Disusun Oleh:
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya dan
karunianya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun
makalah ini berjudul kerajaan –kerajaan islam pada zaman Belanda
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam,
dalam pembuatan makalah ini kami harap dapat menambah wawasan tentang kita
tentang kerjaan islam pada zaman Belanda
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besar kepada
selaku dosen pak Taufik yang telah memberikan tugas kepada kami. Kami juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami
ketahui. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran, masukan, serta kritik
yang membangun dari berbagai pihak.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................4
A.Latar Belakang Masalah.......................................................................................................................4
B.RUMUSAN MASALAH...........................................................................................................................5
C.TUJUAN PENULISAN.............................................................................................................................5
BAB II.............................................................................................................................................6
PEMBAHASAN..............................................................................................................................6
A.Situasi dan Kondisi Kerajaan Islam di Indonesia ketika Belanda Datang..............................................6
B. Latar belakang kedatangan Belanda,Voc,Hindia Belanda...................................................................8
C.Penetrasi Politik dan Politik Islam Hindia Belanda.............................................................................10
D. Melawan kolianisasi Belanda............................................................................................................13
E. Politik Islam Hindia Belanda..............................................................................................................22
BAB III..........................................................................................................................................26
PENUTUP.....................................................................................................................................26
A.Kesimpulan........................................................................................................................................26
B.Saran..................................................................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................28
BAB I
PENDAHULUAN
Sekian ratus tahun telah berlalu sejak musafir pedagang muslim mulai menginjakkan
kakinya di bumi nusantara, kemudian membangun komunitas islam pertama
(sebagaimana terbukti adanya batu-batu nisan) sampai akhirnya membentuk pusat-pusat
kekuasaannya,yang berbentuk kerajaan-kerajaan. Setelah sekian ratus tahun sejarah itu
telah dalam proses dinamika waktu. Dan islam adalah juga konsep sejarah yang
terlibat.islam adalah impian para pedagang/penyebar islam, kemudian menjadi cita-cita
akhirnya menjadi sebuah kenyataan dengan terbentuknya kerjaan islam. Meskipun
terusik oleh hegemoni kolonialisme barat kenyataan itu makin menjadi cita-cita
sehingga pecah perlawanan terhadap kolonialisme barat (belanda) yang mengusiknya
lalu menjadi kenyataan baru yang melahirkan cita-cita dan begitu seterusnya sampai
sekarang.
Sejarah merupakan catatan yang berusaha merekonstruksi hari lampau yang harus di
bahas secara cermat dan jujur untuk mendapatkan fakta sejarah yang tersembunyi.
Karena dari pengalaman sejarah kita dapat bercermin dan mendapat I'tibar dalam
menata dan mengatur serta memperjuangkan islam di masa kini dan mendatang.
Makalah ini ingin mengkaji bagaimana sebenarnya kondisi dan situasi kerajaan-
kerajaan Islam di Indonesia pada saat sebelum kemerdekaan dan bagaimana pula
penetrasi politik Hindia Belanda pada saat itu. Untuk mengetahui secara lebih detail
tentang masalah ini akan dibahas beberapa masalah yang secara garis besar dituangkan
dalam rumusan masalah berikut.
B.RUMUSAN MASALAH
C.TUJUAN PENULISAN
PEMBAHASAN
A. Situasi dan Kondisi Kerajaan Islam di Indonesia ketika Belanda Datang
Di pulau Sumatera kondisi kerajaan dan masyarakat Islam sudah lama terbentuk.
Pada abad ke-16, kerajaan Aceh menjadi sangat dominan, terutama karena para
pedagang di sana menghindar dari Malaka dan memilih Aceh sebagai pelabuhan transit.
Aceh berusaha menarik perdagangan internasional dan antar kepulauan Nusantara.
Bahkan, ia mencoba menguasai pelabuhan-pelabuhan pengekspor lada, yang ketika itu
sedang banyak permintaan. Setelah berhasil menguasai daerah-daerah di Sumatera
bagian Utara, Aceh berusaha menguasai Jambi, pelabuhan pengekspor lada yang
banyak dihasilkan di daerah-daerah pedalaman, seperti di Batanghari. Jambi, yang
ketika itu sudah Islam, juga merupakan pelabuhan transito, tempat beras dan bahan-
bahan lain dari Jawa, Cina, India, dan lain-lain diekspor ke Malaka. Selain itu, ekspansi
Aceh ketika itu berhasil menguasai perdagangan pantai barat Sumatera dan mencakup
Tiku, Pariaman, dan Bengkulu. Ketika itu, Aceh memang sedang berada pada masa
kejayaannya di bawah Sultan Iskandar Muda. Beliau wafat dalam usia 46 tahun pada 27
Desember 1636.[1]
Setelah Sultan Iskandar Muda wafat, beliau digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani,
yang berasal dari Pahang. Di zaman pemerintahannya, Aceh dan Semenanjung Tanah
Melayu telah melalui satu zaman yang berbeda dari yang pernah dialami sejak Iskandar
muda berkuasa. Secara khusus, Kerajaan Aceh yang dipimpin Iskandar Tsani tidak lagi
mengikuti satu dasar luar yang militan. Sebagai seorang yang wara’, Iskandar Tsani
mencurahkan perhatiannya ke arah pembangunan masyarakat dan mengembangkan
pendidikan Islam. Usahanya untuk menyebarkan ajaran Islam tidak saja terbatas di
daerah-daerah Aceh besar, tetapi beliau juga mengirimkan surat dan dua buah kitab,
yaitu, “Surat Al Mustaqim” dan “Babun Nikah”, kepada Sultan Kedah (sekarang
Malaysia) ketika mengetahui bahwa Islam telah berkembangSetelah beliau meninggal
dunia Aceh secara berturut-turut dipimpin oleh tiga orang wanita selama 59 tahun.
Ketika itulah Aceh mulai mengalami kemunduran. Daerah-daerah di Sumatera yang
dulu berada di bawah kekuasaannya mulai memerdekakan diri. Meskipun sudah jauh
menurun, Aceh masih dapat bertahan lama menikmati kedaulatannya dari intervensi
kekuasaan asing.
