karena ajaran
Islam melalui saluran ini disesuaikan dengan pola pikir masyarakat
yang masih berorientasi pada agama hindu.Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), tasawuf adalah ajaran atau cara untuk
mengenal dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Para pendakwah Islam
di Indonesia mengajarkan tasawuf kepada masyarakat dengan cara
yang mudah dimengerti dan disesuaikan dengan tradisi yang sudah ada
sebelumnya. Cara ini membuat proses Islamisasi di Nusantara dapat
berjalan dengan baik dan efektif.

4.Saluran Pendidikan Para ulama, kiai, guru-guru agama, dan seorang


raja berperan besar dalam proses Islamisasi di Indonesia, mereka

11
menyebarkan agama Islam melalui pendidikan yaitu dengan
mendirikan pondok-pondok pesantren sebagai tempat pengajaran
agama Islam bagi para santri. Murid atau santri yang telah mempelajari
ilmu agama dan kemudian keluar dari pesantren untuk
menyebarluaskan ajaran Islam di tempat-tempat lain, atau mendirikan
pesantren sendiri sehingga semakin memperluas proses Islamisasi di
Indonesia.

5.Saluran Kesenian, saluran kesenian ini dapat diperhatikan antara lain


seperti seni bangunan, seni pahat atau ukir, seni tari, musik dan seni
sastra. seni bangunan misalnya, ia terlihat pada masjid kuno Demak,
Sendang Duwur Agung Kasepuhan di Cirebon, masjid Agung Banten,
Baiturrahman di Aceh, Ternate dan sebagainya. Contoh lain adalah
pertunjukan wayang kulit. Melalui ceritacerita wayang inilah nilai Islam
disisipkan. Sehingga masyarakat sedikit demi sedikit tanpa terasa
akhirnya mau masuk Islam baik dengan ajakan maupun karena
keinginannya sendiri. Seni dan budaya juga bisa menjadi saluran
Islamisasi yang efektif. Ajaran Islam dipadukan dengan berbagai jenis
seni yang sudah ada sebelumnya, seperti seni musik, seni tari, seni
pahat, seni bangunan, seni ukir, seni pertunjukan, seni sastra, dan lain
sebagainya. Di bidang seni pertunjukan, misalnya, pertunjukan wayang
disisipi dengan cerita-cerita atau tokoh-tokoh dalam ajaran Islam.
Begitu pula dengan seni musik. Beberapa wali sengaja menggubah
tembang atau lagu dalam bahasa Jawa yang berisi tentang ajaran Islam.
Penggunaan gamelan juga demikian untuk menarik masyarakat. Dalam
sektor seni bangunan bisa dilihat dari Masjid Menara Kudus yang
menampilkan akulturasi antara corak bangunan Hindu dengan Islam,
juga masjid-masjid lain atau bangunan lainnya di Nusantara.

12
6.Saluran politik, Pengaruh kekuasan sangatlah berperan besar dalam
proses Islamisasi di Indonesia. Ketika seorang raja memeluk agama
Islam, maka rakyat juga akan mengikuti jejak rajanya. Rakyat memiliki
kepatuhan yang sangat tinggi dan raja sebagai panutan bahkan menjadi
tauladan bagi rakyatnya. Dengan demikian Pengaruh politik seorang
raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah tersebut. Salah satu
contohnya adalah Kesultanan Demak. Raden Patah, pendiri Kesultanan
Demak, adalah pangeran dari Majapahit. Raden Patah berguru kepada
Wali Songo dan kemudian masuk Islam hingga akhirnya mendirikan
Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Berdirinya
Kesultanan Demak dengan Raden Patah sebagai rajanya yang telah
masuk Islam kemudian berbondong-bondong diikuti oleh sebagian
besar rakyatnya. Kehadiran Kesultanan Demak pada akhirnya
meruntuhkan Kerajaan Majapahit dan semakin banyak orang yang
memeluk Islam.

7.Saluran Dakwah, proses penyebaran islam yang dilakukan dengan


cara memberi penerapan tentang agama Islam seperti yang dilakukan
Walisongo dan para ulama lainnya. saluran pendidikan, proses ini
dilakukan dengan mendirikan pesantren guna memperdalam ajaran-
ajaran islam yang kemudian menyebarkannya.

Proses Penyebaran Islam di Indonesia berjalan dengan cepat karena


didukung faktor-faktor berikut:

Syarat masuk Islam sangat mudah karena seseorang dianggap


telah masuk Islam jika ia telah mengucapakan kalimat syahadat.
‫َأْش َهُد َأْن اَل ِإَلَه ِإاَّل ُهللا َو َأْش َهُد َأَّن ُمَحَّم ًدا َر ُسْو ُل ِهللا‬
"Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar
rasuulullah".

13
Artinya:
"Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah. Dan aku
bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah".
1. Pelaksanaan ibadah sederhana dan biayanya murah.
2. Agama Islam tidak mengenal pembagian kasta sehingga banyak
kelompok masyarakat yang masuk Islam karena ingin
memperoleh derajat yang sama.
3. Aturan-aturan dalam Islam bersifat fleksibel dan tidak memaksa.
Agama Islam yang masuk dari Gujarat, India mendapat pengaruh
Hindu dan tasawuf sehingga mudah dipahami.
4. Melalui jalur dagangan maka penyebaran agama Islam tidak
dengan paksaan, dengan interaksi antara pembeli dan pedagang
maka akan memudahkan orang non-Islam melihat akhlak dan
muamalah para pedagang Islam. Sehingga mereka tertarik dan
mempelajari Islam.
5. Pada zaman tersebut banyak sekali ritual-ritual agama dan
budaya Hindu, pada saat itulah masuk ajaran Islam dengan
menggantikan sedikit demi sedikit isi dari ritual tersebut. Selain
itu melalui kebudayan seperti lagu dan wayang, maka orang
lebih mudah memahami Islam. Saat ini masih ada sisa
peninggalan tradisi yangmasih dijalankan seperti Tahlilan, dan
acara 7 bulanan.

C.Aliran-Aliran Agama Islam Yang Ada Di Indonesia

Kelompok-Kelompom Islam Yang Ada diLuar Negeri

 Wahabi

Pendiri gerakan ini adalah Muhammad bin Abdul Wahab (1702-


1787). Belum disebut bahwa tarekat mereka namai Al Muhammadiyah

14
dan fiqih mereka berperang pada Bali disesuaikan dengan tafsiran Ibnu
Taimaiyyah.

 Pendapat pendapat mereka:


 Tawassul,Istigozah adalah syirik
 Ziarah kekuburan hukumnya haram
 Menghisap rokok adalah haram dan syirik
 Mengharamkan membangun kubah atau bangunan diatas
kuburan

 Bahal

Pendirinya adalah Mirza Husein Ali Bahaullah (1892M). Aliran ini


mulai timbul dikalangan syiah imamiyah di Iran pada abad ke-19
masehi dengan muncul Mirza Ali Muhammad pada tahun 1852 masehi
yang mendirikannya sebagai al- bab atau pintu, bagi kaum Syiah dan
umat Islam lainnya untuk menghubungkan mereka dengan imam yang
lenyap dan ditunggu kehadirannya pada akhir zaman. Ia menyerukan
untuk menyatukan agama Islam, Nasrani dan juga Yahudi sehingga
menimbulkan kehebohan dan ia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati
di Tibriz tahun 1853 M.

Salah satu murid Mirza Husein Ali Bahaullah kemudian mengaku


sebagai wakil dari Mirza Ali Muhammad Al- BAB, dan mengembangkan
ajaran ajaran sampai ia mati. Kelompok ini diusir oleh kerajaan
syahiran dan dilarang di Mesir, bahan al-azhar mengeluarkan fatwa
bahwa ajaran keluar dari Islam dan sudah tidak Islam lagi. Aliran ini
meluas ke dunia barat pada tahun 1980 dan pada akhir 1920
mengadakan pusat bahai yang kuat di Amerika, dewasa ini bahai
terdapat lebih dari 260 kota dunia.

15
Pendapat aliran ini:

 Menggabungkan agama Islam dengan Yahudi, Nasrani dan


lainnya.
 Menolak poligami kecuali dengan alasan yang tidak boleh dari
dua istri.
 Sholat hanya 9 rakaat dan kiblat nya istana Bahaullah.
 Melakukan puasa sebulan tapi hanya 19 hari.
 Tidak melakukan salat Jumat hanya salat jenazah saja.
 Melakukan haji dengan mengunjungi rumah al- bab tempat ia
dipenjarakan dan rumah-rumah para pembesar.
 Zakat harta sepertiga dan diberikan kepada dewan pengurus
perkumpulan.
 Riba diperbolehkan.
 Kalau 19 hari janda boleh menikah setelah membayar diyat
( tanpa 'iddah). Duda tidak boleh kawin sebelum 90 hari.
 Kewarisan 9/60 untuk anak, 8 / 60 untuk suami, 7/60 untuk
ayah,6/60 untuk ibu 1/60 untuk saudara perempuan, 3/60
untuk para guru. Selain meraka tidak dapat.
 Hukum kasus perzinahan adalah membayar uang ke Baitul Mal.
 Wanita mendapatkan warisan yang sama dengan laki-laki.
 Tidak mempercayai hari akhirat.

 Ahmadiyah

Pendiriannya adalah Mirza Ghulam Ahmad (1889-1908 M). Ia lahir


di Pakistan di tengah kelompok syiah islamiyah, tahun 1884 ia mengaku
mendapat Islam dari Allah kemudian pada tahun 1901 mengaku dirinya
menjadi nabi dan rasul, yang diingkari oleh kelompok ahlussunnah dan
kelompok syiah seluruh dunia. Ahmadiyah terbagi menjadi dua

16
kelompok. -Ahmadiyah Qadiyan: menganggap Mizra adalah nabi Ahmad
Lahore: menganggap Mirza sebagai Majaddid atau pembaharuan Islam

 Pendapat-pendapat mereka:
 Menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi (Qadiyan).
 Orang Islam yang tidak sepaham adalah orang kafir.
 Mengharamkan jihad.

 Jamaah Tabligh

Pendirinya adalah: Syaikh Muhammad Ismail al-Kandahlawi (1303-


1363). Kelompok ini aktif sejak 1921 di mewat, India markas
internasional pusat tabligh adalah di Nizzamudin, Indis

Pendapat mereka adalah:

 Mengembalikan Islam pada ajaran yang kaffah


(menyeluruhkan).
 Mengharuskan pengikutnya kharuj (keluar untuk berdakwah) 4
bulan untuk seumur hidup, 40 hari pada tiap tahun, tiga hari
setiap bulan, berkeliling pada tiap minggu.
 Menjauhi pembicaraan tentang fiqih.

Kelompok- Kelompok Islam di Indonesia

Kelompok-kelompok Islam di Indonesia juga banyak yang


mengikuti aliran diatas tetapi karena banyaknya organisasi dan
kelompok Islam di Indonesia maka kali ini kami akan menyebutkan
sebagian saja.

 Muhammadiyah

17
 Pemimpin : K.H. Ahmad Dahlan (nama asli
Muhammad Darwis, 1868-1923 M).
 Aktif mulai : 1912
 Pendapat Mereka :
 Mengembalikan Umat Islam pada agama Islam yang sebenarnya
yaitu kembali pada Al-Qur'an dan hadits
 Mengikis habis bid'ah kufarat, takhayul,dan klenik.
 Membuka pintu ijtihad dan membunuh taqlid yang membabi
buta.

 Nadhatul Ulama
 Pemimpin : K.H. Hasyim Asy'ariy (1947 M)
 Aktif sejak : 31 Januari 1926
 Pendapat Mereka :
 Pertahankan dan mengembangkan paham ahlus Sunnah di
Indonesia.
 Menegakkan syariat Islam menurut haluan ahlussunnah Wal
jamaah dalam hal ini empat mazhab terbesar yaitu Hanafi,
Maliki, Syafi'i, dan Hanbali.
 Dalam tasawuf NU mengikuti paham Abdul Qosim Junaidi Al
Baghdadi

Syiah

Aliran Syiah yang berkembang di Indonesia adalah Syiah itsna,


asyariyah, dan mempunyai pengikut puluhan ribu di bawah bendera
IJABI yaitu ikatan jamaah ahlul-bait Indonesia yang berpusat di Jakarta.
Menurut M. Yunus Jamil dan A. Hasyim Kerajaan Islam pertama kali
berdiri di nusantara adalah kerajaan perlak yang konon didirikan pada

18
tahun 225Hsampai 845M. Pendirian kerajaan ini adalah para pedagang
muslim yang berasal dari Persia Arab dan Gujarat yang mula-mula
datang untuk mengislamkan penduduk setempat.

MUI menganggap Syiah adalah termasuk mazhab yang benar


sebagaimana yang diakui oleh eh Rabithah alam islamiyah dan itu
diakui oleh al-azhar, arti konkretnya adalah jamaah haji sia boleh
masuk ke Masjidil Haram kalau mereka memang sesat seharusnya tidak
boleh masuk.

Aliran -Aliran Sesat di Indonesia

Sesat yaitu setiap yang menyimpang dari jalan yang benar dan
setiap hal yang berjalan tidak dijalan yang benar. Aliran yang sesat
diindonesia adalah sebagai berikut:

 Lembaga Dakwah Islamiyyah Indonesia (LDII) / Islam


Jamaah

Pendiri : Madigol Nurhasan Ubaidah Lubis bin Abdul bin Thahir


bin Irsyad

(1915-1982)

Pendapat mereka :

 Al Qur'an dan as-sunnah baru sah dia makan kalau keluar


manqul atau keluar dari mulut Iman atau amirnya.
 Oranh yang tidak termasuk golongan mereka dianggap kafir dan
najis.
 Pelanggran-anggaran dilakukan bola ditembus dengan uang oleh
anggota ini.
 info mutlak wajib 10% dari penghasilan apapun wajibnya
dilembagakan taqiyah.

19
 Salamullah
 Pendirinya : Lia Aminuddin
 Aktif sejak : 1995, di Jakarta
 Fatwa sesat MUI :1997
 Pendapat mereka : Lia mengaku bertemu Jibril kemudian
sebagai bunda Maria dan akhirnya sebagai Jibril. Anaknya
Ahmad Mukhlis sebagai jelmaan roh nabi Isa as.

Imam besar salamullah Abdurrahman sebagai jelmaan nabi Muhammad


Saw.

Mempunyai kitab sendiri berjudul Ruhul kudus.

 Al-Quran Suci
 Fatwa sesat MUI : 2007
 Pendapat mereka :
 Tidak mengakui hadits.
 Tidak melakukan kewajiban dalam rukun islam.
 Memisahkan jamaah dari keluarganya.
 Memperbolehkan berzina dengan iparnya

 Mahesa Kurung
 Pemimpin : As-Sayyid al-Habib Faridhal Attros al-
Kindhy
 Aktif sejak : 1984
 Fatwa sesat MUI : 2006
 Alasan : Menyebarkan kemusyrikan
 Wahidiyyah
 Pemimpin : Abas

20
 Fatma sesat MUI : Tasikmalaya
 Pendapat mereka:
 Ghauts Hadza Zaman punya kewenangan mananamkan dan
mencabut iman seseorang.
 Sosok Mbah Abdul Majid dianggap sebagai juru selamat bagi
umat di zaman sekarang.

 Islam sejati
 Pemimpin : Heri dan Akhyari
 Fatwa sesat MUI : Banten, 2007
 Pendapat Mereka :
 Menyembah Tuhan dengan bersujud menghadap ke empat arah
penjuru angin.
 Ahmad Sayuti (Nabi Palsu)
 Pemimpin : Ahmad Sayuti
 Fatwa Sesat MUI : 2007
 Pendapat Mereka :
 Menganggap dirinya sebagai nabi yang di utus Allah dengan Nabi
Muhammad bukan nabi terakhir
 Al-Quran adalah kitab hukum bahasa Arab peninggalan Nabi
Muhammad putra Abdullah yang ditulis oleh para sahabatnya
atas perintah Muhammad.
 Mengaku kalau Al-Quran turun pada tahun 1993 saat dirinya
mendapatkan Wahyu
 Menganggap tafsir Al-Quran selama ini hanya kebohongan
belaka.
 Kitab hadis Bukhori hanya kitab bohong yang isinya bukan
perkataan Nabi Muhammad.

21
 Darul Arqam
 Pemimpin : Syeikh Suhemi
 Fatwa sesat MUI : 1994
 Pendapat Mereka :
 Aurad Muhammadiyah Darul Arqam diterima secara langsung
oleh Syekh Suhaemi, tokoh Darul Argam, dari Rasulullah SAW di
Ka'bah dalam keadaan tirage.

Aliran- aliran kebatinan Islam

Di Indonesia banyak sekali aliran-aliran kebatinan yang harus


diwaspadai ajarannya, Aliran kebatinan di Indonesia menurut H.M.
Danuwiyoto tidak terlepas dari pengaruh ajaran Syekh Siti Jenar pada
abad ke-14 Masehi yang di anggap sesat oleh para Wali yang ada di
Indonesia saat itu.

Berikut ini adalah aliran-aliran yang berkembang di Indonesia:

 Banjarnegara : 1-Perjalanan Tri Luhur


 Bangkalan : 2-Agama Baru Banyu Urip, 3-Ilmu Laduni Sepalu,
 Bantul : 4-Kasunyatan Ngantek, 5-Pekerjaan Baru Hadisono
Guasar,
 Banyumas : 6-Moyah Kaki Kroya, 7-Tri Luhur Tulus
 Blitar : 8-Murti Tomo Waskito, 9-Paguyuban Pambuko
Jiwa, 10-Purwatin Sanggar Penataran, 11-Sukmo Sejati, 12-
Kebatinan Islam, 13-Ilmu Kebatinan, 14-Kwaruh Jiwo Dipo,
 Boyolali : 15-Agama Jiwa
 Kebumen : 16-Tripitaka, 17-Balai Sabdo Kamanungsan, 18-
Kebatinan Jiwo, 19 Penganut Sunan Kalijogo.

22
 Kudus : 20-Buda budi jawi
 Jakarta : 21-Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan
Susilo Budi Utomo, 22-Kekeluargaan, 23-BKKI, 24-Perhimpunan
Kemanusiaan, 25-Kesatuaan Rakyat Indonesia Murni, yayasan
Olah Raga Hidup Baru, 27-Perhimpunan Kemanungsan, 28-
Peguyuban Kebatinan, 29-Pangudi Ilmu Kebatinan Intisaring
Rasa, 30-Dewan Musyawarah Perjalanan, 31-Sari Budoyo Di, 32
paguyuban Pakerti Urip.

Aliran agama islam di Indonesia juga banyak terdapat aliran


sesat,yang dimana jumlah pengikutnya terbilang lumayan banyak,
suatu aliran dikatakan sesat bila aturan aliran tersebut keluar dari
batas-batas islam.

Suatu aliran dikatakan sesat jika terlihat ciri-ciri sebagai berikut;

Mengingkari salah satu rukun iman yang 6.

 Menyakini turunnya wahyu sesudah Ai Quran.


 Menyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan
Al Quran dan sunah.
 Mengingkari kebenaran isi Al Quran.
 Mengingkari kedudukan hadis nabi.
 Faktor penyebab menyebarnya aliran sesat diindonesia;
 Faktor pertama yaitu adanya tokoh-tokoh yang berusaha
menyebarkan paham yang mereka yakini dengan berbagai
media komunikasi dan metode yang canggih. Kedua, akidah
masyarakat masih lemah sehingga gampang terpengaruh.
 Faktor lain yang menyebabkan perkembangan aliran sesat
adalah tidak sampainya siar agama ke suatu wilayah tertentu.

23
Hal ini biasanya terjadi di wilayah-wilayah terpencil, sehingga
akses penyiaran agama Islam tidak berjalan dengan maksimal.

Dikarnakan factor di atas aliran sesat diindonesia masih banyak di


temui diindonesi,seperti kejadian 29 September 2021 lalu dimana
warga Pandeglang digegerkan dengan munculnya aliran baru yaitu
HAKDZAT yang memiliki 4 arah untuk kiblat shalat, berita ini kami
kutip dari SINDONEWS.com. hal ini menunjukan kesamaan dengan
aliran Bahal yang muncul di iran pada abad ke 19 M, yaitu pada tahun
1852 yang memiliki peraturan harus menghadap istana Bahaullah.
Perbedaanya terletak diarah kiblat shalat namun keduanya tetap sama-
sama aliran sesat,yang keluar dari ajaran islam dan membuat aturannya
sendiri.

Dalam menyikapi aliran-aliran yang muncul kita harus tetap


tenang dan berpegang teguh dengan pendirian dan keyakinan hati
kita,tetap tegakan shalat sesuai dengan aturan isalm,dekat diri kepada
ALLAH,dan jauhi orang-orang yang sekiranya bisa berdampak buruk
bagi keIslaman kita. Walaupun perbedaan yang kadang membuat
manusia bisa terpecah belah untuk itu ada baiknya jika kita lebih
percaya dengan firma-firman Allah yang ada didalam Al Quran, serta
hadis nabi.

DAFTAR PUSTAKA

D.M.ZAKARIYAH. 2018. SEJARAH PERADABAN ISLAM. CV INTRANS


PUBLISHING. MALANG

https://youchenkymayeli.blogspot.com/2013/10/kondisi-umum-
wilayah-indonesia.html : diakses pada sabtu 12, febrari 2022

24
S.ZUBAIDAH. 2016. SEJARAH PERADABAN ISLAM. PERDANA
PUBLISHING. MEDAN

https://dispusip.surabaya.go.id/ebook/ebook_files/aliran-
aliran_dalam_islam/html5forwebkit.html

http://makalahkampus15.blogspot.com/2017/11/makalah-aliran-
aliran-dalam-pemikiran.html?m=1

Yatim,Badri.2013.SejarahPeradabanIslam.Jakarta:RAJAWALIPERS.

Supriyadi.Dedi.2008.SejarahPeradabanIslam.Bandung:PustakaSetia

25
BAB 2
PERKEMBANGAN KOTA KOTA ISLAM DAN
KERAJAAN KERAJAAN ISLAM AWAL

Perkembangan Kota Kota Islam dan Masyarakatnya

Menurut J C Van Leur diperkirakan bahwa Islam telah sampai di


Nusantara kira kira di daerah barat laut pulau Sumatera yang mana
daerah itu dikenal dengan sebutan Barus atau dalam bahasa Arab
disebut Fansur.

Barus sendiri merupakan daerah yang terkenal dengan Kapur


Barus atau Kamper nya yang memiliki kualitas terbaik pada masanya.
Banyak pedagang pedagang dari luar datang ke Barus untuk
mendapatkan barang ini, maupun para pelayar pelayar dari Barus
sendiri yang menyebarkan barang ini ke dunia luar. Nama daerah ini
sudah lama muncul, bahkan sebelum Islam itu lahir sendiri, jika dirunut
menurut pendapat seorang geografis Romawi yang bernama Ptolomeus
yang mana beliau menyebut Barousai yang diyakini sebagai Barus.

Kamper atau damar yang ada di Barus umumnya digunakan


sebagai pengawet atau pengwangi pada mayat di timur tengah.
Sehingga sangat wajar ketika Islam lahir di Timur Tengah, Barus
merupakan salah satu wilayah yang dituju untuk menyebarkan agama
Islam selain untuk berdagang juga.

Islam masuk melalui Barus kiranya pada abad ke-7 atau abad
pertama Hijriyah. Sebuah naskah peninggalan dari Dinasti Tang, Hsin

26
Tang Shu menyebutkan bahwa di pesisir Sumatera terdapat sebuah
pemukiman Islam, selain itu adanya Makam bertarikh 672 M yang
bernama Syekh Rukunuddin juga menguatkan bahwa Barus merupakan
kota Islam atau komunitas masyrakat Islam pertama yang ada di
Nusantara.

Pada abad ke-8, Syekh Ismail menyiapkan kapal dari Jeddah


untuk melakukan pelayaran samudra sekaligus menyebarkan ajaran
agama Islam. Barus merupakan tempat dimana mereka singgah atau
melakukan transit dalam pelayarannya karena pada masa itu pelayaran
sangat bergantung dengan arah Angin, dan untuk menunggu angin
tersebut memakan waktu yang cukup lama. Dan Barus merupakan
daerah transit paling ramai pada masa itu karena para pelayar dari
Timur Tengah yang sebelumnya singgah di India dan ingin melanjutkan
perjalananya, pantai barat Sumatera merupakan daerah yang paling
dekat dari mereka untuk dituju, lalu kemudian melanjutkan pelayaran
mereka ke arah timur melalui Aceh.

Para pelayar sekaligus para Dai inilah yang membawa ajaran


Islam ke Nusantara yang dimulai dari Barus, selain makam Mahligai,
ada juga beberapa peninggalan Islam di Barus seperti makam papan
tinggi dan makam tuan Makhdum. Selain itu keramik dan piring yang
ditemukan di situs Lobu Tua membuktikan bahwa memang benar
adanya kedatangan pedagang dari Tiongkok dan Arab.

27
1 Makam Syekh Mahmud di Papan Tinggi

Akan tetapi, meskipun sebagai daerah yang pertama kali


mendapatkan atau menerima ajaran Islam, para penduduk nya tidak
membentuk sebuah komunitas Politik atau mendirikan sebuah
kesultanan yang bercorak Islam. Kerajaan kerajaan bercorak Islam
pertama kali justru pertama kali didirikan di Aceh yaitu Kerajaan Perlak
yang didirikan oleh Sultan Alaidin Aziz Syah sekitaran abad ke-9.

Kerajaan Kerajaan Islam awal di Nusantara

A. Kerajaan Perlak

Kerajaan Perlak terletak di utara Aceh yang didirikan oleh Syed


Maulana Alaidin Aziz Syah pada tahun 840 M atau kira kira pada abad
ke 2 Hijriyah. Bukti bukti pendukung adanya kerajaan ini adalah
terdapat beberapa naskah Melayu yang berjudul “Idhratul Haq fi
Mamlikatil Feurlah wal fasih” yang menjelaskan tentang keberadaan
kerajaan kerajaan ini. Selain itu, jika ditelusuri dari silsilah raja raja
Kerajaan Samudra Pasai terdapat hubungan dengan kerajaan Perlak
dimana raja atau sultan pertama dari Samudra Pasai menikahi putri

28
dari sultan Kerajaan Perlak pada masa itu, yaitu putri dari Alaidin Malik
Abdul Azis Syah Johan yang bernama Ganggang Sari.

Perlak sendiri diambil dari nama kayu Perlak yang tumbuh di


daerah ini yang kayu ini memiliki kualitas yang cukup mumpuni
sehingga diminati para pedagang karena kayu ini cukup bagus untuk
dijadikan material untuk kapal.

Dalam beberapa catatan atau sumber, Kerajaan Perlak


disebutkan memiliki 2 dinasti dan sempat mengalami perpecahan atau
dualisme kekuasaan, antara dinasti Aziziyah dan dinasti Makhdum.
Dualisme ini terjadi lantaran perbedaan aliran Islam yang dianut antara
Sultan pada masa Aziziyah dengan masyarakat di kerajaan itu, dimana
pihak Istana menganut aliran Syiah, sementara masyarakat pada masa
itu menganut aliran Ahlul Sunnah wal Jamaah atau yang kini lebih
dikenal dengan Sunni. Lalu, bagaimanakah bisa timbul aliran Sunni di
masyrakat yang mana penguasanya pada masa itu adalah penganut
Syiah?

Dalam narasi sejarah pada umumnya disebutkan bahwa Sultan


ketiga dari Kerajaan Peuerlak, Sultan Alaiddin Sayyid menggalakkan
program pendidikan di wilayahnya dengan cara mengirim para pemuda
pemuda yang punya potensial untuk di kirim ke Timur Tengah untuk
belajar ilmu agama. Dari sinilah cikal bakal bagaimana ajaran Sunni
dapat sampai ke tanah Perlak. Pemuda bernama Meurah Muhammad
Amin, salah satu dari pemuda yang dikirim ke Timur Tengah untuk
belajar diduga adalah orang yang membawa ajaran Sunni tersebut ke
tanah Peurlak. Alhasil dari menyebarnya ajaran Sunni di Perlak,
penobatan Sultan ke-4 yaitu Sultan Alaidin Sayid Maulana Mughayat
Syah mengalami penundaan dalam kurun waktu yang cukup lama
hingga 2 tahun. Alhasil setelah tidak menemui jalan tengah, Kerajaan

29
Perlak pun terpecah menjadi 2 yaitu Perlak Tunong yang beraliran
Sunni, dan Perlak Baroh yang menganut Syi’ah.

Dualisme ini membuat kerajaan Perlak pada masa itu sering


mengalami perang saudara hingga terjadi pertumpahan darah. Perang
ini baru berakhir ketika mereka beraliansi untuk melawan Sriwijaya di
awal milenium kedua. Karena peperangan tersebut, Sultan Perlak Baroh
akhirnya gugur di medan pertempuran sehingga membuat Kerajaannya
vacuum of power yang mengakibatkan kerajaan mereka akhirnya
berada di bawah kendali Perlak Tunong.

2 Stempel Kerajaan Perlak

Perlak Tunong pun mengambil kuasa dalam waktu yang cukup


lama hingga suatu ketika lahirlah sebuah Kesultanan baru yang
didirikan di Lhoksemauwe oleh seorang Mualaf bernama Meurah Silu
yang kemudian bergelar Sultan Malik al Saleh yang menikah dengan
putri dari Kerajaan Perlak. Akibat dari kosongnya calon penerus
kerajaan Perlak, Perlak pun berakhir dengan bergabungnya mereka
menjadi bagian dari Samudra Pasai.

B. Kerajaan Samudera Pasai

Kerajaan ini didirkan oleh Meurah Silu yang mualaf setelah


berinteraksi dengan Syekh dari Timur Tengah yaitu Syekh Ismail.
Kerajaan ini berdiri pada abad ke-13 yaitu pada tahun 1267 di
Lhoksemauwe, Aceh. Menurut catatan penjelajah Timur Tengah yaitu
Ibn Batutta kerajaan ini merupakan negeri yang hijau dengan

30
pelabuhannya yang indah. Komoditi utama pada perdagangan di
pelabuhan ini adalah Lada, Emas, serta Kamper yang berasal dari Barus.

Peranan penting yang dimainkan Pasai dalam persebaran Islam


ke seluruh Nusantara dan bahkan ke kawasan Asia Tenggara,
dimungkinkan karena hubungan itu berkaitan erat dengan kegiatan
perdagangan yang di dalamnya juga terdapat kegiatan para pedagang
yang sekaligus bertindak sebagai pendakwah. Pasai yang terkait dengan
kegiatan perdagangan dengan berbagai kerajaan lain di kawasan ini,
dengan mudah menggunakan jaringan itu untuk tujuan pengembangan
agama Islam.

Berbeda dengan pendahulunya, yaitu Perlak, di Samudera Pasai


tidak pernah terjadi dualisme kekuasaan antara penguasa penguasanya.
Kerajaan ini cukup makmur karena menjadi wilayah yang sering
dilewati para pedagang pada masa itu, dan bahkan mereka
menggunakan mata uang yang terbuat dari emas, yaitu Dirham.

3 Makam Sultan Malik al Shaleh

31
4 Mata Uang Dirham

Naasnya, setelah kedatangan bangsa Barat di Malaka, Kerajaan


ini akhirnya runtuh setelah kalah perang melawan Portugis dan
akhirnya berada pada kekuasaan Kerajaan Aceh yang berpusat di
Banda Aceh.

C. Kerajaan Malaka

Kerajaan ini didirikan berdiri pada tahun 1400 yang didirikan


oleh keturunan Palembang yang bernama Parameswara. Parameswara
sendiri lari dari Palembang dikarenakan kejaran dari Palembang karena
pada saat itu daerah tersebut sedang berada di bawah gempuran
Majapahit. Tujuan pertama dari pelarian Parameswara adalah Temasik
atau yang sekarang kita kenal sebagai Singapura.

Disini, ia sudah mendirikan kekuasaannya sendiri, hingga suatu


saat dia membunuh penguasa lain di daerah tersebut yang bernama
Temagi, utusan dari kerajaan Siam. Kejadian ini membuat Parameswara
kembali mau tidak mau untuk lari dari tempatnya dan tujuannya kali ini
adalah Semenanjung Malaya. Disini, ia kembali mendirikan sebuah
kerajaan yang ia beri nama Malaka.

32
Malaka sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang karena
letaknya yang strategis pula. Bandar bandar pelabuhan mereka ramai
dikunjungi oleh para bangsa bangsa asing, termasuk mereka yang
berasal dari timur tengah. Para pedagang dari Timur Tengah inilah
yang kemudian memperkenalkan Islam kepada Prameswara.

Prameswara yang tertarik dengan Islam kemudian memutuskan


untuk menjadi Mualaf dan kemudian berganti nama menjadi Sultan
Iskandar Shah. Beliau juga menikahi putri dari Kerajaan Samudra Pasai.

Malaka tumbuh menjadi kerajaan yang makmur meski berada


diantara himpitan dua monarki besar pada masa itu, yaitu Siam di utara
dan Majapahit di selatan. Hal ini dapat diatasi oleh mereka karena
mereka meminta perlindungan kepada kaisar China dari dinasti Ming
dan mereka harus mengirim upeti kepada mereka. Duta dari dinasti
Ming, Laksmana Cheng Ho mengirim pasukannya ke Malaka agar
Malaka dapat dengan cepat mengembangkan kejayaannya.

33
DAFTAR PUSTAKA

Ismail Fahmi Arrauf Nasution, M. (2017). REKONSTRUKSI IDENTITAS


KONFLIK KESULTANAN PEURLEULAK. Paramita : Historical
Studies Journal, 168-181.

Isnaeni, H. F. (2013, Juni 20). Historia. Diambil kembali dari Historia.id:


https://historia.id/agama/articles/syiah-di-nusantara-D82RP/p
age/1

Prinada, Y. (2021, Februari 2). Tirto. Diambil kembali dari Tirto.id:


https://tirto.id/sejarah-kerajaan-samudera-pasai-pendiri-masa-
jaya-peninggalan-f9R4

Rizqa, H. (2019, Maret 28). Khazanah Republika. Diambil kembali dari


Republika:
https://www.republika.co.id/berita/pp2kf6458/awal-mula-
kesultanan-malaka

http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/JCIMS/article/download/
3154/2073

https://ejournal.uin-suka.ac.id/ushuluddin/Religi/article/download/
1392/1162

https://sejarahkita.com/kehidupan-politik-ekonomi-sosial-dan-
budaya-kerajaan-perlak/

34
BAB 3
KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI SUMATERA

A. Latar Belakang Masuknya Sejarah Islam di Sumatera


Islam bukan hanya sekedar agama atau keyakinan, tetapi
merupakan asas dari sebuah peradaban. Sejarah telah membuktikan
bahwa dalam kurun waktu 23 tahun, Nabi Muhammad SAW mampu
membangun peradaban Islam di Jazirah Arabia yang berdasarkan pada
prinsip-prinsip persamaan dan keadilan. Dalam waktu yang singkat,
pengaruh peradaban Islam tersebut segera menyebar ke berbagai
belahan dunia, termasuk ke wilayah Nusantara.
Ada berbagai macam teori yang menyatakan tentang masuknya
Islam ke Nusantara. Beberapa teori tersebut ada yang menyatakan
bahwa Islam masuk ke Nusantara sekitar abad ke-7, abad ke-11, dan
sebagainya. Dari teori tersebut, proses sentuhan awal masyarakat
Nusantara dengan Islam terjadi pada abad ke-7 melalui proses
perdagangan, kemudian pada abad selanjutnya Islam mulai tumbuh dan
berkembang. Selanjutnya melahirkan kerajaan-kerajaan yang bercorak
Islam. Seperti kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera, antara lain
Samudera Pasai, Aceh, Minangkabau.
Semua kerajaan tersebut memiliki andil dalam mengembangkan
khazanah peradaban Islam di Nusantara, khususnya peradaban Islam di
wilayah kekuasaan kerajaan tersebut. Kerajaan Islam di Indonesia
diperkirakan kejayaannya berlangsung antara abad ke-13 sampai
dengan abad ke-16. Timbulnya kerajaan-kerajaan tersebut didorong
oleh maraknya lalu lintas perdagangan laut dengan pedagang-pedagang
Islam dari Arab, India, Persia, Tiongkok, dll. Kerajaan tersebut dapat

35
dibagi menjadi berdasarkan wilayah pusat pemerintahannya, yaitu di
Sumatra, Jawa, Maluku, dan Sulawesi.
Masuknya agama Islam ke nusantara (Indonesia) pada abad 6
akhir dibawa oleh Syekh Abdul Kadir Jailani periode I atau fase
pertama, telah membawa banyak perubahan dan perkembangan pada
masyarakat, budaya, dan pemerintahan. Perubahan dan perkembangan
tersebut terlihat jelas dengan berdirinya kerajaan-kerajaan yang
bercorak Islam. Sejak awal kedatangan Islam, Pulau Sumatra termasuk
daerah pertama dan terpenting dalam pengembangan agama Islam di
Indonesia. Dikatakan demikian mengingat letak Sumatra yang strategis
dan berhadapan langsung dengan jalur peradangan dunia, yakni Selat
Malaka. Berdasarkan catatan Tomé Pires dalam Suma Oriental (1512-
1515) dikatakan bahwa di Sumatra, terutama di sepanjang pesisir Selat
Malaka dan pesisir barat Sumatra terdapat banyak kerajaan Islam, baik
yang besar maupun yang kecil.

B. Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam di


Sumatera
Sejarah Kerajaan Islam di Sumatera – Masuknya kerajaan-
kerajaan Islam di tanah diperkirakan telah berlangsung sekitar abad ke
13 hingga abad ke 16. Maraknya perdagangan antara pedagang muslim
dari berbagai daerah seperti Arab, Maroko, Persia, Tiongkok dan lain-
lain menjadikan masyarakat Indonesia saat itu mudah berbaur dengan
para pedagang muslim.
Kegiatan perdagangan ini makin membuat agama Islam tersebar
dengan pesat hingga ke berbagai daerah seperti Jawa, Maluku, Sulawesi
hingga Sumatra. Kehadiran agama Islam di nusantara juga mulai
menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat kala itu. Aturan-

36
aturan hidup yang berlandaskan nilai-nilai Islam mulai
diimplementasikan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat.
Proses masuknya Islam di Nusantara sebenarnya tidak tersiar
secara bersamaan. Tiap daerah memiliki periode yang berbeda-beda
saat Islam masuk di wilayahnya. Menurut para sejarawan Islam,
Sumatera merupakan tempat yang menjadi awal mula masuknya Islam
di nusantara. Kemudian, masuknya agama Islam ke tanah air pada
sekitar abad ke 6 tidak lepas dari pengaruh Syekh Kadir Jailani yang
menyiarkan Islam saat itu. Pada periode pertama menyebarkan syiar
agama Islam, beliau telah membawa banyak perubahan dan
perkembangan di masyarakat nusantara.
Aspek budaya, sosial pemerintahan dan politik juga tersentuh
dengan nilai-nilai Islam yang diajarkan. Secara umum, perubahan besar
itu terlihat jelas dari berdirinya berbagai kerajaan-kerajaan yang
bercorak Islam di nusantara termasuk di wilayah Sumatera. Bukti
tertulis mengenai adanya masyarakat Islam di Indonesia tidak
ditemukan sampai dengan abad 4 H (10 M). Yang dimaksud dengan
bukti tertulis adalah bangunan-bangunan masjid, makam, ataupun
lainnya.
Hal ini memberikan kesimpulan bahwa pada abad 1—4 H
merupakan fase pertama proses kedatangan Islam di Indonesia
umumnya dan Sumatera khususnya, dengan kehadiran para pedagang
muslim yang singgah di berbagai pelabuhan di Sumatera. Dan hal ini
dapat diketahui berdasarkan sumber-sumber asing.
Dari literature Arab, dapat diketahui bahwa kapal-kapal dagang
Arab sudah mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara sejak permulaan
abad ke– 7 M. Sehingga, kita dapat berasumsi, mungkin dalam kurun
waktu abad 1—4 H terdapat hubungan pernikahan anatara para
pedagang atau masyarakat muslim asing dengan penduduk setempat

37
sehingga menjadikan mereka masuk Islam baik sebagai istri ataupun
keluarganya.
Sedangkan bukti-bukti tertulis adanya masyarakat Islam di
Indonesia khususnya Sumatera, baru ditemukan setelah abad ke– 10 M.
yaitu dengan ditemukannya makam seorang wanita bernama Tuhar
Amisuri di Barus, dan makam Malik as Shaleh yang ditemukan di
Meunahasah Beringin kabupaten Aceh Utara pada abad ke– 13. M.

C. Keadaan Masyarakat Sumatra Sebelum Masuknya


Islam
Sumatera Utara memiiki letak geografis yang strategis. Hal ini
membuat Sumatera Utara menjadi pelabuhan yang ramai, menjadi
tempat persinggahan saudagar-saudagar muslim Arab dan menjadi
salah satu pusat perniagaan pada masa dahulu.
Sebelum masuk agama Islam ke Sumatera Utara, masyarakat
setempat telah menganut agama Hindu. Hal ini dibuktikan dengan
kabar yang menyebutkan bahwasanya Sultan Malik As-Shaleh, Sultan
Samudera Pasai pertama, menganut agama Hindu sebelum akhirnya
diIslamkan oleh Syekh Ismael.
Sama halnya dengan Sumatera Utara, Sumatera Selatan juga
memiliki letak geografis yang strategis. Sehingga pelabuhan di
Sumatera Selatan merupakan pelabuhan yang ramai dan menjadi salah
satu pusat perniagaan pada masa dahulu. Oleh karena itu, otomatis
banyak saudagar-saudagar muslim yang singgah ke pelabuhan ini.
Sebelum masuknya Islam, Sumatera Selatan telah berdiri kerajaan
Sriwijaya yang bercorak Buddha. Kerajaan ini memiliki kekuatan
maritim yang luar biasa. Karena kerajaannya bercorak Buddha, maka
secara tidak langsung sebagian besar masyarakatnya menganut Agama
Buddha.

38
Letak yang strategis menyebabkan interaksi dengan budaya asing,
yang mau tidak mau harus dihadapi. Hal ini membuat secara tidak
langsung banyak budaya asing yang masuk ke Sriwijaya dan
mempengaruhi kehidupan penduduknya dan sistem pemerintahannya.
Termasuk masuknya Islam.
Bangsa Indonesia yang sejak zaman nenek moyang terkenal akan
sikap tidak menutup diri, dan sangat menghormati perbedaan
keyakinan beragama, menimbulkan kemungkinan besar ajaran agama
yang berbeda dapat hidup secara damai. Hal-hal ini yang membuat
Islam dapat masuk dan menyebar dengan damai di Sumatera selatan
khususnya dan Pulau Sumatera umumnya.

D. Masuk dan Berkembangnya Islam Di Sumatera Selatan


Palembang adalah kota yang memiliki letak geografis yang sangat
strategis. Sejak masa kuno, Palembang menjadi tempat singgah para
pedagang yang berlayar di selat Malaka, baik yang akan pergi ke negeri
Cina dan daerah Asia Timur lainnya maupun yang akan melewati jalur
barat ke India dan negeri Arab serta terus melewati jalur barat ke India
dan negeri Arab serta terus ke Eropa. Dan selain pedagang, para
peziarah pun banyak menggunakan jalur ini. Persinggahan ini yang
memungkinkan terjadinya agama Islam mulai masuk ke Palembang
(Sriwijaya pada waktu itu) atau ke Sumatera Selatan.
Ada sebuah catatan sejarah Cina yang ditulis oleh It’sing, ketika ia
berlayar ke India dan akan kembali ke negeri Cina dan tertahan di
Palembang. Kemudian ia membuat catatan tentang kota dan
penduduknya. Ada dua tempat di tepi selat Malaka pada permulaan
abad ke– 7 M yang menjadi tempat singgah para musafir yang
beragama Islam dan diterima dengan baik oleh penguasa setempat
yang belum beragama Islam yaitu Palembang dan Keddah. Dengan

39
demikian dapat disimpulkan, pada permulaan abad ke- 7 M di
Palembang sudah ada masyarakat Islam yang oleh penguasa setempat
(pada waktu itu Raja Sriwijaya) telah diterima dengan baik dan dapat
menjalankan ibadah menurut agama Islam.
Selain itu, ada sumber yang menyebutkan bahwa telah ada
hubungan yang erat antara perdagangan yang diselenggarakan oleh
kekhalifahan di Timur Tengah dengan Sriwijaya. Yaitu dengan
mempertimbangkan sejarah T’ang yang memberitakan adanya utusan
raja Ta-che (sebutan untuk Arab) ke Kalingga pada 674 M, dapatlah
dipastikan bahwa di Sumatera Selatan pun telah terjadi proses awal
Islamisasi. Apalagi T’ang menyebutkan telah adanya kampong Arab
muslim di pantai Barat Sumatera.
Sesuai dengan keterangan sejarah, masuknya Islam ke Indonesia
tidak mengadakan invasi militer dan agama, tetapi hanya melaui jalan
perdagangan. System penyebaran Islam yang tidak kenal misionaris
dan tidak adanya system pemaksaan melalui perang, melinkan hanya
melaui perdagangan saja memungkinkan Sriwijaya sebagai pusat
kegiatan penyebaran agama Budha, dapat menerima kehadiran Islam di
wilayahnya.
Berdasarkan sejarah, Sriwijaya terkenal memiliki kekuatan
maritim yang tangguh. Walaupun ada yang meragukan hal tersebut
karena melihat kondisi maritime bangsa Indonesia sekarang.
Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan putra pribumi ikut
berlayar bersama para pedagang Islam ke pusat agama Islam yaitu
mekkah. Dan tidak menutup kemungkinan pula, putera pribumi
mengadakan ekspedisi ke timur tengah untuk memperdalam keilmuan
agama Islam. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa bangsa Indonesia
tidak serta merta menunggu para pedagang Islam baik itu dari bangsa

40
Arab ataupun sekitarnya untuk mencari tambahan pengetahuannya
tentang ajaran agama Islam.

E. Kerajaan-Kerajaan Islam di Sumatera


1. KERAJAAN PERLAK
Kerajaan Perlak adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Kerajaan Perlak berdiri pada abad ke-3 H (9 M). Disebutkan pada tahun
173 H, sebuah kapal layar berlabuh di Bandar Perlak membawa
angkatan dakwah di bawah pimpinan nakhoda khalifah. Kerajaan
Perlak didirrikan oleh Sayid Abdul Aziz (Raja Pertama Kerajaan Perlak)
dengan gelar Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah. Pada akhir
abad ke 12, di pantai timur Sumatera terdapat negara Islam bernama
Perlak. Nama itu kemudian dijadikan Peureulak, didirikan oleh para
pedagang asingg dari Mesir, Maroko, Persia, Gujarat, yang menetap di
wilayah itu sejak awal abad ke 12. Pendirinya adalah orang Arab suku
Quraisy. Pedagang Arab itu menikah dengan putri pribumi, keturunan
raja Perlak. Dari perkawinan tersebut ia mendapat seorang anak
bernama Sayid Abdul Aziz. Sayid Abdul Aziz adalah sultan pertama
negeri Perlak. Setelah dinobatkan menjadi sultan negeri Perlak,
bernama Alaudin Syah. Demikian ia dikenal sebagai sultan Alaidin Syah
dari negeri Perlak.
Angkatan dakwah yang dipimpin nakhoda khalifah berjumlah 100
orang, yang terdiri dari orang Arab, Persia, dan India. Mereka ini
menyiarkan Islam pada penduduk setempat dan keluarga istana. Salah
seorang dari mereka yaitu Sayid Ali dari suku Quraisy kawin dengan
seorang putri yakni Makhdum Tansyuri, salah seorang adik dari
Maurah Perlak yang bernama Syahir Nuwi. Dari perkawinan ini lahirlah
Sayid Abdul Aziz, putra campuran Arab Perlak pada tahun 225 H.

