Anda di halaman 1dari 85

PROLOG

Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?


Oleh:
AE Priyono1

Demokratisasi Indonesia pada tingkat politik makro dan nasional sudah lama dideteksi
mengalami kemacetan, terus bergerak ke arah kemunduran, dan sedang akan berakhir
menuju kegagalan. Banyak studi membuktikan takdir pahit ini. Demos (2005) sudah sejak
awal memperlihatkan terjadinya pembajakan elit terhadap lembaga-lembaga dan
prosedur demokrasi, dan ini menjadikan demokratisasi Indonesia berwatak sangat elitis.
Robison & Hadiz (2004) melakukan studi yang menggaris-bawahi bahwa elit predatorial
(elit pemangsa rakyat) lama yang berbasis partai-partai politik menguasai panggung
politik. Mereka melakukan reorganisasi kekuasaan mengikuti logika politik kartel, dan ini
menjadi basis bagi munculnya oligarki dan plutokrasi.2 Tapi studi lain yang dilakukan Hee-
Yeon Cho (2008) melihat bahwa “demokrasi oligarkis” Indonesia berangsur-angsur
berubah menjadi “oligarki demokratis.” Inilah sejenis oligarki yang ingin
mempertahankan kekayaan – sekaligus merebut kekuasaan – melalui kompetisi elektoral
(melalui pemilu) yang berwatak elitis. Jadi, bukan politik demokrasi yang berlangsung di
Indonesia, tapi politik oligarki.
Sementara itu Winters (2014) juga menegaskan kenyataan serupa, bahwa elemen
penting plutokrasi neo Orde Baru adalah kaum oligark (elit berwatak oligarkis) yang tak
ikut lenyap bersama tumbangnya Suharto. Kaum oligark yang dulu berada di bawah
kendali mutlak Suharto kini sedang berebut posisi di puncak kekuasaan. Oligarki
sultanistik di zaman Orde Baru terpusat di Cendana, sedangkan oligarki pasca Orde Baru
menyebar ke dalam banyak kutub persaingan kaum elit. Metode otoritarian Orde Baru
membuat oligarki bisa dikuasai seorang diktator, sedangkan “demokratisasi” pasca Orde
Baru membuat para oligark bersaing melalui mekanisme kompetisi electoral. Melalui
telaah ini, Winters ingin menegaskan bahwa oligarki dan demokrasi saling menunggangi.

1
Penulis & peneliti LP3ES
2
Politik kartel digambarkan sebagai situasi manakala partai-partai politik secara bersama-sama
mengabaikan komitmen ideologis dan programnya agar tetap bisa bertahan di lingkar kekuasaan dengan
memilih bergabung dengan pemerintahan baru paska pemilu. Sebagai imbalan atas dukungan yang
diberikan mereka berbagi pos-pos jabatan di pemerintahan. Politik kartel pada gilirannya membentuk
pemerintahan berwatak oligarkis. Oligarki merupakan mekanisme pemusatan kekuasaan pada segelintir elit
berkuasa yang menekankan pada kekuatan sumber daya material (kekayaan) sebagai basis
mempertahanan kekuasaan sekaligus kekayaan pada diri elit. Sementara plutokrasi mirip dengan oligarki.
Namun, plutokrasi terjadi tatkala tercipta suatu kondisi ekstrem ketimpangan sumber daya antara “kaya”
dan “miskin” di dalam suatu negara. Plutokrat (penguasa dalam plutokrasi) tidak hanya menguasai sumber
ekonomi dan politik, melainkan juga sumber daya kekerasan (pasukan ,senjata, teknologi). Dalam kondisi
seperti ini, plutokrat boleh jadi lebih berkuasa ketimbang pemerintah resmi.

1
Cerita ini belum lengkap tanpa melihat apa yang terjadi di tingkat lokal. Studi awal yang
dikerjakan Nordholt (2004) menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia pasca Orde Baru
tidak menyebabkan keterputusan kekuasaan elit-elit lama. Yang terjadi bukan hanya
kontinuitas atau kelanjutan praktek politik Orde Baru, tetapi justru munculnya kembali
kekuasaan patrimonial pra-kolonial.3 Elit-elit lokal feodal merebut instrumen-instrumen
demokrasi dan mereka menemukan ruang untuk kembali mewujudkan kepentingan elitis-
feodal mereka. Melalui kontestasi dalam demokrasi elektoral, elit-elit lama itu tak jarang
berhasil menguasai birokrasi lokal. Di sini Klinken (2014) memberikan sumbangan temuan
riset lain yang juga menarik, bahwa kelas birokrasi lokal membangun aliansi dengan kelas
menengah lokal yang berwatak patronal, antara lain yang berbasis etnis (suku), untuk
penguasaan sumberdaya. Inilah yang menjadi basis bagi munculnya dinasti-dinasti politik
baru di tingkat lokal.4 Sementara itu studi Peluso (2007) melihat kenyataan bahwa
surutnya kekuasaan militer di daerah membuat para penguasa Kodam menjadi kaki-
tangan pemodal (Investor), demi eksploitasi sumberdaya alam. Mereka memberikan jasa
keamanan untuk berlangsungnya aliansi antara birokrasi lokal, korporasi, dan kekuatan-
kekuatan predator lain seperti partai politik.
Studi dari ketiga peneliti yang disebut terakhir itu menjelaskan fenomena umum proses
politik di tingkat lokal. Sama dengan yang terjadi di tingkat nasional, maka proses politik
demokratisasi lokal – khususnya melalui mekanisme kontestasi elektoral di tingkat
provinsi maupun kabupaten – hanya mendaur ulang siklus politik elitis-oligarkis.
Pengamatan seperti ini juga dikemukanan oleh Hans Antlov (2004), salah seorang sarjana
yang banyak melakukan kajian dan advokasi tentang politik lokal dan demokratisasi desa.
Menurutnya, desain demokrasi elektoral di tingkat nasional yang hanya melibatkan
warganegara untuk ikut dalam pemilu lima tahun sekali, mustahil menciptakan partisipasi
yang bermakna. Karena itu, juga mustahil menghadirkan demokrasi yang bermakna.
Model demokrasi elektoral seperti itu hanya akan membuat para teknokrat dan birokrat
mempertahankan kekuasaan mereka selama masa-antara lima tahunan antar-pemilu.5

3
Konsep patrimonial merujuk pada corak kekuasaan tradisional yang berakar dari pemerintahan monarki
atau kerajaan. Kekuasaan patrimonial menempatkan titah raja ( termasuk kaisar atau sultan) sebagai basis
bekerjanya hukum dan pemerintahan. Dalam negara partrimonial legitimasi pemimpin atau raja bersumber
dari karisma personalnya atau karena klaim pewahyuan sebagai wakil Tuhan. Patrimonialisme acapkali
dituding melahirkan rejim despotik (sewenang-wenang), karena tidak ada kontrol terhadap kekuasaan yang
menempatkan pimpinan sebagai satu-satunya sumber kebenaran.
4
Patronal adalah relasi yang berangkat dari patronase. Patronase sendiri merupakan relasi antara orang
dengan status lebih tinggi (sebagai patron) dengan orang dengan status lebih rendah (klien) berdasarkan
pertukaran sumber daya. Patron menggunakan pengaruh dan sumber dayanya akan menyediakan
perlindungan serta keuntungan-keuntungan material bagi seseorang yang menjadi kliennya. Sementara
Klien akan membalasnya dengan memberikan loyalitasnya dalam bentuk dukungan dan bantuan termasuk
jasa pribadi kepada patronnya. Patronase ini akhirnya menjadi basis relasi antara pemimpin dengan yang
dipimpin terutama dalam kekuasaan feodalistik.
5
Teknokrat, berasal dari teknokrasi yaitu sistem pemerintahan yang dijalankan oleh para ahli. Dalam
pengambilan keputusan politik-ekonomi, para ahli yang selanjutnya disebut teknokrat tersebut,
menggunakan pendekatan ilmiah-rasional dan teknis untuk melegitimasi keputusan yang diambil.

2
Menurutnya, model demokrasi minimal demikian hanya menghasilkan reformasi politik
yang dangkal – dan ini membuat korupsi berjalan terus, sistem peradilan yang busuk
tidak bisa berubah, sementara masyarakat akan tetap apatis dan tak percaya pada
negara. Lalu, bagaimana?
***
Antlov berpijak pada dua argumen untuk membuat demokratisasi Indonesia bekerja
dengan maksimal. Pertama, otonomi daerah yang sejauh ini hanya berlangsung pada
level administratif harus disertai dengan penguatan kapasitas politik masyarakat sipil di
tingkat lokal. Meminjam kalimatnya sendiri, “mendukung demokrasi tidak cukup hanya
dengan membuka ruang-ruang baru politik lokal: ada kebutuhan untuk melakukan
tindakan-tindakan yang memungkinkan suara-suara baru didengar dan memberikan
kepada rakyat kekuatan untuk terlibat mengurus komunitas mereka sendiri” (Antlov
2004: 141). Di sini Antlov tampak menekankan gagasan tentang repolitisasi masyarakat
sipil. 6
Sebelumnya Antlov mengakui bahwa desentralisasi bisa menjadi agenda depolitisasi
masyarakat. Dengan menyerahkan semua kebijakan pemerintahan menjadi urusan
kabupaten/kota dan/atau provinsi, maka sangat mungkin hanya para politisi dan birokrat
lokal yang memonopoli arah desentralisasi. Di tangan mereka kebijakan-kebijakan
pembangunan daerah menjadi urusan teknis, bukan politis. Jika demikian halnya maka
hasilnya adalah desain kebijakan desentralisasi yang sepenuhnya bersifat teknokratis,
kembali berwatak top-down (atas-bawah), tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.
Desentralisasi yang seperti itu tidak mencerminkan aspirasi yang sesungguhnya dari
bawah. Desentralisasi dengan watak demikian justru melanggengkan hubungan
kekuasaan elitis dan melestarikan penyimpangan politik di tingkat lokal – apatisme dan
ketidakpercayaan masyarakat kepada negara.
Kedua, kunci untuk repolitisasi masyarakat sipil dalam proses desentralisasi adalah
dengan cara membuat mereka mau terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembuatan
kebijakan publik yang berkaitan dengan kepentingannya yang paling dekat dan nyata –
yaitu menyangkut problem-problem kehidupan mereka sehari-hari. Bagi Antlov, ini
berarti menurunkan urusan publik ke tingkat desa, khususnya ke tingkat everyday-politics
(urusan politik sebagai peristiwa keseharian yang nyata). Demokrasi lokal hanya bisa
menghasilkan dampak nyata dalam setting yang seriil itu. Dengan keyakinan seperti inilah
Antlov bergerak untuk melanjutkan proyek desentralisasi ke level desa. Meminjam lagi
kalimatnya sendiri Antlov menyatakan, “... dulu desa adalah objek sentralisasi,
depolitisasi, kooptasi, intervensi, dan instruksi dari atas. Sekarang desa [harus

Akibatnya, keputusan yang diambil meminggirkan pertimbangan politis sekaligus menyingkirkan peran
rakyat dalam pengambilan keputusan.
6
Repolitisasi dimaksudkan sebagai upaya menghidupkan kembali kesadaran politik masyarakat sebagai
warga negara, setelah mengalami “tidur panjang” dibawah depolitisasi atau upaya menjauhkan rakyat dari
kehidupan politik yang berdampak pada pelemahan kapasitas politik warga pada masa Orde Baru.

3
dibayangkan] menjadi arena demokrasi, otonomi, partisipasi, dan kontrol bagi warga
masyarakat” (Antlov, 2003).
Menarik bahwa Antlov mengembangkan imaginasi tentang desa sebagai “arena
demokrasi” itu jauh sebelum terbitnya UU No. 6/2014 tentang Desa. Sebagian besar
impiannya tampaknya betul-betul terwujud dalam banyak pasal pada undang-undang itu,
terutama berkenaan dengan isu partisipasi warga desa. Kita tahu bagaimana peranannya
sangat penting – misalnya bersama beberapa NGO, seperti IRE – ketika mengadvokasi
legislasi UU tersebut. Mereka terutama mempromosikan tema civic-engagement
(pelibatan warga) dalam kerangka demokratisasi desa. Dan persis di sinilah, kita perlu
sedikit mendalami fokus dan tekanan-utama mereka atas gagasan tersebut.
Menurut Antlov, partisipasi warga melibatkan partisipasi sistematis dalam perumusan
dan pembuatan kebijakan oleh kelompok-kelompok warga. Pelibatan partisipasi itu juga
mencakup kerja berjejaring dengan mereka yang telah lebih dulu mengembangkan
metode-metode politik partisipatoris untuk konsultasi, deliberasi, perencanaan, dan
monitoring terhadap agenda-agenda dan program-progam pemeritahan desa (Antlov
2004: 142). Jadi, singkatnya politik partisipatoris harus diwujudkan kembali dengan
menguji secara empiris di tingkat desa. Ini menjadi desain praksis untuk membuat
alternatif bagi demokrasi elektoral yang gagal di tingkat supra-desa.
Bagi banyak pengamat, perwujudan kembali politik partisipatoris di tingkat lokal memang
menjadi sebuah keharusan. Tamrin Amal Tomagola baru-baru ini mengingatkan bahwa
salah satu persoalan paling serius demokrasi Indonesia adalah pengabaian terhadap
aspirasi-aspirasi masyarakat pedesaan yang sebenarnya merupakan konstituen terbesar
demokrasi. Menurutnya, selama ini demokrasi Indonesia terlalu berorientasi kota dan
hanya terkonsentrasi pada gerakan kelas menengah perkotaan.7 Kepentingan kalangan
menengah kota secara sosiologis dan kultural jelas harus dibedakan dengan kepentingan
kelas masyarakat non-kota di tingkat lokal, khususnya di daerah pedesaan. Demokrasi
liberal cukup bisa memenuhi kebutuhan masyarakat kelas menengah perkotaan akan
kebebasan sipil-politik yang berbasis pada aspirasi-aspirasi individual. Tapi demokrasi
tidak bisa hanya memenuhi kebutuhan individual akan kebebasan sipil dan politik. Bagi
masyarakat pedesaan yang lebih berwatak komunal (kebersamaan), di mana akses
kolektif atas sumberdaya alam lokal menjadi pertaruhan hidup-mati, demokrasi harus
menekankan sisi partisipasi kolektif warga.
Masalahnya adalah, daya dukung politik masyarakat desa tidak memadai untuk
memperbesar tekanan pada aspek ini. Karena itu bagi Tamrin, ada kebutuhan untuk
reorientasi demokrasi Indonesia ke arah penguatan kapasitas politik masyarakat desa. Ini
adalah kata lain dari istilah civic-engagement yang ditekankan Antlov di atas. Jadi, seperti
halnya Antlov, Tamrin juga melihat ada dua manfaat dalam reorientasi ini. Pertama,

7
Diskusi redaksi Prisma, Cikini, Jakarta, 2 September 2016. Petikannya akan dimuat dalam rubrik Dialog
Prisma, edisi khusus (Januari 2017, akan terbit).

4
memberi keseimbangan baru agar demokrasi tidak hanya berkiblat ke kota, yang
cenderung menekankan sisi-sisi kebebasan individual kelas menengah liberal dan
kompetisi elektoral para elit. Kedua, dengan menekankan aspek partisipatorisnya dalam
latar sosio-kultural komunal berbasis desa, demokratisasi Indonesia bisa menjadi lebih
produktif, inklusif (terbuka), otentik (asli), dan maksimal.
***
Studi-studi kasus IRE tentang 10 desa di Jawa yang terhimpun dalam buku ini memberi
gambaran bahwa ada yang sedang menggeliat dari bawah, dari tingkat lokal, dari desa-
desa kita. Kasus-kasus yang diteliti membawa kita untuk memiliki gambaran tentang
dimensi-dimensi empiris mengenai apa yang dipikirkan Antlov dan Tamrin.
Di tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi
dan kelembagaan masyarakat sipil di tingkat desa, maka dengan terbitnya UU No. 6/2014
telah tercipta kesempatan politik yang terbuka luas bagi lahirnya model-model tata kelola
baru di tingkat desa. Model-model baru itu memang sedang dalam proses terbentuk,
sesuai dengan konteks-konteks problematik setempat. Cerita-cerita yang terhimpun dari
10 kasus yang distudi IRE itu baru merupakan sebagian dari ilustrasi nyata yang kini bisa
ditemukan di mana-mana di seluruh penjuru tanah air.
Kesepuluh studi kasus IRE dengan sengaja membatasi fokus analisisnya untuk melihat tiga
aspek: (i) kepemimpinan desa; (ii) kinerja lembaga-lembaga representasi (perwakilan)
desa; dan (iii) inisiatif warga desa. Hasilnya adalah sebuah bunga rampai yang merupakan
cerita saling-silang; masing-masing bisa bertutur sendiri mengenai kombinasi yang saling
mempengaruhi antara ketiga aspek itu. Ada kepemimpinan desa yang responsif atau
tanggap, didukung oleh kelompok-kelompok warga desa yang penuh inisatif atau
prakarsa dengan tradisi deliberatif (dialog dan musyawarah) yang punya akar kuat; dan
ditopang pula oleh lembaga-lembaga formal representasi desa yang terbuka. Ini jelas
sebuah kombinasi ideal untuk membangun pemerintahan desa yang partisipatoris. Ada
pula jenis kepemipinan desa dinastik yang elitis, konservatif, tidak transparan; dan ini
biasanya muncul dari dan/atau melahirkan sikap masyarakat yang apatis atau tidak peduli
dan pasif; serta dilengkapi pula oleh lembaga representasi desa yang tidak responsif dan
tidak kredibel. Hasilnya tentu sebuah jenis tata-pemerintahan desa yang majal dan anti-
pembaruan.
Di tengah-tengah model kombinasi yang ideal dan yang majal itu, terdapat rangkaian
variasi model-model pemerintahan desa yang penuh ketegangan internal, dinamis, tapi
juga involutif atau mandeg. Misalnya, kepemimpinan inovatif (mampu menghadirkan
terobosan) yang muncul dari aktivisme kelompok-kelompok warga masyarakat yang
penuh inisiatif, tapi yang tidak didukung oleh adanya lembaga-lembaga representasi
formal. Atau kepemimpinan yang lemah, tapi dikontrol ketat oleh lembaga-lembaga
representasi masyarakat yang agresif menyuarakan kepentingan-kepentingan delegatif
warga. Atau kepemimpinan yang kuat, tapi berada dalam ketegangan dengan kelompok-

5
kelompok warga yang juga kuat, dengan lembaga-lembaga representasi yang mengalami
kemandulan. Atau berbagai jenis lain variasi-variasi semacam itu. Semua bentuk
kombinasi yang penuh dengan kemungkinan itu, tentu juga menemukan batas-batas
strukturalnya. Mana dari ketiga aspek itu yang paling kuat sebagai faktor dominan,
biasanya akan sangat menentukan arah perubahan baik transformatif atau deformatif.
Studi IRE kali ini cukup memperkaya khazanah wawasan, bagaimana sebuah polity atau
satuan politik berbasis lokal-kewilayahan bergerak karena dialektika endogennya yang
berlangsung dalam dirinya sendiri.
Namun demikian, mengamati dinamika politik “lokalisme kewilayahan” tidak pernah bisa
diletakkan di luar pengaruh-pengaruh eksogen atau berasal dari luar. Ini yang tampaknya
lepas dari perhatian IRE. Faktor-faktor eksogen yang mempengaruhi dinamika sosial-
politik pedesaan di Indonesia perlu juga didasarkan pada perspektif global. Di sini saya
perlu memperkenalkan perspektif Joshua Forrest (2014), yang dengan meyakinkan telah
memperingatkan bahwa gagasan-gagasan lokalisme kewilayahan kini sedang menyurut.
Mazhab lokalisme kewilayahan percaya bahwa masyarakat pedesaan mempunyai daya
tahan dalam menghadapi apa yang disebut arus “metropolitanisasi” – yakni
pertumbuhan wilayah yang terus berlanjut di mana kawasan perdesaan terurbanisasi
dengan cepat sejalan dengan kebijakan aglomerasi regional. 8
Forrest memperlihatkan gejala-gejala baru di mana selama dua dasawarsa terakhir ini,
bahkan di seluruh dunia, potensi masyarakat lokal dalam mempertahankan kontrol atas
sumberdaya perekonomian masing-masing, pun juga menyangkut kemampuan mereka
untuk membuat dan menerapkan kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada
kepentingan lokal justru sedang sangat menurun.
Beberapa faktor ditunjukkan Forrest menyangkut gejala ini. Pertama, tentu saja adalah
karena pengaruh ekspansi investasi yang semakin fleksibel yang mengikis batasan
teritorial kota-desa. Modal begitu cepat bergerak dari kota ke desa; dan ini menciptakan
proses de-teritorialisasi. Kedua, pada saat yang sama, untuk mengakomodasi sumber
ekonomi baru akibat investasi itu, ada kebutuhan bagi pemerintah-pemerintah desa
untuk melakukan privatisasi (atau dikenal swastanisasi) di mana modal mengambil alih
atas berbagai jenis pelayanan publik tertentu. Ketiga, sebagai akibat perluasan investasi
oleh swasta itu, muncul gelombang migrasi yang menyerbu desa-desa dan gelombang
yang akhirnya mengikis tradisi komunitarianisme (kebersamaan) lokal dan otentik (asli)
desa-desa. Singkatnya spirit lokalisme kewilayahan menjadi melemah. Pelemahan inilah
yang menyebabkan menipisnya otonomi dan kapasitas tata-kelola penyelenggaraan
kepentingan publik pemerintahan desa.

8
Aglomerasi mengacu pada pemusatan aktivitas-aktivitas ekonomi di lokasi yang sama untuk menghasilkan
manfaat ekonomi yang pada akhirnya mendorong pembentukan kluster-kluster usaha. Aglomerasi dapat
ditandai dengan pembentukan kawasan ekonomi khusus dan diorientasikan bagi ekspansi (perluasan)
sektor industri.

6
Sampai di sini kita sedang memetakan dua gelombang pengaruh yang menyerbu desa-
desa. UU No. 6/2014 mendesain desa untuk tumbuhnya kapasitas lokal demokratik
melalui skenario pelibatan warga (civic-engagement). Tapi di pihak lain, aglomerasi yang
menyerbu desa-desa karena ekspansi modal membuat kapasitas otonomi desa-desa
menyurut. Inilah situasi dilematis yang secara struktural menciptakan tantangan besar
bagi inisiatif apapun yang ingin menjadikan desa sebagai situs baru demokrasi
partisipatoris.
***
Catatan-catatan di atas sangat penting dikemukakan untuk menganalisis hasil-hasil studi
kasus yang dilakukan IRE yang terhimpun dalam buku ini. Faktor-faktor kepemimpinan
formal desa, inisiatif warga-desa, dan lembaga representasi desa yang diteliti dalam ke-10
studi kasus adalah unit-unit analisis untuk mendeteksi kemungkinan munculnya kinerja
pemerintahan desa yang partisipatoris. Tetapi faktor-faktor itu tampaknya memerlukan
definisi operasional yang menegaskan gagasan politik partsipatoris sebagaimana tersaji
dalam matrik tabel 1. Faktor kepemimpinan misalnya mensyaratkan daya tanggap
(responsivitas), kebertanggungjawaban, dan transparansi. Faktor inisiatif warga
mensyaratkan gagasan tentang otonomi lokal-kewilayahan dalam rangka klaim
kesejahteraan kolektif. Sedangkan faktor representasi mensyaratkan adanya kemampuan
(kapabilitas) dan kredibilitas (seberapa jauh meraih kepercayaan) kelembagaan untuk
bertindak mewakili aspirasi warga.
Tabel 1. Matrik Kerangka Kajian

LEADERSHIP CITIZEN INITIATIVE REPRESENTATION


(responsivity, (Idea of local territorial (credibility,
responsibility, and autonomy, reassertion and representativeness
transparancy) reclaiming of welfare) capability)

Public Interest
V V
Formation V

Public Space
V V V
Extention
Publicness/Inclusiveness
V V V
of Aspirations
Capital-Driven
V V V
Aglomeration

Ketiga faktor dengan seluruh syarat-syarat instrinsiknya itu, pada analisis selanjutnya
harus dikorelasikan dengan faktor lain yang bersifat endogen maupun eksogen. Ada tiga
faktor endogen untuk dipakai sebagai parameter pengujian – yakni perumusan
kepentingan publik, perluasan ruang publik, serta inklusivitas dan sifat-kepublikan
aspirasi-aspirasi. Sementara itu satu faktor eksogen adalah menyangkut fenomena

7
aglomerasi, terutama yang dilatarbelakangi oleh ekspansi modal dari aktor-
aktor/lembaga-lembaga supra-desa.
Kerangka analisis matriks ini penting dipakai untuk melihat dan memeriksa secara detail
setiap studi kasus. Setiap kasus perlu membeberkan situasi setiap faktor dengan ilustrasi-
ilustrasi kongkret. Hasilnya diharapkan adalah gambaran deskriptif yang lengkap untuk
memperlihatkan beragam bentuk politik partisipasi, kualitasnya, narasi-narasi mengenai
prosesnya, tantangan-tantangannya, capaian-capaian maksimalnya, dan seterusnya.
Singkatnya mengenai proses politik demokrasi partipatoris di dalam arena riil politik lokal.
Kajian menyeluruh berdasarkan analisis matriks itu setidaknya akan menggambarkan dua
hal. Pertama, politik demokrasi lokal sebagai ajang kontestasi seluruh aktornya – jadi di
sini yang ditekankan adalah gambaran mengenai politik partisipatoris dalam arena
kontestasi yang empiris dan aktual. Kedua, gambaran kontekstual mengenai
eksperimentasi politik partisipatoris untuk melihat secara riil capaian-capainnya,
hambatan-hambatannya, maupun kegagalan-kegagalannya.
Dengan kerangka seperti itu, kita telah menggelar panggung. Setidaknya secara hipotetis,
situs demokrasi partisipatoris di tingkat lokal bisa dikerjakan di luar skema besar
demokrasi elektoral nasional yang minimalis itu. Kita sedang menggelar sebuah upaya
untuk membuat demokrasi berjalan maksimal sebagai urusan publik, sebagai
kepentingan kolektif, dalam pertarungan politik sehari-hari – bukan hanya lima tahun
sekali seperti panggung demokrasi elektoral. Tentu kemungkinan kegagalannya adalah
sebesar kemungkinan keberhasilannya. Analisis dan interprestasi atas kesepuluh studi
kasus IRE ini bisa dipakai sebagai referensi empiris untuk melihat seberapa besar
kemungkinan dan ketidakmungkinanya dalam konteks-konteks aktual di tempat lain, di
puluhan ribu desa-desa di seluruh Indonesia.
Karena setiap eksperimentasi mengandung gagasan mengenai model ideal yang dijadikan
referensi normatif, perlulah kiranya dibuka di sini apa yang seharusnya menjadi acuan.
Acuan ideal eksperimentasi demokrasi partisipatoris di tingkat desa ini adalah demokrasi
republikan. Adalah Republikanisme dalam pengertian Plato. Desa harus dibayangkan
sebagai republik di tingkat lokal. Dari sekian elemen demokrasi republikan, dua di
antaranya harus disumsikan ada di desa. Dua elemen itu adalah active citizen (warga yang
penuh prakarsa), dan cita-cita yang hidup untuk membangun public-virtue (kebajikan bagi
publik), berbasis common-good, dan common interest. Kita percaya bahwa spirit
komunitarianisme yang hidup di banyak desa-desa kita masih menyimpan modal sosial
dan modal budaya itu.

8
9
Bab I
Penemuan Kembali “Berdesa”

A. Prawacana
Sudah menjadi pengetahuan bersama, kehidupan sosial kemasyarakatan di desa
selama ini dipandu oleh seperangkat nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Masyarakat Jawa, misalnya, secara umum mengenal tiga tata nilai untuk melangsungkan
hidup bersama di desa, yaitu; tata cara, tata krama dan tata susila. Tata cara mengacu pada
aturan-aturan yang berkaitan dengan tindakan atau mekanisme dalam menjalani kegiatan
sosial kemasyarakatan. Tata krama adalah etika pergaulan yang berkaitan dengan sopan
santun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Sedangkan tata susila merupakan aturan
tingkah laku warga dalam menjalani hidup berbangsa di desa, atau kini disebut sebagai
“berdesa”.1
Secara historis, masyarakat “berdesa” di nusantara memiliki basis sosial kehidupan
yang berbeda dengan masyarakat Eropa, Amerika, Arab atau belahan dunia lainnya.
Gagasan demokrasi yang kini menjadi arus utama dalam mengelola kehidupan publik, lahir
dan bertumbuh kembang dari pengalaman masyarakat Amerika yang berwatak individual-
liberal maupun masyarakat Eropa yang berakar dari budaya industrialis. Sistem demokrasi
yang kini menyebar luas di berbagai penjuru dunia adalah hasil pemikiran dari tradisi
panjang kehidupan sosial, ekonomi, kebudayaan, dan kemasyarakatan yang dikenal sebagai
“masyarakat barat”. Tidak salah jika akhirnya demokrasi yang bekerja adalah pelembagaan
tradisi, cita rasa dan karakter “masyarakat barat” dalam membingkai kehidupan bersama.2
Sebagian besar warga di negeri ini pada dasarnya masyarakat petani di desa. Pada
masa pra kolonial, masyarakat petani bermukim dalam wilayah geografis dan pengaruh
kekuasaan tradisional yang cenderung terisolasi dan terbatas jaringan sosial keluar maupun
mobilitas sosial. Tempat bermukimnya berhimpitan dengan ladang, kebun atau sawah
pertanian yang menjadi sumber penghidupan mereka. Sartono Kartodirjo (1985)
menuturkan bahwa karakteristik masyarakat petani yang berciri khas terpecah kecil-kecil
secara geografis ini, ditemukan pula pada masyarakat India yang diikat dalam satuan
panchayat (desa) yang isolatif, miskin jaringan sosial dan relasi kekerabatannya kuat.
1
Dalam laporan tahunan yang ditulis oleh IRE Yogyakarta, Annual Report 2001 – 2002, memuat laporan
tentang pemikiran demokrasi desa. Dalam laporan tersebut, IRE menemukan bahwa kehidupan sosial
kemasyarakatan desa dipandu oleh tiga tata nilai, yaitu tata cara, tata krama dan tata susila.
2
Pemikir Alexis De Tocqueville secara menarik memaparkan sejarah demokrasi di Eropa dan Amerika melalui
cara berpikir induktif, yaitu mendeskripsikan narasi-narasi dinamika sosial suatu kelompok bangsa dari bawah
tanpa dibebani oleh suatu kerangka teori dan konsep tertentu. Kumpulan pemikiran demokrasi dari
Tocqueville ini dihimpun dalam sebuah buku yang disunting oleh John Stone dan Stephen Mennel, diterbitkan
oleh Yayasan Obor Indonesia pada tahun 2005 dengan judul “Tentang Revolusi, Demokrasi dan Masyarakat”
kerjasama Kedutaan Besar Amerika Serikat, Freedom Institute dan Yayasan Obor Indonesia.
Situasi ini menurut Sartono Kartodirjo (1985), menjadi berubah ketika pemerintah
kolonial menguasai India dan Nusantara. Masa kolonial yang mengungkung Indonesia dan
India sejak abad 18 mengakibatkan perubahan sosial ekonomi terjadi nyata di desa-desa di
Indonesia maupun masyarakat petani Panchayat India.3 Kolonial Belanda mempengaruhi
dalam narasi pertanian dan perkebunan dalam bentuk sistem tanam paksa, sementara
Kolonial Inggris mempengaruhi pribumi India dengan narasi administrasi bersosial
masyarakat berupa sistem pajak. Pengaruh-pengaruh yang beragam inilah yang
menentukan pembentukan sekaligus perubahan tata nilai dan orientasi sosial
kemasyarakatan di Panchayat (India) maupun desa-desa di Indonesia. Tekanan pengaruh
rejim kolonial telah membentuk lanskap sosial-ekonomi-budaya-politik masyarakat desa
nusantara.
Paska mendeklarasikan kemerdekaan tahun 1945, rejim Orde Lama berusaha
membangun jati diri masyarakat desa melalui narasi negara bangsa (berbangsa ala negara)
dimana nasionalisme menjadi spirit pengelolaan kehidupan bersama desa. Pada titik inilah,
menjadi awal mula masuknya negara sebagai organisasi kekuasaan modern ke desa.
Namun, ketegangan politik di kalangan elit nasional menyebabkan rute demokratisasi yang
dijalani Indonesia menjadi limbung. Pergantian rejim Orde Lama ke Orde Baru justru
semakin menjauhkan Indonesia dari rute demokrasi, bahkan berbalik arah menuju
otoritarianisme. Di bawah pemerintahan otoriter Orde Baru, desa semakin termiskinkan.
Kekayaan berupa keragaman sistem, lembaga dan tata nilai sosial kemasyarakatan desa di
Nusantara tercabik-cabik format penyeragaman desa oleh negara Orde Baru.4 Dalam kondisi
semacam inilah desa-desa di Indonesia sulit mengembangkan diri, meski di dalam dirinya
mengalir tradisi-tradisi tata sosial kemasyarakatan yang mencerminkan prinsip dan nilai
demokrasi.
Paska reformasi, kelahiran UU No 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) menjadi
oase yang menghadirkan kesempatan sekaligus tantangan bagi re-demokratisasi desa.
Regulasi baru ini menyediakan rute perubahan revolusioner bagi desa di dalam sistem NKRI.
Sejarah masa lalu yang terwariskan dan kemampuan desa dalam mengembangkan diri,
diakui dan dihormati, melalui dua asas utama peraturan ini, yaitu; rekognisi (pengakuan
terhadap hak asal-usul) dan subsidiaritas (kewenangan desa untuk menetapkan
kewenangannya sendiri yang berskala lokal desa). Desa pun didorong untuk menghidupkan
kembali demokrasi desa, melalui mekanisme Musyawarah Desa (Musdes), terutama dalam
memutuskan aspek-aspek strategis desa. Namun demikian, disisi lain regulasi itu juga

3
Penjelasan ringkas dilakukan oleh Sartono Kartodirjo melalui makalah ringkasnya sebagai bahan diskusi
bulanan di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, menjelaskan dinamika perubahan sosial ekonomi
pedesaan di Indonesia, termasuk membandingkan dengan Panchayat India. Lebih rinci tentang hal ini silahkan
baca buku “Dinamika Perubahan Sosial Ekonomi Pedesaan”, disunting oleh Sartono Kartodirjo, Mubyarto dan
Edi Suandi Hamid, 1996, Penerbit Aditya Media Yogyakarta.
4
Beberapa studi terkait fenomena desa di bawah tekanan rejim orde baru, bisa dibaca dalam buku Mochtar
Mas’oed, 1983, Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, termasuk buku Yando
Zakaria, 2000, Abih Tandeh: Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru, Jakarta: ELSAM, dan Hans Antlov,
2003, Negara Dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal, Yogyakarta: Lappera Pustaka utama,
meghadapkan desa pada tantangan tersendiri. Tantangan tersebut berupa kesiapan desa
dan supradesa (pemerintah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota) dalam merespon
perubahan revolusioner pada aspek regulasi menjadi tindakan kolektif.
Sayangnya spirit UU Desa tersebut belum ditangkap dengan baik oleh pelaku desa.
Studi-studi yang dilakukan IRE dalam kurun waktu dua tahun terakhir (IRE dan CCES, 2015;
IRE, 2015; IRE, 2016) menunjukkan gejala bahwa penyebaran pengetahuan tentang
substansi UU Desa masih bermasalah. Masalah mendasar dalam kerangka penyebaran
tersebut adalah tidak merata dan tidak tuntas dalam memahami UU Desa. Gairah
memanfaatkan Musdes untuk merayakan demokratisasi desa terlihat lesu, dikalahkan oleh
hiruk pikuk administrasi dana desa yang mengharu biru para Kades dan perangkat desa.
Alih-alih menata diri mempersiapkan pelembagaan Musdes sebagai wadah rembug warga
yang inklusif, para elit desa justru hilir mudik ke kantor kabupaten/kota dan tempat-tempat
bimbingan teknis (bimtek) berkaitan dengan pengelolaan keuangan desa. Situasi ini
bermakna demokrasi desa masih berjalan di atas kertas dan belum tersemat di sanubari
para pemimpin dan masyarakat desa.
Padahal, desa dengan segala kearifannya telah mewariskan tatanan sistem dan nilai
sosial kemasyarakatan yang lekat dengan nilai-nilai universal demokrasi. Kehidupan sosial
masyarakat di desa masa lampau telah mengenal dan memberlakukan seperangkat nilai
yang sebangun dengan nilai-nilai universal demokrasi. Meski tidak mengenal istilah
demokrasi, tetapi esensi demokrasi telah dijalani pada masa itu. Sayangnya, warisan bak
harta karun yang tak ternilai itu masih teronggok. Kekayaan tersebut sesungguhnya dapat
diramu dan ditawarkan sebagai cara baru dalam mengembangkan demokrasi di Indonesia.
Kritik keras atas arus deras demokrasi liberal yang prosedural-formal saat ini, bisa dijawab
dengan menghidupkan kembali spirit dan nilai-nilai kehidupan sosial kemasyarakatan desa
yang sudah teruji dalam membangun kebersamaan dan kesejahteraan.
Kiranya tidak keliru jika misi utama hari ini adalah menemukan kembali spirit
“berdesa” sebagai wajah demokrasi desa. Sejarah desa yang kaya, - berbentuk organisasi
pemerintahan lokal, lembaga kemasyarakatan, sistem sosial, dan nilai-nilai dasar dalam
mengembangkan kehidupan bersama, - merupakan harta karun pengetahuan yang semakin
langka dan perlu dihidupkan serta senantiasa dirawat. Namun demikian, upaya penemuan
kembali “berdesa” tidak sekedar diletakkan dalam spirit romantisisme masa lampau semata.
Spririt “berdesa” tersebut perlu diadaptasi dalam praktik-praktik pengelolaan kehidupan
bersama desa sesuai dengan tantangan zamannya. Ringkasnya, penemuan kembali spirit
“berdesa” membutuhkan kerja-kerja kontekstual.