Di pulau Jawa, pada saat kedatangan bangsa Belanda, pusat kerajaan Islam sudah
pindah dari pesisir ke pedalaman, yaitu dari Demak ke Pajang kemudian ke Mataram.
Pada tahun 1619, seluruh Jawa Timur praktis sudah berada di bawah kekuasaan
Mataram, yang ketika itu di bawah Sultan Agung. Pada masa pemerintahan Sultan
Agung inilah, kontak-kontak bersenjata antara kerajaan Mataram dengan VOC mulai
terjadi. Meskipun ekspansi Mataram telah menghancurkan kota-kota pesisir dan
mengakibatkan perdagangan setengahnya menjadi lumpuh, namun sebagai penghasil
utama dan pengekspor beras, posisi Mataram dalam jaringan perdagangan di Nusantara
masih berpengaruh.
Sementara itu, di pantai Jawa bagian Barat, Banten muncul sebagai daerah penting
karena perdagangan ladanya dan sebagai tempat penampungan pelarian dari pesisir
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di samping itu, Banten juga menarik perdagangan lada
dari Indrapura, Lampung, dan Palembang. Produksi ladanya sendiri sebenarnya kurang
berarti. Merosotnya peran pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur akibat politik Mataram dan
munculnya Makassar sebagai pusat perdagangan membuat jaringan perdagangan dan
rute pelayaran dagang di pesat di sana. Indonesia mulai bergeser.Kalau di awal abad
ke-16, rute yang ditempuh ialah Maluku - Jawa - Selat Malaka, maka di akhir abad itu
menjadi Maluku - Makassar - Selat Sunda.
Di pulau Sulawesi, pada akhir abad ke-16, pelabuhan Makassar berkembang dengan
pesat. Hal ini dikarenakan letaknya memang sangat strategis, yaitu tempat persinggahan
ke Maluku, Filipina, Cina, Patani, Kepulauan Nusa Tenggara, dan Kepulauan Indonesia
bagian Barat. Sementara itu Maluku, Banda, Seram, dan Ambon sebagai pangkal atau
ujung perdagangan rempah-rempah menjadi sasaran pedagang Barat yang ingin
menguasainya dengan politik monopolinya. Ternate dan Tidore dapat terus dan berhasil
mengelakkan dominasi total dari Portugis dan Spanyol, namun ia mendapat ancaman
dari Belanda yang datang kesana
1.Hak Ekstripasi
Hak untuk membakar dan menebang rempah untuk menstabilkan harga rempah
2.Contigeten
Wajib membayar pajak nominalnya ditentukan oleh VOC.Pajak ini berupa hasil
bumi tapi tidak ada sistem ganti rugi apabila terjadi kegagalan panen
3.Verplichte Leverantie
4.Pelayaran hongi
Pada Desember 1780 terjadinya perang Antara inggris dan belanda menyebabkan
VOC mengalami krisis keuangan yang begitu genting ,sehingga VOC meminta bantuan
dari luar ,tidak dapat berdiri sendiri. Hingga Pada tahun 1798 VOC dibubarkan dengan
saldo kerugian sebesar 134,7 juta Gulden, kemunduran dan kebangkrutan VOC
disebabkan oleh beberapa faktor Antara lain pegawai yang tidak cakap dan
korup,pembukuan yang curang,hutang besar dan kebijakan’’monopoli.
C.Penetrasi Politik dan Politik Islam Hindia Belanda
Dengan perlengkapan yang lebih maju, VOC melakukan Dengan resmi
dibubarkannya VOC ,Indonesia pindah dibawah kekuasaan pemerintah klonial Belanda
(1800-1942).Pergantian kekuasaan ini bahkan mendorong Belanda memberikan
keutungan kepada Negara nya dengan sebanyak banyak nya dengan memanfaatkan
Negara jajahan nya Indonesia untuk menangnggulangi masa keberangkutan pasca
perang dengan Jepang ,pemerintahan Belanda juga nmenerapkan sistem tanam
paksa .Setelah terusan suez daibuka dan industry di negeri Belanda sudah berkembang
pemerintah menerapkan politik liberal di Indonesia perusahaan dan modal swasta
dibuka luas seluasnya dalam politik liberal itu berkepentingan dan hak pribumi di
perhatikan tetapi pada dasarnya tidak mengalami perubahan yang berarti, baru pada
tahun 1901 Belanda menerapkan politik etis dan balas budi.
Politik ekspansi. Boleh dibilang ekspansi menjelang akhir abad ke-18 berhasil di
Jawa. Belanda telah meluaskan kekuasaannya dalam pemerintahan Mataram karena
Amangkurat II (1697-1703) meminta bantuan VOC untuk memadamkan
pemberontakan Tunojoyo, Adipati Madura dan pemberontakan Kajoran dan dipercepat
oleh konflik internal dalam istana.11 Pada masa Amangkurat III Mataram mengalami
krisis, sementara Belanda telah menggerogoti wilayah dan kekuasaannya. Memang
setiap bantuan yang diberikan Belanda harus dibayar dengan wilayah dan konsesi
dagang. Meluasnya pengaruh Belanda dalam pemerintahan Mataram, dipercepat oleh
konflik internal dalam istana. Karena konflik itulah, Mataram pada tahun 1755 pecah
menjadi Surakarta dan Yogyakarta, tahun 1757 muncul kekuasaan Mangkunegara dan
akhirnya pada tahun 1813 kekuasaan Pakualam.
Sementara itu, sebagai tetangga terdekat dari basis VOC di Batavia (Jakarta), Banten
segera mengalami kemunduran disebabkan oleh politik monopoli VOC. Hubungan
dagang antara Banten dan Malaka sebelumnya sangat baik. Rempah-rempah dan lada
diperoleh Portugis dari Banten dan Portugis menjual bahan pakaian di Banten. Namun,
ketika Ambon dan Banda diblokade Belanda, perdagangan rempah-rempah di Banten
menyusut drastis karena perdagangan beralih ke Makassar, sedangkan permintaan
bahan pakaian sangat terbatas.