41
Kerajaan ini mengalami masa jaya pada masa pemerintahan
Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan
Berdaulat (622-662 H/1225-1263 M). Pada masa pemerintahannya,
Kerajaan Perlak mengalami kemajuan pesat terutama dalam bidang
pendidikan Islam dan perluasan dakwah Islamiah. Sultan mengawinkan
dua putrinya: Putri Ganggang Sari (Putri Raihani) dengan Sultan
Malikul Saleh dari Samudra Pasai serta Putri Ratna Kumala dengan Raja
Tumasik (Singapura sekarang).
Perkawinan ini dengan parameswara Iskandar Syah yang
kemudian bergelar Sultan Muhammad Syah.Sultan Makhdum Alaidin
Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat kemudian digantikan
oleh Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat
(662-692 H/1263-1292 M). Inilah sultan terakhir Perlak. Setelah beliau
wafat, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai dengan raja
Muhammad Malikul Dhahir yang adalah Putra Sultan Malikul Saleh
dengan Putri Ganggang Sari.
Perlak merupakan kerajaan yang sudah maju. Hal ini terlihat
dari adanya mata uang sendiri. Mata uang Perlak yang ditemukan
terbuat dari emas (dirham), dari perak (kupang), dan dari tembaga atau
kuningan.

2. SAMUDRA PASAI
Samudra Pasai diperkirakan tumbuh berkembang antara tahun
1270 hingga 1275, atau pertengahan abad ke-13. Kerajaan ini terletak
lebih kurang 15 km di sebelah timur Lhokseumawe, Nanggroe Aceh
Darussalam, dengan sultan pertamanya bernama Sultan Malik as-
Shaleh (wafat tahun 696 H atau 1297 M). Dalam kitab Sejarah Melayu
dan Hikayat Raja-Raja Pasai diceritakan bahwa Sultan Malik as-Shaleh
sebelumnya hanya seorang kepala Gampong Samudra bernama Marah

42
Silu. Setelah menganut agama Islam kemudian berganti nama dengan
Malik as-Shaleh.
Pada masa pemerintahan Sultan Malik as-Shaleh, Kerajaan Pasai
mempunyai hubungan dengan negara Cina. Seperti yang disebutkan
dalam sumber sejarah Dinasti Yuan, pada 1282 duta Cina bertemu
dengan Menteri Kerajaan Sumatra di Quilan yang meminta agar Raja
Sumatra mengirimkan dutanya ke Cina. Pada tahun itu pula disebutkan
bahwa kerajaan Sumatra mengirimkan dutanya yang bernama
Sulaiman dan Syamsuddin.
Menurut Tome Pires, Kesultanan Samudera Pasai mencapai
puncaknya pada awal abad ke-16. Kesultanan itu mengalami kemajuan
di berbagai bidang kehidupan seperti politik, ekonomi, pemerintahan,
keagamaan, dan terutama ekonomi perdagangan. Diceritakan pula
bahwa Kesultanan Samudera Pasai selalu mengadakan hubungan
persahabatan dengan Malaka, bahkan hubungan persahabatan itu
diperkuat dengan perkawinan. Para pedagang yang pernah
mengunjungi Pasai berasal dari berbagai negara seperti, Rumi, Turki,
Arab, Persia (Iran), Gujarat, Keling, Bengal, Melayu, Jawa, Siam, Kedah,
dan Pegu. Sementara barang komoditas yang diperdagangkan adalah
lada, sutera, dan kapur barus.
Di samping komoditas itu sebagai penghasil pendapatan
Kesultanan Samudera Pasai, juga diperoleh pendapat dari pajak yang
dipungut dari pajak barang ekspor dan impor. Dalam sumber-sumber
sejarah juga dijelaskan, bahwa Kesultanan Samudera Pasai telah
menggunakan mata uang seperti uang kecil yang disebut dengan ceitis.
Uang kecil itu ada yang terbuat dari emas dan ada pula yang terbuat
dari dramas. Dalam bidang keagamaan, Ibnu Batuta menjelaskan bahwa
Kesultanan Samudera Pasai juga dikunjungi oleh para ulama dari
Persia, Suriah (Syria), dan Isfahan. Dalam catatan Ibnu Batuta

43
disebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai sangat taat terhadap agama
Islam yang bermazhab Syafi’i. Sultan selalu dikelilingi oleh para ahli
teologi Islam.
Kesultanan Samudera Pasai mempunyai peranan penting dalam
penyebaran Islam di Asia Tenggara. Malaka menjadi kerajaan yang
bercorak Islam karena amat erat hubungannya dengan Kerajaan
Samudera Pasai. Hubungan tersebut semakin erat dengan diadakannya
pernikahan antara putra-putri sultan dari Pasai dan Malaka sehingga
pada awal abad-15 atau sekitar 1414 M tumbuhlah Kesultanan Islam
Malaka, yang dimulai dengan pemerintahan Parameswara. Dalam
Hikayat Patani terdapat cerita tentang pengislaman Raja Patani yang
bernama Paya Tu Nakpa dilakukan oleh seorang dari Pasai yang
bernama Syaikh Sa’id, karena berhasil menyembuhkan Raja Patani.
Setelah masuk Islam, raja berganti nama menjadi Sultan Isma’il Syah
Zill Allah fi al-Alam dan juga ketiga orang putra dan putrinya yaitu
Sultan Mudaffar Syah, Siti Aisyah, dan Sultan Mansyur.
Pada masa pemerintahan Sultan Mudaffar Syah juga datang lagi
seorang ulama dari Pasai yang bernama Syaikh Safi’uddin yang atas
perintah raja ia mendirikan masjid untuk orang-orang Muslim di Patani.
Demikian pula jenis nisan kubur yang disebut Batu Aceh menjadi nisan
kubur raja-raja di Patani, Malaka, dan Malaysia. Pada umumnya nisan
kubur tersebut berbentuk menyerupai nisan kubur Sultan Malik as-
Shaleh dan nisan-nisan kubur dari sebelum abad ke-17.
Dilihat dari kesamaan jenis batu serta cara penulisan dan huruf-
huruf bahkan dengan cara pengisian ayat-ayat al-Qur’an dan nuansa
kesufiannya, jelas Samudera Pasai mempunyai peranan penting dalam
persebaran Islam di beberapa tempat di Asia Tenggara dan demikian
pula di bidang perekonomian dan perdagangan. Namun, sejak Portugis
menguasai Malaka pada 1511 dan meluaskan kekuasaannya, maka

44
Kerajaan Islam Samudera Pasai mulai dikuasai sejak 1521. Kemudian
Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Ali Mughayat
Syah lebih berhasil menguasai Samudera Pasai. Kerajaan-kerajaan
Islam yang terletak di pesisir seperti Aru, Kedir, dan lainnya lambat
laun berada di bawah kekuasaan Kerajaan Islam Aceh Darussalam yang
sejak abad ke-16 makin mengalami perkembangan politik, ekonomi dan
perdagangan, serta kebudayaan dan keagamaan.

3. KESULTANAN ACEH DARUSSALAM


Pada 1520 Aceh berhasil memasukkan Kerajaan Daya ke dalam
kekuasaan Aceh Darussalam. Tahun 1524, Pedir dan Samudera Pasai
ditaklukkan. Kesultanan Aceh Darussalam di bawah Sultan Ali
Mughayat Syah menyerang kapal Portugis di bawah komandan Simao
de Souza Galvao di Bandar Aceh.
Pada 1529 Kesultanan Aceh mengadakan persiapan untuk
menyerang orang Portugis di Malaka, tetapi batal karena Sultan Ali
Mughayat Syah wafat pada 1530 dan dimakamkan di Kandang XII,
Banda Aceh. Di antara penggantinya yang terkenal adalah Sultan
Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (1538-1571). Usaha-usahanya adalah
mengembangkan kekuatan angkatan perang, perdagangan, dan
mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan Islam di Timur
Tengah, seperti Turki, Abessinia (Ethiopia), dan Mesir. Pada 1563 ia
mengirimkan utusannya ke Konstantinopel untuk meminta bantuan
dalam usaha melawan kekuasaan Portugis.
Dua tahun kemudian datang bantuan dari Turki berupa teknisi-
teknisi, dan dengan kekuatan tentaranya Sultan Alauddin Riayat Syah
at-Qahhar menyerang dan menaklukkan banyak kerajaan, seperti
Batak, Aru, dan Barus. Untuk menjaga keutuhan Kesultanan Aceh,
Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar menempatkan suami saudara

45
perempuannya di Barus dengan gelar Sultan Barus, dua orang putra
sultan diangkat menjadi Sultan Aru dan Sultan Pariaman dengan gelar
resminya Sultan Ghari dan Sultan Mughal, dan di daerah-daerah
pengaruh Kesultanan Aceh ditempatkan wakil-wakil dari Aceh.
Kemajuan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda mengundang perhatian para ahli sejarah. Di
bidang politik Sultan Iskandar Muda telah menundukkan daerah-
daerah di sepanjang pesisir timur dan barat. Demikian pula Johor di
Semenanjung Malaya telah diserang, dan kemudian rnengakui
kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Kedudukan Portugis di Malaka
terus-menerus mengalami ancaman dan serangan, meskipun
keruntuhan Malaka sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara baru
terjadi sekitar tahun 1641 oleh VOC (Verenigde Oost Indische
Compagnie) Belanda. Perluasan kekuasaan politik VOC sampai Belanda
pada dekade abad ke-20 tetap menjadi ancaman bagi Kesultanan Aceh.

4. KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI RIAU


Kerajaan Islam yang ada di Riau dan Kepulauan Riau menurut
berita Tome Pires (1512-1515 ) antara lain Siak, Kampar, dan Indragiri.
Kerajaan Kampar, Indragiri, dan Siak pada abad ke-13 dan ke-14 dalam
kekuasaan Kerajaan Melayu dan Singasari-Majapahit, maka kerajaan-
kerajaan tersebut tumbuh menjadi kerajaan bercorak Islam sejak abad
ke-15. Pengaruh Islam yang sampai ke daerah-daerah itu mungkin
akibat perkembangan Kerajaan Islam Samudera Pasai dan Malaka. Jika
kita dasarkan berita Tome Pires, maka ketiga Kerajaan Kampar,
Indragiri dan Siak senantiasa melakukan perdagangan dengan Malaka
bahkan memberikan upeti kepada Kerajaan Malaka.
Ketiga kerajaan di pesisir Sumatra Timur ini dikuasai Kerajaan
Malaka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (wafat 1477).

46
Bahkan pada masa pemerintahan putranya, Sultan Ala’uddin Ri’ayat
Syah (wafat 1488) banyak pulau di Selat Malaka (orang laut) termasuk
Lingga-Riau, masuk kekuasaan Kerajaan Malaka. Siak menghasilkan
padi, madu, lilin, rotan, bahan-bahan apotek, dan banyak emas. Kampar
menghasilkan barang dagangan seperti emas, lilin, madu, biji-bijian, dan
kayu gaharu. Indragiri menghasilkan barang-barang perdagangan,
seperti Kampar, tetapi emas dibeli dari pedalaman Minangkabau.
Siak menjadi daerah kekuasaan Malaka sejak penaklukan oleh
Sultan Mansyû r Syah di mana ditempatkan raja-raja sebagai wakil
Kemaharajaan Melayu. Ketika Sultan Mahmud Syah I berada di Bintan,
Raja Abdullah yang bergelar Sultan Khoja Ahmad Syah diangkat di Siak.
Pada 1596 yang menjadi Raja Siak ialah Raja Hasan putra Ali Jalla Abdul
Jalil, sementara saudaranya yang bernama Raja Husain ditempatkan di
Kelantan. Kemudian di Kampar ditempatkan Raja Muhammad. Sejak
VOC Belanda menguasai Malaka pada 1641 sampai abad ke-18 praktis
ketiga kerajaan, yaitu Siak, Kampar, dan Indragiri berada di bawah
pengaruh kekuasaan politik dan ekonomi–perdagangan VOC. Perjanjian
pada 14 Januari 1676 berisi, bahwa hasil timah harus dijual hanya
kepada VOC.
Demikian pula dengan ditemukan tambang emas dari Petapahan,
Kerajaan Siak, juga terikat oleh ikatan perjanjian monopoli
perdagangan sehingga Raja Kecil pada 1723 mendirikan kerajaan baru
di Buantan dekat Sabak Auh di Sungai Jantan Siak yang kemudian
disebut juga Kerajaan Siak. Raja Kecil kemudian sebagai sultan
memakai gelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah (1723-1748), dan
selama pemerintahannya ia meluaskan daerah kekuasaannya sambil
melakukan perlawanan-perlawanan terhadap kekuasaan politik VOC,
bahkan sering muncul armadanya di Selat Malaka.

47
Pada 1750, Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah memindahkan ibu
kota kerajaan dari Buantan ke Mempura yang terletak di tepi Sunai
Memra Besar, Sungai Jantan diubah namanya menjadi Sungai Siak dan
kerajaannya disebut Kerajaan Siak Sri Indrapura. Karena VOC, yang
kantor dagangnya ada di Pulau Guntung di mulut Sungai Siak, sering
mengganggu lalu lintas kapal-kapal Kerajaan Siak Sri Indrapura, maka
Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah dengan pasukannya pada 1760
menyerang benteng VOC.
Kerajaan Siak di bawah pemerintahan Sultan Sa’id Ali (1784-
1811) banyak berjasa bagi rakyatnya. Ia berhasil memakmurkan
kerajaan dan ia dikenal sebagai seorang Sultan yang jujur. Daerah-
daerah yang pada masa Raja Kecil melepaskan diri dari Kerajaan Siak
dan berhasil ia kuasai kembali. Sultan Sa’id Ali memundurkan diri
sebagai Sultan Siak pada 1811 dan kemudian pemerintahannya diganti
oleh putranya, Tengku Ibrahim. Di bawah pemerintahan Tengku
Ibrahim inilah Kerajaan Siak mengalami kemunduran sehingga banyak
orang yang pindah ke Bintan, Lingga Tambelan, Terenggano, dan
Pontianak. Ditambah lagi dengan adanya perjanjian dengan VOC pada
1822 di Bukit Batu yang isinya menekankan Kerajaan Siak tidak boleh
mengadakan ikatan-ikatan atau perjanjian-perjanjian dengan negara-
negara lain kecuali dengan Belanda. Dengan demikian, Kerajaan Siak Sri
Indrapura semakin sempit geraknya dan semakin banyak dipengaruhi
politik penjajahan Hindia-Belanda.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa Kerajaan Kampar sejak
abad ke-15 berada di bawah Kerajaan Malaka. Pada masa
pemerintahannya, Sultan Abdullah di Kampar tidak mau menghadap
Sultan Mahmud Syah I di Bintan selaku pemegang kekuasaan
Kemaharajaan Melayu. Akibatnya Sultan Mahmud Syah I mengirimkan
pasukannya ke Kampar. Sultan Abdullah minta bantuan Portugis, dan

48
berhasil mempertahankan Kampar. Ketika Sultan Abdullah dibawa ke
Malaka oleh Portugis, maka Kampar ada di bawah pembesar-pembesar
kerajaan, di antaranya Mangkubumi Tun Perkasa yang mengirimkan
utusan ke Kemaharajaan Melayu di bawah pimpinan Sultan Abdul Jalil
Syah I yang memohon agar di Kampar ditempatkan raja.
Hasil permohonan tersebut dikirimkan seorang pembesar dari
Kemaharajaan Melayu ialah Raja Abdurrahman bergelar Maharaja
Dinda Idan berkedudukan di Pekantua. Hubungan antara Kerajaan
Kampar di bawah pemerintahan Maharaja Lela Utama dengan Siak dan
Kuantan diikat dengan hubungan perdagangan. Tetapi masa
pemerintahan penggantinya Maharaja Dinda II memindahkan ibu kota
Kerajaan Kampar pada 1725 ke Pelalawan yang kemudian mengganti
Kerajaan Kampar menjadi Kerajaan Pelalawan. Kemudian kerajaan
tersebut tunduk kepada Kerajaan Siak, dan pada 4 Februari 1879
dengan terjadinya perjanjian pengakuannya Kampar berada di bawah
pemerintahan Hindia Belanda. Kerajaan Indragiri sebelum 1641 yang
berada di bawah Kemaharajaan Malayu berhubungan erat dengan
Portugis, tetapi setelah Malaka diduduki VOC, mulailah berhubungan
dengan VOC yang mendirikan kantor dagangnya di Indragiri
berdasarkan perjanjian 28 Oktober 1664.
Pada 1765, Sultan Hasan Shalahuddin Kramat Syah memindahkan
ibukotanya ke Japura tetapi dipindahkan lagi pada 5 Januari 1815 ke
Rengat oleh Sultan Ibrahim atau Raja Indragiri XVII. Sultan Ibrahim
inilah yang ikut serta berperang dengan Raja Haji di Teluk Ketapang
pada 1784. Demikianlah, kekuasaan politik kerajaan ini sama sekali
hilang berdasarkan Tractat van Vrede en Vriend-schap 27 September
1838, berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda, yang berarti
jalannya pemerintahan Kerajaan Indragiri ditentukan pemerintah
Hindia Belanda.

49
5. KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI JAMBI
Berdasarkan temuan-temuan arkeologis kemungkinan kehadiran
Islam di daerah Jambi diperkirakan dimulai sejak abad ke-9 atau abad
ke-10 sampai abad ke-13. Kemungkinan pada masa itu proses
Islamisasi masih terbatas pada perorangan. Karena proses Islamisasi
besar-besaran bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya
Kerajaan Islam Jambi sekitar 1500 M di bawah pemerintahan Orang
Kayo Hitam yang juga meluaskan “Bangsa XII” dari “Bangsa IX”, anak
Datuk Paduka Berhala. Konon menurut Undang-Undang Jambi, Datuk
Paduka Berhala adalah orang dari Turki yang terdampar di Pulau
Berhala yang kemudian dikenal dengan sebutan Ahmad Salim. Ia
menikah dengan Putri Salaro Pinang Masak yang sudah Muslim,
turunan raja-raja Pagarruyung yang kemudian melahirkan Orang Kayo
Hitam, Sultan Kerajaan Jambi yang terkenal. Karena itu kemungkinan
besar penyebaran Islam sudah terjadi sejak sekitar tahun 1460 atau
pertengahan abad ke-15.
Menurut Sila-sila Keturunan Raja Jambi, dari pernikahan antara
Datuk Paduka Berhala dengan Putri Pinang Masak, melahirkan juga tiga
saudaranya Orang Kayo Hitam yaitu Orang Kayo Pingai, Orang Kayo
Pedataran/Kedataran, dan Orang Kayo Gemuk (seorang putri). Yang
menjadi pengganti Datuk Paduka Berhala ialah Orang Kayo Hitam yang
beristri salah seorang putri dari saudara ibunya ialah Putri Panjang
Rambut. Pengganti Orang Kayo Hiam ialah Panembahan Ilang di Aer
yang setelah wafat dimakamkan di Rantau Kapas sehingga terkenal
pula dengan Panembahan Rantau Kapas. Masa pemerintahan Datuk
Paduka Berhala beserta Putri Pinang Masak sekitar tahun 1460, Orang
Kayo Pingai sekitar tahun 1480, Orang Kayo Pedataran sekitar tahun
1490. Sedangkan masa pemerintahan Orang Kayo Hitam sendiri sekitar

50
tahun 1500, Panembahan Rantau Kapas sekitar antara tahun 1500
hingga 1540, Panembahan Rengas Pandak cucu Orang Kayo Hitam
sekitar tahun 1540 M, Panembahan Bawah Sawoh cicit Orang Kayo
Hitam sekitar tahun 1565.
Setelah Panembahan Bawah Sawoh meninggal dunia,
pemerintahan digantikan oleh Panembahan Kota Baru sekitar tahun
1590, dan kemudian diganti lagi oleh Pangeran Keda yang bergelar
Sultan Abdul Kahar pada 1615. Sejak masa pemerintahan Kerajaan
Islam Jambi di bawah Sultan Abdul Kahar itulah orang-orang VOC mulai
datang untuk menjalin hubungan perdagangan. Mereka membeli hasil-
hasil Kerajaan Jambi terutama lada. Dengan izin Sultan Jambi pada
1616, Kompeni Belanda (VOC) mendirikan lojinya di Muara Kompeh.
Tetapi beberapa tahun kemudian ialah pada 1636 loji tersebut
ditinggalkan karena rakyat Jambi tidak mau menjual hasil-hasil
buminya kepada VOC. Sejak itu hubungan Kerajaan Jambi dengan VOC
makin renggang, ditambah pada 1642 Gubernur Jenderal VOC Antonio
van Diemen menuduh Jambi bekerja sama dengan Mataram.
Pada masa pemerintahan Sultan Sri Ingalogo (1665-1690) terjadi
peperangan antara Kerajaan Jambi dengan Kerajaan Johor di mana
Kerajaan Jambi mendapat bantuan VOC dan akhirnya menang.
Meskipun demikian, sebagai upah bantuan itu VOC berturut-turut
menyodorkan perjanjian pada 12 Juli 1681, 20 Agustus 1681, 11
Agustus 1683, dan 20 Agustus 1683. Pada hakikatnya perjanjian-
perjanjian tersebut menguatkan monopoli pembelian lada, dan
sebaliknya VOC memaksakan untuk penjualan kain dan opium.
Beberapa tahun kemudian terjadi penyerangan kantor dagang VOC oleh
rakyat Jambi dan kepala pedagang VOC, Sybrandt Swart terbunuh pada
1690 dan Sultan Jambi dituduh terlibat.

51
Oleh karena itu, Sultan Sri Ingalogo ditangkap dan diasingkan
mula-mula ke Batavia dan akhirnya ke Pulau Banda. Sultan
penggantinya ialah Pangeran Dipati Cakraningrat yang bergelar Sultan
Kiai Gede. Dengan demikian, Sultan Ratu yang lebih berhak
disingkirkan dan ia dengan sejumlah pengikutnya pindah ke
Muaratebo, membawa keris pusaka Sigenjei, keris lambang bagi Raja-
Raja Jambi yang mempunyai hak atas kerajaan. Sejak itulah terus-
menerus terjadi konflik yang memuncak dengan pemberontakan dan
perlawanan Sultan Thâ hâ Sayf al-Dîn yang dipusatkan terutama di
daerah Batanghari Hulu. Di daerah inilah pada pertempuran yang
sengit, Sultan Thaha gugur pada 1 April 1904 dan ia dimakamkan di
Muaratebo.

6. KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI SUMATRA SELATAN


Sejak Kerajaan Sriwijaya mengalami kelemahan bahkan runtuh
sekitar abad ke-14, mulailah proses Islamisasi sehingga pada akhir
abad ke-15 muncul komunitas Muslim di Palembang. Palembang pada
akhir abad ke-16 sudah merupakan daerah kantong Islam terpenting
atau bahkan pusat Islam di bagian selatan “Pulau Emas”. Bukan saja
karena reputasinya sebagai pusat perdagangan yang banyak dikunjungi
pedagang Arab/Islam pada abad-abad kejayaan Sriwijaya, tetapi juga
dibantu oleh kebesaran Malaka yang tak pernah melepaskan
keterlibatannya dengan Palembang sebagai tanah asalnya.
Palembang sekitar awal abad ke-16 sudah ada di bawah pengaruh
kekuasaan Kerajaan Demak masa pemerintahan Pate Rodim seperti
diberitakan Tome Pires (1512-1515) bahkan pada waktu itu penduduk
Palembang berjumlah lebih kurang 10.000 orang. Tetapi banyak yang
mati dalam serangan membantu Demak terhadap Portugis di Malaka.
Mereka berdagang dengan Malaka dan Pahang dengan jung-jung

52
sebanyak 10 atau 12 setiap tahunnya. Komoditas yang diperdagangkan
adalah beras dan bahan makanan, katun, rotan, lilin, madu, anggur,
emas, besi, kapur barus, dan lain-lainnya. Meskipun kedudukan
Palembang sebagai pusat penguasa Muslim sudah ada sejak 1550, nama
tokoh yang tercatat menjadi sultan pertama Kesultanan Palembang
ialah Susuhunan Sultan Abdurrahman Khalifat al-Mukminin Sayyid al-
Iman/Pangeran Kusumo Abdurrahman/Kiai Mas Endi sejak 1659
sampai 1706. Palembang berturut-turut diperintah oleh 11 sultan sejak
1706 dan sultan yang terakhir, Pangeran Kromojoyo/Raden Abdul
Azim Purbolinggo (1823-1825).
Kontak pertama Kesultanan Palembang dengan VOC terjadi pada
1610, tetapi karena VOC tidak dipedulikan kepentingannya maka selalu
terjadi kerenggangan. Pada 1658 wakil dagang VOC, Ockersz beserta
pasukannya dibunuh dan dua buah kapalnya yaitu Wachter dan Jacatra
dirampas. Akibatnya pada 4 November 1659 terjadi peperangan antara
Kesultanan Palembang dengan VOC di bawah pimpinan Laksamana
Joan van der Laen. Pada perang ini Keraton Kesultanan Palembang
dibakar. Demikian pula Kuta dan permukiman penduduk Cina, Portugis,
Arab dan bangsa-bangsa lainnya yang berada di seberang Kuta juga
dibakar. Kota Palembang dapat direbut lagi oleh pasukan Palembang
dan kemudian dilakukan pembangunan-pembangunan, kecuali Masjid
Agung yang hingga kini masih dapat disaksikan meskipun sudah ada
beberapa perubahan. Masjid agung mulai dibangun 28 Jumadil Awal
1151 H atau 26 Mei 1748 M pada masa pemerintahan Sultan Mahmud
Badaruddin I (1724-1758).
Pada masa pemerintahan putranya yaitu Sultan Ahmad
Najmuddin (1758-1774) syiar agama Islam makin pesat. Pada waktu
itu, berkembanglah hasil-hasil sastra keagamaan dari tokoh-tokoh,
antara lain, Abdussamad al-Palimbani, Kemas Fakhruddin, Kemas

53
Muhammad ibn Ahmad, Muhammad Muhyiddin ibn Syaikh
Shibabuddin, Muhammad Ma’ruf ibn Abdullah, dan lainnya. Mengenai
ulama terkenal Abdussamad bin Abdullah al-Jawi al-Palimbani (1704-
1789), telah dibicarakan Azyumardi Azra dalam Historiografi Islam
Kontemporer secara lengkap tentang riwayatnya, ajaran serta kitab-
kitabnya dan guru-guru sufi serta tarekatnya.
Dalam perjalanan sejarahnya, Kesultanan Palembang sejak
pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II mendapat serangan dari
pasukan Hindia Belanda pada Juli 1819 atau yang dikenal sebagai
Perang Menteng (diambil dari kata Muntinghe). Serangan besar-
besaran oleh pasukan Belanda pimpinan J.C. Wolterboek yang terjadi
pada Oktober 1819 juga dapat dipukul mundur oleh prajurit-prajurit
Kesultanan Palembang. Tetapi pihak Belanda pada Juni 1821 mencoba
lagi melakukan penyerangan dengan banyak armada di bawah
pimpinan panglima Jenderal de Kock. Sultan Mahmud Badaruddin II
ditangkap kemudian dibuang ke Ternate. Kesultanan Palembang sejak 7
Oktober 1823 dihapuskan dan kekuasaan daerah Palembang berada
langsung di bawah Pemerintah Hindia Belanda dengan penempatan
Residen Jon Cornelis Reijnst yang tidak diterima. Sultan Ahmad
Najaruddin Prabu Anom karena memberontak akhirnya ditangkap
kemudian diasingkan ke Banda, dan seterusnya dipindahkan ke
Menado.

7. KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI SUMATRA BARAT


Islam di daerah Lampung tidak akan dibicarakan karena daerah
ini sudah sejak awal masuk kekuasaan Kesultanan Banten, karena itu
yang akan dibicarakan pada bagian ini ialah Kerajaan Islam di Sumatra
Barat. Mengenai masuk dan berkembangnya Islam di daerah Sumatra
Barat masih sukar dipastikan. Berdasarkan berita Cina dari Dinasti

54
T’ang yang menyebutkan sekitar abad ke-7 (674 M) ada kelompok
orang-orang Arab (Ta’shih) dan disebutkan oleh W.P. Goeneveldt,
wilayah perkampungan mereka berada di pesisir barat Sumatra. Islam
yang datang dan berkembang di Sumatra Barat diperkirakan pada akhir
abad ke-14 atau abad 15, sudah memperoleh pengaruhnya di kerajaan
besar Minangkabau.
Bahwa Islam sudah masuk ke daerah Minangkabau pada sekitar
akhir abad ke-15 mungkin dapat dihubungkan dengan cerita yang
terdapat dalam naskah kuno dari Kerinci tentang Siak Lengih Malin
Sabiyatullah asal Minangkabau yang mengenalkan Islam di daerah
Kerinci, semasa dengan Putri Unduk Pinang Masak, Dayang Baranai,
Parpatih Nan Sabatang yang kesemuanya berada di daerah Kerinci.
Tome Pires (1512-1515) juga mencatat keberadaan tempat-tempat
seperti Pariaman, Tiku, bahkan Barus. Dari ketiga tempat ini diperoleh
barang-barang perdagangan, seperti emas, sutra, damar, lilin, madu
kamper, kapur barus, dan lainnya. Setiap tahun ketiga tempat tersebut
juga didatangi dua atau tiga kapal dari Gujarat yang membawa barang
dagangannya antara lain pakaian.
Melalui pelabuhan-pelabuhannya sejak abad ke-15 dan ke-16
hubungan antara daerah Sumatra Barat dengan berbagai negeri terjalin
dalam hubungan perdagangan antara lain dengan Aceh. Pada masa
Iskandar Muda, Pariaman merupakan salah satu daerah yang berada di
bawah pengaruh Kerajaan Aceh penggantinya. Pada abad ke-17 M,
terdapat ulama terkenal di Sumatra Barat salah seorang murid
Abdurrauf al-Sinkili yang terkenal bernama Syaikh Burhanuddin (1646-
1692) di Ulakan. Ia mendirikan surau dan tak disangsikan lagi Ulakan
merupakan pusat keilmuan Islam di Minangkabau. Tarekat Syattariyah
yang diajarkannya tersebar di daerah Minangkabau dan ajaran
tasawufnya cenderung kepada syariah dan dapat dikatakan sebagai

55
ajaran neo-sufisme. Syaikh Burhanuddin dalam masyarakat setempat
dikenal sebagai Tuanku Ulakan. Penyebaran Islam yang bersifat
pembaruan dan menjangkau lebih jauh lagi mencapai klimaksnya pada
awal abad ke-19.
Sejak awal abad ke-16 sampai awal abad ke-19 di daerah
Minangkabau senantiasa terdapat kedamaian, sama-sama saling
menghargai antara kaum adat dan kaum agama, antara hukum adat dan
syariah Islam sebagaimana tercetus dalam pepatah “Adat bersandi
syara, syara bersandi adat”. Sejak awal abad ke-19 timbul pembaruan
Islam di daerah Sumatra Barat yang membawa pengaruh Wahabiyah
dan kemudian memunculkan “Perang Padri “, perang antara golongan
adat dan golongan agama. Wilayah Minangkabau mempunyai seorang
raja yang berkedudukan di Pagarruyung. Raja tetap dihormati sebagai
lambang negara tetapi tidak mempunyai kekuasaan, karena hakikatnya
kekuasaan ada di tangan para panghulu yang tergabung dalam Dewan
Penghulu atau Dewan Negari.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau lambat
laun terjadi kebiasaan buruk seperti main judi, menyabung ayam,
menghisap madat dan minum-minuman keras. Para pembesarnya tidak
dapat mencegah bahkan di antaranya turut serta. Terkait dengan hal
itu, kaum ulamanya yang kelak dinamakan kaum “Padri” berkeinginan
mengadakan perbaikan mengembalikan kehidupan masyarakat
Minangkabau kepada kemurnian Islam. Di antara kaum ulama itu
Tuanku Kota Tua dari kampung Kota Tua di dataran Agam mengajarkan
kemurnian Islam berdasarkan al-Qur’an dan hadis. Sementara itu, pada
1803 tiga orang haji kembali dari Makkah yaitu Haji Miskin dari Pandai
Sikat, Haji Sumanik dari Delapan Kota, dan Haji Piabang dari Tanah
Datar.

56
Ketika Haji Miskin melarang penyabungan ayam di kampungnya,
maka kaum adat melawan sehingga Haji Miskin dikejar-kejar dan ketika
sampai ke Kota Lawas ia mendapat perlindungan dari Tuanku
Mensiangan. Dari sini Haji Miskin lari ke Kamang dan bertemu dengan
Tuanku Nan Renceh yang akhirnya melalui pertemuan beberapa tokoh
ulama terutama di darah Luhak Agam dibentuklah kelompok yang
disebut “Padri” yang tujuan utamanya ialah memperjuangkan tegaknya
syara dan membasmi kemaksiatan. Mereka itu terdiri atas Tuanku Nan
Renceh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aer, Tuamku
Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambelan, dan
Tuanku Kubu Senang.
Kedelapan ulama Padri itu disebut Harimau Nan Salapan.
Perjuangan kaum Padri itu makin kuat, tetapi pihak kaum Adat dibantu
Belanda untuk keuntungan politik dan ekonominya. Hal ini membuat
kaum Padri melawan dua kelompok sekaligus yaitu kaum Adat dan
kaum penjajah Belanda termasuk perlawanan bangsa Indonesia
terhadap kolonialisme Belanda. Pada awal abad ke-19, Belanda dengan
adanya celah pertentangan antara kaum adat dengan kaum ulama
dalam Perang Padri, memakai kesempatan demi keuntungan politik dan
ekonominya. Tahun 1830-1838, ditandai dengan perlawanan Padri
yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara besar-besaran.
Perlawanan Padri diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-
pemimpin Padri terutama Tuanku Imam Bonjol dalam pertempuran
Benteng Bonjol, pada 25 Oktober 1837. Dengan demikian, pemerintah
Hindia Belanda pada akhir 1838 berhasil mengukuhkan kekuasaan
politik dan ekonominya di daerah Minangkabau atau di Sumatra Barat.
Tuanku Imam Bonjol kemudian diasingkan ke Cianjur, dan pada 19
Januari 1839 dibuang ke Ambon, serta pada 1841 dipindahkan ke
Menado kemudian ia wafat di tempat itu pada 6 November 1864.

57
F. Pola Pembentukan Budaya Islam di Sumatera
Islam yang semula datang di Nusantara pada abad pertama
Hijriyah dahulu, mau tidak mau menghadapi kenyataan adanya
beraneka warna peradaban itu. Baik yang membawa itu kaum
pedagang, kaum da’i ataupun ulama. Tetapi bagaimanapun juga,
mungkin kurang sempurnanya keIslaman kaum pedagang, kaum da’i
ataupun ulama tersebut, mereka semuanya menyiarkan suatu
rangkaian ajaran dan cara hidup, yang secara kualitatif lebih maju dari
pada perdaban yang ada.
Tidak hanya bidang teologi monotheismenya dibanding dengan
teologi polytheisme tetapi juga di bidang kehidupan kemasyarakatan
yang tidak mengenal pembagian kasta. Bila dibandingkan dengan
peradaban Hindu Budha, di mana masih dominan paham ‘‘animisme“
dan ‘‘dinamisme‘‘ primitif, maka ajaran-ajaran Islam jelas secara
kualitatif jauh lebih maju lagi.
Pada hakikatnya, melihat corak keberagaman masyarakat Islam di
Indonesia yang lebih mempertahankan praktek budaya aslinya, Ajid
Thohir cenderung menilai bahwa pengaruh ini akibat dari nilai-nilai
universal yang terkandung dalam ajaran Islam. Maksudnya, Islam pada
tahap ini lebih sebagai pihak yang menampung dan mengakomodasi
budaya lain, bukan pihak yang mengubah atau mengkonversikan
budaya itu.
Adapun pola pembentukan budaya Islam di Sumatera
menggunakan pola Samudera Pasai. Sejak awal perkembangannya,
Samudera Pasai menunjukkan banyak pertanda dari pembentukan
suatu negara baru. Kerajaan ini tidak saja berhadapan dengan
golongan-golongan yang belum ditundukkan dan diislamkan dari

58
wilayah pedalaman, tetapi juga harus menyelesaikan pertentangan
politik serta pertentangan keluarga yang berkepanjangan.
Dalam proses perkembangannya menjadi negara terpusat,
Samudera Pasai juga menjadi pusat pengajaran agama. Reputasinya
sebagai pusat agama terus berlanjut walaupun kemudian kedudukan
ekonomi dan politiknya menyusut. Dengan pola tersebut, Samudera
Pasai memiliki “kebebasan budaya“ untuk memformulasikan struktur
dan sistem kekuasaan, yang mencerminkan gambaran tetantang
dirinya. Pola sama dapat pula disaksikan pada proses terbentuknya
kerajaan Aceh Darussalam.

KESIMPULAN
Masuknya agama Islam ke nusantara (Indonesia) pada abad 6
akhir dibawa oleh Syekh Abdul Kadir Jailani periode I atau fase
pertama, telah membawa banyak perubahan dan perkembangan pada
masyarakat, budaya, dan pemerintahan. Perubahan dan perkembangan
tersebut terlihat jelas dengan berdirinya kerajaan-kerajaan yang
bercorak Islam.
Menurut sumber-sumber Cina zaman Dinasti Tang, menjelang
akhir perempatan ketiga abad 7, seorang pedagang Arab menjadi
pemimpin permukiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatra. Islam
pun memberikan pengaruh kepada institusi politik yang ada. Hal ini
tampak pada tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang bernama
Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz
dari Kekhalifahan Bani Umayyah meminta dikirimkan dai yang bisa
menjelaskan Islam kepadanya.
Masuknya Islam ke wilayah Nusantara, khususnya ke Sumatera,
telah memberikan sebuah warna baru dalam peradaban kedua wilayah
tersebut. Islam tidak hanya dianggap sebagai sebuah agama saja, akan

59
tetapi lebih jauh daripada itu, telah mampu memasuki aspek-aspek
kehidupan manusia, salah satunya dalam bidang budaya. Hal ini
menyebabkan akulturasi antara peradaban dengan Islam, dan salah
satu hasilnya adalah berupa kerajaan-kerajaan. Pada tahap selanjutnya,
kerajaan-kerajaan inilah yang berperan penting dalam penyebaran dan
pembentukan budaya Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. 1996. Islam dan Pluralisme di Asia Tenggara. Jakarta:
LIPI.
Azra, Azyumardi. 2002. Historiografi Islam Kontemporer: Wacana,
Aktualitas, dan Aktor Sejarah. Jakarta: Penerbit Gramedia
Pustaka Utama.
Badrika, I Wayan. 2006. Sejarah untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga.
Hasymy, A. 1989. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia. Medan: Penerbit Alma’arif.
https://www.gramedia.com/literasi/sejarah-kerajaan-islam-di-
sumatera/
https://www.rjfahuinib.org/index.php/tabuah/article/download/
210/198/933

60
BAB 4
KERAJAAN ISLAM DI PULAU JAWA

Kedatangan serta penyebaran agama Islam di Pulau Jawa dapat


dibuktikan dengan adanya data arkeologis, babad, hikayat, legenda, dan
berita asing. Salah satu bukti atas kedatangan Islam di Pulau Jawa
adalah adanya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah. Nisan yang
berada di Gresik dengan angka 475 H atau 1082 M. selain itu, di Gresik
juga ditemukan nisan makam Maulana Malik Ibrahim yang merupakan
tokoh penyebar agama Islam di Pulau Jawa yang wafat pada 822 H atau
1419 M. dari penemuan tersebut, para ahli sejarah menyimpulkan
islamisasi yang terjadi di Jawa mulai dari barat, tengah, dan timur.
Islamisasi tersebut menyebabkan munculnya kerajaan-kerajaan Islam
di Pulau Jawa, terutama di pantai utara Pulau Jawa
Pantai utara pulau Jawa telah menjadi jalur penghubung
perdagangan dan pelayaran laut antara Malaka, Indonesia bagian barat
dengan kepulauan rempah di Maluku sejak berabad-abad yang lalu.
Moh Yamin menamakan laut Jawa ini sebagai Laut Nusantara. Banyak
berita asing yang mengatakan bagaimana peranan penting laut Jawa
dalam pelayaran dan perdagangan. Bandar yang terletak di sepanjang
pantai utara Laut Jawa menjadi Bandar perisnggahan bagi para pelayar
untuk menambah persediaan bahan makanan mereka. Karena tanahnya
yang subur dan melimpahnya persediaan beras membuat Bandar
tersebut semakin menarik dimata para pesinggah. Berkenaan sebagai
tempat persinggahan, Bandar-bandar di pantai Utara Laut Jawa
semakin berkembang hingga akhirnya menjadi tempat penimbunan
perdagangan rempah-rempah. Banyak diantara pedagang asing yang
mengambil rempah dibandar-bandar pulau Jawa dan merasa tidak

61
perlu bersusah payah berlayar sampai ke Maluku. Lagi pula para
pengusaha perkapalan, pemilik kapal, dan para pembuat kapal
berkedudukan di Bandar tersebut.
Dari hal ini maka tidak mengherankan bahwa sejak masuknya
Islam ke Jawa pada abad ke-15 para pelaut dan pedagang Islam
berusaha merebut dan menggantikan orang Hindu yang pada saat itu
masih menjadi penguasa pelayaran dan perdagangan di Laut Jawa.
Keadaan seperti ini semakin mempercepat kemunduran perdaban
Hindu-Budha serta mempercepat keruntuhan kerajaan Majapahit.
Islamisasi yang terjadi di bandar-bandar sepanjang pantai Utara
Laut Jawa dalam catatan Tome Pires (suma oriental) terjadi dalam dua
cara, dengan cara sukarela dan dengan cara kekerasan. Islamisasi
dengan cara pertama adalah cara paling tua, para raja yang masih
“kafir” dengan sukarela memeluk agama Islam. Dengan masuknya Islam
membuat martabat mereka lebih “tinggi”, tetapi pada umumnya mereka
masih menjabat sebagai penguasa lokal. Islamisasi yang terjadi dengan
cara sukarela ini banyak terjadi di Jawa Timur, Tuban adalah contoh
dari Islamisasi yang terjadi. islamisasi yang dilakukan dengan
kekerasan banyak terjadi di sepanjang pantai utara Jawa Tengah, para
pelayar yang melakukan persinggahan di Bandar kemudian mendirikan
perkampungan (factory) yang dijadikan sebagai rumah. Perkampungan
atau rumah tersebut diperkuat oleh mereka sebagai kubu pertahanan.
Setelahnya mereka melakukan penyerangan terhadap kampung “kafir”
untuk kemudian mengambil seluruh kekuasaan pemerintahan Bandar
atau pelabuhan. Islamisasi dengan cara ini banyak terjadi di kota-kota
seperti Demak dan Jepara.
Tidak tepat juga apabila kita menganggap bahwa Bandar-bandar
dan kota-kota Islam di sepanjang pantai utara Laut Jawa itu memiliki
kesatuan penting dalam ekonomi, tujuan politik dan orientasi budaya.

62
Th. Pigeaud mengelompokkan daerah perdaban yang berada di seluruh
pantai utara laut Jawa menjadi tiga bagian yaitu, kelompok Timur,
kelompok Tengah, dan kelompok Barat. Kelompok Timur terdiri dari
kota Gresik, Tuban, Madura dan Lombok sebagai pengaruhnya yang
terletak di luar Jawa. Kelompok Tengah terdiri dari kota seperti Demak,
Jepara, dan Kudus serta Banjarmasin sebagai pengaruhnya yang
terletak di Kalimantan Selatan. Sedangkan kelompok Barat terdiri dari
kota Cirebon dan Banten yang pengaruhnya sampai ke kerajaan-
kerajaan Sunda di pedalaman Jawa Barat hingga ke Lampung, Sumatera
Selatan. Kota yang menjadi kelompok Timur pada umumnya masih
setia terhadap kerajaan Majapahit. Contohnya adalah kota Tuban yang
masih menjadi Vasal Majapahit atau setidaknya kota tersebut bersifat
netral.
Usaha untuk merongrong kekuasaan Majapahit justru lebih
banyak berasal dari kota-kota yang berasal dari kelompok Barat.
Walaupun Bandar-bandar seperti Jepara, Pati, dan Juwana, dan Gresik
telah berkali merongrong kekuasaan Majapahit yang semakin lama
semakin melemah, Demaklah yang akhirnya berhasil merebut
kekuasaan Jawa dari kekuasaan Majapahit serta menyatakan diri
sebagai kerajaan Islam.