B. Kontekstualisasi Berdesa
Dalam semangat semacam itulah buku ini disusun. Disamping menyelamatkan harta
karun yang tercecer, buku ini merupakan Ikhtiar awal dalam melakukan kontekstualisasi
spirit “berdesa”. Buku ini memuat hasil kajian IRE berupa potret mendalam peristiwa-
peristiwa menarik dan penting tentang praktik (menuju) “berdesa” yang kemudian ditarik
sebagai etalase pembelajaran berharga. Peristiwa sosial kemasyarakatan dan pembangunan
desa bisa menjadi gambaran secara nyata bekerjanya pilar-pilar utama demokrasi. Pada
studi ini pilar utama yang diyakini menjadi penyangga bagi bekerjanya demokrasi lokal
(desa) meliputi tiga aspek, yaitu; kepemimpinan, inisiatif warga dan representasi. Ketiga
aspek yang jalin berkelindan menggerakkan peristiwa demi peristiwa sosial kemasyarakatan
dan pembangunan desa menjadi lingkup kajian ini.
Tradisi panjang kehidupan sosial masyarakat desa-desa di Jawa memberikan
pertimbangan utama dalam memilih Jawa sebagai lokasi studi ini. Berlangsung di 10 desa di
Jawa, lokasi studi dipilih dengan menggunakan pertimbangan karakteristik topografis yang
diyakini berkontribusi dalam melahirkan segregasi sosial budaya masyarakat. Pada Tabel 1.
secara rinci diinformasikan tipologi lokasi, kasus yang diteliti dan penelitinya.

Tabel 1.1
Tipologi Lokasi dan Kasus Penelitian

Tipologi Desa Penelitian Studi Kasus Peneliti

DataranTinggi/ Kabupaten Ngadisari Perlindungan Lahan Rajif Dri


Pegunungan Probolinggo Masyarakat Tengger Angga
Kabupaten Nglanggeran Pengembangan Pariwisata Sugeng
Gunungkidul Berwawasan Lingkungan Yulianto
Kabupaten Mekar Jaya Pembangunan Lapangan Sepak Fajar
Sukabumi Bola Sudjarwo
Dataran Rendah Kabupaten Gulon Pembangunan Rusunawa Dimpos
Magelang Manalu
Kabupaten Cangkudu Reformasi birokrasi dalam Iranda
Tangerang Pelayanan Publik Yudatama
Kabupaten Umbulharjo Desa Mengembangkan Sukasmanto
Sleman Pengelolaan air bersih
Kabupaten Panggungharjo Reformasi Birokrasi dan Inovasi Abdur Rozaki
Bantul Pelayanan Publik
Kawasan Pesisir Kabupaten Punjul Harjo Pengembangan Pariwisata Sigit Pranawa
Rembang “Karang Jahe Beach”
Kabupaten Sidorejo Insiatif Pengembangan Desa Titok
Kulon Progo Inklusi Hariyanto
Kabupaten Ringinrejo Okupasi Lahan Perhutani oleh Nurma
Blitar Pihak Swasta dan Masyarakat Fitrianingrum
Desa
Sumber : IRE, 2016

Sebagaimana diinformasikan pada tabel 1.1, bahwa penelitian ini dilakukan dengan
memakai pendekatan studi kasus atas peristiwa-peristiwa yang berlangsung di desa.
Artinya, studi yang dilakukan IRE ini mengumpulkan praktik-praktik bermasyarakat dan
berdesa yang terjadi di 10 desa lokasi riset. Inilah yang dimaksud sebagai stock taking study.
Peristiwa yang dikaji oleh para peneliti bisa berdimensi praktik baik namun bisa juga praktik
buruk dalam aspek kepemimpinan, inisiatif warga dan representasi. Singkatnya, studi ini
tidak berpretensi mengumpulkan praktik-praktik terbaik tentang tiga aspek utama
demokrasi desa.
Disisi lain, studi ini pun tidak bertujuan melakukan evaluasi atas proyek
pembangunan masyarakat dan desa. Bukan pula melakukan penilaian atas kerja-kerja
masyarakat dan pemerintahan desa yang berujung pada pemberian apresiasi penghargaan
atas praktik terbaik dan turunanya. Studi ini sejak awal didedikasikasi untuk menemukan
pelajaran berharga atas praktik-praktik baik maupun buruk dalam kehidupan sosial
masyarakat dan pembangunan desa. Karena baik praktik baik maupun buruk memiliki nilai
yang sama, yakni sebagai mutiara pembelajaran.

C. Argumentasi Metodologis
Ada dua argumentasi metodologis yang penting dikemukakan dalam studi yang
menghasilkan buku ini. Pertama, cara pandang induktif bukan deduktif. Studi yang
ditempuh memakai nalar berpikir induktif, artinya para peneliti turun ke lapangan tidak
berbekal kerangka teori dan konsep yang baku dan ketat. Pada saat melakukan penelitian
lapangan para peneliti dibekali kerangka instrumen yang longgar (question guide),
bagaimana memilih kasus dan apa saja data/informasi yang penting dikumpulkan. Artinya,
peneliti di lapangan memiliki keleluasaan dalam mengeksplorasi peristiwa-peristiwa sosial
yang berlangsung untuk diangkat menjadi kasus yang hendak dikaji. Selanjutnya, para
peneliti datang ke desa diawali dengan menemui pihak-pihak strategis, targetnya
menemukan peristiwa sosial kemasyarakatan atau pembangunan desa yang bisa dipilih
sebagai kasus untuk dikaji secara lebih mendalam. Data dan informasi yang dianggap
memadai kemudian ditulis secara naratif, melalui teknik analisis deskriptif, interpretatif dan
eksplanatif. Pada saat menarasikan data dan informasi ini peneliti menggunakan perspektif
yang terkait dengan prinsip dan nilai universal demokrasi untuk memahami dan
menjelaskan rangkaian peristiwa yang diteliti. Studi kasus yang melahirkan narasi kecil
didialogkan dengan narasi besar dari perspektif demokrasi. Dialektika inilah yang kemudian
melahirkan pengetahuan yang diharapkan berkontribusi bagi pemikiran dan praktik
demokrasi yang saat ini sedang berlangsung.
Kedua, memasok pengetahuan untuk kebijakan. Buku ini dihasilkan dari studi yang
sejak awal tidak semata-mata hanya untuk memuaskan kegelisahan intelektual, melainkan
lebih dari itu untuk melahirkan pengetahuan yang relevan bagi perbaikan pemikiran dan
praktik demokrasi. Pada level mikro produk pengetahuan yang dihasilkan diharapkan bisa
mengingatkan maupun menginspirasi bagi para pihak berkepentingan di desa dalam upaya
mengembangkan demokrasi desa. Sementara pada level makro, pengetahuan yang
dihasilkan studi ini diharapkan mampu menjadi basis pemikiran para pengambil kebijakan di
tingkat nasional maupun subnasional dalam mengembangkan kebijakan yang terkait dengan
pelembagaan demokrasi desa.
Selain argumentasi metodologis di atas, dengan diterbitkannya buku ini diharapkan
akan bermanfaat bagi para para pihak yang selama ini berada di dalam pergulatan semesta
demokrasi di Indonesia. Pertama, pemerintah nasional dan sub nasional, termasuk
pemerintahan desa. Buku ini penting dibaca oleh para pengambil keputusan karena
beberapa pengetahuan di dalam buku ini dapat dipakai sebagai pertimbangan dalam
mengembangkan desain kebijakan untuk melembagakan transparansi, partisipasi dan
akuntabilitas di level desa, kabupaten, propinsi dan pusat. Kedua, masyarakat desa. Buku
ini diharapkan bisa menjadi sumber inspirasi bagi warga masyarakat desa, terutama para
warga aktif desa yang sedang merayakan pelaksanaan UU Desa. Desa membangun tidak
sekedar membelanjakan uang desa, tetapi bagaimana mengembangkan tradisi
bermasyarakat dan berdesa yang demokratis.
Ketiga, pegiat pembaruan desa dan aktivis pro demokrasi. Buku ini berupaya
menghadirkan sisi kritis pemikiran dan praktik demokrasi liberal yang kini melembaga di
Indonesia, namun kian tak jelas sumbangannya bagi kesejahteraan bersama. Dengan
konstruksi pengetahuan yang dibangun berbasis pada perspektif demokrasi partisipatoris-
deliberatif, buku ini menawarkan alternatif bagi para pegiat desa dan prodemokrasi untuk
mengembangkan demokrasi desa yang berbeda dengan praktik-praktik demokrasi formal
prosedural selama ini. Keempat, akademisi dan peneliti. Buku ini memancing pemikiran
tentang demokrasi alternatif atas demokrasi liberal. Komunitas akademik seharusnya
mengelaborasi lebih lanjut melalui perdebatan paradigmatik dan teoritik atas tawaran-
tawaran di dalam buku ini. Agenda-agenda riset tentang demokrasi alternatif dan
pengembangannya penting dirumuskan oleh para peneliti.

D. Tentang Alur dan Isi


Buku ini disusun dengan mempergunakan gaya tulisan ilmiah popular dengan alur
penulisan seperti berikut ini. Pertama, bagian perspektif studi ini. Apa cara pandang yang
digunakan untuk membangun nalar dan merumuskan pengetahuan atas hasil penelitian?
Bagian ini berusaha menegaskan posisi cara pandang yang digunakan dalam
mengembangkan demokrasi desa. Karena itu dalam sistematika buku ini ditempatkan pada
Bagian Prolog: Demokratisasi Desa – Situs Baru Politik Partisipatoris? Pada bagian ini
diuraikan latar fenomena kegagalan demokrasi liberal sampai kemudian ditawarkannya cara
pandang demokrasi partisipatoris-deliberatif. Dialog perspektif besar demokrasi dengan
gejala yang menggeliat dari desa-desa yang ditemukan di 10 lokasi riset, ditulis menjadi
skema cara pandang yang ditawarkan untuk menjelaskan fenomena dan usulan gagasan
model demokrasi desa di masa depan.
Kedua, bagian latar belakang studi ini. Pada bagian ini diuraikan tentang konteks dan
urgensi studi mengenai demokrasi desa. Selain itu juga menguraikan tentang tipologi lokasi
dan kasus penelitian, gagasan mengembangkan demokrasi desa, argumentasi metodologis
yang digunakan untuk melakukan penelitian yang membuahkan pengetahuan di buku ini.
Termasuk juga menguraikan sistematika dan alur penulisan buku. Dalam alurnya penulisan
bagian ini ditulis pada Bab 1 buku ini.
Ketiga, bagian temuan-temuan studi demokrasi. Sejak awal studi demokrasi desa
menggunakan keyakinan pada tiga aspek utama pelembagaan demokrasi, yaitu;
kepemimpinan, representasi, inisiatif warga. Bagian ini alurnya diletakkan secara berurutan
pada bab 3 menguraikan aspek kepemimpinan dalam pelembagaan demokrasi desa.
Kemudian diteruskan bab 4 menguraikan tentang representasi dalam pelembagaan
demokrasi desa. Sedangkan bab 5 menguraikan tentang inisiatif warga dalam pelembagaan
demokrasi desa.
Keempat, bagian epilog. Pada bagian ini diuraikan tentang model demokrasi desa
yang berpijak pada penguatan kepemimpinan, representasi dan inisiatif warga. Pada bagian
ini pula agenda-agenda pelembagaan demokrasi desa yang menggunakan nalar demokrasi
partisipatoris-deliberatif diuraikan dari sisi peluang dan tantangannya.
Bab II
Kepemimpinan dan Transformasi Desa

A.Prawacana
Sejauh penelurusan yang ada, tak banyak kajian yang secara eksplisit mengkaitkan studi
tentang kepemimpinan Jawa dengan gagasan demokrasi lokal yang berkembang di
pedesaan Jawa pasca perubahan penting yang didorong UU Desa. Terbitnya UU Desa
memang menyediakan basis perubahan fundamental dalam konteks pelembagaan
demokratisasi desa. Terlebih politik rekognisi (pengakuan atas hak asal-usul) dan
subsidiaritas (penetapan kewenangan berskala lokal desa) dalam UU Desa telah
menyediakan peluang transformasi bagi desa melalui kewenangan yang dimilikinya. Namun
demikian, penting untuk memeriksa kembali sejauh mana perubahan tersebut
dimungkinkan bekerja di desa melalui praktik-praktik otentik demokrasi desa.
Studi yang dilakukan oleh Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta di
desa-desa di Jawa ini adalah salah satunya. Studi rintisan ini memperlihatkan gejala dan
praktik demokrasi di desa yang diuraikan dari tiga titik pijak: kepemimpinan, representasi
dan inisiatif warga. Bab ini secara spesifik akan memusatkan perhatian pada aspek
kepemimpinan desa untuk melihat tipe kepemimpinan semacam apa yang kondusif bagi
bekerjanya demokrasi deliberatif-partisipatoris.1 Oleh karena itu, studi rintisan ini hendak
melihat sejauh mana kepemimpinan desa yang tengah berlangsung saat ini diuji dengan
praktik demokrasi lokal yang masih bekerja dan otentik atau bahkan telah lenyap dan hanya
sedikit menyisakan jejaknya. Pengujian pada aspek kepemimpinan tersebut menyasar pada
tiga faktor penting: pembentukan kepentingan publik, perluasan ruang publik, dan
inklusivitas (keterbukaan) terhadap aspirasi-aspirasi menyangkut urusan publik. Meskipun
demikian, dua titik pijak lainnya (representasi dan inisiatif warga) tentu tidak dapat
dilepaskan begitu saja dan juga akan mewarnai analisis dalam tulisan ini.
Salah satu temuan penting pada aspek kepemimpinan misalnya, menunjukkan bahwa
kepemimpinan yang kuat, tanggap, dan transparan hadir sebagai elemen penting dalam
pembentukan kepentingan publik sekaligus mampu memastikan perluasan ruang publik
melalui menciptakan ruang-ruang publik informal di desa. Di sisi lain, kepemimpinan
semacam ini juga membuka inklusivitas (keterbukaan) bagi aspirasi-aspirasi kepublikan,
seperti isu pelayanan publik dasar. Sementara itu, di titik ekstrim yang lain, kepemimpinan

1
Demokrasi deliberatif merupakan pandangan tentang demokrasi yang mendorong ruang publik menjadi
arena bagi perbincangan isu tertentu sehingga menjadi wacana publik. Deliberasi dibutuhkan dalam
demokrasi, agar proses merumuskan kebijakan publik telah diuji melalui perbincangan publik, sehingga
memunculkan argumentasi yang memadai dan cukup dalam mengambil keputusan. Agar wacana publik
menjadi arena yang hidup, maka dibutuhkan keterlibatan warga. Pada titik inilah partisipasi dalam bentuk
inisiatif atau usulan warga menjadi prasyarat bagi hadirnya deliberasi dalam makna yang sesungguhnya.
desa menutup peluang bagi pembentukan kepentingan publik dan cenderung eksklusif
(peminggiran) terhadap isu-isu publik di desa. Di antara dua titik ekstrim ini tentu saja
terdapat keragaman dari tiga faktor tersebut dari 10 desa yang diteliti.
B. Warisan Lama: Dominasi Orang Kuat Lokal dan Politik Kekerabatan di Desa
Dalam sejarahnya, kepemimpinan desa di Jawa tak bisa lepas dari dominasi politik
patronase dan jejaring kekerabatan yang kuat. Politik pengaturan desa sejak era kolonial
dan dilanjutkan oleh Orde Baru mewariskan kepemimpinan desa yang feodal, dinastik
(didominasi jejaring keluarga elit), dan seringkali oligarkis (arena kekuasaan hanya dikuasai
oleh elit dan untuk kepentingan elit). Warisan lama kepemimpinan desa tersebut—
setidaknya dari hasil studi ini—berakar pada dua hal: dominasi elit/orang (kuat) lokal
melalui budaya paternalistik (Mulder, 2001), kepemimpinan konservatif-birokratik, dan
politik kekerabatan.2 Sidel (2004) mengingatkan tentang kepemimpinan desa yang dikuasai
oleh orang kuat atau bosisme lokal (kuasa para bos lokal) yang telah berakar kuat dalam
perekonomian desa dan berkembang pesat selama Orde Baru.3
Di masa ini pula, kepala desa dan sanak kerabatnya menikmati akses atas sumberdaya yang
digelontorkan oleh negara melalui beragam mekanisme subsidi sarana produksi pertanian
(seperti bibit, pupuk dan pestisida), beragam pola pertanian padat modal, serta lahan yasan.
Pelaksanaan program-program pemerintah, dengan demikian, diperantarai oleh
kepentingan para elit lokal di tingkat desa yang mengkontrol berbagai sumber ekonomi yang
besar di desa. Selain itu, selama abad 19 dan abad 20, jabatan kepala desa di banyak desa
dipegang oleh satu trah keluarga atau sekelompok keluarga yang menguasai tanah-tanah
komunal, seperti tanah bengkok.4 Politik kekerabatan (kinship) menjadi sesuatu yang lazim
dalam dinamika kepemimpinan desa di Jawa pada saat itu (Sidel, 2004).
Jejak-Jejak Warisan Lama
Di empat desa yang diteliti yakni Ngadisari, Gulon, Punjulharjo, dan Ringinrejo, corak
kepemimpinan semacam itu begitu kentara. Dalam konteks Ngadisari, adat Tengger menjadi
tatanan dasar kehidupan sosial politik di Desa Ngadisari. Kepemimpinan yang ada di desa

2
Budaya paternalistik merujuk pada metafora atau perumpamaan bahwa pemimpin berperan sebagai kepala
keluarga. Kepala keluarga yang dalam masyarakat patriarkal diperankan oleh bapak, menjadi panutan dan
karena itu menjadi satu-satunya sumber kebenaran. Budaya tersebut menciptakan adanya pandangan bahwa
pemimpin tidak boleh dikritik. Sementara konservatisme-birokratis mengacu pola kepemimpinan dengan
karakter dogmatis, kaku, sulit menerima gagasan baru, hirarkis atau berjenjang dan mengandalkan
kewenangan sebagai basis kekuasaannya. Karakter demikian secara potensial memunculkan watak otoriter
dalam kepemimpinan.
3
Praktik-praktik bosisme lokal mengejawantah dalam peran-peran yang dimainkan para jago, warok, blater,
jawara, dan preman di berbagai wilayah di Nusantara. Yang membedakan mereka hanya sifat, pola kerja, atau
bentuk organisasi. Namun semuanya mengandalkan paksaan dan kekerasan, jika persuasi dan negosiasi
menghadapi jalan buntu. Bosisme lokal terjadi akibat minimnya peran negara dalam menegakkan ketertiban
umum, juga karena disebabkan pembiaran dan politisasi negara terhadap hadirnya beragam bisnis
pengamanan
4
Tanah bengkok adalah tanah aset desa yang penggunaannya sebagai hak perangkat desa dan bentuk sumber
penghasilan para perangkat desa.
ditopang oleh kekuasaan yang berbasis tatanan adat Tengger yang masih dipegang oleh
masyarakat Ngadisari. Masyarakat dan pemimpin desa Ngadisasri diikat oleh sistem simbol
adat dan agama yang menempatkan lembaga desa menjadi begitu penting. Arti penting ini
tentu saja membentuk pola kekuasaan yang dipancarkan oleh desa beserta para pelaku
yang ada di dalamnya. Namun demikian, kepemimpinan yang hadir di Ngadisari tak semata-
mata dipengaruhi oleh adat semata. Corak kepemimpinan juga dipengaruhi oleh aspek-
aspek lainnya, termasuk di dalamnya jaringan politik yang lebih luas (Hefner, 1983).
Kepemimpinan Desa Ngadisari secara de jure dipegang oleh Sri Wahayu yang tidak lain
adalah istri dari kepala desa sebelumnya, Supoyo. Supoyo sendiri mulai menjabat sebagai
Kepala Desa Ngadisari sejak tahun 2001 hingga tahun 2013. Sejarah regenerasi
kepemimpinan di Desa Ngadisari memang tak jauh-jauh dari proses pemilihan kepala desa
dengan calon tunggal. Setidaknya sejak jabatan kepala desa dipegang oleh Sapawi (kades
sebelum Supoyo), selama dua periode kepemimpinannya diwarnai oleh ketiadaan calon
yang menandai minimnya persaingan dalam politik pilkades. Bagaimanapun Sri Wahayu
merupakan kepala desa secara formal. Namun Kebijakan sepenuhnya dibicarakan secara
informal dan ditentukan bersama Ki Petinggi.
Di samping berorientasi ke dalam dengan adat dan kekerabatan sebagai basis kekuasaan,
jaringan politik yang dibangun elit desa ke luar juga menjadi salah satu penyokong
kekuasaan efektif bagi elit. Situasi ini salah satunya terlihat dari dukungan pemerintah
kabupaten dalam proyek-proyek infrastruktur di Desa Ngadisari. Secara kebetulan, seperti
halnya Supoyo yang juga kader Partai Nasdem, Kabupaten Probolinggo dipegang oleh Hasan
Aminudin dan kini, istrinya Tantriana yang juga sama-sama kader Partai Nasdem. Selain itu,
bagi pemerintah daerah, Desa Ngadisari adalah aset penting yang juga mendatangkan
pendapatan bagi daerah.
Serupa di Ngadisari, kehidupan politik di Desa Gulon kental dengan politik kekerabatan
melalui dominasi satu trah keluarga dalam pemerintahan desa secara turun temurun. Trah
merupakan tipe organisasi masyarakat Jawa berbasis genealogis (relasi sanak-saudara) yang
diperhitungkan dengan mengambil salah satu nenek moyang tertentu sebagai pangkal
perhitungannya. Di Jawa, pengetahuan genealogis ini, menurut Husken (1991), sangat erat
kaitannya dengan kelas sosial. Petani-petani kaya begitu mudahnya bercerita tentang garis
keturunan mereka yang dilacak sampai jauh, namun bagi orang-orang miskin jarang sekali
memiliki pengetahuan tentang garis kekerabatan mereka (Antlov, 2002:196). Dalam konteks
Gulon, terpeliharanya garis kekerabatan ini berbanding lurus dengan penguasaan kekayaan
yang dimiliki trah balung gedhe. Sejak lama mereka dikenal sebagai elit kaya di desa.
Organisasi sosial berbasis trah memungkinkan siapa saja untuk menjadi bagian dari
komunitas ini sejauh mereka mampu menunjukkan garis keturunannya sebagai bagian dari
komunitas trah (Robson, 1987). Kondisi ini berlangsung dalam masyarakat Gulon yang kuat
memegang budaya ewuh pekewuh atau segan mengkritik elit yang hampir tak
memungkinkan adanya dorongan perubahan dari bawah. Bagaimana pun, budaya ini pula
yang sedikit banyak menimbulkan lemahnya prakarsa warga dalam menjalankan kontrol
terhadap pemerintah desa dan urusan publik lainnya.
Secara lebih rinci, kita akan melihat sejauh mana dominasi trah keluarga balung gede ini
mempengaruhi proses politik di Desa Gulon dan dampaknya bagi demokrasi yang ingin
dibangun sesuai dengan semangat UU Desa.5 Kepala desa, Ketua BPD, Ketua Linmas, dan
Ketua PKK di desa tersebut berasal dari satu trah keluarga yang sejak awal kemerdekaan
menduduki jabatan kepala desa. Keluarga besar tersebut hingga kini menjadi kekuatan yang
menentukan kemenangan seorang kepala desa di Gulon. Dominasi balung gede tersebut
sedikit banyak didukung oleh kekuatan ekonomi anggota keluarga yang memang telah
dikenal sebagai para orang kaya di desa. Kekuatan ekonomi ini meningkatkan status sosial
mereka sebagai keluarga kaya yang terhormat.
Adalah Nanang Bintartana yang kini menjadi Kepala Desa Gulon merupakan anggota trah
balung gedhe. Karir politik Nanang di desa dimulai saat dirinya terpilih menjadi anggota BPD
di awal tahun 2000-an untuk kemudian mencalonkan diri menjadi kepala desa pada tahun
2007 dan berujung pada kekalahan karena perpecahan keluarga. Dukungan kakak iparnya,
Sutrisno yang juga mantan kepala desa sebelumnya, kepada lawan politiknya disebut-sebut
mempengaruhi suara para pemilih. Sutrisno yang juga seorang pensiunan militer memang
cukup ‘didengar’ dan memiliki pengaruh di kalangan masyarakat.
Nanang yang tak hanya mewarisi modal jaringan kekerabatan berbasis trah juga memiliki
kemampuan untuk membangun jaringan politik di tingkat lokal, bahkan nasional. Nanang
merupakan seorang pengusaha, tokoh pemuda, sekaligus aktivis PDI-P. Dia dikenal dekat
dengan sejumlah elit politik lokal, seperti Bupati Magelang Zainal Arifin dan Gubernur Jawa
Tengah Ganjar Pranowo yang juga berasal dari PDI-P. Nanang dikenal pula sebagai tokoh
Goro, sebuah organisasi kepemudaan yang disegani oleh masyarakat. 6 Kolaborasi
pengusaha dan organisasi kepemudaan inilah yang juga menyokong dan menyediakan
sumberdaya finansial untuk maju menjadi kepala desa hingga akhirnya terpilih. Modal sosial
kekerabatan, jaringan politik, dan modal ekonomi inilah yang berperan penting dalam
membangun kepemimpinan Nanang di Desa Gulon.
Berbeda dengan Desa Ngadisari dan Adat Tenggernya, Desa Punjulharjo yang terletak di sisi
paling timur Rembang ini mewarisi kultur Islam tradisional yaitu Tradisi NU. Dalam
masyarakat Islam tradisional, struktur dan kultur masyarakat didasarkan pada simbol
keagamaan yaitu Islam cenderung bersifat paternalistik dan patriarkal. Dengan konteks
semacam itu, pemimpin keagamaan yakni Kyai, menempati posisi posisi sentral dalam
masyarakat. Kyai berperan lebih daripada sekadar seorang guru agama. Dia juga memainkan
peran sebagai pemimpin informal yang memiliki pengaruh di kalangan warga dan juga

5
Dalam Bahasa Jawa, Balung Gede dipahami sebagai ungkapan untuk menjelaskan keluarga yang memiliki
banyak keturunan, keluarga besar. Ibarat pohon, mereka berasal dari bagian batang pohon, bukan cabang atau
ranting. Umumnya, keluarga Balung Gede juga memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi dari
masyarakat umumnya.
6
Organisasi ini menyediakan bisnis keamanan dan pungutan pada bisnis tambang pasir di Kali Putih.
seringkali diperhitungkan secara politik (Bruinessen, 1994).7 Kepemimpinan kyai terutama
ditopang oleh kekuasaan yang bersumber dari kapasitas moral spiritual yang dimilikinya.
Forum-forum keagamaan seperti pengajian, menjadi ruang bekerjanya kepemimpinan
moral Kiai kepada warga. Demikian pula yang terjadi di Desa Punjulharjo, struktur dan kultur
NU membentuk corak masyarakat yang taat dan hormat kepada mereka yang dipandang
sebagai pemimpin, kiai, ataupun mereka yang memiliki status sosial yang tinggi.
Terpilihnya Muntholib sebagai kepala desa sejak 2014 memperlihatkan adanya perubahan
politik penting di Desa Punjulharjo. Muntholib adalah wajah baru di pemerintahan desa,
namun dia tidak lahir dari keturunan trah balung gedhe seperti di Desa Gulon. Berbeda
dengan para kepala desa sebelumnya, kemenangan Muntholib merupakan pembalikan dari
politik pemilihan kepala desa yang didominasi oleh kepentingan ekonomi politik
penyandang dana (botoh) yang seringkali menjadi penentu pemenangan. Secara moral,
masyarakat menghendaki pemimpin yang berintegritas (jujur) dan berpihak pada
kepentingan masyarakat. Masyarakat setempat memandang figur Muntholib memenuhi
kriteria moral semacam itu. Sebagai kepala desa dia dikenal enthengan (suka membantu),
jujur, tidak neko-neko (macam-macam), lurus-lurus saja, dan sederhana. Bagi masyarakat
desa yang masih kuat memegang nilai-nilai tradisional, kesempurnaan moral merupakan
modal penting.
Keyakinan semacam ini seringkali membuat hadirnya seorang pemimpin dalam acara-acara
warga, seperti slametan atau upacara kematian menjadi lebih penting ketimbang
kehadirannya dalam urusan dan masalah publik. Moralitas semacam itulah yang nyatanya
mampu memenangkan hati masyarakat Punjulharjo. Secara ideal, seorang pemimpin moral
adalah orang terpandang di desa yang mendapat kepercayaan dari masyarakat, dan
memiliki ikatan kekeluargaan dengan masyarakat desa yang dilayaninya dan hidup bersama-
sama dengannya. Dalam konteks itu, Kades Muntholib telah menunjukkan dirinya pantas
dipilih sebagai pemimpin yang dihormati karena kepatuhannya untuk mengikuti norma
perilaku yang diterima secara umum. Kemenangan Muntholib juga didorong oleh faktor
kekerabatan (kinship). Ayahnya adalah seorang Kiai terpandang di desa tersebut, sementara
saudaranya adalah seorang mantan lurah dan polisi, serta satu saudaranya lagi merupakan
aktivis partai. Jaringan kekerabatan ini berperan penting dalam proses pemenangan
Muntholib dalam pilkades.
Sementara Desa Ringinrejo menunjukkan corak kepemimpinan yang konservatif-birokratik,
sebagai semacam warisan birokratisasi pemerintahan desa di masa Orde Baru. Selain itu,
dari sisi rekrutmen politik, kepala desa terpilih Ringinrejo yakni Bintoro memiliki garis
keturunan mantan lurah (kepala desa) meski dominasinya tak sekuat trah balung gedhe di
Gulon. Kakek buyut dari pihak ayah dan kakek dari pihak ibu Bintoro merupakan mantan

7
Meski para kiai ini tinggal di pedesaan, mereka merupakan bagian dari kelompok elit dalam struktur sosial,
politik, dan ekonomi masyarakat Jawa pada umumnya. Perubahan dalam masyarakat seringkali digerakkan
oleh kepemimpinan elit-elit tersebut.
kepala desa. Meski demikian, terpilihnya Bintoro merupakan sesuatu yang tidak terduga
karena banyak calon yang dianggap lebih kuat dan memiliki basis masa yang lebih besar.
Selama hampir tiga tahun dibawah kepemimpinan Bintoro masyarakat memiliki berbagai
penilaian yang berbeda terhadap kebijakan-kebijakan maupun pola kepemimpinan Bintoro.
Dalam hal pelayanan publik, warga merasakan peningkatan pelayanan dari pemerintah desa
berupa pengurusan keperluan adminsitrasi lebih cepat.8 Peningkatan pelayanan tersebut
disebabkan oleh kebijakan kepala desa merekrut tiga perangkat desa muda yang cakap dan
melek teknologi untuk menggantikan perangkat desa lama yang sudah sepuh dan dinilai
kurang cakap. Gambaran Ringinrejo menunjukkan, sejauh pelayanan administrasi terpenuhi
di situlah letak peran institusi desa. Dimana pemerintah desa sekadar menjalankan
administrasi pemerintahan selayaknya institusi desa korporatis (Sutoro, 2014). Warisan
penyeragaman dan birokratisasi desa di masa lalu menjadikan desa sekadar kepanjangan
tangan negara bukan untuk menumbuhkan emansipasi lokal, melainkan menjalankan
perintah dari atasan (Antlov, 2002).
Wajah Warisan Lama dalam Praktik Kepemimpinan
Untuk menguji kehadiran dan bekerjanya kepemimpinan desa dapat dilacak dari daya
tanggap pemimpin terhadap urusan publik. Dalam kasus masyarakat Tengger Ngadisari,
perlindungan penguasaan lahan menjadi isu publik penting. Tanah yang keberadaannya
disakralkan oleh adat Tengger membentuk kesadaran kolektif masyarakat untuk
mempertahankan aset produksi tersebut dari gempuran alih fungsi dan komersialisasi lahan.
Inisiatif tersebut juga dimantapkan oleh kenyataan bahwa aset lahan pertanian tersebut
memiliki prospek penghidupan yang begitu baik bagi warga. Bagaimana pun juga inisiatif
warga untuk tidak menjual lahan ke pihak manapun di luar komunitas Tengger menemukan
pelembagaannya melalui respons pemerintah desa untuk mengaturnya dalam peraturan
desa.
Kebijakan Supoyo di Ngadisari yang populis tampak melalui komitmennya untuk menjaga
tanah masyarakat Tengger melalui kebijakan perlindungan lahan. Inisiatif warga untuk
melindungi lahan direspons oleh kepemimpinan desa yang hadir melalui kontrol setiap jenis
transaksi berkaitan dengan lahan. Menurut Supoyo, kebijakan pemerintah desa untuk
melindungi lahan melalui Peraturan Desa Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Mutasi
Lahan menjamin tidak adanya praktik jual beli dan sewa lahan tanpa sepengetahuan
pemerintah desa. Baginya, kebijakan ini juga bagian dari upayanya menjalankan mandat
leluhur Tengger untuk menjaga kelangsungan tradisi Tengger di tanahnya mereka sendiri.