Hubungan Banten dengan Belanda menjadi runcing ketika Sultan Ageng Tirtayasa
naik tahta tahun 1651. Ia sangat memusuhi Belanda, karena Belanda dipandangnya
menghalangi usaha Banten memajukan dunia perdagangan. Pada tahun 1656, dua kali
kapal Belanda dirampas Banten, tetapi itu tidak menimbulkan perang terbuka antara dua
belah pihak. Anak Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Haji, yang diangkat menjadi Sultan
Muda tahun 1676, ternyata tidak menyenangi sikap politik ayahnya yang memusuhi
Belanda.
Ia ingin mengadakan mengadakan hubungan baik dengan orang Barat ini. pada 27
Februari 1682, Sultan Ageng Tirtayasa menyerang Surosowan, istana Sultan Haji, yang
ketika itu sudah menjadi pemimpin kerajaan Banten. Serangan ini dapat dipatahkan
berkat bantuan Belanda, tetapi dengan demikian, Banten praktis berada di bawah
kekuasaan Belanda.
Penetrasi Belanda dalam dunia politik seringkali justru diundang oleh konflik
internal suatu kerajaan atau konflik antar kerajaan Indonesia. Yaitu di Sulawesi terdapat
konflik dalam negeri antara Gowa-Tallo dengan Bone. Sehingga VOC mampu
memonopoli di Makassar maupun di Indonesia bagian Timur.
Sementara itu, sebagai dua kerajaan yang selalu bersaing, Gowa-Tallo dan Bone
terus terlibat konflik, meskipun sewaktu-waktu terhenti. Ketika terjadi pertentangan
mengenai monopoli antara Gowa dan VOC, Sultan Gowa, Sultan Hasanuddin,
mengambil langkah mengadakan pengawasan ketat terhadap Bone dan mengerahkan
tenaga kerja untuk memperkuat pertahanan Makassar.
Dalam pertempuran antara Gowa dan Bone, Bone mengalami kekalahan besar.
Orang- orang Bugis kemudian bersatu di bawah pimpinan Arung Palaka untuk melawan
Makassar. VOC mendapat keuntungan besar dari persekutuan orang-orang Bugis itu,
persekutuan Soppeng dan Bone, bahkan Belanda juga berhasil mengajak Ternate untuk
terlihat daam peperangan melawan Makassar. Dalam peperangan itu, Makassar
mengalami kekalahan konfrontasi antara Makassar dan VOC baru berakhir setelah
diadakan genjatan senjata pada tanggal 6 November 1667, kemudian perjanjian
Bongaya tanggal 13 November 1667. Isi perjanjian itu terutama menekankan prinsip
hidup berdampingan secara serasi dalam suasana perdamaian.
Pada waktu genjatan senjata berlangsung, sebelum perjanjian disepakati, antara
Speelman dari pihak Belanda dan Sultan Hasanuddin diadakan pertemuan-pertemuan
yang menghasilkan persetujuan. Tuntutan Speelman berisi kepentingan VOC dalam
bidang politik, militer, dan ekonomi. Dengan demikian, monopoli yang merupakan
tujuan VOC di Indonesia tercapai, baik di Makassar maupun di Indonesia bagian timur.
Akan tetapi, banyak kalangan yang tidak menyetujui perjanjian dengan Belanda,
terutama kalangan yang bersimpati kepada kerajaan Gowa. Oleh karena itu, usaha
untuk mendekati sekutu-sekutu lama dilakukan. Pada tahun berikutnya, peperangan
antara Makassar di satu pihak, VOC dan Bugis di pihak lain berkobar kembali.
Makassar kembali dilanda kekalahan, istananya bahkan mendapat serangan pada tahun
1669. Sultan Hasanuddin terpaksa mengungsi. Sebelum istana Somboapu jatuh, Sultan
Hasanuddin turun dari tahta dan diganti oleh putra I Mappasomba, Sultan Amir
Hamzah. Kekalahan Gowa ini membuatnya berada di bawah kekuasaan Bone.
Penetrasi politik Belanda juga terjadi di kerajaan Banjarmasin. Belanda pertama kali
datang ke kerajaan ini pada awal abad ke-17. Mereka dengan susah payah mendapatkan
izin untuk berdagang. Karena dipandang merugikan pedagang Banjar sendiri, para
pedagang Belanda ini akhirnya belakang diusir dari sana. Posisi mereka kemudian diisi
oleh para pedagang asal Inggris. Namun, yang terakhir ini pun diusir dari kerajaan itu
dengan alasan yang sama. Setelah pedagang Inggris meninggalkan Banjarmasin pada
dasawarsa ketiga abad ke-18, Banjar didatangi lagi oleh pedagang Belanda. Mereka
mendekati Sultan Tahlilillah, dan tahun 1734, mereka berhasil mengadakan perjanjian
dan mendapat fasilitas perdagangan di kerajaan itu.
Islam berkembang di Tidore diduga berasal dari Malaka, Kalimantan atau Jawa,
banjar dan Giri atau Gersik cukup besar pengaruhnya dalam sosialisasi Islam di Ternate
dan Tidore, sebelum terjadi arus balik, yakni penyebaran Islam dari Ternate ke arah
barat yakni ke Buton dan daerah lain di Sulawesi Selatan. Keberhasilan mengusir
Portugis tidak sekaligus berarti kemenangan kerajaan. Menjelang 1660, Ternate dan
Tidore justru menjadi kerajaan-kerajan taklukan VOC, organisasi dagang Belanda yang
menghendaki monopoli perdagangan rempah- rempah di Maluku dan Nusantara
umumnya.
Kelompok radikal ini mendapat kekuatan baru tahun 1803, ketika tiga ulama, Haji
Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik, dan Haji Piobang dari Lima Puluh Kota pulang
dari Mekah. Mereka datang membawa semangat yang diilhami oleh gerakan Wahabi
yang puritan. Mereka melihat bahwa penduduk Minangkabau baru masuk Islam secara
formal dan belum mengamalkan ajaran agama secara murni.