1. Berdirinya Kerajaan Demak


Antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Demak memiliki
kemiripan dalam kisah berdirinya yang akhirnya menggantikan salah
satunya. Keruntuhan Kerajaan Majapahit merupakan titik awal
berdirinya Kerajaan Demak menurut sumber sejarah lokal di Jawa.
Demak termasuk sebuah pelabuhan dagang yang pada saat itu ramai
dikunjungi oleh pedagang asing termasuk para pedahang dari Arab,
kemudian para pedagang Arab ini memegang peran penting dalam

63
proses perkembangan Islam di pesisir hingga berdirinya Kerajaan
Demak.
a. Kondisi Geografis
Demak terletak di pesisir utara Pulau Jawa dengan lingkungan
alam yang cukup subur dan sehingga cocok digunakan sebagai daerah
pertanian. Pusat Kerajaan Demak dikelilingi oleh beberapa sungai
diantaranya adalah sungai Kali Tuntang, Kali Buyaran, dan Kali Serang.
Sungai-sungai tersebut menjadi dorongan perkembangan pertanian di
Kerajaan Demak.selain menjadi aliran irigasi pertanian sawah, ketiga
sungai tersebut juga dapat menyuburkan tanah pertanian karena
kandungan sedimen lumpur yang subur. Wilayah Demak pedalaman
yang subur juga menyajikan hasil pertanian yang melimpah, sementara
wilayah pesisir digunakan sebagai pelabuhan dagang. Di awal abad ke
XVI pelabuhan Demak berkembang sebagai pusat perdagangan
internasional di wilayah pantai Utara Jawa. Oleh karenanya, Demak
dapat berkembang menjadi sebuah kerajaan besar.
b. Kehidupan Politik
Raden Patah dengan gelar Sultan Alam Akbar al-Fatah
merupakan pendiri dari Kerajaan Demak pada abad XVI. Raden Patah
merupakan keturunan Raja Majapahit, Brawijaya V dengan Putri
Campa. Raden Patah memerintah dalam kurun waktu 1500-1518,
sepeninggalan Raden Patah Demak kemudian dipimpin oleh Pati Unus
yang terinspirasi oleh Gajah Mada untuk menjadikan Demak sebagai
kerajaan maritim terbesar di Indonesia seperti Majapahit. Oleh sebab
itu Pati Unus membangun angkatan laut dan menyerang Malaka yang
pada saat itu masih dikuasai oleh Portugis. Penyerangan tersebut
dilakukan karena keberadaan Portugis di Malaka telah merugikan
perdagangan Demak secara umum.

64
Puncak kejayaan Kerajaan Demak terjadi pada masa
pemerintahan Sultan Trenggono (1521-1546). Wilayah Kerajaan
Demak pada saat itu meliputi sebagian besar pesisir utara Pulau Jawa,
bahkan kekuasaan Demak meluas ke Sukadana (Kalimantan Barat),
Palembang, Jami, dan Banjar (KalSel). Setelah wafatnya Sultan
Trenggono pada 1546, Kerajaan Demak mulai mengalami kemunduran.
Perang saudara terjadi antara Pangeran Prawoto (putra Sultan
Trenggono) dan Arya Panangsang (keturunan pangeran Sekar Sedo
Lepen, adik dari Sultan Trenggono). Dalam perselisihan yang terjadi
Arya Panangsang berhasil dibunuh oleh Hadiwijaya (Joko Tingkir) dari
Pajang. Hdiwijaya merupakan menantu dari Sultan Trenggono yang
akhirnya berhasil merebut takhta Demak dari Atya Panangsang dan
memindahkan ibu kota Kerajaan Demak ke Pajang (Eko Praptanto,
2013: 37).
c. Kehidupan Ekonomi
Sebagai sebuah kerajaan yang terletak di pesisir pantai, Demak
menitikberatkan perekonomian pada aktivitas perdagangan maritim,
selain itu Kerajaan Demak juga mengembangkan perekonomian agraris.
Pelabuhan Demak berkembang menjadi pelabuhan transito yang
menghubungkan peradaban Internasional antara Indonesia bagian
Barat dengan bagian Timur. Sebagai pelabuhan perantara, Demak
menjadi pelabuhan yang sering dikunjungi oleh para pedagang asing
yang akan membeli rempah-rempah di Maluku. Selain sektor
perdagangan maritim, Demak mengembangkan sektor agraris. Kondisi
pedalaman yang subur menjadi pendorong perkembangan pertanian
sawah dengan beras yang menjadi salah satu komoditas dagang Demak
yang diunggulkan dari sektor agraris.
d. Kehidupan Agama

65
Keberadaan Wali Songo menjadi pengaruh kehidupan agama
Islam di Kerajaan Demak. Dewan ini beranggotakan Sembilan ulama
besar yang terkenal serta dihormati. Kesembilan ulama tersebut adalah
Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan
Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Drajat, dan Syekh Maulana
Malik Ibrahim (Sunan Gresik). Para wali ini berperan besar dalam
penyebaran agama Islam di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Mereka juga mendirikan masjid Agung Demak sebagai pusat dakwah di
Jawa. Selain menjadi tempat ibadah, masjid Agung Demak juga
digunakan sebgaia tempat bersidang para ulama (wali) untuk
membahasa berbagai permasalahan agama dan juga Negara (Abd Baqir
Zein, 2009: 58). Selain menjadi penyebar agama, Wali Sanga juga
menjadi penasihat Kerajaan Demak.
e. Kehidupan Sosial Budaya
Aktivitas sehari-hari masyarakat Demak dipengaruhi oleh ajaran
Islam yang beralkulturasi dengan kebudayaan Jawa. Alkuturasi tersebut
dapat dilihat pada pelaksanaan upacara selamatan dan yasinan. Pada
masa pemerintahan Kerajaan Demak, Sunan Kalijaga meletakkan dasar-
dasar tradisi sekaten yang sampai saat ini masih berlangsung di
Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon. Oleh sebab itu tradisi agama Islam
di Demak berbeda dengan tradisi agama di Arab. Masjid Agung Demak
juga memiliki bentuk yang unik dengan bentuk atap tumpang
bertingkat tiga. Bentuk tersebut merupakan ciri bangunan Jawa yang
dipadukan dengan budaya Hindu-Budha. Dengan demikian, masyarakat
Jawa di Demak telah mampu memadukan kebudayaan Islam dan
kebudayaan lama (lokal dan Hindu-Budha) menjadi kebudayaan baru
yang diterima oleh masyarakat.
f. Runtuhnya Kerajaan Demak

66
Sejak peninggalan Sultan Trenggana, Demak mulai mengalami
kekacauan politik. Gugurnya Sultan Trenggana di ujung timur Pulau
Jawa telah mengakibatkan terjadinya perebutan kekuasaan di antara
calon penggantinya, ucap Fernando Mendez Pinto. Ibu kota Demak juga
tak lepas dari kehancuran. Sultan Trenggana sendiri digantikan oleh
putranya yang bernama Susuhunan Prawata yang dikisahkan dalam
babad. Ia dipandang paling berhak karena sebelumnya telah mengambil
hati serta dukungan dari “masyarakat orang alim” yang telah
menganggap Masjid Demak yang suci sebagai pusatnya, yaitu Masjid
Agung yang didirikan dan dikelola oleh keluarga Raja Demak.
Pada masa jabatan Prawata Susuhunan (1546-1549) merupakan
antiklimaks terhadap masa kejayaan pemerintahan ayahnya, Sultan
Trenggana, yang selama masa pemerintahannya telah menguasai
sebagian besar Pulau Jawa. Kisah tentang dibunuhnya Prawata
Susuhunan dan istrinya sebagai bentuk balas dendam atas kematian
ayah dari Aria Penangsang yang dibunuh atas perintah Prawata
Susuhunan dikisahkan dalam babad dan tambo Jawa Tengah. Aria
Penangsang sendiri merupakan adipati dari Jipang Panolan yang
terletak cukup jauh di sebelah timur Demak.
Kericuhan dan kekacauan politik yang di pusat kekuasaan Islam
akhirnya memberikan kesempatan kepada para raja dam adipati di
daerah untuk lebih merdeka, misalnya Cirebon dan Banten, di Jawa
Barat serta Surabaya dan Gresik di Jawa Timur, pusat perdagangan
yang dipindahkan sejak abad ke-16 sebagian besar dipindahkan ke
Jepara, hal ini sebagian besar disebabkan karena pendangkalan Selat
Muria di jalan masuk pelabuhan Demak, maka pada pertengahan abad
kedua abda ke-16 dan pada abad ke-17 Jepara menjadi Bandar
terpenting di Jawa Tengah.

67
Jatuhnya kekuasaan Kerajaan Demak sesudah 1546 tidak
melunturkan dan tidak menodai wibawa religius masjid suci Demak.
Pada abad berikutnya pun Masjid Agung Demak masih menjadi pusat
bagi orang-orang alim di Jawa pada umumnya atau di Jawa Tengah
pada khususnya. Para keturunan raja Demak pun masih diperlakukan
dengan hormat dan rasa segan di keraton rata-raja Jawa lainnya. Gelar
yang dimiliki oleh Prawata dipandang sebagai petunjuk bahwa pada
masa-masa akhir Demak, wibawa religiusnya lebih peting daripada
kekuasaan politik. Demikian pula Masjid dan makam Demak dipandang
sebagai tempat keramat yang masih banyak diziarahi orang hingga saat
ini. Apabila keraton (istana) itu sendiri sudah tidak berbekas lagi,
namun makam dan Masjid Agung Demak masih tetap megah berdiri.
Sama halnya dengan bangunan-bangunan suci yang lain, demikan juga
Masjid Agung Demak beserta makamnya menjadi lambang keadilan.

2. Berdirinya Kerajaan Cirebon


Kerajaan Cirebon merupakan sebuah kerajaan bercorak Islam
ternama yang berasal dari Jawa Barat. Kesultanan Cirebon berdiri pada
abad ke-15 dan 16 Masehi. Kesultanan Cirebon juga merupakan
pangkalan penting yang menghubungkan jalur perdagangan antar
pulau. Kesultanan Cirebon berlokasi di pantai utara pulau Jawa yang
menjadi perbatasan antara wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat, ini
membuat Kesultanan Cirebon menjadi pelabuhan sekaligus “jembatan”
antara 2 kebudayaan, yaitu budaya Jawa dan Sunda. Sehingga
Kesultanan Cirebon memiliki suatu kebudayaan yang khas tersendiri,
yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi oleh kebudayaan Jawa
maupun kebudayaan Sunda.
Kesultanan Cirebon merupakan kerajaan Islam pertama di tanah
Sunda. Kerajaan ini berdiri sekitar abad ke 15 dan 16 masehi. Dahulu,
tempat ini yang sangat penting sebab menghubungkan berbagai jalur

68
perdagangan sejumlah pulau. Lokasi kerajaan Islam ini di sebelah utara
Pulau Jawa, di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Letak geografis
ini juga yang membuat Cirebon sebagai penghubung dua kebudayaan
sekaligus yakni Jawa dan Sunda. Semula Cirebon hanya sebuah dukuh
kecil yang didirikan oleh Ki Gedeng Tapa. Tempat ini kemudian menjadi
pelabuhan penting dan ramai dikunjungi orang. Lama-kelamaan
berkembang menjadi kota besar. Cirebon kemudian berubah menjadi
tempat pelayaran dan perdagangan hingga akhirnya menjadi pusat
penyebaran Islam di daerah Jawa Barat.
Proses pendirian dari Keraton Cirebon bermula dari keturunan
Kerajaan Pajajaran yang bernama Pangeran Cakrabuana, anak dari
Prabu Siliwangi dan istri pertamanya bernama Subanglarang, puteri
dari Ki Gedeng Tapa. Pangeran Cakrabuana bukan anak satu-satunya, ia
memiliki saudara kandung bernama Nyai Rara Antang dan Raden Kian
Santang. Karena Pangeran Cakrabuana merupakan anak pertama, ia
memiliki hak untuk meneruskan tahta di Kerajaan Pajajaran. Namun
karena ia beragam Islam seperti agama ibundanya, posisi putra
mahkota yang didudukinya terpaksa digantikan adik tirinya yang
bernama Prabu Surawisesa anak dari Prabu Siliwangi dengan istri
keduanya. Pangeran Cakrabuana kemudian memperdalami agama
Islam dan membuat perdukuran di sekitar Kebon Pesisir. Dia membuat
Kuta Kosod atau susunan tembok bata tanpa spasi, membuat Dalem
Agung Pakungwati, dan mendirikan pemerintahan di Cirebon pada
1430 M. Karena itu Pangeran Cakrabuana dianggap sebagai pendiri dari
Keraton Cirebon sekaligus menjadi raja pertama. Kerajaan ini kemudian
tidak hanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan, juga bagian dari
penyebaran agama Islam.
Berdirinya Kesultanan Cirebon ternyata tidak lepas dari
pengaruh kerajaan Islam lainnya yakni Kesultanan Demak yang ada di

69
Jawa Tengah. Seiring berjalannya waktu, kerajaan ini kemudian
berkembang dengan cukup pesat. Pemimpin selanjutnya dari
kesultanan ini yaitu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati,
Keponakan dari pangeran cakrabuana.
a. Masuknya Islam Ke Cirebon
Sejarah masuknya Islam di Cirebon, terjadi dalam dua tahap,
yaitu masuk melalui jalur perdagangan yang dibawa oleh para
pedagang dan pendakwah dari luar Cirebon dan disebarkan langsung
oleh para penguasa Cirebon. Menurut Naskah Purwaka Caruban Nagari,
Sejarah masuknya Islam di Cirebon dikaitkan dengan tokoh penyebar
agama Islam yang bernama Syekh Nur Jati, menurut naskah ini Syekh
Nurjati adalah orang yang pertama-tama mengajarkan Islam di Cirebon,
selain itu ulama ini juga membuat Pesantren di Giri Amparan Jati
(Gunung Jati). Pada Ulama inilah Pangeran Walangsungsang berguru
agama Islam.
Pangeran Walangsungsang yang kelak mempunyai nama
Pangeran Cakrabuana beserta adiknya Rara Santang dan istrinya Nyai
Indang Geulis. Membuka pendukuhan baru di suatu daerah yang
sebelumnya telah dibangun oleh Ki Gede Alang-Alang. Pembangunan
pedukuhan baru tersebut dilakukan atas perintah gurunya yaitu Syekh
Nurjati/Syekh Datuk Kahfi. Pangeran Walangsungsang diperintahkan
untuk membuka pendukuhan di daerah Lemah Wungkuk bersama adik
dan istrinya, yaitu di daerah selatan dari Gunung Jati, perintah gurunya
itu akhirnya ditunaikannya pada tanggal 1 Sura tahun 1358 AJ/1445 M.
pada saat membuka pendukuhan, Pencaharian Walang Sungsang
sebagai pencari Rebon (udang kecil) dan pembuat trasi.
Kian lama pedukuhan yang dibangun menjadi ramai, didatangi
orang-orang dari berbagai daerah, oleh karena itu Pangeran
Walangsungsang membangun Keraton Dalem Agung Pakungwati (1430

70
M) sebagai pusat pemerintahan, penamaan Pakungwati diambil dari
nama Ratu Dewi Pakungwati binti pangeran Cakrabuana yang kelak
keraton Pakungwati menjadi Keraton Kasepuhan. Pembangunan
keraton Pakungwati bertujuan untuk mendukung kegiatan
pemerintahan, ekonomi dan juga sebagai sarana mengatur siasat untuk
mendakwahkan Islam di Cirebon.
Pada masa Pangeran Walangsungsang Islam dikenalkan secara
massif pada penduduk yang berada di wilayah kekuasannya, sehingga
kala itu banyak orang yang berbondong-bondong masuk agama Islam.
Pada tahap selanjutnya, pemerintahan dan dakwah Islam di Cirebon
dilanjutkan oleh Sunan Gunung Jati setelah Pangeran Walangsungsang
menikahkan putrinya dengan Sunan Gunung Jati. Selanjutnya demi
tegaknya Islam yang sudah disebarkan oleh para pendahulunya, Sunan
Gunung Jati juga mendirikan Kesultanan Cirebon yang merdeka dari
Pajajaran, pada masa ini Sunan Gunung Jati membangun Majid Agung
Sang Cipta Rasa yang terletak disamping kiri keraton dan disebelah
barat Alun-alun. Sunan Gunung Jati menjadikan Majid Agung sang Cipta
Rasa sebagai pusat dakwah Islam di Cirebon dan sekitarnya.
Seiring berjalanya waktu, Islam di Cirebon semakin menyebar,
hal tersebut dikarenakan dakwah Islam yang dilakukan oleh para
Ulama didukung oleh Kesultanan Cirebon yang Rajanya memang
sebagai penganut agama Islam. Selepas wafatnya Sunan Gunung Jati,
dakwah Islam dilanjutkan oleh anak keturunanya beserta santri-
santrinya, sehingga dikemudian hari agama Islam menjadi agama
mayoritas di Cirebon hingga sekarang.
b. Raja Kerajaan Cirebon
1. Pangeran Cakrabuana (1479 M), Pangeran Cakrabuana atau
juga dikenal dengan nama Raden Walangsungsang merupakan
keturunan Kerajaan Pajajaran. Saat berusia remaja, Pangeran

71
Cakrabuana dikenal dengan nama Kian Santang. Karena telah
memeluk agama islam, Pangeran Cakrabuana tidak menjadi
putra mahkota Kerajaan Pajajaran. Sehingga ia mendirikan
istana Pakungwati yang merupakan pusat pemerintahan
Cirebon pada masanya.
2. Sunan Gunung Jati (1479-1568 M), Pada 1479, pemerintahan
Cirebon dipimpin oleh Syarif Hidayatullah. Ia merupakan putra
dari adik pangeran Cakrabuana. Syarif Hidayatullah atau
dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati mendapatkan gelar
Tumenggung Syarif Hidayatullah. Pada masa pemerintahannya,
Cirebon mengalami masa kejayaan. Dan ia diyakini sebagai
pendiri Dinasti raja-raja kesultanan Cirebon dan Kesultanan
Banten, serta penyebar ajaran agama islam di Jawa Barat.
3. Fatahillah (1568-1570 M), Setelah sunan Gunung Jati wafat,
pemerintahan Cirebon mengalami kekosongan pemerintahan
dan mulai diincar oleh VOC Belanda. Kemudian, pemerintahan
dibawah pimpinan Fatahillah. Akan tetapi Fatahillah hanya
menjabat selama 2 tahun saja, karena ia wafat pada 1570 M.
4. Panembahan Ratu (1570-1649 M), Setelah Fathillah wafat,
pemerintahan Cirebon jatuh kepada Pangeran emas. Ia
merupakan cucu Sunan Gunung Jati. Pangeran emas
mendapatkan gelar Panembahan Ratu I dan memerintah
Kesultanan Cirebon selama 79 tahun. Yang kemudian ia wafat
pada tahun 1649 M.
5. Panembahan Ratu II (1649 – 1677 M), Panembahan Ratu II
menjabat sebagai Raja Cirebon menggantikan kakeknya,
Pangeran Emas. Panembahan Ratu II atau juga dikenal dengan
nama Panembahan Adiningkusuma atau Pangeran Rasmi.
Sultan Panembahan Ratu II wafat pada 1677 di Kartasura.

72
Berikutnya, Cirebon terpecah menjadi 3 bagian dan
menimbulkan terbentuknya 4 keraton dengan para sultannya.
c. Puncak Kejayaan Kerajaan Cirebon
Dengan berkuasanya Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal
dengan Sunan Gunung Jati di Cirebon pada tahun 1479 M maka Cirebon
menjadi Kesultanan Cirebon. Sunan Gunung Jati naik sebagai penguasa
Cirebon setelah ia dilantik sebagai Tumenggung Hidayatullah bin
Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan disambut oleh para
wali tanah Jawa dengan memberikan gelar Panetep Panatagama Rasul
di tanah Sunda atau Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba
Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid zaman Khalifatur Rasulullah
Saw. Ia memerintah dari Keraton Pakungwati. Status kesultanan itu
mencerminkan bahwa proses Islamisasi telah berlangsung lama di
Cirebon.
Hal yang demikian itu dapat dimengerti karena suatu negara
tidak mungkin menjadi sebuah kesultanan jika penguasanya (raja dan
jajarannya) dan rakyatnya belum memeluk agama Islam. Pada masa
pemerintahan Sunan Gunung Jati (1479 – 1568) Kesultanan Cirebon
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada masa itu, bidang
keagamaan, politik, dan perdagangan sangat maju. Pada masa Sunan
Gunung Jati upaya Islamisasi sangat diintensifkan. Penyebaran Islam ke
berbagai wilayah terus menerus dilaksanakan. Misalnya, pada tahun
1525- 1526, dilakukan penyebaran Islam ke Banten dengan cara
menempatkan putra Sunan Gunung Jati yang bernama Maulana
Hasanuddin. Banten berhasil dikuasai setelah Maulana Hasanuddin
berhasil menumbangkan pemerintahan Pucuk Umum yang
berkedudukan di Banten Girang sebagai penguasa Kadipaten dari
Kerajaan Sunda Pajajaran. Kemudian, Maulana Hasanuddin segera

73
membentuk pemerintahan yang berkedudukan di Surosowan dekat
Muara Cibanten (Djajadiningrat, 1983).
Tentu saja penyebaran Islam tidak hanya dilakukan terhadap
Banten, ke wilayah lain pun dilakukan. Penyebaran Islam ke wilayah
Priangan Timur antara lain ke Galuh pada tahun 1528 dan ke Talaga
pada tahun 1530. Memang upaya penyebaran agama Islam tidak
semata-mata untuk menyebarkan agama tetapi juga untuk memperluas
wilayah. Menurut Nina Herlina Lubis (2003: 187) Kerajaan Cirebon
terlibat dalam serangkaian peperangan menghadapi serangan-serangan
dari para adipati bawahan Kerajaan Sunda Pajajaran yang ada di sekitar
Cirebon, serta tiga kali mengalami pertempuran besar, yaitu
pertempuran merebut pelabuhan Sunda Kalapa, pertempuran dengan
Rajagaluh, dan pertempuran dengan Talaga.
Dalam pertempuran untuk merebut pelabuhan Sunda Kalapa,
Sunan Gunung Jati sebenarnya menerapkan strategi berupa
penyelarasan politik dengan ambisi politik yang dilakukan oleh
Kesultanan Demak. Hal yang demikian itu dapat dipahami karena
antara Cirebon dan Demak mempunyai hubungan kekerabatan yang
erat. Upaya penyelarasan itu terlihat dalam usaha penyebaran Islam ke
arah barat, yaitu di sepanjang pesisir utara Jawa bagian barat. Dari segi
politik, kolaborasi itu terlihat jelas ketika upaya penyebaran Islam itu
dilakukan setelah Kesultanan Banten berdiri. Penyerangan ke
pelabuhan utama Kerajaan Sunda Pajajaran yang terjadi pada tahun
1527 dilakukan oleh tentara gabungan Demak, Cirebon, dan Banten
(Uka Tandrasasmita, 2009: 164). Penguasaan Islam atas pelabuhan
Sunda Kalapa itu jelas sebagai upaya membendung pengaruh Portugis
yang sudah menduduki Malaka sejak tahun 1511.
Dengan demikian, ketiga kesultanan itu dengan leluasa dapat
menyingkirkan Portugis dari jalur lalu lintas perdagangan internasional

74
dan regional dari daerah Maluku ke berbagai pelabuhan di sepanjang
pesisir Jawa melalui Selat Sunda (Tanjdrasasmita, 2001: 43 – 64). Pada
masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, selain perluasan wilayah juga
dilakukan pembangunan sarana dan prasarana umum (Herlina, et.al.,
2003: 180–181). Upaya pembangunan itu di antaranya:
1) Pada tahun 1483, keraton lama Dalem Pakungwati yang dulu
dibangun oleh Cakrabuwana diperluas dan ditambah dengan
bangunan-bangunan pelengkap juga tembok keliling setinggi 2,5
meter dengan ketebalan 80 cm pada areal tanah seluas 20 hektar.
Selanjutnya, untuk keamanan dibangun tembok setinggi 2 meter
mengelilingi ibukota, meliputi areal seluas 50 hektar. Tembok
keliling itu tentu saja dilengkapi dengan pintu gerbang, yang salah
satu dari pintu gerbang itu diberi nama Lawang Gada;
2) Pembangunan pangkalan perahu yang terletak di sebelah tenggara
keraton di tepi Sungai Kriyan. Pangkalan perahu itu dilengkapi
dengan gapura yang disebut Lawang Sanga, bengkel perahu, istal
kuda kerajaan, dan pos-pos penjagaan;
3) Di pelabuhan Muara Jati dilakukan perbaikan dan penyempurnaan
bangunan-bangunan untuk fasilitas pelayaran seperti mercu suar
yang dulu dibuat oleh Ki Ageng Tapa dengan dibantu oleh orang-
orang Cina. Di pelabuhan ini dibangun pula bengkel untuk
memperbaiki perahu berukuran besar yang mengalami kerusakan
dengan memanfaatkan orang-orang Cina ahli pembuat Jung yang
dahulu dibawa oleh Laksamana Cheng Ho. Pelabuhan Muara Jati
pada masa itu merupakan pasar tempat transaksi perdagangan
rempah-rempah, beras, hewan potong, dan tekstil. Oleh sebab itu, di
sekitar Muara Jati banyak pedagang asing bermukim seperti dari
Cina dan Arab;

75
4) Pembangunan sarana transportasi dilaksanakan sebagai upaya
mempercepat pertumbuhan ekonomi. Untuk itu dibangunlah sarana
transportasi penunjang pelabuhan laut.berupa saluran transportasi
melalui sungai dan jalan darat.
5) Untuk menjaga dan memelihara keamanan dibentuk pasukan
keamanan yang disebut Pasukan Jagabaya dengan jumlah dan
kualitas yang memadai. Pasukan Jagabaya ini di tempatkan di pusat
kerajaan dan tentu saja di setiap wilayah yang sudah dikuasai oleh
Kesultanan Cirebon. Sunan Gunung Jati yang menjadi raja di
Kesultanan Cirebon adalah seorang anggota Wali Songo. Dengan
demikian, segala aktivitasnya tentu saja tidak terlepas dari upaya
menyebarkan agama Islam. Untuk itulah, pada tahun 1480, Sunan
Gunung Jati mendirikan Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang terletak
di samping kiri keraton dan di sebelah barat alun-alun. Dalam
membangun Masjid Agung Sang Cipta Rasa itu, Sunan Gunung Jati
dibantu oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga.
6) Telah dilakukan pembangunan masjid jami di ibu kota dan di
berbagai wilayah bawahan Kerajaan Cirebon, serta langgar-langgar
di berbagai pelabuhan;
7) Telah selesai dibangun tembok keliling ibu kota meliputi areal
seluas 50 hektar dilengkapi dengan beberapa pintu gerbang dan pos
jagabaya;
8) Telah selesai dibangun jalan besar utama menuju Pelabuhan
Muarajati dan jalan-jalan di ibu kota serta jalan-jalan yang
menghubungkan ibu kota dengan wilayah-wilayah bawahannya;
9) Pasukan Jagabaya jumlahnya sudah cukup banyak, organisasinya
sudah ditata dengan komandan tertingginya dipegang oleh seorang
tumenggung yang disebut Tumenggung Jagabaya;

76
10)Dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan, baik di pusat
kerajaan maupun di wilayah bawahan telah diatur dalam tata
aturan pemerintahan yang cukup rapi. Sunan Gunung Jati telah
memberlakukan gelar-gelar jabatan.
d. Kemunduran Kerajaan Cirebon
Runtuhnya Kerajaan Cirebon dimulai pada tahun 1666, dalam
pemerintahan Panembahan Ratu II atau Pangeran Rasmi. Latar
belakang keruntuhan ini disebabkan oleh fitnah dari Sultan
Amangkurat I, yang merupakan penguasan Mataram. Faktor penyebab
keruntuhan lainnya terjadi dalam perjanjian dengan VOC pada 7 Januari
1681, mengakibatkan terjadinya monopoli ekonomi dan perdagangan
di Kerajaan Cirebon. Tahun 1697, Kerajaan Cirebon terbagi menjadi dua
yaitu Kacirebonan dan Kaprabonan, tahun ini menjadi awal mulai
faktor keruntuhan Kerajaan Cirebon yang diakibatkan oleh adanya
kolonialisme.

Selain kolonialisme, faktor penyebab lainnya diakibatkan oleh


campur tangan Kerajaan Mataram dan Kerajaan Banten. Kedua
kerajaan ini memiliki tujuan menguasai Kerajaan Cirebon yang lokasi
perdagangannya strategis.
e. Peninggalan Kerajaan Cirebon
Kerajaan Cirebon meninggalkan bukti peninggalan yang masih
dapat dilihat hingga saat ini. Berikut jejak peninggalan Kerajaan
Cirebon:

1. Bangunan Keraton Kasepuhan di Cirebon yang dibangun


oleh Pangeran Cakrabuana. Keraton Kasepuhan adalah keraton yang
terletak di kelurahan Kesepuhan, Lemahwungkuk, Cirebon. Makna di
setiap sudut arsitektur keraton ini pun terkenal paling bersejarah.

77
Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan
terdapat pendopo di dalamnya.
Keraton Kasepuhan adalah bangunan yang dahulu
bernama keraton Pakungwati yang pernah menjadi pusat
pemerintahan Kasultanan Cirebon. Keraton ini memiliki museum yang
cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan.
Salah satu koleksi yaitu kereta Singa Barong yang merupakan kereta
kencana Sunan Gunung Jati. Kereta tersebut saat ini tidak lagi
dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap 1
Syawal untuk dimandikan. Bagian dalam keraton ini terdiri
dari bangunan utama yang berwarna putih. Di dalamnya terdapat ruang
tamu, ruang tidur dan singgasana raja.
2. Bangunan Keraton Kanoman di Cirebon yang didirikan oleh Pangeran
Kertawijaya. Keraton Kanoman didirikan oleh Pangeran Mohamad
Badridin atau Pangeran Kertawijaya, yang bergelar Sultan Anom I pada
sekitar tahun 1678 M. Keraton Kanoman masih taat memegang adat-
istiadat dan pepakem, di antaranya melaksanakan tradisi Grebeg
Syawal,seminggu setelah Idul Fitri dan berziarah ke makam leluhur,
Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Cirebon Utara. Peninggalan-
peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya dengan
syiar agama Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang juga
dikenal dengan Syarif Hidayatullah.
Kompleks Keraton Kanoman yang mempunyai luas sekitar 6
hektare ini berlokasi di belakang pasar Kanoman. Di Kraton ini tinggal
sultan ke dua belas yang bernama Raja Muhammad Emiruddin berserta
keluarga. Kraton Kanoman merupakan komplek yang luas, yang terdiri
dari bangunan kuno. salah satunya saung yang bernama bangsal witana
yang merupakan cikal bakal Kraton yang luasnya hampir lima kali

78
lapangan sepakbola.
3. Bangunan Keraton Kacirebon.
Kecirebonan menurut Raden Hamzaiya dibangun pada tahun
1800 M, Bangunan kolonial ini banyak menyimpan benda-benda
peninggalan sejarah seperti Keris, Wayang, perlengkapan
Perang, Gamelan dan lain-lain. Seperti halnya Keraton
Kasepuhan dan Keraton Kanoman, Kecirebonan pun tetap menjaga,
melestarikan serta melaksanakan kebiasaan dan upacara adat
seperti Upacara Pajang Jimat dan sebagainya.
Kacirebonan berada di wilayah kelurahan Pulasaren
Kecamatan Pekalipan, tepatnya 1 km sebelah barat daya dari Keraton
Kasepuhan dan kurang lebih 500 meter sebelah selatan Keraton
Kanoman. Keraton Kacirebonan posisinya memanjang dari utara ke
selatan (posisi yang sama dengan keraton-keraton lain di Cirebon)
dengan luas tanah sekitar 46.500 meter persegi.
4. Makam Sunan Gunung Jati.
Makam Sunan Gunung Jati adalah destinasi wisata religi di
Cirebon. Peziarah hilir mudik berganti mengunjungi makam ini meski
tengah pandemi.
Tak ada yang berubah dari kompleks Makam Sunan Gunung Jati,
destinasi wisata religi di Cirebon. Makam salah satu Wali Songo itu
masih terus dibanjiri oleh peziarah dari berbagai daerah di pulau Jawa.

3. Kerajaan Banten
a. Asal Mula Kerajaan Banten

Pada awalnya Banten adalah daerah kekuasaan Kerajaan


Pajajaran. Pajajaran mengadakan hubungan dagang dengan Portugis di
Malaka guna membendung meluasnya kekuasaan Demak. Akibatnya,

79
pada tahun 1526 sultan Tranggono dari demak mengutus Paletehan
dan Pangeran Carbon (masih mempunyai hubungan darah dengan
keluarga raja pakuan Pajajaran yang beragama islam) untuk merebut
Banten dan pantai utara Jawa Barat. Usaha itu berhasil dengan
gemilang. Banten, Sunda kela, dan Cirebon jatuh ke tangan Paletehan.
Sejak itu agama islam berkembang pesat di Jawa Barat. Banten segera
tumbuh menjadi bandar yang penting diselat Sunda setelah Malaka
jatuh ditangan Portugis (1511) karena pedagang-pedagang dari
Gujarat, India, Timur Tengah, Arab, dan sebagainya dan sebagian
enggan melabuh ke malaka.

Pada tahun 1522 Jorge d’ Albuquerque, Gubernur Portugis di


Malaka, mengirim Henrique menemui Raja Samiam di Sunda untuk
mengadakan perjanjian dagang dengannya. Pada tanggal 21 Agustus
kesepakatan dagang antara Portugis dan Sunda Kelapa akhirnya
disepakati. Dalam perjanjian ini, Kerajaan Sunda berkewajiban
membayar 1000 bahar lada setiap tahunnya dan Kerajaan Sunda
Padjajaran memberikan sebuah wilayah untuk dijadikan benteng
Portugis. Sebagai imbalannya, Portugis akan melindungi Kerajaan
Sunda Padjajaran dari serangan Kerajaan Islam yang saat itu telah
berkembang di Pulau Jawa bagian tengah. Akhrinya, Portugis diberikan
izin untuk mendirikan kantor dagang di Sunda kelapa.

Perjanjian dagang antara Portugis dan Sunda Kelapa tersebut


tidak berhasil. Hal ini dikarenakan pada tahun 1925 wilayah Banten
berhasil direbut dari kekuasan Sunda Padjajaran oleh pasukan dari
Kesultanan Demak, salah satu kerajaan Islam di pulau Jawa. Pasukan ini
dipimpin oleh seorang guru besar serta panglima militer yang handal
yang berasal dari sebenarnya berasal dari Pasai, yaitu Fatahillah. Beliau
diutus langsung oleh Kerajaan Demak yang saat itu diperintah oleh

80
seorang sultan yang bernama Sultan Trenggono. Alasan mengapa
Fatahillah diutus untuk menaklukkan Jawa Barat sebenarnya adalah
untuk menghalau pengaruh Portugis yang saat itu sudah melakukan
perjanjian dagang dengan kerajaan Sunda Padjajaran.

Pada tahun 1526, Sultan Trenggono mengutus Syarif


Hidayatullah beserta pasukannya untuk menaklukkan Jawa Barat agar
Portugis tidak dapat memasuki wilayah tersebut. Penyerangan yang
dilakukan oleh Fatahillah beserta pasukannya berhasil. Wilayah Banten
akhirnya jatuh ke tangan Kesultanan Demak. Sebagai orang yang
memimpin penaklukan tersebut, Syarif Hidayatullah langsung
diberikan wewenang oleh Sultan Trenggono untuk memimpin wilayah
Banten.

Pada tahun 1552, Syarif Hidayatullah diharuskan kembali ke


Cirebon. Cirebon merupakan wilayah yang dipimpin oleh Syarif
Hidayatullah sebelum Banten. Setelah berhasil menaklukkan Banten,
Syarif Hidayatullah diperintahkan oleh Sultan Trenggono untuk
mengatur wilayah tersebut sehingga wilayah Cirebon diserahkan
kepada salah seorang putra dari Syarif Hidayatullah yang bernama
Pangeran Pasarean. Namun, putra yang diberikan mandat untuk
memimpin wilayah Cirebon tersebut wafat mendahului ayahnya.
Alhasil, Syarif Hidayatullah pun hijrah ke Cirebon untuk menggantikan
putranya tersebut. Daerah Banten diserahkan kepada putra lainnya
yang bernama Hassanudin.

Pada tahun 1546, Sultan Trenggono, Sultan kerajaan Demak


gugur dalam penyerangan Kerajaan Demak ke Pasuruan. Hal ini
menyebabkan terjadinya kekacauan dalam tubuh Kerajaan Demak
sendiri. Negara-negara bagian atau kadipaten berusaha untuk
memisahkan diri. Kerajaan Banten yang saat itu dipimpin oleh

81
Hassanudin merupakan salah satu kadipaten yang ikut berusaha
melepaskan diri dari kerajaan induknya, Demak. Akhirnya pada tahun
1568, Banten benar-benar terlepas dari kerajaan Demak. Pada tahun
tersebut pula, Kerajaan Banten resmi berdiri dengan Maulana
Hassanudin sebagai Sultan pertamanya.

b. Masuknya Islam ke Banten

Sebelum zaman islam, yakni ketika masih berada dibawah


kekuasaan raja-raja sunda (dari pajajaran,atau mungkin sebelumnya),
Banten sudah menjadi kota yang berarti. Berdirinya kerajaan Islam
Banten ini bemula dari upaya sunan Gunung Jati dari Cirebon pada
tahun 1524 atau 1525 yang meletakan dasar bagi pengembangan
agama dan kerajaan islam serta bagi perdagangan orang-orang islam
disana. Menurut sumber tradisional, bahwa penguasa pajajaran
dibanten menerima sunan gunung jati dengan ramah tamah dan
tertarik masuk islam. Dia meratakan jalan bagi kegiatan pengislaman
disana.atas dasar dukungan ini, maka dengan segera ia menjadi orang
yang berkuasa atas kota itu dengan bantuan tentara jawa yang memang
dimintanya.

Peran ulama sejak berdirinya kesultanan banten sangat


menentukan.bahkan secara historis, berdirinya kesultanan banten itu
pada awalnya didahuluhi dengan upaya penyebaran agama islam.
Seperti telah diuraikan pendiri kerajaan Banten adalah salah seorang
dari wali sanga yaitu syarif hidayatullah atau sunan Gunung Jati.
Putranya yaitu Maulana Hasanudin,juga ikut menjadi penyebar islam.
Dilingkungan birokrasi kerajaan, dikenal dengan jabatan khadhi (hakim
agung).

82
Cirebon, mulai berdakwah di tanah Pasundan. Di Banten, beliau
menikah dengan adik dari Bupati setempat yang bernama Nyai
Kawunganten. Dari penikahannya ini, lahirlah dua anak, yakni Ratu
Winahon dan Hassanudin. Bersama putranya, Syarif Hidayatullah
menyebarkan agama Islam hingga ke arah Gunung Pulosari.

Setelah Syarif Hidayatullah kembali ke Cirebon, perjuangan


dakwah Islam di Banten dilanjutkan oleh Hassanudin. Beliau berkelana
dari Gunung Pulosari hingga Ujung Kulon. Dalam menyebarkan ajaran
Islam, Hasanuddin menggunakan budaya penduduk setempat. Karena
itu, dakwahnya cepat diterima oleh masyarakat. Cara ini terus
dilakukan oleh Hasanuddin hingga pada tahun 1525, beliau berhasil
merebut kekuasaan Banten dari kerajaan Sunda Padjajaran dan
mendirikan Kesultanan Islam. Mulai saat itu, Islam disebarkan di
Banten melalui kekuasaan.

Sultan maulan hasanudin banten menyebarkan agama islam, dan


karenanya perhatian orang-orang banten tertarik untuk memeluk
agama islam. Setelah banyak orang-orang yang memluk agama islam ia
memproklamasikan berdirinya kerajaan sebuah kerajaan yang disebut
kesultanan banten.

Sultan kedua yang memimpin Banten adalah Maulana Yusuf.


Beliau adalah putra pertama dari Sultan Maulana Hassanudin dengan
seorang putri Sultan Trenggono. Sama seperti ayahnya yang
menggantikan kakeknya, beliau juga mewarisi tahta ayahnya.
Sedangkan adiknya, Sunan Parwoto, menjadi Pangeran Jepara. Maulana
Yusuf memerintah selama 10 tahun mulai tahun 1570 hingga akhir
hayatnya pada tahun 1580. Seperti halnya islam masuk kewilayah
Indonesia,islam masuk ke wilayah banten juga dilakukan melalui

83
beberapa cara seperti para pedagang, perkawinan, pendidikan, dakwah,
dan akulturasi dan asimilasi perdagangan.

c. Masa Kejayaan Kerajaan Banten

Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan


Sultan Ageng Tirtayasa. Kejayaan tersebut berhasil diraih dalam
berbagai bidang seperti politik, ekonomi, perdagangan, kebudayaan,
maupun keagamaan. Dalam bidang politik misalnya, Banten selalu
membangun hubungan persahabatan dengan daerah-daerah lainnya.
Daerah-daerah sahabat Banten yang berada di wilayah nusantara
antara lain Cirebon, Lampung, Gowa, Ternate, dan Aceh. Selain itu,
Kesultanan Banten juga menjalin hubungan persahabatan dengan
negara-negara lain yang jauh dari nusantara. Salah satunya adalah
dengan mengirim utusan diplomatik ke Inggris yang dipimpin oleh
Tumenggung Naya Wipraya dan Jaya Sedana pada 10 November 1681.

Dalam bidang ekonomi, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil


mengembangkan perdagangan Banten. Pada masanya, Banten menjadi
salah satu tempat transit utama perdagangan internasional. Pedagang-
pedagang dari berbagai negara, seperti Inggris, Perancis, Denmark,
Portugis, Iran, India, Arab, Cina, Jepang, Filipina, Malayu, dan Turki
datang ke sini untuk memasarkan barang komoditas dari negeri
mereka. Walaupun saat itu Banten menghadapi persaingan dengan
VOC, tetapi Sultan Ageng Tirtayasa tetap mampu menarik pedagang
mancanegara tersebut untuk tetap berdagang di Banten. Hal ini
disebabkan Banten tidak menerapkan monopoli perdagangan seperti
yang dijalankan oleh VOC.

Sultan Ageng Tirtayasa juga mendirikan keraton baru di wilayah


Tirtayasa untuk memperkuat pertahanan kesultanannya. Dengan

84
pembangunan keraton ini, wilayah Tirtayasa terus dibuka. Beliau
membangun jalan dari Pontang ke Tirtayasa. Tidak hanya itu, Sultan
Ageng juga membuka lahan-lahan persawahan sepanjang jalan tersebut
serta mengembangkan pemukiman warga di daerah Tangerang.

d. Keruntuhan Kerajaan Banten

Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa, Belanda sudah


memulai taktik untuk menghancurkan Banten dari dalam, yakni dengan
menghasut Sultan Haji, putra dari Sultan Ageng Tirtayasa. Belanda
mengadu domba Sultan Haji dengan ayahnya. Mereka menyebarkan isu
bahwa orang yang akan menjadi pewaris tahta Banten adalah Pangeran
Purbaya saudara Sultan Haji. Hal ini membuat Sultan Haji merasa iri
hati dan memutuskan untuk melancarkan serangan melawan ayahnya
sendiri.

Dengan bantuan Belanda, Sultan Haji akhirnya dapat


melumpuhkan kesultanan Banten. Bahkan, karena peperangan antara
ayah dan anak ini, Keraton Surosowan yang dibangun oleh nenek
moyangnya hancur rata dengan tanah. Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya
dipenjara di Batavia hingga meninggal pada tahun 1692. Alhasil, Sultan
Haji yang bekerja sama dengan Belanda pun naik tahta.

Sejak saat itu, Kesultanan Banten sangat dipengaruhi oleh


Belanda. Terlebih lagi setelah Sultan Haji mengadakan perjanjian
dengan pihak Belanda. Namun, perjanjian yang dilakukan oleh Sultan
Haji dengan Belanda ini justru merugikan Sultan Haji. Beliau harus
membayar 12.000 ringgit dan menyetujui pendirian Benteng Speelwijk.
Akibatnya, ekonomi dan politik Banten di monopoli oleh Belanda.
Pergantian sultan selalu dicampuri dengan kepentingan Belanda.
Pemberontakan pun terus terjadi. Kesultanan Banten perlahan-lahan

85
mulai mengalami kemunduran. Puncaknya, pada tahun 1808 Belanda
menghancurkan Istana Surosowan dan menggantinya dengan
Kabupaten Serang, Waringin, dan Lebak di bawah pemerintahan
Hindia-Belanda. Pada tahun 1813, Pemerintahan Inggris membubarkan
Kesultanan Banten dan Pangeran Syafiudin yang sedang berkuasa
dipaksa untuk turun tahta. Saat itulah Kesultanan Banten runtuh.

e. Peninggalan Kerajaan Banten

Peninggalan pertama dari Kesultanan Banten adalah Masjid


Agung Banten. Masjid Agung Banten jdibangun oleh Sultan Banten,
yakni Maulana Hassanuddin dan putranya Maulana Yusuf pada bulan
Dzulhijjah tahun 966 H atau 1566 M. Masjid Agung ini merupakan salah
satu peninggalan yang sangat penting dikarenakan itu adalah salah satu
dari 4 komponen utama yang “wajib” ada di pusat kota Jawa zaman
dahulu. Masjid ini berlokasi di Desa Banten Lama, Kecamatan Kasemen,
Kota Serang, Provinsi Banten.

Masjid Agung Banten memiliki keunikan arsitektur tersendiri.