8
Meskipun secara faktual pelayanan yang diberikan oleh perangkat desa masih di bawah standar. Pelayanan
selama hari kerja hanya berlangsung empat hingga lima jam. Bahkan di hari Jumat pelayanan hanya dibuka
selama tiga jam. Dalam pengurusan administrasi, juga masih terjadi praktik pungutan liar yang tidak
transparan.
Meski kepemimpinan Supoyo dianggap berhasil oleh masyarakat, populisme dalam praktik
pengelolaan kesejahteraan ini tak selalu dibangun dengan menumbuhkan partisipasi warga
yang lama hidup dalam budaya parokial dan sisa-sisa depolitisasi sejak Orde Baru.9
Sungguhpun demikian, kepemimpinan di Desa Ngadisari menjalankan akuntabilitas dan
partisipasi warga dengan caranya sendiri. Di setiap pengerjaan proyek-proyek fisik,
pemerintah desa melaporkan penggunaan anggaran untuk kegiatan tersebut secara lisan
kepada masyarakat. Di tempat gotong-royong (sayan), perangkat desa sekaligus melaporkan
penggunaan APB Desa untuk pengerjaan proyek tersebut. Dengan cara ini, masyarakat
mengetahui berapa dan bagaimana sumberdaya publik (desa) dialokasikan dan
didistribusikan. Distribusi ini berkaitan dengan pengerjaan pembangunan fisik yang
dilakukan secara gotong-royong dengan tenaga kerja dari mereka sendiri. Sehingga sumber
dana yang ada tidak tersedot keluar desa untuk membayar kontraktor.
Sedangkan di Punjulharjo, cepat atau lambat, bakal terjadi perubahan penting dalam
struktur sosial masyarakat seiring dengan pertautan mereka dengan ekonomi pariwisata.
Ketika studi ini berlangsung, masyarakat Punjulharjo tengah menghadapi ketegangan laten
antara tradisi dan modernitas sebagai konsekuensi atas dibukanya objek wisata Karang Jahe
Beach (KJB) sebagai ikon baru destinasi wisata di Rembang.10 Dalam kasus di Punjulharjo,
tata kelola aset pantai KJB (BUMDes) menjadi arena untuk melihat bagaimana
kepemimpinan desa bekerja.
Pada saat mencalonkan diri, program yang ditawarkan Muntholib adalah meningkatkan
pelayanan warga yang lebih baik, memperbaiki jalan terutama akses yang akan menuju ke
lokasi KJB, serta memperbaiki pengelolaan dan kinerja KJB untuk kesejahteraan warga.
Dalam konteks perbaikan pelayanan publik, kepala desa menetapkan kebijakan jadwal piket
untuk perangkat desa berikut nomer telpon/hand phone. Selain itu, dia membuka pintu
rumahnya selama 24 jam untuk melayani keperluan warga jika kantor desa tutup.
Muntholib biasanya melayani warga yang tengah mengurus keperluan administrasi,
mengurus keringanan biaya rumah sakit, hingga mengantar warga ke rumah sakit.
Selain pelayanan rutin kepada warga, terobosan program yang dilakukan dia selama dua
tahun menjabat fokus pada peningkatan pendapatan masyarakat melalui pengelolaan KJB.
Untuk pengembangan KJB, kepala desa membangun fasilitas seperti memperluas jalan
menuju KJB melalui pembebasan tanah menggunakan dana pinjaman dari BRI. Selain itu
membangun gapura sebagai pintu masuk menuju lokasi KJB. Sementara, untuk mengelola

9
Budaya parokial merujuk pada struktur mental yang terkungkung dalam sekat-sekat identitas baik agama,
etnis, ras, atau kelokalan (kedaerahan). Struktur demikian melahirkan sikap sempit dalam memandang
persoalan publik.
10
Situasi serupa barangkali pernah dirasakan oleh masyarakat Tengger yang lebih dulu berinteraksi dengan
ekonomi pasar dan dibukanya kawasan Bromo sebagai objek pariwisata berkelas internasional. Meski
demikian, semua telah dilalui dengan baik melalui negosiasi budaya yang dilakukan dengan sangat baik. Adat
Tengger tetap terpelihara dan bahkan menjadi aset dan komoditas budaya. Dengan demikian, perubahan
semacam itu bisa jadi akan membuahkan hasil yang berbeda dengan apa yang mungkin terjadi dengan
masyarakat Punjulharjo.
objek wisata KJB, Pemerintah Desa Punjulharjo membentuk Badan Pengelola (BP) KJB
dibawah Badan Usaha Milik Desa. Badan Pengelola tersebut dibentuk dan diberi
kewenangan oleh kepala desa untuk mengelola KJB secara profesional. 11 Disamping tetap
dengan pekerjaan yang sudah digeluti, masyarakat juga didorong untuk banyak terlibat
dalam menggarap KJB. Badan pengelola ini mengidentifikasi berbagai jenis usaha yang
potensial untuk dikembangkan, kesiapan infrastruktur penunjang kawasan pariwisata, serta
pelibatan warga secara partisipatif dalam tata kelola KJB. Dampaknya, satu tahun
pengelolaan KJB, pendapatan warga masyarakat dan PAD menunjukkan peningkatan.
Meski demikian, politik kekerabatan tetap mewarnai Punjulharjo. Demi mengamankan
program-program tersebut, kepala desa menunjuk keponakannya sendiri sebagai ketua BP
KJB. Demikian pula dengan sejumlah posisi di direktur BUM Desa dijabat adik kepala desa
dan Penasehat BUM Desa masing-masing merupakan adik dan kakak sepupu kepala desa. Di
BPD, salah seorang anggotanya masih merupakan kerabat, demikian pula dengan salah
seorang perangkat desa yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan kepala desa.
Jejaring kekerabatan yang dibangun menjamin adanya dukungan penuh bagi kebijakan
kepala desa. Politik kekerabatan yang tampak begitu kentara di Punjulharjo membuka
peluang pengelolaan kesejahteraan yang memusat pada lingkaran kekerabatan kepala desa.
Kecenderungan ke arah monopoli bisa saja terjadi. Namun kasus di Punjulharjo
menunjukkan bahwa corak kepemimpinan tersebut pada saat bersamaan juga mampu
menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat dengan kebijakan populis yang dihadirkan.
Watak kepemimpinan populis di Ngadisari dan Punjulharjo penting untuk ditelaah lebih
jauh. Populisme dalam pengelolaan kesejahteraan di dua desa tersebut nampaknya masih
jauh dari pelibatan publik secara partisipatif. Pengelolaan KJB memang membawa
perubahan dari sisi redistribusi sumberdaya kepada masyarakat, namun hal tersebut tak
dibarengi dengan masuknya aktor-aktor di luar kerabat kepala desa yang penting dalam
proses tata kelola yang lebih transparan dan partisipatif. Kebijakan populis di Ngadisari juga
menunjukkan hal serupa. Masyarakat menerima kebijakan tersebut karena berdampak
positif bagi mereka, namun hal tersebut bukan dalam konteks kesadaran masyarakat yang
melihat pengelolaan kesejahteraan sebagai isu publik. Infrastruktur pertanian yang
memadai dan pengembangan kawasan wisata penunjang Bromo dikelola untuk
kesejahteraan, namun belum tentu melibatkan publik desa sebagai subjek yang aktif. UU
Desa membuka struktur kesempatan politik bagi aktor-aktor di desa untuk merebut ruang-
ruang demokrasi yang tersedia. Sungguhpun demikian, pengetahuan dan kesadaran untuk
merebut ruang tersebut belum mampu menjangkau elemen masyarakat secara luas.
Sementara itu, Desa Ringinrejo memperlihatkan watak konservatif-birokratis dari
kepemimpinan desa. Kapasitas desa yang lemah menjadikan institusi pemerintahan desa
sekadar sebagai mesin birokrasi semata dan tidak melibatkan diri dalam masalah publik.

11
Untuk menunjang operasionalnya, BP KJB memiliki posko sebagai kantor pengelolaan KJB di dekat pintu
masuk lokasi wisata KJB. Kepala Desa juga memfasilitasi KJB untuk menggunakan ruangan di Kantor Kepala
Desa untuk mengadakan rapat rutin maupun insidental.
Bahkan, pemerintah desa enggan melibatkan diri dalam aksi reklaim tanah perkebunan oleh
warga yang lapar tanah.12 Pemerintah desa mengambil posisi netral dengan alasan merasa
berada pada posisi terjepit diantara warga desa dan pemerintah supra desa yang lebih tinggi
yang menekan pemerintah desa untuk meredam upaya klaim tanah perkebunan.
Ketika warga mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara atas Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 367 Tahun 2013, Pemerintah desa sulit memberikan pengesahan
yang menyatakan bahwa 726 warga penggarap sawah yang terdaftar dalam dokumen
gugatan merupakan warga Desa Ringinrejo. Pada moment tersebut mereka yang
memperjuangkan klaim tanah merasa tidak diakui sebagai warga.13 Warga terutama yang
aktif mengupayakan klaim tanah memang banyak yang kecewa pada sikap netral yang
diambil oleh kepala desa. Pemerintah desa masih mewarisi paradigma lama desa sebagai
kepanjangan tangan negara dalam struktur yang hierarkis. Pada akhirnya, kepemimpinan di
desa sama sekali menutup akses untuk proses dialogis dengan warga yang menuntut klaim
atas tanah.
Jika di Ringinrejo kepala desa menunjukkan watak konservatismenya, kepemimpinan Kepala
Desa Gulon menunjukan agresivitasnya. Hal itu dapat dilihat dari adanya proyek
pembangunan rumah susun. Awalnya, Desa Gulon tidak menjadi lokasi proyek Kementrian
PU dan Perumahan Rakyat itu. Namun karena terdapat satu desa yang dinilai kurang
responsif, kesempatan tersebut ditangkap oleh pemerintah Desa Gulon dengan mengajukan
pemindahan lokasi rumah susun ke Gulon.14 Faktor yang berperan dipilihnya Desa Gulon
sebagai lokasi rusun adalah faktor kedekatan Kepala Desa dengan elit Partai PDI-P baik di
daerah maupun di pusat. Menurutnya, keputusan untuk memindahkan rusun ini ke Gulon
dibuat setelah kunjungan reses anggota DPR RI Komisi V, Ir Sudjadi, yang berasal dari partai
PDIP ke Desa Gulon, yang termasuk sebagai daerah pemilihannya.
Bahkan pengajuan pemindahan lokasi rumah susun itu tanpa proposal. Fakta tersebut
mengesankan Kepala Desa ingin bergerak cepat dan meninggalkan proses formal yang
semestinya dijalani.15 Penetapan lokasi rusun diputuskan kepala desa sepihak dengan
pertimbangan tanah kas desa di Dusun Mancasan dinilai sudah tidak produktif lagi. Selain
itu, dia beralasan rusun ini merupakan kebutuhan masyarakat di desanya karena dalam
pengamatannya selama ini permintaan hunian sangat tinggi. Namun, sebaliknya beberapa
warga menyatakan tidak tahu menahu mengenai rencana pembangunan rusun itu. Mereka

12
Di Blitar sendiri saat ini terapat banyak upaya claiming maupun reclaiming tanah perkebunan yang dilakukan
oleh warga yang telah bertahun-tahun menggarap perkebunan yang sebelumnya ditelantarkan.
13
Untuk menandatangani dokumen tersebut Bintoro sampai berkoordiansi dengan pihak kecamatan walau
akhirnya bersedia menandatangani setelah mendapat tekanan warga
14
Di Kabupaten Magelang, rencana awal ada empat kecamatan yang mendapat jatah pembangunan rusun ini
adalah Desa Taman Agung (Kecamatan Muntilan), Kecamatan Salaman, Kecamatan Tempuran, dan Desa
Gunungpring (Kecamatan Salam).
15
Selain tanpa proposal, pembangunan ini tidak didahului oleh analisa kebutuhan, proses pembahasan yang
mendalam bersama lembaga desa lain seperti BPD, dan analisa dampak sosial bagi masyarakat sekitar rusun.
menilai, pemerintah desa lebih baik meningkatkan program bedah rumah, sebab masih
banyak rumah-rumah warga tidak layak huni.
Sampai saat ini tidak begitu jelas bagi pemerintah desa sendiri dan masyarakat bagaimana
kelak mekanisme pengelolaan, biaya sewa, kriteria calon penghuni, bagi hasil antara
pemerintah desa dengan kabupaten, yang menurut informasi yang dihimpun menjadi
pengelola rusun ini. Satu-satunya dokumen resmi terkait pembangunan rusun ini adalah
keluarnya Perdes tentang alih fungsi tanah kas desa menjadi rusun. Pembangunan rusun ini
merefleksikan bagaimana aspek kepemimpinan bekerja, di dalam pengawasan lembaga
representasi formal (BPD) yang minim, dan lemahnya kontrol publik atau inisiatif warga.
Pada akhirnya, mengutip Sutoro Eko (2014:54), tipologi lembaga asli (indigenous institution)
dapat dipakai untuk melihat kasus Ngadisari. Pengaruh adat jauh lebih kuat daripada
pengaruh pemerintah dan agama karena adatlah yang menjadi pengikat institusi sosial yang
ada di desa bersama masyarakatnya. Mereka memiliki self governing community yang
memiliki pranata dan kearifan lokal, yang mengutamakan keteraturan dan keseimbangan:
social order, ecological order, dan spiritual order. Dalam konteks ini, urusan publik menjadi
arena bagi berlangsungnya pranata dan kearifan lokal yang menempatkan keteraturan dan
keseimbangan antara manusia (desa dan masyarakatnya) dengan alam dan leluhurnya
sebagai nilai dasarnya. Ngadisari sebagai institusi asli juga memiliki tradisi demokrasi
komunitarian – yang mengutamakan kebaikan bersama, dengan model pengambilan
keputusan secara deliberatif melalui institusi-institusi asli (rembug warga Tengger dan
Safari Wulan Kapitu, tradisi gotong-royong atau sayan). Institusi asli ini mengedepankan
emansipasi dalam merawat harmoni sosial dan kemakmuran ekonomi berkelanjutan tetapi
tidak terbuka terhadap isu-isu publik kekinian.
Tipologi desa parokial dapat dipakai untuk menelaah Desa Gulon dan Punjulharjo yang
menggunakan politik kekerabatan dan agama sebagai basis ikatan sosial. Di Gulon, sistem
kekerabatan menjadi pijakan kompetisi politik dan pembentukan struktur politik desa.
Penempatan jabatan strategis di desa didasarkan pada kedekatan seseorang secara
kekerabatan dengan elit. Punjulharjo nampak sebagai desa yang masih bercorak parokial
keagamaan dan kekerabatan namun mulai memiliki kesadaran bersama tentang isu-isu
publik yang lebih luas, terutama tentang kesejahteraan melalui pengelolaan desa wisata.
Desa Ringinrejo lebih tepat dikategorikan sebagai desa dengan watak korporatis yang kuat.
Meski UU Desa memperkuat kewenangan desa dengan asas rekognisi dan subsidiaritas,
desa ini menempatkan dirinya sebagai kepanjangan tangan institusi di atasnya dalam
menjalankan tugas-tugas administratif. Kepemimpinan desa, bahkan, tak ambil bagian
dalam upaya penyelesaian konflik agraria yang terjadi di desa.
C. Menuju Kepemimpinan Transformatif
Jika pada bagian sebelumnya kita menemukan warisan lama kepemimpinan desa yang
bercorak paternalistik, konservatif-birokratis, dan pola kekerabatan yang mencolok, maka
studi di enam desa lainnya menunjukkan situasi yang berbeda. Desa Mekarjaya, Cangkudu,
Sidorejo, Nglanggeran, Umbulharjo, dan Panggungharjo mengarah pada situasi
kepemimpinan di desa yang lebih mendorong proses demokratisasi. Meskipun tak selalu
menghasilkan praktik yang bisa dikatakan sepenuhnya demokratis, namun kecenderungan
untuk terbuka dan responsif terhadap tuntutan aspirasi dari bawah (open and responsive
leadership) semakin tampak. Hal yang sama juga dapat ditelaah dari praktik transparansi
dan akuntabilitas kepemimpinan di desa yang mulai berkembang. Bagian ini akan
menjelaskan bagaimana kepemimpinan desa bertransformasi ke arah yang demokratis.
Benih Kepemimpinan Transformatif
Terdapat adagium bahwa kepemimpinan menjadi kunci menghadirkan perubahan. Namun
demikian, kepemimpinan semacam apa yang dapat memandu perubahan menuju
transformasi sosial demokratis menjadi pertanyaan kunci dalam studi ini. Tentu saja setting
dimana benih kepemimpinan transformatif tersebut ditanam, menjadi sangat menentukan
tumbuh-kembang kepemimpinan transformatif. Dalam konteks tersebut, bagian ini akan
menyajikan narasi tentang embrio atau benih kemunculan kepemimpinan transformatif
beserta ragam atau variasi setting sosial yang melatarinya.
Desa Mekarjaya di Sukabumi memperlihatkan corak kehidupan desa yang ditopang oleh
semangat komunitarian melalui tradisi gotong-royong. Tradisi ini telah berlangsung lama
dan menjadi bagian penting dalam relasi sosial masyarakat Mekarjaya. Jika dilacak lebih
jauh, gotong-royong telah menjadi energi sosial bagi komunitas masyarakat desa, termasuk
untuk menghadapi krisis yang berlangsung dalam komunitas. Koentjaraningrat (dalam
Zakaria 2000) mengklasifikasi budaya gotong-royong ke dalam tiga sistem: (1) sistem
mobilisasi tenaga kerja dalam pertanian, (2) sistem bantuan bersama dalam kehidupan
sosial, dan (3) sistem nilai. (Zakaria, 2000:291-292). Dalam konteks Mekarjaya, gotong-
royong telah menjadi sistem nilai sekaligus modus organisasi tradisional yang dipraktekkan
secara kolektif dari masa ke masa. Tentu saja ada pergeseran yang terjadi, setidaknya sejak
era Orde Baru dimana ruang publik informal dalam kegiatan gotong-royong terdistorsi oleh
intervensi dan kontrol yang kuat dari elit desa sebagai kepanjangan tangan birokrasi negara.
Bagaimana pun, pergeseran setting politik pasca Orde Baru dan tidak lama ini berlakunya
UU Desa memberikan makna positif. Kepemimpinan desa memanfaatkan gotong-royong
sebagai ruang publik informal dimana gagasan dan ide terkait urusan publik di desa
dibicarakan.
Melalui ruang publik informal ini, interaksi antara institusi desa dengan masyarakatnya
berlangsung. Aspirasi-aspirasi publik hadir di tengah-tengah kegiatan gotong-royong warga,
seperti usulan pembuatan lumbung pangan desa, pelayanan administrasi kependudukan,
dan usulan pemuda terkait penggunaan dana desa. Kehadiran ruang publik informal ini pun
pada akhirnya menjadi ruang yang deliberatif karena asimetrisme kekuasaan hampir tidak
ada. Warga merasa lebih leluasa untuk menyampaikan aspirasinya melalui ruang tersebut
dibandingkan dengan forum musyawarah yang lebih formal. Meski demikian, perluasan
ruang publik tersebut perlu dibarengi dengan akomodasi inisiatif-inisiatif warga ke dalam
arena deliberasi formal, seperti musyawarah desa. Penting pula untuk melihat sejauh mana
aspirasi-aspirasi publik yang telah didialogkan tersebut dilembagakan ke dalam kebijakan
publik di desa.
Di samping kepemimpinan desa yang kuat, kasus di sejumlah desa menunjukkan variasi lain
kepemimpinan desa yang lemah namun dibarengi dengan kontrol dan inisiatif warga yang
kuat. Desa Nglanggeran dan Desa Umbulharjo menyajikan realita tentang kepemimpinan
desa yang lemah dan cenderung konservatif-administratif namun ditopang oleh
kelembagaan representasi yang bekerja dan inisiatif warga yang kuat. Senen, Kepala Desa
Nglanggeran, terpilih menggantikan kepala desa sebelumnya yang otoriter dan tidak
transparan. Profil Senen, yang bisa dikatakan anti-tesa model kepemimpinan kepala desa
terdahulu yang keras, otoriter, dan kurang bersih, membuat warga menjadi lebih aktif
mengungkapkan aspirasinya. Senen yang mirip warga kebanyakan (orang biasa, bukan trah
elite) jauh lebih terbuka, dekat dengan warga (merakyat), dan dianggap sangat jujur,
mampu melahirkan kepercayaan (trust), sehingga menyuburkan partisipasi. Bahkan, warga
mulai berani menyampaikan kritik terbuka, sesuatu yang tidak pernah terjadi pada masa
kepemimpinan sebelumnya yang sangat dominan.
Demikian pula dengan Desa Umbulharjo, kepemimpinan baru lahir sebagai anti-tesa
kepemimpinan lama. Adalah Suyatmi, kepala desa terpilih berhasil menumbangkan
petahana yang sudah berkuasa selama 20 tahun. Faktor kemenangan Sutaymi karena
kehendak masyarakat agar terjadi perubahan kepemimpinan lama yang dinilai tidak
partisipatif, tidak transparan, dan tidak akuntabel dalam tata kelola pembangunan.16
Kemenangan Suyatmi juga karena dukungan keluarga yang bekerja dalam jaringan trah
keluarga besarnya. Meski bukan dari keluarga “balung lurah” (keturunan lurah), Suyatmi
dan sang suami memiliki keluarga besar di Umbulharjo karena keduanya berasal dari desa
ini. Dukungan juga mengalir dari kelompok perempuan yang diwadahi dalam PKK. Selain
Suyatmi memang sebagai aktivis PKK, Kades sebelumnya gagal mengakomodasi keberadaan
PKK sebagai kelompok penggerak pemberdayaan paling aktif di desa. Suyatmi dipilih dengan
harapan terjadi peningkatan program dan kegiatan kelompok perempuan di desa.
Kepemimpinan Desa Umbulharjo diwarnai oleh problem kapasitas delegatif kepala desa dan
lemahnya pengambilan keputusan yang efektif. Ini ditandai dengan jarangnya Kepala desa
memberikan arahan pada perangkat desa dan keputusan diserahkan pada bawahan.
Akibatnya perangkat desa yang terbiasa dengan kepemimpinan otokratik kemudian menilai
kepemimpinan kepala desa tidak berjalan efektif. Puncak ketidakefektifan pemerintahan
terjadi manakala BPD menagih RPJM Desa yang telah satu tahun berjalan tak kunjung
rampung disusun oleh kepala desa terpilih. Situasi tersebut berujung pada konflik Kepala
Desa dan BPD. Konflik tersebut dapat diselesaikan dan justru menjadi titik balik bagi Suyatmi
untuk memperbaiki gaya kepemimpinanya. Perubahan di Desa Umbulharjo didorong bukan
dari sisi kepemimpinan, melainkan dari fungsi representasi dan kontrol Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) yang aktif serta inisiatif warga yang bekerja.

16
Termasuk isu-isu ketidakberesan dalam pengelolaan sumber daya ekonomi, baik persoalan air bersih,
penambangan pasir, maupun pariwisata.
Sementara di Cangkudu, lahirnya kepemimpinan baru juga lahir dari anti-tesa
kepemimpinan lama, meski tidak responsif terhadap inisiatif warga. Pemerintah desa
terdahulu bisa dikatakan kurang peduli dengan masyarakat. Menurut penuturannya, kepala
desa terdahulu yang dulu cenderung lebih sibuk mengurus bisnis limbah pabrik
dibandingkan mengurus warganya, terutama pengabaian pelayanan publik. Sehingga
seringkali kepala desa tidak ada di kantor desa dan perangkatnya lebih sering mencari
obyekan di luar atau “ngompreng”. Apalagi kondisi tersebut, diperparah dengan adanya
praktek politik orang kuat lokal yang mewarnai pemerintah desa dibawah kepemimpinan
Eneng Ida Zuraida yang merupakan anak dari tokoh Jawara lokal di Desa Cangkudu.
Sehingga banyak warga yang relatif tidak berani menyuarakan aspirasi atau bersikap kritis,
warga lebih memilih untuk bersikap apatis.
Situasi dan kondisi tersebut, membuat sebagian warga Desa Cangkudu menginginkan
sebuah perubahan yang ditempuh warga adalah melalui pemilihan kepala desa yang jatuh
pada tahun 2013. Pada saat pemilihan kepala desa Cangkudu tersebut, munculah salah
seorang kandidat yakni Amir Hamzah. Amir Hamzah dalam kampanyenya menjanjikan
perubahan wajah pemerintah desa Cangkudu yang akan lebih melayani warga secara prima
melalui reformasi birokrasi. Jika dilihat dari latar belakangnya, Amir Hamzah merupakan
seorang businesman yang memiliki beberapa perusahaan dan juga seorang konsultan
keuangan.17 Berangkat dari latar belakang tersebut, Kepala Desa berupaya menerapkan
pendekatan administrasi publik dalam tata kelola pemerintahan. Pemerintah desa sebagai
memposisikan dirinya sebagai penyedia layanan serta menempatkan warga selaku penerima
layanan seperti layaknya klien.
Paska terpilihnya Amir Hamzah sebagai kepala desa, menurut pengakuan beberapa warga
Desa Cangkudu menyatakan bahwa ada sebuah perubahan yang signifikan dalam
pemerintahan desa Cangkudu dibandingkan dengan situasi dan kondisi pemerintah desa
terdahulu. Perubahan yang paling dirasakan adalah adanya perbaikan kualitas pelayanan
publik di kantor pemerintah desa, termasuk di dalamnya adanya kepastian dalam hal
pelayanan baik dari sisi biaya maupun waktu pelayanan.18 Dalam konteks melakukan upaya
reformasi birokrasi tersebut, Amir Hamzah melakukan berbagai macam terobosan, antara
lain; melakukan peningkatan kapasitas perangkat desa, membangun kultur pelayanan serta
meningkatkan disiplin dan kinerja para perangkatnya.
Variasi kepemimpinan berikutnya menyajikan corak kepemimpinan yang terbuka dan
responsif terhadap isu kelompok rentan di Desa Sidorejo. Kepala Desa setempat, Sutrisna,
adalah sosok yang memiliki ketrampilan dalam membangun komunikasi dengan berbagai

17
Ketokohan Amir Hamzah di Desa Cangkudu lebih dikenal sebagai sosok pengusaha dan intelektual.
18
Saat ini kantor pemerintah desa berfungsi optimal dalam melakukan pelayanan publik, dengan adanya jam
layanan yang jelas yakni dari jam 08.00 sampai dengan jam 16.00 dan semua urusan pelayanan publik harus
diselesaikan di kantor pemerintah desa bukan di rumah perangkat desa. Serta menerapkan sistem absensi
dengan menggunakan finger print. Inovasi dan perubahan inilah yang mengantarkan Desa Cangkudu sebagai
Desa Teladan Nasional.
pihak. Dengan gaya kepemimpinan yang menghilangkan sekat-sekat hirarkis, Sutrisna
mampu mengkomunikasikan kebijakan-kebijakan pada berbagai lapisan masyarakat yang
ada di desa sehingga memudahkan konsolidasi berbagai unsur masyarakat desa.
Dibawah kepemimpinanya, Sidorejo tampak berubah wajah dibandingkan dengan periode
kepemimpinan sebelumnya. Misalnya jam pelayanan di kantor desa yang sudah pasti, yaitu
mulai jam 08.30 sampai jam 13.00. Untuk transparansi anggaran, Sutrisna tidak segan-segan
menghadiri pertemuan-pertemuan warga di tingkat dusun untuk menjelaskan anggaran
yang dimiliki desa. Selain itu, Sutrisna dinilai sosok yang memiliki ketegasan dalam
menyelesaikan persoalan yang ada di desa maupun ketegasan kepada perangkat desa.
Dengan gaya kepemimpinan demikian, beberapa aspek tata kelola pemerintahan serta
pelayanan publik, kades yang belum ada satu tahun menjabat tersebut telah melakukan
reformasi yang dipandang masyarakat sangat positif.
Sebangun dengan yang terjadi di Sidorejo, salah satu desa di Indonesia yang mengalami
proses perubahan signifikan dalam upaya memperbaiki pelayaan publik adalah Desa
Panggungharjo. Proses perubahan diawali sejak terpilihnya Wahyudi Anggoro Hadi, sebagai
Kades pada tahun 2012.19 Wahyudi terpilih menjadi Kades, karena dukungan modal sosial
yang dimilikinya. Sebagai putra asli desa, tentu ia sangat mengenal ragam dinamika dan
karakter warga di desa tempat dia tumbuh dan dibesarkan. Wahyudi juga memiliki latar
belakang yang berasal dari keluarga santri. Pemuda lulusan sarjana apoteker UGM ini,
memiliki ragam pergaulan sosial yang melampaui batas-batas jaringan sosial
kemasyarakatan. Tak heran, bila ia sangat populer di kalangan komunitas santri, seniman,
aktivis sosial, pengusaha dan politisi.
Untuk mewujudkan visi pada saat kampanye Wahyudi mengembangkan pola
pengembangan desa melalui tiga rute penguatan kapasitas yang saling bersinergi satu sama
lain. Pertama, kapasitas kepemimpinan. Kedua, kapasitas birokrasi, dan Ketiga, kapasitas
sosial. Kapasitas kepemimpinan visioner dan tangguh menjadi unsur paling fundamental
karena sebagai penggerak mesin birokrasi desa dan upaya memperkuat kapasitas
emansipasi warga.20 Dalam konteks kapasitas birokrasi, Wahyudi berpendapat selama ini
birokrasi desa lamban dan tidak berorientasi pada pelayanan warga karena selama
bertahun-tahun birokrasi desa terkondisikan tanpa jenjang karir yang jelas dan kapasitas
sumber daya manusia (SDM) rendah.

19
Dorongan untuk maju dalam Pilkades, merupakan hasil rembungan bersama komunitas pemuda di Pojok
Budaya yang concern untuk mendorong adanya perubahan di desanya. Pojok Budaya ini semacam think tank
bagi Wahyudi, tempat ide perubahan di desa digodog dan direalisasikan ketika dirinya terpilih sebagai Kades.
20
Bagi Wahyudi, kapasitas kepemimpinan melekat unsur kapasitas regulasi (membuat pengaturan sesuai
dengan konteks tantangan desa), redistributif (kemampuan membagi habis kewenangan kepada kelembagaan
desa lainnya, bukan memusatkan kekuasaan ke dalam dirinya semata), responsif (tanggap terhadap
permasalahan yang ada), ekstraktif (memahami potensi masyarakat agar dapat tumbuh kembang secara
alamiah) dan jaringan (membangun jaringan yang dapat bersinergi memajukan desa).
Bertolak dari kondisi tersebut, Panggungharjo di bawah kepemimpinan Wahyudi melakukan
penguatan birokrasi desa melalui peningkatan penghasilan perangkat desa untuk
memotivasi kinerja birokrasi desa dan penguatan kapasitas SDM birokrasi desa. Peningkatan
penghasilan perangkat desa di Panggungharjo dilakukan dengan memberikan penghasilan
tetap serta berbagai insentif penghasilan.21 Selain tambahan penghasilan, pemerintah desa
juga memberikan sangsi pemotongan tunjangan kinerja sebesar Rp. 3.000,-/jam jika
terlambat masuk jam kantor. Untuk mengukur kedisiplinan dan ketepatan sangsi, setiap
perangkat desa masuk dan pulang harus melakukan finger print yang terpasang di kantor
desa.22
Untuk memperkuat SDM desa, kepala desa mengikutsertakan berbagai macam pelatihan
dari berbagai pihak bagi perangkat desa sesuai dengan bidang tugasnya. Selain itu,
perangkat desa yang masih lulusan SMA mendapatkan beasiswa yang berasal dari APBDes
untuk melanjutkan ke jenjang D3 di sebuah perguruan tinggi yang dikenal sejak lama
sebagai “kampus desa”. Berbagai terobosan tersebut, pada gilirannya mampu
menghadirkan wajah baru birokrasi desa dalam mengelola kebijakan dan pembangunan
secara demokratis, memperbaiki pelayanan publik dan menggerakan partisipasi masyarakat
secara bersama-sama membangun desa.
Menguji Kepemimpinan Transformatif
Benih-benih kepemimpinan transformatif desa yang sedang bertumbuh di berbagai pelosok
desa seiring dengan terbitnya UU No.6/2014, hari ini juga tengah menghadapi ujian. Tidak
semua benih kepemimpinan transformatif pada akhirnya dapat membangun prasyarat bagi
bekerjanya praktik-praktik demokrasi desa. Bisa jadi benih kepemimpinan transformatif
memunculkan variasi berupa pengkerdilan, kemandegan, atau justru terus bertumbuh dan
berbuah pemerintahan desa yang responsif dan terbuka, bekerjanya lembaga representasi
secara deliberatif, serta masyarakat yang penuh prakarsa dan partisipatoris. Bagian ini akan
menyajikan variasi narasi tentang bagaimana kepemimpinan (menuju) transformatif
tersebut berdialektika dengan tantangan kontekstualnya.
Corak kepemimpinan - yang lebih terbuka dan akomodatif - lebih memungkinkan partisipasi
masyarakat muncul dan berkembang. Di Nglanggeran kepemimpinan tersebut sedikit
banyak didukung oleh inisiatif kelompok warga Nglanggeran dalam konteks pengembangan
desa wisata mendorong pemanfaatan aset desa bagi penghidupan warga. Pembentukan
kepentingan publik dimungkinkan terjadi oleh pertautan antara responsivitas dan
keterbukaan kepemimpinan Desa Nglanggeran dan inisiatif warga aktif yang terlembaga
melalui kelompok wisata desa. Di samping itu, perluasan ruang publik juga berlangsung

