NIM : 1225010017
Kelas : 4A
a. Sebab – sebab yang mendorong Negara Prancis dan Inggris melekukan kegiatan
Imprelialisme di Afrika Utara
Kondisi politik yang tidak stabil
Pada abad ke-19, Afrika Utara mengalami periode kekacauan politik. Kesultanan
Ottoman, yang sebelumnya menguasai wilayah tersebut, mengalami kemunduran.
Hal ini menyebabkan munculnya berbagai kerajaan kecil dan suku-suku yang saling
berperang. Situasi ini dimanfaatkan oleh Prancis dan Inggris untuk masuk dan
menguasai wilayah tersebut.1
Penguasaan Wilayah
Pada abad ke-19 Pranacis dan Inggris berhasil menguasai wilayah Mesir, Aljazair,
Tunisia dan Maroko. Penguasaan ini melalui berbagai cara, seperti peperangan,
diplomasi, dan penipuan.2
Motif Ekonomi
Imperialisme di Afrika Utara didorong oleh motif ekonomi. Prancis dan Inggris
ingin mengeksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja di Afrika Utara untuk
keuntungan mereka sendiri. Mereka juga ingin meningkatkan pasar ekonomi mereka
dengan menjual produk-produk industri mereka ke Afrika Utara.
Pada abad ke-19, permintaan pasar ekonomi di Eropa meningkat pesat. Salah
satu komoditas yang paling diminati adalah kapas. Afrika Utara memiliki kondisi yang
ideal untuk budidaya kapas, sehingga menjadi target utama bagi negara-negara
Eropa.
1
Sulistiowati, Irma, Gejolak Ekonomi dan Politik Afrika Pasca Perang Dunia, ISTORIA : Jurnal Pendidikan dan
Sejarah, Vol.17, No.1, 2021.
2
Thomas, Martin, Nort Afrika Under Colonial Rule, 2014
Misi Peradaban
Selain motif ekonomi, imperialisme di Afrika Utara juga didorong oleh misi
peradaban. Negara-negara Eropa ingin mengubah masyarakat di Afrika Utara
menjadi lebih beradab sesuai dengan kultur Eropa. Mereka membangun sekolah,
rumah sakit, dan infrastruktur lainnya di Afrika Utara.
Pada abad ke-19, Prancis dan negara-negara Eropa lainnya, gencar melakukan
ekspansi kolonial. Salah satu fokus utama mereka adalah Afrika Utara, di mana
mereka berusaha untuk memperluas kekuasaan dan pengaruhnya.
Di Mesir, Prancis memiliki minat khusus pada Terusan Suez, jalur air vital yang
menghubungkan Laut Tengah dan Laut Merah. Keinginan untuk mengendalikan Suez
mendorong Prancis untuk terlibat dalam berbagai intervensi politik dan ekonomi di
Mesir, termasuk kampanye militer Napoleon Bonaparte di awal abad ke-19.
Upaya Prancis di Mesir hanyalah contoh kecil dari proses imperialisme yang lebih
luas di Afrika Utara. Di Aljazair, Tunisia, dan Maroko, Prancis juga menggunakan
berbagai metode, termasuk kekuatan militer, intervensi politik, dan kontrol ekonomi,
untuk membangun kerajaan kolonialnya.
Di Aljazair, Tunisia, dan Maroko, Prancis menunjukkan wajah imperialismenya
yang paling agresif. Demi memperluas wilayah kekuasaannya, mereka melancarkan
penaklukan brutal di ketiga wilayah tersebut.
Di Aljazair, penaklukan dimulai pada awal abad ke-19 dan berlangsung selama
beberapa dekade. Perang demi perang terjadi, menelan banyak korban jiwa dan
meninggalkan luka sejarah yang mendalam. Di bawah pemerintahan Louis-Philippe
dan Napoleon III, operasi militer Prancis semakin gencar, memperpanjang
cengkeraman imperialisme di Aljazair.3
Tunisia dan Maroko pun tak luput dari ambisi Prancis. Penaklukan dilakukan
dengan menggunakan kekuatan militer dan politik, memaksa kedua wilayah tersebut
tunduk di bawah kekuasaan Prancis.
Pada pertengahan abad ke-19, Tunisia tak luput dari cengkeraman imperialisme
Prancis. Intervensi militer Prancis berhasil menaklukkan wilayah tersebut,
mengantarkan Tunisia ke dalam era kolonialisme yang kelam. Di Maroko, nasib
serupa tak terelakkan. Invasi dan pendudukan oleh Prancis menjadi awal mula
dominasi mereka di wilayah tersebut.4
Imperialisme Prancis di Tunisia dan Maroko meninggalkan luka sejarah yang
mendalam. Eksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja, penindasan politik, dan
asimilasi budaya menjadi kenyataan pahit yang harus dihadapi rakyat Tunisia dan
Maroko.
c. Proses Imprealisme Inggris di Mesir
Imperialisme Inggris di Mesir dimulai pada tahun 1882, ketika pasukan Inggris
menduduki Mesir selama Perang Inggris-Mesir, dan berlanjut hingga tahun 1956,
ketika pasukan Inggris terakhirnya mundur setelah Krisis Suez sesuai dengan
perjanjian tahun 1954 antara Inggris dan Mesir. Mesir pada awalnya merupakan
bagian dari kekaisaran Ottoman yang bersekutu dengan Jerman dan Austria, musuh
Inggris. Namun, pada tahun 1922, Inggris secara sepihak mengakui kemerdekaan
Mesir. Meskipun demikian, pengaruh Inggris terus mendominasi politik Mesir, dan
3
Louis, Réné. "Penaklukan Prancis di Aljazair: Akar Sejarah Konflik." Jurnal Sejarah Prancis, 2017.
4
Bouda, Fathi. "Proses Imperialisme Prancis di Tunisia: Studi Kasus Periode Awal Penaklukan." Jurnal Studi
Kolonial, 2015.
Inggris berperan dalam membantu reformasi keuangan, administrasi, dan
pemerintahan di negara tersebut.5
Selama Perang Dunia II, Mesir menjadi basis penting bagi pasukan Sekutu yang
dipimpin oleh Inggris. Pada tahun 1952, Jenderal Muhammad Najib menggulingkan
Raja Faruk, dan pada tahun 1953, menjadikan Mesir sebuah republik setelah
mengubah sistem kerajaan. Namun, pada tahun 1954, Najib digulingkan oleh Kolonel
Gamal Abdul Nasser, yang kemudian menasionalisasi Terusan Suez. Tindakan
tersebut memicu konflik antara Mesir dengan Inggris, yang bersekutu dengan Prancis
dan Israel.
5
Darsiti Soeratman, Sejarah Afrika. Yogyakarta: Ombak, 2012.
6
Ruslan, Idrus, Dominasi Barat dan Pengaruhnya terhadap Dunia Islam, Al-Adyan, Vol.14, No.1, 2019