Hal ini dikarenakan Masjid Agung Banten dirancang oleh tiga orang
arsitek yang berasal dari tiga bangsa yang berbeda. Tiga orang
arsitektur tersebut adalah Raden Sepat, seorang arsitek yang berasal
dari Majapahit yang juga menggarap Masjid Cirebon, Tjek Ban Tjut yang
berasal dari Cina serta Hendrik Lucaz Cardeel, seorang Belanda yang
sudah masuk Islam dan menjadi anggota kesultanan. Masjid ini
memiliki tiga corak arsitektur yang berbeda. Yang pertama, arsitektur
lokal yang bisa terlihat dari empat sakaguru yang menopang masjid ini.
Di tengahnya terdapat mimbar berukiran lokal. Arsitektur kedua adalah
Cina yang terlihat dari bentuk atap paling atas masjid yang khas dengan
bentuk atap Cina. Selain menegaskan kebudayaan Cina, atap masjid
yang bertingkat lima juga menyimbolkan rukun Islam. Arsitektur yang

86
ketiga adalah Belanda yang dipoleskan pada Menara setinggi 24 m yang
berdiri tegak di sebelah timur masjid. Dengan model tangga spiral serta
kepala dua tingkatnya, menara ini menjadi pelengkap tiga kebudayaan
yang diabadikan. Pada zaman dahulu menara ini difungsikan untuk
mengumandangkan adzan serta sebagai menara pandang lepas pantai
atau mercusuar. Karena hasil karyanya ini, dua dari mereka
dianugerahi gelar Bangsawan yaitu Tjek Ban Tjut yang diberi nama
Pangeran Adiguna dan Hendrik Lucaz Cardeel dengan nama Pangeran
Wiraguna.

Selain bangunan-bangunan di atas, di kompleks masjid ini juga


ada sebuah paviliun di sebelah selatan masjid yang bernama Tiyamah.
Bangunan ini berbentuk persegi empat bertingkat. Bangunan ini
biasanya digunakan untuk musyawarah tentang permasalahan
keagamaan. Di kawasan ini terdapat juga makam Raja- raja Kesultanan
Banten. Kini masjid ini menjadi salah satu objek wisata yang padat
dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai daerah yang biasanya
bermaksud untuk berziarah. Namun, tidak jarang juga masjid ini
menjadi tujuan bagi turis-turis asing yang ingin melihat keindahan sisa-
sisa kejayaan Kesultanan Banten.

Peninggalan lain dari Kesultanan Banten adalah Keraton


Surosowan. Keraton Surosowan pertama kali didirikan oleh Sultan
Hassanudin (1552-1570). Nama Surosowan diberikan oleh sultan
sendiri dengan petunjuk dari ayahnya, Sunan Gunung Jati. Surosowan
juga memiliki nama-nama lain seperti gedong kedaton Pakuwuan dan
"Fort Diamond" yang berarti kota intan. Nama “Fort Diamond” diberikan
oleh orang-orang Belanda.

Sejak pertama kali dibangun, Keraton Surosowan telah


mengalami berbagai perubahan bentuk. Mengikuti pola yang sama

87
dengan pusat kota Jawa pada umumnya, keraton ini terletak di sebelah
selatan alun-alun dengan masjid di sebelah barat keraton, pasar
karatangu di sebelah timurnya, dan dilengkapi dengan pelabuhan yang
ada di sebelah utara. Di keraton ini juga diletakkan sebuah batu
keramat yang juga terdapat di alun-alun bernama Watu Gilang. Konon,
batu ini merupakan mandat dari Sunan Gunung Jati. Jika batu ini
bergeser dari tempatnya, itu berarti tidak lama lagi Kesultanan Banten
akan mengalami keruntuhan. Pada tahun 1596, keraton ini masih
terlihat sangat sederhana yakni berupa bangunan rumah yang
dikelilingi oleh pagar dan beberapa bangunan yang berada di selatan
alun-alun.

Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Keraton ini


mengalami kehancuran total hingga rata dengan tanah akibat adanya
perang antara Sultan dengan anaknya sendiri yakni Sultan Haji. Setelah
Sultan Haji naik tahta, keraton Surosowan dibangun kembali dengan
bantuan Belanda. Bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek Belanda
yang bernama Hendrik Lucaszoon Cardeel pada tahin 1680-1681.
Namun, pada tahun 1808, keraton ini kembali dihancurkan oleh
Belanda setelah terjadi perselisihan antara Sultan dengan Belanda. Dan
sekarang sisa-sisa reruntuhan Keraton Surosowan ini kita lihat di
Kampung Kasemen, kecamatan Kasemen, kabupaten Serang.

Selain dua peninggalan di atas, masih ada beberapa peninggalan


lainnya. Salah satunya adalah Benteng Speelwijk. Benteng ini didirikan
pada tahun 1684-1685. Namanya diambil dari nama seorang gubernur
Jenderal VOC yang bernama Speelma. Bangunan ini diarsitekturi
oleh Hendrik Lucaszoon Cardeel yang juga merancang arsitektur Masjid
Agung Banten. Benteng Speelwijk merupakan lambang keruntuhan

88
kedaulatan dan independensi Kesultanan Banten. Dengan didirikannya
benteng ini oleh VOC, berarti Kesultanan Banten sudah berada di bawah
kendali VOC

DAFTAR PUSTAKA

Auliahadi, Arki.2019. Tumbuh dan Berkembangnya Kerajaan-Kerajaan


Islam di Sumatera dan Jawa : Majalah Ilmiah Tabuah
vol.23 No.1 Edisi Januari-Juni 2019 diakses dari
https://doi.org/10.15548/tabuahv2311.210

Historia.Corak Asing di Kesultanan Cirebon diakses dari


https://historia.id › Agam

Faris, Salman.2014. Islam dan Budaya Lokal (Studi atas Tradisi


Keislaman Masyarakat Jawa): dalam jurnal Thaqafiyyat,
Vol.15, No.1 diakses dari https://osf.io/k2fjv/download

Marzuki. Tradisi dan Budaya Masyarakat Jawa dalam Perspektif Islam

Rahata, Ringgo.2019.Masa Islam sejarah singkat kerajaan cirebon –


Neliti diakses dari https://media.neliti.com › media ›
publications › 2.

89
BAB 5
KERAJAN KERAJAN ISLAM DI PEDALMAN JAWA
TENGAH
A. LATAR BELAKANG

Jawa Tengah merupakan salah satu daerah yang memegang


peranan penting dalam penyebaran Islam di pulau Jawa. Hal ini tidak
tidak terlepas dari berdirinya Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam
pertama di Pulau Jawa sehingga proses penyebaran islam ke
daerahdaerah semakin mudah. Selain itu penyebaran agama Islam di
tanah Jawa juga tidak lepas dari kontribusi tokoh ulama yang lebih
dikenal dengan nama walisongo atau wali sembilan. Para wali inilah
yang menyebarkan Islam di tanah Jawa terutama Jawa Tengah dan Jawa
Timur.

Keterikatan antara Kerajaan Demak dan walisongo sangatlah


erat. Walisongo disamping menyiarkan agama islam, mereka juga
bertindak sebagai penasehat kerajaan sehingga kerajaan bisa
mengambil kebijakan yang bisa mendorong tersebarnya islam di pulau
jawa kususnya dan kepulauan nusantara umumnya. Dalam rangka
mendukung peyebaran islam di nusantara, para walisongo juga tidak
lupa membangun masjid sebagaimana yang dulu pernah dilkakukan
oleh nabi Muhammad saw sesampainya di kota Madinah. Hal ini
dikarenakan, masjid memilki peranan yang sangat penting dalam islam.

Di bagian selatan Jawa, ada salah satu kerajaan islam yang


sangat besar pengaruhnya dalam penyebaran islam yaitu Kerajaan
Mataram Islam. Secara tidak langsung, kerjaan merupakan kelanjutan
dari Kerajaan Demak. Hal ini dikarenakan setelah kehancuran Demak,

90
pusat pemerintahan dipindahkan ke Pajang. Kemudian dipindahkan ke
Mataram.

Banyak peninggalan-peninggalan yang ditinggalakan oleh islam


pada masa penyebaran. Peninggalan tersebut anatar lain adalah
bagunan masjid yang masih kokoh berdiri sampai dengan seperti
masjid agung demak, masjid menara kudus, dan masjid kauman
semarang. Di samping itu measih berdiri pula keraton seperti keraton
Surakarta dan keraton Yogyakarta yang merupakan peninggalan
kerajaan mataram. Peninggalan-peninggalan tersebut masih kokoh
berdiri sampai dengan sekarang. Bangunan tersebut melambangkan
pesatnya perkembangan isalam pada masa lalu dan sebagai saksi
penyebaran islam di pulau Jawa khususnya jawa tengah sehingga islam
dinaut oleh banyak orang hingga sekarang ini.

LETAK GEOGRAFIS JAWA TENGAH

Jawa tengah yamg beribu kotakan Semarang Sampai sekarang


daerah Jawa Tengah secara administratif merupakan sebuah propinsi
yang ditetapkan dengan Undang-undang No. 10/1950 tanggal 4 Juli
1950.

Jawa Tengah sebagai salah satu Propinsi di Jawa, letaknya diapit


oleh dua Propinsi besar, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur. Letaknya
5º40′ dan 8º30′ Lintang Selatan dan antara 108º30′ dan 111º30′ Bujur

91
Timur (termasuk Pulau Karimunjawa). Jarak terjauh dari Barat ke
Timur adalah 263 Km dan dari Utara ke Selatan 226 Km (tidak
termasuk pulau Karimunjawa).

Sejak abad VII, banyak terdapat pemerintahan kerajaan yang


berdiri di Jawa Tengah (Central Java), yaitu: Kerajaan Budha Kalingga,
Jepara yang diperintah oleh Ratu Sima pada tahun 674. Menurut
naskah/prasasti Canggah tahun 732, kerajaan Hindu lahir di Medang
Kamulan, Jawa Tengah dengan nama Raja Sanjaya atau Rakai Mataram.
Dibawah pemerintahan Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya, ia
membangun Candi Rorojonggrang atau Candi Prambanan. Kerajaan
Mataram Budha yang juga lahir di Jawa Tengah selama era
pemerintahan Dinasti Syailendra, mereka membangun candi-candi
seperi Candi Borobudur, Candi Sewu, Candi Kalasan dll.

Pada abad 16 setelah runtuhnya kerajaan Majapahit Hindu,


kerajaan Islam muncul di Demak, sejak itulah Agama Islam disebarkan
di Jawa Tengah. Setelah kerajaan Demak runtuh, Djoko Tingkir anak
menantu Raja Demak (Sultan Trenggono) memindahkan kerajaan
Demak ke Pajang (dekat Solo). Dan menyatakan diri sebagai Raja
Kerajaan Pajang dan bergelar Sultan Adiwijaya. Selama
pemerintahannya terjadi kerusuhan dan pemberontakan. Perang yang
paling besar adalah antara Sultan Adiwijaya melawan Aryo Penangsang.
Sultan Adiwijaya menugaskan Danang Sutowijaya untuk menumpas
pemberontakan Aryo Penangsang dan berhasil membunuh Aryo
Penangsang. Dikarenakan jasanya yang besar kepada Kerajaan Pajang,
Sultan Adiwijaya memberikan hadiah tanah Mataram kepada
Sutowijaya. Setelah Pajang runtuh ia menjadi Raja Mataram Islam
pertama di Jawa Tengah dan bergelar Panembahan Senopati.

92
Di pertengahan abad 16 bangsa Portugis dan Spanyol datang ke
Indonesia dalam usaha mencari rempah-rempah yang akan
diperdagangkan di Eropa. Pada saat yang sama, bangsa Inggris dan
kemudian bangsa Belanda datang ke Indonesia juga. Dengan VOC-nya
bangsa Belanda menindas bangsa Indonesia termasuk rakyat Jawa
Tengah baik dibidang politik maupun ekonomi.

Di awal abad 18 Kerajaan Mataram diperintah oleh Sri Sunan


Pakubuwono II, setelah beliau wafat muncul perselisihan diantara
keluarga raja yang ingin memilih/menunjuk raja baru. Perselisihan
bertambah keruh setelah adanya campur tangan pemerintah Kolonial
Belanda pada perselisihan keluarga raja tersebut. Pertikaian ini
akhirnya diselesaikan dengan Perjanjian Gianti tahun 1755. Kerajaan
Mataram terbagi menjadi dua kerajaan yang lebih kecil yaitu Surakarta
Hadiningrat atau Kraton Kasunanan di Surakarta dan Ngayogyakarta
Hadiningrat atau Kraton Kasultanan di Yogyakarta.

Proses masuknya Islam di Jawa Tengah

Ahli-ahli sejarah tampaknya sependapat bahwa penyebar Islam


di Jawa adalah para Wali Songo. Mereka tidak hanya berkuasa dalam
lapangan keagamaan, tetapi juga dalam hal pemerintahan dan politik.
Bahkan, seringkali seorang raja seakan-akan baru sah sebagai raja
kalau ia sudah diakui dan diberikan oleh Wali Songo. Islam telah
tersebar di pulau jawa,paling tidak sejak Malik Ibrahim dan Maulana
Ishak yang bergelar Syaikh Awal Al-islam diutus sebagai juru dakwah
oleh Raja Samudera, Sultan Zainal Abidin Bahiyah Syah (1349-1406 M),
seorang raja pertama yang benar-benar muslim.

93
Menurut Taufik Abdullah, sampai dengan abad ke-7 atau 8 M,
islam sudah masuk ke Indonesia, tetapi hanya dianut oleh para
pedagang Timur Tengah di pelabuhan – pelabuhan. Baru pada abad ke-
13 H / 14 M, sekitar tahun 1524-1546 M penduduk pribumi memeluk
Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk
Islamnya penduduk nusantara secara besar-besaran pada abad
tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan
politik yang berarti. yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa
kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka,
Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini
berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para
pendatang Arab.

Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga


disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan
Hindu maupun Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan
Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan
bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya
bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan
jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan
politik.

Kerajaan dan Pusat Penyebaran Islam Di Jawa Tengah

Masuk dan berkembangnya agama islam ke pedalaman jawa


agaknya berjalan lambat,kelambatan ini bukan saja karena sulitnya
hubungan antara kota kota pusat perkembangan agama islam di daerah
pantai pantai dengan daerah daerah pedalaman tetapi karena mashi

94
kuatnya pengarruh agama dan kebudayan lam seperti hindu dan
budaha.

Masuk dan menyebarnya agama islam ke daerah pedalaman


bersaman dengan ekspansi militer yang dilancarkan oleh
demak .namun usaha penyebaran agama Isalam lebih banyak dilakuka
oleh usaha para guru guru agama dan orang orang saleh mereka
dikemudian hari menjadi tokoh tokoh yang terkenal di
pedalaman.mereka memasuki pedalaman melalui jalur darat yang
sudah ada.

Kapan islam mulai masuk ke pedalaman belum bisa dipastikan


namun yang sudah jelas sebelum abad ke 15 itu pun blum dapat
dikatakan lancar,sampai dan selama abad ke 16 agama islam mashi di
pandang sebagai suatu yang asing bagi masyarakat
pedalaman.masuknya agama islam ke pedalaman tentu saja ada
perlawan drai rakyat jawa mengingat ajaran hindu pada saat itu mashi
sangat kuat,sehingga akibatnya domestikasi atau perjinakan
penyebarnya menjadi lebih sinkretis namun akhirnya memberi corak
dan nuansa tersendiri di islam.

Bahasa jawa dijadikan sebagai bahasa pengantar dalam


mengajarakan agama islam tidak seperti biasanya yang bergantung
pada bahasa arab.sistem dan proses pendidikannya dalam pesantren
ajaranya juga lebih bersifat mistis,ajaran ajaran itu dirumusakan dalam
himpunan syair syair yang dikemudian lebih dikenal sebagi buku buku
suluk atau primbon.

Islam di pedalam ini memberikan varian baru dalam islam,agama


berjalan bersama dengan adat istiadat sehingga islam di pedalaman ini
lebih dikenal sebagai ISLAM JAWI {KEJAWEN}

95
Terdapat beberapa kerajaan-kerajaan islam di jawa tengah dan
kota pusat penyebaran agama. Kerajaan tersebut anatar lain kerjaan
Pajang, Kerajaan Mataram Islam. Adapaun salah satu kota pusat
penyebaran adalah kota kudus.

KERAJAN PENGGING

Kerajaan Pengging

Pengging terletak di lereng tenggara gunung Merapi antara kota


Boyolali atau Boyolali Klaten dan Kartasura sekarang, kelak daerah
Pengging ini akan tetap menjadi inti daerah wilayah kerajaan pajang.
Sejak dulu daerah Pengging sangat subur tanahnya dan merupakan
gudang beras, karena terletak diantara daerah aliran sungai Pepe dan
kali dengkeng yang keduanya bermuara ke induk sungai Bengawan Sala
(Solo) bagian udik yang dahulu bernama Bengawan Wiluyu.

Sebelum 1000 M, daerah lembah Bengawan salah ini yang membentang


ke timur sampai di lereng gunung Lawu, rupanya secara politis dan
ekonomis kurang penting dibandingkan dengan daerah Mataram yang
terletak di sebelah barat diantara apitan kali Progo dan kali opak. Di
daerah ini lebih banyak ditinggalkan candi-candi yang sangat terkenal
di Jawa tengah bagian Selatan, sehingga rupanya di daerah ini terletak
pusat-pusat kerajaan Hindu yang memerintah di Jawa selama berabad-
abad sebelum dan sesudah tahun 1000. Di sini pula banyak didapatkan
prasasti-prasasti yang berupa batu dan lempengan tembaga dari raja-
raja Mataram kuno.

Namun di daerah lembah Bengawan salah telah didapatkan 1 prasasti


yang terkenal sebagai prasasti penambangan yang berangka tahun 903
M. Prasasti ini menjelaskan adanya penambangan sungai Bengawan
sala dengan perahu tambang di daerah Wonogiri sekarang, suatu

96
petunjuk telah adanya jalan perdagangan lama yang bersilangan di
bagian Udik Bengawan sala tersebut.

Penguasa Pengging

Raja pertama Pengging bernama Andayaningrat. Kedudukan raja


Pengging dapat ditunjukkan di lereng tenggara gunung Merapi, masih
termasuk daerah aliran Bengawan sala. Wilayah kekuasaannya meliputi
daerah bayalali selatan ditambah daerah kabupaten Klaten sekarang.

Tokoh raja "kafir" Andayaningrat masih mempunyai hubungan


kekeluargaan dengan keluarga raja Majapahit dan keturunan Patih
gajah Mada. Iya pernah berjasa kepada Majapahit dalam memerangi
dan menaklukkan Blambangan dan Bali dengan bantuan Sapulaga dari
Probolinggo. Demikianlah raja Menak Badong (dari Badung-Denpasar)
dapat di taklukannya. Sebagai hadiah atas jasanya terhadap keluarga
raja, Andayaningrat telah mendapat putri Majapahit sebagai istri.

Dalam mitos Andayaningrat dipandang sebagai raja dari


masyarakat bajul (buaya) di Bengawan Sala, yang merupakan asal usul
ayahnya, Bajul Sengara dari Semanggi. Masyarakat bajul ini pula yg
membantu Andayaningrat dalam mencapai kemenangan di
Balmbangan dan Bali.

Runtuhnya Kerajaan Pengging

Untuk mematahkan Pengging mula-mula Sultan Demak


mengutus orang kepercayaannya, Ki wanapala, dan karena tidak
berhasil kemudian mengutus sunan Kudus. Sementara para penguasa di
Tingkir, Butuh dan Ngerang telah bersedia menyerah, Ki kebo kenanga
(Ki Ageng Pengging) tetap mempertahankan pendiriannya dalam
perang lidah tentang "ilmu" (sami tarung bantah ing ngelmunipun;

97
mereka berbantahan mengenai ilmu kebatinan) untuk tidak
menghadap ke Demak. Akhirnya ia dibunuh oleh sunan Kudus. Karena
anak laki-lakinya, Mas Karebet, satu satunya pewaris, masih terlalu
muda, yang menetap di Pajang, maka sesudah Ki kebo kenanga tidak
ada penguasa lagi di Pengging. Ki kebo kenanga adalah raja Pengging
terakhir.

Tindakan kekerasan sunan Kudus di Pengging ini diperkirakan terjadi


pada permulaan dasawarsa keempat abad ke 16. Tindakan sunan
Kudus terhadap Ki kebo kenanga sama teganya dengan tindakannya
terhadap syekh Siti Jenar, guru mistik Ki kebo kenanga. Ajarannya
dipandang menyimpang dari Islam (bidah). Kedua orang guru dan
murid, syekh Siti Jenar dan Ki kebo kenanga dipandang sebagai
penghujat Allah.

Kerajaan Demak

Demak adalah kesultanan Islam pertama di pulau Jawa.Sebelum


berdirinya Kesultanan Demak, beberapa pelabuhan perdagangan Islam
telah dikembangkan di Jawa, seperti Jepara, Tuban dan Gresik, namun
kota-kota niaga ini masih dalam penguasaan Majapahit. Demak adalah
wilayah yang diberikan Brawijaya V kepada putranya Raden Fatah.
Banyaknya sungai dan pantai di kawasan itu memungkinkan Demak
berkembang karena mendapat dukungan Syah Bandar dari Tuban,
Gresik dan Ampeldenta, serta para pedagang Islam, dan juga memiliki
kekayaan potensi sumber daya alam. Selama tahun 1476-1478, Demak
menjadi daerah yang ramai, pusat ilmu pengetahuan dan penyebaran
agama Islam. Sejak Raden Fatah mengambil alih kekuasaan, Demak
juga memiliki pelabuhanbesar yang berfungsi sebagai transportasi

98
nelayan dan perdagangan, hingga Kesultanan menjadi Kerajaan Islam
pertama di Jawa.

Kesultanan Demak didirikan oleh Raden Fatah, pada tahun 1478.


Raden Fatah lahir di Palembang pada tahun 1448 M, dengan nama
panggilan Raden Hasan. Pada saat yang sama, versi cina menunjukkan
bahwa nama panggilan Raden Fatah adalah Jin-Bun (Jimbun) yang
berarti orang yang kuat. Ayahnya adalah seorang raja Kerajaan
Majapahit bernama Kertabumi Prabu Brawijaya V. Jika dirunut, Raden
Fatah merupakan putra ke 13 dari 100 putra Raja Brawijaya V. Dan
ibunya adalah putri Dwarawati dari Campa. Saudara laki-laki seibu
Raden Fatah bernama Raden Husein, yang kemudian dikenal sebagai
Adipati Terung. Hal ini dikarenakan ibunya kemudian menikah dengan
ayah kandung Raden Husein, Ario Damar. Raden Fatah belajar pada
Sunan Ampel saat masih remaja. Sunan Ampel kemudian
memerintahkan Raden Fatah untuk berdakwah ke Gelagahwangi .

Sebagai kesultanan Islam pertama di pulau Jawa, Kesultanan


Demak memegang peranan penting dalam proses islamisasi saat itu.
Kesultanan Demak berkembang menjadi pusat perdagangan dan pusat
penyebaran Islam.Wilayah Demak meliputi beberapa wilayah di Jepara,
Tuban, Sedayu Palembang, Jambi dan Kalimantan.Selain itu Kesultanan
Demak juga memiliki pelabuhan-pelabuhan penting seperti Jepara,
Tuban, Sedayu, Jaratan dan Gresik yang telah berkembang menjadi
pelabuhan penghubung.Secara strategis daerah Demak terletak di tepi
sungai selat diantara pegunungan Muria dan Jawa. Tempat ini akhirnya
menjadi pusat perdagangan bagi para pedagang muslim. Banyak dari
mereka melakukan aktivitas perdagangan di selat ini dan saling
berdagang. Selain menjual belikan daganganya para pedagangmuslim

99
ini juga sedikit banyak melakukan penyebaran ajaran agama Islam
kepada masyarakat yang pada masa itu masyarakat juga sudah
memeluk agama Islam.Pedagang terus berdatangan ke Demak Bintoro,
selain ramaiberdagang, tempat ini juga diuntungkan karena letaknya
yangstrategis dan dukungan teori pedagang yang baik, yang menarik
para pedagang untuk datang ke sana.

Brawijaya V bangga mendengar laporan bahwa putranya Raden


Fatah telah berhasil mengembangkan daerah Demak, dengan semakin
banyak pedagang yang mengunjungi pelabuhan di daerah
tersebut.Untuk mengapresiasi keberhasilannya, Brawijaya V berniat

mengangkat Raden Fatah sebagai Adipati Demak. Penunjukan tersebut


terjadi pada tahun 1477 Masehi. Berkat dukungan masyarakat sekitar,
para wali dan pedagang muslim, Kadipaten Demak semakin maju.
Wilayahnya meliputi Surabaya, Madura, Gresik, Tuban, bahkan Kendal
dan Cirebon di sebelah barat. Setelah pasukan Majapahit dapat
dikalahkan pada tahun 1481 M oleh pasukan Kadipaten Demak, para
Walisongo menyarankan agar Raden Fatah menyerahkan pemerintahan
Kerajaan Majapahit, kepada Sunan Giri untuk sementara waktu,
sembari melihat perkembangan akibat dari jatuhnya pemerintahan
Prabu Girindrawardhana dan juga menunggu saat yang tepat untuk
penobatan Raden Fattah menjadi Sultan Kesultanan Demak. Sunan
Ampel dan Sunan Bonang memberi Raden Fatah gelar Sultan Fatah
Syeh Alam Akbar Panembahan Jimbun Abdul Rahman Sayyidin
Panatagama Sirullah Khalifatullah Amiril Mukminin Hajjuddin Khamid
Khan Abdul Suryo Alam di Bintoro Demak .

Letak Demak sebagai sebuah kerajaan sangat strategis terutama


untuk kepentingan perdagangan dalam skala nasional.Strategis karena
menghubungkan jalur perdagangan antara bagian Barat Indonesia

100
dengan bagian Timur Indonesia.Setelah kehancuran Majapahit, Demak
berkembang menjadi sebuah kerajaan yang makmur di pulau Jawa, di
bawah pimpinan Raden Patah.Dilihat dari posisinya, Kesultanan Demak
sangat strategis karena terletak di utara Pulau Jawa atau dipesisir
pantai Utara Pulau Jawa.Dalam jalur perdagangan nusantara, Demak
berperan sebagai penghubung antara daerah penghasil rempah-rempah
di bagian barat Indonesia dan daerah penghasil rempah-rempah di
bagian timur Indonesia.Pada zaman dulu Demak terletak di pinggir
pantai Selat Muria yang memisahkan Jawa dari pegunungan
Muria.Sampai sekitar abad ke-17 selat cukup lebar dan dalam serta
dapat dilayari, sehingga kapalkapal para pedagang dari Semarang dapat
mengambil jalan pintas berlayar melalui Demak dan terus ke
Rembang.Kemudian Demak berkembang menjadi pelabuhan yang amat
penting, karena pelayaran dunia yang melintang di laut Nusantara dari
Malaka ke Maluku dan sebaliknya mesti melalui dan transit di Bandar
Demak.Selain bergerak di bidang maritim, Demak juga bergerak di
bidang pertanian.Demak juga memperhatikan masalah pertanian,
sehingga beras menjadi salah satu hasil pertanian dan komoditas
perdagangan utama Demak.Berkat lancarnya aliran sungai, pertanian di
Demak bisa sukses.Pada abad ke-16, Demak menjadi pusat
penimbunanberas dari daerah di sepanjang Selat Muria.Sehingga pada
akhirnya Demak menjadi satu-satunya eksportir produk beras di lautan
Indonesia, dan ekspor lainnya adalah kain tenun Jawa. Kain tenun Jawa
sebanding dengan tekstil yang diimpor dari India atau Cina .

Penyerangan ke Malaka telah direncanakan sejak tahun


1509.Saatitu armada Demark terkonsentrasi di Jepara, namun Portugis
telahmenyerang dan menduduki Malaka pada tahun 1511.Oleh karena
itu, serangan Demak baru dilakukan pada tahun 1512, namun
gagal.Konfrontasi antara Demak dan Portugis tidak hanya bersifat

101
religius, tetapi juga bermotif ekonomi, karena dengan kedatangan
Portugis di Malaka, hubungan antara Jawa dan Malaka terputus,
sehingga sisa produk produksi Jawa tidak dapat diekspor ke Malaka
sebagai Pelabuhan penghubung. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis
menjadikan Palembang yang merupakan bekas pelabuhan internasional
dan bekas pusat Kerajaan Sriwijaya, tidak hanya sangat penting bagi
para pedagang muslim dari Malaka yang tidak mau mengalah pada
Portugis, tetapi juga bagi para pedagang Jawa dan Cina, banyak
pedagang Malaka mengungsi ke Sumatera Utara (Aceh), Palembang,
dan tempat-tempat lain di mana banyak Muslim sudah tinggal. Selain
mengekspor beras, pedagang Jawa juga membawa rempah-rempah dari
daerah Maluku ke Palembang, sedangkan pedagang Cina juga pergi ke
Palembang untuk mencari rempahrempah yang sangat diminati di
pasar dunia, kemungkinan besar mendatangkan lada kualitas tinggi
dari Lampung

Pada tahun 1513, Portugis menguasai Malaka.Kehadiran


Portugis mengancam keselamatan Demak.Demak menyerang Portugis
dengan kekuatannya sendiri.Penyerangan tersebut dipimpin oleh Pati
Unus atau Pangeran Sabrang Lor.Adipati Unus atau Pati Unus
mengerahkan armada yang dipusatkan di Jepara.Dalam penyerangan
tersebut, Pati Unus dibantu oleh Palembang.Namun, serangan ini tidak
berhasil menyingkirkan Portugis yang menguasai Malaka, dan
kegagalan itu tidak menghentikan Demak.Beberapa waktu kemudian,
Raden Fatah kembali memerintahkan penyerangan terhadap Portugis
di Malaka.Serangan kedua dipimpin oleh Ratu Kalinyamat, cucu Raden
Fatah.Bahkan percobaan kedua tidak berhasil, karena Portugis semakin
kuat.Serangan kedua adalah serangan terakhir Raden Fatah terhadap
Portugis di Malaka.Karena pada tahun 1518, Raden Fatah wafat.
Selama Raden Fatah menjabat sebagai Sultan Demak, ia memiliki tiga

102
istri. Mereka adalah PutriSunan Ampel yang melahirkan Pangeran
Sabrang Lor dan Raden Trengono, dan Putri dari Randu Sanga yang
melahirkan Raden Kanduruwun, serta putri Bupati Jipang yang
melahirkan Pangeran Sekar Seda Ing Lepen dan Ratu Mas Nyawa.
Menurut kronik Cina, Raden Fatah meninggal pada tahun 1518 pada
usia 63 tahun. Setelah Raden fatah meninggal, tahta kesultanan Demak
diduduki oleh Pangeran Sebrang Lor. Pati Unus, sebagai Raja Demak
kedua, meninggal pada tahun 1521. Pati Unus ini tidak mempunyai
keturunan, maka adiknya yang bernama Sultan Trenggono
menggantikannya sebagai sultan Demak .

Menurut Serat Kandha, raja ketiga Demak, Sultan Trenggono,


adik Adipati Unus, berkuasa dari tahun 1521 sampai 1546. Selama
pemerintahannya, Sultan Trenggono melancarkan serangkaian aksi
militer untuk menguasai beberapa pelabuhan di bagian utara Jawa dan
hampir semua wilayah bekas kekuasaan Majapahit.Demak berusaha
menaklukkan daerah bekas kekuasaan Majapahit di pedalaman Jawa
bagian timur.Pada tahun 1513, di bawah kepemimpinan De Alvin,
Portugis memimpin armada dengan empat kapal untuk mencapai
Sunda Kelapa.Mereka datang untuk mencari rempah-rempah karena
mendengar bahwa Sunda Kelapa adalah salah satu pelabuhan lada
utama di nusantara.Menurut catatan perjalanan Tome Pires, Sunda
Kelapa adalah pelabuhan yang sibuktetapi teratur pada saat itu.Pada
tanggal 21 Agustus 1522 ditandatangani perjanjian antara Portugis dan
Kerajaan Sunda Pajajaran, yang dicantumkan dalam Prasasti Batu
Padrao. Perjanjian tersebut menetapkan bahwa raja akan menggunakan
tanah di muara sungai Ciliwung sebagai tempat berlabuhnya kapal
Portugis dan setuju untuk mendirikan pos perdagangan dan benteng di
Sunda Kelapa. Kesepakatan antara Kerajaan Pajajaran dan Portugis
mendapat ketidakpuasan dari penguasa Kesultanan Demak. Mereka

103
percaya bahwa masuknya Portugis ke Jawa akan menghancurkan
perdagangan dan transportasi pulau tersebut. Karena itu, Perjanjian ini
mendorong Demak untuk memperluas kekuasaan dan menaklukan
Kerajaan Pajajaran. Demak pun membuat strategi untuk melumpuhkan
kekuasaan Kerajaan Pajajaran, bukannya langsung menyerang pusat
kekuasaannya, Demak lebih dulu menguasai Banten.

Sultan Trenggono memberangkatkan Fatahillah dan banyak


pasukan Kesultanan Demak untuk menyerang dan menguasai Banten.
Setelah berhasil menguasai kota pelabuhan Banten, Demakkemudian
menguasai Sunda Kelapa, yang merupakan kota pelabuhan utama yang
penting dan makmur milik Pajajaran. Setelah Demak berhasil
menguasai Sunda Kelapa, pada tahun 1527 Alfonso de Albuquerque di
bawah pimpinan Francisco de Sa mengirimkan enam kapal perang ke
Sunda Kelapa. Armada tersebut diperkirakan membawa 600 tentara
bersenjata.Armada Portugis saat itu dikirim untuk mempersiapkan
benteng di Sunda Kelapa, namun telah dikuasai oleh Demak. Untuk
mempertahankan Sunda Kelapa, Sultan Trenggono mengirimkan 20
kapal perang dan 1.500 tentara ke Sunda Kelapa di tahun yang sama.
Setelah pertempuran sengit, pada tanggal 22 Juni 1527, armada
pertempuran yang dipimpin oleh Fatahillah berhasil menaklukkan
tentara Portugis.Setelah kemenangan ini, Fatahillah ditunjuk menjadi
penguasa Sunda Kelapa. Setelah ituFatahillah mengubah nama Sunda
Kelapa menjadi Jayakarta. Sejak saat itu, Demak menaklukan Wirasari
pada 1528, Gegelang atau Madiun pada 1529, Mendangkung pada 1530,
Surabaya pada 1531, Pasuruan pada 1535, Lamongan, Blitar, Wirasaba
pada 1541 sampai 1542. Gunung Penanggungan merupakan benteng
para petinggi religius Hindu Jawa yang ditundukkan pada tahun
1543.Mamenan atau Kediri pada 1549, serta Sengguru atau Malang
pada 1545.Blambangan berhasil ditaklukkan Demak pada 1546,

104
sedangkan Panarukan gagal ditaklukkan, karena Sultan Trenggono
gugur dalam pertempuran.

Pada tahun 1546, Sultan Trenggono wafat.Hal ini menyebabkan


kekosongan tahta Kesultanan Demark. Sunan Giri dan sesepuh
Kesultanan Demak sepakat mengangkat putra sulung Sultan Trenggono,
Sunan Prawoto sebagai sultan keempat Demak bergelar Sultan Syah
Alam Akbar Jiem-Boen-ningrat IV. Sunan Prawoto menderita penyakit
mata yaitu kebutaan.Kebutaan Sunan Prawoto dikaitkan dengan
kutukan pamannya, yang dibunuh oleh pangeran Sunan Prawoto yang
memberontak saat itu.Penobatan Sunan Prawoto mengecewakan Arya
Penangsang.Arya Penangsang marah karena kematian ayahnya.
Akhirnya Arya Penangsang mengirimkan utusan untuk membunuh
Sunan Prawoto dan anggota keluarganya.

Kesultanan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa


yang didirikan pada akir abad ke-15.Pendiri Kerajaan Demak adalah
Raden Patah, putra Prabu Brawijaya, raja terakhir Kerajaan
Majapahit.Demak adalah kadipaten di bawah Kerajaan Majapahit yang
tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di Pulau
Jawa.Dengan bantuan dari wali sanga, Raden Patah membangun
Kerajaan Demak menjadi pusat perdagangan dan penyebaran
Islam.Kesultanan Demak berhasil mencapai puncak kejayaan pada
periode pemerintahan Sultan Trenggono (1521-1546 M).Pada periode
ini, Demak menjadi kerajaan terkuat di Jawa dengan wilayah kekuasaan
yang sangat luas.

105
Kesultanan Demak didirikan oleh Raden Fatah, pada tahun
1478.Raden Fatah lahir di Palembang pada tahun 1448 M, dengan nama
panggilan Raden Hasan. Pada saat yang sama, versi cina menunjukkan
bahwa nama panggilan Raden Fatah adalah Jin-Bun (Jimbun) yang
berarti orang yang kuat. Ayahnya adalah seorang raja Kerajaan
Majapahit bernama Kertabumi Prabu Brawijaya V. Jika dirunut, Raden
Fatah merupakan putra ke 13 dari 100 putra Raja Brawijaya V. Dan
ibunya adalah putri Dwarawati dari Campa. Saudara laki-laki seibu
Raden Fatah bernama Raden Husein, yang kemudian dikenal sebagai
Adipati Terung. Hal ini dikarenakan ibunya kemudian menikah dengan
ayah kandung Raden Husein, Ario Damar. Raden Fatah belajar pada
Sunan Ampel saat masih remaja. Sunan Ampel kemudian
memerintahkan Raden Fatah untuk berdakwah ke Gelagahwangi .

Demak sebelumnya adalah sebuah daerah bernama Bintoro atau


Gelagahwangi, yang merupakan daerah kadipaten di bawah kekuasaan
Kerajaan Majapahit. Suatu ketika, Raden Patah diperintahkan oleh
gurunya, Sunan Ampel dari Surabaya, untuk merantau ke barat dan
bermukim di sebuah tempat yang terlindung oleh tanaman gelagah
wangi. Raden Patah adalah putra dari Raja Brawijaya dari istrinya yang
disebut Putri Cina.Dalam perantauannya itu, Raden Patah menemukan
tempat yang dimaksud Sunan Ampel kemudian menamainya sebagai
Demak.

Berdirinya Kerajaan Demak tidak bisa lepas dari kemunduran


Kerajaan Majapahit pada akhir abad ke-15.Pada saat itu, wilayah
kekuasaannya mulai memisahkan diri dan saling serang karena merasa
sebagai pewaris takhta Majapahit yang sah. Raden Patah yang
mendapat dukungan dari wali sanga dan Ki Ageng Pengging, kemudian

106
diangkat sebagai bupati Demak oleh Prabu Brawijaya dengan ibu kota
di Bintara. Setelah merasa kuat karena memiliki daerah yang strategis
dan mempunyai dukungan dari wali sanga, para wali menyarankan agar
Raden Patah menjadikan Demak sebagai kerajaan Islam dan
sepenuhnya memisahkan diri dari Kerajaan Majapahit.Raden Patah
kemudian mengumpulkan para pengikutnya untuk melawan Kerajaan
Majapahit.Setelah Kerajaan Majapahit berhasil dikalahkan, Kerajaan
Demak resmi berdiri sebagai kerajaan Islam.Ada banyak versi tentang
tahun berdirinya Kerajaan Demak. Beberapa sejarawan berpendapat
Kesultanan Demak didirikan pada 1500 M, dan sebagian lainnya
meyakini tahun 1478 atau setahun sebelum berdirinya Masjid Agung
Demak.

Masa kejayaan Kerajaan Demak Dan Runtuhnya Kerajaan


Demak

Setelah Raden Patah wafat pada 1518, takhta Demak dilanjutkan


oleh putranya Adipati Unus (1518-1521 M), kemudian Sultan
Trenggono (1521-1546 M).Sebagai raja ketiga Kesultanan Demak,
Sultan Trenggono berhasil membawa kerajaan pada masa
kejayaannya.Pada masa kekuasaannya, Demak menjadi pusat
penyebaran agama Islam dan wilayahnya meluas hingga ke Jawa bagian
timur dan barat.Sultan Trenggono wafat pada 1546 saat melakukan
penyerangan ke Pasuruan. Setelah itu, terjadi perselisihan mengenai
siapa yang berhak menduduki takhta dan ibu kota Demak mengalami
kerusakan cukup parah. Hal ini menjadi awal keruntuhan Kerajaan
Demak hingga akhirnya benar-benar jatuh ke tangan Sultan Hadiwijaya
atau Jaka Tingkir, pendiri Kerajaan Pajang.

107
Raja-Raja Kerajaan Demak

1. Raden Fatah (1475-1518)

Raden Fatah merupakan pendiri sekaligus raja pertama di


Kerajaan Demak. Menurut Babad Tanah Jawi, ia adalah keturunan
terakhir dari Kerajaan Majapahit tepatnya Brawijaya V yang lahir dari
anak selir Tionghoa. Ia berhasil membangun pengaruhnya di Demak
ketika ada di bawah kekuasaan Majapahit. Meski begitu, Demak tumbuh
menjadi wilayah yang independent karena memiliki kontrol atas
perdagangan laut, dan ditambah dengan melemahnya Majapahit akibat
konflik internal pada abad ke-15.

Raden Fatah membangun kekuasaan Islam pertama di Jawa, dan


membesarkan pengaruhnya mengalahkan kerajaan-kerajaan lainnya
termasuk Majapahit.Ia memusatkan kekuasaannya di pesisir utara dan
mulai menyebarkan pengaruh ke wilayah sekitarnya. Ia diperkirakan
berkuasa sejak Kota Pelabuhan Demak didirikan di bawah Majapahit
pada tahun 1475, meskipun Kerajaan Demak dideklarasikan berdiri
sekitar tahun 1500.

2. Pati Unus (1518-1521)

Pati Unus atau Sultan Yunus adalah pengganti dari Raden Fatah,
meskipun baru wafat sekitar tahun 1521.Pati Unus diperkirakan adalah
adik ipar dari Raden Fatah, yang memegang kekuasaan karena putra
dari Raden Fatah yaitu Trenggana masih berusia muda.Pati Unus
dikenal dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor atas usahanya berangkat
dari Jawa menuju ke utara untuk menggempur kekuasaan Portugis di
Malaka.Eksistensi Portugis selain sebagai imperialis dan musuh Islam,
namun juga pengganggu atas perkembangan Kerajaan Demak.Malaka
merupakan pusat transit perdagangan internasional, kejayaannya

108
merupakan gangguan bagi Demak.Pati Unus merupakan figur yang
berjasa dalam membangun kekuatan militer laut Kerajaan Demak
dengan mendirikan pelabuhan militer di Teluk Wetan, Jepara.

3. Trenggana

Sultan Trenggana merupakan raja ketiga, sekaligus dianggap


sebagai raja terbesar dari Kerajaan Demak.Ia berjasa dalam
menyebarkan agama Islam dan menaklukkan berbagai wilayah di Jawa.
Penaklukkan terpenting adalah wilayah Sunda Kelapa pada tahun 1527
yang direbut dari Pajajaran.Trenggana mengirim Fatahillah yang
menduduki Sunda Kelapa dan mengubah namanya menjadi Jayakarta.Ia
juga mengirim Maulana Hasanudin, yaitu putra Sunan Gunung Jati
untuk menaklukkan Banten Girang. Trenggana juga menaklukkan
wilayah Pasundan, serta bekas-bekas kekuasaan Majapahit di Jawa
Timur sampai Madura.Trenggana juga sukses menaklukkan wilayah
Blambangan pada 1546.

Kerajaan Demak di bawah kekuasaan Sultan Trenggana menjadi


kekuasaan terbesar di Jawa, menguasai bekas imperium Majapahit dan
kekuasaan Sunda.Kekuasaan Demak berpusat di pesisir dengan
pelabuhan-pelabuhan utama menjadi titik perdagangan utama di
Jawa.Trenggana wafat pada salah satu pertempuran di Pasuruan pada
tahun 1546 dan digantikan oleh Sunan Prawata.

4. Sunan Prawata

Suksesi Trenggana yang berlangsung mendadak akibat


kematiannya tidak berlangsung mulus.Pangeran Surowiyoto atau
Pangeran Sekar berupaya untuk menduduki kekuasaan mengalahkan
Sunan Prawata yang merupakan putra Trenggana.Sunan Prawata
kemudian membunuh Surowiyoto dan menduduki kekuasaan.Akan

109
tetapi, karena insiden tersebut menyebabkan surutnya dukungan
terhadap kekuasaannya.Ia memindahkan pusat kekuasaan Demak ke
wilayahnya di Prawoto, Pati, Jawa Tengah. Ia hanya berkuasa selama
satu tahun, ketika Arya Penangsang putra dari Surowiyoto melakukan
pembunuhan terhadap Prawata pada 1547.

5. Arya Penangsang

Arya Penangsang menduduki tahta Demak setelah membunuh


Sunan Prawata.Ia juga menyingkirkan Pangeran Hadiri/Kalinyamat
penguasa Jepara yang dianggap berbahaya bagi kekuasaannya. Hal ini
menyebabkan tidak senangnya pada adipati Demak, salah satunya
Hadiwijaya dari Pajang.Hal ini menyebabkan dipindahnya pusat
kekuasaan Demak ke Jipang, wilayah kekuasaan Arya Penangsang.
Meski begitu, Arya Penangsang berkuasa sampai dengan tahun 1554
ketika Hadiwijaya dibantu oleh Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi, dan
anaknya Sutawijaya memberontak melawan Demak. Arya Penangsang
tewas, dan Hadiwijaya menduduki tahta dengan memindahkan
kekuasaan ke Pajang.

KERAJAAN PAJANG

Pajang merupakan sebuah kerajaan yang berdiri sebagai


pengganti dari Kerajaan Demak. Awalnya, kerajaan ini merupakan salah
satu daerah yang berada dalam wilayah pemerintahan Kerajaan Demak.
Secara garis besar, Pajang akhirnya berhasil mendapatkan status

110
kerajaan setelah melakukan kudeta. Kudeta ini dipimpin oleh Bupati
Pajang bernama Hadiwiaya (Jaka Tingkir).

Kerajaan ini merupakan kerajaan Islam pertama yang berlokasi


di tengah pedalaman Jawa. Pada awal mulanya, wilayah dan kedaulatan
Kerajaan Pajang hanya meliputi Jawa Tengah saja. Namun seiring
berjalannya waktu, Pajang juga mendapatkan pengakuan dari beberapa
kerajaan lain di Jawa Timur. Dengan demikian, Pajang mulai dikenal di
Pulau Jawa.