21
Insentif berupa tunjangan baik tunjangan jabatan, tunjangan kinerja, tunjangan anak-istri serta asuransi
kesehatan. Perangkat desa juga masih mendapatkan tambahan penghasilan dari tanah bengkok.
22
Desa Panggungharjo menetapkan jam pelayan publik, mulai dibuka dari pukul 08.00 Wib, dan berakhir
sampai dengan pukul 16.00 Wib.
melalui forum-forum warga (forum selapanan) yang memungkinkan interaksi antar warga
terjadi sekaligus membuka ruang deliberasi.
Situasi serupa juga tampak di Umbulharjo. Semenjak hubungan Kades dan ketua BPD di
Umbulharjo sudah mencair dan saling bekerjasama, muncul inisiatif dari warga berupa
usulan-usulan kepada pemerintah desa. Salah satunya usulan adalah persoalan pengelolaan
air bersih yang menjadi isu publik yang penting di Umbulharjo. Isu pengelolaan air di
Umbulharjo berlatar belakang konflik antara masyarakat Desa Umbulharjo dengan
pengelola air minum Kabupaten Sleman, PD. Anindya untuk taman wisata Kaliurang, dan
bisnis air minum dalam kemasan, yaitu Qannat dan Evita yang disuplai oleh PDAM Sleman.
Konflik sudah sampai pada tahap kekerasan antara kedua pihak sebenarnya sudah mulai di
tahun 1999, yaitu ketika PDAM Sleman mempunyai proyek penyediaan air bersih dengan
mengambil air dari Umbul Wadon.
Selain itu pengelolaan air bersih ditingkat desa dikelola Organisasi Pengelola Air Bersih
(OPAB) yang dibentuk oleh pemerintah desa yang dalam perjalanannya ditengarai belum
berjalan baik oleh masyarakat. Dalam konteks ini, pembentukan kepentingan publik
menemukan arenanya dalam proses pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa)
sebagai lembaga yang disiapkan mengganti OPAB dalam mengelola barang publik tersebut
(common goods). Sinergi antara pemerintah desa dan fungsi representasi BPD menghasilkan
kesepakatan untuk mengelola aset desa (air bersih) yang lama menjadi aspirasi publik.
Variasi yang berbeda namun dalam spirit yang sama ditunjukkan di Sidorejo. Gerakan desa
inklusi di Sidorejo berkembang melalui proses dialogis antara responsivitas pemerintah desa
dengan inisiatif kelompok warga (Forum Difabel Sidorejo). Keterbukaan kepemimpinan desa
dan struktur kesempatan politik yang disediakan UU Desa menjadi peluang bagi FDS untuk
mendorong lahirnya desa inklusi di Sidorejo. Pemerintah desa berupaya hadir untuk
mendorong emansipasi kelompok difabel dalam pembuatan kebijakan di desa. Kelahiran
dan aktivitas yang dilakukan FDS, dalam kaca mata Sutrisna adalah suatu inisiatif maju yang
bisa membawa perubahan di desa karena para penyadang disabilitas memang belum
mendapatkan perhatian serius dari pemerintah desa. Untuk mengangkat derajat hidup
disabilitas, Sutrisno tergerak untuk menghadirkan pemerintah desa melalui program-
program yang bisa membawa mereka menjadi lebih sejahtera.
Pembentukan kepentingan publik, dengan demikian, diinisiasi oleh gerakan masyarakat sipil
(FDS) yang menemukan pertautannya dengan kehendak pemerintah desa untuk melibatkan
warga yang marjinal sekalipun dalam proses pembangunan di desa. Sungguhpun demikian,
ada satu hal yang luput. Dalam konteks inklusivitas aspirasi-aspirasi publik, pelibatan
kelompok marjinal masih sebatas pada satu kategori sosial saja, yakni penyandang
disabilitas. Inklusivitas pun menjadi paradoks manakala maknanya dipersempit dan
keanggotaan (membership) dari kelompok ini sekadar pada kelompok difabel. Padahal,
perempuan dan petani dalam konteks Sidorejo juga menjadi bagian dari kelompok rentan di
desa.
Pada titik variasi yang lain, Desa Cangkudu memperlihatkan corak kepemimpinan yang
kurang responsif terhadap tuntutan-tuntutan dari warga, namun menjalankan akuntabilitas
melalui reformasi birokrasi pemerintahan desa. Kritik terhadap reforma birokrasi di
Cangkudu terutama ditujukan pada adalah absennya partisipasi publik dimana reformasi
birokrasi yang berjalan relatif baru menyentuh aspek administrasi publik. Sebagian warga
merasa, reformasi birokrasi di Cangkudu belum mendorong keterbukaan pemerintah desa
terhadap inisiasi maupun usulan warga. Banyak warga merasa tidak pernah dilibatkan
dilibatkan dalam proses musyarah desa dan kurang mengetahui informasi terkait kebijakan
desa termasuk APBDES.
Selain itu dampak reforma birokrasi belum sepenuhnya dirasakan manfaatnya oleh
sebagian warga. Sebagian warga justru merasa langgam perubahan masih bersifat artifisial
dan memunculkan birokratisasi layanan publik yang cenderung kaku. Hasilnya, institusi desa
yang secara teknokratis dapat diandalkan, namun hanya sebatas pada kapasitas
memperkuat dirinya untuk menjadi handal di level administratif. Di sisi lain, institusi desa
gagap dalam memainkan perannya untuk memediasi aktor-aktor pemburu rente bisnis
limbah pabrik dan isu-isu ekonomi politik berkaitan dengan kehadiran ekonomi industri di
desa ini. Di titik ini, nampak adanya geliat organisasi masyarakat sipil di desa yang seolah-
olah berdinamika, namun sebenarnya hanya menjadi instrumen penyokong pebisnis limbah
pabrik yang saling bersaing.
Terakhir, Desa Panggungharjo memberikan gambaran menarik tentang kepemimpinan desa
yang responsif dan membuka ruang partisipasi warga di satu sisi dan di sisi lain, digerakkan
oleh inisiatif warga yang kuat. Sama halnya dengan Desa Cangkudu yang memiliki karakter
urban yang kuat, Desa Panggungharjo memiliki cukup banyak prasyarat mengenai hadirnya
institusi masyarakat sipil yang menopang inisiatif warga yang kuat. Di antara prasyarat
tersebut, misalnya tingkat pendidikan, kehadiran kelas menengah yang peduli terhadap
pembangunan desa, dan organisasi warga non korporatis yang dinamis. Di samping itu, satu
hal yang penting adalah latar belakang sosial kepala desa yang lama berinteraksi dan
menjadi bagian dari masyarakat sipil di desa dengan kombinasi antara basis kultural santri,
aktivis desa, dan basis intelektual sarjana. Perpaduan tersebut menjadikan corak
kepemimpinan yang dihadirkan memiliki kapasitas untuk merespons kepentingan warga dan
membuka diri bagi perluasan ruang-ruang publik di desa.
Bagaimanapun dari semua desa tersebut, peluang dan struktur kesempatan politik yang
diberikan oleh UU Desa dalam konteks demokratisasi memberikan aksentuasi yang beragam
di masing-masing desa. Ada desa yang mampu memanfaatkan struktur kesempatan politik
melalui UU Desa untuk mendorong politik partisipatoris di desa dalam tata kelola
sumberdaya bersama (air bersih dan aset wisata desa) serta mendorong inklusi sosial di
desa. Di sisi lain, ada pula desa yang cenderung menutup diri dari perubahan dan
terkungkung oleh birokratisme dan kapasitas politik yang lemah berhadapan dengan aktor
supra desa.
D. Simpul Wacana
Ide demokrasi komunitarian sebagai pilar self-governing community berpijak pada
pentingnya mempromosikan partisipasi warga dalam urusan publik, pemerintahan, dan
pembangunan di level komunitas. Melampaui garis batas formalitas, demokrasi semacam ini
mengutamakan pentingnya perluasan ruang publik, aktivasi peran kelompok-kelompok
sosial, forum-forum warga, dan jaringan antar kelompok. Tujuannya, tak hanya untuk
kepentingan self-help kelompok itu sendiri, namun juga sebagai instrumen awareness
warga, civic engagement, dan partisipasi dalam urusan pemerintahan di level komunitas
(IRE, 2002). Dari hasil temuan riset di atas, nampak adanya derajat partisipasi publik yang
dipotret dari sejauh mana kepemimpinan di desa membuka peluang bagi demokrasi di aras
lokal. Dalam konteks itu, pengaruh tipe kepemimpinan ini memberikan warna yang beragam
dan tentu saja saling berkelindan dengan dinamika representasi dan inisiatif warga.
Desa dengan tradisi kepemimpinan parokial yang kuat cenderung mendominasi formasi
kepentingan publik dan menutup berkembangnya isu-isu publik yang lebih inklusif di desa.
Ini juga diperparah oleh terbatasnya ruang-ruang publik di desa dan tidak berkembangnya
forum-forum alternatif kewargaan. Namun di sisi lain, arah transformasi kepemimpinan
yang akomodatif bagi formasi kepentingan publik sekaligus mendorong perluasan ruang-
ruang publik juga menunjukkan optimisme meski seringkali diwarnai oleh corak
kepemimpinan yang lemah. Sungguh pun demikian, variabel lain seperti inisiatif warga yang
kuat dan bekerjanya institusi representasi politik mampu menutupi kelemahan dari sisi
kepemimpinan politik. Corak kepemimpinan yang berlangsung di masing-masing desa tak
berdiri dalam ruang hampa. Ada kepemimpinan desa yang lahir sebagai imbas dari jenuhnya
masyarakat pada monopoli kekuasaan desa oleh trah balung lurah ataupun penggunaan
instrumen kekayaan (resources) semata dalam memenangkan politik elektoral di desa.
Meski tak ideal dan cenderung bercorak soft governance, corak kepemimpinan semacam itu
memungkinkan ide-ide perubahan dan partisipasi publik yang lebih luas dapat berlangsung.
Bab 3
Memperkuat Representasi Warga

A. Representasi Partisipatoris-Deliberatif
Konflik agraria antara perusahaan dan warga Desa Ringinrejo sudah terjadi sejak tahun 90-
an. Saat itu lahan milik perusahaan semen PT. Semen Dwima Agung yang tidak digunakan,
diolah kembali oleh warga. Sejak mengolah lahan tersebut, taraf penghidupan warga
meningkat. Kondisi tersebut mendorong para petani penggarap melakukan klaim atas lahan
tidur milik anak perusahaan korporasi global Holcim itu. Untuk memperjuangkan klaim
lahan perkebunan tersebut, warga membentuk paguyuban petani. Dalam melakukan
advokasi, paguyuban petani juga tidak berjalan sendiri. Mereka membangun jejaring
advokasi dengan organisasi non pemerintah seperti ELSAM dan Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA). Bersama dengan lembaga non pemerintah tersebut, paguyuban melakukan
upaya klaim lahan baik ke Pemda Blitar, Kementerian Kehutanan, bersidang di Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN), hingga bernegosiasi dengan perusahaan semen Holcim di Swiss.

Cerita di Ringinrejo tersebut memantik pertanyaan kritis, mengapa kehadiran lembaga-


lembaga representasi (perwakilan) formal belum dapat memberikan makna berarti bagi
perjuangan aspirasi warga di tingkat lokal? Padahal lembaga-lembaga tersebut telah
dibekali kewenangan yang kuat, termasuk menjadi saluran perwakilan warga dalam
memperjuangkan isu-isu publik sebagai keputusan politik di level desa. Terbitnya UU Desa
sesungguhnya menyediakan peluang bagi Badan Permusyawaratan Desa (BPD), sebagai
agen representasi formal desa untuk meningkatkan peran strategisnya.1 UU Desa
sebenarnya lahir dalam semangat reformasi, yakni sebagai koreksi atas sistem korporatis
warisan pemerintahan Orde Baru. UU ini mencoba menciptakan terobosan baru,
diantaranya menekankan agar kekuasaan di desa dikelola dengan cara-cara demokratik
(Arie Sujito, 2016).2

Kasus tersebut sesungguhnya merefleksikan gambaran tentang tantangan lembaga


representasi formal desa yaitu BPD paska terbitnya UU Desa. Meski struktur peluang yang
disediakan oleh UU Desa cukup memadai, namun tak serta merta mendorong BPD dapat
menghadirkan ruang-ruang deliberasi di tingkat desa. Tidak mengherankan apabila warga
mencari saluran representasi alternatif yang bersifat informal. Munculnya representasi

1
Sebagai parlemen desa, BPD memiliki posisi strategis karena tidak lain sebagai lembaga representasi politik
formal, dengan tugas legislasi yakni legislasi (membuat peraturan desa), budgeting (turut menyusun anggaran
desa) dan kontrol atas pemerintah desa.
2
Dalam Undang-Undang tersebut, substansi demokrasi deliberatif dikenalkan, yang tercermin dari hadirnya
klausul pengaturan tentang BPD dan Musyawarah Desa (Musdes).
informal ini terjadi karena agenda-agenda publik yang dirumuskan warga belum
sepenuhnya mendapat perhatian pemerintah desa maupun BPD sebagai lembaga
perwakilan formal. Pada titik inilah representasi informal perlu mendapatkan ruang sebagai
alternatif kanal bagi warga dalam mendorong isu-isu publik di level desa. Kondisi ini
memunculkan kebutuhan mencangkokkan elemen partisipatoris dari representasi informal
ke dalam format representasi formal yang bercorak deliberatif. Ringkasnya, tantangan
tersebut hendak dijawab dengan menghadirkan perspektif partisipatoris-deliberatif dalam
menguji praktik-praktik representasi di tingkat desa.

Oleh karena itu, bab ini hendak melihat format representasi semacam apa yang terbentuk
dari dialektika antara yang formal dan informal. BPD sebagai lembaga representasi formal
maupun ruang-ruang representasi informal yang berciri partisipatoris, hendak diuji melalui
praktik-praktik representasi desa: seberapa jauh keduanya mampu menghadirkan ruang-
ruang deliberasi bagi warga. Berpijak pada kerangka kerja kajian ini, pengujian aspek
representasi tersebut difokuskan pada tiga arena: pembentukan kepentingan publik,
perluasan ruang publik, dan inklusivitas (keterbukaan) terhadap aspirasi-aspirasi
menyangkut urusan publik. Dengan menghadirkan kerangka partisipatoris-deliberatif, kita
bisa mendapatkan potret bekerjanya praktik-praktik demokrasi lokal ala warga desa secara
utuh.

Kasus Desa Ringinrejo, merupakan satu dari sekian ragam problem representasi yang
diangkat dalam bab ini. Berangkat dari narasi di 10 desa, menunjukkan sejumlah variasi
temuan penting tentang aspek representasi dalam kajian ini. Sebagian besar desa
menunjukkan praktik-praktik representasi formal oleh BPD masih bekerja dalam logika
normatif. Dengan nalar demikian, efektifitas kinerja represetasi tentu saja tidak optimal
dalam pembentukan kepentingan publik. Begitu pula, ada desa yang menjalankan praktik
representasi formal secara inovatif yang mampu melampaui logika normatif dengan
memanfaatkan ruang-ruang informal di desa, sehingga fungsi representasi dapat bekerja
maksimal. Sementara itu, di kutub berseberangan, terdapat pula lembaga-lembaga
representasi formal yang bekerja sangat minimal, sehingga justru membuka ruang bagi
menguatnya kinerja reprsentasi informal. Keseluruhan variasi tersebut, tentunya menjadi
kekayaan pembelajaran yang disuguhkan dalam bab ini.

B. BPD dan Musyawarah Desa: Rute Formal Deliberasi Demokrasi Desa


UU Desa secara normatif mendefinisikan BPD sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi
pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan
keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.3 Dalam perkembangannya,

3
BPD sebagai lembaga representasi di desa secara nomenklatur (Badan Permusyawaratan Desa) memang baru
dikenal pada tahun 2004 pasca berlakunya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebelum
berlakunya UU tersebut, lembaga perwakilan desa adalah Badan Perwakilan Desa mengacu pada UU Nomor 22
Tahun 1999. Meski nomenklaturnya berubah sebetulnya tugas kedua lembaga tersebut hampir sama, hanya
lembaga perwakilan desa ini mengalami dinamika tersendiri dalam menjalankan fungsi
perwakilan. Temuan dalam riset ini menunjukkan, derajat representasi formal BPD ternyata
ditentukan oleh: pertama, pola relasi BPD dengan pemerintah desa dan warga. Pola relasi
ditandai dengan seberapa jauh BPD terlibat (atau dilibatkan) dalam menciptakan ruang-
ruang deliberasi. Pola relasi BPD dengan pemerintah desa sangat dipengaruhi oleh setting
sosial-budaya setempat dan derajat ketergantungan BPD terhadap pemerintah desa.4

Kedua, kapasitas politik dan teknis-manajerial BPD. Kapasitas politik ditandai dengan
kemampuan BPD dalam mengelola ragam aspirasi warga yang berkembang terutama
melalui saluran komunikasi formal, dan saluran informal maupun menginisiasi inovasi
tertentu. Kapasitas politik BPD ini dalam sejumlah kasus juga bertautan erat dengan pola
relasi BPD dengan pemerintah desa dimana posisi politik BPD dihadapan pemerintah desa.
Sementara kapasitas teknis-manajerial BPD ditandai dengan kapasitas
menginstrumentasikan ragam aspirasi tersebut menjadi kebijakan publik di tingkat desa.
Kapasitas ini ditentukan oleh tingkat pemahaman dan pengetahuan anggota BPD.

Pola Relasi Representasi Formal


Dalam kajian ini, narasi tentang relasi BPD dengan pemerintah desa dan warga
menunjukkan pola variasi yang tinggi. Desa Sidorejo, Cangkudu, dan Ngadisari menunjukkan
relasi BPD dalam posisi inferior dihadapan pemerintah desa. Di Sidorejo misalnya, kelahiran
desa inklusi di Sidorejo bukan merupakan aspirasi yang diperjuangkan oleh BPD sebagai
lembaga perwakilan rakyat desa. Melainkan, di dorong oleh satu gerakan masyarakat sipil
dalam hal ini komunitas difabel yang secara langsung bernegosiasi melakukan kerjasama
dengan pemerintah desa. Dalam kerangka kerja sebagai lembaga perwakilan, BPD Sidorejo
masih bekerja dalam nalar normatifnya. Setiap bulan BPD mengadakan rapat-rapat internal
untuk melihat dan menilai kinerja pemerintah desa. Secara rutin pula BPD melakukan
kegiatan penjaringan aspirasi di masing-masing ‘kring’ atau ‘daerah pemilihan.

Sesungguhnya penjaringan aspirasi tersebut merupakan langkah maju, dimana anggota BPD
setempat pro-aktif turun ke bawah. Hanya saja, pola komunikasi berbasis kewilayahan yang
dilakukan BPD pada akhirnya gagal menangkap aspirasi sektoral warga. Kepentingan wilayah
kerap kali mengabaikan kepentingan misalnya, kelompok tani, para pengrajin, dan peternak
yang sebenarnya juga membutuhkan perhatian. Bagi sebagian warga, hal tersebut justru
persoalan fundamental yang mendesak untuk dikerjakan karena berdampak langsung pada

saja ketika berstatus sebagai “Perwakilan” Badan Perwakilan Desa memiliki wewenang untuk mengusulkan
pemberhentian kepala desa kepada bupati. Sedangkan Badan Permusyawaratan Desa tidak memiliki
kewenangan. Banyak yang berpandangan bahwa nomenklatur “permusyawaratan” telah mengkebiri
wewenang BPD karena tidak lagi memiliki hak untuk mengajukan pemberhentian kepala desa. namun, dengan
UU Desa sebetulnya BPD memiliki peran yang lebih luas dalam menjalankan representasi warga dan
pengawasan kinerja kepala desa. BPD berhak melakukan pengawasan atas kinerja kepala desa, termasuk
mempertanyakan kebijakan kepala desa apabila tidak sesuai dengan aspirasi warga.
4
Setting berupa lanskap sosial berwatak komunitarian (guyub, gotong-royong kebersamaan), struktur politik
bercorak kekerabatan, fenomena orang kuat (strongman), dan sebagainya.
kesejahteraan warga. Sayangnya, persoalan tersebut belum ditangkap oleh BPD sebagai
persoalan serta potensi yang perlu dikelola. Pada gilirannya muncul kecenderungan BPD
hanya mengikuti agenda pemerintah desa yang cenderung mendorong program desa
inklusi.
Di sisi lain, masyarakat desa sendiri belum memfungsikan BPD sebagai lembaga perwakilan
yang secara efektif bisa menjadi mitra kerja pemerintah desa. Warga Sidorejo melihat
adanya ruang dialog yang semakin terbuka dan langsung antara pemerintah desa dengan
warganya sehingga memunculkan kecenderungan BPD “dilewatkan” oleh masyarakat.
Melalui komunikasi secara langsung dalam ruang-ruang demokrasi yang tersedia di desa,
aspirasi yang ‘sektoral’ biasanya kerap disuarakan. Namun karena dianggap ‘tidak jelas’ –
karena tidak mewakili wilayah--, aspirasi yang disampaikan tersebut kerap kali diabaikan.

Situasi serupa juga terdapat di Desa Cangkudu, yang mana posisi BPD dihadapan
Pemerintah Desa terkesan inferior dimata warga. Kesan tersebut berangkat dari fakta
bahwa jejak kinerja perwakilan BPD belum dirasakan warga. BPD Cangkudu hanya bekerja
dengan nalar normatif (memaknai aturan secara tekstual) tanpa melakukan pemaknaan
mendalam atas tugas dan fungsinya. Nalar normatif tersebut tampak dari peran yang
dilakukan BPD Cangkudu hanya menyelenggarakan forum-forum formal seperti Musdes dan
Musrenbangdes, tanpa melibatkan banyak warga. Padahal, warga terbiasa menyampaikan
aspirasinya melalui perwakilan RT, RW atau tokoh masyarakat untuk disampaikan dalam
forum-forum tersebut. Aspirasi warga tidak secara langsung dapat diserap dalam forum-
forum resmi seperti musrenbangdes ataupun musyawarah desa. Situasi tersebut rentan
terhadap bias elit manakala keputusan publik diambil dalam forum-forum resmi. Tak
mengherankan jika warga Cangkudu memiliki persepsi bahwa BPD adalah bagian dari
pemerintah desa.

Situasi yang lebih ekstrim terjadi di Desa Ngadisari. Representasi formal BPD tak cukup kuat
mengimbangi kapasitas pemerintah desa saat dipimpin oleh Supoyo dan kini oleh istrinya
yang juga ditopang oleh peran politik Supoyo. Dalam hal ini Supoyo lebih mengandalkan
representasi langsung dan cenderung memangkas peran representasi inistitusi ini. Kondisi
tersebut tergambar dengan baik dengan lahirnya Perdes No. 2 Tahun 2015 tentang Tata
Cara Mutasi Tanah Desa Ngadisari. BPD tak memiliki banyak peran selain menjalankan
fungsi pengawasan atas implementasi peraturan tersebut.5 Selain itu secara sosiologis,
masyarakat memiliki saluran representasi langsung yang bisa jadi jauh lebih efektif, seperti
rembug desa dan Safari Wulan Kapitu. Representasi formal BPD bisa jadi tak relevan bagi
masyarakat Ngadisari yang memiliki tradisi demokrasi langsung yang lebih kuat. Dalam

5
BPD bisa jadi hanya sebagai ‘tukang stempel’ atas rancangan peraturan yang diajukan pemerintah desa
tersebut. Dalam praktek kepemimpinannya, Supoyo yang juga mantan kepala desa, lebih banyak turun
langsung ke masyarakat. Dia juga cenderung memotong peran BPD dengan asumsi bahwa dirinya mampu
menyerap aspirasi warganya secara langsung tanpa melalui BPD. Ketimbang mendengarkan aspirasi yang
disampaikan BPD, dia lebih memilih untuk turun langsung ke masyarakat.
konteks itu, Desa Ngadisari memiliki cara sendiri dalam menjalankan demokrasi desa.
Kondisi tersebut membentuk kinerja representasi formal BPD Ngadisari sangat minimal
dalam membuka ruang-ruang deliberasi.

Kondisi yang berlawanan ditunjukkan dengan kasus Desa Umbulharjo dan Panggungharjo,
dimana BPD dapat membangun kesetaraan peran dengan pemerintah desa. BPD di kedua
desa tersebut berhasil membangun engagement (pelibatan) dengan pemerintah desa dalam
mengelola urusan publik desa. Di Desa Umbulharjo, BPD berhasil memainkan fungsi kontrol
dalam pemerintahan dan pembangunan di desa. Hal itu ditampakkan dengan kasus
ketegangan antara BPD dan Kepala Desa, saat BPD menagih RPJMDesa yang tak kunjung
rampung disusun kepala desa terpilih. Konflik tersebut tidak berlarut dan justru menjadi
momentum menata kembali relasi kelembagaan antara BPD dan Pemerintah Desa. Paska
konflik, hubungan BPD dan Kepala Desa jauh lebih harmonis dan produktif. Hal ini menjadi
modal penting bagi Umbulharjo dalam menyelesaikan isu-isu publik yang berkembang di
masyarakat.6 Salah satu isu publik yang paling menonjol di desa setempat adalah
pengelolaan air bersih. Oleh karena itu, berdasarkan usulan warga, BPD bersama
pemerintah desa menginisiasi kebijakan pembentukan BUMDesa yang diorientasikan
mengelola kebutuhan air bersih bagi warga. Untuk keperluan itu maka dilakukan musdes
untuk mendirikan BUMDesa. Musdes tentang pendirian BUMDesa ini merupakan musdes
pertama yang diselenggarakan oleh BPD.7 Musdes ini menjadi tonggak penting
pelembagaan demokrasi di desa karena merupakan praktek demokrasi pertama di Desa
Umbulharjo yang melibatkan partisipasi masyarakat.

Demikian pula di Desa Panggungharjo, relasi BPD dan Pemerintah Desa berjalan secara
sinergis. Sinergi antara BPD dan pemerintah desa dibangun dari rekatan emosi dan sosial
masyarakat Desa Panggungharjo. Forum-forum deliberasi desa, mulai di tingkatan RT, Dusun
dan Musyawarah Warga di tingkat desa menjadi medium mempertemukan gagasan dan
menjadi arena membangun konsensus antara warga dengan pemerintah desa dan BPD.
Produk dari sinergi BPD dan Pemerintah Desa tercermin dalam APBDes yang berorientasi
pada dimensi pelayanan dan perlindungan sosial warga desa untuk mencapai visi desa
mandiri, sebagai desa sehat, desa pintar dan desa budaya. Pada titik ini, BPD Panggungharjo
telah memanfaatkan secara maksimal ruang deliberasi yang menjalankan fungsi
representasi. Bahkan, jejak representasi BPD Panggungharjo dapat dilihat dari munculnya
peraturan desa inisiatif BPD.

Dalam konteks yang sedikit berbeda, relasi antara pemerintah desa dan BPD Punjulharjo
memang melibatkan BPD. Namun pelibatan BPD hanya sebatas menjalankan fungsi secara
6
Banyak isu publik yang berkembang di Desa Umbulharjo. Isu-isu publik tersebut meliputi pengelolaan air baik
air bersih, penambangan pasir, hunian tetap untuk warga korban erupsi Merapi, desa tanggap bencana, dan
pengelolaan kegiatan wisata.
7
Kegiatan musdes tersebut dihadiri kades, perangkat desa, BPD, dan seluruh kadus, serta perwakilan
perempuan, pemuda dan tokoh masyarakat.
normatif seperti membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama kepala
desa, serta menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Apalagi posisi BPD
terlihat lemah dengan terbitnya Peraturan Bupati Rembang yang mengatur bahwa
pemerintah desa tetap bisa melanjutkan program-programnya, sekalipun BPD tidak
menyetujui rancangan program yang diajukan oleh pemerintah desa. Hal ini bermakna BPD
tidak berwewenang untuk menyetop program yang sudah dibuat Pemerintah Desa.

Dengan posisi politik demikian, fungsi representasi formal oleh BPD Punjulharjo juga tidak
bekerja dengan optimal. BPD Punjulharjo misalnya, tidak menyelenggarakan musdes karena
merasa tidak punya kewenangan untuk mengundang warga atau lembaga desa yang ada.
Tugas untuk menyelenggarakan musdes kemudian diberikan kepada pemerintah desa.
Meski demikian, BPD menempuh strategi penjaringan aspirasi melalui forum warga seperti
pertemuan RT dan RW oleh masing-masing anggota BPD. Akhirnya aktivitas BPD hanya
mengadakan pertemuan internal yang rutin digelar setiap bulannya. Pertemuan internal
BPD biasanya membahas isu yang muncul dan dianggap penting di masyarakat. Masalah
biasanya digali oleh anggota BPD melalui forum-forum warga. Pola representasi demikian,
pada akhirnya memang dapat menjembatani kepentingan warga terhadap pemerintah desa
yang ditandai dengan menjadikan BPD sebagai saluran aspirasi masyarakat terkait
pengelolaan Karang Jahe Beach.

Namun BPD Punjulharjo kurang berfungsi dalam melakukan pengawasan kinerja kepala
desa. Ketika terjadi kasus keuangan yang melibatkan sekretaris desa, fungsi BPD sebagai
pengawasan kinerja kepala desa sulit dilakukan. Laporan keuangan hanya bisa diakses oleh
BPD pada saat rapat pertanggungjawaban. Mandulnya fungsi BPD Punjulrejo bisa dipahami
dengan kuatnya politik kekerabatan di Punjulharjo. Hampir seluruh orang yang menempati
jabatan strategis di Desa Punjulharjo masih merupakan teman, kerabat dan tim sukses
kepala desa terpilih. Bahkan salah satu anggota BPD adalah tokoh yang dekat dengan kepala
desa sudah sejak awal diproyeksikan dan dipersiapkan untuk menjadi anggota BPD. Dalam
proses pemilihan pun kemudian diatur agar dia terpilih dengan mudah dan tidak melalui
perdebatan yang panjang.

Temuan dalam kajian ini juga menunjukkan variasi relasi BPD dengan warga desa yang mau
melibatkan BPD meski dalam nalar normatif sebagaimana di Desa Nglanggeran dan Desa
Mekarjaya. Nalar normatif tersebut dibangun dari setting sosial masyarakat setempat yang
menempatkan nilai-nilai komunitarian (gotong royong, guyub, dan kebersamaan) sebagai
dasar dalam menata kehidupan publik. Di Desa Nglanggeran, BPD dinilai kredibel, mewakili
aspirasi warga, dan memiliki kemampuan saat menanggapi isu rencana masuknya investasi
ke desa dalam kerangka pengelolaan situs gunung api purba. Kondisi tersebut ditunjukkan
dengan sikap BPD yang mendukung aspirasi warga. Sayangnya , BPD dan juga pemerintah
desa dinilai lambat merespon inisiatif warga yang tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata
(Pokdarwis) yang mendesakkan terbitnya peraturan desa tentang perlindungan aset dan
tanah warga.8

Meski demikian, di mata warga, BPD tetap dipandang sebagai pihak yang harus dirangkul
dalam pengembangan situs gunung api purba tersebut. Warga yang dimotori Pokdarwis
tetap menjadikan BPD salah satu saluran aspirasi warga, selain pemerintah desa dan tokoh
masyarakat setempat. Hal itu terlihat manakala Pokdarwis hendak mengosiasikan ide
membebaskan situs gunung api purba dari kegiatan pertanian warga. Berkat dialog yang
bersifat kekeluargaan yang melibatkan BPD, pemerintah desa dan kelompok warga, jalan
damai itu membuahkan kesepakatan.9 Pada titik ini terlihat bahwa aspirasi pengelolaan
situs gunung api purba disalurkan melalui BPD atau forum informal desa guna memenuhi
derajat inklusifitas (keterbukaan) dan bernilai publik.

Situasi serupa juga ditunjukkan di Desa Mekarjaya yang oleh warga dinilai sebagai lembaga
desa terpercaya dan mewakili warga manakala menanggapi usulan pembangunan lapangan
sepak bola.10 Bagi warga Mekarjaya, BPD dipandang sebagai aktor strategis terkait
kebijakan desa sehingga mereka menggandeng BPD untuk mendukung usulan tersebut.
Usulan tersebut diperjuangkan baik melalui lembaga-lembaga formal, seperti BPD dan
pemerintah desa dan terutama forum-forum informal warga yang saling terhubung satu
dengan lainnya. Fenomena warga menggandeng BPD dalam kasus lapangan sepak bola
menunjukkan adanya kesadaran warga tentang nilai kepublikan dan pentingnya
keterbukaan untuk melibatkan semua pihak, termasuk lembaga representasi formal seperti
BPD.

Macetnya representasi formal oleh BPD ditunjukkan dalam kasus di Desa Gulon dan Desa
Ringinrejo. Kemacetan fungsi perwakilan oleh BPD di kedua desa tersebut menunjukkan
variasi pola relasi yang berbeda. Pola relasi BPD Gulon dengan pemerintah desa cenderung
menempatkan BPD sebagai alat jejaring kekuasaan elit desa yang diwarnai dengan
kentalnya politik kekerabatan. Dalam kasus pembangunan rumah susun (rusun), ide
tersebut disalurkan secara formal melalui BPD tanpa melalui proses diskusi dengan warga.
Ide tersebut tidak melalui pengujian sebagai wacana yang diperbincangkan warga, misalnya
terkait dengan kemanfaatan atau studi kelayakan proyek tersebut. BPD Gulon hanya
8
Usulan tersebut dilatabelakangi kekhawatiran warga tentang lahan-lahan di kawasan situs gunung api purba
akan jatuh ke tangan investor, jika tidak diproteksi yang berakibat mengancam hajat hidup warga Nglanggeran.
Kesepakatan warga tersebut sudah berulangkali disampaikan dalam forum-forum yang melibatkan perwakilan
dari Pemerintah Desa dan BPD, namun belum ditindaklanjuti dengan penerbitan peraturan desa.
9
Pihak Pokdarwis sepakat mengganti atau membeli kayu-kayu yang sudah berukuran besar kepada warga
yang menanamnya. Mereka pada prinsipnya masih bisa berkebun di kawasan tersebut, tetapi tidak lagi bisa
menebang secara sembarangan kayu-kayu yang telah mereka tanam.
10
Sudah sejak lama warga masyarakat Desa Mekarjaya mengidamkan lapangan sepak bola. Sampai pada
tahun 2002 pembangunan lapangan sepak bola belum terwujud. Terlebih tanah desa ( tanah sara ) yang
luasnya hanya dua hektar harus dibagi desa Cianaga. Maka keinginan untuk membangun lapangan sepak bola
semakin sulit direalisasikan, karena tanah desa yang diharapkan untuk lapangan sepak bola berkurang. Namun
semangat warga untuk mewujudkan cita cita membangun lapangan sepak bola tetap tinggi.
menyuarakan ide kepala desa sebagai bagian dari elit berkuasa yang mendominasi
kehidupan politik di Desa Gulon secara turun temurun. Ide tersebut juga tidak banyak
disosialisasikan BPD kepada publik untuk menjaring respon balik warga terhadap rencana
tersebut. Situasi tersebut menggambarkan kualitas representasi BPD yang tidak mewakili
aspirasi warga dimana warga lebih menginginkan pemerintah desa melakukan program
bedah rumah.

Sedangkan di Desa Ringinsari, representasi formal oleh BPD benar-benar terlihat mandeg.
Dalam kasus klaim lahan perusahaan oleh warga, lembaga formal desa, baik pemerintah
desa dan BPD, sungguh tidak dapat diandalkan sebagai saluran aspirasi warga. Kendati
warga telah membuat tekanan publik, BPD cenderung menghindari resiko untuk berperan
dalam penyelesaian konflik tersebut. Padahal penyelesaian konflik lahan tersebut menjadi
gantungan hidup ratusan warga di Ringinrejo. Situasi ini mendorong warga untuk mencari
saluran representasi alternatif di luar saluran formal dengan membentuk paguyuban. Warga
juga membangun jejaring advokasi dengan lembaga-lembaga non pemerintah untuk
melakukan proses negosiasi dengan perusahaan maupun upaya hukum.

Potret Kinerja Representasi Formal: Problem Kapasitas


Kinerja representasi BPD dipengaruhi oleh kapasitas politik maupun teknis-manajerial
berupa daya dukung pengetahuan anggotanya. Senada dengan temuan dalam kajian ini,
keterbatasan kapasitas ternyata masih menghinggapi sebagian besar BPD sebagai wadah
representasi formal. Selain dipengaruhi tingkat pemahaman terhadap UU Desa, lemahnya
kapasitas BPD juga dipengaruhi oleh posisi politik BPD yang sangat bergantung pada
pemerintah desa. Kondisi ini dialami BPD Desa Cangkudu, Mekarjaya, Sidorejo, Ringinrejo,
Punjulharjo, Gulon dan Ngadisari. Sementara BPD Desa Nglanggeran dan Desa Umbulharjo,
memiliki kapasitas politik yang kuat, namun menghadapi tantangan berupa lemahnya daya
dukung kapasitas pengetahuan. Sedangkan kondisi kapasitas ideal BPD, tergambar dengan
baik oleh BPD Desa Panggungharjo yang memiliki kapasitas andal baik secara politik maupun
teknis.

Di Desa Cangkudu, kapasitas politik BPD dalam mengelola keragaman aspirasi warga
menjadi persoalan bagi berjalannya peran dan fungsi BPD. Kapasitas politik BPD belum
mampu mengimbangi kapasitas pemerintah desa. Namun demikian kapasitas pengetahuan
BPD Cangkudu terhadap peran dan fungsinya telah tumbuh. BPD Cangkudu misalnya telah
mengundang perwakilan warga untuk hadir dalam forum-forum formal seperti musrenbang
ataupun musyawarah desa yang dihadiri perangkat desa, tokoh masyarakat, perwakilan
pemuda dan tokoh agama yang diundang secara resmi oleh pihak BPD. Meski demikian,
kapasitas tersebut belum sepenuhnya efektif menjadi modal BPD dalam mengawal agenda-
agenda publik. Kondisi tersebut berakar dari, pemahaman anggota BPD terhadap fungsinya
sebagaimana dimandatkan UU Desa masih bersifat normatif.
Problem kapasitas BPD di Desa Gulon kental diwarnai ketergantungan posisi inferior BPD
terhadap pemerintah desa. Dilihat dari kualitas sumber daya manusia, BPD Gulon
sebenarnya memiliki kapasitas yang cukup memadai.11 Anggota BPD juga cukup memahami
tugas dan fungsinya. Namun dalam praktiknya, fungsi BPD yang paling bekerja hanyalah
membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa. Sedangkan fungsi representasi dan
pengawasan tidak dapat berjalan secara memadai lagi karena lemahnya kewenangan. Selain
aspek lemahnya kewenangan dalam menjalankan tugas representasi, BPD juga menghadapi
masalah berupa: Pertama, adalah persoalan anggaran. Minimnya anggaran operasional
yang dialokasikan di dalam APBDes, membuat BPD kini tak lagi mampu melakukan
pertemuan-pertemuan secara rutin, apalagi jika harus mengundang pemerintah desa
maupun warga.12 Kedua, BPD tidak memiliki penghasilan tetap (siltap), sebagaimana
diterima perangkat desa. Hal ini berdampak BPD sebagai lembaga legislatif desa tidak
diminati masyarakat.13 Tanpa penghasilan tetap yang memadai, BPD cenderung menjadi
lembaga yang dianggap sebagai “pengabdian” dan mengharapkan komitmen moral
anggotanya, di sisi lain masyarakat menuntut dedikasi dan disiplin kerja mereka.
Keseluruhan faktor tersebut membuat BPD tidak dapat mengimbangi kapasitas pemerintah
desa. Apalagi BPD Gulon bekerja dalam setting sosial dimana politik kekerabatan di Gulon
menjadikan posisi BPD sebagai alat dari elit yang berkuasa.14

Di Desa Mekarjaya, problem kapasitas BPD berakar dari proses rekrutmen yang tidak
menarik minat warga untuk berkiprah di lembaga perwakilan tersebut. Banyak kandidat
yang digadang-gadang untuk menjadi wakil warga, namun banyak pula yang menolak untuk
dicalonkan menjadi anggota BPD. Sebelas anggota terpilih BPD umumnya merasa
“terpaksa”, karena sesungguhnya tidak ada minat menjadi anggota BPD. Namun karena
telah dimusyawarahkan di tingkat dusun, mereka akhirnya bersedia menjadi anggota BPD.
Alhasil, Anggota BPD terpilih sebenarnya tidak memenuhi kriteria kelayakan anggota BPD.
Dalam kasus pembangunan lapangan sepak bola misalnya, tak satupun anggota BPD yang
menguasai pengetahuan teknis bangunan, sehingga tidak mampu mengawasi teknis
pembanguan lapangan sepak bola. Demikian kapasitas lainnya seperti menguasai

11
Terdapat lima anggota BPD yang berprofesi menjadi guru. Empat di antaranya berpendidikan sarjana (S-1).
Di desa, para guru juga dikenal sebagai tokoh masyarakat dan intelektual yang seringkali dijadikan rujukan oleh
masyarakat.
12
BPD bisa mengusulkan kenaikan anggaran dalam APBDes, namun mereka mengaku tidak mampu
memaksakan hal ini kepada pemerintah desa karena tiadanya formula anggaran yang dapat dijadikan
pegangan. Sebagai gambaran, anggaran APBDes Gulon 2015 untuk BPD selama setahun hanya Rp 9.8 juta
untuk keperluan sidang/rapat, perjalanan dinas, dan belanja barang dan jasa.
13
Hal ini berbanding terbalik dengan minat mendaftar menjadi perangkat desa (staf dan kepala dusun).
Karena kurangnya minat terhadap jabatan BPD, pengisian anggota BPD pun tidak berlangsung melalui
standard seleksi yang ketat dan ideal.
14
Dominasi “Balung Gede”, menjadi konteks politik di Gulon yang turut melemahkan kapasitas politik BPD.
Ketua BPD Gulon merupakan kerabat dekat kepala desa yang acapkali mengambil keputusan sepihak tanpa
membuka diskusi dengan anggota BPD yang lain.
manajemen keuangan sehingga tidak bisa memberi umpan balik terkait laporan keuangan
desa.