Di setiap negara yang bisa mereka "taklukkan", Tuanku Qadhi ditunjuk untuk
menjaga jalannya hukum syariah dan Tuanku Imam untuk memimpin ibadah shalat dan
puasa. Perjudian, sabung ayam, balam, dan minum tuak dilarang keras. Wanita tidak
diperbolehkan makan sirih dan keluar rumah tanpa menutupi auratnya.
Pada awalnya gerakan yang dikenal dengan Paderi ini dilakukan melalui ceramah-
ceramah di surau-surau dan masjid-masjid. Konflik terbuka dengan kelompok
penantang baru terjadi ketika kelompok Adat mengadakan pesta sabung ayam di
Kampung Batabuh. Pesta asusila diperangi oleh para Priest. Sejak saat itu, perang
antara Pendeta melawan Adat mulai terjadi.
Bahkan, banyak orang Adat yang mendukung dan memihak kepada para Pendeta.
Tantangan berat yang dihadapi para Priest berasal dari garis keturunan raja. Inilah yang
selalu menghambat pergerakan, mungkin karena takut kehilangan pengaruh dan
kekuasaan di kalangan rakyat. Rombongan terakhir ini kemudian meminta bantuan
kepada pemerintah Hindia Belanda yang disambut dengan senang hati. Pada tanggal 21
Februari 1921, ditandatangani perjanjian antara orang Adat dengan Belanda. Sejak itu,
perang antar kelompok dimulai
Paderi yang didukung oleh rakyat, melawan Pasukan Belanda yang didukung
persenjataan modern dan personil terlatih. Kaum Paderi memperkuat benteng yang
tangguh di Bonjol, yang sekaligus berfungsi sebagai pusat pengumpulan logistik
danpembuatan senjata api. Benteng ini dipimpin oleh Muhammad Syabab yang
kemudian dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol. Pada perang-perang pertama, Belanda
banyak mengalami kesulitan dan mengalami kekalahan sehingga harus meminta
bantuan Batavia. Karena terus kesulitan, Belanda mencari jalan lain dan akhirnya
berhasil membujuk Paderi untuk berdamai pada 22 Januari 1824. Perdamaian bagi
Belanda hanya memperpanjang masa konsolidasi. Setelah itu, mereka sendiri yang
mengkhianatinya. Pada pertempuran selanjutnya Belanda juga mengalami kesulitan,
hingga pada tanggal 15 September 1825 diadakan lagi perjanjian perdamaian.
Perjanjian ini dimaksudkan Belanda untuk memusatkan kekuatannya di Jawa untuk
1
menghadapi Pangeran Diponegoro. Setelah Perang Diponegoro usai, pengkhianatan
kembali dilakukan pihak Belanda. Lagi-lagi Belanda mengalami kekalahan yang
memaksa mereka membuat pengumuman perdamaian yang dikenal dengan Plakat
Panjang, 23 Oktober 1833. Isinya, Belanda tidak akan ikut serta dalam politik
Minangkabau. Tapi, para Pendeta sudah tidak percaya lagi pada Belanda, mereka terus
melawan. Namun, para Imam akhirnya dikalahkan oleh Belanda dengan kelicikan dan
kelicikannya. Mereka menyerang benteng Bonjol secara tiba-tiba setelah seminggu
mereka membuat kesepakatan damai. Bonjol mereka duduki, 16 Agustus 1837. Tuanku
Imam Bonjol sendiri, juga dengan tipu muslihat, dijebak, lalu ditangkap 28 Oktober
1837. Ia diasingkan ke Cianjur lalu ke Ambon lalu ke Manado. Di tempat terakhir ini,
ia menghembuskan nafas terakhir.2
Walaupun Paderi kalah di tangan Belanda, gerakan ini berhasil memperkuat posisi
agama, di samping adat, terjadi asimilasi doktrin agama ke dalam adat Minangkabau
sebagai pola perilaku ideal. Doktrin agama diidentifikasikan lebih jelas sebagai satu-
satunya standar perilaku. Adat Islamiah yang dilahirkannya menjadiadat yang berlaku,
sedangkan adat yang bertentangan dengan Islam dipandang sebagai adat jahiliyah yang
diharamkan
2. Perang Diponegoro
Perang Diponegoro atau Perang Jawa merupakan perang terbesar yang dihadapi
pemerintah kolonial Belanda di Jawa. Perang ini berlangsung selama lima tahun. Untuk
mengetahui latar belakangnya perlu ditelusuri kondisi kehidupan masyarakat khususnya
di bidang sosial dan ekonomi. Sistem pajak tradisional menjadi beban berat dari
generasi ke generasi. Selain itu, masih ada pajak bea cukai dan pajak lalu lintas. Faktor
ekonomi lain yang menimbulkan keresahan masyarakat adalah peraturan pemerintah
Hindia Belanda yang menetapkan bahwa semua sewa tanah oleh penguasa Eropa dari
penguasa pribumi dan bangsawan dibatalkan dengan mengembalikan uang sewa atau
pembayaran lain yang telah dilakukan. Banyak bangsawan yang terkena aturan tersebut
dan mengalami kesulitan besar, termasuk Pangeran Diponegoro.
Pangeran Diponegoro adalah putra tertua Hamengku Buwono III, yang dijanjikan
ayahnya untuk menduduki tahta setelah kematiannya, tetapi dia menolak. Setelah
2
Hamengku Buwono wafat pada tahun 1814, yang naik tahta adalah adik Pangera
Diponegoro, Jarot yang bergelar Hamengku Buwono IV, seorang sultan yang memiliki
gaya hidup mewah dan menyukai hal-hal baru di keraton. Setelah sultan wafat, yang
naik tahta adalah putranya yang masih berusia tiga tahun. Karena kerajaan tersebut dua
kali berturut-turut di bawah seorang raja muda, Patih Danurejo IV berkesempatan untuk
berperan memimpin dalam mengatur jalannya kesultanan Yogyakarta.3
4
Taufik abdullah ED hlm.148
Untuk memperkuat semangat, Pangeran Dipone- goro dinobatkan sebagai pemimpin
tertinggi Jawa dengan gelar Sultan Ngabdulhamid Herucakra Kabiril Mukminin
Kalifatullah ing Tanah Jawa. Dengan begitu, ia bukan saja tak mengakui keabsahan
keraton yang ada, tetapi juga, telah mendirikan keraton baru.