Berdirinya Kerajaan Pajang

Pada tahun 1546, di Demak, terjadi masa krisis pasca


meninggalnya Sultan Trenggana dalam aksi militer ke ujung timur Jawa
mengemban misi dakwah penyebaran Islam ke daerah Blambangan,
pasukan Demak tertahan di Benteng Hindu di daerah Panarukan antara
Pasuruan dan Lumajang, pertarungan sengit berakhir dengan
meninggalnya sultan Demak. Meninggalnya raja Demak menyisakan
kekacauan, perebutan kekuasaan antara pewaris Demak dari keturunan
Sultan Trenggana dan pewaris dari saudaranya Raden Kingkin,
peristiwa ini mencatat bahwa Raden Kingkin (Sekar Sedo Lepen)
terbunuh di sungai oleh putera Trenggana bernama Raden Mukmin
sehingga memicu balas dendam dan mengobarkan api perseteruan
berkepanjangan antar kedua kubu, kubu Demak dari pewaris
Trenggana dipimpin oleh Raden Mukmin dan kubu Jipang Panolan
(Bojonegoro) yang merupakan pewaris Raden Kingkin dipimpin oleh
Aryo Penangsang, nama terakhir ini melakukan serangkaian
penyerbuan dan pembunuhan besar-besaran di Demak, termasuk
Mukmin beserta istrinya dan Hadiri (Adipati Pati) suami dari puteri

111
Trenggana terbunuh secara sadis. Ketika pembunuhan itu menyasar ke
Pajang, maka terjadilah perseteruan dengan Joko Tingkir. Disini
memicu keterlibatan Joko Tingkir ke tengah arena pertarungan
keluarga pewaris Demak. Dengan persekutuan murid sunan Kalijaga
(Pemanahan, Panjawi danKi Juru Martani), Joko Tingkir, dan anak
angkatnya Sutowijoyo akhirnya mampu memadamkan pemberontakan
Bupati Jipang yang berakhir dengan terbunuhnya Arya Penangsang.
Dengan demikian, Joko Tingkir diangkat secara definitive menjadi Raja
Pajang bergelar Hadi Wijaya, dan memindahkan seluruh isi istana
Demak beserta simbol-simbol kekuasaannya ke Pajang.

Masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya dari Pajang menandai


mulainya zaman sejarah Jawa yang baru; pada masa ini titik berat
politik berpindah dari model pemerintahan pesisir (terutama Demak
dan Surabaya) ke pedalaman. Perpindahan ini membawa dampak
politik maupun agama. Dampak politiknya adalah mulai dimunculkan
kembali bibit-bibit model politik zaman Majapahit, nostalgia terhadap
tatanan sistem pemerintahan kerajaan Majapahit yang dinilai telah
berhasil mengakar dimasyarakat Jawa Tengah mulai dikembangkan lagi
dengan struktur dari atas kebawah yang tertata dengan model lama.
Sementara dari agama, mulai berkembang ajaran Islam akulturatif
model pengging, dengan menghidupkan upacara-upacara keagamaan
yang telah ada pada era Hindu, dengan wadah Islam, model dakwah ini
mendapat dukungan kuat dari para murid pesantren Kalijaga
(Kadilangu) dan Sunan Kudus.

Sultan Hadiwijaya, pada pada tahun 1581, sesudah usianya


melampaui setengah baya, berhasil mendapatkan pengakuan
kekuasaan sebagai raja Islam dan Sultan dari para raja di Jawa Tengah
dan Jawa Timur hingga Pesisir di sebelah timur. Perkembangan pesat

112
itu diperoleh setelah dia mendapat restu dari Sunan Prapen dari Giri
(cucu Sunan Giri), disaksikan oleh para penguasa daerah Timur seperti
raja-raja dari Japan (Mojokerto), Wirasaba, Kediri, Surabaya, Pasuruan,
Madiun, Sidayu, Lasem, Tuban, dan Pati.

Letak dan Pendiri Kerajaan Pajang

Kerajaan ini merupakan kerajaan Islam yang menjadi pengganti


Kerajaan Demak di Pulau Jawa. Pusat kekuasaan Panjang tepatnya
berada di daerah Jawa Tengah, Laweyan, Pajang, Surakarta. Secara
geografis wilayah Pajang merupakan kawasan dataran rendah yang
subur dengan aliran Sungai Bengawan Solo.

Meskipun berada di daerah pedalaman Jawa, kerajaan ini


memiliki cakupan wilayah kekuasaan yang luas. Wilayah kekuasaannya
meliputi Pengging, Tingkir, Butuh, Madiun dan juga daerah dengan
aliran Sungai Bengawan Solo seperti Bagelan, Blora, Kedu, Kediri,
Banyumas, Madura, dan Surabaya.

Pendiri kerajaan ini adalah Jaka Tingkir atau yang lebih dikenal
dengan Sultan Hadiwijaya. Sultan Hadiwijaya berhasil mendirikan
Pajang setelah meruntuhkan Kerajaan Demak dengan bekerjasama
bersama Ratu Kalinyamat.

Kerjasama ini dijalankan dengan rencana pembunuhan Arya


Penangsang sebagai Raja Demak. Setelah Arya Penangsang wafat,
Demak pun mengalami keruntuhan dan munculah Kerajaan Pajang
sebagai kerajaan bercorak Islam di Pulau Jawa.

113
Kehidupan Masyarakat dan Masa Kejayaan Kerajaan Pajang

a. Kehidupan Politik Kerajaan Pajang


Kehidupan politik Kerajaan Pajang dipenuhi dengan banyak
tokoh yang terpaku dengan dendam dan perebutan pemerintahan. Pada
awal berdirinya, kerajaan ini mengalami kudeta yang dilakukan oleh
Arya Penangsang. Kudeta ini dijalankan berdasar dengan rasa benci dan
dendam kepada Sultan Hadiwijaya. Alhasil pertikaian darah antara
Hadiwijaya dan Arya Penangsang pun tak dapat dihindari.

Keberadaan para Wali Songo pada masa kudeta ini pun tidak
begitu kentara. Hal ini lantaran adanya instruksi dari Sunan Kalijaga
agar para wali dapat menempatkan diri dan tidak ikut campur dalam
jalannya peperangan. Hal inilah yang kemudian memunculkan filsafat
bahwa wali hanyalah mengurusi agama dan bukan soal perebutan
kekuasaan ataupun pimpinan.

Selain itu, kehidupan polit kerajaan ini juga dihiasi dengan usaha
perebutan tahta yang terus berjalan dari masa Sultan Hadiwijaya
hingga masa pemerintahan Pangeran Benawa II. Perebutan ini terjadi
lantaran dendam dan ketidakpastian pewarisan tangkup
kepemimpinan di Pajang.

b. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Pajang


Pajang merupakan wilayah subur yang menyandang predikat
sebagai lumbung beras pada abad ke 16 hingga 17. Suburnya tanaman
pokok di Pajang tidak lain didasari dari letak Pajang yang berada di
dataran rendah sungai Pepe dan Dengkeng dengan Bengawan Solo.
Letaknya yang strategis membuat tanah Pajang memiliki sistem irigasi
yang terkelola dengan baik.

114
Pajang bahkan mampu menjadi eksportir beras yang secara aktif
mengirimkan beras melewati jalur perdagangan Sungai Bengawan Solo.
Aktifnya perdagangan Pajang ini juga berimbas dengan tingginya
tingkat kehidupan ekonomi masyarakatnya. Bahkan wilayah Pajang
sempat digadang-gadang sebagai salah satu wilayah agraris maritim
yang memiliki potensi tinggi.

c. Kehidupan Sosial Kerajaan Pajang


Kehidupan sosial masyarakat Pajang di masa lalu digambarkan
sebagai masyarakat yang harmonis dan memiliki tingkat kearifan lokal
yang tinggi. Kehidupan sosial yang tinggi ini tentunya juga didukung
dengan faktor ekonomi yang tinggi pula pada masa tersebut.

d. Kehidupan Agama Kerajaan Pajang


Kehidupan agama masyarakat Pajang dihiasi dengan
perkembangan Islam yang sangat pesat. Perkembangan Islam yang
pesat ini lah yang menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Pajang
sebagai salah satu kerajaan bercorak Islam yang terkenal di Nusantara.

Tentunya perkembangan agama Islam ini tak lepas dari peran


para Wali Songo yang turut serta menyebar luaskan agama Islam di
tanah Pajang. Terlepas dari itu, Sultan Hadiwijaya sebagai raja pertama
Pajang juga memiliki pengaruh yang besar. Terkenalnya Sultan
Hadiwijaya sebagai pemeluk Islam yang taat membuat masyarakat
Pajang membuka diri terhadap pemikiran dan ajaran Islam.

e. Kehidupan Kebudayaan Kerajaan Pajang

115
Kehidupan Budaya di Panjang banyak dipengaruhi oleh seni-seni
islamis. Hal ini terbukti dari berdirinya Masjid Laweyan sebagai pusat
peribadahan Islam pada masa tersebut. Selain itu, kebudayaan
membatik tulis juga merupakan sebuah kebanggaan sekaligus bukti
peninggalan Pajang di Jawa.

Perkembangan Seni dan Sastra

Selama pemerintahan Raja Hadiwijaya di Pajang, kesusastraan


dan kesenian keraton yang bernuansa Islam, yang telah dirintis zaman
Demak oleh para wali lambat laun diserap di kalangan penduduk
pedalaman Jawa Tengah. Menurut kajian historis-topografis, ajaran
agama Islam telah tersebar di Pengging berkat pengaruh tokoh legenda
Syekh Siti Jenar. Jauh di selatan lagi penyebaran agama dilakukan oleh
Sunan Tembayat, ulama yang berasal dari Semarang murid dari Sunan
Kalijaga, ia masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga
raja Demak. Berabad-abad lamanya, bahkan hingga kini makamnya di
Tembayat tetap menjadi tempat ziarah bagi kaum Muslimin di Jawa
Tengah bagian selatan. Sunan Bayat dikenal sebagai simbol spiritual
pada akhir kerajaan Pajang hingga Mataram.

Gaya bangunan dan seni arsitektur di makam Tembayat dapat


dibandingkan dengan bangunan arkeologi sezaman, sehingga dapat
dihubungkan dengan gaya permulaan zaman Islam abad ke-16 di Kudus
dan Kalinyamat di Jawa Tengah, dan dengan reruntuhan bangunan-
bangunan sejenisnya di Jawa Timur. Tahun-tahun yang terpahat pada
bangunan memastikan bahwa bangunan-bangunan tersebut didirikan
di Tembayat selama pemerintahan Raja Hadiwijaya. Cerita tutur Jawa
menyatakan bahwa menjelang akhir hidupnya, ia pergi berziarah ke
tempat itu untuk memohon bantuan dalam perjuangannya melawan
Mataram. Hal itu dapat dianggap memberikan gambaran yang jelas

116
tentang hubungan keagamaan antara Keraton Pajang dan “masyarakat
santri” yang telah dibentuk oleh ulama dari Semarang itu.

Perkembangan sastra pada era Pajang menjelaskan bahwa pada


zaman Raja Hadiwijaya pada paruh kedua abad ke-16, seorang
sastrawan (Pujangga) Pangeran Karang Gayam menulis sajak moralistik
Jawa Nitisruti. Pangeran Karang Gayam ini dalam cerita tutur sastra
Jawa mendapat julukan “Pujangga Pajang”. Ia adik moyang cikal bakal
keturunan Karang Lo yang pada paruh kedua abad ke-18 menjadi besan
keluarga raja Kasunanan Surakarta. Nenek moyangnya, Ki Gede Karang
Lo Taji, dahulu berasal dari daerah sekitar Taji, tempat berdirinya “pos
pabean” di jalan yang telah berabad-abad umurnya, yang merupakan
penghubung terpenting antara daerah-daerah Pengging-Pajangdan
Mataram. Keberadaan Serat Nitisruti dan pengarangnya Pangeran
Karang Gayam mengindikasikan bahwa pada zaman Kesultanan Pajang
kesusastraan Jawa sudah dihargai, dihayati dan juga dihidupkan di Jawa
Tengah bagian selatan.

Akhir dari pemerintahan Panjang, ditandai dengan


meninggalnya Sultan Pajang ditaman kerajaannya, pada tahun 1587. Ia
dimakamkan di Butuh, suatu tempat yang tidak jauh di sebelah barat
taman Kerajaan Pajang lama, dimana kemudian tetap dikenal sebagai
Makam Aji.Meninggalnya sultan Pajang terjadi pasca bentrokan tentara
dengan pasukan Mataram, yang dipimpin oleh anak angkatnya sendiri,
juga anak temannya Pemanahan. Ramalan Sunan Giri terbukti bahwa
akhirnya Mataram menjadi kejaraan penerus Pajang.

Sistem dan Perkembangan Pemerintahan Kerajaan Pajang

117
Sistem pemerintahan Kerajaan Pajang merupakan kerajaan
Islam pertama di Jawa bagian pedalaman. Menandai runtuhnya
Kerajaan Demak, Pajang mengambil alih peranan kerajaan bercorak
Islam di tanah Jawa.

Dalam pemerintahannya, Pajang memposisikan adipati-adipati


sebagai perpanjangan tangan dari raja yang berkuasa. Bahkan pada
masa pemerintahan Pangeran Benawa, kerajaan ini juga memiliki
seorang Senopati yang membantu menjalankan tugas-tugas kerajaan.

Silsilah Raja-Raja Pajang Kerajaan Pajang

1. Sultan Hadiwijaya (1568 – 1583)


Sultan Hadiwijaya atau yang juga dikenal dengan nama Jaka
Tingkir merupakan raja pertama dari Kerajaan Pajang. Lewat kudeta
yang dilakukan, Jaka Tingkir berhasil meruntuhkan Kerajaan Demak.
Kemudian, membentuk kerajaan Islam baru di daerah Pajang; yang
kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Pajang .

Menurut silsilah keluarganya, Jaka Tingkir adalah salah satu


cucu dari Sunan Kalijaga. Pada perkembangannya, Jaka Tingkir
menikahi putri dari seorang Sultan Demak (Sultan Trenggana). Berkat
pernikahan ini, Jaka Tingkir diangkat menjadi penguasa pajang dengan
gelar Hadiwijaya.

2. Arya Pengiri (1583 – 1586)


Pada masa pemerintahannya Arya Pengiri mendapatkan gelar
sebagai Sultan Ngawantipura. Dalam perjalanannya, Arya Pengiri
dinikahkan dengan putri tertua Sultan Hadiwijaya; Putri Pembayun
sehingga berhak atas tahta pemerintahan. Keabsahannya sebagai raja

118
Kerajaan Pajang sendiri didapat dari usaha pengasingan Pangeran
Benawa yang berhak atas tahta kerajaan utama.

3. Pangeran Benawa (1586 – 1587)


Periode pemerintahan Pangeran Benawa merupakan masa
pemerintahan paling singkat dalam sejarah Kerajaan Pajang. Pangeran
Benawa hanya memerintah selama 1 tahun pemerintahan. Beberapa
sumber menyebutkan lengsernya Pangeran Benawa disebabkan oleh
keinginan Pangeran menekuni aliran agamanya. Selama masa
pemerintahannya, Pangeran Benawa juga didampingi oleh seorang
senopati.

4. Gagak Bening (1587 – 1591)


Setelah Pangeran Benawa Lenser, Gagak Bening mengambil alih tahta.
Selama masa pemerintahannya Gagak Bening banyak melakukan
perluasan wilayah. Dia juga kerap kali melakukan perombakan dan
peraturan di istana.

5. Pangeran Benawa II (1591 – 1618)


Masa pemerintahan Pangera Benawa II tercatat sebagai masa
pemerintahan terakhir Kerajaan Pajang. Hal ini lantaran muncul
beberapa kudeta dari masa ini dengan tujuan menghancurkan Kerajaan
Mataram. Namun, kudeta yang direncanakan justru menjadi boomerang
dan menghancurkan kerajaan sendiri.

Masa Kejayaan Kerajaan Pajang

Masa emas atau kejayaan dari Kerajaan Pajang terjadi saat


Pajang dipimpin oleh Sultan Handiwijaya. Pada masa tersebut, Sultan

119
Handawijaya bahkan berhasil mendapatkan pengakuan oleh raja-raja
Jawa sebagai Raja paling berpengaruh di Pulau Jawa pada waktu itu.

Sultan Handiwijaya juga berhasil menaklukan beberapa daerah seperi


Madiun, Kediri, dan juga Blora. Selain itu, lumbung padi di daerah
Pajang pun dinyatakan sebagai lumbung padi terbaik dan terbesar di
Pulau Jawa. Kemudian, dari masa pemerintahannya, Pajang juga
mengalami kemajuan dari segi sosial budaya. Hingga pada 1581 Sultan
Handawijaya juga memperoleh gelar resminya sebagai “Sultan”.

KERAJAN MATARAM ISLAM

Kerajan islam Mataram didirikan oleh Panembahan Senopati.


Setelah permohonan Senopati Mataram atas penguasa pajang berupa
pusaka kerajaan dikabulkan, keinginan untuk menjadi raja sebenarnya
telah terpenuhi. Sebab dalam tradisi Jawa, penyerahan seperti itu
berarti penyerahan kekuasaan. Senopati berkuasa sampai tahun 1601
M. sepeninggalnya, ia digantikan oleh putranya yang bernama Mas
Jolang yang terkenal dengan Sultan Seda Ing Krapyak kemudian
digantikan oleh Sultan Agung yang bergelar Sultan Agung
Hanyokrokusuma Sayidin Panataagama Khalifatullah ing Tanah Jawi
(1613-1646).

Awal dari kerajaan Mataram adalah ketika Sultan Adiwijaya dari


Panjang meminta bantuan kepada Ki Pamanahan yang berasal dari
daerah pedalaman untuk menghadapi dan menumpas pemberontakan

120
Aria Penangsang. Sebagai hadiah atasnya, sultan kemudian
menghadiahkan daerah Mataram kepada Ki Pamanahan yang
menurunkan raja- raja Mataram Islam kemudian. Keberadaan Kerajaan
Mataram Islam ini tidak terlepas dari peristiwa jatuhnya Kerajaan
Panjang di pesisir Utara Jawa Tengah tahun 1586 M. Kerajaan mataram
yang kini berpusat di pedalaman Selatan Jawa Tengah itu kemudian
menjadi tonggak utama zaman madya di Indonesia. Mataram ini
merupakan salah satu periode yang penting dalam sejarah kerajaan-
kerajaan Islam di Nusantara. (Achadiati 1980, hlm. 3)

MASA KEJAYAN KERAJAN MATARAM ISLAM

Kerajaan Mataram Islam ini memiliki peranan yang cukup besar


sejak abad ke-16 sampai datangnya penetrasi Barat di Jawa Tengah.
Keterlibatan tokoh-tokoh 3 agama, konsep perluasan wilayah raja-raja
Mataram dan berbagai intrik yang terjagi di kerajaan atau keraton
adalah hal-hal yang menarik yang mewarnai Sejarah Kerajaan Mataram.
Penguasa Kerajaan Mataram Islam yang terbesar yang sangat berperan
dalam mengembangkan agama Islam di pulau Jawa adalah Sultan Agung
Hanyokrakusuma. Di bawah pemerintahanya tahun 1613-1645
Mataram mengalami masa kejayaan. Ibukota Kerajaan Kotagede
dipindahkan ke Kraton Plered. Sultan Agung merupakan Sultan yang
paling terkenal dalam urutan nama-nama Sultan yang memerintah
Kerajaan Mataram. Di bawah pemerintahan Sultan ini, Kerajaan
Mataram Islam dapat mencapai kejayaannnya,’Sultan Agung juga
merupakan raja yang menyadari pentingnya kesatuan di seluruh tanah
Jawa.

Hal-hal penting yang dicapai oleh Sultan Agung sebagai berikut.

121
1. Mempersatukan tanah Jawa dan Madura (kecuali Batavia dan
Banten), Palembang, Jambi, dan Banjarmasin.
2. Mempertahankan Mataram sebagai negara agraris. Mataram
maju dengan perdagangan berasnya.
3. Mengadakan ekspansi secara besar-besaran sehingga mampu
menguasai daerah-daerah sepanjang pantai utara Jawa dan
mampu menyerang VOC di Batavia dua kali (1628 dan 1629),
tetapi gagal. Kegagalan ini disebabkan oleh perbekalan sangat
kurang, gudang beras di Karawang dibakar oleh VOC, jarak
antara Batavia dan Mataram sangat jauh sehingga menyebabkan
prajurit kelelahan, Batavia dipagari tembok-tembok yang tinggi
dan dilengkapi persenjataan yang modern, adanya wabah
penyakit dan Banten tidak mengusir penjajah.
4. Mengubah perhitungan tahun Jawa dari Hindu (Saka) ke Islam
(Hijrah). Perhitungan tahun Jawa Hindu berdasarkan peredaran
matahari sedangkan tahun Jawa Islam berdasarkan peredaran
bulan. Tahun 1638 bertepatan dengan tahun 1555 Saka.
5. Menulis kitab Sastra Gending yang merupakan kitab filsafat,
kitab Niti Sruti, kitab Niti Sastra Asthabrata yang berisi ajaran
tabiat baik yang bersumber pada kitab Ramayana.
6. Mengadakan upacara Gerebeg Maulud dan Gerebeg Syawal.

KEMUNDURAN KERAJAN MATARAM ISLAM

Setelah Sultan Agung wafat, tidak ada raja pengganti yang memiliki
kecakapan seperti Sultan Agung, bahkan ada raja yang menjalin kerja
sama dengan VOC.

122
Akibatnya, banyak terjadi pemberontakan, misalnya pemberontakan
Adipati Anom yang dibantu Kraeng Galesung dan Monte Merano,
pemberontakan Raden Kadjoran, serta pemberontakan Trunojoyo.

Dalam menghadapi pemberontakan-pemberontakan tersebut, raja-raja


Mataram, misalnya Amangkurat I dan II, meminta bantuan VOC. Hal
inilah yang menyebabkan raja-raja Mataram semakin kehilangan
kedaulatan.

Setelah wafat pada tahun 1703, Amangkurat II digantikan oleh


putranya, yaitu Sunan Mas (Amangkurat III).

Pengangkatan Amangkurat III ditentang oleh Pangeran Puger, adik


Amangkurat II atau paman Amangkurat III.

Akibatnya, terjadilah Perang Mahkota I (1704 – 1708) yang


dimenangkan oleh Pangeran Puger yang dibantu oleh VOC. Setelah naik
takhta, Pangeran Puger bergelar Paku Buwono I (1708 – 1719).

D.KUDUS

Kudus (dalam bahasa jawa untuk al-Quds yaitu baitul makdis) ialah
nama yang diberikan kepada tempat waktu dinyatkan sebagai tempat
suci oleh Sunan Kudus pertama, yang sebelumnya di Demak sebagai
imam jama’ah. Menurut legenda, Mbah Kiai Telingsinglah yang mula-
mula menggarap tempat yang kemudia menjadi kota Kudus. Beberapa
orang menyebut dia seorang cina islam, nama semula The Lin Sing.
Adanya cerita yang demikian menunjukan temapt itu sudah agak
berate, sebelum dijadikan kota suci oleh Sunan Kudus.

123
Kota suci Kudus /baitul makdis sudah terkenal di jawa dan
bahkan Nusantara sebagai pusat agama. Masjid rayanya diberi nama al-
manar atau al-aqsha, seperti masjid suci di baitulmakdis. Menurut
Antonio Hurdt ( dalam bukunya HJ. De Graaf dan TH. Pigeaud)
mengatakan bahwa Para pengunjung barat sudah sejak abad XVII
mengagumi menara raksasanya, suatu bangunan yang kukuh tampan
dan yang arsitekturnya jelas-jelas diilhami oleh candi-candi pra Islam.

Peninggalan-peninggalan Islam

Penyebaran islam di tanah Jawa terutama Jawa tengah telah


banyak peninggalan bersejarah. Ada diantara peninggalan-peninggalan
tersebut yang ada dan utuh sampai sekarang ada pula yang sudah tidak
terlacak lagi jejaknya. Keraton Kerajaan Demak salah satu peninggalan
yang tidak terlacak keberadaaanya sampai dengan sekarang. Adapun
peninggalan-peninggalan Islam yang masih ada hingga sekarang antara
lain:

A.MASJID LAWEYAN

124
Menurut Ketua Takmir Masjid Laweyan, Achmad Sulaiman, pada zaman
Kerajaan Pajang sekitar tahun 1546, saat pemerintahan Sultan
Hadiwijaya, berdiri sebuah Pura untuk tempat ibadah umat Hindu di
Pajang, Laweyan. Berjalannya waktu, salah satu penasihat Kerajaan
Pajang, Ki Ageng Henis, bersahabat dengan pemuka agama Hindu.
Kedekatan mereka pun membuat salah satu Pura di Laweyan berubah
menjadi Langgar untuk melayani umat Islam waktu itu. Setelah itu,
Langgar Laweyan berubah menjadi Masjid Laweyan .

b. Masjid Menara Kudus

Berdasarkan pembacaan prasasti (batu tulis) berbahasa arab


yang telah aus dinyatakan bahwa masjid tersebut didirikan pada tahun
956 H atau 1549 M. ukuran prasati adalah 46 cm dan lebar 30 cm.
konon kabarnya batu prasati tersebut berasal dari kota Baitul Maqdis
(al-Quds) di Jerussalem Palestina (sekarang masuk wilayah Israel).
Berdasarkan kata baitul Maqdis (al-Quds) itulah maka terjadinya nama
kudus yang berar ti suci dan merupakan keistimewaan dan satu-
satunya kota yang memilki nama dalam bahasa Arab di seluruh tanah
Jawa

125
c. Masjid Besar Kauman Semarang

Perintis pendirian Masjida Kauman Semarang adalah Sunan


pandan Arang. Pada awal mulanya, masjid ini berdiri di Pulau Tirang
(sekarang Mugas Atas).Harus diakui bahwa Mugas Atas dimana Pandan
Arang tinggal sangat kondusif untuk padepokan, namun kawasan ini
sangat tidak layak untuk menjadi pusat pemerintahan. Karena kondisi
yang demikian, Pandan Arang memutuskan untuk berpindah ke daerah
yang sekarang dinamakan Bubakan. Dissinilah Pandan Arang
mendirikan pusat pemerintahan dan mendirikan masjid. Namun masjid
ini terbakar dalam peristiwa pemberontakan Cina melawan kongsi
dagang Belanda, VOC.Perang Semarang yang terjadi pada tahun 1741 M
telah menyebabkan masjid di Bubakan hangus terbakar. Dengan sisa
kekuatan yang ada Bupati Suro Hadimenggolo II bersama masyarakat
membangun masjid baru di lokasi yang di pandang lebih strategis yakni
di sebelah barta alun-alun arah ke depan yaitu kawasan Kanjengan
yang sekatang disebut dengan Kauman.

d. Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta

126
Kesultanan Mataram yang runtuh akibat pemberontakan
Trunajaya tahun 1677 ibukotanya oleh Sunan Amral dipindahkan di
Kartasura. Pada masa Sunan Pakubuwana II memegang tampuk
pemerintahan keraton Mataram mendapat serbuan dari
pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari
orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742. Kerajaan Mataram yang
berpusat di Kartasura itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura
berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV
penguasa Madura barat yang merupakan sekutu VOC, namun
keadaannya sudah rusak parah. Pakubuwana II yang menyingkir ke
Ponorogo, kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di
desa Sala sebagai ibukota kerajaan Mataram yang baru.

Bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur dan dianggap


"tercemar". Sunan Pakubuwono II lalu memerintahkan Tumenggung
Honggowongso (bernama kecil Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya,
kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I), bersama Tumenggung
Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff,
untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yang baru. Untuk itu
dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada
1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Nama "Surakarta"
diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan baru ini.
Pembangunan keraton ini menurut catatan menggunakan bahan kayu
jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri dan kayunya

127
dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai
ditempati tanggal 17 Februari 1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670
Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).

Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyebabkan


Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan
rajanya Pakubuwana III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan
Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Sultan Hamengkubuwana I.
Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola
tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun.
Perjanjian Salatiga 1757 memperkecil wilayah Kasunanan, dengan
diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran
Sambernyawa (Mangkunagara I).

Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, yang oleh banyak


pihak disebut-sebut sebagai taktik adu domba Belanda melalui VOC
untuk memecah Kerajaan Mataram, yang akhirnya melahirkan
Yogyakarta dan Surakarta. Perjanjian Giyanti memecah Mataram,
kerajaan terbesar di Jawa masa itu menjadi dua bagian yakni wilayah
sebelah timur yang menjadi milik Paku Buwono dan wilayah sebelah
barat yang menjadi bagian Pangeran Mangkubumi.

Pada perkembangannya dua wilayah dengan dua pemimpin itu


melahirkan Kasunanan Surakarta yang membangun Kraton baru di
desa Sala dan Kasultanan Yogyakarta yang membangun Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Mataram Baru. Dari dua pusat
kerajaan baru itulah perkembangan Kota Jogja dan Solo bermula.

Meski keduanya terpisah secara administratif pasca berdirinya


Republik Indonesia, namun Yogyakarta dan Surakarta tak bisa
menghilangkan DNA Jawanya sebagai saudara kandung yang kini

128
bertetangga. Sama-sama mewarisi darah budaya, filosofi dan pemikiran
Jawa, Yogyakarta dan Surakarta tumbuh seperti si kembar yang
memiliki sejumlah kemiripan di banyak sudut dan rupa kotanya

Selain berupa bangunan dan tersebut, di Kerajaan Pajang juga


telah berkembang kegiatan sastra, tasawuf, agama dan seni bangunan
yang mula-mula timbul di daerah sepanjang utara jawa dan di Jawa
Timur. Tetapi pengaruh kebudayaan Pajang kelihatannya tidak begitu
terasadi Keraton penguasa pertama Mataram, mungkin karena
perhatian mereka sepenuhnya tercurah kepada pada soal-soal materiil,
pengolahan tanah dan penggarapan dearah yang tandus, di samping
penanaman kekuasana politik.

DAFTAR PUSTAKA

http://repository.radenfatah.ac.id/6347/1/TITIN
%20YENNI.pdf

https://jatengprov.go.id/sejarah/#:~:text=Pada%20abad
%2016%20setelah%20runtuhnya,ke%20Pajang%20(dekat%20Solo).

file:///C:/Users/windows/Downloads/
Sejarah_Peradaban_ISlam_dI_Jawa_Tengah%20(1).pdf

https://genpi.id/grebeg-maulud-keraton-yogyakarta/
#:~:text=Grebeg%20Maulud%2C%20Puncak%20Perayaan%20Maulid
%20Nabi%20Khas%20Keraton%20Yogyakarta,-By&text=Perayaan
%20Maulid%20Nabi%20Muhammad%20SAW,penghormatan
%20kepada%20teladan%20Sang%20Rasulullah.

129
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5681731/sejarah-
kerajaan-demak-pendirian-masa-kejayaan-dan-runtuhnya-kerajaan

Amarseto, Binuko. (2017). Ensiklopedia Kerajaan Islam di


Indonesia. Yogyakarta: Relasi Inti Media.

http://repositori.kemdikbud.go.id/21608/1/X_Sejarah-
Indonesia_KD-3.7_Final.pdf

http://repositori.kemdikbud.go.id/21599/1/X_Sejarah-
Indonesia_KD-3.8_Final.pdf

http://repositori.kemdikbud.go.id/21707/1/XI_Sejarah_KD-
3.2_Final.pdf

https://www.kompas.com/stori/read/
2021/04/23/123330579/raja-raja-kerajaan-demak?page=all

https://www.kompas.com/stori/read/
2021/05/01/172749179/sejarah-berdirinya-kerajaan-demak?page=all

https://kids.grid.id/read/472998524/peninggalan-kerajaan-
demak-sebagai-kerajaan-islam-tertua-di-nusantara?page=all

130
BAB 6
KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN
Pangeran Samudera adalah cikal bakal raja-raja Banjarmasin
Islam pertama kali masuk di Kalimantan adalah di daerah utara
tepatnya di daerah Brunai sekitar pada tahun 1500 M. Setelah raja
Brunai memeluk Islam (sekitar 1520), maka Brunai menjadi pusat
penyiaran agama Islam sehingga Islam sampai ke Pilipina. Pusat
penyebaran Islam yang lain adalah di Kalimantan Barat di dekat Muara
Sambas. Islam masuk ke daerah ini diperkirakan pada abad XVI di bawa
oleh orang-orang dari Johor, menyusul kemudian daerah Sambas
ditaklukkan oleh kerajaan Johor.

Adapun masuknya Islam di Kalimantan Selatan terjadi sekitar


1550 M atas pengaruh dari Jawa. Dikatakan bahwa raja-raja di
Kalimantan Selatan memeluk agama Islam setelah mendapat bantuan
dari Sultan Demak. Daerah Timur Kalimantan terdapat kerajaan Bugis
yang mendapat pengaruh Islam sekitar tahun 1620 M. Islam masuk ke
daerah ini melalui jalan perkawinan orangorang Arab dengan putri-
putri raja di daerah ini.

1. Islam Masuk di Kalimantan Selatan


Sumber yang cukup tua menyebutkan bahwa Kalimantan pada
periode menjelang masuknya Islam di Kalimantan ialah Negara
Kartagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca tahun 1365 ini telah
menyebut daerah Kalimantan Selatan yang diketahui ialah daerah
sepanjang sungai Negara, sungai Barito dan sekitarnya. Situasi politik di
daerah Kalimantan Selatan menjelang Islam banyak diketahui dari
sumber historiografi tradisional yakni Hikayat Lambung Mangkurat
atau Hikayat Banjar. Sumber tersebut memberitahukan bahwa di

131
daerah Kalimantan Selatan telah berdiri kerajaan yang bercorak Hindu
Negara Dipa yang berlokasi sekitar Amuntai dan kemudian dilanjutkan
dengan Negara Daha sekitar Negara sekarang.

Menjelang datangnya Islam ke daerah Kalimantan Selatan


kerajaan yang bercorak Hindu telah berpindah dari Negara Dipa ke
Negara Daha diperintah oleh Maharaja Sukarama, mertua Ratu Lemak.
Setelah dia meninggal dia digantikan oleh Pangeran Tumenggung yang
menimbulkan sengketa dengan Pangeran Samudera cucu Maharaja
Sukarama, yang dilihat dari segi institusi kerajaan mempunyai hak
mewarisi tahta kerajaan. Dengan demikian Negara Daha adalah benteng
terakhir dari institusi kerajaan bercorak Hindu dan setelah itu
digantikan dengan institusi bercorak Islam. Sunan Giri sangat besar
terhadap perkembangan kerajaan Islam Demak. Sunan Girilah yang
memberikan gelar Sultan kepada raja Demak. Dalam hal ini sangat
menarik perhatian hubungan antara Sunan Giri dengan daerah
Kalimantan Selatan. Dalam Hikayat Lambung Mangkurat diceritakan
tentang Raden Sekar Sungsang dari Negara Dipa yang lari ke Jawa.
Ketika dia masih kecil kelakuannya menjengkelkan ibunya Puteri
Kaburangan, yang juga dikenal sebagai Puteri Kalungsu. Waktu dia kecil
karena sering mengganggu ibunya, dia dipukul di kepalanya dan
mengeluarkan darah. Sejak itu dia lari dan ikut dengan juragan Petinggi
atau Juragan Balaba yang berasal dari Surabaya. Juragan Balaba
memeliharanya sebagai anaknya sendiri dan setelah dewasa dia
dikawinkan dengan puteri Juragan Balaba sendiri. Dia mempunyai dua
orang putera Raden Panji Sekar dan Raden Panji Dekar. Keduanya
berguru pada Sunan Giri, Raden Sekar kemudian diambil menjadi
menantu Sunan Giri dan kemudian bergelar Sunan Serabut. Raden
Sekar Sungsang kemudian kembali menjalankan perdagangan sampai
ke Negara Dipa. Dengan penampilan yang tampan Raden Sekar

132
Sungsang adalah seorang pedagang dari Jawa, yang banyak
mengadakan hubungan perdagangan dengan pihak kerajaan Negara
Dipa. Akhirnya dia kawin dengan Puteri Kalungsu penguasa Negara
Dipa, yang sebetulnya adalah ibunya sendiri. Setelah Puteri Kalungsu
hamil barulah terungkap bahwa suaminya adalah anaknya yang dulu
hilang. Mereka bercerai, Raden Sekar Sungsang memindahkan
pemerintahannya menjadi Negara Daha, yang berlokasi sekitar Negara
sekarang, sedangkan Ibunya tetap di Negara Dipa sekitar Amuntai
sekarang. Raden Sekar Sungsang yang menurunkan Raden Samudera
yang menjadi Sultan Suriansyah raja pertama dari Kerajaan Banjar.

Raden Sekar Sungsang Menjadi raja pertama dari Negara Daha


dengan gelar Maharaja Sari Kaburangan. Selama dia berkuasa
hubungan dengan Giri tetap terjalin dengan pembayaran upeti tiap
tahun.Yang menjadi masalah adalah, kalau Raden Sekar Sungsang
selama di Jawa kawin dengan melahirkan putera Raden Panji Sekar
selanjutnya menjadi menantu Sunan Giri, adalah hal mungkin sekali
bahwa Raden Sekar Sungsang juga telah memeluk agama Islam. Raden
Panji Sekar menjadi seorang ulama yang bergelar Sunan Serabut,
adalah hal yang wajar kalau ayahnya sendiri Raden Sekar Sungsang
telah memeluk agama Islam meskipun keimanannya belum kuat. Kalau
anggapan ini benar maka Raden Sekar Sungsang raja dari Negara Daha
dari Kerajaan Hindu yang telah beragama Islam pertama sebelum
Sultan Suriansyah. Kalau benar bahwa Raden Sekar Sungsang yang
bergelar Sari Kaburangan telah beragama Islam, mengapa dia tidak
menyebarkan Islam itu pada rakyatnya. Hal ini terdapat beberapa
kemungkinan. Kemungkinannya antara lain bahwa agama Hindu masih
terlalu kuat, sehingga lebih baik menyembunyikan ke Islamannya, atau
memang keimanannya belum kuat. Tetapi yang dapat disimpulkan

133
bahwa Islam telah menyelusup di daerah Negara Daha Kalimantan
Selatan, sekitarabad ke 13-14 Masehi.

A.A. Cense dalam bukunya “De Kroniek van Banjarmasin”,


menjelaskan bahwa ketika Pangeran Samudera berperang melawan
pamannya Pangeran Tumenggung raja Negara Daha. Pangeran
Samudera menghadapi bahaya yang berat yaitu kelaparan di kalangan
pengikutnya. Atas usul Patih Masih Pangeran Samudera meminta
bantuan pada Kerajaan Islam Demak yang saat itu kerajaan terkuat
setelah Majapahit. Patih Balit diutus menghadap Sultan Demak dengan
400 pengiring dan 10 buah kapal. Patih Balit menghadap Sultan
Tranggana dengan membawa sepucuk surat dari Pangeran Samudera.
F.S.A. De Clereq dalam bukunya. De Vroegste Geschiedenis van
Banjarmasin (1877) halaman 264 memuat isi surat Pangeran Samudera
itu. Surat itu tertulis dalam bahasa Banjar dalam huruf Arab-Melayu. Isi
surat itu adalah : “Salam sembah putera andika Pangeran di
Banjarmasin datang kepada Sultan Demak. Putera andika menantu
nugraha minta tolong bantuan tandingan lawan sampean kerana putera
andika berebut kerajaan lawan parnah mamarina yaitu namanya
Pangeran Tumenggung. Tiada dua-dua putera andika yaitu masuk
mengula pada andika maka persembahan putera andika intan 10 biji,
pekat 1.000 galung, tudung 1.000 buah, damar 1.000 kandi, jeranang 10
pikul dan lilin 10 pikul”. Yang menarik dari surat ini adalah bahwa surat
itu tertulis dalam huruf Arab. Kalau huruf Arab sudah dikenal oleh
Pangeran Samudera, adalah jelas menunjukkan bukti bahwa
masyarakat Islam sudah lama terbentuk di Banjarmasin. Terbentuknya
masyarakat Islam dan lahirnya kepandaian membaca dan menulis
huruf Arab memerlukan waktu yang cukup lama. Kalau Kerajaan Islam
Banjar terbentuknya pada permulaan abad ke- 16, maka dapatlah
diambil kesimpulan bahwa masyarakat Islam di Banjarmasin sudah

134
terbentuk pada abad ke- 15. Karena itulah masuknya agama Islam ke
Kalimantan Selatan setidak-tidaknya terjadi pada permulaan abad ke-
15. Perdagangan sangat ramai setelah bandar pindah ke Banjarmasin.
Disini dapat pula kita lihat perbedaan perekonomian antara Negara
Daha dan Banjarmasin. Negara Daha menitik beratkan pada ekonomi
pertanian sedangkan Banjarmasin menitik beratkan pada
perekonomian perdagangan. Hubungan itu terutama adalah hubungan
ekonomi perdagangan dan akhirnya meningkat menjadi hubungan
bantuan militer ketika. Dia adalah cucu Maharaja Sukarama dari Negara
Daha. Pangeran Samudera terpaksa melarikan diri demi keselamatan
dirinya dari ancaman pembunuhan pamannya Pangeran Tumenggung
raja terakhir dari Negara Daha. Patih Masih adalah Kepala dari orang-
orang Melayu atau Oloh Masih dalam Bahasa Ngaju. Sebagai seorang
Patih atau kepala suku, tidaklah berlebihan kalau dia sangat memahami
situasi politik Negara Daha, apalagi juga dia mengetahui tentang
kewajiban sebagai daerah takluk dari Negara Daha, dengan berbagai
upeti dan pajak yang harus diserahkan ke Negara Daha. Patih Masih
mengadakan pertemuan dengan Patih Balit, Patih Muhur, Patih
Balitung, Patih Kuwin untuk mencari jalan agar jangan terus-menerus
desa mereka menjadi desa. Mereka sepakat mencari Pangeran
Samudera cucu Maharaja Sukarama yang menurut sumber berita
sedang bersembunyi di daerah Balandean, Serapat, karena Pangeran
Tumenggung yang sekarang Menjadi raja di Negara Daha pamannya
sendiri ingin membunuh Pangeran Samudera. Pangeran Samudera
dirajakan di kerajaan baru Banjar setelah berhasil merebut bandar
Muara Bahan, bandar dari Negara Daha dan memindahkan bandar
tersebut ke Banjar dengan para pedagang dan penduduknya. Bagi
Pangeran Tumenggung sebagai raja Negara Daha, hal ini berarti suatu
pemberontakan yang tidak dapat dimaafkan dan harus dihancurkan,

135
perang tidak dapat dihindarkan lagi. Pangeran Tumenggung kalah,
mundur dan bertahan di muara sungai Amandit.

Dalam perjalanan sejarah raja-raja di Kalimantan Selatan, bila


diteliti dengan seksama nampak bahwa pergantian raja-raja dari
Negara Daha sampai Banjarmasin dari :

1. Maharaja Sari Kaburangan/Raden Sekar Sungsang

2. Maharaja Sukarama

3. Pangeran Mangkubumi/Raden Manteri

4. Pangeran Tumenggung

5. Pangeran Samudera

Bukan pergantian yang lumrah dari ayah kepada anak tapi dari
tangan musuh yang satu ketangan musuh yang lain, melalui revolusi
istana. Raden Sekar Sungsang usurpator pertama adalah pembangunan
dinasti Hindu Negara Daha, dan Pangeran Samudera usurpator kedua
adalah pembangun dinasti Islam Banjarmasin.

2. Islam Masuk di Kalimantan Timur


Pada masa pemerintahan Aji Raja Mahkota (1525-600) kerajaan
Kutai Kartanegara kedatangan dua orang ulama dari Makassar, yaitu
Syekh Abdul Qadir Khatib Tunggal yang bergelar Datok Ri Bandang dan
Datok Ri Tiro yang dikenal dengan gelar Tunggang Parangan. Seperti
yang di kisahkan dalam Silsilah Kutai, tujuan kedatangan dua ulama
tersebut adalah untuk menyebarkan agama islam dengan cara
mengajak Aji Raja Mahkota Untuk memeluk agama Islam, pada awalnya
ajakan ulama ini di tolak oleh Aji Raja Mahkota dengan alasan bahwa
agama di kerajaan Kutai Kartanegara adalah Hindu.

136
Langkah dakwah kedua ulama ini untuk mengajak Aji Raja
Mahkota di tolak oleh sang Raja. Bahkan karena langkah dakwah ini
buntu, Tuan ri Bandang akhirnya memutuskan kembali ke Makassar
dan meninggalkan tunggang parangan di kerajaan Kutai Kartanegara.
Sebagai jalan akhir, Tunggang Parangan menawarkan solusi kepada Aji
Raja Mahkota untuk mengadu kesaktian dengan taruhan apabila Aji
Raja Mahkota kalah, maka sang raja bersedia untuk memeluk islam.
Akan tetapi jika Aji Raja Mahkota yang akan menang maka Tunggang
Parangan akan mengabdikan hidupnya untuk kerajaan Kutai
Kartanegara.

Solusi Tunggang Parangan di setujui oleh Raja Mahkota. Adu


kesaktian akhirnya di gelar dan berujung dengan kekalahan Aji Raja
Mahkota. Sebagai konskuensi kekalahan, maka Aji Raja Mahkota
Akhirnya masuk Islam. Sejak Aji Raja Masuk Islam maka pengaruh
Hindu yang telah tertular lewat interaksi dengan kerajaan majapahit
lambat laun luntur dan berganti dengan pengaruh Islam dan sebagian
rakyat yang masih memilih untuk memeluk agama hindu kemudia
tersisih dan berangsur-angsur pindah ke daerah pinggiran kerajaan.
Perkembangan kerajaan Kutai Kartanegara yang mempunyai lokasi
berdekatan dengan kerajaan kutai yang lebih dulu ada di Muara Kaman
pada awalnya tidak menimbulkan friksi yang berarti. Hanya saja ketika
Kerajaan Kutai Kartanegara di perintah oleh Aji Pangeran Sinom Panji
Mendapa ing Martadipura (1605-1635 M) terjadi perang antara dua
kerajaan besar ini. Di akhir perang Kerajaan Kutai dan Kerajaan Kutai
Kartanegara di lebur menjadi satu dengan nama Kerajaan Kutai
Kartanegara ing Martadipura. Raja pertama dari penggabungan dua
kerajaan ini adalah Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa ing Martadipura
(1605-1635 M).