Sebagaimana dengan Desa Gulon, BPD Punjulharjo juga menghadapi masalah serupa berupa
ketergantungan terhadap pemerintah desa. Sebagai ilustrasi BPD Punjulharjo hanya
mengadakan rapat-rapat internal tanpa mengundang atau melibatkan unsur lembaga desa
serta tidak mengundang masyarakat karena terkendala anggaran. Dalam hal anggaran, BPD
Punjulharjo tidak diberi kewenangan untuk mengelola anggaran tersendiri. Biasanya jika
ingin membiayai rapat internal, BPD mengajukan anggaran kepada bagian keuangan desa
dahulu untuk dicairkan. Kondisi ini menandai tingkat ketergantungan BPD yang tinggi
terhadap pemerintah desa. Selain problem daya dukung anggaran, kapasitas pengetahuan
BPD terhadap tugas dan fungsinya juga terlihat lemah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
pemahaman bahwa wewenang untuk menyelenggarakan musdes sepenuhnya menjadi
otoritas pemerintah desa.

Selain kapasitas politik yang kurang memadai, lemahnya kapasitas pengetahuan juga dialami
oleh BPD Ringinrejo, Ngadisari, dan Mekarjaya. Pemahaman anggota BPD Ringinrejo akan
UU Desa masih sangat terbatas, bahkan mereka belum tahu tentang UU Desa beserta
tanggungjawab baru BPD menurut UU Desa, termasuk fungsi BPD dalam menyelenggarakan
musyawarah desa. Praktis selama dua tahun pelaksanaan UU Desa belum pernah
terselenggara musyawarah desa di Desa Ringinrejo. BPD tidak terlalu aktif dan hanya
mengagendakan pertemuan sekali dalam satu bulan yang pada praktiknya belum tentu rutin
terlaksana. Salah satu sebab minimnya kiprah BPD, karena kesibukan ketua BPD sehingga
sulit mengalokasikan waktu untuk pertemuan. Hal serupa juga dialami oleh BPD Ngadisari.
Peran BPD yang semakin penting sejak UU Desa tak banyak berubah di Ngadisari. Selain
kapasitas politik lemah karena dominasi orang kuat, BPD juga lemah dari sisi kapasitas
pengetahuan. Kewenangan BPD untuk menyelenggarakan musyawarah desa misalnya tak
diketahui oleh BPD. Menurut Ketua BPD, setiap ada rapat-rapat atau pertemuan desa BPD
selalu diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat. BPD belum memahami bahwa
lembaga representasi ini juga dapat menyelenggarakan musyawarah desa.

Berbeda dengan ketujuh desa yang ada, BPD Nglanggeran dan BPD Umbulharjo memiliki
kapasitas politik cukup memadai, namun kurang ditopang dengan kapasitas teknis. BPD
Desa Nglanggeran misalnya, saat didesak Pokdarwis untuk menerbitkan peraturan desa
tentang perlindungan aset warga dan desa dalam konteks pengembangan situs gunung api
purba tak dapat memenuhi aspirasi tersebut. Baik pihak desa maupun BPD mengakui bahwa
mereka masih menghadapi kendala kapasitas berupa keahlian khusus dibidang legal
drafting(merancang peraturan sesuai dengan kaidah-kaidah hukum) peraturan desa. Selama
ini, mereka baru dapat membuat peraturan desa rutin seperti seperti perdes tentang
RPJMDesa, RKPDesa, dan APBDesa karena bisa meniru rancangan peraturan desa milik desa
lain. Disamping itu memang, mereka belum banyak mendapatkan pelatihan dan sosialisasi
dari Supra-Desa ataupun pihak luar perihal regulasi baru terkait implementasi UU Desa.

Sementara, kapasitas politik dalam mengelola aspirasi warga ditunjukkan oleh BPD
Umbulharjo. Selain menjalankan fungsi BPD secara substantif, baik fungsi legislasi (membuat
peraturan), representasi dan pengawasan, BPD juga melakukan inovasi dalam menjaring
aspirasi warga. Dalam melakukan proses penjaringan ide dan aspirasi warga, anggota BPD
Umbulharjo memanfaatkan forum-forum informal seperti rapat-rapat RT yang diadakan
oleh masing-masing dusun. Bahkan ketua BPD Umbulharjo menyediakan buku aspirasi yang
diedarkan keliling di seluruh dusun. Masyarakat dapat menuliskan keluhan, usulan, dan
gagasannya terkait desa pada buku tersebut. Demikian pula, setiap keputusan BPD
disampaikan kembali kepada masyarakat melalui forum-forum tersebut. Untuk mendorong
transparansi internal, BPD setempat mengupayakan seluruh anggotanya mengetahui
program-program BPD maupun informasi lainnya pada saat rapat-rapat koordinasi yang
diadakan setiap bulannya. Selain itu BPD juga mengikuti rapat koordinasi yang
diselenggarakan oleh pemerintah desa. Pada kesempatan itulah mereka saling berbagi
informasi baik mengenai program maupun permasalahan yang sedang dihadapi oleh
masyarakat. Sayangnya, kapasitas politik tersebut kurang ditopang dengan kapasitas teknis.
Dalam hal penganggaran desa misalnya, BPD masih sekedar menyetejui rencana
penganggaran yang telah dibuat. BPD juga belum dilibatkan pada perencanaan teknis
program dan perencanaan peraturan desa. Situasi ini berakar dari lemahnya kapasitas teknis
BPD dalam rangka melakukan pengawasan pada aspek-aspek teknis penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan desa.

Gambaran ideal kapasitas representasi BPD ditunjukkan oleh BPD Panggungharjo yang
secara sinergis berkolaborasi dengan pemerintah desa serta warga. Kapasitas representasi
BPD Panggungharjo tergambar dengan baik dengan adanya produk-produk peraturan desa
inisiatif BPD. Peraturan desa inisiatif BPD Panggungharjo ini menandai sensitifitas BPD
terhadap isu-isu publik yang berkembang di kalangan warga. Dalam hal ini, BPD
Panggungharjo berhasil menangkap dengan baik aspirasi warga dan selanjutnya
mengolahnya menjadi agenda kebijakan desa setelah diuji melalui forum-forum deliberasi
baik formal dan informal.

Tidak semua anggota BPD, terlebih warga masyarakat desa, memahami UU Desa. Di
beberapa desa dimana kajian ini dilangsungkan, banyak anggota BPD tidak memiliki
pemahaman mengenai UU Desa, termasuk fungsi dan tanggungjawab BPD sesuai UU Desa.
Selain kurang berfungsinya BPD karena kapasitas terbatas, bahkan mereka tidak proaktif,
masyarakatpun merasa saluran aspirasi tidak harus ke BPD. Fungsi representasi juga bisa
dilakukan pemerintah desa, tokoh masyarakat, dan perangkat dusun seperti ketua RT, RW,
maupun kepala dusun. Warga juga merujuk pertemuan-pertemuan warga di tingkat RT
maupun dusun yang mereka hadiri. Pemerintah desa pun seringkali mengamini proses ini
sebagai proses representasi yang terjadi di desa untuk kemudian disampaikan dalam
pertemuan-pertemuan desa maupun Musrenbang atau Musdes. Namun kembali lagi pada
pertanyaan inti bagaimana dengan fungsi representasi formal yang dijalankan BPD?
Seberapa berkualitas representasi yang dihasilkan, tanpa ada pihak yang melakukan
pengawasan? Bagaimana aspirasi warga sepenuhnya mampu dikawal hingga mencapai
sirkuit kebijakan? Pada titik ini, peran BPD sebagai aktor representasi formal perlu ditopang
dengan kapasitas yang cukup baik secara politik maupun pengetahuan teknis-manajerial.

C. Rute Representasi Informal: Suplemen Demokrasi Deliberatif


Aspirasi masyarakat yang selama ini disalurkan melalui BPD maupun pemerintah desa
acapkali tidak terkawal secara memadai. Tak mengherankan, eksistensi lembaga-lembaga
representasi formal desa tengah digugat. Bahkan apatisme mulai menghinggapi warga yang
dialamatkan pada lembaga formal tersebut. Telah menjadi pemandangan umum,
masyarakat mengungkapkan kekecewaan manakala usulan-usulan mereka lenyap dalam
daftar priotitas pembangunan desa. Mereka menilai BPD tidak benar-benar mendengarkan
usulan mereka. Aspirasi warga masih belum mampu dapat “disuarakan (voicing) dengan
baik oleh agen representasi (anggota BPD) apalagi diperjuangkan. Akibatnya terbentuk
perasaan umum dikalangan warga bahwa mereka merasa tidak penting membangun
hubungan dengan lembaga formal desa karena dinilai tidak menghadirkan manfaat dan
kebermaknaan.

Macetnya lembaga representasi formal pada akhirnya memaksa warga untuk


menyampaikan gagasan dan aspirasinya dalam wadah lain yang tersedia di desa. Pada titik
inilah, warga berupaya mencari kanal alternatif untuk memastikan bahwa agenda-agenda
publik sungguh mendapatkan ruangnya dalam arena pengambilan kebijakan. Kanal-kanal
alternatif ini dapat berupa forum-forum warga (ritual publik, tradisi), kelompok-kelompok
sosial dalam masyarakat desa (baik kelompok kultural, keagamaan, sektoral, maupun
kelompok berbasis isu seperti kelompok perempuan, penyandang disabilitas, pemuda, dan
sebagainya), organisasi sosial seperti LSM, hingga figur-figur kuat di desa, --dikenal sebagai
tokoh masyarakat,-- yang acapkali menjadi tumpuan warga.

Ragam kanal alternatif inilah yang sesungguhnya memiliki kontribusi besar dalam
menghidupkan dan merawat ruang-ruang deliberasi desa. Ditengah tersendatnya rute
representasi formal oleh BPD, kanal informal ini justru mampu menembus kemacetan
menuju ruang-ruang deliberasi desa. Karakter informal itulah justru memuat keunggulan
tersendiri yakni luwes dan mampu membangun intimasi (kehangatan) antara warga dengan
pemimpinnya sehingga mampu melampaui sekat-sekat sosial yang ada. Melalui mediasi
tokoh, kelompok sosial,forum warga, hingga organisasi masyarakat, gagasan, aspirasi, kritik
dan usulan memiliki peluang untuk lebih didengar oleh pengambil kebijakan. Kanal alternatif
ini merupakan wujud representasi informal.
Apalagi, bagi orang desa, tradisi menyampaikan pendapat lebih banyak dilakukan secara
informal. Forum-forum warga yang berakar dari lokalitas tradisi acapkali menjadi arena
informal yang efektif bagi warga dalam mencurahkan gagasan, menyampaikan aspirasi,
bahkan menjadi media menyampaikan kritik. Di tingkat desa, representasi informal acapkali
bekerja secara kritis mengangkat isu-isu yang lekat dengan tema kehidupan sehari-hari
warga desa seperti kemiskinan, perjuangan agraria, hak kelompok rentan dan kaum marjinal
hingga sumber penghidupan alternatif warga. Oleh karena itu, muncul kebutuhan untuk
merekognisi (mengakui) keberadaan lembaga-lembaga lokal yang sejatinya memiliki akar
tradisi yang menyejarah sebagai representasi alternatif guna memperkuat dan menambah
daya peran dan fungsi BPD.

Corak Representasi Informal


Sejalan dengan pandangan tersebut, temuan umum dalam kajian ini juga menguatkan
pendapat tersebut. Kajian ini menemukan representasi informal justru menjadi tumpuan
warga manakala terjadi kemacetan komunikasi antara pemerintah desa dengan warganya.
Namun demikian, selain dapat dibaca sebagai peluang, representasi informal juga
menemukan tantangannya sekaligus batas-batasnya. Tantangan tersebut berupa lembaga
representasi informal berwatak parokial yang belum mampu menembus sekat-sekat sosial
hingga lemahnya kapasitas membangun aksi kolaborasi, engagement (pelibatan), dan
linkage (tautan) yang kuat dengan seluruh pemangku kepentingan desa. Diantara peluang
dan tantangan itulah, variasi corak representasi informal menjadi temuan dalam kajian ini.

Corak representasi informal berwatak parokial misalnya, ditemukan di Gulon. Melalui


forum-forum kelompok keagamaan seperti tahlilan atau yasinan menjadi salah satu ruang
untuk membahas permasalahan warga maupun dusun, serta kegiatan-kegiatan desa.
Namun, peran lembaga-lembaga lokal ini dalam fungsi representasi di tingkat desa juga
belum dapat diandalkan dan berjalan secara maksimal. Di Gulon, terdapat berbagai
organisasi sosial masyarakat seperti Muslimat NU, GP Ansor, PKK, kelompok tani, koperasi
dan lain sebagainya. Namun, kelompok-kelompok ini berjalan sendiri-sendiri dengan isu
atau concern masing-masing, dan belum ada upaya membangun gerakan bersama.
Muslimat NU lebih banyak bicara soal “tabungan surga”. PKK lebih banyak mengurus arisan
dan kegiatan gotong royong bersih-bersih desa. Tidak mengherankan, karena memang PKK
lahir di masa Orde Baru, satu-satunya organisasi kaum perempuan lintas agama dan sosial
ini juga menghindari percakapan politis. Satu-satunya organisasi di desa yang sudah mulai
merespons isu-isu struktural dan politis, semacam transparansi, hanyalah GP Ansor. Namun,
hal itu pun masih berlangsung secara sporadis dan temporer.

Di luar forum, masyarakat juga menyampaikan aspirasi mereka langsung kepada tokoh-
tokoh masyarakat di dusun maunpun di desa. Di Gulon salah satunya, masyarakat
menyalurkan aspirasinya lewat tokoh agama dan tokoh masyarakat, misalnya tokoh yang
tergolong kharismatik adalah KH. Afifuddin (tokoh agama), Soetrisno (tokoh masyarakat),
dan Nurrohman (mantan anggota DPRD Magelang). Namun, keberadaan tokoh-tokoh
masyarakat ini belum mampu menjalankan fungsi representasi alternatif karena sebagian
dari mereka terlibat dalam politik partisan di desa, juga karena faktor keengganan tertentu
tokoh-tokoh tersebut yang tidak ingin mencampuri terlalu jauh domain kerja kepala desa
Sedikit berbeda dengan Desa Gulon, meski keluar dari sekat-sekat sosial, representasi
informal oleh kelompok keagamaan di Ringinrejo belum mampu mendorong terbukanya
ruang deliberasi. Memang dalam pertemuan yasinan, tidak hanya mendiskusikan tema
keagamaan tetapi juga membahas berbagai hal tekait desa termasuk agenda dusun maupun
desa terdekat. Namun, sayangnya bentuk komunikasi yang terjadi masih lebih banyak
berwujud sosialisasi satu arah dari pemerintah desa dibanding ruang berpendapat dan
menyampaikan gagasan yang benar-benar deliberatif. Meski demikian, kanal alternatif di
Ringinrejo justru ditemukan pada forum-forum warga di tingkat RT dan kelompok sektoral
yaitu kelompok tani. Pertemuan RT menjadi ruang mendiskusikan kebijakan yang paling
menjangkau masyarakat terbawah di Desa Ringinrejo. Dalam pertemuan RT tersebut warga
bebas menyampaikan apa keluhan dan asprasinya terkait pembangunan desa tanpa batasan
status sosial. Aspirasi yang terkumpul kemudian dibawa ke level desa oleh ketua RT untuk
selanjutnya diusung ke level desa. Selain itu, kelompok tani di Ringinharjo menjadi kanal
informal yang efektif dalam perjuangan klaim lahan perusahaan yang dipergunakan untuk
lahan pertanian warga.

Corak perwakilan informal yang berbeda terjadi di Punjulharjo dimana terjadi relasi
lembaga formal dan lembaga informal desa yang dihubungkan dengan praktik rangkap
jabatan oleh pemerintah desa.15 Sumber daya manusia di desa Punjulharjo yang terbatas,
membuat perangkat desa merangkap menjadi pengurus dalam beberapa lembaga
kemasyarakatan informal. Alasan mereka ikut dalam beberapa organisasi, karena aspirasi
warga pada umumnya bisa diakomodasi melalui beberapa kelembagaan desa dimana
aspirasi lebih efektif penyampaiannya jika melalui saluran informal. Dapat dikatakan bahwa
medan aksi masyarakat desa Punjulharjo cukup efektif karena banyak saluran yang bisa
digunakan untuk menyampaikan aspirasi. Apalagi Kades juga tidak sulit untuk ditemui.
Meski demikian lembaga-lembaga informal ini belum sepenuhnya mampu mewadahi
kelompok-kelompok rentan.

Ada pula desa dengan corak representasi informal yang lekat dengan ciri komunitarian
seperti di Desa Ngadisari dan Mekarjaya. Di Desa Ngadisari, komunitarianisme representasi
informal kental dengan pranata adat Tengger. Pemerintah desa memiliki inovasi kultural
yang dikenal sebagai Safari Wulan Kapitu dan Rembug Desa. Safari Wulan Kapitu menjadi
ajang dalam proses perencanaan desa. Dalam kegiatan ini, kepala desa beserta
perangkatnya berkeliling ke 21 RT pada malam hari di bulan ketujuh dalam penanggalan

15
Di Punjulharjo terdapat lembaga kemasyarakatan seperti kelompok gotong royong, LPMD/LPMK, Karang
Taruna, kelompok tani/nelayan, kelompok keagamaan, dan organisasi perempuan, BUMDes, BP KJB dan BP
SPAMS.
Tengger.16 Forum tersebut melibatkan hampir semua warga masyarakat, termasuk para
perangkat desa. Telah menjadi tradisi bahwa ritual publik dan ritual domestik menyerap
tenaga dan sumberdaya yang besar di desa, sehingga tidak mengherankan melibatkan
seluruh warga. Dalam forum ini pula, masyarakat baik laki-laki dan perempuan
menyampaikan usulan-usulan program yang akan dijalankan dan pemerintah desa
menyampaikan program-program prioritas desa.

Sedangkan tradisi rembug desa telah dilakukan jauh sebelum UU Desa mengamanatkan
adanya musyawarah desa (musdes). Kepala desa (petinggi) memberikan laporan
pertanggungjawaban kepada masyarakat desa secara langsung dalam forum rembug desa
tersebut. Ini telah dilakukan sebelum UU Desa mengatur adanya mekanisme
pertanggungjawaban ke atas (Bupati/Walikota) dan ke bawah (masyarakat). Rembug desa di
akhir tahun tersebut mengundang seluruh kepala keluarga yang berjumlah 500-an orang di
Balai Desa Ngadisari. Bagi masyarakat Tengger Ngadisari, partisipasi mereka dalam
musyawarah atau rembug desa merupakan bentuk kepatuhan (setuhu) masyarakat kepada
pemerintah yang berangkat dari filosofi bekti ning guru papat. Dalam konteks tertentu,
kepatuhan ini membentuk prinsip patuh pada aturan main (rule of law) yang menjadi salah
satu nilai demokrasi substantif.17

Sementara di Mekarjaya, representasi informal tercermin dari tradisi aktivitas rutin gotong-
royong. Bagi warga Mekarjaya, gotong-royong menjadi medium penyampaian gagasan,
aspirasi, hingga kritik warga terhadap pemerintah desa. Gotong-royong, sekaligus menjadi
forum deliberasi, dimana isu-isu publik dibincangkan mulai dari pembangunan lapangan
bola, pembangunan jalan, pengembangan pertanian organic, rencana menghidupkan
lumbung pangan, pelayanan KTP, hingga peraturan desa tentang Gotong Royong. Cerita
munculnya aspirasi warga yang disampaikan di lokasi gotong royong di Mekarjaya, ternyata
membuktikan bahwa gotong royong bisa menjadi forum deliberasi desa. Hanya saja,
Mekarjaya belum membuat perangkat yang dapat menghubungkan proses demokrasi
informal di forum gotong royong ke dalam ranah formal seperti dalam proses perencanaan
pembangunan, penganggaran, pengelolaan pemerintahan, dan pelayanan publik.

Variasi corak representasi informal berbasis isu ditunjukkan dalam kasus Desa Sidorejo.
Dalam hal ini, representasi informal di Sidorejo diwadahi oleh kelompok difabel yang

16
Wulan Kapitu dipilih karena di bulan ini masyarakat Tengger tidak menyelenggarakan ritual publik yang
berkaitan dengan siklus kehidupan, seperti pernikahan, khitanan, dan slametan lainnya serta hanya berfokus
menjalankan ibadah puasa mutih (megeng).
17
Sebelum adanya UU Desa, praktik rembug desa Tengger ini dilaksanakan pada bulan Desember pada saat
penyampaian laporan pertanggungjawaban kepala desa dan musrenbang lebih dilihat sebagai bentuk formal
dari praktik musyawarah ala masyarakat Tengger. Setuhu ini juga nampak dari kepatuhan masyarakat
Ngadisari dalam membayar pajak secara tepat waktu.
mengusung isu inklusi. Adalah Forum Difabel Sidorejo (FDS), lembaga yang dibentuk warga
kemudian menjadi penggerak untuk mengadvokasi pembentukan desa inklusi di Desa
Sidorejo. Melalui FDS, kelompok rentan difabel akhirnya berhasil menyalurkan aspirasinya
kepada pihak desa. FDS juga memilki memiliki kapasitas dalam membangun pelibatan
pemangku kepentingan desa dalam isu inklusi. Selain itu, FDS memiliki kapasitas dalam
membangun jejaring hingga ke luar desa, termasuk dengan organisasi non pemerintah yang
corncern pada isu Difabel. Sayangnya spirit inklusi (terbuka) belum mampu membuka kanal-
kanal alternatif lain, seperti kelompok rentan lainnya (perempuan, anak-anak) dan
kelompok sektoral (petani, peternak dan pengrajin). Label desa inklusi di Sidorejo, pada saat
bersamaan justru menciptakan jebakan eksklusi (meminggirkan) kelompok-kelompok sosial
warga yang lain.

Di Cangkudu, corak representasi informal diwarnai dengan lemahnya kapasitas lembaga –


lembaga informal dalam memerankan dirinya sebagai lembaga representasi sekaligus dalam
membangun kolaborasi dengan lembaga-lembaga formal. Kanal representasi informal di
Cangkudu biasanya melalui perwakilan RT, RW atau tokoh masyarakat untuk disampaikan
dalam forum-forum formal seperti musrenbang ataupun musyawarah desa. Biasanya forum-
forum tersebut dihadiri oleh, perangkat desa, anggota BPD, tokoh masyarakat, tokoh
pemuda dan tokoh agama yang diundang secara resmi oleh pihak BPD. Namun demikian
forum-forum tersebut bergerak dalam nalar normatif yang mendudukan pembahasan
agenda desa sebagai rutinitas formal saja (business as usual) tanpa melibatkan partisipasi
publik yang lebih dalam. Dalam pandangan warga, muncul semacam krisis kepercayaan
terhadap pemerintah desa dan lembaga representasi politik warga seperti BPD serta tokoh.

Ketidakmampuan BPD menyerap aspirasi warga Di Desa Cangkudu mendorong tumbuhnya


LSM ataupun organisasi masyarakat sebagai dampak dari kehadiran industri dan dinamika
politik lokal. Organisasi lokal tersebut memang berperan dalam pendampingan manakala
warga menghadapi kasus pencemaran limbah industri. Saat menghadapi masalah tersebut,
LSM dan warga memilih cara yang paling efektif yakni menggertak pabrik untuk mau
mengabulkan tuntutan warga yang terkena dampak lingkungan akibat polusi pabrik. Namun
demikian, organisasi–organisasi ini juga rentan terjebak kepentingan ekonomi politik
organisasi sendiri, ketimbang membuka ruang-ruang deliberasi warga.18 Situasi tersebut
menggambarkan adanya diskoneksi (keterputusan) representasi antara yang formal dan
informal.

Hal itu juga disumbang dengan adanya faktor kepemimpinan kepala desa yang gagal
melakukan pelibatan (engagement) warga dalam agenda-agenda public desa. Meski
mengusung spirit good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) yang
diterjemahkan dalam tema reformasi birokrasi, pemerintah desa tampak abai terhadap
spirit partisipatoris yang menjadi elemen pokok dalam good governance. Dari sisi pelayanan

18
Konteks di Cangkudu memperlihatkan bekerjanya politik kaum Jawara.
administrasi, memang terdapat perubahan yang dirasakan warga. Pemerintah desa
tampaknya lebih mendudukkan warga hanya sebatas konsumen atau penerima layanan
yang pasif dan bukan sebagai warga negara aktif (active citizen) dimana warga berhak
berpartisipasi dalam agenda-agenda publik. Dengan demikian, reformasi birokrasi di
Cangkudu hanya melayani dirinya sendiri.

Cerita positif tentang representasi informal datang dari Desa Nglanggeran dan Umbulharjo.
Di Nglanggeran, kanal alternatif justru diperankan oleh Pokdarwis yang dimotori kelompok
pemuda. Pokdarwis Nglanggeran memiliki kapasitas kolaboratif dengan menggandeng BPD
dan pemerintah desa dalam mengembangkan situs gunung api purba sebagai desa wisata.
Pokdarwis juga mengembangkan kolaborasi dengan kelompok-kelompok warga lainnya.
Serta jejaring dengan lembaga-lembaga di luar desa. Kelahiran Pokdarwis sendiri lahir dari
setting sosial-kultural masyarakat yang nyengkuyung (hidup rukun dalam harmoni atau
guyub). Keguyuban tersebut salah satunya ditopang oleh adanya forum-forum warga baik
yang berbasis kewilayahan maupun sektoral.19 Dalam forum warga yang biasanya juga
digunakan untuk kegiatan arisan dan simpan-pinjam itu, telah mampu memberikan ruang
publik yang kondusif bagi berkembangnya demokrasi lokal. Forum-forum warga mampu
memberikan ruang bagi warga untuk menyampaikan dan mendiskusikan segala gagasan
secara kekeluargaan. Dari situ pula, inisiatif warga Nglanggeran berkembang dengan baik,
sehingga warga Nglanggeran terasah kreativitasnya.

Sedangkan di Umbulharjo, forum-forum informal warga benar-benar hadir sebagai


penopang bagi kinerja perwakilan BPD sebagai representasi formal desa maupun
pemerintah desa. Masyarakat memanfaatkan bentuk-bentuk forum informal berbasis
kewilayahan seperti rapat RT, rapat dusun, pertemuan yasinan, dan bahkan menyampaikan
aspirasinya secara langsung dan informal kepada BPD dan kepala desa dan perangkat desa.
Dalam forum-forum itu, musyawarah masih sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat dalam
memecahkan masalah atau mengambil keputusan. Di samping itu, BPD sebagai lembaga
perwakilan benar-benar menjalankan fungsi representasinya menjadi jembatan antara
pemerintah desa dengan warga. Terlepas dari hal itu BPD belum cukup mewakili aspirasi
warga dan kelompok-kelompok warga. Hal ini disebabkan luasnya wilayah desa dan
kompleksnya permasalahan yang ada di desa sehingga anggota BPD tidak dapat memotret
seluruh permasalahan. Dalam hal ini, masih terdapat kanal-kanal alternatif yang belum
disentuh BPD terutama lembaga kemasyarakatan sektoral (petani, peternak sapi,
perempuan, dan sebagainya). Pada titik ini corak representasi alternatif di Umbulharjo,
memiliki kapasitas kolaboratif dengan lembaga-lembaga formal desa, meski masih berbasis
kewilayahan.

19
Forum-forum kewilayanan misalnya, forum tingkat dusun dan forum tingkat RT dengan namanya masing-
masing yang biasanya sesuai dengan nama hari penanggalan Jawa (selapanan), serta forum-forum sektoral
seperti forum Gabungan kelompok tani (Gapoktan).
Gambaran ideal ditunjukkan dengan praktik representasi informal di Desa Panggungharjo.
Lembaga-lembaga informal warga memiliki kapasitas konsolidasi, pelibatan (engagement)
serta kapasitas kolaborasi sekaligus. Lembaga berbasis kewilayahan seperti RT dan dusun di
Pangungharjo. Hal ini dapat dilihat dari adanya sejumlah 118 RT di seluruh Desa
Panggungharjo yang terorganisasi di dalam satu perkumpulan dengan nama Pakarti
(perkumpulan ketua RT).20 Di tingkat RT, warga aktif melakukan pertemuan baik yang
bersifat bulanan ataupun pada saat menyiapkan momentum tertentu.21 Setiap
perencanaan pembangunan yang digelar pemerintah desa, terlebih dahulu warga
melakukan rembug bersama di tingkat RT untuk merumuskan kebutuhan apa yang penting
diprogramkan. Setelah pembahasan selesai, selanjutnya usulan tersebut disampaikan ke
desa melalui dukuh masing-masing. Tidak hanya selesai di dukuh, forum yang lebih besar
sebelum pelaksanaan Musyawarah Desa juga digelar oleh Pakarti untuk melakukan
konsolidasi.

Sementara Kepala Dukuh terfasilitasi di dalam Paguyuban Kepala Dukuh (Pandu). Antar dua
lembaga ini, baik Pakarti dan Pandu tidak saling tumpang tindih dan menjalankan fungsi
koordinasi yang tertata dengan baik. Dengan adanya dua lembaga ini warga memiliki banyak
kanal aspirasi sekaligus informasi atau program dari desa bisa cepat diketahui oleh warga.
Selain berbasis kewilayahan, warga juga memiliki kekayaan beragam komunitas kewargaan
desa, seperti komunitas seni, budaya, kuliner, obat tradisional, perawatan warisan budaya
(heritige), kerajinan dan kriya sejauh ini saling berinteraksi secara inklusif tanpa
menciptakan sekat-sekat sosial, sebaliknya mendorong adanya pembauran sosial. Mereka
semua memperoleh akses yang sama di memberikan masukan perihal pembangunan desa
kepada pemerintah desa melalui RT dan Dukuh.

D. SIMPUL WACANA
Hari ini muncul gejala menguatnya kesadaran masyarakat desa mengenai isu-isu publik
makin menguat. Situasi ini ditunjukkan dengan berbagai pengalaman tentang meningkatnya
kesadaran warga desa terhadap masalah-masalah keseharian sebagai masalah publik. Isu
pendidikan, kesehatan, lingkungan, pemberdayaan ekonomi dan sejenisnya makin
dibincangkan dalam arena warga. Namun demikian, tidak mudah bagi warga untuk
membawa perbincangan sehari-hari tersebut menjadi isu kebijakan di level desa yang
disebabkan oleh tersendatnya jalur representasi formal oleh BPD. Memang, praktik-praktik
lokal desa telah menunjukkan betapi inisiasi dan penguatan lembaga representasi mulai
tumbuh, paling tidak secara formal paska terbitnya UU Desa. Disadari betul bahwa
representasi formal oleh lembaga-lembaga formal desa belum sepenuhnya mampu menjadi
kanal yang handal dalam mengawal aspirasi warga. Kondisi tersebut dibentuk oleh tiga

20
Kepengurusan Pakarti diambil dari masing-masing pedukuhan sebanyak dua orang.
21
Seperti pitulasan (memperingati hari Kemerdekaan RI), lomba kesenian, persiapan acara hari besar Islam,
pementasan budaya, dan lainnya.
faktor yakni: pertama, keterbatasan representasi oleh BPD ini sesungguhnya berakar dari
nalar normatif dan formalistik dalam mengelola keragaman kehendak warganya. Pada titik
ini, aspirasi warga hanya ditempatkan input (masukan) semata dalam arena pengambilan
kebijakan, tanpa mampu mendorong terbukanya ruang-ruang deliberasi desa. Pada
gilirannya, banyak kepentingan warga yang tidak mendapat tempat untuk disuarakan,
terdengar samar-samar, bahkan nyaris tak terdengar gaungnya.

Kedua, pada saat yang sama, BPD sebagai lembaga representasi formal juga dihinggapi
dengan persoalan di dalam dirinya sendiri yakni problem kapasitas kelembagaan terutama
soal kemampuan teknokratik. Disamping itu, problem kapasitas juga disumbang oleh
lemahnya kesadaran politik para wakil warga itu dalam menjalankan misi penguatan
partisipasi dalam demokrasi, menyangkut pengambilan keputusan strategis. Ketiga, kultur
patronase, corak patriarkhi dan feodalisme dalam kadar tertentu masih menjadi tantangan
serius yang harus dijawab dalam menjalankan misi transformasi demokrasi desa. Problem
ini dengan berbagai wajahnya telah mendistorsi ruang penyampaian kepentingan warga
yang semakin inklusif (terbuka) di desa. Alhasil, jejak-jejak keterwakilan BPD semakin samar
dan tak dapat direkam dengan baik oleh warga.

Sesungguhnya terdapat kanal representasi yang lahir dari inisiasi warga dalam bentuk
forum-forum warga dan kelompok-kelompok kemasyarakatan. Lembaga yang lahir dan
tumbuh dari tradisi lokal yang menyejarah itu sesungguhnya menjadi kekayaan desa yang
berharga. Kanal Representasi informal ini menyimpan kekuatan luar biasa yakni sifatnya
yang luwes, adaptif, serta menyediakan intimasi sehingga melampaui sekat-sekat sosial
antara warga dan pemimpinnya. Sayangnya, kekayaan berupa modal sosial itu, belum
didayagunakan secara memadai sebagai kanal alternatif yang mampu memperkuat proses
deliberasi desa. Hadirnya saluran-saluran informal nampaknya perlu dipertimbangkan
sebagai alternatif menambal keterbatasan jalur kelembagaan formal dan sekaligus sebagai
penopang bekerjanya demokrasi yang melayani kepentingan warga. Dalam konteks
tersebut, di masa mendatang perlu kiranya menghidupkan kembali dan merawat lembaga-
lembaga informal itu melalui rekoginisi (pengakuan) terhadap lembaga-lembaga informal
yang ada sebagai kekayaan dalam membangun tradisi berdesa.
Bab 4
Inisiatif Warga Dalam Ruang Demokrasi Desa

A. Inisiatif Warga: Penguatan Delibrasi Demokrasi Desa


Dikenal sebagai kawasan Geo Park yang telah diakui UNESCO, membuat situs Gunung Api
Purba Desa Nglanggeran Kabupaten Gunung Kidul menjadi salah satu destinasi wisata baru
terpopuler bagi wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta. Keberhasilan meraih berbagai
prestasi nasional hingga bertaraf internasional yang disematkan di desa wisata tersebut, tak
lepas dari prakarsa aktif warga Nglanggeran yang dimotori kelompok pemuda desa
setempat. Awalnya kelompok pemuda yang tergabung dalam organisasi karang taruna di
beberapa dusun bersepakat untuk mengembangkan eko wisata berbasis masyarakat dengan
membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis). Dalam perkembangannya, Pokdarwis
berhasil mengubah warga menjadi lebih peka terhadap persoalan lingkungan hidup,
merevitalisasi dan mengembangkan kearifan lokal, serta mengembangkan sumber-sumber
penghidupan melalui fasilitasi pengembangan desa wisata berwawasan lingkungan. Kunci
keberhasilan Pokdarwis Nglanggeran terletak pada kemauan melakukan engagement
(pelibatan) berbagai pihak dalam mengembangkan desa wisata. Kapasitas engagement yang
dibangun dari kearifan lokal tersebut menjadikan Pokdarwis memiliki daya lenting
menghadapi segala macam tantangan dan persoalan dalam mengembankan usaha ekonomi
kreatif tersebut.
Cerita sukses dari desa Nglanggeran ini merupakan satu dari ragam narasi tentang dinamika
inisiatif warga dalam mengawal pengelolaan desa yang disuguhkan dalam bab ini. Bersama
dengan narasi dari sembilan desa lainnya, cerita dari Nglanggeran merupakan ikhtiar
menghadirkan demokrasi substantif pada aras desa yang bertumpu pada prakarsa warga.
Keterlibatan warga desa dalam pengelolaan pemerintahan desa, merupakan kata kunci yang
seharusnya menjadi peluang sekaligus menyediakan tantangan dalam mendorong tumbuh
kembangnya demokrasi subtantif pada aras desa. Kehadiran demokrasi subtantif ditandai
dengan adanya demokrasi deliberatif yang mewujud dalam bentuk ruang publik (public
sphere).1 Tanpa keberadaan ruang publik dan partisipasi masyarakat sipil dalam proses
formulasi kebijakan, berarti demokrasi tidak akan memiliki makna bagi masyarakat desa.
Ringkasnya, keberadaan ruang publik sangatlah menentukan bagaimana demokrasi
deliberatif tersebut berjalan (Piliang, 2005:3).