Pada tahun 1826, jalan perang menunjukkan pasang surut. Banyak korban
berguguran di pihak Belanda. Tahun 1827, Belan- da memperkuat diri dengan
melakukan benteng stelsel untuk mempersempit gerak tentara Pangeran Diponegoro.
Belanda juga mengerahkan bantuan dari negeri Belanda sekitar tiga ribu orang.
Pihak Pangeran Diponegoro mulai putus asa sedikit demi sedikit. Pada tahun 1827,
Kiai Maja siap berunding dan mengadakan gencatan senjata dengan Belanda. Itu
merupakan pukulan tersendiri bagi Pangeran Diponegoro.Tahun berikutnya, Kiai maja
kembali mengangkat senjata, namun tertangkap, kemudian diasingkan ke Manado. Pada
tahun 1829, Pangeran Diponegoro menyatakan siap berunding tanpa melepaskan
klaimnya untuk diakui sebagai panatagama. Pada tahun yang sama, Pangeran
Mangkubumi dan Sentot Prawiradirja menyerah. Perundingan dengan Pangeran
Diponegoro sendiri berlangsung sejak Februari 1830 namun ditunda karena Pangeran
Diponegoro belum siap berunding pada bulan puasa. Pada perayaan Idul Fitri, 28 Maret
1830, Pangeran Diponegoro diundang ke rumah residen untuk melanjutkan
perundingan. Dalam musyawarah tersebut, Pangeran Diponegoro kembali menuntut
agar diberi kebebasan untuk mendirikan negara Islam merdeka. Akhirnya ia ditangkap
karena masih mempertahankan tuntutannya, kemudian diasingkan ke Manado pada
tanggal 3 Mei 1830. Pada tahun 1834 ia dipindahkan ke Ujung Pandang. Makassar. Di
pengasingan inilah dia meninggal pada tanggal 8 Januari 1855 dalam usia kurang lebih
70 tahun. 5
3. Perang Banjarmasin
5
R.Z leirissa, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta 1984 hal 204
Perang Banjarmasin dengan Pangeran Antasari sebagai pahlawan yang terkemuka
dilatarbelakangi oleh campur tangan Belanda dalam menentukan siapa yang akan
menjadi raja muda pengganti sultan, apabila sultan berkuasa wafat. Sultan Adam
Alwasik Billah sudah tua. Di sampingnya harus ada wakil dengangelar sultan muda.
Jabatan itu diserahkan kepada putranya bernama Abdurrahman. Akan tetapi,
Abdurrahman tidak berusia panjang Karena itu, Sultan ingin menunjuk penggantinya.
Ia memilih cucunya, Pangeran Hidayat, yang memang sangat disayanginya dan berbudi
pekerti baik, cerdas, pandai bergaul serta memperhatikan nasib rakyat. Belanda tidak
menyetujui pilihan sultan itu dan lebih berpihak kepada Pangeran Tamjid, cucu sultan
yang lainnya. Pangeran Tamjid adalah cucu dari selir, yang menurut tradisi tidak berhak
menduduki jabatan sultan. Apalagi, akhlak pangeran Tamjid kurang baik dan
hubungannnya dengan Belanda sangat rapat sehingga ia tidak disenangi oleh rakyat.
Pangeran Tamjid kemudian secara paksa dinobatkan menjadi sultan muda tahun 1857.
Setelah Sultan Adam meninggal dunia, ia diangkat menjadi sultan. Sementara itu,
Pangeran Hidayat sendiri hanya ditempatkan sebagai Mangkubumi.
Sebelas hari setelah pembuangan Pangeran Hidayat, pada tanggal 14 Maret 1862,
Pangeran Antasari memproklamasikan suatu pemerintahan kerajaan Banjarmasin yang
bebas dan merde- ka, pengganti kerajaan Banjarmasin yang dirampas Belanda itu.
Ketika diumumkan pengangkatan raja baru, Pangeran Antasari sendiri, bergelar
Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Ibu kota sementara ditetapkan di Teweh,
yang ketika itu merupakan markas besar perjuangan melawan Belanda.20
Akan tetapi, tujuh bulan setelah proklamasi, Pangeran Antasari jatuh sakit dan pada
tanggal 11 Oktober 1862, ia wafat di Hulu Teweh. Sebagai raja dia digantikan oleh
anaknya, Pangeran Mu- hammad Seman. Perlawanan terus berlangsung sampai tahun
1905, ketika raja ini terbunuh sebagai syahid dalam medan pertempuran.
4. Perang Aceh
Perang Aceh Pada awal abad ke-19, sebenarnya hegemoni kerajaan Aceh di
Sumatera Utara sudah sangat menurun, tetapi kedaulatannya masih diakui oleh negara-
negara Barat. Traktat London 1824 bahkan menjamin kemerdekaannya. Pada tanggal
30 Maret 1857 ditanda- tangani kontrak antara Aceh dan pemerintah Hindia Belanda
yang berisi kebebasan perdagangan. Kontrak itu memberi kedudukan kepada Belanda
di sana dan diperkuat oleh Traktat Siak yang ditandatangani pada tahun itu juga. Sultan
Aceh menentang isi traktat tersebut karena bertentangan dengan hegemoni Aceh.
Dalam pertempuran antara Aceh dan Belanda setelah itu, Deli, Serdang, dan Asahan
jatuh ke tangan Belanda.
Setelah Terusan Suez dibuka, pelabuhan Aceh menjadi sang strategis, karena berada
dalam urat nadi pelayaran internasional Sementara itu, imperialisme dan kapitalisme
memuncak dan negara- negara Barat berlomba-lomba mencari daerah jajahan baru.