137
Pada masa pemerintahan Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa ing
Martadipura, pengaruh Islam yang telah masuk sejak pemerintahan Aji
Raja Mahkota (1525-1600 M) telah mengakar kuat. Islam sangat
berpengaruh pada sistem pemerintahan Kerajaan Kutai Karta Negara
ing Martadipura. Indikator dari pengaruh islam terlihat pada
pemakaian Undang-Undang Dasar Kerajaan yang di kenal dengan nama
“Panji Salaten” yang terdiri dari 39 Pasal dan memuat sebuah kitab
peraturan yang bernama “Undang-Undang Beraja Nanti” yang memuat
164 Pasal peraturan. Kedua Undang-Undang tersebut berisi peraturan
tentang yang di sandarkan pada Hukum Islam. Pemimpin pertama yang
memakai gelar “Sultan” adalah Aji Su;tan Muhammad Idris. Beliau
merupakan menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng, seorang
bangsawan Bugis di Sulawesi Selatan. Pada saat rakyat Bugis di
Sulawesi Selatan sedang berperang melawan VOC (Vereenigde Oost
Indische Compagnie), Sultan Wajo meminta bantuan Aji Sultan
Muhammad Idris. Permintaan bantuan pun di penuhi oleh Aji Sultan
Muhammad Idris. Kemudian berangkatlah rombongan Aji Sultan
Muhammad Idris ke Sulawesi Selatan untuk membantu Sultan Wajo La
Madukelleng. Dalam upaya memberikan bantuan tersebut Aji Sultan
Muhammad Idris Meninggal dunia.

Selama kepergian Aji Sultan Muhammad Idris ke Sulawesi, kursi


Sultan Kutai Kartanegara ing Martadi pura di pegang oleh dewan
perwakilan. Tetapi ketika Aji Sultan Muhammad Idris Meninggal dalam
pertempuran di Sulawesi, timbul perebutan tahta tentangpengganti
sultan. Perebutan tahta terjadi antara kedua anak Aji Sultan
Muhammad Idris, yaitu putra Mahkota Aji Imbut dan Aji Kado. Pada
awal awal perebutan tahtta, Aji Imbut terdesak oleh Aji Kado dan lari ke
Sulawesi, ke tanah kakeknya, yaitu Sultan Wajo La MAdukelleng. Aji
Imbut menggalang kekuatan untuk kembali menyerang Aji Kado yang

138
telah menduduki ibukota kesultanan Kutai Kartanegara ing
Martadipura yang terletak di pemarangan, karena ibukota Kesultanan
Kutai Kartanegara telah berpindah dari Kutai lama ke Pemarangan
sejak tahun 1732. Aji Imbut Akhirnya menyerang Aji Kado di
Pemarangan. Di dukung oleh orang-orang Wajo dan Bugis dan Aji Imbut
berhasil mengalahkan Aji Kado dan memduduki singgasana Kesultanan
Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan Gelar Aji Marhum
Muslihuddin (1739-1782 M). sedangkan Aji Imbut dihukum mati dan
dimakamkan di pulau jembayan.

Di Kalimantan Timur inilah dua orang da’i terkenal datang, yaitu


Datuk Ri Bandang dan Tuan Tunggang Parangan, sehingga raja Kutai
(raja Mahkota) tunduk kepada Islam diikuti oleh para pangeran, para
menteri, panglima dan hulubalang. Untuk kegiatan dakwah ini
dibangunlah sebuah masjid. Tahun 1575 M, raja Mahkota berusaha
menyebarkan Islam ke daerah-daerah sampai ke pedalaman
Kalimantan Timur sampai daerah Muara Kaman, dilanjutkan oleh
Putranya, Aji Di Langgar dan para penggantinya.

3. Islam Masuk di Kalimantan Tengah


Seorang ulama yang telah berjasa besar dalam menyebarkan
ajaran Islam di Pulau Kalimantan, khususnya di wilayah Kotawaringin.
Ulama tersebut adalah Kiai Gede, seorang ulama asal Jawa yang diutus
oleh Kesultanan Demak untuk menyebarkan ajaran Islam di Pulau
Kalimantan. Kedatangan Kiai Gede tersebut ternyata disambut baik oleh
Sultan Mustainubillah. Oleh sang Sultan, Kiai Gede kemudian
ditugaskan menyebarkan Islam di wilayah Kotawaringin, sekaligus
membawa misi untuk merintis kesultanan baru di wilayah ini. Berkat
jasa-jasanya yang besar dalam menyebarkan Islam dan membangun

139
wilayah Kotawaringin, Sultan Mustainubillah kemudian menganugerahi
jabatan kepada Kiai Gede sebagai Adipati di Kotawaringin dengan
pangkat Patih Hamengkubumi dan bergelar Adipati Gede Ing
Kotawaringin. Namun, hadiah yang paling berharga dari sang Sultan
bagi Kiai Gede adalah dibangunnya sebuah masjid yang kelak bukan
sekedar sebagai tempat beribadah, melainkan juga sebagai pusat
kegiatan-kegiatan kemasyarakatan bagi Kiai Gede dan para
pengikutnya.

Bersama para pengikutnya, yang waktu itu hanya berjumlah 40


orang, Kiai Gede kemudian membangun Kotawaringin dari hutan
belantara menjadi sebuah kawasan permukiman yang cukup maju.
Kalaupun wilayah Kotawaringin sekarang ini menjadi salah satu kota
yang terbilang maju di Kalimantan, hal itu tidak dapat dipisahkan dari
jasa besar Kiai Gede dan para pengikutnya. Kiai Gede membangun
Sebuah Masjid yang bernama Masjid Kiai Gede, Mesjid ini menjadi saksi
sejarah perkembangan Islam di Kotawaringin. Masjid Kiai Gede
dibangun pada tahun 1632 Miladiyah atau tahun 1052 Hijriyah,
tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Mustain Billah (1650-1678
M), raja keempat dari Kesultanan Banjarmasin.

140
A. AWAL MULA KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN
Pada waktu islam berkembang diseluruh kepulauaan Indonesia
kerajaan majapahit hindu diperintah oleh brawija putera angka wijaya,
yang kemudian mengalami keruntuhan raja yang dirobohkan kerajaan
majapahit ialah raden patah dengan delapan menterinya yaitu Sunan
Ampel.Sunan Giri.Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus,
Ngundung dan Sunan Demak. Mulai itulah agama islam disebar
diseluruh indonesia . yang menjadi islam sesungguhnya adalah haji
purwa putera brawijaya maesa tandrana dan lari ke cirebon. Dicirebon
agama islam disebarkan oleh syech bin maulana malik syech ibrahim
yang bergelar sultan gunung jati. Sedangkan kerajaan Islam di
Kalimantan ada di Banjarmasin sejak Pangeran Samudra atau Pangeran
Suriansyah alias Maruhum ialah:

(1) (kerajaan banjar masin tahun 1540 dalam pemerintahan pangeran


samudra (yang kemudian di islamkan bernama pangeran suriansyah
atau maruhum)

141
(2) kota waringin tahun1620. Sultannya yang pertama ratu bagawan

(3) pasir (tanah grogot) tahun 1600. Didirikan oleh orang arab yamg
menikah dengan seorang puteri sultan (puteri petung)

(4) kutei (kutai) tahun 1600. Diperintah oleh raka mahkota

(5) berau dan bulongan tahun 1700, diperintah oleh raja adipati

(6) pontianak tahun 1450

(7) matan tahun 1743, didirikan oleh seorang arab bernama syarif
husin

(8) mempawa tahun 1750, juga oleh seorang arab bernama syarif
husin.

Mula-mula kerajaan hindu berperang dengan kerajaa islam,


tetapi akhirnya kerajaan hindu menyerah , yaitu kerajaan hindu dicandi
laras dan candi agung juga ditanjung pura dan lain-lain. Sebagian rakyat
memeluk agama islam termasuk sebagian rakyat dayak dipantai-pantai.
Rakyat dayak yang telah masuk islam , ialah yang sering disebut sebagai
dayak melayu, yang kebanyakkan di kuala kapuas , tumpung laung
(barito) dan beberapa kampung melayu, sebenarnya mereka tetap suku
dayak , hanya sudah memeluk agama islam.

Pangeran samudra (suriansyah) pernah meminta seorang puteri


bernama biang lawai untuk dijadikan istri. Biang lawai, adalah adik
patih dadar, patih muhur, dan mengijin perkawinan, hanya dengan
perjanjian tidak akan di islamkan.mula-mula oleh pangeran samudra,
disanggupi, tetapi sesudah sampai istana, putri itu dikabarkan
diislamkan. Kabar tersebut sampai kepada patih muhur bersaudara,
menimbulkan amarah patih rumbih dari kahayan , patih muhur dari

142
bakumpai (barito)dengan ilmu gaib, berhasil merampas saudaranya
kembali, biang lawai, dari istana sultan dan dibawanya kesungai katan.
Pangeran samudra memerintah balatentaranya untuk mencari
perempuan tersebutdipedelaman. Tetapi karena balatentara patihn
muhur sangat hebat, maka mundur lah balatentara sultan. Patih muhur
dan patih rumbih mundur dan membuat pertahanandi taliu dikampung
tundai. Sesudah itu mereka mundur lagi membuat pertahanan didanau
karam bersebrangan dengan negeri goha kahayan. Mereka
menyebrangi danau tersebut dan dipasang dundang, bambu yang
diruncingkan dibawah jembatans ehingga sewktu-wktu jembatan
tersebut dapat diputuskan jika balatentara sultan lewatatas jembatan
dan luka-luka terkena bambu yang diruncingkan dibawahnya. Perahu-
perahu mereka dapat dirampas oleh patih rumbih ditengelamkan .
sekarang tempat tersebut dinamai berayar yang artinay “berlayar”.

Diantara tempat pertempuran-pertempuran tersebut dengan


bentengnya ialah sungai muhur (barito), parabingan, (pangkoh) bukit
rawi, tewang pajagen, tewah, hulu kaspuas dan lain-lain. Tentang
tersebarnya agama islam dari banten kedaerah Kalimantan dapat kita
baca artikel kerajaan islam dari banten di karang an R. Muchtadi dalam
almanak muhamadyah 1357 H (1938) hlm. 166 dan 169, antara lain
ditulis : aliudin sultan banten bergelar abu mufakir muhamad aliudin,
dia beramah tamah dengan kompeni, dan mendapat kebebasan sisa
utang kerajaan banten sebanyak 60.000 ringgit, bekas menempuh
landak (tahun 1698 ditentukan , bahwa landak dan sukadana
diserahkan pada kompeni.

Daerah pantai barat kalimantan diperintah oleh sultan


abdurahman yang mendirikan kota pontianak. Sultan muhamad aliudin
hanya berputera seorang saja dan meninggal ketika masih kanak-kanak

143
tahun1786. Sultan zainal abidin dari banten memasuki landak, matan.
Tahun 1699. Kapal kompeni /VOC dan 75 pecalang banten berlayar
kesukadana diperintahkan oleh sultan agung (pangeran agung),
keponakan sultan banten yang bergelar panebahan. Sultan landak
didibantu oleh orang bugis dapat merebut kembali daerahnaya .
sehingga panebahan dapat dipukul mundur , dengan keluarganya
melarikan diri ke anyer (banten). Landak dipegaruhi selama 80 tahun
(1699-1778).

KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN

1. Kesultanan Pasir
Dahulunya rakyat dayak pasir, diperintahkan oleh kepala-kepala
dari rakyat dayak sendiri . ada seorang kepala suku dayak yang sangat
berpengaruh , yang bernama tamanggung tokio, mengusulkan agar
didaerah daerah dikepali oleh sorang kepala suku dan untuk itu diminta
sultan yang dekat tempat tinggalnya. Mereka telah berangkat dengan
perahu yang penuh bermuatan emas dan perak, yang dianugrahkan
kepada nya kepada raja yang baru , mereka telah pergi ke utara dan
selatan, tetapi tak ada mendapat seorangpun yang dipandang cakap.
Tamanggung tokio sangatlah sedih sampai tidak minum dan makan ,
kemudian dalam mimpinya ia melihat seorang tua yang berkata
kepadanya: Untuk mendapat raja, baiklah engkau pergi kelaut, dan
disitu engkau memperoleh sepotong bambu, yang ruasnya tarapung
apung dilaut ambilah bambu itu, dan bungkuslah dengan sutra kuning,
karena didalam bambu itu ada sebutir telur yang harus dirabun diberi
asap dupa, menyan dan garu. Dan dari telur itu nanti akan dilahirkan
seorang raja perempuan.

Pada esokkan harinya sesudah dia bangun, tamanggung tokio


menuruti pesan perempuan dalam mimpinya . sesudah 3 hari 3 malam

144
telur itu didupakan, maka terbelah dua lah buluh itu dan dari telur itu
pecah pula dan dilahirkan seorang bayi puteriyang cantik jelita. Anak
itu sama sekali tidak mampu menyusu, setelah berusaha dapatlah ia
diberi makanan dengan susu kerbau putih: lambat laun menjadi akil
balig. Puteri inilah yang diangkat jadi raja *(ratu pasir) , dan waktu ia
berumur 15 tahun ia telah dinikahnkan , tetapi malang sekali ia tidak
mendapat keturunan sihingga harus diceraikan beberapa kali.
Seterusnya sesudah kawin yang ketujuh kali , belum juga mempunyai
anak, kebetulan datang lah seorang arab dari jawa (gresik), terus
dikawin kan dengan sang puteri . orang yang dari gresik tersebut
dicarinya dukun agar membuang sari bambu yang ada pada sang puteri
sehingga bisa melahirkan 2 puteri dan satu putera. Puetri yang tertua
dikawinkan dengan seorang arab yang membawa agama islam dipasir
(1600). Yang putera sesudah ibunda mangkat, mengantikan duduk
disingasana. Inilah cerita ringkas dari raja pasir, yang berasal dari
sebutir telur dan bersuamikan putera arab dari jawa.

2. Kesultanan Banjar (1526-1905).


Kesultanan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin (berdiri 1520,
masuk Islam 24 September 1526, dihapuskan Belanda 11 Juni 1860,
pemerintahan darurat/pelarian berakhir 24 Januari 1905) adalah
sebuah kesultanan wilayahnya saat ini termasuk ke dalam provinsi
Kalimantan Selatan, Indonesia. Kesultanan ini semula beribukota di
Banjarmasin kemudian dipindahkan ke Martapura dan sekitarnya
(kabupaten Banjar). Ketika beribukota di Martapura disebut juga
Kerajaan Kayu Tangi. Ketika ibukotanya masih di Banjarmasin, maka
kesultanan ini disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar
merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu
yang beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota
kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.

145
3. Kesultanan Kotawaringin
Kerajaan Kotawaringin adalah sebuah kerajaan Islam
(kepangeranan cabang Kesultanan Banjar) di wilayah yang menjadi
Kabupaten Kotawaringin Barat saat ini di Kalimantan Tengah yang
menurut catatan istana al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama)
didirikan pada tahun 1615 atau 1530, dan Belanda pertama kali
melakukan kontrak dengan Kotawaringin pada 1637, tahun ini
dianggap sebagai tahun berdirinya sesuai dengan Hikayat Banjar dan
Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja
ditulis tahun 1663 dan di antara isinya tentang berdirinya Kerajaan
Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah.

Pada mulanya Kotawaringin merupakan keadipatian yang


dipimpin oleh Dipati Ngganding. Kerajaan Pagatan (1750). Kerajaan
Pagatan (1775-1908) adalah salah satu kerajaan yang pernah berdiri di
wilayah Tanah Kusan atau daerah aliran sungai Kusan, sekarang
wilayah ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Tanah Bumbu,
Kalimantan Selatan. Wilayah Tanah Kusan bertetangga dengan wilayah
kerajaan Tanah Bumbu (yang terdiri atas negeri-negeri: Batu Licin,
Cantung, Buntar Laut, Bangkalaan, Tjingal, Manunggul, Sampanahan).

4. Kesultanan Sambas (1675)


Kesultanan Sambas adalah kesultanan yang terletak di wilayah
pesisir utara Propinsi Kalimantan Barat atau wilayah barat laut Pulau
Borneo (Kalimantan)dengan pusat pemerintahannya adalah di Kota
Sambas sekarang. Kesultanan Sambas adalah penerus dari
kerajaankerajaan Sambas sebelumnya. Kerajaan yang bernama Sambas
di Pulau Borneo atau Kalimantan ini telah ada paling tidak sebelum
abad ke-14 M sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Negara

146
Kertagama karya Prapanca. Pada masa itu Rajanya mempunyai gelaran
"Nek" yaitu salah satunya bernama Nek Riuh.

Setelah masa Nek Riuh, pada sekitar abad ke-15 M muncul


pemerintahan Raja yang bernama Tan Unggal yang terkenal sangat
kejam. Karena kekejamannya ini Raja Tan Unggal kemudian dikudeta
oleh rakyat dan setelah itu selama puluhan tahun rakyat di wilayah
Sungai Sambas ini tidak mau mengangkat Raja lagi. Pada masa
kekosongan pemerintahan di wilayah Sungai Sambas inilah kemudian
pada awal abad ke-16 M (1530 M) datang serombongan besar
Bangsawan Jawa (sekitar lebih dari 500 orang) yang diperkirakan
adalah Bangsawan Majapahit yang masih hindu melarikan diri dari
Pulau Jawa (Jawa bagian timur) karena ditumpas oleh pasukan
Kesultanan Demak dibawah Sultan Demak ke-3 yaitu Sultan Trenggono.

5. Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.


Kesultanan Kutai atau lebih lengkap disebut Kesultanan Kutai
Kartanegara ing Martadipura (Martapura) merupakan kesultanan
bercorak Islam yang berdiri pada tahun 1300 oleh Aji Batara Agung
Dewa Sakti di Kutai Lama dan berakhir pada 1960. Kemudian pada
tahun 2001 kembali eksis di Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi
oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai upaya untuk
melestarikan budaya dan adat Kutai Keraton. Dihidupkannya kembali
Kesultanan Kutai ditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta
yakni putera mahkota Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat
menjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar H. Adji
Mohamad Salehoeddin II pada tanggal 22 September2001.

6. Kesultanan Berau (1400).


Kesultanan Berau adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri di
wilayah Kabupaten Berau sekarang ini. Kerajaan ini berdiri pada abad

147
ke-14 dengan raja pertama yang memerintah bernama Baddit
Dipattung dengan gelar Aji Raden Suryanata Kesuma dan istrinya
bernama Baddit Kurindan dengan gelar Aji Permaisuri. Pusat
pemerintahannya berada di Sungai Lati, Kecamatan Gunung Tabur.
Sejarahnya kemudian pada keturunan ke-13, Kesultanan Berau terpisah
menjadi dua yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan
Sambaliung.Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849,
wilayah ini termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling berdasarkan Bêsluit
van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van
NederlandschIndie, pada 27 Agustus 1849, No. 8

7. Kesultanan Sambaliung (1810).


Kesultanan Sambaliung adalah kesultanan hasil dari pemecahan
Kesultanan Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu
Sambaliung dan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an. Sultan
Sambaliung pertama adalah Sultan Alimuddin yang lebih dikenal
dengan nama Raja Alam. Raja Alam adalah keturunan dari Baddit
Dipattung atau yang lebih dikenal dengan Aji Suryanata Kesuma raja
Berau pertama. Sampai dengan generasi ke-9, yakni Aji Dilayas.
AjiDilayas mempunyai dua anak yang berlainan ibu. Yang satu
bernamaPangeran Tua dan satunya lagi bernama Pangeran Dipati.
Kemudian, kerajaan Berau diperintah secara bergantian antara
keturunan Pangeran Tua dan Pangeran Dipati (hal inilah yang membuat
terjadinya perbedaan pendapat yang bahkan kadang-kadang
menimbulkan insiden). Raja Alam adalah cucu dari Sultan Hasanuddin
dan cicit dari Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata
Kesuma. Raja Alam adalah sultan pertama di Tanjung Batu Putih, yang
mendirikan ibukota kerajaannya di Tanjung pada tahun 1810. (Tanjung
Batu Putih kemudian menjadi kerajaanSambaliung).

148
8. Kesultanan Gunung Tabur (1820).
Kesultanan Gunung Tabur adalah kerajaan yang merupakan
hasil pemecahan dari Kesultanan Berau, dimana Berau dipecah menjadi
dua, yaitu Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur pada sekitar
tahun 1810-an. Kesultanan ini sekarang terletak dalam wilayah
kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau, provinsi Kalimantan
Timur.

9. Kesultanan Pontianak (1771).


Kesultanan Kadriah Pontianak didirikan pada tahun 1771 oleh
penjelajah dari Arab Hadramaut yang dipimpin oleh al-Sayyid Syarif
'Abdurrahman al-Kadrie, keturunan Rasulullah dari Imam Ali arRidha.
Ia melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan
putri dari Panembahan Mempawah dan kedua dengan putri Kesultanan
Banjarmasin (Ratu Syarif Abdul Rahman, puteri dari Sultan Sepuh
Tamjidullah I).Setelah mereka mendapatkan tempat di Pontianak,
kemudian mendirikan Istana Kadariah dan mendapatkan pengesahan
sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada tahun 1779.

10. Kerajaan Tidung


Kerajaan Tidung atau dikenal pula dengan nama Kerajaan
Tarakan (Kalkan/Kalka) adalah kerajaan yang memerintah Suku
Tidung di utara Kalimantan Timur, yang berkedudukan di Pulau
Tarakan dan berakhir di Salimbatu.

11. Kesultanan Bulungan(1731).


Kesultanan Bulungan atau Bulongan adalah kesultanan yang
pernah menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten
Malinau, Kabupaten Nunukan, dan Kota Tarakan sekarang. Kesultanan
ini berdiri pada tahun 1731, dengan raja pertama bernama Wira Amir
gelar Amiril Mukminin (1731–1777), dan RajaKesultanan Bulungan

149
yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar Sultan Maulana
Muhammad Djalalluddin (1931-1958).

B. PENINGGALAN SEJARAH KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN


 Keraton Kadriah (kota Pontianak)
Keraton Kadriah Pontianak merupakan pusat pemerintahan
Pontianak tempo dulu, struktur bangunannya terbuat dari kayu yang
sangat kokoh, didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie pada
tahun 1771. keraton ini memberikan daya tarik khusus bagi para
pengunjung dengan banyaknya artefak atau benda-benda bersejarah
seperti beragam perhiasan yang digunakan secara turun-temurun sejak
jaman dahulu. Di samping itu, koleksi tahta, meriam, benda-benda kuno,
barang pecah belah dan foto keluarga yang telah mulai pudar,
menggambarkan kehidupan dan kejayaan kerajaan ini dimasa lampau.

 Keraton Amantubillah (Pontianak)


Mempawah, memilIki beragam potensi wisata. Selain event
tahunan berupa acara robo-robo, mempawah juga memilki istana
Amantubillah, seni budaya, dan beragam kuliner khas mempawah.
Nama Istana “Amantubillah” mempunyai arti, “Aku beriman kepada
Allah”. Istana yang didominasi oleh warna hijau ini menempatkan
tulisan “ Mempawah harus maju, malu dengan adat” pada pintu gerbang
istana

 Keraton Ismahayana (Kab. Landak)


Keraton Ismahayana Landak terletak sekitar 50 meter disebelah
barat sungai pinyuh yang membelah kota ngabang. Istana ini berupa
rumah panggung khas melayu Kalimantan Barat yang memanjang
kebelakang dengan fondasi, lantai dan dinding, serta atap sirap dari

150
kayu belian sebagai bahan utamanya. Terdapat beberapa koleksi
peninggalan Kesultanan Landak yang tergolong sebagai warisan budaya
dan sejarah, diantaranya mahkota Sultan Landak, keris “sikanyut”,
sepasang pedang sakti, tempat tidur panembahan dan istrinya, duplikat
payung kebesaran Sultan, dua kipas raja, seperangkat gamelan, dan Al-
Quran kuno. Selain itu, ada juga artefakartefak lain seperti meriam “si
penyuk” dan empat buah meriam lainnya, lontar silsilah raja dan
sejarah singkat Kesultanan Landak, foto-foto keluarga raja, bendera
Kesultanan, serta perlengkapan upacara perkawinan adat berupa
timbangan kayu.

 Keraton Surya Negara (Kab. Sanggau)


Daerah yang dikenal dengan julukan Bumi Daranante ini
memilki banyak keunikan. Baik beragam kekayaan alam, sejarah
maupun pesona budaya daerahnya. Seiring peradaban manusia,
Kabupaten Sanggau juga mempunyai peninggalan kebudayaan jaman
keemasan masyarakat sanggau tempo dulu. Ditandai dengan
terdapatnya Keraton Surya Negara. Dari sejarah kerajaan sanggau
memerintah pada abad ke-18 dengan rajanya bergelar “Panembahan”.
Catatan seharah menyebutkan bahwa pertama kali Kerjaan Sanggau
didirikan oleh Daranante. Dia bukan asli Sanggau, namun berasal dari
Kabupaten Ketapang. Daranante kemudian menikah dengan Babai
Cingak darui suku dayak Sanggau.

 Keraton Matan (Kab. Ketapang)


Matan yang berarti “Tanah Keselamatan” merupakan kerajaan
yang memilki sejarah panjang. Kerajaan Matan ini merupakan saksi
bisu perjalanan sejarah masyarakat dan pemerintah Kabupaten
Ketapang. Sekaligus dinasti terakhir Kerajaan Tanjungpura beragama
hindu yang pernah berdiri sejak abad 9. baru setelah tahun 1451

151
rajaraja Tanjungpura memeluk agama islam dengan nama Kerajaan
Matan yang dipimpin raja pertama bercirikan islam yakni pangeran Giri
Kusuma. Koleksi unik terdapat di keraton ini adalah Meriam “Padam
Pelita” dan sepasang tempayan bersejarah.

 Rumah Melayu (Kab. Ketapang)


Pada arsitektur traditional melayu terkandung nilai budaya yang
tinggi. Hal ini terlihat dari bentuk bubungan yang tidak lurus. Tetapi
agak mencuat ke kanan dan ke kiri. Dapat disimpulkan bahwa para ahli
pembuat rumah melayu jaman dahulu telah memikirkan factor
keindahan pada bubungan rumah yang mereka diami. Letak rumah
melayu pada jaman dahulu menghadap ke arah matahari terbit. Ini
berarti mengharapkan berkah dan rahmat seperti halnya matahari pagi
yang bersinar cerah.

 Keraton Al Mukarramah (Kab.Sintang)


Seorang belanda. Sampai saat ini kompleks Istana Sintang masih
terawat dengan baik. Dihalaman istana, terdapat sebuah meriam dan
situs batu kundur, yaitu sebuah batu peninggalan Demong Irawan
sebagai lambang berdirinya Kerajaan Sintang. Di serambi depan istana
terpajang salinan Undang-undang Adat Kerajaan Sintang yang terbuat
pada masa pemerintahan Sultan Nata (disalin ulang pada tahun 1939)
serta silsilah raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Sintang.
Sedangkan pada bangunan sisi barat dan timur tersimpan koleksi
meriam, naskah Al-Quran tulisan tangan pada masa SultanNata.

 Keraton Alwatzikhoebillah (Kab. Sambas)


Kuno tapi terawat dengan baik. Hijau dan sejuk. Begitulah
kirakira kesan yang muncul ketika menginjakkan aki di

152
istanAlwatzikhoebillah Kesultanan Sambas ini, bangunan istana
didominasi dengan warna kuning sebagai warna khas melayu yang
melambangkan kewibawaan dan keluhuran budi pekerti. Terdapat pula
bekas kolam pemandian keluarga sultan di samping kanan istana dan
rumah kediaman keluarga sultan yang berada di belakang istana. Pada
sore hari, pengunjung akan berdecak kagum melihat pesona istana ini
yang eksotik, apalagi di lihat dari atas perahu yang berjalan perlahan-
perlahan di atas Sungai Sambas Kecil.

 Rumah Adat Dayak Sebujit (Kab. Bengkayang)


Rumah adat dayak sebujit yang bernama “Balug” ini terletak di
kampung sebujit kecamatan siding Kabupaten Bengkayang Kalimantan
Barat ini merupakan rumah adat dayak yang dimilki suku dayak
Bidayuh. Khasanah masyarakat dayak bidayuh menggambarkan
kebersamaan dan sangat menghormati setiap tamu yang datang. Benda-
benda pusaka masih tetap menjadi simbol keperkasaan dan manjadi
kebanggan masyarakat sebagai peninggalan leluhur yang harus tetap
dijaga dan dihormati, sehingga ritual upacara adat tetap dilaksanakan
setiap tahunnya. Salah satu upacara yang dikenal adalah upacara
nyobeng yaitu upacara memandikan tengkorak manusia untuk
keselamatan kampung dari bencana maupun malapetaka yang mungkin
akan datang juga sebagai simbol penghormatan terhadap roh leluhur.

 Bangunan Leluhur Marga Chia Hiap Sin (Kota Singkawang)


Sebuah bangunan ala Tiongkok kuno terletak di belakang
deretan bangunan ruko baru Jl. Budi Utomo, Singkawang. Tepatnya
rumah no. 37 ini berada di ujung jalan menuju tepi sungai. Bangunan ini
tampak masih kokoh berdiri selama ratusan tahun hingga sekarang.
Bentuknya yang mirip “Si he yuan” (bangunan khas Tiongkok Utara)ini
justru memberikan kesan bersahaja dan sedikit kesuraman karena

153
terkikis hantaman cuaca selama ratusan tahun. Namun, rumah besar
Hiap Sin ini merupakan bangunan ala kombinasi timur barat
satusatunya yang tertua dan masih berdiri kokoh di Singkawang.

 Rumah Betang ( Rumah Adat Dayak KalBar)


Budaya Betang merupakan cerminan mengenai kebersamaan
dalam kehidupan sehari-hari orang Dayak. Di dalam rumah Betang ini
setiap kehidupan individu dalam rumah tangga da masyarakat secara
sistematis diatur melalui kesepakatan bersama yang dituangkan dalam
hukum adat. Keamanan bersama, baik dari gangguan kriminal atau
berbagi makanan, suka duka maupun mobilitas tenaga untuk
mengerjakan ladang. Nilai utama yang menonjol dalam kehidupan di
rumah Betang adalah nilai kebersamaan (komunalisme) di antara para
warga yang menghuninya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang
mereka miliki. Dari sini kita mengetahui bahwa suku Dayak adalah suku
yang menghargai suatu perbedaan. Suku Dayak menghargai perbedaan
etnik, agama ataupun latar belakang sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Masykuri, "Potret Masyarakat Madani di Indonesia", dalam


SeminarNasional tentang "Menatap Masa Depan Politik Islam di
Indonesia",Jakarta:

International Institute of Islamic Thought, Lembaga Studi Agama dan


Filsafat UIN Jakarta, 10 Juni 2003

Ali Daud, Muhammad, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali, 1991,


Cet .ke-2

154
Antonio, Muhammad Syafi'I, Bank Syari'ah: Dari Teori ke Praktek,
Jakarta: Gema Insani Press, 2001

Anwar, M. Syafi'i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian


Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina,
1995

Azra, Azyumardi, Islam reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan,


Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 1999

Http://NovalBunglon.blogspot.com

http://ldiisampit.blogspot.com/2011/11/perkembangan-islam-di-
kalimantan.html

BAB 7
KERAJAAN KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI

A. Sejarah Masuknya Islam di Sulawesi

Ribuan pulau yang ada di Indonesia, sejak lama telah menjalin


hubungan dari pulau ke pulau. Baik atas motivasi ekonomi maupun
motivasi politik dan kepentingan kerajaan. Hubungan ini pula yang
mengantar dakwah menembus dan merambah Celebes atau Sulawesi.
Menurut catatan company dagang Portugis yang datang pada tahun
1540 saat datang ke Sulawesi, di tanah ini sudah bisa ditemui
pemukiman Muslim di beberapa daerah. Meski belum terlalu besar,
namun jalan dakwah terus berlanjut hingga menyentuh raja-raja di
Kerajaan Goa yang beribu negeri di Makassar.

155
Raja Goa pertama yang memeluk Islam adalah Sultan Alaudin al
Awwal dan Perdana Menteri atau Wazir besarnya, Karaeng Matopa
pada tahun 1603. Sebelumnya, dakwah Islam telah sampai pula pada
ayahanda Sultan Alaudin yang bernama Tonigallo dari Sultan Ternate
yang lebih dulu memeluk Islam. Namun Tonigallo khawatir jika ia
memeluk Islam, ia merasa kerajaannya akan di bawah pengaruh
kerajaan Ternate. Beberapa ulama Kerajaan Goa di masa Sultan Alaudin
begitu terkenal karena pemahaman dan aktivitas dakwah mereka.
Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk ri Bandang, datuk Patimang
dan Datuk ri Tiro. Dapat diketahui dan dilacak dari nama para ulama di
atas, yang bergelar datuk-datuk adalah para ulama dan mubalig asal
Minangkabau yang menyebarkan Islam ke Makassar. Pusat-pusat
dakwah yang dibangun oleh Kerajaan Goa inilah yang melanjutkan
perjalanan ke wilayah lain sampai ke Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng,
Sidenreng, Tanette, Luwu dan Paloppo.

B. . Kerajaan Gowa-Tallo
Kesultanan Gowa-Tallo adalah kerajaan yang terletak di Sulawesi
Selatan dan berpusat di Makassar. Posisinya yang strategis menjadikan
wilayah kerajaan ini sebagai salah satu jalur pelayaran dan pusat
perdagangan terpenting di Nusantara dalam sejarah.

Sejak awal abad ke-17 Masehi, Kerajaan Gowa-Tallo resmi menjadi


kerajaan Islam atau kesultanan. I Mangarangi Daeng Manrabbia (1593-
1639) menjadi penguasa Gowa-Tallo pertama yang memeluk agama
Islam dan lantas memakai gelar Sultan Alauddin I. Sebelum menjadi
kerajaan Islam atau kesultanan, masyarakat Gowa dan Tallo menganut
kepercayaan animisme atau kepercayaan terhadap leluhur yang disebut
To Manurung. Dengan adanya dakwah dari Dato’ ri Bandang dan Dato’

156
Sulaiman, Sultan Alauddin (Raja Gowa) masuk Islam. Setelah raja
memeluk Islam, rakyat pun segera ikut memeluk Islam. Kerajaan Gowa
dan Tallo kemudian menjadi satu dan lebih dikenal dengan nama
Kerajaan Makassar dengan pemerintahannya yang terkenal adalah
Sultan Hasanuddin (1653-1669). Ia berhasil memperluas pengaruh
Kerajaan Makassar sampai ke Matos, Bulukamba, Mondar, Sulawesi
Utara, Luwu, Butan, Selayar, Sumbawa, dan Lombok.

Hasanuddin juga berhasil mengembangkan pelabuhannya dan


menjadi bandar transit di Indonesia bagian timur pada waktu itu.
Hasanuddin mendapat julukan “Ayam Jantan dari Timur”. Karena
keberaniannya dan semangat perjuangannya, Makassar menjadi
kerajaan besar dan berpengaruh terhadap kerajaan di sekitarnya.
Faktor-faktor penyebab Kerajaan Makassar menjadi besar:
1. Letaknya strategis, baik sekali untuk pelabuhan.
2. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis yang menyebabkan
pedagang Islam pindah ke Makassar.
3. Perkembangan Makassar menyebabkan VOC merasa tersaingi.
Makassar tidak tunduk kepada VOC, bahkan Makassar
membantu rakyat Maluku melawan VOC. Kondisi ini
mendorong VOC untuk berkuasa di Makassar dengan menjalin
kerja sama dengan Makassar, tetapi ditolak oleh Hasanuddin.
Oleh karena itu, VOC menyerang Makassar dengan membantu
Aru Palaka yang telah bermusuhan dengan Makassar.
Akibatnya, banteng Borombong dan ibu kota Sombaopu jatuh
ke tangan musuh, Hasanuddin ditangkap dan dipaksa
menandatangani Perjanjian Bongaya (1667).
1. Sejarah Awal Kerajaan Gowa-Tallo

157
Asal usul nama Gowa sudah dikenal sejak tahun 1320, yaitu sejak era
pemerintahan penguasa Gowa pertama yang bernama Tumanurung
Bainea. Orang-orang Makassar dan Bugis dikenal sebagai kaum pelaut
yang tangguh. Mattulada melalui buku Menyusuri Jejak Kehadiran
Makassar Dalam Sejarah (2011) mengungkapkan bahwa terdapat 9
negeri kecil yang sudah ada di Gowa sebelum Tumanurung hadir.
Mereka mengikat diri di bawah naungan Paccallaya (Ketua Dewan
Pemisah). Adapun 9 negeri tersebut adalah Kasuwiang Tambolo,
Lakiung, Samata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Bisei, Kalling, dan
Sero. Awalnya, mereka sering terlibat pertikaian. Dengan adanya
Paccalaya, konflik tersebut dapat ditekan. Mereka sadar bahwa untuk
dapat hidup lebih damai dibutuhkan seorang pemimpin yang bisa
mempersatukan dan mengakomodir seluruh kepentingan. Ahmad M
Sewang dalam buku Islamisasi Kerajaan Gowa: Abad XVI sampai Abad
XVII (2013) menyebutkan, mereka mencari orang dari luar kelompok.
Kemudian, mereka bertemu dengan Tumanurung di bukit Tamalate dan
mengangkatnya menjadi raja dari ke-9 negeri di Gowa itu.

Selanjutnya, digelar perundingan antara Kasuwiang Salapa


(perwakilan dari 9 negeri), Tumanurung, dan Paccalaya. Dikutip dari
penelitian Apriani Kartini dengan judul "Lontara Bilang Sebagai Sumber
Kerajaan Gowa" (2014) dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin
Makassar, berikut ini isi perjanjian tersebut:

“Berkatalah Kasuwiang Salapangan kepada Tumanurung: Dikaulah


yang akan menjemput kami menjadi baginda raja kami. Berkatalah
Tumanurung: Engkau berhamba dirilah kepadaku, sementara aku
masih menumbuk padi, masih mengambil air. Berkatalah Kasuwiang
Salapanga: Sedang istri kami tidak melakukan hal itu, apalagi baginda

158
yang kami pertuankan. Sesudah itu Tumanurunga menyanggupi
diangkat karaeng di Gowa.”

Berdasarkan kesepakatan tersebut, maka Tumanurung dinobatkan


sebagai raja pertama dari silsilah penguasa Kerajaan Gowa.
Kedatangannya bak juru selamat di tengah-tengah masyarakat yang
saat itu penuh dengan kekacauan dan ketidakteraturan.

2. MASA KERAJAAN

Pada tahun 1320 Kerajaan Gowa terwujud atas persetujuan kelompok


kaum yang disebut Kasuwiyang-Kasuwiyang dan merupakan kerajaan
kecil yang terdiri dari 9 Kasuwiyang yaitu Kasuwiyang Tombolo,
Lakiyung, Samata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Bisei, Kalling, dan
Sero.

Pada masa sebagai kerajaan, banyak peristiwa penting yang dapat


dibanggakan dan mengandung citra nasional antara lain Masa
Pemerintahan I Daeng Matanre Karaeng Imannuntungi Karaeng
Tumapa’risi Kallonna berhasil memperluas Kerajaan Gowa melalui
perang dengan menaklukkan Garassi, Kalling, Parigi, Siang
(Pangkaje’ne), Sidenreng, Lempangang, Mandalle dan lain-lain kerajaan
kecil, sehingga Kerajaan Gowa meliputi hampir seluruh dataran
Sulawesi Selatan.

Di masa kepemimpinan Karaeng Tumapa’risi Kallonna tersebutlah


nama Daeng Pamatte selaku Tumailalang yang merangkap sebagai

159
Syahbandar, telah berhasil menciptakan aksara Makassar yang terdiri
dari 18 huruf yang disebut Lontara Turiolo.

Pada tahun 1051 H atau tahun 1605 M, Dato Ribandang menyebarkan


Agama Islam di Kerajaan Gowa dan tepatnya pada tanggal 9 Jumadil
Awal tahun 1051 H atau 20 September 1605 M, Raja I Mangerangi
Daeng Manrabia menyatakan masuk agama Islam dan mendapat gelar
Sultan Alauddin. Ini kemudian diikuti oleh Raja Tallo I Mallingkaang
Daeng Nyonri Karaeng Katangka dengan gelar Sultan Awwalul Islam
dan beliaulah yang mempermaklumkan shalat Jum’at untuk pertama
kalinya.

Raja I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape


Muhammad Bakir Sultan Hasanuddin Raja Gowa ke XVI dengan gelar
Ayam Jantan dari Timur, memproklamirkan Kerajaan Gowa sebagai
kerajaan maritim yang memiliki armada perang yang tangguh dan
kerajaan terkuat di Kawasan Indonesia Timur.

Pada tahun 1653 – 1670, kebebasan berdagang di laut lepas tetap


menjadi garis kebijaksanaan Gowa di bawah pemerintahan Sultan
Hasanuddin. Hal ini mendapat tantangan dari VOC yang menimbulkan
konflik dan perseteruan yang mencapai puncaknya saat Sultan
Hasanuddin menyerang posisi Belanda di Buton.

Akibat peperangan yang terus menerus antara Kerajaan Gowa dengan


VOC mengakibatkan jatuhnya kerugian dari kedua belah pihak, oleh
Sultan Hasanuddin melalui pertimbangan kearifan dan kemanusiaan
guna menghindari banyaknya kerugian dan pengorbanan rakyat, maka
dengan hati yang berat menerima permintaan damai VOC.

160
Pada tanggal 18 November 1667 dibuat perjanjian yang dikenal
dengan Perjanjian Bungaya (Cappaya ri Bungaya). Perjanjian tidak
berjalan langgeng karena pada tanggal 9 Maret 1668, pihak Kerajaan
Gowa merasa dirugikan. Raja Gowa kembali dengan heroiknya
mengangkat senjata melawan Belanda yang berakhir dengan jatuhnya
Benteng Somba Opu secara terhormat. Peristiwa ini mengakar erat
dalam kenangan setiap patriot Indonesia yang berjuang gigih membela
tanah airnya.

Sultan Hasanuddin bersumpah tidak sudi bekerja sama dengan


Belanda dan pada tanggal 1 Juni 1669 meletakkan jabatan sebagai Raja
Gowa ke XVI setelah hampir 16 tahun melawan penjajah. Pada hari
Kamis tanggal 12 Juni 1670 Sultan Hasanuddin mangkat dalam usia 36
tahun. Berkat perjuangan dan jasa-jasanya terhadap bangsa dan negara,
maka dengan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973
tanggal 16 Nopember 1973, Sultan Hasanuddin dianugerahi
penghargaan sebagai Pahlawan Nasional.

2. 3. Masa Kemerdekaan

Pada tahun 1950 berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950


Daerah Gowa terbentuk sebagai Daerah Swapraja dari 30 daerah
Swapraja lainnya dalam pembentukan 13 Daerah Indonesia Bagian
Timur.

Sejarah Pemerintahan Daerah Gowa berkembang sesuai dengan sistem


pemerintahan negara. Setelah Indonesia Timur bubar dan negara
berubah menjadi sistem Pemerintahan Parlemen berdasarkan Undang-
Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 dan Undang-undang
Darurat Nomor 2 Tahun 1957, maka daerah Makassar bubar.

161
Pada tanggal 17 Januari 1957 ditetapkan berdirinya kembali Daerah
Gowa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
ditetapkan sebagai daerah Tingkat II . Selanjutnya dengan berlakunya
Undang-undang Nomor 1 tahun 1957 tentang Pemerintahan Daerah
untuk seluruh wilayah Indonesia tanggal 18 Januari 1957 telah
dibentuk Daerah-daerah Tingkat II.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 tahun 1957 sebagai


penjabaran Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 mencabut Undang-
Undang Darurat No. 2 Tahun 1957 dan menegaskan Gowa sebagai
Daerah Tingkat II yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Untuk operasionalnya dikeluarkanlah Surat Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor U.P/7/2/24 tanggal 6 Pebruari 1957 mengangkat Andi
Ijo Karaeng Lalolang sebagai Kepala Daerah yang memimpin 12 (dua
belas) Daerah bawahan Distrik yang dibagi dalam 4 (empat) lingkungan
kerja pemerintahan yang disebut koordinator masing-masing :

a. Koordinator Gowa Utara, meliputi Distrik Mangasa, Tombolo,


Pattallassang, Borongloe, Manuju dan Borisallo. Koordinatornya
berkedudukan di Sungguminasa.

b. Koordinator Gowa Timur, meliputi Distrik Parigi, Inklusif Malino Kota


dan Tombolopao. Koordinatonya berkedudukan di Malino.

c. Koordinator Gowa Selatan, meliputi Distrik Limbung dan


Bontonompo. Koordinatornya berkedudukan di Limbung.

d. Koordinator Gowa Tenggara, meliputi Distrik Malakaji,


koordinatornya berkedudukan di Malakaji.

162
Pada tahun 1960 berdasarkan kebijaksanaan Pemerintah Pusat di
seluruh Wilayah Republik Indonesia diadakan Reorganisasi Distrik
menjadi Kecamatan. untuk Kabupaten Daerah Tingkat II Gowa yang
terdiri dari 12 Distrik diubah menjadi 8 Kecamatan masing-masing :

a. Kecamatan Tamalate dari Distrik Mangasa dan Tombolo.

b. Kecamatan Panakkukang dari Distrik Pattallassang.

c. Kecamatan Bajeng dari Distrik Limbung.

d. Kecamatan Pallangga dari Distrik Limbung.

e. Kecamatan Bontonompo dari Distrik Bontonompo

f. Kecamatan Tinggimoncong dari Distrik Parigi dan Tombolopao

g. Kecamatan Tompobulu dari Distrik Malakaji.

h. Kecamatan Bontomarannu dari Distrik Borongloe, Manuju dan


Borisallo.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1971 tentang


perluasan Kotamadya Ujung Pandang sebagai Ibukota Propinsi,
Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Gowa menyerahkan 2 (dua)
Kecamatan yang ada di wilayahnya, yaitu Kecamatan Panakkukang dan
sebagian Kecamatan Tamalate dan Desa Barombong Kecamatan
Pallangga (seluruhnya 10 Desa) kepada Pemerintah Kotamadya Ujung
Pandang.

Terjadinya penyerahan sebagian wilayah tersebut, mengakibatkan


makna samarnya jejak sejarah Gowa di masa lampau, terutama yang

163
berkaitan dengan aspek kelautan pada daerah Barombong dan
sekitarnya. Hal ini mengingat, Gowa justru pernah menjadi sebuah
Kerajaan Maritim yang pernah jaya di Indoneia Bagian Timur, bahkan
sampai ke Asia Tenggara.