1
Pengertian ruang publik (Public Sphere) mengacu pada pendapat Jurgen Habermas dalam buku The Structural
Transformation of the Public Sphere, yang memaknainya sebagai sebuah ruang bagi otoritas publik dalam
sistem demokrasi di mana negara tidak memiliki otoritas terhadap domain atau arena publik. Keberadaan
ruang publik (public sphere) sebagai suatu arena berbagai kepentingan publik bertemu yang di dalamnya
membentuk otoritas publik (public authority) dan partisipasi masyarakat sipil dalam proses formulasi
kebijakan.
Perspektif demokrasi deliberatif sejatinya merupakan“roh” atau “nyawa” dari Undang-
Undang Desa yang ditunjukkan dalam Pasal 54 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang
Desa yang menyatakan dengan jelas tentang musyawarah desa sebagai suatu forum
deliberasi tertinggi untuk membahas dan memutuskan hal-hal bersifat strategis di desa. Jika
dikaji lebih dalam, semangat dan nyawa dari undang-undang Desa ini tidaklah sekedar
mewujudkan otonomi desa melalui pemberian otoritas kepada pemerintah desa. Desa
bukan lagi sekedar local state government (pemerintahan lokal ala negara) semata tapi
merupakan bentuk pemerintahan komunitas atau hybrid antara self governing community
dan local self government (Zaini, 2015 : 9). Artinya, pemerintah desa tidak semata-mata
berperan sebagai pemerintahan lokal tapi juga harus merepresentasikan keterlibatan
komunitas warga dalam pengelolaan pemerintahan desa. Model demokrasi deliberatif
inilah yang dijadikan basis bagi tumbuh kembangnya demokrasi substantif pada aras desa.
Dalam wacana demokrasi, corak semacam ini dimasukkan dalam kategori demokrasi
komunitarian yang memiliki akar historis dalam budaya masyarakat desa di Indonesia dalam
bentuk tradisi musyawarah (IRE, 2003).
Hasil penelitian yang dilakukan IRE (2012), menunjukkan bahwa di desa-desa yang
bertumpu pada kekuatan masyarakat sipilnya dalam bentuk inisiatif-inisiatif warga, mampu
menjadikan perkembangan demokrasi menjadi lebih bermakna. Seperti yang terjadi di
Lombok Barat bagaimana inisiatif warga dalam bentuk Community Centre (CC) yang mampu
melakukan advokasi terkait perbaikan pelayanan publik di desa dan sekaligus mendorong
pemerintah desa untuk memberikan perlindungan terhadap calon TKI. Demikian pula kisah
yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul, tradisi gugur gunung (gotong royong) yang menjadi
forum penting di luar forum formal musyawarah desa dan dalam tradisi tersebut,
masyarakat tidak hanya sekadar berkumpul menyelesaikan pekerjaan bersama, namun juga
sekaligus membangun interaksi solidaritas dan memupuk modal sosial.
Tumbuhnya inisiatif warga desa dalam arena demokrasi desa ini merupakan pertanda baik
bagi berseminya gerakan sosial para aras desa yang akan menjadi “pupuk” dan “nutrisi” bagi
bertumbuhkembangnya demokrasi yang subtantif. Sebagaimana mengacu pada pendapat
Habermas, Offe, McLucci dan Nash dalam Darmawan (2006: 8) yang menyatakan bahwa
gerakan sosial merupakan sebuah ruang antara (intermediary space) yang menjembatani
kepentingan masyarakat sipil dengan negara dan merupakan suatu sumber bagi proses
penguatan demokrasi terutama dalam menghadapi perkembangan masyarakat yang
semakin kompleks.
Meskipun demikian, pada kenyataannya belum semua desa mampu memaknai UU Desa
tersebut terkait dengan pentingnya membangun demokrasi deliberatif dan sekaligus
menangkap peluang yang diberikan oleh UU Desa tersebut dalam kerangka mendorong
tumbuhkembangnya inisiatif dan partisipasi warga dalam proses pembangunan desa. Oleh
sebab itu, realitas tersebut menjadi suatu hal yang menarik untuk dikaji yang memunculkan
pertanyaan: bagaimana praktik-praktik inisiatif warga dan partisipasi aktif warga bekerja
dalam konteks arena demokrasi lokal terutama terkait dengan urusan-urusan strategis desa,
mulai dari proses agenda setting kebijakan, formulasi kebijakan, implementasi hingga
evaluasi kebijakan pada aras desa?
Memotret dan menyelami permasalahan terkait inisiatif warga desa inilah yang akan diulas
dalam bab ini. Hasil studi kasus di 10 desa menunjukkan cerita insiatif warga yang dapat
dijadikan contoh baik dalam konteks bekerjanya model demokrasi deliberatif. Namun di sisi
lain, studi ini juga menyuguhkan kisah-kisah tentang minimnya atau betapa pasifnya insiatif
warga dalam ruang demokrasi desa yang cenderung hanya dimaknai sebagai demokrasi
yang bersifat formal-prosedural semata. Sebagai sebuah proses penghimpunan
pengetahuan terkait inisiatif warga dalam praktik-praktik demokrasi lokal yang tengah
bergulir pada aras desa, hasil studi ini dapat menjadi proses pembelajaran bersama dan
memberikan secercah harapan bagi tumbuh kembangnya inisiatif warga dalam ruang
demokrasi desa.

B. Dinamika Inisiatif Warga dalam Ruang Demokrasi Desa


Pentingnya inisiatif warga sebagai warga negara aktif (active citizen) dalam mendorong
P
tumbuhnya akuntabilitas dan transparansi pada proses pengelolaan desa merupakan suatu
keharusan dan kondisi ideal yang diamanatkan dalam UU Desa. Kondisi ideal tersebut
merupakan suatu peluang namun sekaligus tantangan dalam kerangka membangun
demokrasi subtantif pada aras desa. Gambaran ideal terkait bagaimana inisiatif warga
memberikan kontribusi yang signifikan dalam ruang demokrasi desa dideskrisipkan dari
beberapa temuan lapangan dalam penelitian ini. Meskipun di sisi lain, hasil studi kasus juga
menunjukkan masih adanya gejala minimnya inisiatif warga desa atau bahkan dapat
dikatakan pasif dalam merespon isu-isu publik yang tengah terjadi di desa dan
memanfaatkan ruang demokrasi desa untuk memperjuangkan kepentingan mereka.
Kisah-kisah berikut ini akan bertutur tentang bagaimana dinamika warga desa dalam
merespon isu-isu publik yang terjadi di desa dan bagaimana warga memanfaatkan ruang
demokrasi desa tersebut dengan berbagai ragam corak atau karakter pemerintahan desa
yang menjadi lokasi penelitian. Dalam setiap kisah pasti terdapat isu yang menjadi pemicu
munculnya inisiatif warga, aktor yang berperan, rangkaian proses yang dilalui, serta respon
pemerintahan desa terhadap inisiatif tersebut. Inisiatif warga muncul saat ada kepentingan
bersama hingga membutuhkan aksi kolektif untuk memenuhinya. Salah satu isu publik yang
krusial yang banyak terjadi di desa wilayah penelitian adalah pelestarian dan pemanfaatan
sumberdaya alam untuk peningkatan kesejahteraan menjadi isu publik. Sehingga isu ini
selalu menjadi perbincangan dan sorotan warga desa. Pada titik inilah kapasitas inisiatif
warga diuji: seberapa jauh prakarsa warga dapat menjangkau semua pemangku
kepentingan untuk membangun aksi kolaboratif, atau justru menghasilkan kemandegan dan
fragmentasi.
Inisiatif Warga Berbuah Aksi Kolaboratif
Keberlanjutan Inisiatif warga pada beragam cerita di bab ini sangat ditentukan oleh
kapasitas warga untuk melibatkan beragam pemangku kepentingan agar terlibat dalam
perjuangan agenda publik yang diusulkan warga. Kapasitas tersebut ditandai dengan adanya
hadirnya aksi kolaboratif yang diinisiasi warga. Kondisi tersebut tergambar dengan baik
melalui pengalaman warga Desa Nglanggeran dan Sidorejo. Sedikit berbeda, pengalaman
Desa Panggungharjo, Umbulharjo, Punjulharjo, dan Mekar Jaya, inisiatif warga tampak
menguat karena kuatnya dorongan dan berjalan beriringan dengan kemauan pemerintah
desa yang responsif dalam membuka ruang-ruang publik desa. Dorongan tersebut mewujud
dalam berbagai inovasi pemerintah desa, sehingga menyediakan habitus yang subur bagi
berseminya inisiatif warga.
Sebagaimana telah sedikit dipaparkan sebagai pembuka bab ini, Desa Nglanggeran,
Kecamatan Pathuk, Kabupaten Gunungkidul memiliki pengalaman sangat menarik dalam
dinamika inisiatif warga untuk pengelolaan sumberdaya alam. Pengembangan aset lokal
berupa gunung api purba menjadi desa wisata merupakan isu publik yang cepat menjadi
perhatian warga seiring perkembangan Gunung Kidul sebagai destinasi wisata alternatif di
Daerah Istimewa Yogyakarta yang digerakkan kaum muda Nglanggeran. Pada tahun 1999
dan era sebelumnya, kelompok pemuda desa masih terpecah-pecah dalam wadah karang
taruna di dusun masing-masing. Dalam situasi perekonomian desa yang masih “minus”,
sarana dan saluran komunikasi yang terbatas, keadaan tersebut menjadi rentan konflik
ketika musim kompetisi antar dusun pada musim perayaan 17-an berlangsung.2 Selain itu,
kondisi warga yang masih tertekan kemiskinan, mendorong mereka merantau ke luar
daerah, bahkan hingga mengadu nasib ke luar negeri sebagai TKI, misalnya di Korea dan
Taiwan.
Melihat situasi yang tidak produktif tersebut, beberapa aktivis pemuda berinisiatif
menyatukan kelompok pemuda di tiga dusun menjadi satu wadah bersama, guna
memperkenalkan kegiatan-kegiatan kepemudaan bersama yang positif. Ide tersebut, ketika
dikomunikasikan kepada Hartono, kepala desa saat itu, dan langsung disetujui. Kades
Hartono sangat mendukung gagasan itu, dan dia juga punya keinginan untuk mewujudkan
lahirnya desa wisata, yang saat itu mulai banyak bermunculan di desa-desa di Kabupaten
Gunung Kidul. Selanjutnya dibentuklah Karang Taruna “Bukit Putra Mandiri” yang mewakili
seluruh organisasi kepemudaan Desa Nglanggeran. Kekompakan pemuda tersebut
meningkatkan kepercayaan pemerintah desa terhadap kegiatan mereka. Karena itu pula,
melalui Kades Hartono, Pemerintah Desa tidak ragu mendukung upaya kelompok pemuda
tersebut, dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Kepala Desa Nglanggeran Nomor
05/KPTS/1999, tertanggal 12 Mei 1999. SK Kades tersebut mengukuhkan kepercayaan desa

2
Saat itu, sering terjadi pertikaian atar kelompok pemuda dusun, terutama di Dusun Nglanggeran Kulon,
Nglanggeran Wetan, dan Gunung Butak, yang dipicu aksi saling ejek saat pertandingan olah-raga antar dusun
berlangsung.
dengan memberikan kewenangan kepada karang taruna untuk mengelola situs gunung api
purba, yang luasnya kurang lebih 48 hektar untuk kepentingan pengembangan desa wisata.
Karang Taruna “Bukit Putra Mandiri” memperluas jangkauan pembahasan pengelolaan situs
gunung api purba dengan melibatkan seluruh warga, termasuk para orang tua, dengan
memanafaatkan forum Selasa-Kliwonan. Melalui forum ini bisa dibentuk Kelompok Sadar
Wisata (Pokdarwis) pengelola gunung api purba, dengan struktur organisasi terdiri dari
unsur pemerintah desa, BPD, tokoh masyarakat, pemuda, perempuan, kelompok tani,
kelompok ternak, pedagang, dan juga warga biasa. Keberadaan perwakilan hampir dari
seluruh lapisan masyarakat desa ini, memudahkan Pokdarwis dalam berinteraksi baik
dengan pemerintahan desa maupun dengan segenap lapisan masyarakat. Interaksi
antaraktor ini terjadi dalam upaya pengembangan usaha ekonomi kreatif dalam
menyelesaikan problem, terutama konflik, baik yang diselesaikan secara formal maupun
informal kepada pemerintahan desa dan para tokoh masyarakat.
Selain forum Selasa-Kliwonan yang berisi kegiatan arisan dan sharing informasi dan
pengusulan ide dan pemecahan masalah jika ada masalah organisasi, Pokdarwis juga
mengembangkan ruang konsolidasi organisasi dan antarwarga. Forum tersebut antara lain:
(1) Forum Malam Rabu (forum sharing mingguan); (2) Forum pengajian Jumat-Kliwonan
(forum pengajian dan sharing informasi dan diskusi pemecahan masalah); dan (3) Forum
informal untuk koordinasi yang sifatnya bisa insidental dan sering dilakukan harian. Forum
ini juga memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dengan menggunakan fasilitas
internet, termasuk group WA dan BBM.
Melalui forum-forum yang dilakukan, Pokdarwis telah berhasil merumuskan keputusan-
keputusan yang berkaitan dengan kepentingan desa wisata Nglanggeran dengan tetap
memperhatikan kepentingan lainnya yang lebih luas. Sebagai contoh, Pokdarwis
menetapkan honorarium harian tim lapangan yang besarannya tidak boleh melebihi upah
harian buruh batu di Nglanggeran, maksimal sama dengan upah harian tukang batu. Hal ini
dimaksudkan menjaga keseimbangan distribusi pekerjaan di Desa Nglanggeran, sehingga
tidak ada kelangkaan tukang batu, yang memang selalu menjadi kebutuhan masyarakat
ketika hendak membangun. Selain itu, Pokdarwis juga menjamin distribusi resources yang
relatif seimbang dan proporsional dengan membentuk kelompok homestay dan kelompok
dagang yang melibatkan warga secara merata.
Secara internal, Pokdarwis juga melaporkan keuangan organisasi dalam forum pertemuan
rutin anggota. Akuntabilitas organisasi juga diupayakan dengan cara mempekerjakan 3
orang bendahara. Hal ini dimaksudkan agar pengelolaan uang tidak terkonsentrasi pada satu
orang saja, agar supaya risiko penyalahgunaan pengelolaan keuangan bisa dikurangi.
Mereka meyakini bahwa dominasi satu atau sedikit orang bisa menimbulkan kerentanan
organisasi.
Inisiatif warga Nglanggeran yang mampu mengembangkan situs gunung api purba hingga
terkenal sampai tingkat internasional, bahkan masuk sabagai kawasan geopark yang diakui
UNESCO, tidak terlepas dari kondisi lingkungan sosial dan politik yang melatarbelakanginya.
Warga Nglanggeran dikenal sebagai masyarakat yang guyub dimana harmoni dengan tradisi
masih terjaga dengan baik. Keguyuban tersebut ditopang oleh adanya forum-forum warga
yang telah membuka ruang publik yang kondusif bagi berkembangnya demokrasi lokal.
Keberadaan Kades yang berasal dari “warga kebanyakan”, dekat dengan warga, terbuka,
dan berintegritas mampu melahirkan kepercayaan dan pada gilirannya menyuburkan
partisipasi. Karakter kepemimpinan desa yang terbuka, partisipatif dan responsif merupakan
kondisi yang makin memungkinkan tumbuh dan berkembangnya inisiatif warga.
Kuatnya inisiatif warga yang didukung oleh pemerintah desa terjadi pula di Desa Sidorejo,
Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon Progo. Bahkan ada yang khas di desa ini, manakala
kaum difabel melakukan gerakan inklusi yang mampu mendorong pemerintah desa untuk
mengalokasikan anggarannya bagi program pemberdayaan kaum difabel, yaitu program
pembangunan aksesibilitas pelayanan publik bagi kaum difabel.3 Gerakan inklusi yang
dilakukan kelompok difabel di Desa Sidorejo telah mampu mendorong perubahan relasi
yang signifikan antara pemerintah desa dengan kelompok difabel. Aktivitas-aktivitas yang
diselenggarakan oleh Forum Difabel Sidorejo (FDS) juga dinilai mampu mengubah cara
pandang masyarakat Sidorejo terhadap kaum difabel.4 Perkembangan relasi produktif
antara kaum difabel dengan masyarakat desa ini menghasilkan program pembangunan
aksesibilitas dan pembinaan ekonomi kepada difabel.
Fenomena di Sidorejo ini merupakan pembelajaran yang menarik mengingat gerakan kaum
difabel di Indonesia sejauh ini masih memiliki sejumlah tantangan fundamental baik ke
dalam maupun ke luar. Ke dalam, gerakan difabel masih belum memiliki kesamaan cara
pandang terkait persoalan-persoalan yang mereka hadapi sehingga formulasi gerakan belum
terumuskan secara kuat. Meskipun demikian, harus diakui bahwa kesadaran kaum difabel
mengalami peningkatan pesat seiring dengan semakin banyaknya organisasi difabel di
Indonesia. Sedangkan ke luar, organisasi difabel masih belum memiliki jaringan kuat dengan
gerakan sosial lainnya. Penerimaan masyarakat pada umumnya terhadap gerakan inipun
masih belum terlihat signifikan karena adanya sejumlah faktor, terutama terkait dengan
cara pandang masyarakat terhadap difabel (Salim, 2015). Artinya, membangun suatu
gerakan yang di dalamnya berisi penyandang disabilitas memiliki tantangan berlipat-lipat
jika dibandingkan dengan gerakan yang di dalamnya berisi “orang-orang normal”.
Bagi FDS, upaya untuk mengorganisir kaum difabel untuk berhimpun dalam satu wadah
gerakan menghadapi sejumlah tantangan yang cukup berat. Secara eksternal mereka
berhadapan dengan stigma dari masyarakat yang selama dilekatkan kepada kaum difabel.
Berbagai stigma dari masyarakat sampai sekarang ini masih melekat kuat pada kaum

3
Keberhasilan ini yang menjadikan Desa Sidorejo pada tanggal 24-27 Agustus 2016 lalu, menjadi tuan rumah
Temu Inklusi Nasional kedua, sebuah gelaran para penyandang disabilitas pada tingkat nasional sekaligus
mendeklarasikan Desa Sidorejo kepada publik sebagai Desa Inklusif.
4
Salah satu bukti adanya perubahan cara pandang masyarakat dalam melihat kaum difabel terlihat nyata
dengan terpilihnya Wahyu Adi Nugroho sebagai salah satu Kepala Dukuh Senden. Nugroho adalah salah satu
aktivis difabel yang selama ini aktif menggorganisir dan menggerakkan kaum difabel di Sidorejo.
difabel. Mereka dianggap sebagai manusia cacat, buta, tuli, bisu, tidak bisa berjalan, kerdil,
cebol, dan sebagainya. Mereka dianggap tidak normal seperti manusia pada umumnya yang
disikapi masyarakat kita dengan perasaan risih.5 Oleh sebab itu sebagian masyarakat lalu
meminggirkan kaum difabel dalam gerak dinamika keseharian yang berlangsung di
lingkungannya. Berdekatan dengan kaum difabel dikhawatirkan akan membuat mereka
yang normal akan tertulari ‘dosa’ yang diidap kaum difabel. Sementara, secara internal para
penyandang disabilitas tidak memiliki kepercayaan diri untuk mengorganisir diri dan
melakukan sesuatu secara bersama-sama.
Jika ditelusuri kembali naskah-naskah lama dan realitas hubungan yang terbangun antara
orang difabel dengan kekuasaan, terdapat relasi yang bersifat unik dan eksotik. Berbagai
cerita masa lalu yang terekam dalam naskah-naskah sejarah Jawa menunjukkan kaum
difabel atau disebut sebagai abdi polowijan memiliki posisi yang khusus di hadapan raja. Ada
diantara mereka yang dianggap sebagai klangenan raja atau abdi dalem kesayangan raja
(Janutama, 2015).6 Tidak jarang mereka juga dianggap sebagai manusia yang memiliki daya
linuwih, memiliki kemampuan lebih dibandingkan manusia kebanyakan dalam banyak hal.7
Posisi yang demikian tentu berbeda dengan cara pandang manusia modern. Cara pandang
modernis melihat kesempurnaan adalah yang utama, yang baik adalah yang sempurna.
Sementara yang cacat adalah buruk karena dianggap tidak sempurna. Cara pandang
manusia modern inilah yang melingkupi sebagian besar kita dalam memandang difabel.
Bagi aktivis yang selama ini melakukan kerja-kerja advokasi kelompok difabel, mengubah
cara pandang masyarakat kebanyakan terhadap kaum difabel adalah tantangan paling berat
yang mesti ditaklukkan pertama kali.8 Pengalaman gerakan difabel di Sidorejo menunjukkan
mereka bisa eksis dan bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah desa dengan sejumlah
tahapan. Pertama, dengan menghimpun diri dan mendirikan organisasi di tingkat desa.
Difasilitasi oleh SIGAB, Nugroho dan Sarjiyo berhasil membentuk suatu organisasi di tingkat
desa yang diberi nama Forum Difabel Sidorejo (FDS). Kedua, membangun kapasitas anggota
melalui kegiatan-kegiatan pelatihan dan pembangunan jaringan. Dalam kegiatan-kegiatan
yang mereka lakukan; pelatihan maupun pertemuan-pertemuan rutin mereka sering
menggunakan balai desa sebagai tempat kegiatan.9 Ketiga, melakukan pendataan jumlah

5
Bahkan, sebagian masyarakat ada yang memandang difabel sebagai kelompok masyarakat yang diliputi dosa.
Cacat dianggap sebagai semacam kutukan yang mesti mereka terima karena kesalahan yang pernah dilakukan
keluarganya atau kesalahan-kesalahan yang pernah mereka lakukan di masa lalu.
6
Polowijan adalah istilah untuk menyebut bagian masyarakat tradisional yang menyandang cacat atau difabel.
7
Kadangkala polowijan diposisikan raja sebagai penasehat spiritual serta memimpin kegiatan-kegiatan laku
spiritual tertentu.
8
Salah satu tolok ukur yang dipandang sebagai keberhasilan FDS mengubah cara pandang masyarakat terhadap
difabel adalah dengan terpilihnya Wahyu Adi Nugroho atau biasa dipanggil Nugroho sebagai Kepala Dukuh
Senden. Nugroho adalah salah satu aktivis difabel yang selama ini aktif menggorganisir dan menggerakkan
kaum difabel di Sidorejo.
9
Menggunakan balai desa sebagai tempat pertemuan tersebut kelihatannya sederhana namun sebenarnya
memiliki tujuan strategis. Menurut penuturan Sarjiyo, hal itu dilakukan agar para penyandang disabilitas mau
keluar rumah. Sekaligus juga sebagai upaya untuk mengubah cara pandang perangkat desa terhadap difabel,
dan upaya agar mereka lebih memahami persoalan-persoalan yang dialami oleh kaum difabel. Dalam
penyandang disabilitas di desa serta permasalahan yang mereka hadapi. Keempat,
melakukan pengkajian atas masalah yang mereka hadapi. Hasil kajian yang dilakukan lalu
disampaikan kepada pemerintah desa, BPD dan unsur-unsur masyarakat yang ada di desa.
Dan kelima, membangun kerjasama dengan pemerintahan desa dalam rangka mencari
solusi atas persoalan-persoalan yang dihadapi difabel.
Dari rute pembangunan gerakan dan advokasi yang dilakukan FDS, disadari atau tidak,
mereka dipengaruhi oleh pendekatan Social Model of Disability dalam melihat persoalan
difabel. Pendekatan ini memiliki cara pandang yang melihat difabel tidak semata-mata
sebagai kekurangan fisik dan biologis. Lebih dari itu, disabilitas dilihat sebagai penindasan di
mana struktur sosial yang ada telah meminggirkan mereka dari dinamika sosial, ekonomi,
dan politik yang berlangsung. Dengan asumsi dasar ini maka Social Model of Disability
mengubah cara pandang permasalahan difabel dari kekurangan fungsional, psikologis, dan
kognitif yang dimiliki individu kepada struktur masyarakat yang secara sistematis menindas
dan mendiskriminasi kaum difabel (Ro’fiah, 2015).10 Pendekatan ini juga meyakini
penanganan persoalan disabilitas adalah melalui politisasi, pemberdayaan, dan penegasan
hak-hak kaum difabel sebagai warga negara.
Gerakan yang dilakukan FDS telah mampu mengatasi berbagai hambatan utama yang
selama ini menyumbat gerakan sosial, khususnya gerakan difabel. Secara internal, meskipun
mereka masih terus berproses, telah muncul kesadaran tentang pentingnya “bergerak” dan
“pergerakan”. Transformasi dan penguatan kapasitas digunakan sebagai kata kunci untuk
memperkuat organisasi serta memperteguh tujuan gerakan. Paralel dengan kerja-kerja ke
dalam, mereka juga terus memperkuat jaringan ke luar desa.
Dalam narasi besar teori gerakan sosial, apa yang dilakukan oleh FDS bisa dikategorikan
sebagai gerakan sosial baru (GSB). Merujuk pada pandangan Singh (2001), tujuan GSB
adalah untuk menata kembali hubungan negara dengan masyarakat dan masyarakat dengan
ekonomi. Selain itu, GSB juga melakukan dorongan terciptanya ruang publik yang
memungkinkan masyarakat bisa saling berkontestasi gagasan tentang isu seputar
demokratisasi, otonomi, kebebasan individu, kolektivitas, serta identitas (Singh, 2001). GSB
juga mendorong terwujudnya representasi yang lebih substantif ketika struktur politik
negara tidak mampu menyuarakan aspirasi mereka. Dengan demikian, kehadiran GSB
merupakan bentuk perlawanan atas kekosongan representasi substantif yang selama ini
dibajak oleh kekuatan-kekuatan politik dominan yang berkuasa. Karena itu mereka berusaha
menciptakan dan menyerukan struktur yang lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan
individu dengan membangun struktur yang terbuka, terdesentralisasi dan non hirarkis.

menyelenggarakan pertemuan-pertemuan, FDS sering difasilitasi oleh SIGAB (Sasana Integrasi dan Advokasi
Difabel). sebuah NGO yang berada di Yogyakarta yang concern melakukan kerja-kerja advokasi difabel.
10
Pendekatan dengan cara pandang ini tentu berbeda dengan pendekatan Medical Model of Disability. Dalam
pendekatan Medical Model of Disability, penanganan terhadap disabilitas dilakukan dengan cara rehabilitasi
dan metode-metode pengobatan secara medik.
Serupa dengan pengalaman Nglanggeran dan Sidorejo, Desa Panggungharjo, Kecamatan
Sewon, Kabupaten Bantul menjadi contoh baik interaksi antara warga yang aktif dengan
pemerintahan yang rensponsif. Di Panggungharjo, inisiatif warga tumbuh subur karena
pemerintah desa telah merubah corak tata kelola pemerintahan desa yang sebelumnya
tertutup menjadi model pemerintahan desa yang terbuka yang menempatkan transparansi
dan akuntabilitas sebagai nilai dasar pengelolaan pemerintahan desa. Dampak perubahan
dari model pemerintahan desa yang terbuka dan responsif memunculkan banyaknya forum-
forum warga yang aktif dalam upaya terlibat dalam proses pembangunan desa.
Praktik tata kelola Pemerintah Desa Panggungharjo yang terbuka dan responsif dapat
diamati pada pelaksanaan pelaksanaan Musrenbangdes. Sebagian besar warga yang aktif di
perkumpulan di tingkat RT atau Pedukuhan mengetahui perencanaan dan pelaksanaan
program yang dilakukan Pemerintah Desa Panggungharjo. Warga mengetahui laporan
informasi penyelenggaraan pemerintahan desa melalui perkumpulan di tingkat RT atau
pedukuhan.11 Tidak hanya itu, sosialisasi kegiatan dan pertanggungjawaban desa biasanya
disampaikan di forum Pakarti dan Pandu yang biasanya digelar di pelataran Masjid atau
Musholla yang bertebaran di setiap pedukuhan. Saat ada perencanaan pembangunan yang
digelar pemerintah desa, warga melakukan musyawarah dari tingkat bawah untuk
membahas program apa yang akan diusulkan dan penting dilaksanakan. Usulan tersebut
disampaikan ke desa melalui dukuh masing-masing. Puncaknya pada saat pelaksanaan
musrenbang tingkat desa pada bulan Agustus 2016 lalu di Balai Desa Panggungharjo. Dalam
Musdes tersebut, peserta yang hadir kurang lebih 100 orang warga berasal dari berbagai
macam representasi latar belakang sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Bahkan Musdes
yang membahas perihal RKPDesa (Rencana Kegiatan Pemerintah) Desa Panggungharjo
Tahun Anggaran 2017 itu, hampir 50% peserta yang hadir adalah kaum perempuan.
Dalam berkebudayaan, masyarakat desa ini dapat dikategorikan masyarakat yang aktif,
kreatif, dan menjujung tinggi nilai-nilai budaya tradisional. Keaktifan dan kreatifitas
masyarakat dapat ditilik dari ragam komunitas kewargaan desa, seperti komunitas seni,
budaya, kuliner, obat tradisional, perawatan warisan budaya (heritage), kerajinan dan kriya
yang sejauh ini saling berinteraksi secara inklusif tanpa menciptakan sekat-sekat sosial. Dan
sebaliknya justru mendorong adanya pembauran sosial. Mereka semua memperoleh akses
yang sama di memberikan masukan perihal pembangunan desa kepada pemerintah desa
melalui RT dan Dukuh. Kemunculan dan beragamnya forum-forum warga aktif yang tidak

11
Forum di tingkat Rukun Tetangga (RT) selalu menjadi basis berkegiatan warga di setiap pedukuhan di Desa
Panggungharjo. Di RT 03 Pedukuhan Krapyak Wetan misalnya, terdapat perkumpulan dasawisma untuk ibu-ibu
dan perkumpulan pengajian atau tahlilan untuk bapak-bapak. Pertemuan kelompok perempuan yang
tergabung dalam dasawisma tingkat RT biasanya digelar minggu pertama setiap bulan. Perkumpulan kelompok
perempuan tersebut tidak hanya menggelar pengajian, tapi juga menggelar arisan bahkan termasuk
membahas dan merespon isu kebersihan lingkungan dengan berinisiatif membentuk lingkar bank sampah
warga. Dalam setiap pertemuan tersebut, ibu-ibu membawa sampah non-organik yang berasal dari rumah
tangga masing-masing. Selanjutnya, sampah tersebut disetor ke pengurus BUMDesa Panggung Lestari Desa
Panggungharjo.
hanya berbasis wilayah namun juga sektoral mendorong semakin kuatnya kohesifitas sosial
dan mendorong terbangunnya inklusitas sosial di desa. Rekatan-rekatan tersebut digerakkan
melalui komunitas-komunitas yang berkembang di setiap pedukuhan Desa Panggungharjo.
Rekatan yang berasal dari inisiatif warga selanjutnya menjadi gayung bersambut bagi
Pemerintah Desa Panggungharjo dalam merumuskan visi misi pembangunannya. Tiga hal
yang dianggap penting sebagai perekat mewujudkan pembangunan desa ialah inisiasi desa
budaya, menggerakkan remaja untuk mewujudkan desa sehat, dan pengaturan rumah sewa
atau kos-kosan.

Salah satu inisiatif warga yang difasilitasi oleh Pemerintah Desa adalah pembentukan
Paguyuban Bumi Panggung. Pembentukan Paguyuban Bumi Panggung merupakan langkah
strategis pemerintah desa untuk menyiapkan Desa Panggungharjo sebagai rintisan desa
budaya. Bumi Panggung merupakan implementasi dari inisiatif warga untuk berkesenian.
Banyaknya komunitas seni dan budaya yang bertebaran di Desa Panggungharjo menjadi
momentum untuk mewujudkan desa destinasi wisata seni. Inisiatif kelompok kesenian ini
kemudian mendapatkan respon dari kepala desa dengan membentuk dan melantik
kepengurusan Bumi Panggung. Kepengurusan Paguyuban Bumi Panggung sebagian besar
diisi oleh kalangan pemuda. Melalui Bumi Panggung, para pemuda Desa Panggungharjo
memiliki arena untuk berkreasi dan berbudaya.12 Bahkan, untuk mewujudkan Desa
Panggungharjo menjadi desa budaya, warga bersama pemerintah desa berinisiatif
memasukkan konsep tersebut dalam perubahan Peraturan Desa Nomor 4 Tahun 2013
tentang Rencana Pembangunan jangka Menengah Desa Tahun 2013-2017.13
Selain isu terkait desa budaya, hal lain yang cukup menarik dari Desa Panggungharjo adalah
adanya inisiatif warga desa tentang isu perlindungan hak anak. Pemerintah desa bersama
dengan anak-anak dan para remaja desa berinisiatif membentuk forum anak Desa
Panggungharjo yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Lurah Nomor 10 Tahun 2015
sebagai suatu bentuk keberpihakan pemerintah desa kepada pemenuhan dan perlindungan
hak anak. Narasi–narasi tersebut menandai adanya kemauan kuat Pemerintahan Desa
Panggungharjo untuk memberi akses bagi hadirnya inisiatif warga dalam membangun desa.
Geliat aktif warga desa ini merupakan suatu bukti bahwa apabila pemerintahan desa dapat
merawat prakarsa warga secara baik akan memunculkan ruang-ruang demokrasi yang lebih
bermakna di tingkat desa.

12
Bumi Panggung sebagai wadah paguyuban di Desa Panggungharjo telah melaksanakan pagelaran seni yang
disebut Panggung Literasi Selatan. Panggung Literasi Selatan merupakan inisiatif warga desa untuk mewadahi
para pelaku seni dan pertunjukan yang tersebar di segenap pelosok desa, terutama di wilayah Selatan yang
kebetulan berdekatan dengan kampus ISI Yogyakarta.
13
Khususnya di penjelasan tujuan dan sasaran Pemerintah Desa Panggungharjo mengemban salah satu misi
peningkatan kesadaran masyarakat terhadap kelestarian seni budaya dan tradisi lokal.
Sementara di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, isu
pengelolaan sumberdaya air merupakan hal yang sangat krusial bagi sebagian besar warga
Desa Umbulharjo, sebuah desa yang terletak di kaki Gunung Merapi. Inisiatif warga dalam
pengelolaan air bersih muncul dari sejarah panjang bagaimana warga desa berupaya
memenuhi kebutuhan air bersih. Pada awalnya, mereka memenuhi kebutuhan air untuk
mandi dan mencuci harus bersusah payah mengakses sumber air dari sungai kecil yang
bernama kali kuning. Sedangkan air bersih untuk kebutuhan rumah mereka harus
membawanya dengan “ngangsu” dari bawah yakni dari Umbul Temanten. 14 Bagi warga
yang mampu, mereka memasang selang sendiri untuk membawa air ke rumahnya. Hal ini
terus berlangsung sampai tahun 1997-1998 saat pemerintah pusat melaksanakan P3DT
(Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal) dengan pembangunan
prasarana air bersih, salah satunya membuat bak penampungan air.15
Setelah adanya bak penampungan air, mulailah muncul inisiatif warga desa melalui dana
swadaya membuat instalasi pipa untuk menyalurkan air dari bak penampungan air hingga
ke rumahnya. Sayangnya, inisiatif warga ini masih bias kepentingan rumah tangga yang
mampu atau yang dekat dengan sumber mata air saja. Akibatnya hanya warga desa yang
berada di dekat bak penampungan air dan mampu yang dapat mengakses air. Warga yang
jauh dari bak penampung dan tidak memiliki dana sulit untuk mendapatkan air bersih. Hal
ini menunjukkan bahwa inisiatif warga baru muncul setelah adanya stimulus program dari
pemerintah dan di sisi lain juga menunjukkan masih kurangnya kesadaran sebagian warga
desa untuk berbagi sumber daya air kepada warga desa lainnya yang membutuhkannya.
Merespon permasalahan tersebut, pemerintah Desa Umbulharjo pada tahun 1998
berinisiatif untuk terlibat dalam pengelolaan air bersih. Pemerintah desa mengundang
beberapa tokoh masyarakat dari beberapa dusun untuk membentuk Organisasi Pengelola
Air Bersih (OPAB). Proses pembentukan pengurus OPAB ditentukan melalui musyawarah
mufakat. Setelah terbentuknya OPAB, sumberdaya air mulai dapat terdistribusi kepada
semua warga secara merata.
Pengelolaan sumberdaya air merupakan isu publik yang sangat penting di Desa Umbulharjo,
sehingga isu tersebut selalu mendapat perhatian dan sorotan warga desa. Warga desa aktif
mengartikulasikan suaranya terkait pengelolaan sumberdaya air terutama, jika ada
permasalahan yang dirasa memberatkan warga desa. Untuk merespon suara-suara warga
terkait permasalahan pengelolaan sumberdaya air tersebut, pemerintahan Desa Umbulharjo
melalui Badan Permusyaratan Desa (BPD) berinisiatif membuat buku aspirasi. Warga Desa
Umbulharjo juga terbiasa menyalurkan aspirasinya melalui rapat-rapat Rukun Tetangga (RT)
dan bahkan menyampaikannya secara langsung kepada perangkat desa dan kepala desa.