Kondisi ini mendesak Inggris dan Belanda untuk mengadakan perundingan
Berdasarkan Traktat Sumatera 2 November 1871, pihak Belanda diberi kebebasan
memperluas daerah kekuasaannya di Aceh, sedangkan Inggris memperoleh kebebasan
berdagang di daerah Siak. Traktat ini jelas memberi peluang kepada Belanda untuk
meneruskan agresinya. Belanda kemudian memaklumkan perang terhadap Aceh pada
tanggal 26 Maret 1873.6
Itulah awal dari Perang Aceh yang menurut waktu dan ruang tidak ada taranya dalam
sejarah perlawanan terhadap kekuasaan kolonial. Perang ini disebut juga perang rakyat,
karena seluruh rakyat Aceh terlibat secara aktif melawan kolonial. Pejuang Aceh
dipersenjatai oleh ideologi perang Sabil sepanjang berlangsung- nya perang yang jelas
mempersulit Belanda.
Pada tanggal 5 April 1873, tentara Belanda mendarat dengan kekuatan sekitar 3000
personil. Dalam serangan pertama itu, masjid diserang dan dapat diduduki tentara
Belanda, tetapi segera dapat direbut kembali oleh pasukan Aceh. Karena kuatnya
tentara Aceh, pasukan Belanda ditarik sementara untuk menunggu bala bantuan dari
Batavia. Bulan November tahun itu juga, Belanda mengirim ekspedisi kedua dengan
kekuatan sekitar 13.000 prajurit. Kali ini dengan mudah Belanda menduduki masjid dan
keraton, karena Sultan dan seluruh penghuninya sudah mengungsi. Jatuhnya keraton
tidak melunturkan semangat juang rakyat Aceh.
Tidak lama setelah itu, pada 1874 Sultan meninggal dunia karena penyakit kolera
dan para pengikutnya mengungsi lebih jauh lagi. Belanda berusaha mengadakan
perundingan, tetapi tidak ditanggapi oleh pihak Aceh. Belanda kemudian memakai
strategi menunggu dan menjalankan sistem pasifikasi. Dengan sistem ini, Belanda
berusaha menguasai dan mengamankan lembah SungaiAceh dan Aceh Besar. Mereka
mendirikan benteng-benteng seba- gai pos untuk mengawasi daerah sekitarnya.
Pos-pos pengawasan itu terus-menerus mendapat serangan dari tentara Aceh yang
mulai terorganisasi. Di samping itu, di sekitar pos-pos tersebut berjangkit penyakit
6
kolera. Akhirnya hubungan antarpos tersebut dapat ditembus dan diputus oleh tentara
Aceh pada tahun 1877. Setelah itu, Belanda melakukan serangan dengan mengirim
ekspedisi ke Mukim 22, tempat Panglima Polim memimpin perlawanan. Panglima
Polim terpaksa mengungsi dan daerah-daerah sekitar Aceh Besar jatuh ke tangan
Belanda.
Pada tahun 1890, Gubernur Deykerhoff mencoba mendekati para bangsawan atau
ulebalang, karena melihat mereka dan para pedagang sebagai penyumbang dana bagi
para pejuang. Dengan siasat tersebut, Teuku Umar kemudian memihak Belanda dan
dengan bantuannya Belanda berhasil menundukkan Mukim XXII, XXV, XXVI.
Belanda menaruh banyak kepercayaan padanya. Namun, ia langsung membelot pada
tahun 1896 setelah mendapatkan perlengkapan perang yang cukup. Dengan demikian,
pertarungan kembali bergejolak di seluruh Aceh Besar. Belanda kembali melakukan
ofensif yang memaksa pihak Aceh bersikap defensif.
Dalam peperangan ini Teuku Umar gugur. Pada tahun 1899, banyak ulebalang di
daerah Pasai menyerah. Perjuangan Teuku Umar dilanjutkan oleh istrinya Cut Nya' Din.
Setelah itu, Belanda meneruskan pengejaran terhadap rombongan Sultan. Bahkan,
untuk memancing agar sultan mau menyerahkan diri, Belanda melakukan penyanderaan
dengan menangkap istri-istri dan putra Sultan. Belanda mengancam, bila sultan tidak
menyerahkan diri, istri-istri dan anaknya itu akan dibuang. Akhirnya, sultan menyerah
pada tanggal 3 Januari 1903. Taktik yang sama dilakukan juga terhadap Panglima
Polim, yang terpaksa menyerah pada tanggal 6 September 1903,
Daerah-daerah yang paling cepat menerima kekuasaan Belanda pada abad ke-17 dan
18 adalah daerah-daerah yang paling banyak mendapatkan manfaat dari perdamaian
dengan para saudagar VOC dan memisahkan diri dari klaim-klaim kerajaan pusat yakni
pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara dan Madura. Daerah-daerah ini juga merupakan
daerah yang perembesan Islamnya paling dalam.[4]
Pada tahun 1755 VOC berhasil menjadi pemegang hegemoni politik pulau Jawa
dengan perjanjian Giyanti, karena itu raja Jawa kehilangan kekuasaan politiknya.
Bahkan kewibawaan raja sangat tergantung pada VOC. Campur tangan kolonial
terhadap kehidupan keraton semakin meluas, sehingga ulama-ulama keraton sebagai
penasehat raja-raja tersingkir. Rakyat kehilangan kepemimpinan sementara penguasaan
kolonial sangat menghimpit kehidupan mereka. Eksploitasi hasil bumi rakyat untuk
kepentingan pemerintah kolonial Belanda merajalela, penggusuran dan perampasan
tanah milik rakyat untuk kepentingan pemerintah semakin digalakkan. Raja-raja
tradisional jarang membantu rakyat, bahkan setelah mendapat gaji mereka memihak
kepada tuannya (Belanda). Rakyat ketakutan dan kesulitan menghadapi penindasan, dan
hal ini terjadi sampai abad ke-14. Dalam kondisi seperti ini rakyat mencari pemimpin
non formal (para ulama, kiyai, atau bangsawan) yang masih memperhatikan mereka.