Dengan dilaksanakannya Undang-Undang Nomor 51 tahun 1971, maka


praktis wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Gowa mengalami
perubahan yang sebelumnya terdiri dari 8 (delapan) Kecamatan
dengan 56 Desa menjadi 7 (tujuh) Kecamatan dengan 46 Desa.

Sebagai akibat dari perubahan itu pula, maka Pemerintah Daerah


Kabupaten Gowa berupaya dan menempuh kebijaksanaan-
kebijaksanaan yang didukung oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
Sulawesi Selatan dengan membentuk 2 (dua) buah Kecamatan yaitu
Kecamatan Somba Opu dan Kecamatan Parangloe.

Guna memperlancar pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan


masyarakat Kecamatan Tompobulu, maka berdasarkan Surat
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Sulawesi Selatan
No.574/XI/1975 dibentuklah Kecamatan Bungaya hasil pemekaran
Kecamatan Tompobulu. Berdasarkan PP No. 34 Tahun 1984,
Kecamatan Bungaya di defenitifkan sehingga jumlah kecamatan di
Kabupaten Gowa menjadi 9 (sembilan).

Selanjutnya pada tahun 2006, jumlah kecamatan di Kabupaten Gowa


telah menjadi 18 kecamatan akibat adanya pemekaran di beberapa
kecamatan dengan jumlah desa/kelurahan definitif pada tahun 2006
sebanyak 167 dan 726 dusun/lingkungan.

164
Dalam sejarah perkembangan pemerintahan dan pembangunan mulai
dari zaman kerajaan sampai dengan era kemerdekaan dan reformasi,
wilayah Pemerintah Kabupaten Gowa telah mengalami perkembangan
yang cukup pesat. Sebagai daerah agraris yang berbatasan langsung
dengan Kota Makassar Ibu Kota Propinsi Sulawesi Selatan menjadikan
Kabupaten Gowa sebagai daerah pengembangan perumahan dan
permukiman selain Kota Makassar.

Kondisi ini secara gradual menjadikan daerah Kabupaten Gowa yang


dulunya sebagai daerah agraris sentra pengembangan pertanian dan
tanaman pangan yang sangat potensial, juga menjadi sentra pelayanan
jasa dan perekonomian.

4. Kondisi Sosial Politik Kerajaan Gowa Tallo

Pada awal abad ke 16, datanglah Dato' ri Bandang, Ulama Islam dari
Sumatera Barat. la menyebarkan ajaran Islam di makassar Raja
Makassar, Daeng Manrabia memeluk agama Islam, dan namanya diubah
menjadi Sultan Alauddi Dibawah pemerintahannya Pemerintah 1591-
1638) Kesultanan Makassar berkembang menjadi Negara Marian yang
kuat Pada masa ini pula orang mili mengenal jenis perahu layar Lambo
dan Pinist

Kerajaan mencapai puncaknya pada masa Sultan Muhammad Said


(1639. 16531 dan Sultan Hasanuddin (1653-1669) Kedua Sultan ini
membawa Makassa sebagai daerah dagang yang maju Wilayah
kekuasaannya meluas sampai ke Fons dan Pulau Solor di Nusa
Tenggara Secara khusus dibawah Hasanuddin kerajaan kerajaan kecil
di sekitar Makassar seperti Kerajaan Wajo. Bone Luwu, dan Sopeng
berhasil dikuasai.

165
5. Kerajaan Gowa Tallo dari segi Ekonomi dan Sosial Budaya

Kerajaan ini memperoleh kemajun ekonomi yang amat pesat, tenitama


dibidang perdagangan Kemajuan di bidang perdagangan ini disebabkan
antara lain:

 Banyak pedagang hijrah ke Makassar setelah Malaka jatuh ke


tangan Portugis pada tahun 1511.
 Orang-orang Makassar dan Bugis terkenal sebagai pelaut ulung
yang dapat mengamankan wilayah lautnya.
 Tersedia banyak rempah-rempah (dari Maluku).

Makassar berkembang sebagai pelabuhan internasional. Banyak


pedagang asing seperti Portugis , Inggris , Denmark datang berdagang
di Makassar dengan tipe perahunya seperti pinisi dan lombo,
pedagang-pedang Makassar memegang peran penting dalam
perdagangan di Nusantara, meski akhirnya untuk itu harus terlibat
perang dengan VOC. Sementara itu, untuk menjamin dan mengatur
perdagangan dan pelayaran di wilayahnya, Makassar mengeharkan UU
dan hukum perdagangan yang disebut Ade Allopiloping Bacanna
Pabalue, yang dimuat dalam buku Lontana Amanna Coppa.

Meski memiliki kebebasan dalam mencapai kesejahteraan hidup,


dalam kehidupan sosial sehari-hari mereka sangat terikat dengan
nomma adat yang mereka anggap sacral. Norma kehidupan sosial
Makassar diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut
Pangadakkang. Selain norma tersebut masyarakat Makassar mengnal

166
pelpisan sastal: lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan
keluarganya disebut Anakarung/Karaeng , sedangkan rakyat
kebanyakan disebut “to merdeka” dan masyarakat lapisan bawah vattu
pars hahasahan disebut polongan “ata”.

C. Kerajaan Bone

Kesultanan Bone atau sering pula dikenal dengan Akkarungeng ri


Bone, merupakan kesultanan yang terletak di Sulawesi bagian barat
daya atau tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi Selatan sekarang ini.
Menguasai areal sekitar 2600 km2. Terbentuknya kerajaan Bone
dimulai dengan kedatangan Tomanurung ri Matajang MatasilompoE
yang mempersatukan 7 komunitas yang dipimpin oleh Matoa.
Manurung ri Matajang menikah dengan Manurung ri Toro melahirkan
La Ummasa Petta Panre Bessie sebagai Arumpone kedua. Saudara
perempuannya menikah dengan La Pattikkeng Arung Palakka yang
melahirkan La Saliyu Karampelua sebagai Arumpone ketiga.Di
masanya, kerajaan Bone semakin luas berkat keberaniannya.
Perluasan kerajaan Bone ke utara bertemu dengan kerajaan Luwu
yang berkedudukan di Cenrana, muara sungai WalennaE. Terjadi
perang antara Arumpone La Tenrisukki dengan Datu Luwu Dewaraja
yang berakhir dengan kemenangan Bone dan Perjanjian Damai Polo
MalelaE ri Unynyi. Dinamika politik militer diera itu kemudian
ditanggapi dengan usulan penasehat kerajaan yaitu Kajao Laliddong
pada Arumpone La Tenrirawe BongkangngE yaitu dengan membangun
koalisi dengan tetangganya yaitu Wajo dan Soppeng. Koalisi itu dikenal
dengan Perjanjian Tellumpoccoe.
Ratu Bone, We Tenrituppu adalah pemimpin Bone pertama yang
masuk Islam. Namun Islam diterima secara resmi dimasa Arumpone La

167
Tenripale Matinroe ri Tallo Arumpone keduabelas. Sebelumnya yaitu La
Tenrirua telah menerima Islam namun ditolak oleh hadat Bone yang
disebut Ade Pitue sehingga dia hijrah ke Bantaeng dan meninggal
disana. Ketika Islam diterima secara resmi, maka susunan hadat Bone
berubah. Ditambahkan jabatan Parewa Sara (Pejabat Syariat) yaitu
Petta KaliE (Qadhi). Namun, posisi Bissu kerajaan tetap dipertahankan.
Bone berada pada puncak kejayaannya setelah Perang Makassar,
1667-1669. Bone menjadi kerajaan paling dominan dijazirah selatan
Sulawesi. Perang Makassar mengantarkan La Tenritatta Arung Palakka
Sultan Saadudin sebagai penguasa tertinggi. Kemudian diwarisi oleh
kemenakannya yaitu La Patau Matanna Tikka dan Batari Toja. La Patau
Matananna Tikka kemudian menjadi leluhur utama aristokrat di
Sulawesi Selatan. Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa, Bone menjadi
penguasa utama di bawah pengaruh Belanda di Sulawesi Selatan dan
sekitarnya pada tahun 1666.
Bone berada di bawah kontrol Belanda sampai tahun 1814 ketika
Inggris berkuasa sementara di daerah ini, tetapi dikembalikan lagi ke
Belanda pada 1816 setelah perjanjian di Eropa akibat kejatuhan
Napoleon Bonaparte. Pengaruh Belanda ini kemudian menyebabkan
meningkatnya perlawanan Bone terhadap Belanda, namun Belanda-pun
mengirim sekian banyak ekspedisi untuk meredam perlawanan sampai
akhirnya Bone menjadi bagian dari Indonesia pada saat proklamasi.

1. Sejarah Kesultanan Bone

Bukti sejarah berdirinya Kerajaan Bone sangat sedikit, hanya


mengandalkan dari tulisan-tulisan kuno yang terdapat dalam lontara.
Kerajaan Bone didirikan oleh Manurunge ri Matajang pada 1330
masehi. Sejarah masuknya Islam ke Kerajaan Bone berawal ketika

168
kerajaan ini tidak dianggap sederajat oleh Kesultanan Gowa. Kerajaan
Bone baru akan dianggap setara apabila mau mengikuti Kesultanan
Gowa memeluk agama Islam. Raja Bone menolak persyaratan tersebut
sehingga timbul peperangan di antara dua kerajaan ini. Dalam
peperangan, Kerajaan Bone menyerah kalah dan akhirnya mau
memeluk Islam yang kemudian diikuti oleh rakyatnya. Raja Bone
pertama yang masuk Islam adalah La Tenriruwa, yang bergelar Sultan
Adam (1611-1616 M). Sejak saat itu, Raja Bone dikenal giat mengajak
rakyatnya untuk memeluk Islam.

2. Kehidupan pemerintahan

Dalam bidang politik dan pemerintahan, Kerajaan Bone sangat


menjunjung tinggi nilai demokrasi atau kedaulatan rakyat. Sistem
demokrasi ini dibuktikan dengan dibentuknya "Ade Pitue" atau tujuh
orang pejabat rakyat yang bertindak sebagai penasehat raja. Selain itu,
dalam penyelenggaraan pemerintahan kerajaan sangat mengedepankan
azas kemanusiaan dan musyawarah. Kerajaan Bone juga banyak
memetik sari pati ajaran Islam dalam menghadapi kehidupan,
perubahan, dan menjawab tantangan pembangunan.

4. Masa keemasan Kerajaan Bone

Kerajaan Bone mencapai puncak kejayaannya pada masa


pemerintahan Arung Palakka, sultan ke-15 yang bertakhta antara 1672-
1696 M. Di bawah kekuasaannya, Kerajaan Bone mampu
memakmurkan rakyatnya dengan potensi yang beragam seperti dalam
bidang pertanian, perkebunan, dan kelautan. Selain itu, kekuatan
militernya semakin kuat, setelah belajar dari lemahnya pertahanan
mereka saat kalah menghadapi Kerajaan Gowa. Setelah jatuhnya
Kesultanan Gowa, Kerajaan Bone menjadi yang terkuat di seantero
Sulawesi. Bahkan sultan yang berkuasa berhasil mengajak Kesultanan

169
Luwu, Soppeng, dan sejumlah negara kecil lainnya untuk bersekutu.

5. Pergolakan dan runtuhnya Kerajaan Bone

Kesultanan Bone mulai mengalami kemunduran setelah Sultan Ismail


Muhtajuddin, raja ke-24 wafat pada 1823 M. Setelah itu, kekuasaan
dilanjutkan oleh Arung Datu (1823-1835 M). Arung Datu berusaha
merevisi Perjanjian Bongaya yang disepakati Kerajaan Gowa dan
VOC, hingga akhirnya memicu kemarahan Belanda. Belanda
kemudian meluncurkan serangan hingga berhasil menduduki
Kerajaan Bone, sementara Arung Datu diasingkan. Dalam
pengasingan, Arung Datu masih berupaya menyerang, tetapi
usahanya selalu dapat ditumpaskan pasukan Belanda.

D. Kerajaan Wajo

Kerajaan Wajo adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar


tahun 1399, di wilayah yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini di
Sulawesi Selatan. Penguasanya disebut “Raja Wajo”. Wajo adalah
kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi. Ada tradisi lisan
yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah terbentuknya Wajo,
yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit kulit
kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya dia
bertemu dengan putra Arumpone Bone yang sedang berburu. Akhirnya
mereka menikah dan membentuk dinasti di Wajo. Ada juga tradisi lisan

170
lain yaitu kisah La Banra, seorang pangeran Soppeng yang merantau ke
Sajoanging dan membuka tanah di Cinnotabi.
Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang
umumnya memulai kerajaannya dengan kedatangan To Manurung.
Sejarah awal Wajo menurut Lontara Sukkuna Wajo dimulai dengan
pembentukan komunitas dipinggir Danau Lampulung. Disebutkan
bahwa orang-orang dari berbagai daerah, utara, selatan, timur dan
barat, berkumpul dipinggir Danau Lampulung. Mereka dipimpin oleh
seseorang yang tidak diketahui namanya yang digelari dengan
Puangnge Ri Lampulung. Puang ri Lampulung dikenal sebagai orang
yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan tatacara bertani yang
baik. Adapun penamaan danau Lampulung dari kata sipulung yang
berarti berkumpul.
Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas
wilayahnya hingga ke Saebawi. Setelah Puang ri Lampulung meninggal,
komunitas ini cair. Hingga tiba seseorang yang memiliki kemampuan
sama dengannya, yaitu Puang ri Timpengeng di Boli. Komunitas ini
kemudian hijrah dan berkumpul di Boli. Komunitas Boli terus
berkembang hingga meninggalnya Puang ri Timpengeng. Setelah itu,
putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu, yaitu La Paukke
datang dan mendirikan kerajaan Cinnotabi.
Adapun urutan Arung Cinnotabi yaitu, La Paukke Arung Cinnotabi
I yang diganti oleh anaknya We Panangngareng Arung Cinnotabi II. We
Tenrisui, putrinya menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh
putranya La Patiroi sebagai Arung Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi,
Adat Cinnotabi mengangkat La Tenribali dan La Tenritippe sekaligus
sebagai Arung Cinnotabi V. Setelah itu, Akkarungeng (kerajaan)
Cinnotabi bubar. Warga dan adatnya berkumpul di Boli dan
membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu Tellu Kajuru E.

171
La Tenritau menguasai wilayah majauleng, La Tenripekka
menguasai wilayah sabbamparu dan La Matareng menguasai wilayah
takkalalla. Ketiganya adalah sepupu satu kali La Tenribali. La Tenribali
sendiri setelah kekosongan Cinnotabi membentuk kerajaan baru
disebut Akkarungeng ri Penrang dan menjadi Arung Penrang pertama.
Ketiga sepupunya kemudian meminta La Tenribali agar bersedia
menjadi raja mereka. Melalui perjanjian Assijancingeng ri Majauleng
maka dibentuklah kerajaan Wajo. La Tenribali diangkat sebagai raja
pertama bergelar Batara Wajo. Ketiga sepupunya bergelar Paddanreng
yang menguasai wilayah distrik yang disebut Limpo. La Tenritau
menjadi Paddanreng ri Majauleng, yang kemudian berubah menjadi
Paddanreng Bettempola pertama. La Tenripekka menjadi Paddanreng
Sabbamparu yang kemudian menjadi Paddanreng Talotenreng.
Terakhir La Matareng menjadi Paddanreng ri Takkallala menjadi
Paddanreng Tuwa.

1. Wajo sebagai Kerajaan

Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian


Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang
Wajo. Posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti
menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki konstitusional. Masa
keemasan Wajo adalah pada pemerintahan La Tadampare
Puangrimaggalatung. Wajo menjadi anggota persekutuan
Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone sebagai saudara
tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu.
Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada
pemerintahan La Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato
Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali

172
ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri
Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke
Bulukumba dan meninggal di sana. Wajo terlibat Perang
Makassar (1660-1669) disebabkan karena persoalan geopolitik di
dataran tengah Sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La
Tenrilai To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan
Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk
menandatangani perjanjian Bungaya, sehingga Wajo diserang oleh
pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak
ke Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan
banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun
komunitas sosial ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang Daeng
Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima
kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal
sebagai Samarinda.
Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua Arung Matowa ke 30,
ia membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara
membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta
melakukan pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng
kemenakan La Salewangeng menjadi Arung Matowa 31 dilantik di saat
perang. Pada zamannya ia memajukan posisi wajo secara sosial politik
di antara kerajaan-kerajaan di sulsel. La Koro Arung Padali,
memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan membentuk jabatan
militer Jenerala (Jendral), Koronele (Kolonel), Manynyoro (Mayor), dan
Kapiteng (Kapten). Dia juga menandatangani Large Veklaring sebagai
pembaruan dari perjanjian Bungaya.
Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan [[Wajo]] dengan
[[Bone]] membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada
Rumpa'na Bone. Saat itu Belanda melancarkan [[politik pasifikasi]]

173
untuk memaksa semua kerajaan di [[Sulawesi Selatan]] tunduk secara
totalitas. Kekalahan Bone melawan Kompeni juga harus ditanggung
oleh [[Wajo]] sehingga [[Wajo]] harus membayar denda perang pada
Kompeni dan menandatangani Korte Veklaring sebagai pembaruan dari
Large Veklaring.
[[Wajo]] dibawah Republik Indonesia Serikat, atau tepatnya Negara
Indonesia Timur, berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949.
Setelah Konferensi Meja Bundar, Wajo bersama swapraja lain akhirnya
menjadi kabupaten pada tahun 1957. Antara tahun 1950-1957
pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak
pemberontahan DI/TII. Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah
seorang Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan, kemudian
menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja, dan akhirnya menjadi
kabupaten.

2. Perkembangan Kerajaan Wajo

Dalam sejarah perkembangan Kerajaan Wajo, kawasan ini mengalami


masa keemasan pada zaman La Tadampare Puang Ri Maggalatung
Arung Matowa, yaitu raja Wajo ke-6 pada abad ke-15. Islam diterima
sebagai agama resmi pada tahun 1610 saat Arung Matowa Lasangkuru
Patau Mula Jaji Sultan Abdurrahman memerintah. Hal itu terjadi setelah
Gowa, Luwu dan Soppeng terlebih dahulu memeluk agama Islam.
Pada abad ke-16 dan 17 terjadi persaingan antara Kerajaan Makassar
(Gowa Tallo) dengan Kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan Soppeng) yang
membentuk aliansitellumpoccoe untuk membendung ekspansi Gowa.
Aliansi ini kemudian pecah saat Wajo berpihak ke Gowa dengan alasan
Bone dan Soppeng berpihak ke Belanda. Saat Gowa dikalahkan oleh
armada gabungan Bone, Soppeng, VOC dan Buton, Arung Matowa Wajo

174
pada saat itu, La Tenri Lai To Sengngeng tidak ingin menandatangani
Perjanjian Bungayya.
Akibatnya pertempuran dilanjutkan dengan drama pengepungan
Wajo, tepatnya Benteng Tosora selama 3 bulan oleh armada gabungan
Bone, dibawah pimpinan Arung Palakka. Setelah Wajo ditaklukkan,
tibalah Wajo pada titik nadirnya. Banyak orang Wajo yang merantau
meninggalkan tanah kelahirannya karena tidak sudi dijajah. Hingga saat
datangnya La Maddukkelleng Arung Matowa Wajo, Arung Peneki,
Arung Sengkang, Sultan Pasir, beliaulah yang memerdekakan Wajo
sehingga mendapat gelar Petta Pamaradekangngi Wajo (Tuan yang
memerdekakan Wajo).

3. Struktur Kerajaan Wajo

Masa Batara Wajo


 Batara Wajo = Penguasa tertinggi (1 orang)
 Paddanreng = Penguasa wilayah, terdiri dari Bettempola
untuk Majauleng, Talotenreng untuk Sabbamparu dan
Tuwa untuk Takkalalla (3 orang)
 Arung Mabbicara = Aparat pemerintah (12) orang
Masa Arung Matoa
 Arung Matoa = Penguasa tertinggi (1 orang)
 Paddanreng = Penguasa wilayah (3 orang)
 Pabbate Lompo = Panglima perang, terdiri dari Pilla,
Patola dan Cakkuridi (3 orang)
 Arung Mabbicara = Aparat pemerintah (30 orang)
 Suro = Utusan (3 orang)

175
Kelima jabatan diatas disebut sebagai Arung PatappuloE, penguasa 40.
Jabatan lain yang tidak masuk Arung PatappuloE
 Arung Bettempola = biasanya dirangkap Paddanreng
Bettempola. Bertugas sebagai ibu orang Wajo.
Mengangkat dan menurunkan Arung Matoa berdasar
kesepakatan orang Wajo. Pada masa Batara Wajo, tugas
ini dijabat oleh Arung Penrang
 Punggawa = Panglima perang wilayah, bertugas
mengantar Arung lili ke pejabat Arung PatappuloE
 Petta MancijiE = Staf keprotokuleran istana

E. Kesultanan Buton

Kesultanan Buton terletak di Kepulauan Buton (Kepulauan


Sulawesi Tenggara) Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada zaman dahulu
memiliki kerajaan sendiri yang bernama kerajaan Buton dan berubah
menjadi bentuk kesultanan yang dikenal dengan nama Kesultanan
Buton. Nama Pulau Buton dikenal sejak zaman pemerintahan
Majapahit, Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama
Pulau Buton. Mpu Prapanca juga menyebut nama Pulau Buton di dalam
bukunya, Kakawin Nagarakertagama. Sejarah yang umum diketahui
orang, bahwa Kerajaan Bone di Sulawesi lebih dulu menerima agama
Islam yang dibawa oleh Datuk ri Bandang yang berasal dari
Minangkabau sekitar tahun 1605 M.
Sebenarnya Sayid Jamaluddin al-Kubra lebih dulu sampai di Pulau
Buton, yaitu pada tahun 815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh
Raja Mulae Sangia i-Gola dan baginda langsung memeluk agama Islam.

176
Lebih kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan oleh Syeikh Abdul
Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang dikatakan datang dari Johor.
Ia berhasil mengislamkan Raja Buton yang ke-6 sekitar tahun 948
H/1538 M. Riwayat lain mengatakan tahun 1564 M. Walau
bagaimanapun masih banyak pertikaian pendapat mengenai tahun
kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton. Dalam masa yang sama
dengan kedatangan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani,
diriwayatkan bahwa di Callasusung (Kulisusu), salah sebuah daerah
kekuasaan Kerajaan Buton, didapati semua penduduknya beragama
Islam.
Selain pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton
berasal dari Johor, ada pula pendapat yang menyebut bahwa Islam
datang di Buton berasal dari Ternate. Dipercayai orang-orang Melayu
dari berbagai daerah telah lama sampai di Pulau Buton. Mengenainya
dapat dibuktikan bahwa walaupun bahasa yang digunakan dalam
Kerajaan Buton ialah bahasa Wolio, namun dalam masa yang sama
digunakan bahasa Melayu, terutama bahasa Melayu yang dipakai di
Malaka, Johor dan Patani. Orang-orang Melayu tinggal di Pulau Buton.
Orang-orang Buton termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang
Bugis juga.
Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok
dunia Melayu dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang
hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat
memuat barang sekitar 150 ton. Kerajaan Buton secara resminya
menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja Buton
ke-6, yaitu Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo.
Bagindalah yang di-Islamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat
bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum

177
sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama istrinya
pindah ke Adonara (NTT). Kemudian dia sekeluarga berhijrah pula ke
Pulau Batu atas yang termasuk dalam pemerintahan Buton.
Di Pulau Batu atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku
menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid
bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja
Buton. Syeikh Abdul Wahid setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah
Raja Buton memeluk Islam, Baginda langsung ditabalkan menjadi
Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada tahun 948 H/1538 M.
Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena sumber lain
menyebutkan bahwa Syeikh Abdul Wahid merantau dari Patani-Johor
ke Buton pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan
Buton pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar
yang khusus yaitu Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini ialah Kuasa
Pendiri Agama Islam.

1. Sistem pemerintahan Kesultanan Buton

Berbeda dari kerajaan-kerajaan di Nusantara yang menerapkan


monarki absolut, bentuk pemerintahan Kesultanan Buton adalah
monarki konstitusional. Sehingga, pada periode kerajaan berubah
menjadi kesultanan, demokrasi memegang peranan penting. Sultan
bukan diwariskan berdasarkan keturunan saja, tetapi dipilih oleh
Siolimbona, yakni dewan yang terdiri dari sembilan orang penguasa
dan penjaga adat Buton. Selain itu, kesultanan ini memiliki undang-
undang sendiri, lengkap dengan badan-badan yang bertindak sebagai
legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Bandan-bandan yang dimaksud
adalah Sara Pangka (eksekutif), Sara Gau (legislatif), dan Sara Bitara

178
(Yudikatif). Undang-undang di Kesultanan Buton disebut Murtabat
Tujuh, yang diresmikan oleh Sultan La Elangi (1597-1631) dan
digunakan hingga kesultanan dihapuskan. Uniknya, hukum di
Kesultanan Buton ditegakkan bagi semua orang, tidak hanya rakyat
jelata tetapi juga pejabat istana atau bahkan sultan sekalipun. Terbukti,
selama empat abad berdiri, terdapat 12 sultan Buton yang dihukum
karena melanggar undang-undang. Kesultanan Buton juga memegang
lima falsafah hidup, yakni agama (Islam), Sara (pemerintah), Lipu
(negara), Karo (diri pribadi/rakyat), dan Arataa (harta benda).

2. Masa kejayaan Kesultanan Buton

Pada masa kejayaannya, Kesultanan Buton pernah menguasa Pulau


Buton dan beberapa wilayah di provinsi Sulawesi Tenggara. Untuk
mendukung pemerintahannya, kesultanan ini menjalin hubungan baik
dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi dan Pulau Jawa. Hubungan itu
membuat perekonomian Kesultanan Buton berkembang pesat,
terutama dalam sektor perdagangan. Terlebih lagi, Buton termasuk
wilayah strategis, yang sering dilalui oleh kapal dagang dari
mancanegara. Selain itu, produksi rempah-rempahnya juga meningkat
tajam. Kesultanan Buton diketahui telah memiliki alat pertukaran atau
mata uang yang disebut kampua, yakni sehelai kain tenun berukuran
17,5 cm x 8 cm. Pada abad ke-17, pemerintahan Buton telah
mengembangkan sistem perpajakan yang sangat baik, di mana pajaknya
agak ditagih oleh seorang Tunggu Weti.

179
F. Peninggalan Sejarah Islam di Sulawesi

1. Batu Pelantikan Raja (Batu Pallantikang) Batu petantikan raja (hatu


pallantikang) terletak di sebelah tenggara kompleks makam Tamalate.
Dahulu, setiap penguasa baru Gowa-Tallo di sumpah di atas batu ini
(Wolhof dan Abdurrahim, tt : 67). Batu pallantikang sesungguhnya
merupakan batu alami tanpa pem¬bentukan, terdiri dari satu batu
andesit yang diapit 2 batu kapur. Batu andesit merupakan pusat
pemujaan yang tetap disakralkan masyarakat sampai sekarang. Pe-
mujaan penduduk terhadap ditandai dengan banyaknya sajian di atas
batu ini. Mereka meyakini bahwa batu tersebut adalah batu dewa dari
kayangan yang bertuah

2. Mesjid Katangka Mesjid Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak


berdirinya telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran itu
berturut-turut dilakukan oleh: [a] Sultan Mahmud (1818); [b] Kadi
Ibrahim (1921); [c] Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948); dan
[d] Andi Baso, Pabbicarabutta GoWa (1962) sangat sulit
meng¬identifikasi bagian paling awal (asli) bangunan mesjid tertua
Kerajaan Gowa ini. Yang masih menarik adalah ukuran tebal tembok
kurang lebih 90 cm, hiasan sulur-suluran dan bentuk mimbar yang

180
terbuat dari kayu menyerupai singgasana dengan sandaran tangan.
Hiasan makhuk di samarkan agar tidak tampak realistik. Pada ruang
tengah terdapat empat tiang soko guru yang mendukung konstruksi
bertingkat di atasnya. Mimbar dipasang permanen dan diplaster. Pada
pintu masuk dan mihrab terdapat tulisan Arab dalam babasa Makassar
yang menyebutkan pemugaran yang dilakukan Karaeng Katangka pada
tahun 1300 Hijriah.

3. Makam Syekh Yusuf Kompleks makam ini terletak pada dataran


rendah Lakiung di sebelah barat Mésjid Katangka. Di dalam kompleks
ini terdapat 4 buah cungkup dan sejumlah makam biasa. Makam Syekh
Yusuf terdapat di dalam cungkup terbesar, berbentuk bujur sangkar
Pintu masuk terletak di sisi Selatan. Puncak cungkup berhias keramik.
Makam ini merupakan makam kedua. Ketika wafat di pengasingan,
Kaap, tanggal 23 Mei 1699, beliau di¬makamkan untuk pertama kalinya
di Faure, Afrika Selatan. Raja Gowa meminta kepada pemerintah
Belanda agar jasad Syekh Yusuf dipulangkan dan dimakamkan di Gowa.
Lima tahun sesudah wafat (1704) baru per¬mintaan tersebut
dikabulkan. Jasadnya dibawa pulang bersama keluarga dengan kapal de
Spiegel yang berlayar langsung dan Kaap ke Gowa. Pada tanggal 6 April
1705, tulang kerangka Syekh Yusuf dimakamkan dengan upacara adat
pemakaman bangsawan di Lakiung. Di atas makamnya dibangun kubah
yang disebut kobbanga oleh orang Makassar. Makam Syekh Yusuf
mempunyai dua nisan tipe Makassar, terbuat dari batu alam yang
permukaannya sangat mengkilap. Hal ini dapat terjadi karena para
peziarah selalu menyiramnya dengan minyak kelapa atau semacamnya.
Sampai sekarang peziarah masih sangat ramai mengunjungi tokoh
ulama (panrita)dan intelektual (tulnangngasseng) yang banyak

181
berperan dalam perkembangan dan kejayaan kerajaan Gowa-Tallo abad
pertengahan. Dalam lontarak "Riwayakna Tuanta Salamaka ri Gowa7,
Syekh Yusuf dianggap Nabi Kaidir (Abu Hamid, 1994: 85). la tokoh yang
memiliki keistimewaan, seperti berjalan tanpa berpijak di tanah. Dalam
usia belia ia sudah tamat mempelajari kitab fiqih dan tauhid. Guru
tarekat Naqsabandiayah, Syattariyah, Ba'alaniiyah, dan Qa¬driyah.
Wawasan sufistiknya tidak pernah menyinggung pertentangan antara
Hamzah Fanzuri yang me-ngembangkan ajaran Wujudiyah dan Syekh
Nuruddin ar-Raniri.

Gambar Makam Syekh Yusuf

4. Benteng Tallo Benteng Tallo terletak di muara sungai Tallo. Benteng


dibangun dengan menggunakan bahan batu bata, batu padas/batu
pasir, dan batu kurang. Luas benteng diper¬kirakan 2 kilometer
Bardasarkan temuan fondasi dan susunan benteng yang masih tersisa,
tebal dinding benteng diperkirakan mencapai 260 cm. Akibat perjanjian
Bongaya (1667) benteng dihancurkan. Sekarang, sisa-sisa benteng dan
bekas aktivitas berserakan. Beberapa bekas fondasi, sudut benteng
(bas¬tion) dan batu merah yang tersisa sering dimanfaatkan penduduk
untuk berbagai keperluan darurat, sehingga tidak tampak lagi bentuk
aslinya. Fondasi itu mengelilingi pemukiman dan makam raja-raja Tallo

182
DAFTAR PUSTAKA

Drs. Suwardi. 2006. LKS Merpati. Karanganyar: Graha Multi Grafika.

Nico Thamiend R.M.P.B. Manus. 2000. Sejarah. Jakarta: Yudhistira.

Siti Waridah Q, Dra. 2001. Sejarah Nasional dan Umum. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.

http://www.e-dukasi.met/mol/mo_full.php?
moid=121&fname=sej107_10.htm

Prasetyo, Deni. (2009). Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara.


Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
https://wajokab.go.id/page/detail/sejarah_wajo

Amarseto, Binuko. (2017). Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia.


Yogyakarta: Relasi Inti Media.

183
BAB 8
Kerajaan-kerajaan Islam Di maluku dan Irian
Jaya
A.Istilah Maluku

Istilah Maluku dapat ditinjau dari dua perspektif, yakni perspektif Lokal
dan Kolonial. Sumber lokal terutama kronik Bacan Menyebutkan bahwa
sebelum agama Islam dianut oleh penduduk Daerah dari empat
kerajaan (Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo) Daerah daerah itu disebut
“gapi” (Coolhaas, 1923). Perubahan nama Terjadi ketika datangnya
seorang asing yang bernama Jafar Shadik. Dari perkawinannya dengan
puteri lokal, Ia menurunkan empat Orang putera yang kemudian
menjadi raja-raja di empat kerajaan itu. Sejak saat itu empat kerajaan
tersebut diberi label dengan istilah “Maloko Bacan, Maloko Jailolo,
Maloko Tidore dan Maloko Ternate” (Leirissa, 1973). Van Fraassen
(1987) yang melakukan penelitian di Maluku Utara Tentang Sistem
Pemerintahan Tradisional dan Pola Pengaturan Masyarakatnya,
menyatakan bahwa kata “Maloko” terdiri dari dua Sukukata yakni “Ma”
adalah kata ganti empunya persona ke-3 jenis Netral, seperti kata-kata
“Ma Baba” yang berarti ayah saya, atau Ma Nau’u yang berarti suami
saya. Sedangkan kata “Loko” oleh van Fraassen dikaitkan dengan istilah
“Loka” dalam bahasa sanksekerta Yang berarti “bhumi atau bhuwana”
dalam tradisi politik di Jawa. Dengan demikian Maloko atau Maluku
berarti penguasa dunia. Akan tetapi interpretasi van Fraassen ini masih
menjadi masalah Karena peneliti bahasa belum menemukan adanya
pengaruh bahasa Sanksekerta di daerah tersebut. Versi lain
menyatakan bahwa kata “maloko” bisa berarti seloko (segenggam)
artinya penguasa dari keempat kerajaan yakni Ternate, Tidore, Bacan

184
dan Jailolo berasal dari satu keturunan yang sama secara geneologis.
Namun yang menarik, bahwa pada bendera kerajaan Ternate tertulis
dengan aksara arab kalimat “Al molok Boldan Ternate” (de Clerq dalam
Leirissa, 1973). Kata Al molok atau al mulk yang berarti raja atau
penguasa dalam bahasa Arab itu, kemudian direinterpretasi menjadi
sebuah kalimat “Jaziratul zabal Muluk” yang artinya Semenanjung
gunung yang banyak raja. Interpretasi ini sudah tentu bersifat
kontekstual, dalam artian didasarkan pada kondisi sosiocultural
masyarakat Maluku dan Maluku Utara dewasa ini yang banyak raja-raja
kecil, yang oleh van Leur ( 1960) disebut dengan distilahkan “Dorps
Republieken”.Kronik kerajaan Bacan menyatakan bahwa gelar “kolano
maloko” mulai muncul beberapa saat sebelum datangnya agama Islam
disana, tetapi tidak menjelaskan angka tahun mulai digunakan istilah
itu. Sementara A.B.Lapian (1965) dalam artikelnya “Beberapa Jalan
Dagang ke Maluku Sebelum Abad XVI” menyebutkan bahwa data dari
dinasti Tang di Cina memberi petunjuk bahwa istilah Maluku telah
dikenal oleh orang-orang Cina sekurang-kurangnya antara abad
ketujuh dan kesembilan. Ini karena ada perdagangan cengkih antara
Cina dengan Ternate dan beberapa kerajaan lainnya disana. Demikian
pula Peter V Lape (1997) dalam studi archiologi di Banda Neira
menyatakan bahwa kontak antara Banda Neira dengan Cina telah
terjadi sejak era neolitikum. Ini juga karena adanya perdagangan pala
antara Banda Neira dengan Cina. Jika informasi diatas dapat diterima
kebenarannya, maka kita harus Dapat membedakan antara kedatangan
orang-orang Arab maupun Orang-orang Cina dengan kehadiran agama
Islam di Maluku dan Maluku Utara. Artinya orang-orang Arab dan Cina
telah berdagang Cengkih dan pala di Maluku dan Maluku Utara jauh
sebelum Datangnya agama Islam. Penemuan unsur pala dan cengkih
pada Mumi Firaun (Ramses II) yang adalah raja Mesir itu, menjadi bukti

185
Kuat bahwa pala dan cengkih telah digunakan di Timur Tengah Pada
era sebelum kedatangan agama Islam. Demikian pula Beberapa
peristilahan dalam bahasa Arab seperti Al Mulk yang Artinya raja telah
dikenal oleh orang-orang Maluku sebelum Datangnya agama Islam.
Dengan demikian informasi dari kronik Bacan yang mengatakan bahwa
gelar “Kolano Maloko” telah Digunakan sebelum kedatangan agama
Islam di daerah tersebut Dapat dibenarkan.Sesungguhnya jangkauan
penggunaan istilah “Maloko” tidak Mengalami perkembangan
sebagaimana berkembangnya keempat Kerajaan yang menggunakan
label “maloko” di Maluku Utara itu. Dari historiografi mengenai Maluku
Utara diketahui bahwa Keempat kerajaan itu melakukan ekspansi
kekuasaan meliputi Wilayah Indonesia bagian Timur kecuali Sulawesi
Selatan. Dalam Abad ke-17 Kesultanan Ternate menganggap dirinya
berkuasa atas Sulawesi Utara dan Maluku Selatan. Sementara
kesultanan Tidore Juga dan Barat. Namun daerah-daerah ekspansi itu
tidak disebut sebagai Maluku (Leirissa, 1973). Ini sejalan dengan berita
dari kerajaan Majapahit (nagarakartagama) yang menyebutkan bahwa
wilayah pengaruh kerajaan Majapahit meliputi Maluku, Ambwan (pulau
Ambon sekarang) dan, Wandan (Banda sekarang). Ini artinya wilayah
Maluku dibedakan dari Ambon dan Banda. Atau dengan kata lain
Ambon dan Banda tidak termasuk bagian dari Maluk kata lain Ambon
dan Banda tidak termasuk bagian dari Maluku. Sementara itu jangkauan
istilah Maluku yang dipakai oleh VOC Disesuaikan dengan
perkembangan kekuasaan politik mereka. Pada Tahun 1683, ketika
Kerajaan Ternate dijadikan sebagai “leenstaat” (vazal) dari VOC dan
beberapa kerajaan lainnya di Maluku, maka Untuk kepentingan
perdagangan dan campur tangannya, VOC Membentuk suatu badan
administrasi yang dinamakan “Gouvernement der Molukken” yang
berpusat di pulau Ternate. Disini terdapat seorang Gubernur dan di

186
tempat-tempat lainnya diangkat Disini ditempatkan seorang Gubernur
terdapat seorang Gubernur dan di tempat-tempat lainnya diangkat
seorang Resident dan ditempat-tempat lainnya lagi diangkat seorang
posthouder. Pejabat-pejabat tersebut diatas tidak saja terdapat di
wilayah Kerajaan-kerajaan di Maluku Utara, tetapi juga di wilayah-
wilayah Ekspansi dari kerajaan-kerajaan itu, seperti di Manado
ditempatkan Seorang resident, di Gorontalo dan Bolaang-Mongondou di
Tempatkan beberapa orang posthouder. Dengan cara menumpang Pada
legitimasi dari kerajaan-kerajaan di Maluku Utara itu, VOC Berhasil
meluaskan kekuasaannya. Bahkan secara administrative Daerah-daerah
ekspansi dari kerajaan-kerajaan itu oleh VOC disebut Dengan istilah
“Moluccen”. Namun jangkauan pengertian wilayah Maluku yang
diberikan oleh VOC diatas berbeda dengan pengertian yang diberikan
oleh Hindia Belanda. Daerah-daerah lain yang sekarang dinamakan
Maluku Tengah, Maluku Tenggara, Aru dan Tanimbar tidak disebut
sebagai Maluku. Di daerah-daerah itu terdapat pusat kekuasaan lain
dari VOC. Ketika Belanda berhasil merebut benteng Portugis (Victoria
Sekarang) di Ambon pada tahun 1605, maka sejak saat itu dibentuk
Suatu badan administrative yang disebut Gouvernement van Amboina
Yang berpusat di Ambon. Disini ditempatkan seorang Gubernur VOC
yang wilayah kekuasaannya meliputi pulau Ambon, Leas VOC yang
wilayah kekuasaannya meliputi pulau Ambon, Lease, Seram dan pulau-
pulau disekitarnya. Demikian pula ketika Belanda berhasil menaklukan
Banda pada tahun 1621, maka sejak saat itu dibentuk sebuah Badan
Administrative yang disebut Banda yang berpusat di Banda Neira.
Disini ditempatkan juga seorang gubernur VOC yang wilayah
kekuasaanya meliputi Kei, Aru, Tanimbar serta Teun, Nila dan Serua.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa wilayah yang
dewasa ini disebut Provinsi Maluku dan Maluku Utara, pada masa VOC

187
terbagi menjadi tiga wilayah administrasi pemerintahan yakni
Gouvernement der Molukken yang berpusat di Ternate, Gouvernement
van Amboina yang berpusat di Ambon dan Gouvernement van
Bandayang berpusat di Banda Neira.Tanda-tanda mulai adanya
perubahan yang menentukan kedepan dari ketiga gouvernement diatas
menjadi satu bentuk pemerintahan baru, mulai tampak pada
pertengahan abad ke-18. Setidak-tidaknya ada dua fenomena historis
yang dapat ditelusuri yakni (1) Kongres Wina yang memberi ruang
kepada kerajaan Belanda untuk mengambil alih semua wilayah yang
sebelumnya di kuasai oleh gubernur-gubernur VOC dan (2) Neraca
perdagangan VOC di nusantara mulai menunjukan kemunduran-
kemunduran sebagai akibat dari korupsi besar-besaran oleh penguasa
VOC. Sementara perdagangan cengkih dan pala di Maluku sudah tidak
terlalu berhasil menaklukan Banda pada tahun 1621, maka sejak saat
itu dibentuk sebuah Badan Administrative yang disebut
Goouvernement van Banda yang berpusat di Banda Neira. Disini
ditempatkan juga seorang gubernur VOC yang wilayah kekuasaanya
meliputi Kei, Aru, Tanimbar serta Teun, Nila dan Serua. Berdasarkan
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa wilayah yang dewasa ini
disebut Provinsi Maluku dan Maluku Utara, pada masa VOC terbagi
menjadi tiga wilayah administrasi pemerintahan yakni Gouvernement
der Molukken yang berpusat di Ternate, Gouvernement van Amboina
yang berpusat di Ambon dan Gouvernement van berpusat di Banda
Neira.Tanda-tanda mulai adanya perubahan yang menentukan kedepan
dari ketiga gouvernement diatas menjadi satu bentuk pemerintahan
baru, mulai tampak pada pertengahan abad ke-18. Setidak-tidaknya ada
dua fenomena historis yang dapat ditelusuri yakni (1) Kongres Wina
yang memberi ruang kepada kerajaan Belanda untuk mengambil alih
semua wilayah yang sebelumnya di kuasai oleh gubernur-gubernur

188
VOC dan (2) Neraca perdagangan VOC di nusantara mulai menunjukan
kemunduran-kemunduran sebagai akibat dari korupsi besar-besaran
oleh penguasa VOC. Sementara perdagangan cengkih dan pala di
Maluku sudah tidak terlalu penting dalam percaturan niaga
internasional sebagai akibat dapenting dalam percaturan niaga
internasional sebagai akibat dari munculnya komuditi-komuditi baru
yang cukup laku di pasar internasional, seperti kopi dari Priangan dan
juga kapas, indigo (nila) dan sutera dari pantai utara pulau Jawa. Ketika
pihak Kerajaan Belanda mendapat kesempatan untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan Wina, maka untuk kasus Maluku salah satu
langkah penting yang diambil pada tahun 1817 adalah menyatukan
ketiga pemerintahan yang dibentuk VOC menjadi satu pemerintahan
baru yang disebut Gouvernement der Molukken yang berpusat di
Ambon. Konsep wilayah pemerintahan inilah yang kemudian adopsi
oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 19 Agustus 1945 dengan
membagi wilayah Indonesia menjadi delapan provinsi yang salah
satunya adalah Provinsi Maluku dengan Ibukotanya Ambon.
Wilayahnya mencakup dua keresidenan yakni keresidenan Maluku
Selatan dan Keresidenan Mauku Utara yang sebelumnya telah dibentuk
oleh NICA (Nederlands Indies Civil Administration). Seperti diketahui
Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945
yang secara deyure Maluku menjadi salah satu provinsi dari delapan
provinsi yang dibentuk ketika itu. Namun wilayah Maluku secara
defacto masih dikuasai oleh NICA sampai dengan tahun 1950. Pada saat
itulah NICA membagi pemerintahan di Maluku menjadi dua
keresidenan yakni munculnya komuditi-komuditi baru yang cukup laku
di pasar internasional, seperti kopi dari Priangan dan juga kapas, indigo
(nila) dan sutera dari pantai utara pulau Jawa. Ketika pihak Kerajaan
Belanda mendapat kesempatan untuk Melaksanakan ketentuan-

189
ketentuan Wina, maka untuk kasus Maluku salah satu langkah penting
yang diambil pada tahun 1817 Adalah menyatukan ketiga
pemerintahan yang dibentuk VOC Menjadi satu pemerintahan baru
yang disebut Gouvernement der Molukken yang berpusat di Ambon.
Konsep wilayah pemerintahan Inilah yang kemudian adopsi oleh
Pemerintah Indonesia pada Tanggal 19 Agustus 1945 dengan membagi
wilayah Indonesia Menjadi delapan provinsi yang salah satunya adalah
Provinsi Maluku dengan Ibukotanya Ambon. Wilayahnya mencakup dua
Keresidenan yakni keresidenan Maluku Selatan dan Keresidenan
Mauku Utara yang sebelumnya telah dibentuk oleh NICA (Nederlands
Indies Civil Administration). Seperti diketahui Indonesia menyatakan
kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945 yang secara deyure
Maluku menjadi salah Satu provinsi dari delapan provinsi yang
dibentuk ketika itu. Namun wilayah Maluku secara defacto masih
dikuasai oleh NICA Sampai dengan tahun 1950. Pada saat itulah NICA
membagi Pemerintahan di Maluku menjadi dua keresidenan yakni
Keresidenan Maluku Utara dan keresidenan Maluku Selata keresidenan
Maluku Utara dan keresidenan Maluku Selatan. Menariknya sejarah
NICA berulang kembali ketika datangnya era Reformasi dimana kedua
keresidenan yang dibentuk pada tahun 1945 itu kembali mewujudkan
dirinya menjadi dua Provinsi yakni Provinsi Maluku dan Provinsi
Maluku Utara. Pembagian wilayah Pun mengikuti konsep NICA. Provinsi
Maluku wilayahnya Mencakup seluruh wilayah bekas keresidenan
Maluku Selatan, Sedangkan provinsi Maluku Utara wilayahnya juga
meliputi seluruh Wilayah bekas keresidenan Maluku Utara.