14
Ngangsu adalah istilah dalam bahasa jawa yang berarti mencari dan mengambil air dengan cara manual dari
suatu tempat. Umbul Temanten adalah salah satu mata air utama di Desa Umbulharjo yang terletak di Lereng
Merapi.
15
Program ini bersumber dari Bappenas dan diimplementasikan pada tahun 1997-1998 dalam bentuk
penyedian sarana prasana air bersih berupa pipa saluran air dari sumber mata air dan bak-bak penampungan
air di setiap dusun
Berbagai permasalahan yang muncul baik internal maupun eksternal tidak menyurutkan
pelayanan OPAB kepada warga desa Umbulharjo. OPAB terus melakukan perbaikan
pengelolaan dan peningkatan pelayanan yang lebih baik bagi warga secara keseluruhan.
Baru-baru ini OPAB sedang melakukan program pemasangan water meter. Program
tersebut dilakukan sebagai jalan keluar dari polemik kecemburuan distribusi air diantara
warga. 16 Pemasangan water meter dipandang sebagai solusi untuk mengukur penggunaan
air agar terjadi proses yang adil bagi semua penerima manfaat dalam memanfaatkan
sumberdaya air. Agar tidak membebani warga desa selaku pengguna, pengurus OPAB
berinisiatif untuk mencari sumber pendanaan dari program-program pembangungan, mulai
dari program Rekompak hingga menggunakan Dana Desa.17 Hal tersebut dilakukan oleh
pengurus OPAB dikarenakan banyak warga yang menolak untuk dipasang water meter
karena khawatir jika terpasang water meter aliran air tidak akan lancar. Mereka menunggu
bukti ketika dipasang water meter dan diatur pengelolaannya dengan tarif maka aliran air
akan lancar dan teratur. Oleh karena itu, pengurus kemudian membuat pilot project di
dusun Pentingsari untuk program pemasanganwater meter.18
Praktik baik ini segera disosialisasikan ke seluruh warga desa dan program dilanjutkan di
dusun Karanggeneng, Gambretan, dan sebagian Balong yang belum terpasang semua.
Beberapa dusun sudah menyetujui untuk pemasangan alat pengukur pemakaian air
tersebut. Hanya Dusun Gondang yang masih menolak untuk dipasang water meter. Padahal,
Gondang merupakan dusun yang banyak berdiri pondok wisata, semacam penginapan-
penginapan kecil. Pemakaian air di pondok wisata relatif lebih besar dibandingkan dengan
pemakaian rumah tangga biasa. Penolakan tidak hanya dari pemilik pondok wisata, tetapi
masyarakat lain juga menolak. Penolakan ini lebih disebabkan kurangnya kesadaran para
pelaku usaha wisata dan warga untuk berbagi pemanfaatan air dan sarat dengan
kepentingan ekonomi mereka. Pemerintah desa dan pengurus OPAB masih terus
memberikan sosialisasi kepada warga Gondang terkait water meter ini melalui pertemuan-
pertemuan warga.
Selain permasalahan pengelolaan dan pelayanan sumberdaya air oleh OPAB dalam rangka
melayani kebutuhan air bersih bagi warga Desa Umbulharjo, pemanfaatan sumberdaya air
tersebut juga menimbulkan permasalahan lain karena sumberdaya air tersebut juga
dimanfaatkan oleh pihak pengelola lainnya yakni Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM)
Tirta Marta yang merupakan perusahaan daerah Kota Yogyakarta dan PDAM Tirta Dharma
16
Sebelum adanya water meter, warga hanya dibebankan iuran tetap Rp. 4.000,- per bulan tanpa
mempedulikan penggunaan debit air yang digunakan. Namun, seringkali beberapa warga yang berada di
daerah bawah tidak bijak dalam menggunakan air. Mereka membiarkan air mengalir hingga meluap padahal
ada warga lain yang rumahnya berada di atas tidak mendapatkan air karena semua air mengalir ke bawah.
17
Rekompak (Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas) merupakan
program dari pemerintah pusat yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) bersama
Ditjen Penataan Bangunan dan Lingkungan Cipta Karya, Kementerian PU paska erupsi Merapi 2010
18
Pentingsari dipilih untuk pilot project karena masyarakatnya yang relatif lebih mudah diajak melakukan
perubahan dan mereka membuka diri dengan hal-hal yang baru. Hasilnya, setelah water meter terpasang
aliran air bersih di dusun menjadi lebih lancar.
yang dimiliki oleh pemerintah Kabupaten Sleman. Permasalahan yang cukup krusial adalah
belum adanya peraturan yang jelas diantara para pengelola sumberdaya air tersebut.
Bahkan beberapa pihak pengelola tidak pernah memberikan kontribusi bagi hasil yang jelas
kepada Desa Umbulharjo. Dana bagi hasil pengelolaan air dari perusahaan maupun desa lain
tidak dipatok pada biaya tertentu. Hal tersebut dikarenakan belum ada keputusan bersama
terkait pemeliharaan Umbul Wadon. Padahal, dana tersebut sangat dibutuhkan untuk
pemeliharaan jaringan dan menjaga kelestarian sumber mata air. Saat ini baru PDAM Tirta
Marta yang memberikan iuran perawatan kepada desa Umbulharjo sejumlah Rp.7.000.000,-
pertahun, dan PDAM Tirta Darma Rp. 2.500.000,-pertahun.
Berbagai permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya air tersebut pada akhirnya
mendorong inisiatif warga bersama pemerintah desa serta BPD untuk mengelola
sumberdaya air sebagai bagian dari unit usaha BUMDesa.19 Inisiatif ini mampu
diartikulasikan hingga berdiri BUMDesa melalui forum musyawarah desa (Musdes) yang
mengelola air bersih melalui unit usahanya. Pemerintah desa, BPD, dan BUMDesa serta
warga desa berharap bahwa dengan dikelola oleh BUMDesa maka pengelolaan air ke depan
dapat lebih profesional tanpa meninggalkan kearifan lokal yaitu gotong royong dan swadaya
masyarakat serta tarif yang dapat diterima oleh semua pihak.
Kisah prakarsa warga terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam dan aset desa dapat
juga dilihat dari apa yang terjadi di Desa Punjulharjo, Kecamatan Rembang, Kabupaten
Rembang.20 Isu publik yang mengemuka di Desa Punjulharjo tentang pengelolaan kawasan
pantai Karang Jahe Beach (KJB) sebagai kawasan wisata baru di Rembang. Beberapa
permasalahan yang terjadi dalam konteks pengelolaan kawasan wisata itu antara lain; kasus
tukar guling tanah milik desa yang akan dijadikan kawasan wisata dengan tanah milik warga
yang berada di lokasi wisata tersebut; transparansi pengelolaan keuangan KJB; serta
masalah penempatan lokasi berdagang bagi warga desa yang ingin berjualan di lokasi wisata
tersebut.
Untuk mencari solusi atas permasalahan tukar guling tanah yang belum rampung, sebagian
warga yang terdampak menggunakan saluran formal yakni Musyawarah Desa (Musdes)
untuk menyampaikan kepentingan mereka.21 Selain menggunakan saluran formal melalui
Musdes, warga pernah melakukan demonstrasi kepada mantan Kades berkaitan dengan
masalah tukar guling yang menurut masyarakat pengurusannya tidak kunjung selesai. Saat
itu, puluhan ibu-ibu yang berdemonstrasi mendatangi kediaman mantan lurah untuk
menanyakan penyelesaian soal tukar guling. Mereka memperoleh penjelasan: pertama,

19
Pilihan terhadap BUMDes sebagai suatu model pengelolaan barang kepentingan untuk umum (public goods)
merupakan suatu solusi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan asset desa yang relatif berkeadilan dalam
hal distribusi barang kebutuhan umum warga. Dengan syarat dikelola secara professional yang
mengedepankan prinsip akuntablitas dan transparansi serta tanpa meninggalkan kearifan lokal serta
partisipasi warga desa.
20
Dikenal sebagai desa dengan karakter desa pesisir Pantai Utara Jawa yang relatif kental dengan nuansa
budaya santri yang cenderung paternalistik dan patriarkhis.
21
Sampai penelitian ini selesai diselenggarakan, belum ada solusi atas permasalahan tersebut.
bahwa belum semua warga yang ikut program tukar guling membayar secara lunas, dan
kedua, saat demonstrasi tersebut terjadi, aturan tukar guling harus sepengetahuan
gubernur. Namun sayangnya, demonstrasi warga tersebut masih belum membuahkan hasil
berupa kepastian hukum terhadap proses tukar guling pada warga, sekalipun ada warga
yang telah membayar lunas.
Selain masalah tukar guling, isu krusial lainnya terkait pengelolaan KJB adalah transparasi
pengelolaan keuangan KJB yang dinilai warga kurang dapat dipertanggungjawabkan
pengelola KJB. Berangkat dari kondisi tersebut, sebagian warga desa berinisiatif
mengusulkan perubahan kelembagaan pengelola KJB yang kemudian diubah menjadi Badan
Pengelola KJB (BP KJB). Dalam badan pengelola tersebut ada unsur BPD, pemerintah desa,
PKK, mantan pengurus Karang Taruna dan unsur-unsur lain. Dengan diperluasnya unsur-
unsur pemangku kepentingan yang duduk dalam BP KJB, maka kepercayaan warga terhadap
pengelola KJB meningkat. Kontrol terhadap pengelolaan KJB dilakukan oleh wakil-wakil
warga dalam badan itu. Penyelesaian atas persoalan-persoalan tersebut dalam BP KJB,
biasanya ditempuh dengan cara musyawarah.
Selain forum formal, terdapat semacam tradisi-tradisi lokal yang sering dilakukan warga
untuk menyampaikan gagasan, aspirasi dan inisiatif warga terkait pengelolaan KJB, seperti
forum tahlilan di masing-masing RT, forum pengajian di masjid, serta obrolan di warung-
warung kopi yang banyak terdapat di Desa Punjulharjo. Pada umumnya setelah diskusi
dalam forum-forum informal tersebut, ditindaklanjuti dalam forum formal di tingkat desa.
Bahkan warga masyarakat juga bisa mendatangi kepala desa secara personal dan pihak BPD
serta tokoh agama untuk menyampaikan permasalahan mereka terkait dengan KJB. Peran
tokoh agama masih relatif kuat dan berpengaruh di Desa Punjulharjo yang merupakan
lingkungan masyarakat pesantren.
Saluran-saluran di atas dipandang cukup efektif untuk menyalurkan inisiatif warga. Apalagi,
selama ini kepala desa cukup akomodatif menampung keluhan atau aspirasi warga yang
rasional. Menurut ketua ibu-ibu PKK Desa Punjulharjo, jika memang usulan itu cukup baik
untuk kepentingan warga masyarakat dan tidak melanggar aturan, biasanya kepala desa
akan memperhatikan. Penggunaan ruang-ruang publik untuk menyampaikan aspirasi dan
dialog sudah cukup terbuka. Warga cukup mampu menyampaikan keinginan dan harapan
untuk disampaikan kepada Kadesnya. Ruang publik sebagai sarana demokrasi di desa
Punjulharjo sudah bisa dirasakan warga masyarakat. 22
Meskipun demikian, adanya ruang-ruang publik yang dapat menjadi ruang artikulasi bagi
inisiatif warga dalam menyampaikan kepentingannya tersebut, tidak dengan sendirinya
menjamin adanya keterbukaan dan kesetaraan dalam ruang demokrasi desa. Hal ini
dikarenakan masih relatif kentalnya budaya paternalistik dan patriarkhis di Desa
Punjulharjo. Buktinya, hampir semua pelaku perubahan di desa Punjulharjo didomininasi
22
Ruang Demokrasi deliberatif akan sulit berkembang dalam masyarakat yang masih kuat pengaruh budaya
paternalistik (parochial) dan patriarkhis, karena demokrasi deliberatif mensyaratkan adanya kesetaraan antara
warga dalam membangun diskursus publik.
oleh para tokoh agama dan laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa ruang publik di Punjulharjo
belum sepenuhnya ramah terhadap partisipasi kelompok perempuan, termasuk di dalamnya
dalam hal pengelolaan kawasan wisata KJB.
Senada dengan pengalaman Punjulharjo, Pengalaman di Desa Mekarjaya, Kabupaten
Sukabumi, menunjukkan keterbatasan saluran komunikasi politik warga melalui jalur
demokrasi formal-prosedural dan keterwakilan di desa, ternyata mampu dipecahkan oleh
warga. Warga Desa Mekar Jaya memanfaatkan saluran komunikasi tradisional dalam bentuk
tradisi “gotong royong” yang masih sangat kuat dalam membahas berbagai permasalahan
atau isu-isu publik yang tengah menjadi perbincangan warga desa. Di desa ini, gotong
royong tidak hanya sekedar sebuah aktivitas kerjasama fisik dalam membangun sesuatu,
tapi berkembang pula diskusi yang membahas isu-isu publik atau permasalahan umum yang
terjadi di desa. Mulai dari pembahasan terkait penggunaan alat berat untuk mempercepat
pembangunan lapangan sepak bola desa, diskusi tentang perlu tidaknya perempuan terlibat
dalam pembangunan lapangan sepak bola, masalah peraturan desa hingga mendiskusikan
tentang anggaran desa.
Gotong royong sebagai sebuah modal sosial dimanfaatkan oleh pemerintah desa sebagai
media dan saluran komunikasi politik antara warga desa dengan pihak pemerintah Desa
Mekar Jaya. Situasi komunikasi yang terbangun dalam kegiatan gotong royong tersebut
relatif terbuka dan dialogis. Warga desa siapapun dia, tidak peduli tua atau muda, kaya
atapun miskin memiliki hak yang sama untuk menyuarakan aspirasinya. Pemerintah desa
melalui kepala desa relatif hanya berfungsi sebagai fasilitator, sehingga pola komunikasi
yang terjadi bersifat horizontal dengan kedudukan yang setara.23
Hal ini dapat ditunjukkan pada saat waktu istirahat di sela-sela aktivitas gotong royong
pembangunan lapangan sepak bola. Ada seorang tokoh perempuan desa yang
mengusulkan pada Kades agar perempuan diikutsertakan gotong royong pembanguan
lapangan sepak bola. Kepala Desa tidak langsung menjawab, tetapi meminta pendapat
tokoh masyarakat lainnya yang ternyata kurang sependapat bila perempuan ikut gotong
royong membuat lapangan. Alasannya, disamping lokasi lapangan jauh dari kawasan rumah
penduduk, perempuan tidak banyak memanfaatkan lapangan sepak bola, sehingga kurang
adil bila perempuan harus diikutsertakan. Berbeda dengan gotong royong membangun
masjid, musholla, air bersih dan jalan, perempuan selalu diikutkan dalam gotong royong
dengan bentuk dan porsi pekerjaan yang disesuaikan dengan kepantasannya. Contoh lain
yang terjadi saat gotong royong pada saat seorang pemuda mengajukan protes pada Kades
tentang permasalahan kelompok pemuda yang mengajukan usulan dana untuk membuat
kolam pemancingan pemuda, tidak bisa disetujui desa di tahun ini. Kepala Desa menjelaskan
bahwa dana desa tidak bisa dikeluarkan kalau belum masuk dalam APBDes. Oleh karena itu
usulan dari pemuda baru bisa diberikan tahun depan setelah dimasukan dalam RKPDes dan

23
RAPBDes. Dialog antara pemuda dan Kades tentang dana desa didengar oleh semua warga
desa berpartisipasi dalam gotong royong tersebut.
Relatif tidak ada sekat-sekat sosial yang muncul dalam tradisi gotong royong di Desa Mekar
Jaya tersebut menunjukkan adanya relasi kesetaraan dalam budaya warga desa. Jika
dimaknai lebih dalam dapat diartikan bahwa antara nalar warga desa dan nalar pemerintah
desa relatif telah terbangun budaya egaliter yang dapat menjadi semacam embrio bagi
tumbuh kembangnya demokrasi deliberatif pada aras desa. Selain itu, inisiatif-inisiatif warga
yang muncul dalam setiap aktivitas gotong royong tersebut merupakan bentuk nyata dari
adanya kesadaran warga aktif untuk terlibat dalam proses pembangunan di Desa Mekar
Jaya.
Tidak sebatas mendiskusikan hal berkaitan dengan aktivitas sehari-hari warga, gotong
royong pun membahas proses pengambilan keputusan publik terkait dengan peraturan
desa, salah satunya Perdes tentang gotong royong. Ketua LPMD mempunyai ide yang
disampaikan secara langsung Kepala Desa dan anggota BPD bahwa Perdes gotong royong
dianggap sangat penting untuk menjaga dan melestarikan modal sosial Desa Mekarjaya
yang telah terbukti menjadi kekuatan kemandirian desa. Siapapun kepala desanya, gotong
royong akan menjadi kekuatan utama desa. Jika tidak ada Perdes gotong royong,
dikhawatirkan jika di masa yang akan datang Kades tidak suka dengan gotong royong, maka
kegiatan gotong royong tidak menjadi bagian kebijakan desa untuk kekuatan pembangunan.
Pada akhir diskusi dalam forum gotong royong tersebut, disepakati akan diusulkan kepada
BPD untuk menyusun Perdes tersebut melalui forum Musyawarah Desa.
Cerita-cerita tersebut di atas merupakan contoh-contoh munculnya inisiatif warga yang
disampaikan di lokasi gotong royong. Hal ini membuktikan bahwa media gotong royong
bisa menjadi forum warga untuk menyampaikan aspirasinya agar terakomodasi dalam
program desa. Banyak program pembangunan Desa Mekar Jaya yang berawal dari inisiatif
warga yang disampaikan di lokasi gotong royong, seperti pembangunan jalan, pembangunan
jembatan, pengembangan pertanian organik, dan lain-lain.
Pembelajaran yang bisa diambil dari Desa Mekarjaya ini adalah adanya fakta sosial bahwa
gotong royong warga bisa menjadi kekuatan desa untuk membantu warga yang miskin
tanpa tergantung dengan bantuan dari luar desa. Sudah menjadi tradisi masyarakat Desa
Mekarjaya dalam hidupnya berbagi dengan warga miskin sekitarnya, walupun kondisi
dirinya tidak berlebihan. Basis penopang kehidupan keluarga miskin desa ini dari gotong
royong warga di lingkungannya. Mulai dari pernikahan, melahirkan anak, membuat atau
memperbaiki rumah sampai pekerjaan hariannya mendapat dukungan dari warga di
sekitarnya. Warga Desa Mekar Jaya memiliki pandangan hidup yang menjadi acuan warga :
“mandiri walaupun miskin, dan membagi kepada warga miskin walaupun dirinya tidak
hidup dalam kecukupan”. Pandangan hidup ini merupakan bentuk keyakinan lokal yang
dapat menambah khazahah pengetahuan atas praktik-praktik kehidupan berdemokrasi di
desa-desa yang ada di belahan bumi nusantara ini.
Lemahnya Inisiatif Warga
Selain menorehkan kisah sukses tentang inisiatif warga, ada pula variasi narasi tentang
lemahnya prakarsa warga atau inisiatif warga yang kuat namun lemah dalam
mengkonsolidasikan dukungan sehingga tidak mendapatkan respon dengan memadai dari
pemangku kepentingan desa. Pengalaman Desa Cangkudu dan Ringinrejo, menggambarkan
tentang adanya inisiatif warga namun kurang disambut baik oleh pemerintah desa.
Sementara pengalaman Ngadisari menunjukkan kuatnya pemerintah desa yang berhimpit
dengan institusi adat justru melemahkan inisiatif warga.
Sebagaimana di Desa Panggungharjo, reformasi birokasi juga dilakukan oleh Desa Cangkudu,
Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang. Desa ini telah berubah karakternya dari wilayah
rural menjadi urban karena perkembangan industri yang ditandai banyaknya pendirian
pabrik. Pemerintah desa telah melakukan peningkatan pelayanan publik menjadi makin
cepat dan mudah, sehingga warga desa pun merasakan manfaatnya. Warga Desa Cangkudu
mengakui apa yang telah dilakukan oleh pemerintah desa sekarang memang jauh lebih
bagus, terutama dalam hal pelayanan administrasi di kantor pemerintah desa, dibandingkan
pemerintahan desa terdahulu yang dipimpin oleh lurah yang berlatar belakang keluarga
jawara.24
Tetapi, reformasi teknokratis-adminitratif ini belum membawa dampak yang lebih luas
dalam mendorong tumbuh kembangnya inisiatif warga, menciptakan keterbukaan saluran
artikulasi warga dalam ruang demokrasi yang ada di desa. Upaya reformasi birokrasi di Desa
Cangkudu masih terbatas dampaknya pada perubahan kinerja aparat desa dalam melakukan
pelayanan publik, terutama dalam hal meningkatkan kualitas dan integritas (kedisiplinan
dan kepatuhan terhadap sistem) perangkat desa. Perubahan dalam kinerja pemerintah desa
ini belum mampu membangkitkan gairah warga untuk berpartisipasi aktif dalam setiap
proses pengambilan kebijakan di Desa Cangkudu.
Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan warga jika mereka jarang diajak berdialog untuk
membahas hal-hal yang penting, seperti permasalahan ketenagakerjaan dan masalah konflik
warga dengan pabrik. Menurut warga, meskipun reformasi birokasi telah menghasilkan
pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik dibandingkan pemerintah desa terdahulu,

24
Mengacu pada studi Tihami (1992:2000) dalam Hamid (2004), yang menyatakan bahwa Jawara merupakan
individu yang karena kekayaannya dekat dengan para Kiai atau ulama dan merupakan salah satu elemen
kepemimpinan yang sangat berpengaruh di Banten. Dalam konteks sejarah masyarakat Banten, Jawara adalah
sosok tentara fisik, yang pada saat era kolonial para Jawara ini bersama para ulama melakukan perlawanan
terhadap Kolonial Belanda. Secara etimologis, kata Jawara berasal dari bahasa Arab, “Jauharao” yang berarti
“Permata” dan kata “Waro’i” yang berarti orang-orang yang bersih. Namun dalam perkembangannya makna
Jawara telah mengalami transformasi menjadi makna yang berkonotasi negatif yakni menjadi akronim dari
Jalma Wani Rampog (orang yang berani merampok). Berdasarkan hasil penelitian dari Abdul Hamid (2006:45-
63) terkait Peranan Jawara dalam konteks Penguasaan Politik Lokal di Banten, menunujukkan bahwa Jawara
merupakan entitas politik yang relatif berpengaruh dalam arena percaturan politik di wilayah Banten dan
bahkan telah mengakar dalam setiap sendi kehidupan politik di Banten.
tapi pemerintah desa saat ini masih kurang mendengarkan aspirasi warga. Salah seorang
tokoh di Desa Cangkudu, mengaku belum pernah diundang dalam proses musyawarah desa
untuk membahas permasalahan pengelolaan bisnis limbah yang sering menimbulkan konflik
di desa ini. Pernyataan warga desa dan tokoh masyarakat Cangkudu dibenarkan sekaligus
diklarifikasi BPD. Dalam penyelenggaraan musyawarah desa, BPD berkilah tidak mungkin
mengundang semua warga desa. Menurut BPD ketidakterlibatan warga dan tokoh
masyarakat dalam Musdes hanya persoalan teknis karena sesungguhnya mereka sudah
diwakili oleh warga lain yang hadir dalam Musdes tersebut.
Pada kenyataannya apa yang dikritisi warga ternyata bukan semata persoalan teknis
sebagaimana diungkapkan BPD. Warga merasa kurang dilibatkan dalam merumuskan hal-
hal strategis di desa yang dibahas dalam Musdes. Akibatnya, keputusan-keputusan strategis
pemerintahan desa belum diketahui oleh warga desa. Sebagian warga desa tidak
mengetahui kebijakan desa dalam bentuk peraturan desa, termasuk tidak tahu besaran
APBDes dan alokasi atau penggunaannya. Prinsip transparansi dan akuntabilitas publik
belum nampak di Desa Cangkudu. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya informasi terkait
Peraturan Desa, APBDes dan juga LPJ Kepala Desa yang dapat diakses langsung oleh warga
baik dalam bentuk offline (papan pengumuman, banner, poster yang terpampang di kantor
pemerintah desa) maupun yang dapat diakses secara online dalam bentuk media sosial
seperti facebook, twitter, dan website.
Apa yang terjadi di Desa Cangkudu, meskipun ada praktik partisipasi dalam proses
Musrenbangdes dan Musdes, namun belum merefleksikan hakikat atau substansi dari
partisipasi yang menekankan pada prinsip kesetaraan dan inklusifitas. Sebagaimana
dikatakan oleh Chambers (1996) bahwa dalam praktik partisipasi seringkali terjadi bias.25
Belajar dari pengalaman dari model reformasi birokrasi yang dilakukan Desa Panggungharjo
dan Desa Cangkudu ini dapat dijadikan sebuah model perbandingan. Inovasi yang dilakukan
oleh dua pemerintah desa tersebut dalam melakukan reformasi birokrasi bagi perbaikan
pelayanan publik relatif memiliki dampak yang berbeda. Reformasi birokrasi di Desa
Panggungharjo memiliki tujuan untuk mendorong pemerintahan desa yang lebih terbuka
sehingga berdampak munculnya inisiatif-inisiatif warga dan forum-forum warga yang aktif
menyuarakan kepentingan mereka terhadap pembangunan desa. Di sisi lain, reformasi
birokrasi yang terjadi di Desa Cangkudu relatif baru menyentuh aspek penataan administrasi
pemerintahan dan meningkatkan kapasitas birokrasi desa dalam melakukan pelayanan
kepada warga desa. Reformasi belum menyentuh aspek keterbukaan dan transparansi
pemerintah desa. Kondisi ini diperparah dengan masih minimnya inisiatif warga untuk
terlibat dalam proses-proses pengambilan keputusan di desa sehingga ruang demokrasi
yang tersedia relatif masih berwatak formal-prosedural.

25
Seperti bias kepentingan elit atau hanya elit yang berpartisipasi, bias aktif atau hanya orang-orang yang aktif
yang berpartisipasi dan meninggalkan yang pasif, bias gender dan bias kaum terdidik atau hanya orang-orang
yang terdidik yang berpartispasi. Sementara orang yang tidak berpendidikan tidak dilibatkan.
Pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa tersebut adalah bagaimana sebuah kekuatan
inisiatif warga dapat membawa suatu perubahan nyata bagi warga desa. Terbentuknya
beragam forum warga aktif dalam merespon isu-isu publik di tingkat desa merupakan suatu
bentuk nyata dari sebuah gerakan sosial yang tumbuh dari warga dalam ruang demokrasi
desa yang berperan aktif sebagai ruang antara (intermediary space) masyarakat sipil di satu
sisi dengan negara atau pemerintah desa di sisi yang lain. Inisiatif-inisiatif warga aktif ini
dapat menjadi sumber bagi proses penguatan demokrasi terutama dalam menghadapi
perkembangan masyarakat yang semakin kompleks di desa. Di sisi lain, pemerintahan desa
yang responsif merupakan syarat utama bagi berkembangan pelembagaan demokrasi desa
yang lebih bermakna.
Berbeda dengan pengalaman Cangkudu yang minim inisiatif, kisah Inisiatif warga dengan
gerakan yang lebih radikal terjadi dalam kasus claiming lahan di Desa Ringinrejo, Kecamatan
Wates, Kabupaten Blitar. Sayangnya, kuatnya inisiatif warga tidak direspon baik oleh
pemerintah desa yang cenderung tertutup dan korporatik. Di desa ini, terdapat tanah milik
PT. Semen Dwima Agung Para yang tidak dimanfaatkan, sehingga sejak tahun 1990an
diolah oleh warga. Alasan warga memanfaatkan lahan tersebut karena memungkinkan
mereka yang lahan pribadinya sedikit dapat mengolah lahan yang lebih luas, atau bahkan
memungkinkan mereka yang sebelumnya sama sekali tidak memiliki lahan garapan menjadi
memiliki lahan untuk dikerjakan. Bertambahnya aset tanah yang digarap memungkinkan
pertambahan jumlah produksi pertanian dan penghasilan mereka yang kemudian
meningkatkan kesejahteraan petani. Bahkan petani yang awalnya hanya menanam tanaman
lahan sawah, kebun, dan ladang seperti singkong, jagung, kedelai dan terbatas pada musim
penghujan, kini mulai melakukan variasi menanam tanaman hortikultura seperti cabai,
melon, ketimun, semangka yang memiliki harga jual lebih tinggi. Para petani bahkan
membuat sumur bor dengan harapan dapat mengairi ladang sehingga dapat ditanami
sepanjang tahun.
Selama puluhan tahun para petani telah memanfaatkan lahan. Selama itu juga mereka
berupaya mengajukan klaim atas tanah tersebut, tetapi tentu tidak diijinkan oleh
perusahaan pemilik lahan. Mereka berorganisasi/berkelompok untuk mengupayakan hak
kepemilikan atas lahan yang digarap. Hingga kini kelompok tersebut telah mengalami
dinamika mulai dari pergantian kepemimpinan hingga terbelahnya perjuangan ke dalam dua
kelompok. Saat ini, terdapat dua kelompok masyarakat yang tengah memperjuangkan
claiming atas tanah PT. Semen Dwima Agung di Desa Ringinrejo. Kelompok pertama adalah
Paguyuban Petani Gondangtapen yang digawangi oleh Talminto, dan yang kedua adalah
kelompok Gito. Sayang, diantara kedua kelompok kurang terjadi komunikasi yang baik
meskipun tanah yang mereka perjuangkan sepenuhnya adalah tanah yang sama, begitupula
masyarakat penggarap yang mereka perjuangkan nasibnya. Ketiadaan komunikasi dan
pemahaman satu sama lain ini pada akhirnya juga menimbulkan saling prasangka satu sama
lain dan kebingungan bagi petani penggarap sehingga banyak petani memilih untuk tidak
terlibat sama sekali dalam upaya memperoleh tanah perkebunan.
Persoalan klaim ini semakin menguat ketika tahun 2013 Menteri Kehutanan melalui Surat
Keterangan Menteri Kehutanan No.367 menyatakan bahwa lahan perkebunan milik PT.
Semen Dwima Agung (seluas 724,23 Ha)merupakan kawasan hutan produksi. 26 Masyarakat
pengolah lahan merasa bahwa sumber penghidupan mereka terancam apabila pemerintah
ingin menghutankan kembali lahan yang telah mereka olah. Selain itu, sejumlah area di
kawasan perkebunan tersebut tidak hanya telah berubah menjadi lahan bercocok tanam
tetapi juga dimanfaatkan untuk pemukiman. Masyarakat tidak tinggal diam menghadapi
permasalahan ini. Mereka melakukan berbagai aktivitas untuk mempengaruhi para pihak
terkait, termasuk advokasi kepada pembuat kebijakan. Potensi internal kelompok
dioptimalkan dan ditingkatkan, sekaligus menambah mitra jaringan yang mendukung
perjuangan mereka. Gerakan mereka bersifat self-funded, menanggung bersama
pembiayaan yang dibutuhkan untuk advokasi, baik ke Pemda Blitar, ke Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara, hingga temu
dengar dengan pihak Semen Holcim di Swiss.
Dalam melaksanakan aksi, kelompok masyarakat tidak berjalan sendiri tetapi bekerjasama
dengan organisasi non pemerintah yang menekuni isu pertanian seperti Solidaritas
Masyarakat (Sitas) Desa, ELSAM dan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA). Kelompok
masyarakat memang sengaja mencari rekan dalam upaya advokasi, hal tersebut dilakukan
pasca melihat banyaknya kisah sukses upaya claiming maupun redistribusi tanah warga
Blitar yang dibantu oleh organisasi masyarakat sipil. Sayangnya, dukungan dari berbagai
pihak ternyata tidak diikuti oleh dukungan internal desa. Bahkan ketika warga mengajukan
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 367
Tahun 2013, pemerintah desa sulit untuk memberikan tandatangan yang menyatakan
bahwa 726 warga penggarap sawah yang terdaftar dalam dokumen gugatan merupakan
warga Desa Ringinrejo.
Berbeda dengan Cangkudu dan Riginrejo, kuatnya dukungan pemerintah desa juga terjadi di
Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo. Hal yang membedakannya
dengan Desa Nglanggeran dan Panggungharjo terletak pada inisiatornya. Jika di
Nglanggeran, warga yang berinisiatif kemudian didukung oleh pemerintah desa. Di
Panggungharjo, antara inisiatif warga dan pemerintah desa berjalan beriringan karena Kades
memiliki latar belakang aktivis organisasi masyarakat sipil tingkat desa. Tetapi di Desa
Ngadisari, pemerintah desa yang memegang peranan utama. Kuatnya peranan pemerintah
desa karena posisi mereka beririsan dengan pemerintahan adat.
Para tokoh adat di Desa Ngadisari menduduki posisi di pemerintahan desa. Kepala desa saat
ini merupakan isteri dari Ki Petinggi yang menjadi kepala desa pada periode sebelumnya.
Selain punya akar yang kuat dalam pemerintahan adat dan formal, Ki Petinggi juga
memiliki jaringan politik yang membuatnya mampu menghadirkan kebijakan-kebijakan desa

26
SK Menteri Kehutanan No.367 tahun 2013 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Produksi yang Berasal dari
Lahan Kompensasi dalam rangka Pinjam Pakai Kawasan Hutan Atas nama PT. Semen Dwima Agung, yang
terletak di Desa Ringinrejo Kecamatan Wates Kabupaten Blitar Jawa Timur
yang populis dengan dukungan politik dan finansial dari pemerintah Kabupaten Probolinggo.
Kebijakan tersebut di antaranya: pembangunan infrastruktur dan akses jalan ke ladang-
ladang warga di lereng-lereng gunung, pembuatan infrastruktur penunjang pariwisata,
seperti rest area dan kawasan Seruni Point yang dibangun di Dusun Cemoro Lawang, dusun
terdekat dengan kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS).27Pembangunan
infrastruktur pertanian dan penataan sektor jasa pariwisata merupakan keberhasilan Ki
Petinggi selama menjabat. Respon positif warga ini memperlancar isterinya saat
mencalonkan diri sebagai kepala desa Ngadisari.
Berhimpitnya peran adat dan peran pemerintahan formal ini di satu sisi membuat watak
pemerintahan desa bersifat oligarkhis, tetapi di sisi lain dapat memperlancar rekognisi
aturan adat menjadi aturan formal pemerintah desa. Hal ini bisa terjadi karena kuatnya
komitmen pemerintah desa untuk melindungi aset desa, khususnya tanah. Bagi masyarakat
adat Tengger, tanah merupakan ibu bumi suci atau ibu pertiwi, mereka menempatkan tanah
seperti halnya seorang ibu yang memberikan kebaikan sehingga kedudukannya harus dijaga
dan dihormati. Arti simbolis ini, bagi beberapa masyarakat agraris menunjukkan kecintaan
atau rasa lekat pada tanah yang dihubungkan dengan penghormatan kepada dewi bumi, ibu
pertiwi yang melahirkan kehidupan kodrati (Dillistone, 2002).
Sebagai bentuk pengakuan terhadap aturan adat, pemerintah Desa Ngadisari mensahkan
Peraturan Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura No. 2 Tahun 2015 tanggal 4 Mei 2015
tentang “Tata Cara Mutasi Tanah”. Perdes ini pada intinya mengatur bahwa tanah di
Ngadisari tidak boleh dijual atau disewakan kepada pihak luar tanpa rekomendasi kepala
desa dan ketua adat. Untuk memperkuat Perdes ini, pemerintah desa melakukan advokasi
ke Badan Pertanahan Nasional, sehingga di setiap sertifikat tanah yang diterbitkan untuk
warga Ngadisari memiliki stempel berwarna merah yang berisi larangan sebagaimana diatur
dalam Perdes No. 2 Tahun 2015.
Belajar dari pengalaman Desa Panggungharjo dan Ngadisari, transformasi identitas sebagai
masyarakat sipil menjadi bagian dari pemerintahan desa, memberi peluang sangat terbuka
komunikasi politik antara pemerintah dengan masyarakatnya. Kades Panggungharjo berasal
dari aktivis organisasi masyarakat sipil di tingkat desa sehingga kebijakannya pun mampu
merepresentasikan kepentingan masyarakat. Kades Ngadisari berasal tokoh adat sehingga
merumuskan kebijakan desa yang merekognisi aturan adat. Perbedaannya, di
Panggungharjo baik pemerintah dan masyarakatnya sama-sama aktif, sementara di
Ngadisari peran utama lebih dimainkan oleh para elit desa. Sementara warga hanya
mengikuti apa yang telah diputuskan oleh elit desa yang duduk di pemerintahan desa dan
para tokoh adat.