Pusat kekuasaan politik berpindah dari istana keluar, yaitu ke wilayah-wilayah yang
jauh dari istana, salah satunya ke pesantren-pesantren yang kemudian menjadi basis
perlawanan.
Indonesia merupakan negeri berpenduduk mayoritas Muslim. Agama Islam secara
terus menerus menyadarkan pemeluknya bahwa mereka harus membebaskan diri
cengkraman pemerintahan kafir. Perlawanan dari raja-raja Islam terhadap pemerintahan
kolonial bagai tak pernah henti. Padam di suatu tempat muncul di tempat lain. Oleh
karena itu, ajaran Islam dipelajari secara ilmiah di negeri Belanda. Seiring dengan itu,
di sana juga diselenggarakan indologie, ilmu untuk mengenal lebih jauh seluk-beluk
penduduk Indonesia. Semua itu dimaksudkan untuk mengukuhkan kekuasaan Belanda
di Indonesia. Hasil dari pengkajian itu, lahirlah apa yang dikenal dengan “politik
Islam”. Tokoh utama dan peletak dasarnya adalah Prof. Snouck Hurgronje. Dia berada
di Indonesia antara tahun 1889 dan 1906. Berkat pengalamannya di Timur Tengah,
sarjana sastra Semit ini berhasil menemukan suatu pola dasar bagi kebijaksanaan
menghadapi Islam di Indonesia, yang menjadi pedoman bagi pemerintah Hindia
Belanda, terutama bagi Adviseur voor Inlandschezaken, lembaga penasehat gubernur
Jenderal tentang segala sesuatu mengenai pribumi.
Setelah Terusan Suez dibuka pada tahun 1869, jumlah jamaah menuju Makkah
sangatlah bertambah, pada waktu yang sama arus masuknya orang Arab Hadramaut
semakin tinggi pula sehingga meningkatkan pertumbuhan ortodoksi Islam di
Indonesia.Dapat dikatakan bahwa setiap tahun terdapat ribuan umat Islam Indonesia
pulang dari Makkah sehabis menunaikan ibadah haji. Mereka datang dengan ajaran
ortodoks menggantikan ajaran mistik dan sinkretik. Adanya kebekuan intelektual di
Indonesia saat itu disebabkan karena umat Islam mempersoalkan hal yang tak beranjak
dari pokok masalahnya dan mereka (umat Islam) baru tergugah pikirannya dengan
datangnya ajaran ortodoks yang menuntut adanya keselarasan antara hidup pribadi dan
ajaran sunnah.
Pada saat itu banyak perlawanan umat Islam yang dimotori oleh para haji dan ulama,
sehingga banyak kalangan Belanda yang berpendapat bahwa ibadah haji menyebabkan
pribumi menjadi “fanatik”. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan banyak peraturan
untuk mempersulit kaum muslim dalam menunaikan ibadah.
Dalam hal ini, Snouck Hurgronje berusaha mendudukkan masalah antara ibadah haji
dan fanatisme. Menurutnya, haji-haji itu tidak berbahaya bagi kedudukan pemerintah
kolonial di Indonesia. Yang mungkin sekali berbahaya adalah apa yang disebutnya
koloni Jawa (daerah tempat tinggal orang-orang yang berasal dari Indonesia di
Makkah).Karena itu, Snouck memformulasikan konsep politiknya dengan
mengasumsikan bahwa ajaran-ajaran Islam dapat dikategorikan ke dalam tiga bagian,
yaitu:
(1) Bidang agama atau ibadah murni, Snouck menganjurkan agar dalam bidang
ibadah murni, pemerintahan kolonial memberikan kemerdekaan yang seluas-
luasnya bagi umat Islam untuk melaksanakannya.
(2) Bidang sosial-kemasyarakatan, pemerintah kolonial hendaknya memberikan
bantuan kepada umat Islam dan sekaligus memanfaatkan adat-kebiasaan
yang berlaku untuk mendekatkan rakyat kepada Belanda.
(3) Bidang politik, pemerintah kolonial harus memangkas habis setiap usaha
yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan-Islamisme.
Bahkan, dalam analisanya itu, Snouck Hurgronje mengusulkan agar pemerintah mau
untuk meningkatkan pelayanan haji, karena haji termasuk wilayah netral. Meskipun
demikian, batas antara sikap netral dan campur tangan terhadap agama, bahkan antara
membantu dan menghalangi, tidak begitu jelas. Pemerintah Belanda tetap saja banyak
mengeluarkan berbagai peraturan untuk mengontrol secara ketat lembaga-lembaga
pendidikan Islam.
Menurut Snouck Hurgronje potensi pribumi dan teorinya tentang pemisahan unsur
agama dari unsur politik, tidak sejalan dengan perkembangan situasi, terutama dua
puluh tahunterakhir kekuasaan Belanda di Indonesia. Oleh karena itu peranan politik
Kantoor voor Inlandsche Zaken semakin menghilang pada tahun-tahun terakhir,
meskipun wewenangnya mengawasi gerakan politik lebih dipertegas sejak tahun 1931.
Kantoor ini memang harus menjamin kelangsungan pemerintah Hindia Belanda
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Pada saaat kedatangan penjajahan belanda datang situasi dan kondisi kerajaan
islam pada saat itu di pulau sumatera kerajaan islam telah lama terbentuk, untuk pulau
jawa pusat kerajaan islam telah berpindah dari pesisir ke pedalaman yaitu dari demak
ke pajang kemudian ke mataram. Adapun kedatangan VOC Hindia Belanda ke
Indonesia berawal dari jatuhya konstatinopel ke tangan Turki Ustmani sehingga
mengakibatkan hubungan perdagangan antara Eropa dan Asia Barat putus dan Belanda
Dilarang untuk Mengambil rempah-rempah di Libason, sedangkan Belanda sangat
membutuhkan rempah-rempah untuk memasak hewan sembelihan sebelum memasuki
musim dingin dikarenakan jika tidak dimasak hewan-hewan tersebut akan mati. dan
ketika mendarat di pelabuhan banten melihat hasil rempah melimpah yang didapatkan
oleh perseroan maka belanda pun ingin berdagang di Indonesia. Karena hal ini terjadi
pertikaian antara pedagang Belanda yang juga bersaing dengan Spanyol, Inggris,
Portugis. Lalu pada 20 Mei 1602 perseroan itu digabung dan disahkan oleh Staten-
General Republik dengan nama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) .dan
semenjak kedatangan Belanda terjadi Penetrasi Politik Islam Hindia Belanda . Belanda
menerapkan politik etis dan balas budi, ekspansi menjelang akhir abad ke-18 berhasil di
Jawa, politik liberal di Indonesia perusahaan dan modal swasta dibuka luas seluasnya
dalam politik liberal itu berkepentingan dan hak pribumi di perhatikan tetapi pada
dasarnya tidak mengalami perubahan yang berarti. kerajaan- kerajaan Islam pun
melakukan perlawanan terdiri dari beberapa perang, yaitu : Perang Minangkabau/Padri,
Perang Diponegoro, Perang Banjarmasin dan Perang Aceh .Setelah terjadinya perang,
politik Islam Hindia Belanda pun muncul berawal dari tersingkirnya ulama-ulama
keraton sebagai penasehat raja, rakyat pun merasa kehilangan kepemimpinan,
sementara penguasaan kolonial sangat menghimpit kehidupan mereka. Pengeksploitasi
hasil bumi, tenaga kerja, rampasan harta dan penggusuran tanah warga demi
kepentingan pemerintah semakin merajalela para pemimpin pribumi jarang yang
memabantu atau memihak mereka bahkan setelah mendapat gaji para pemimpin tetap
memihak kepada Belanda, dan rakyat sangat kesulitan hal itu tetap berlanjut sampai
abad ke 14. Dengan kondisi yang telah kacau ini para rakyat meminta bantuan kepada
para ulama, kiyai dan bangsawan yang mana mereka masih memperhatikan rakyat.
kemudian kekuasaan politik berpindah keluarke wilayah-wilayah yang jauh salah
satunya ke pesantren. Dapat diketahui Indonesia merupakan negara mayoritas muslim,
Para kiyai dan ulama menyadarkan bahwasannya pemeluk mereka harus bebas dari
cengkraman pemerintahan kafir. Para pemimpin Islam terus melawan kolonial
Akhirnya, ortodoksi Islam, perlahan-lahan dengan perjuangan sengit dapat
mengambilalih pengaruh mistisisme Islam baik di Jawa maupun Sumatra. Bilamana
sekolah-sekolah dusun tradisional sebagian besar memperhatikan orientasi sinkretiknya,
maka kyai yang telah mendapatkan pelatihan di Makkah membangun pesantren yang
semakin menarik siswa-siswanya dalam jumlah besar.
Para Haji dan Ulama banyak mengatur perlawanan umat Islam, sehinggan Belanda
berpendapat ibadah haji menyebabkan Fanatik dan sebab itu pemerintah menyulitkan
kaum muslim untuk ibadah
Snouck memformulasikan konsep politiknya dengan mengasumsikan bahwa ajaran-
ajaran Islam dapat dikategorikan ke dalam tiga bagian, yaitu:
(1) Bidang agama atau ibadah murni.
(2) Bidang sosial-kemasyarakatan
(3) Bidang politik.
B.Saran
Mempelajari tentang kerajaan kerajaan islam pada zaman belanda ini sangat
bermanfaat maka dari itu kita sebagai umat muslim sebaiknya mempelajarinya agar
agar kita juga mengetahui berbagai masalah kehidupan umat Islam yang disertai dengan
maju mundurnya kebudayaan Islam itu sendiri dan keterkaitan nya dengan pada masa
zaman Belanda
DAFTAR PUSTAKA
R.Z leirissa, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta 1984 hal 204,Sartono Kartodirdjo hal
382
10BadriYatim,2008,hlm.235-23611FatahSyukur,2010,hlm.215
BadriYatim,2008,SejarahPeradabanIslamDirosahIslamiyahII,
(Jakarta:PTRajaGrafindoPersada),hlm.231232A.
Hasymy,198,SejarahMasukdanBerkembangnyaIslamdiIndonesia,
(BandaAceh:PercetakanOffset),hlm.244-245
BadriYatim,2008,SejarahPeradabanIslamDirosahIslamiyahII,
(Jakarta:PTRajaGrafindoPersada),hlm.232-234
AhmadIbrahim,dkk.,1989,IslamdiAsiaTenggara,Jakarta(LP3ESAnggotaIKAPI),hlm.80
MusyrifahSunanto,2010,SejarahPeradabanIslamIndonesia,
(Jakarta:RajawaliPers),hlm.29
BadriYatim,2008,SejarahPeradabanIslamDirosahIslamiyahII,
(Jakarta:PTRajaGrafindoPersada),hlm.252-253
HarryJ.Benda,1980,BulanSabitdanMatahariTerbitIslamIndonesiapadaMasaPendu
dukanJepang,(Jakarta:PustakaJaya),hlm.36-37
BadriYatim,2008,SejarahPeradabanIslamDirosahIslamiyahII,
(Jakarta:PTRajaGrafindoPersada),hlm.252-253
TaufikAbdullah,1987,SejarahdanMasyarakatLintasanHistorisIslamdiIndonesia,
(Jakarta:PustakaFirdaus),hlm.18
HarryJ.Benda,1980,BulanSabitdanMatahariTerbitIslamIndonesiapadaMasaPendu
dukanJepang,(Jakarta:PustakaJaya),hlm.37
BadriYatim,2008,SejarahPeradabanIslamDirosahIslamiyahII,
(Jakarta:PTRajaGrafindoPersada),hlm.253
LathifulKhuluq,2002,StrategiBelandaMelumpuhkanIslam,
(Yogyakarta:PUSTAKAPELAJAR),hlm.43-44
BadriYatim,2008,SejarahPeradabanIslamDirosahIslamiyahII,
(Jakarta:PTRajaGrafindoPersada),hlm.254-255
FatahSyukur,2010,SejarahPeradabanIslam,
(Semarang:PTPustakaRizkiPutra),hlm.222