B.Kedatangan Islam DiMaluku dan Maluku Utara

190
Awal kedatangan Islam di Kepulauan Maluku termasuk Maluku Utara
(Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan) masih merupakan Perdebatan
akademis yang terus berlanjut hingga saat ini. Perdebatan itu bukan
saja karena landasan teoritis, proposisi dan Asumsi-asumsi yang
berbeda dari para pakar sejarah, tetapi juga Karena langkahnya
dokumen tertulis (arsip) yang bisa menjelaskan Awal kedatangan
agama tersebut. Selain itu terdapat perbedaan persepsi tentang arti
masuknya Islam Itu sendiri. Misalnya ada yang berpendapat bahwa
Islam dapat Dianggap telah masuk ke suatu daerah apabila telah
terdapat Seorang atau beberapa orang asing yang beragama Islam di
daerah Tersebut. Pendapat lain menyatakan, bahwa Agama Islam baru
Dapat dikatakan telah sampai ke suatu daerah, apabila telah ada
Seseorang atau beberapa orang lokal yang menganut agama Tersebut.
Pendapat lain lagi menyatakan apabila agama Islam telah Melembaga
dalam suatu masyarakat disuatu daerah tertentu, Barulah dapat
dikatakan Islam telah masuk ke daerah tersebut. Perbedaan pendapat
itu sudah tentu berimplikasi pada perbedaan Kesimpulan tentang
waktu kedatangan Islam di Maluku. Terlepas dari perbedaan pendapat
dengan segala konsekuensinya Ternyata semua pakar sejarah sepakat,
bahwa kedatangan Islam di Maluku (termasuk Maluku Utara) melalui
jalur perdagangan laut Dan dilakukan dengan cara-cara damai. Maluku
menjadi begitu Penting dalam jaringan perdagangan laut (dunia)
karena Menghasilkan buah pala dan cengkih yang merupakan dua
Komuditi dagangan yang sangat dibutukan ketika itu. Sedangkan Proses
pengislaman menurut Putuhena ( 1970) dilakukan melalui Dua jalur
yakni jalur “atas” dan jalur “bawah”. Jalur atas yang Dimaksudkan
adalah proses pengislaman melalui usaha dari para Penguasa ketika itu.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan jalur Bawah adalah proses
pengislaman melalui usaha perorangan atau Melalui masyarakat pada

191
umumnya. Sehubungan dengan masuknya agama Islam di Maluku dan
Maluku Utara melalui jalur perdagangan laut, maka menurut hemat
penulis Hal itu harus dicari pada wilayah-wilayah yang menjadi Bandar
Perniagaan pala dan cengkih ketika itu. Bandar-bandar itu adalah
Ternate dengan cengkihnya dan Banda dengan buah palanya. Selain Itu
perlu dicari pula di daerah jazirah Leihitu pulau Ambon yang
Merupakan pelabuhan transit baik ke utara (Ternate) maupun ke
Selatan (Banda). Sebelum kedatangan bangsa Portugis (1512) dan
Belanda (1602) para Pedagang dari Cina, India dan Arab telah
berdagang di Maluku. Orang-orang Maluku terutama di pusat-pusat
perdagangan seperti; Banda, Hitu dan Ternate telah menggunakan
huruf arab (arab-Melayu) dalam beberapa naskah tua, seperti hikayat
Tanah Hitu, Kronik Bacan, Hikayat Ternate dan Hikayat Tanah Lonthor
(Banda) Yang telah hilang. Ini semua mengindikasikan, bahwa orang
Maluku sebelum mengenal huruf latin yang dibawah oleh Portugis Dan
Belanda, mereka telah mengenal dan menggunakan huruf Arab Dalam
berbagai surat menyurat. Bahkan mereka telah menggunakan Angka-
angka Arab dalam berbagai transaksi dagang. Masuknya agama Islam di
Maluku Utara menurut M.S.Putuhena Dalam artikelnya berjudul
“Sejarah Agama Islam Di Ternate”(1970 : 264) mengemukakan
berdasarkan tradisi lisan setempat bahwa pada Akhir abad ke-2 Hijriah
(abad ke-8M) telah tiba di Maluku Utara Empat orang syeh dari Irak
(Persia). Kedatangan mereka dikaitkan Dengan pergolakan politik di
Irak yang mengakibatkan golongan Syiah dikejar-kejar oleh penguasa,
baik bani Umaiyah maupun bani Abasiyah. Keempat orang yang
membawa faham syiah itu lalu pergi Menyelamatkan diri menuju ke
dunia Timur dan akhirnya tiba di Maluku Utara. Mereka itu adalah Syeh
Mansur yang mengajarkan Agama Islam Di Ternate dan Halmahera
Muka. Selanjutnya Disebutkan bahwa setelah meninggal Ia dikuburkan

192
di puncak Gamala Ternate. Kemudian Syeh Yakub mengajarkan agama
Islam Di Tidore dan Makian, dan setelah meninggal dikuburkan di
puncak Kie Besi (gunung besi) di pulau Tidore. Sedangkan syeh Amin
dan Syeh Umar mengajarkan agama Islam di Halmahera Belakang,
Maba, Patani dan sekitarnya. Kedua tokoh ini selanjutnya kembali Ke
Irak. Tradisi lisan yang hampir sama ditemukan juga di Provinsi
Maluku, Khususnya di Banda Neira dan Jazirah Laihitu Pulau Ambon.
Tradisi lisan di Banda Neira menyatakan bahwa Islam masuk ke Banda
Neira melalui orang asing yang bernama syeh Abubakar Al Pasya yang
berasal dari Persia (Irak dan Iran). Kehadirannya Dikaitkan juga dengan
pergolakan politik yang terjadi di Irak yakni Peristiwa peralihan
kekuasaan dari Bani Umayyah ke tangan Bani Abasiyah yang terjadi
pada tahun 132H atau 750M. Ketertarikan Masyarakat Banda terhadap
syeh Abubakar Al Pasya karena yang Bersangkutan memiliki
kemampuan untuk menurunkan hujan pada Musim kemarau
berkepanjangan di Banda Neira. Ia kemudian Menikah dengan seorang
putri bangsawan lokal yang bernama Cilu Bintan. Sementara versi lain
menyatakan bahwa orang-orang Banda Menerima Islam bukan di
negeri sendiri, tetapi di Malaka. Menurut Tome Pires (dalam Lapian,
1990), bahwa armada dagang orang-Orang Banda mampu berlayar
sampai ke Malaka. Walaupun Menurutnya, teknologi perkapalan orang-
orang Banda masih buruk Jika dibandingkan dengan teknologi
perkapalan orang-orang Jawa. Di Kota Malaka itulah orang-orang Banda
menerima Islam untuk kemudian menyiarkan sendiri kepada keluarga-
keluarganya di Banda Neira. Di Jazirah Leihitu pulau Ambon yang
merupakan daerah transit para pelaut dan pedagang yang akan menuju
ke Utara (Ternate) dan Selatan (Banda Neira), ditemukan pula tradisi
lisan yang sama. Menurut tradisi lisan setempat bahwa pembawa
agama Islam di Laihitu konon bernama Ali Zainal Abidin yang

193
dihubungkan nazabnya dengan Nabi Muhammad SAW. Selain itu Imam
Rijali (penulis Hikayat Tanah Hitu) dan juga tradisi lisan menyebutkan
nama Syeh Maulana Abubakar Nasidik yang berasal dari Tuban,
menjadi imam dan penguasa pertama di Hitu (Leirissa, 1999).
Sedangkan Naidah dengan karyanya Hikayat Ternate yang ditulis jauh
sesudah kronik kerajaan Bacan menyatakan bahwa pengislaman disana
terjadi pada tahun 643 Hijriah (1250M). Menurutnya tokoh Jafar Shadik
yang disebut juga Jafar Nuh tiba di Ternate dari Jawa pada hari senin
tanggal 6 Muharam 643 Hijriah atau 1250 Masehi (Leirissa, 1999).
Selain itu sumber-sumber Portugis yang tiba di Maluku pada tahun
1512 mencatat agama Islam telah ada di Ternate sejak tahun 1460. Hal
yang sama dikatakan oleh Tome Pires bahwa Banda, Hitu, Makian dan
Bacan sudah terdapat masyarakat Islam sejak kira-kira 50 tahun
sebelum Portugis tiba.Diperkirakan pada tahun 1460 atau 1465.
Pernyataan dari sumbersumber Portugis ini memberi kesan kuat
bahwa Islam telah melembaga dalam kehidupan masyarakat lokal di
beberapa tempat tersebut diatas, dan bukan bermakna kehadiran Islam
untuk pertama kalinya di tempat-tempat itu. Selain sumber-sumber
tesebut diatas, Prof Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam
Indonesia menyatakan bahwa sejak tahun 650M yakni 7 tahun setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW, para pedagang Arab telah membawa
rempah-rempah cengkih dan pala ke pelabuhan-pelabuhan di teluk
Persia untuk kemudian diperjual-belikan ke daratan Eropa. Pada masa
itu telah ramai pedagang-pedagang Arab dan Persia (Iran dan Irak)
yang berlayar menuju Maluku dan Maluku Utara untuk mencari
rempah-rempah yang sangat mahal di Eropa itu. Selanjutnya disinyalir
bahwa mungkin saja para pedagang Arab itu telah menikah dengan
perempuan pribumi, berdiam disana sekian lama atau meninggal
disana (Hamka, 1976). Sepeninggal mereka dan tidak ada proses

194
peribadatan secara Islam, maka keturunan mereka kembali lagi
kesuasana agama sukunya. Sinyalemen Hamka itu sejalan dengan cerita
rakyat di Ternate, Hitu dan Banda tentang kehadiran orang asing yang
beragama Islam di ketiga termapt tersebut. Uraian ini dapat
dikonfirmasi dengan adanya jalur perdagangan yang dilalui pedagang-
pedagang Arab, Persia, Gujarat maupun Cina yang dikenal dalam
sejarah sebagai jalur sutera (silk road) dan jalur rempah (spice route).
Kendati terdapat berbagai versi mengenai cerita masuknya Agama
Islam di Maluku dan Maluku Utara, ada dua hal yang dapat Disimpulkan
tentang hal itu, yakni;

1. Islam telah hadir di kepulauan Maluku sejak kurun

Pertama tahun hijriah. Namun kemungkinan besar bahwa pada Masa


awal itu, Islam hanyalah merupakan agama yang dianut Oleh para
musafir muslim yang singgah di perairan dan Bandar-Bandar penting,
seperti Ternate, Banda dan Hitu. Dalam Konteks itu perlu
dipertimbangkan pula eksistensi pedagang-Pedagang muslim yang
sambil berdagang, menyiarkan agama Sekaligus menikah dengan
puteri-puteri lokal untuk kemudian Membentuk suatu kesatuan
masyarakat muslim di tempat-Tempat yang dikunjungi terutama di
Ternate sebagai pusat Perdagangan cengkih dan Banda sebagai pusat
perdagangan Pala dan fulinya. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa
kedua Komuditi inilah yang menarik para pedagang asing menjelajah
Nusantara. Ini berarti masuknya Islam ke Maluku tidak hanya Melalui
Aceh dan Jawa, tetapi justeru Maluku menjadi pintu Masuk Islam
melalui jalur Utara.

2. Islam di Maluku dan Maluku Utara berlangsung

Dalam waktu yang hampir bersamaan. Namun proses Pelembagaan


Islam dalam kehidupan pemerintahan, baru Terwujud puluhan tahun

195
atau mungkin ratusan tahun Berikutnya. Perubahan bentuk Kolano
menjadi Kesultanan Dan pembentukan pemerintahan konfederasi di
Hitu dan Banda yang bercorak Islam dapat terwujud bilamana Islam
Telah melembaga dalam kehidupan masyarakatnya. Proses
Pelembagaan itu sudah tentu membutuhkan waktu yang Cukup lama.
Dalam konteks ini dapat dibenarkan sumber-Sumber Portugis yang
menyatakan bahwa masyarakat di Daerah-daerah yang dikunjungi
sudah beragama Islam. Artinya Islam telah melembaga dalam
kehidupan masyarakat Dan pemerintahannya, bukan sekedar agama
yang dianut oleh Para musyafir dan pedagang asing.

C.Perkembangan Islam Di Maluku dan Pengaruhnya

Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Maluku Dan Maluku


Utara dalam kurun waktu yang cukup lama, tentu telah Ikut
memberikan warna yang khas bagi kehidupan sosial budaya
Masyarakatnya. Berlangsungnya proses “islamisasi” itu yang Menurut
MS. Putuhena (1970 : 265) melalui dua jalur, yaitu jalur atas Dan jalur
bawah yang masing-masing jalur memberi pengaruh Tertentu dalam
strata sosial baik terhadap kebudayaanya maupun Praktek keagamaan
Islam itu sendiri. Jalur atas adalah proses yang Berlangsung berkat
bantuan dan usaha pihak penguasa. Jalur ini Islam bercorak formalistis,
artinya walaupun orang Telah mengaku beragama Islam, namun dalam
praktek keagamaan Masih mengikuti nila-nilai dan aturan lama. Melalui
jalur bawah Proses Islamisasi berlangsung melalui usaha perorangan
(masyarakat), agama Islam bercorak sinkritis yaitu nilai dan aturan
Agama Islam bercampur aduk dengan nilai dan aturan lama baik Dalam
pemahaman maupun dalam pelaksanannya. Sedangkan Aliran-aliran
keagamaan dalam Islam yang sejak mula tersebar di Indonesia adalah

196
aliran syufi dan aliran syariah meskipun sering Dipertentangkan secara
tajam, namun kedua aliran tersebut kadang-Kadang dalam prakteknya
sulit dibedakan secara tegas. Jalur penyebaran, corak keberagaman
Islam dan aliran-aliran dalam Islam tersebut di atas dialami pula oleh
para mubaligh dalam proses Islamisasi di Maluku. Hal ini
mengakibatkan praktek-praktek agama Islam dalam perkembangannya
mengalami berbagai variasi. Ada Penganut Islam yang sangat
mementingkan pengamalan syariah Islam secara murni, tetapi ada pula
yang mempraktekan ajaran Agama Islam yang mengikuti adat dan ada
pula bentuk yang Sinkritis. Contoh penganutan yang sinkritis inilah
yang disebut oleh Radjawane sebagai agama Islam yang tidak murni
karena kuatnya Pengaruh adat ke dalam ajaran agama Islam yang
dipraktekkan oleh Tiga buah desa di Uli Hatuhaha di pulau Haruku,
Maluku Tengah, Yaitu Rohomoni, Kabau dan Pelau. (Radjawane,1960 :
74-76). Bila penelitian Radjawane ini dilanjutkan maka akan didapati
Penganut agama yang murni di Uli Hatuhaha yang dilaksanakan di Desa
desa tersebut dan desa-desa lainnya di Uli Hatuhaha. Penganut
keagamaan Islam baik formalistis, sinkritis, dan pengaruh Aliran syufi
dan syariah itu ditemui disebagian besar wilayah Provinsi Maluku dan
Maluku Utara. Aliran syufi yang berpengaruh Di Maluku dan Maluku
Utara adalah Syamaniah, Qadariyah dan Naksyabandiyah. Aliran-aliran
ini dapat dibedakan dan dikenali Dari praktek zikir dan wirid yang
dilaksanakan dalam hubungannya Dengan ibadah kepada Allah
SWT.Pembaharuan agama Islam yang dipelopori oleh gerakan
Muhammadiyah di Yogjakarta sejak tahun 1912 telah berpengaruh Pula
terhadap penganutan agama Islam di Maluku dan Maluku Utara. Orang-
orang Islam dari Maluku dan Maluku Utara yang belajar di Jawa dan
Mekkah telah membawa pembaharuan ajaran-ajaran Islam yang lebih
menekankan pada sumber Al-Quran dan Al Hadist. Pengaruh ini telah

197
ada sebelum masa kemerdekaan, akan tetapi berkembang pesat sejak
tahun 1950-an dengan berdirinya Lembaga Pendidikan Agama baik
pada tingkat dasar, menengah dan tinggi di Maluku dan Maluku
Utara.Dalam proses sejarahnya di Maluku dan Maluku Utara agama
Islam telah mengalami salah satu fase yang oleh Radjawane disebut
masa stagnasi yaitu menarik diri dari percaturan politik, sosial maupun
budaya sejak zaman VOC sampai berakhirnya pemerintaan Hindia
Belanda di Indonesia. Pada masa ini agama Islam seakan-akan menarik
diri dari percaturan politik dan pemerintahan karena kekuatan
pemerintah penjajahan yang tidak bisa dilawan. Hal ini tidak berarti
agama Islam mengalami kemunduran, karena dalam masa penjajahan
penganut agama Islam di Maluku tidak mau bekerja sama dengan
penjajah. Terdapat tiga faktor penyebabnya yaitu

(1) Secara politis agama Islam bertentangan dengan agama Kristen


yang dibawa oleh Belanda.

(2) Dalam lapangan pendidikan, penganut agama Islam dianaktirikan


dalam mendapatkan pendidikan bukan karena tidak mau dididik tetapi
karena adanya peraturan yang mengutamakan mereka yang beragama
Kristen, dan

(3) Orang Islam Maluku tidak mau memasuki lapangan kemiliteran,


Karena yang masuk militer diutamakan yang beragama Kristen dan
Kemudian untuk berperang di daerah-daerah yang banyak penganut
Islamnya, seperti Perang Makassar, Perang Banten, Perang Diponegoro
dan Perang Aceh (Leirissa, 1999 : 23). Faktor-faktor Inilah yang
menyebabkan Maluku seakan-akan diidentikkan dengan Agama Kristen
karena yang paling banyak memasuki lapangan Pemerintahan,
pendidikan dan kemiliteran adalah orang-orang Maluku yang beragama
Kristen. Sedangkan orang-orang yang Beragama Islam umumnya

198
menarik diri dari ketiga lapangan Tersebut, sehingga tidak dikenal di
seluruh Indonesia (Radjawane; 1960). Dalam proses menuju
kemerdekaan, peranan ummat Islam di Maluku mulai nampak dominan
baik dalam mewujudkan Kemerdekaan maupun dalam perjuangan
mempertahankan Kemerdekaan. Kemudian dapat diperhatikan
peranan desa-desa Islam di Maluku Utara, Tengah, dan Tenggara pada
fase revolusi Fisik khususnya dalam perjuangan menghadapi
pemberontakan RMS yang diduga disponsori oleh pemerintah Belanda.
Bukti Historis yang sangat penting adalah kemenangan ummat Islam
Maluku melalui partai Masyumi dalam pemilihan Umum tahun 1955.
Kemenangan ini merupakan hasil proses islamisasi yang telah
Berlangsung sejak abad ke-15 dan mempengaruhi kehidupan politik,
Sosial dan budaya di Maluku.

Di Maluku Utara telah terjadi perubahan dalam bidang politik dan


Pemerintahan. Kelompok-kelompok pemerintahan masyarakat
Tradisional yang semula berbentuk empat buah kolano, yaitu Ternate,
Tidore, Bacan dan Jailolo, dalam perkembangan selanjutnya Sejak abad
ke-15, keempat kolano tersebut mengambil bentuk Kesultanan. Sejak
itu pula masing-masing kesultanan itu berusaha Untuk meluaskan
wilayah kekuasaanya. Tidore memasukkan Papua Sebagai wilayah
kekuasaannya dan Ternate berhasil meluaskan Daerah kekuasaannya
meliputi daerah yang terbentang antara Sulawesi dengan Papua
termasuk daerah kepulaun Ambon Lease, Seram, Buru, dan Banda.
Pengaruh Islam bagi pertumbuhan dan perkembangan kesultanan
Adalah dalam bentuk perubahan structural dari Kolano menjadi
Kesultanan. Dalam bentuk Kolano ikatan genealogis dan teritorial
Sebagai faktor integrasi, sedangkan dalam bentuk kesultanan Islam
Menjadi salah satu faktor integrasi. Oleh karena itu sebahagian dari
Daerah yang memeluk agama Islam seperti Hoamual (Seram Barat),

199
Saparua, dan Haruku menempatkan dirinya sebagai bagian dari
Kesultanan Ternate. Hal ini sangat menguntungkan Ternate, tatkala
Terjadi konflik dengan orang-orang Eropa terutama Portugis dan
Belanda. Perubahan lebih lanjut pada fungsi raja/sultan yang
mempunyai Fungsi ganda sebagai pemegang kekuasaan duniawi dan
sebagai Pemegang kekuasaan spiritual (keagamaan). Dalam kedudukan
Yang demikian Sultan tidak hanya berusaha mempertahankan
Eksistensi kerajaannya, tetapi ia juga mempuyai tanggung jawab
Menyebarkan Islam dan melindunginya. Oleh karena itu wilayah
Kekuasaan Sultan dapat diperluas dengan menundukkan daerah-
Daerah lain. Masa pemerintah Zainal Abidin (1486 – 1500) merupakan
awal Peralihan dari bentuk kolano ke bentuk kesultanan dan ia
Merupakan Sultan yang pertama. Sebelum dinobatkan sebagai Sultan,
Zainal Abidin berangkat ke Jawa untuk belajar agama Islam Di Giri.
Setelah kembali, ia mendirikan lembaga-lembaga Pendidikan agama
Islam di Ternate dan mendatangkan guru-guru Agama dari Jawa. Ia
memerintahkan pegawai-pegawai syara’ Diwilayah kerajaan untuk
belajar agama di Ternate.Dalam struktur kesultanan dijumpai lembaga-
lembaga keagamaan Disamping lembaga-lembaga sosial tradisional
yang ada. Urusan Keagamaan ditangani oleh badan yang disebut Jou
Lebe (Badan Syara’). Badan ini dikepalai oleh Kadhi (Kalem). Anggota-
Anggotanya terdiri dari para Imam dan Khatib. Tiap marga (soa)
Mempunyai imam dan khatib tertentu. Sultan selain sebagai Pemimpin
dunia, juga berkewajiban memimpin soal-soal Keagamaan, sehingga
secara teoritis Sultan adalah penerus tugas Pengganti Rasul
(Tubaddirul Rasul). Hal ini tercantum dalam suba Puja-puji yang ditulis
dalam bahasa dan tulisan Arab, yaitu laporan Yang selalu dibacakan
pada saat penobatan Sultan yaitu berupa Peringatan bahwa Sultan
adalah Khalifatur Rasjid dan Tubaddilur Rasul. Diingatkan pula bahwa

200
Sultan memangku jabatan itu karena Rahmat dan Takdir Allah yang
tu’til mulka man tasya’ (pemberi Kekuasaan) kerajaan bagi siapa yang
dikehendakinya. Dengan Demikian Sultan harus memberikan bantuan
kepada Pemerintah/masyarakat Islam yang memerlukan bantuannya.
Sultan berkewajiban untuk mendatangi daerah-daerah lain untuk
Menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Dalam kaitan ini Sultan Ternate
pernah mengadakan hubungan Politik yang erat dengan kesultanan
Buton, kesultanan Mangindanao di Filipina, begitu pula hubungan
politik dengan Sulu (Alex Ulaen : 1997). Di wilayah Maluku Tengah
tejalin hubungan Yang erat dengan kerajaan-kerajaan kecil seperti Hitu
di pulau Ambon, Hatuhaha di pulau Haruku, Iha di pulau Saparua
Walaupun tidak merupakan bahagian dari Kesultanan Ternate, Paling
tidak telah menjalin hubungan baik karena persamaan iman Dan
mengakui kekuasaan Ternate. Sedangkan Hoamual yang merupakan
pusat politik tradisional dan Pusat perdagangan cengkih di Seram
Barat, adalah bahagian dari Kesultanan Ternate. Disini ditempatkan
seorang Kimelaha sebagai Wakil Sultan yang berkedudukan di pusat
pemukiman orang-orang Ternate, di Kampung Gamsune. Disamping
Hoamual, pulau-pulau Kelang, Manipa, Buano dan Buru merupakan
daerah kekuasaan Ternate. Disana ditempatkan juga beberapa orang
Sangaji yaitu Wakil Sultan yang memerintah di daerah-daerah.
Kedatangan orang-orang Eropa terutama Portugis dan Belanda telah
Menimbulkan konflik antara rakyat dengan mereka. Pergolakan Yang
berlangsung ada abad 16 dan 17, bukan hanya terjadi karena Alasan
ekonomi tetapi karena faktor agama. Penerimaan agama Islam
membawa keuntungan ekonomi disamping meningkatkan Peradaban
dan kehidupan sosial rakyat Maluku dan Maluku Utara. Bagi rakyat
Maluku dan Maluku Utara yang beragama Islam, agama Ini memiliki arti
yang tak ternilai. Faktor inilah yang menyebabkan Rakyat Maluku dan

201
Maluku Utara yang beragama Islam sangat Mempertahankan agamanya
pada saat datangnya orang Portugis Dan Belanda yang akhirnya
bercokol di Maluku hampir 3 ½ abad. Seperti halnya di Maluku Utara,
kerajaan-kerajaan kecil di Maluku Yaitu Hitu, Banda, Hatuhaha serta Iha
di Saparua juga memiliki System pemerintahan, tetapi berbeda dengan
system pemerintahan Di Maluku Utara. Imam Ridjali di dalam Hikayat
Tanah Hitu Menceritakan tentang datangnya empat kaum yang menjadi
cikal Bakal penduduk Hitu. Merekalah yang menjadi pendiri kerukunan
Yang amat kuat yang kemudian dikenal dengan nama “EPerdana”.
Keempat kaum tersebut datang dari tempat yang Berbeda. Yang
pertama datang dari pantai tenggara pulau Seram. Kaum ini disebut
Saupele atau Zaman Jadi. Kelompok kedua menurut Ridjali datang dari
Tuban yang menurut Rumphius tiba pada tahun 1460 dan menetap di
pantai dekat sungai Waipaliti. Kaum ketiga disebut Latima (Lating),
datang dari Jailolo (Halmahera) dipimpin oleh Jamilu pada tahun 1465.
Menurut Rumphius mereka juga menetap dekat Waipaliti. Kaum
keempat Bernama Olong datang dari Gorong (pulau Seram bahagian
Timur). Mereka dipimpin oleh Mata Lian yang terkenal dengan gelar
Patyang Putih. Seperti yang telah dikemukakan Patih Putih inilah yang
ke Jawa sekitar tahun 1500, setelah tinggal beberapa Bulan kembali
ketanah Hitu dan dikenal dengan nama Pati Tuban. Dialah yang
bertemu dengan penguasa Ternate yang juga sedang Belajar agama di
Jawa, sehingga hubungan dengan kesultanan Ternate menjadi lebih
erat. Hitu kemudian berhasrat menjadi suatu pusat kekuasaan politik
dan Agama yang diperintah oleh lembaga-lembaga Kesultanan seperti
di Ternate. Maka disusunlah pemerintah Hitu yang dikenal
Pemerintahan Empat Perdana. Pemerintahan Empat Perdana Tersebut
dijalankan secara periodik oleh empat orang yang Merupakan pimpinan
dari empat kaum utama dari masyarakat Hitu. Sedangkan di Kerajaan

202
Uli Hatuhaha terdapat sistem pemerintahan Yang dikepalai raja sebagai
pemimpin pemerintahan dan Imam Sebagai pemimpin agama. Imam
dipilih dalam suatu rapat (masorupi) yang dilaksanakan oleh raja
bersama-sama kepala-Kepala soa. Sistem seperti ini dapat terlihat
sampai abad ke-20 dalam Pemerintahan tradisional, terutama di desa-
desa Islam di Maluku Tengah. Disana lembaga agama merupakan suatu
komponen yang Penting dalam sistem pemerintahan. Berbeda dengan
itu, di Banda Neira sistem pemerintahan yang Dianut merupakan
perpaduan dari kedua model diatas. Sistem Pemerintahan di Banda
Neira dikenal dengan nama “Lebe Tel Rat At” atau kepemimpinan
“Empat Raja Dan Tiga Imam”. Di Banda Terdapat empat kerajaan kecil,
tiga diantaranya Raja (Rat) imam dan hanya satu yang kedudukannya
sebagai Raja Tanpa merangkap sebagai imam. Kedudukan Raja
merangkap Imam Terdapat pada Kerajaan Namasawar di pulau Neira,
serta Kerajaan Lonthor dan Selamon di pulau Banda Besar. Sedangkan
Kerajaan Waer di pulau Banda Besar bagian Utara hanya memiliki Raja
tapi Tidak merangkap sebagai Imam. Imam sekaligus kadhi untuk
Kerajaan Waer di pegang oleh Raja Selamon. Model konfederasi ini
Sedikit berbeda dengan model pemerintahan Empat Perdana di Jazirah
Laihitu. Jika di Jazirah Laihitu konfederasi memberi ruang Kepada
masing-masing Perda untuk memerintah secara periodik, namun model
konfederasi di Banda Neira memberi otonomi kepada masing-masing
Raja untuk memerintah pada wilayahnya masing-masing. Namun
karena mereka bersaudara lalu dibentuklah konfederasi yang dikenal
dengan nama “Lebe Te Rat At” atau kepemimpinan “empat Raja Tiga
Imam”.

D.Kerajaan-Kerjaan Islam DiMaluku

203
Islamisasi di kepulauan Maluku dimulai pada awal abad 14 Masehi.
Dalam buku Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di
Indonesia (2012) karya Daliman, proses penyebaran agama Islam di
Maluku tidak bisa terlepas dari peran ulama dan mubalig Jawa.Sunan
Giri pada tahun 1486 memperkenalkan Islam kepada Raja Ternate
bernama Zainal Abidin. Raja tersebut mendapatkan ajaran Islam dari
pesantren Sunan Giri.Pesatnya perkembangan Islam di Maluku
membuat kerajaan-kerajaan di Maluku turut memeluk Islam. Maluku
memiliki empat kerajaan besar Islam yaitu Jailolo, Ternate, Tidore dan
Bacan.

1.Kerajaan Jailolo

Kerajaan Jailolo merupakan kerajaan tertua di Maluku. Kerajaan ini


terletak di pesisir utara pulau Seram dan sebagian Halmahera. Kerajaan
Jailolo berdiri sejak 1321 dan mulai memeluk Islam setelah kedatangan
mubaligh dari Malaka.

Wilayah Kesultanan Jailolo adalah salah satu sumber penghasil cengkih


di Kepulauan Maluku. Kesultanan Jailolo telah berdiri sejak abad ke-13
Masehi. Pada abad ke-17, kesultanan ini mengalami keruntuhan.
Wilayah-wilayahnya kemudian terbagi menjadi bagian dari Kesultanan
Tidore dan Kesultanan Ternate.Kesultanan Jailolo didirikan kembali
secara adat setelah era reformasi dimulai pada tahun 1998. Bersamaan
dengan itu, komunitas adat Moloku Kie Raha dibentuk kembali. Selama
periode 2002–2017, telah terpilih empat keturunan dari Kesultanan
Jailolo sebagai pemimpin adat. Kesultanan Jailolo tidak memiliki banyak
peninggalan arkeologi. Bekas Istana Kesultanan Jailolo tidak ditemukan
sama sekali. Peninggalan yang tersisa hanya berupa benteng, masjid,
dan makam kuno.

204
2.Kerajaan Ternate

Kerajaan Ternate berdiri pada sekitar abad 13 Masehi. Kerajaan ini


terletak di Maluku Utara dan memiliki ibukota di Sampalu.Islamisasi di
kerajaan Ternate dilakukan oleh ulama-ulama dari Jawa, Melayu dan
Arab. Kerajaan Ternate resmi memeluk Islam setelah raja Zainal Abidin
belajar Islam oleh Sunan Giri pada tahun 1486 Masehi.Corak ekonomi
kerajaan Ternate adalah perdagangan rempah-rempah. Kerajaan ini
merupakan produsen utama rempah-rempah dengan kualitas
terbaik.Kerajaan Ternate sering disinggahi oleh pedagang rempah-
rempah dari Jawa, Cina dan Timur Tengah. Kerajaan Ternate juga
mengembangkan kota pelabuhan sebagai pusat aktivitas dagang
rempah-rempah.

Pada abad ke-15, Kerajaan Ternate mengalami perkembangan pesat,


terutama di bidang perdagangan dan pelayaran, berkat kekayaan
rempah-rempahnya. Akan tetapi, kestabilan kerajaan sempat terancam
ketika bangsa Portugis mulai menginjak tanah Ternate. Sejak awal abad
ke-16, sultan Ternate mulai melakukan perlawanan terhadap bangsa
Portugis yang dirasa akan memonopoli perdagangan di wilayahnya.
Terlebih lagi, Portugis telah mendirikan benteng yang diberi nama
Benteng Sao Paulo di Ternate.Setelah peperangan selama beberapa
tahun, bangsa Portugis baru dapat dikalahkan dan diusir pada 1577 M,
ketika Sultan Baabullah berkuasa. Kemenangan Ternate atas Portugis
ini tercatat sebagai kemenangan pertama putra nusantara melawan
kekuatan barat.Selain itu, Sultan Baabullah (1570–1583 M) juga
mengantarkan Kerajaan Ternate menuju puncak kejayaan.Di bawah
pemerintahan Sultan Baabullah, wilayah kekuasaan Kerajaan Ternate
membentang dari Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Timur, Sulawesi

205
Tengah, bagian selatan Kepulauan Filipina, dan Kepulauan Marshall di
Pasifik. Pencapaian tersebut membuat Sultan Baabullah dijuluki sebagai
Penguasa 72 Pulau yang semuanya berpenghuni.

Masa kemunduran kerajaan Ternate, mulai mengalami kemunduran


setelah Sultan Baabullah wafat pada 1583 M. Tidak lama kemudian,
Spanyol berani melakukan serangan dan berhasil merebut Benteng
Gamulamu pada 1606 M. Kehidupan politik Kerajaan Ternate pun
semakin kacau saat VOC datang dan memenangkan persaingan
melawan bangsa barat lainnya. Sejak saat itu, VOC memegang hak atas
monopoli perdagangan dan mulai mendirikan benteng di Ternate.
Menjelang akhir abad ke-17, Kerajaan Ternate sepenuhnya berada di
bawah kendali VOC. Hal inilah yang disebut-sebut sebagai penyebab
runtuhnya Kerajaan Ternate, meskipun kerajaan ini tidak benar-benar
hancur. Adapun peninggalan Kerajaan Ternate,antara lain:

1. Kesultanan Ternat

2.Masjid Jami Kesultanan Ternate

3.Istanaaman sultan Ternate

4.Benda-benda peninggalan di Museum Kesultanan Ternate (alat-alat


perang, singgasana raja, Al-Qur’an tulisan tangan raja).

3. Kerajaan Tidore

Kerajaan Tidore terletak di sebagian pulau Halmahera dan sebagian


pulau Seram. Kerajaan Tidore mulai memeluk Islam pada sekitar akhir
abad 15 Masehi. Sultan Tidore yang pertama kali masuk Islam adalah
Cirali Lijitu yang bergelar Sultan Jamaludin. Sultan Jamludin masuk
Islam berkat jasa dari seorang mubaligh bernama Syekh Mansyur.

206
Kerajaan Tidore memiliki corak ekonomi perdagangan rempah-rempah.
Kerajaan ini menjadi pesaing utama dari Kerajaan Ternate dalam segi
perdagangan hingga politik. Dalam buku Kepulauan Rempah-Rempah :
Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950 (2010) karya Adnan Amal,
kerajaan Tidore memiliki persekutuan bernama Ulisiwa. Persekutuan
Ulisiwa terdiri dari daerah Halmahera, Makyan, Jailolo, Kai dan pulau-
pulau lain di sebelah timur Maluku.

Kemunduran Kesultanan Tidore disebabkan karena diadu domba


dengan Kesultanan Ternate yang dilakukan oleh bangsa asing (Spanyol
dan Portugis) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil
rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Tidore dan Sultan Ternate
sadar bahwa mereka telah diadu Domba oleh Portugal dan Spanyol,
mereka kemudian bersatu dan berhasil mengusir Portugal dan Spanyol
ke luar Kepulauan Maluku. Namun kemenangan tersebut tidak
bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk menguasai
perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan Ternate
dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam
bentuk organisasi yang kuat.

4.Kerajaan Bacaan

Kerajaan Bacan memiliki wilayah kekuasaan meliputi kepulauan Bacan,


Obi, Waigeo, Solawati dan Irian Barat. Penyebaran agama Islam di
kerajaan ini dilakukan oleh dari kerajaan Islam Maluku lainnya.
Kerajaan Bacan seara resmi memeluk agama Islam pada tahun 1521
ketika raja Zainal Abidin memeluk Islam. Zainal Abidin merupakan raja
pertama dari kerajaan Bacan yang menerapkan Islam sebagai agama
kerajaan Bacan.Banyak kepala suku di wilayah Waigeo, Misool dan

207
beberapa daerah lain yang berada di bawah administrasi pemerintahan
kerajaan Bacan.

E.Sejarah Masuknya Islam Di Irian Jaya/Papua

Kedatangan pengaruh Islam ke Pulau Papua, yaitu ke daerah Fakfak,


Papua Barat tidak terpisahkan dari jalur perdagangan yang terbentang
antara pusat pelayaran internasional di Malaka, Jawa dan Maluku.
Sebelum membahas proses masuknya Islam di daerah ini terlebih
dahulu akan dibahas proses masuknya agama Islam di Maluku, Ternate,
Tidore serta pulau Banda dan Seram karena dari sini Islam memasuki
kepulauan Raja Ampat di Sorong, dan Semenanjung Onin di Kabupaten
Fakfak. Sejarah masuknya Islam di wilayah Maluku dan Papua dapat
ditelusuri dari berbagai sumber baik sumber lisan dari masyarakat
pribumi mau pun sumber tertulis.

Menurut tradisi lisan setempat, pada abad kedua Hijriah atau abad
kedelapan Masehi, telah tiba di kepulauan Maluku (Utara) empat orang
Syekh dari Irak. Kedatangan mereka dikaitkan dengan pergolakan
politik di Irak, dimana golongan Syiah dikejar-kejar oleh penguasa, baik
Bani Umayah mau pun golongan Bani Abasyiah. Keempat orang asing
membawa faham Syiah. Mereka adalah Syekh Mansyur, Syekh Yakub,
Syekh Amin dan Syekh Umar. Syekh Umar menyiarkan agama Islam di
Ternate dan Halmahera muka. Syekh Yakub menyiarkan agama Islam di
Tidore dan Makian. Ia meninggal dan dikuburkan di puncak Kie Besi,
Makian. Kedua Syekh yang lain, Syekh Amin dan Umar, menyiarkan
agama Islam di Halmahera belakang, Maba, Patani dan sekitarnya.
Keduanya dikabarkan kembali ke Irak. Sedangkan menurut sumber lain
Islam masuk ke Ternate di sekitar tahun jatuhnya kerajaan Hindu
Majapahit 1478, jadi sekitar akhir abad ke-15. Sumber lain berdasarkan

208
catatan Antonio Galvao dan Tome Pires bahwa Islam masuk ke Ternate
pada tahun 1460-1465.

Dari beberapa sumber tadi dengan demikian dapat diperkirakan bahwa


Islam masuk ke Maluku pada abad ke-15 selanjutnya masuk ke Papua
pada abad ke-16, sebagain ahli memprediksikan bahwa telah masuk
sejak abad ke-15 Sebagaimana disebutkan situs Wikipedia. Secara
geografis tanah Papua memiliki kedekatan relasi etnik dan kebudayaan
dengan Maluku. Dalam hal ini Fakfak memiliki kedekatan dengan
Maluku Tengah, Tenggara dan Selatan, sedangkan dengan Raja Ampat
memiliki kedekatan dengan Maluku Utara.

Sejarah masuknya Islam di Papua dan proses penyebarannya memiliki


banyak versi dan penafsiran. Para ahli sejarah masih belum
menemukan kesepakatan dan kepastian tentang kapan dan bagaimana
Islam masuk di Papua. Berikut lima pendapat tentang penyebaran Islam
di Papua:

1Versi Aceh

Menurut pendapat ini, Islam masuk di Papua melalui mubaligh Aceh


bernama Abdul Ghafar pada 1360-1374. Dalam buku Sejarah Masuknya
Islam di Fakfak (2006) karya Pemda Fakfak, Raja Rumbati Ibrahim
Bauw menyampaikan bahwa Abdul Ghafar dan teman-temannya
mendarat di Fatagar Lama (kerajaan di Fakfak) setelah mencari
rempah-rempah dari Maluku.

2.Versi arab

Pendapat ini menyatakan bahwa penyebaran Islam di Papua mulai


dilakukan oleh Syarif Muaz al-Qathan di Patimunin, Fakfak. Syarif Muaz
merupakan seorang sufi dari Yaman yang mempunyai gelar Syekh

209
Jubah Biru. Syarif Muaz menyebarkan Islam di Papua pada pertengahan
abad 16 Masehi.

3.Versi Banda

Pendapat ini menyatakan bahwa Islam di Papua berasal dari pedagang-


pedagang Bugis melalui jalur Banda – Fakfak – Seram Timur. Proses
Islamisasi dilakukan oleh dua orang pedagang sekaligus mubaligh
bernama Jainun dan Salahudin dari Banda pada pertengahan abad 16
Masehi.

4.Versi Bacan

Pendapat ini menyatakan bahwa Islamisasi Papua dilakukan oleh


Kesultanan Bacan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad al Baqir.

5.Versi Ternate dan Tidore

Pendapat ini menyatakan bahwa Islamisasi di Papua berasal dari


kerajaan Ternate dan Tidore. Dalam catatan sejarah Tidore disebutkan
bahwa, Sultan Ibnu Mansur bersama Sangaji Patani melakukan
ekspedisi penaklukan serta syiar agama Islam di Papua pada tahun
1443.

F.Kerajaan-Kerajaan Islam Di Irian Jaya/Papua

Kerajaan Islam di Papua telah mendapat pengaruh dari kesultanan


Islam, yakni Ternate, Tidore, dan Bacan. Kerajaan Ternate telah
ditemukan di Raja Ampat, Sorong, Fakfak, dan Kaimana. Daerah Biak
Numfor telah menjadi bagian dari kekuasaan Sultan Tidore. Sementara
sejak 1520, Kesultanan Bacan telah menguasai beberapa daerah hingga
sejumlah pemuka masyarakat di pulau-pulau Waigeol Misool, Waigama,

210
dan Salawati.Menurut berbagai catatan, terdapat beberapa kerajaan
Islam yang ada di Papua, diantaranya:

1.Kerajaan ataigeo

Kerajaan Waigeo terletak di wilayah pulau Waigeo, Raja Ampat. Daerah


ini menjadi pusat kekuasaanKerajaan Waigeo sejak abad ke 16. Adanya
kerajaan Waigeo tidak lepas dari sejarah Raja Ampat.

2.Kerajaan danyaol

Kerajaan Misol terletak di kawasan Raja Ampat, tepatnya di pulau


Misool. Masuknya Islam di Pulau Misool diperkirakan dimulai sejak
zaman Kerajaan Misoo, akan tetapi tidak ada catatan resmi kapan Islam
pertama kalinya masuk.

3.Kerajaan tidakwati

Kerajaan Salawati terletak di Kabupaten Raja Ampat yang berpusat di


Samate. Lokasinya berbatasan langsung dengan Kerajaan Misool.
Terdapat salah satu tokoh muslim yang sangat berpengaruh di kerajaan
Salawati, beliau adalah Muhammad Aminuddin. Sebagai adik kandung
dari Raja Salawati, Muhammad Aminuddin sangatlah menentang
adanya penjajahann Belanga.

4.Kerajaan Sailolof

Kerajaan Sailolof berada di selatan Salawati, tepatnya di desa Sailolog,


Raja Ampat. Kerajaan Sailolod saat ini dipenuhi dengan distrik Seget
yang berada di Berau, Misool, dan Sorong. Terdapat istilah yang
digunakan dalam sistem pemeringtahan di Kerajaan Sailolof, salah
satunya Fun Kalana.Fun Kalana adalah gelar tradisional dalam kerajaan
Sailolof, di mana perannannya dibantu staf istana.

5.Kerajaan Fatagar

211
Kerajaan Fatagar terletak di Kabupaten Fakfak. Kerajaan Islam yag satu
ini menjadi satu dari tiga kerajaan tradisional yang berada di
semenanjung Onin. Keberadaannya diperangaruhi oleh Kesultanan
Tidora.

6.Kerajaan Rumbati

Kerajaan Rumbati adalah salah satu dari tiga kerajaan tradisional yang
ada di Semenanjung Onin. Salah satu raja yang tersohor di kerajaan
yang satu ini adalah Patipi. Raja Patipi memimpin pada dinasti kedua, di
mana beliau selalau memperkenalkan agama Islam kepada masyarakat
di Kerajaan Rumbati.

7.Kerajaan Kowiai (Namatota)

Kerajaan Kowiai terletak di Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Raja


pertama dari kerajaan Kowiai adalah Ulan Tua yang dilanjykan oleh
Lamarora. Raja Lamatora bahkan menyebarkan agama Islam sapai
daerah Kokas.Sementara Kerajaan kedelapan Kerajaan Aiduma dan
Kerajaan Kaimana kurang diketahui dalam sejarahnya. Demikian
penjelasan tentang kerajaan-kerajaan Islam di Papua. Semoga informasi
di atas dapat menjadi tambahan tentang sejarah agama Islam yang ada
di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id

http://www.kompas.com/skola/read/2020/11/10/110000869/
sejarah-masuknya-islam-di-papua

212
https://kumparan.com/berita-update/mengenal-sejarah-kerajaan-
kerajaan-islam-di-papua-1wpxuvKW0Qh

213

Anda mungkin juga menyukai