27
Bagi masyarakat petani seperti Ngadisari, akses jalan ke ladang merupakan infrastruktur vital yang mampu
mengurangi biaya tenaga kerja (buruh angkut) dan mendekatkan pasar.
C. Simpul Wacana
Berdasar pengalaman beberapa desa tersebut, ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik:
pertama, gairah dan geliat warga dalam memanfaatkan ruang demokrasi desa dapat dilihat
dari munculnya inisiatif warga dalam merespon berbagai isu di desa. Inisiatif warga tersebut
akan semakin bermakna jika bisa bertemu dengan dukungan pemerintah yang responsif dan
terbuka terhadap suara-suara warga dalam merespon isu-isu publik, sehingga menunjukkan
berjalannya demokrasi deliberatif pada aras desa. Kedua, semangat UU 6/2014 untuk
pengelolaan Desa yang semakin demokratis dalam realisasinya tidak sebatas terjadi dalam
demokrasi prosedural melalui Musdes, tetapi banyak forum-forum informal yang telah
dimanfaatkan masyarakat desa untuk terlibat aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan
desa. Inisiatif warga desa harus dikanalisasi dalam ruang-ruang demokrasi deliberatif, baik
secara formal melalui musyawarah desa, maupun secara infromal melalui engagement
(interaksi aktif) warga desa dengan pemerintahan desa.
Ketiga, peranan tokoh masyarakat memang diperlukan dalam rangka untuk menyelesaikan
konflik tapi jika peran tersebut terlalu dominan apalagi dalam situasi budaya desa yang
masih sangat parochial akan memunculkan dominasi elit desa dalam menjalankan
kepentingannya atas pengelolaan sumberdaya alam dan aset desa. Keempat, isu
pengelolaan sumberdaya alam dan aset desa merupakan isu penting dan strategis di desa
karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Pengalaman berbagai desa menunjukkan
bahwa isu ini menjadi media bekerjanya demokrasi deliberatif. Sensitivitas isu sering
mengakibatkan sumber, dan untuk penanganannya tidak bisa dibiarkan hanya didasarkan
pada inisiatif warga, pemerintah desa harus responsif sebagai pihak yang mempunyai
otoritas untuk menciptakan resolusi konflik yang berkeadilan bagi semua warga desa.
Kelima, lingkungan politik yang kondusif berperan penting dalam memunculkan inisiatif
warga. Di beberapa desa yang didominasi Kades atau elit lainnya, berdampak miskinnya
inisiatif warga, Oleh sebab itu sebagai penyeimbang kekuatan atau dominasi elit desa,
diperlukan kekuatan masyarakati sipil atau warga aktif yang berpartisipasi aktif dalam
pengelolaan sumberdaya alam dan asset desa, serta dalam pengelolaan desa secara
keseluruhan.
Epilog

Arie Sujito
Sosiolog, Peneliti IRE

Tarik ulur antara harapan dan kegalauan sedang mewarnai dinamik desa hari ini.
Pada satu sisi, begitu banyak cerita lokal menganyam prestasi, inovasi dan pola baru
pembaharuan desa yang mempesona. Mulai dari kisah sukses bidang pendidikan,
teknologi informasi, pemberdayaan ekonomi, peduli lingkungan, tata kelola
keuangan, pelayanan publik (Tempo 30.01/2017), dan terobosan lainnya yang layak
diacungi jempol. Itulah penanda gairah kebangkitan desa, menepis mitos
keterbelakangan (IRE, 2015). Akan tetapi, pada sisi lain kerap muncul sindiran sinis.
Meruaknya berita mengenai maladministrasi, korupsi, degradasi ekologi, konflik
komunalitas yang terus membayangi desa, juga menciptakan kekhawatiran akan
terjadinya kerusakan fondasi integrasi sosial komunitas.

Fenomena ini mengingatkan kita mengenai gambaran bagaimana mengawali


penerapan desentralisasi kekuasaan melalui otonomi daerah sebagai babak baru
pasca politik otoriterisme kala itu yang menandai gelombang awal reformasi.
Mengalami fase transisi tentu tidak mudah untuk melangsungkan —meminjam
gagasan Berger 1990) sebagai— internalisasi dan pembaharuan nilai-nilai. Dimana
pengenalan model demokrasi sebagai sistem mengelola kekuasaan baru bertaut
dengan struktur sosial lokal mensyaratkan sekian penyesuaian. Kenyataannya,
karakter budaya lama masyarakat yang dalam beberapa hal terdapat perbedaan
memerlukan proses dialog dan adaptasi baik tingkat substansi maupun simbolik. Apa
yang juga dialami di daerah dan desa kurang lebih berkisar soal semacam itu.

Meskipun demikian, secara bertahap perbaikan dan upaya strategis dalam rangka
pembenahan terus bermunculan, kian meluas, dan kemudian tereplikasi menjadi
kebijakan yang terlembaga. Bahkan tidak kurang best practices (pengalaman terbaik)
daerah menjadi inspirasi tingkat nasional. Hal itu artinya, proses awal pembaharuan
desa sejak diterapkan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, yang masih diliputi
keterbatasan tentu bisa dimaklumi. Kuncinya, kita mampu memetik pelajaran dari
pengalaman yang baik itu sebagai inspirasi meningkatkan kualitas perubahan ke
depan.

Apa yang diuraikan didalam bab demi bab buku ini, tentu menjadi bahan menarik
untuk mengisi harapan baru itu. Perubahan struktur masyarakat, dinamika politik
lokal serta keragaman pola kelola kekuasaan mengisyaratkan potret baru desa, yang
kini mulai berubah. Romansa kehidupannya yang dulu identik keterbelakangan,
miskin dan tertinggal, secara bertahap makin memancarkan pesona baru yang
ditandai dengan tumbuhnya berbagai inisiatif desa sebagai penanda kebangkitan
lokalitas. Perjalanan awal Desa harus menghadapi kesulitan saat memperagakan
pendekatan berdemokrasi. Mulai dari hal mendasar tentang model pembangunan,
instrumentalisasi kebijakan serta tuntutan menciptakan pembaharuan. Sebagian apa
yang dialaminya tidak asing karena sejarah “berdemokrasi” pernah dienyam. Tetapi
banyak pula tantangan yang harus disesuaikan sehingga desa gagap
mengoperasikannya. Kesemua ini, lagi-lagi perlu dimaklumi karena sejarah lama desa
tidak dibiasakan dengan demokrasi dan kemandirian.

Jika ditengok sejenak ke belakang misalnya, nampak jelas bagaimana rasanya begitu
lama desa mengalami marginalisasi (peminggiran), baik urusan ekonomi maupun
politik. Pengalaman buruk dibawah tekanan corak kekuasaan otoriter Orde Baru di
masa lalu menjadikan desa sebagai objek pembangunan. Sekalipun selalu
didendangkan strategi pembangunan berlabel swadaya, penerapan modernisasi
pertanian, justru desa semakin tereksploitasi. Dari rekaman historis, tidak sulit
mengingat bagaimana proyek ambisus green revolution (revolusi hijau) sebagai
reformulasi model pembangunan desa saat itu menekankan pertumbuhan ekonomi
yang bertumpu pada sektor pertanian.

Perubahan sporadis dengan cita rasa kemajuan desa yang modern, toh pada
akhirnya gagal menciptakan pemerataan dan kemandirian. Justru desa mengalami
pelumpuhan sistemik. Selain terjadi kesenjangan sosial, kerusakan ekologi, juga
membuat nirdaya masyarakat karena pranata sosial dijinakkan oleh kebijakan politik
korporatik. UU No 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa saat itu menjadi faktor
yang menjelaskan kebangkrutan desa dan masyarakat adat (IRE, 2010). Regulasi itu
mengubah relasi kuasa pengeloaan sumberdaya desa dalam kendali negara.
Marginalisasi desa menjadi cerita suram yang mengisi sejarah lokalitas saat itu.

Sejak angin perubahan berhembus sebagai dampak reformasi, semangat


membangkitkan kembali komunitas grass root (akar rumput) ini mulai menguat. Ada
harapan menjadikan desa sebagai poros pembangunan lokal penopang
pembangunan nasional. Komitmen awal itu, paling tidak tercermin dari nafas UU No.
22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang di dalamnya mengatur desa.
Regulasi tersebut hendak mengembalikan roh desa pada asal-usulnya, yakni
kemandirian. Selain sebagai bentuk rekognisi (pengakuan), kebijakan itu memberi
ruang desa bernegosiasi dalam pembangunan daerah.

Melalui desentralisasi kekuasaan bertajuk otonomi daerah, diharapkan mendorong


pembaharuan desa. Jika bobot kekuasaan perencanaan pembangunan diletakkan
pada daerah, dimungkinkan inisiatif dari bawah, yakni masyarakat, akan
mendapatkan tempat. Disitulah kemudian dikenal model musyawarah perencanaan
pembangunan (musrenbang) daerah yang mengombinasi pendekatan politik,
teknokrasi dan partisipasi. Harapannya, penyerapan aspirasi lokal benar-benar dari
grassroot.

Sayangnya otonomi daerah ternyata hanya menjadi berkah buat elit lokal dan belum
sampai di rasakan nyata oleh rakyat desa. Otoritas kelola sumberdaya hanya
mempertebal pembagian kue APBD yang dinikmati oleh pemerintah daerah dengan
warna patronase politik yang mengitarinya. Distribusi manfaat pembangunan sangat
terbatas dan tidak sampai menembus di akar rumput. Kalaupun sampai ke
masyarakat, tidak lebih bersifat residual atau hanya mendapat sisa. Senyatanya,
tidak ada korelasi positif antara tingginya partisipasi warga dengan besaran akses
masyarakat pada APBD. Keberlangsungan otonomi daerah belum mengatasi
ketidakberdayaan desa (Tempo.Co, 15/11/2016).

Ketika otonomi daerah gagal membawa misi memberdayakan desa, kunci terpenting
mengubah nasib desa sesungguhnya perlu menggeser pendulum kuasa politik
pembangunan pada dataran paling bawah, yakni desa itu sendiri. Ketimpangan relasi
kuasa desa dengan supradesa (Kabupaten dan struktur di atasnya) menjadi
penyebab pokok mengapa ketidakberdayaan desa terus berlangsung. Terbitnya UU
No. 6 tahun 2014 tentang Desa, dirasa sebagai salah satu jawaban. Selain memberi
pesan eksplisit berupa pengakuan (recognition) negara pada desa, regulasi ini juga
memperjelas kedudukan dan kewenangan desa dalam politik pembangunan. Bahkan
meredistribusi sumberdaya secara lebih nyata kepada desa dalam bentuk dana desa.
Ini lompatan besar untuk menuju pembaharuan desa.

Jika dulu desa disatu sisi hanya dipompa untuk memperbesar partisipasi warga,
sementara disisi lain disumbat oleh kewenangan supradesa, maka pola itu dibalik.
Desa memiliki kesempatan dan “kuasa baru” yang dapat dimanfaatkan untuk
mengubah keadaan dirinya menjadi subjek. Meminjam pemikiran Foucault (1969),
partisipasi baru masyarakat, artikulasi gagasan dan pengetahuan yang berproses itu
berkesempatan mengambilalih ”kekuasaan baru”, menginterpretasi, kemudian
terlibat berpolitik dalam pengertian yang lebih luas. Itulah yang secara eksplisit
terjelaskan bahwa, kini Desa memiliki kewenangan untuk menentukan sendiri
orientasi pembangunan. Perencanaan pembangunan Desa berisi tentang apa yang
menjadi kepentingan dan prioritas pemerintah dan warga desa itu sendiri.

Dengan demikian secara bertahap juga, ruang negosiasi terbangun. Dalam arena
yang lebih luas, representasi sosial tidak lagi dimonopoli oleh, --meminjam bahasa
Bottomore (1966)--, para elit (rulling class) yang memegang kekuasaan formal
ekonomi-politik. Representasi sosial lebih menyebar sehingga memungkinkan
sirkulasi sosial secara lebih terbuka. Akses untuk melibatkan diri dalam proses sosial
ini sebagai kuasa baru, --yang oleh Foucault (2012)--, disebut sebagai, kekuasaan
yang menyebar (decentering). Hal ini memantik pertanyaan kritis: arena apa yang
bisa dimanfaatkan bagi masyarakat dan komponen lainnya dalam mengambil
keputusan bersama?

UU Desa mewadahi partisipasi warga melalui musyawarah desa (musdes) sebagai


arena dimana kontestasi dan pertarungan kepentingan dilangsungkan sampai
menghasilkan konsensus. Disitulah, menggambarkan apa yang oleh Habermas (1985)
disebut gerbang terbangunnya demokrasi, situasi dimana relasi masyarakat yang
lebih terbuka, saling mempengaruhi, mensyaratkan corak relasi egaliter, sehingga
komunikasi terbebas dari dominasi dan hegemoni oleh siapapun.

Tidak berhenti sebatas sebagai arena kontestasi gagasan, musayawarah desa juga
bisa menghasilkan konsensus dari pertarungan dan negosiasi kepentingan para
pemangku kepentingan desa. Ukurannya adalah, musdes bisa menghasilkan produk
dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), yang
kemudian diturunkan menjadi Rencana Kerja Pemerintahan Desa (RKPDes),
selanjutnya secara konkrit dianggarkan dalam Rencana Anggaran Pendapatan Dan
Belanja Desa (RAPBDes). Dengan begitu, Desa pada tingkat tertentu begitu otonom
memiliki kewenangan mengambil keputusan strategis, merencanakan,
menganggarkan dan mengimplemetasi serta mengawasi pelaksanaan pembangunan.

Hal ini bermakna UU Desa telah mengubah pola relasi politik pembangunan secara
nyata. Perubahan hubungan struktural semacam ini memberi peluang desa tidak lagi
bergantung oleh selera diatasnya (Arie Sujito, 2014). Jika dulu desa hanya menjadi
lokasi proyek, atau sekadar ajang komodifikasi oleh gugusan elit lokal, maka rantai
manipulasi pembangunan semacam itu dapat diputus. Bahkan, model-model
pembangunan sektoral yang mutilatif (membelah-belah desa secara parsial) sebagai
bagian rekayasa teknokratik oleh dinas-dinas SKPD kabupaten/ kota dapat dicegah
(Sutoro Eko, 2014). Karena itu, konsolidasi pembangunan dimungkinkan terjadi.
Itulah substansi desa menjadi subjek pembangunan, yang menempatkan cara
pandang dari dalam desa (IRE, 2014).

Sekalipun masih berusia muda, kebijakan ini telah menumbuhkan harapan baru.
Tercatat sejumlah inisiatif bermunculan. Banyak contoh desa-desa telah merintis
jalan pembaharuan. Prestasi mengelola aset desa, rintisan pembangunan badan
usaha milik desa (BUMDes), penataan administrasi dan keuangan, sistem informasi
desa, maupun regrouping sosial dan penguatan forum-forum kewargaan menjadi
bukti awal yang dapat dijadikan sebagai rintisan perbaikan (IRE, 2016).

Desa-desa di Indonesia memang tidak dalam posisi titik berangkat yang sama.
Kondisi ini terjadi karena warisan masa lalu dimana pola pembangunan menciptakan
kesenjangan kapasitas antar desa serta tipologi desa yang tidak mungkin sama satu
sama lain. Itulah tantangan serius yang dihadapi. Ada desa-desa yang cepat bergerak
begitu cepat dan aktif, responsif atas arus baru yang mendorong terjadinya
akselerasi pembenahan di berbagai hal. Karena itulah, muncul desa unggul dengan
berbagai indikator. Namun, diseberang lain, keterbatasan SDM, masih
bersemayamnya kultur feodalisme, penyakit menahun berupa ketergantungan serta
pola kepemimpinan konservatif (kolot, anti perubahan) menjadi masalah yang masih
membelit. Hal ini memuculkan sejumlah kekhawatiran mengenai ketidakmampuan
desa dalam memanfaatkan kesempatan mengelola kewenangan ini. Salah-salah bisa
terjebak konflik dan korupsi. Kondisi tersebut, tentu harus dimaklumi pada fase awal
ini, seraya terus berbenah sebagaimana dijelaskan di awal tulisan ini.

Pelajaran Penting

Jika diabstraksi dari tiga tema yang diulas dari buku ini menandaskan catatan penting
yang menarik untuk didiskusikan.

Pertama, berkenaan dengan kepemimpinan desa, memang ada kehendak kuat untuk
melakukan pembaharuan corak kekuasaan dari pola lama kepemimpinan yang
bersifat feodalistik yang diekspresikan dengan cara-cara otoriter yang sudah
dianggap usang. Perwujudan transformasi desa dalam nafas demokrasi
mengharuskan kepemimpinan yang prorakyat dan egaliter. Pengertian prorakyat
adalah, pemimpin yang membangun desa dengan landasan nilai-nilai peduli,
komitmen dan amanah atas apa yang dikehendaki rakyatnya. Orientasi semacam ini
ditandai oleh watak kekuasaan sang pemimpin yang egaliter, memperlakukan
warganya secara adil tidak diskriminatif, bahkan mudah dijangkau oleh masyarakat
klas bawah. Artinya kepemimpinan desa diperlukan lebih terbuka, baik untuk
menampung masukan, kritik maupun kemudahan masyarakat mengakses informasi
atau kebijakan yang menjadi tugas dan domain pemerintahan desa. Dengan begitu,
pemimpin akan memiliki legitimasi (pengakuan moral sosial) dari warganya, sehingga
berdampak meningkatnya partisipasi karena masyarakat kian peduli.

Beberapa desa telah mengabarkan berita positif soal lahirnya kepemimpinan model
ini, yang dianggap sebagai modalitas penting bagi bekerjanya demokrasi desa.
Namun, harus diakui masih banyak desa yang dihinggapi pola pemimpin yang
konservatif, bahkan terjebak pada oportunistik (mencuri kesempatan, aji mumpung)
dengan gaya premanisme lokal. Ada pula pemimpin yang lebih berkonsentrasi pada
hal-hal administratif ketimbang berinovasi untuk membuat terobosan di bidang
pemerintahan, pelayanan publik maupun model pembangunan desa. Kondisi
tersebut menyimpan pesan, bahwa sekalipun patronase elit masih kuat pada Desa
asli dan parokial sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, akan berhadapan
dengan kecenderungan inisiatif warga yang kuat dimana prakarsa warga menjadi
kontrol atas dominasi elit. Itulah tesis penting yang perlu untuk dikembangkan jika
demokrasi desa akan diperjuangkan di desa.

Demikian pula, setidaknya UU Desa berhasil memaksa lahirnya model kepemimpinan


normatif (sesuai gagasan formal yang diemban regulasi), dimana melalui pengaturan
asas-asas yang mendorong inklusi dan akuntabilitas sosial memungkinkan bisa
terjadi pembaharuan. Namun demikian, problem serius yang perlu diantisipasi
adalah potensi dinasti politik masih berpeluang terjadi di desa. Kekuasaan, dalam
derajat tertentu masih berpeluang sebagai penyangga kepentingan ekonomi politik
para elit lokal, khususnya potensi mencari rente.

Kedua, fungsi representasi untuk memastikan demokrasi komunitas bekerja,


menunjukkan sejumlah kemajuan yang berarti. Peran BPD yang mewakili aspirasi
dan suara masyarakat desa, makin terdorong aktif sebagai pengontrol pemerintah
desa. Demikian pula fungsi legislasi dan budgeting. Peran semacam ini tergolong
baru, karena ada beberapa desa yang belum sepenuhnya mengaktifkan BPD untuk
menggerakan demokrasi desa. Selain hambatan kapasitas SDM, kultur lama yang
feodal juga kerap menjadi kendala BPD dalam meningkatkan kualitas
perannya.Tantangan untuk mengubur pola oligarkhi dan representasi simbolik masih
harus dijawab dan diupayakan lebih kuat, agar tumbuh cara kerja lembaga
perwakilan dengan langgam kolektivitas.

Terdapat fakta menarik di desa pada awal-awal perubahan, sejauh ini mencoba
mengkombinasikan gaya keterwakilan formal dengan informal. Saat dimana BPD
dibayangi kesulitan mengartikulasi dan mengagregasikan kepentingan rakyat desa
dengan berbagai alasan, sumbatan-sumbatan itu disalurkan melalui jalur
informalitas yang lebih dianggap mengakar dan dekat dengan “suasana batin” rakyat
desa. Sejauh ini mereka bisa saja memanfaatkan jalur agensi baru atau tokoh lama
yang dianggap artikulatif dan bisa berperan sebagai “penyambung lidah rakyat”,
maupun pendekatan lain yang “non birokratik”. Suatu model lama yang masih
dianggap relevan mengiringi sistem demokrasi prosedural.

Hal lain yang perlu dicatat mengenai BPD ini adalah kesulitan membangun institusi
yang inklusif, terutama terhadap kelompok rentan dan marginal. Disitu tercatat pula
komposisi gender belum seimbang, dimana BPD dalam mempengaruhi proses
pengambilan keputusan publik yang masih didominasi oleh laki-laki. Hal ini
berdampak pada masih lemahnya akses perempuan dan kelompok marjinal
terhadap sumber daya ekonomi di Desa.

Ketiga, sejak kran pratisipasi dibuka, maka sejumlah inisiasi warga bermunculan.
Temuan pada sejumlah desa sebagaimana diulas pada bab sebelumnya menjelaskan
pengelompokan masyarakat sektor pertanian, keagamaan, pariwisata, perempuan,
difable, pemuda, maupun lokus-lokus lain yang menggambarkan aktivitas keseharian
masyarakat desa. Makin hidupnya inisiatif dengan bertumpu pada kelompok
komunitas merupakan modalitas berharga dalam menghimpun aspirasi sehingga
inisiatif itu dapat diakumulasikan dalam forum-forum yang lebih besar selevel
musdes maupun musrenbangdes.

Tidak bisa dipungkiri bahwa ruang lahirnya komunitas warga yang bergerak
memperjuangkan isu-isu publik dalam arena-arena formal dan informal di Desa
makin menguat. Jika dulu masyarakat sangat minimalis dalam mengambil inisiasi
dalam pembangunan, bahkan cenderung pasif, kini sudah berubah. Sekalipun inisiasi
itu masih terbatas atau, akan tetapi jika diolah dengan baik dan terorganisir maka
bisa menjadi daya ungkit emansipatif. Dengan begitu, akan membantu membangun
kerja bersama dan engagement antar pihak di desa.

Dalam jangka panjang, pelibatan masyarakat sipil dengan kombinasi jalur artikulasi
ini menjadi peluang mendorong inklusi sosial di Desa. Bahkan dalam sejumlah kasus
menunjukkan bahwa inovasi yang digerakkan oleh kelompok civil society terbukti
berkontribusi meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan secara nyata (lihat
kesimpulan kunci dari buku ini), termasuk perbaikan pelayanan publik. Ini capaian
menarik sekaligus tantangan.

Menakar Makna Baru

Jika ketiga tema (kepemimpinan, representasi, dan inisiasi warga) itu diperdalam
terkait beberapa faktor; (1) pembentukan kepentingan publik; (2) perluasan ruang
publik; (3) inklusivitas aspirasi, menarik untuk dipelajari. Beberapa hal dapat dicatat
sebagai berikut.

Pertama, Public interest formation. Isu, masalah, dan kebutuhan dasar masyarakat
yang dulu sering tenggelam dan termarginalisasi oleh karena kepentingan elit desa
dan didomestifikasi karena pengaruh hegemonik golongan berkuasa, kini mulai
bergeser ke tengah menjadi kepentingan publik dan berhasil menarik perhatian
banyak pihak di desa. Bahkan, menjadi pokok bahasan dalam arena formal desa.
Wacana komunitas juga diwarnai dengan tema dan masalah dasar masyarakat. Hal
Ini menjadi temuan menarik sekaligus sebagai kabar baik, dimana terdapat
perubahan cara pandang mengenai isu publik.

Pembentukan kepentingan publik semacam ini hanya terjadi pada desa dimana
corak kepemimpinan bersifat relatif terbuka. Gaya kepemimpinan Kepala Desa yang
bertanggung jawab, berkomitmen dan peka pada suara dan kebutuhan masyarakat,
bertemu dengan kemampuan lembaga representasi (BPD) dalam mengagregasikan
kepentingan warga, tentu menjadi modal penting untuk memperjuangkan
kepentingan warga. Sebut saja misalnya urusan air, pelayanan publik, infrastruktur,
ruang publik, BUMDes, serta sumberdaya ekonomi sejenis di desa. Corak open
leadership (kepemimpinan terbuka) dan peran BPD yang responsif, dalam beberapa
kasus berhasil mengolah inisiatif aktif para warganya dan biasanya menjadikan
aspirasi warga sebagai bahan pertimbangan utama mengambil keputusan strategis
di desa.

Pengalaman pada desa Umbulharjo, Panggungharjo, Punjulharjo, Mekarjaya,


Nglanggeran menunjukkan beberapa bukti bagaimana beberapa masalah pokok
masyarakat grass root diangkat sebagai isu bersama yang layak diperjuangkan.
Pengalaman beberapa desa ini dapatlah dianggap sebagai lompatan penting, layak
dijadikan sebagai modalitas mendorong kesadaran kolektif memperkuat sikap peduli
isu publik. Dengan kalimat lain, dapat pula disebut sebagai penanda gerak nadi
demokrasi desa yang bermakna untuk masyarakat. Meski demikian, temuan positif
ini, dalam beberapa tidak bisa dipungkiri ternyata berseberangan dengan desa
lainnya yakni Sidorejo, Gulon, Ringinrejo, Ngadisari, Cangkudu dimana situasinya
justeru berkebalikan.

Kedua, public space extension. Salah satu problem serius yang dihadapi desa adalah
penyempitan akses masyarakat untuk terlibat dan mempengaruhi didalam proses
mengambil keputusan strategis, yang menyangkut masa depan desanya. Riset ini
menemukan hal menarik, bahwa dalam prosesnya sejauh ini menunjukkan rata-rata
para Kepala Desa semakin terdorong untuk seinklusif mungkin disaat merancang
pembangunan dan atau agenda lainnya yang dinilai strategis, dengan cara membuka
kesempatan seluasnya pelibatan masyarakat. Selain disadari bahwa hal demikian
merupakan prinsip tata kelola yang baik dan keharusan dalam membuat kebijakan,
disisi lain para perangkat desa mereka juga menyadari keterbatasan diri sehingga
harus membuka akses agar mendapatkan masukan publik.

Begitupun dengan BPD, berhasil memanfaatkan musyawarah desa sebagai arena


formal, ditransformasi menjadi ruang “curhat” dan media kontestasi pengetahuan
dengan topangan forum-forum informal di komunitas. Makin meluasnya ruang
publik dan berhasil dijangkau oleh hampir semua lapis sosial masyarakat telah
memantik peningkatan inisiatif warga, yang dalam beberapa hal, merupakan cara
dan mekanisme baru menegosiasikan kepentingan agar berpengaruh pada kebijakan
desa. Rata-rata desa seperti ini berhasil mendorong perubahan yang bisa dirasakan
masyarakatnya.

Ketiga, inklusivitas. Senafas dengan faktor terbukanya akses publik, desa yang
berhasil memeragakan pendekatan semacam itu juga mampu menciptakan
kebijakan yang cenderung inklusif. Beberapa pengalaman pada 10 desa, hampir
semua desa itu pada aspek kepemimpinan, keterwakilan dan inisiasi telah
menghasilkan produk kebijakan yang mampu mengakomodasi kepentingan publik
yang lebih luas. Paling tidak, kombinasi peran pemerintah desa, BPD dan kelompok
masyarakat yang menautkan pendekatan teknokrasi dan partisipasi telah
memungkinkan hadirnya kebijakan anti diskiriminasi pada kelompok-kelompok
(pinggiran).

Temuan corak produk kebijakan inklusif ini menepis keraguan bahwa golongan
minoritas pinggiran tidak mendapatkan tempat dalam menentukan keputusan desa.
Sebab, sejauh ini, memang ada kekhawatiran mengenai potensi politik diskriminatif
yang mengancam demokrasi yang diindikasikan dengan penyusunan keputusan yang
tidak melibatkan golongan “silent” dan marginal seperti difable, petani, nelayan,
buruh, anak-anak, dan perempuan. Temuan lain yang menarik, --bisa jadi anomali--
ada sejumlah desa yang menjadi kajian IRE ini, sekalipun produk kebijakan dinilai
relatif inklusif, namun tidak melalui proses pembentukan kebijakan yang partisipatif.
Katagori semacam ini dimungkinkan dengan peran “elit terbatas” dimana mereka
berhasil memasukkan beberapa usulan populis dalam kebijakan yang lebih
mendekati kehendak rakyat.

Keempat, capital-driven aglomeration. Urat nadi dalam pencapaian tujuan


kesejahteraan desa bergantung pada kemampuan gerak ekonomi agar bisa
menghasilkan pendapatan bagi desa. Hampir semua desa menyadari kebutuhan
kerjasama antar desa maupun pihak lain untuk mengakselerasi capaian ekonomi
desa, yang diindikasi diantaranya soal orientasi memanfaatkan investasi disatu sisi,
dan pada sisi lain pemeliharaan pada kelestarian lingkungan. Debat paradigmatik
pembangunan secara artikulatif muncul dimana terjadi tarik ulur antara penumpuan
diri pada pertumbuhan ekonomi dalam satu posisi dengan tema keberlanjutan
lingkungan pada posisi berbeda.

Jika dikelompokkan dengan beberapa katagori, misalnya mereka yang dapat disebut
ekstrim dengan menolak kehadiran investasi dari luar dengan berbagai alasan
seperti Punjulharjo. Ada pula bersikap kritis pada investasi dengan memberi bobot
perhatian pada penyandingan sensitivitas pada perlindungan aset maupun dalam
rangka kelestarian lingkungan seperti Cangkudu dan Ngadisari. Namun ada juga yang
permisif atas kepentingan publik dan keberlanjutan ekologi.

Beberapa desa, terkait tema pengembangan ekonomi dengan dorongan investasi


ternyata kehendak elit pemerintahan desa tidak sepenuhnya berjalan seiring dengan
masyarakat. Perseberangan ini terjadi, baik antara Pemdes dengan BPD, bahkan
masyarakatnya. Hal paling sering terjadi adalah kepentingan pemanfaatkan
sumberdaya agraria seperti air, tanah dan juga sumberdaya strategis lainnya,
misalnya benturan antara kepentingan petani yang mempertahankan pemanfaatan
tanah untuk kegiatan pertanian, sementara elit desa mengorientasikan pada
kegiatan wisata yang rawan pada kerusakan ekologi biotis dan nonbiotis. Kesulitan
lain untuk soal pengembangan ekonomi dan daya dukung modal ini terkait pula
dengan fragmentasi kebijakan, tumpang tindih antara regulasi sektoral dengan UU
Desa sebagai sentra orientasi desa. Hal demikian menjadi penyebab seringkali desa
ragu untuk menentukan kebijakan dengan sejumlah kekhawatiran benturan dengan
supradesa.

Merintis jalan baru

Mempertimbangkan kecenderungan pola manajemen kekuasaan serta lanskap


dinamik partisipasi sebagaimana pengalaman yang bisa dipetik dari 10 desa, tampak
jelas orientasi yang dituju cenderung model deliberative democracy. Sejumlah
pendekatan demokrasi partisipatorik setidaknya telah mampu menjadi daya ungkit
mendasar bagaimana inisiatif warga berhasil masuk arena strategis seperti musdes,
bertaut dengan political will (kehendak baik) pemegang kuasa formal seperti Kepala
Desa dan perangkatnya yang kian didorong terbuka dan responsif, diperkuat oleh
agregasi dan peran artikulasi BPD sesuai dengan tugas dan fungsi yang diembannya.

Arena-arena baru musdes, musrenbangdes, maupun forum-forum sektoral


komunitas telah menjadi habitat subur bagi tumbuh dan terbangunnya sikap
interaksi kekuasaan yang makin cair. Praktik kekuasaan di desa telah menampilkan
keunikan yang khas, sebagai situs baru demokrasi lokal yang jika dirumuskan sebagai
pola deliberative democracy. Partisipasi dan inisiasi warga berisi kombinasi antara
peran tokoh, kesadaran akan hak-hak dasar, dan modal sosial merupakan kekuatan
penting sebagai faktor penggerak demokrasi desa. Demikian pula gaya pemimpin
yang bergeser ke arah “terbuka, berkomitmen, dan tanggap” menjadi peluang politik
pembaharuan dalam menyusun kebijakan publik desa yang lebih berpihak pada
rakyat. Kehadiran BPD juga sangah jauh berubah lebih maju. Kesan lama seolah
lembaga representasi ini dulu dikesankan sebagai “kumpulan golongan sakit hati”
atau lembaga kaum oligark, kini bergeser menjadi lembaga perwakilan yang
menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan rakyat desa.

Pada akhirnya kita perlu menyadari betul bahwa masa depan desa, terutama
demokrasi warga sebagai pilar lokalitas sejak implementasi UU Desa sangat
dipengaruhi oleh bagaimana kita mampu mendialogkan antara narasi besar berupa
paradigma demokrasi dengan realitas empirik atau cerita lokal yang ada saat ini. Kita
perlu memperkuat perimbangan wacana atau pembicaraan praksis, tidak hanya
berkutat pada wacana teknis, pandangan teknokratik administratif, yang dalam
beberapa hal terjebak pada birokratisasi dalam membaca gerak desa. Namun harus
dilengkapi dengan hal-hal substansi yang mencakup ideologi, metodologi kerja
pemberdayaan serta nilai-nilai transformasi desa yang dibutuhkan Desa secara
praksis partisipatoris. Kita memerlukan kerja-kerja konkrit mendorong inisiatif dan
kreativitas baru untuk memaknai peluang perubahan yang lebih bermakna.
Disadari pula bahwa kerja pembaharuan desa bukan semestinya berangkat dari
jebakan perselisihan teknis administratif, yang ujung-ujungnya sekadar “menakut-
nakuti desa”. Energi Desa jangan sampai habis untuk membahas hal-hal teknis
instrumental yang begitu asing dengan desa. Jika hal-hal substansi ini berproses
dengan mendalam, hangat dan menyenangkan bagi orang-orang desa, maka
optimisme keberhasilan pembaharuan desa akan dapat dibuktikan capaiannya.

Pekerjaan yang musti dilakukan adalah, bagaimana mengawal perubahan desa ini
agar sesuai harapan. Sejumlah kemajuan desa, terobosan dan inovasi yang tumbuh
yang bisa dipetik dari 10 desa sebagaimana diulas dalam buku ini, tentu dengan
cerita positif desa-desa lainnya di Indonesia perlu dipikirkan keberlanjutannya.
Demikian pula hambatan yang masih merintangi desa baik bersumber karena
fragmentasi regulasi dan kebijakan, maupun keterbatasan kapasitas pada masing-
masing komponen desa dalam menerjemahkan kerja praksis, juga perlu didampingi.

Pintu perubahan lokalitas desa makin terbuka. Keberhasilan memanfaatkan


kesempatan ini berarti menjadi jalan mewujudkan transformasi yang bermakna,
menghasilkan desa mandiri, sejahtera dan berwatak demokratis. Pengalaman
membangun dari bawah, desa, meyakinkan betapa situs baru demokrasi lokal ini
layak dirawat dan dikembangkan sebagai alternatif pendekatan membangun
demokrasi Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai