Banyak optimisme di ungkapkan setelah indonesia selesai menyelenggarakan pemilu
2009. Secara umum, pemilu dinilai sukses dan disebut sebagai langkah maju demokrasi. Sekalipun demikian, muncul kritik bahwa pemilihan umum kali itu membosankan menngingat tidak adanya perdebatan yang berarti di tingkat ideologi dan kebijakan. Di dalam negeri pun hasil pemilu itu disambut sebagai kembalinya “zaman normal”. Indonesia dianggap telah kembali ke lintasan yang benar sesudah mengalami periode-periode mengguncangkan usai jatuhnya Soeharto. Tidak seperti tahun 1950 dan 1960, politik Indonesia saat ini sungguh mengalami defisit dalam hal perdebatan ideologis. Hampir semua partai politik mengusung ide- ide populis seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis. Namun, tidak ada yang berani mengakui secara terus terang bagaimana partai-partai akan membiayai pendidikan dan kesehatan gratis itu. Kontras paling besar antara politik tahun 1950-an dan terkini adalah tidak adanya kekuatan politik yang mau mengubah Negara. Jika dulu partai-partai nasionalis sekuler dan partai-partai islam bersilang sengketa soal dasar negara, untuk saat ini perdebatan itu tampak menghilang. Secara garis besar ada beberapa hal yang patut dicatat dalam politik Indonesia kontemporer, yang membedakannya dari periode-periode sebelumnya. Pertama, sistem kepartaian Indonesia kontemporer jauh lebih stabil ketimbang masa-masa sebelumnya. Sebagai mana ditulis Meitzner, sistem kompetisi antar partai masa kini bergerak sentripetal, sementara kompetisi antar partai tahun 1950-an cenderung bergerak sentrifugal. Menurut Meitzner, partai- partai pada tahun 1950-an cenderung bergerak ke ujung ekstrem, menuju ke basis ideologi masing-masing, yang mengakibatkan polarisasi antar partai makin menajam. Tidak adanya partai yang berhaluan “sentris” dan moderat menjadikan sistem kepartaian ini menghancurkan dirinya sendiri, Hal sebaliknya terjadi dalam sistem kepartaian kontemporer. Sekalipun institusionalisasi partai politik lemah, namun secara ideologis partai-partai tersebut bergerak ke tengah. Partai- partai yang berada pada titik ideologis ekstrem (wing parties) menghadapi dilema; tetap kecil atau bergerak ke tengah dan menjadi moderat. Dengan menjadi moderat, mereka mempermudah koalisi dengan partai tengah dan memperlebar jangkauan pemilih. Kedua, yang juga patut dicatat adalah tidak adanya persoalan terhadap ideologi negara. Kecuali beberapa kelompok kecil yang menginginkan diberlakukannya syariat islam, hampir tidak ada kekuatan politik yang mempertanyakan dasar negara. Setidaknnya begitulah yang ditampilkan di permukaan, namun demikian, terlalu dini juga untuk menngatakan bahwa ideologi sudah lenyap sama sekali dari politik Indonesia. Pilihan ideologis khususnya antara Islam dan Nasionalis masih terlihat dengan jelas. Hal yang sering muncul dalam beberapa pemilihan umum di Indonesia adalah perpindahan pemilih dari satu partai ke partai lain, namun dalam segmen ideologis yang sama. Kemerosotan suara PDI-P pada pemilu 2009, misalnya, disebabkan oleh perpindahan pemilih PDI-P ke Partai Demokrat yang masih dalam segmen ideologi yang sama dengan PDI-P dengan demikian, basis sosial politik Indonesia terkenal dengan sebutan “politik aliran” tidak sepenuhnya terhapus. Ketiga, politik Indonesia lebih terdesentralisasi dari pada masa-masa sebelumnya. Dinamika politik nasional tidak sama dengan dinamika politik di daerah yang sangat plural. Konsekuensinya, jalinan koalisi di tingkat nasional tidak sama dengan jalinan koalisi di tingkat daerah. Dalam ruang lebih sempit, politikus di daerah memiliki kesempatan lebih luas untuk menjalankan mobilisasi berdasarkan identitas kesukuan, agama, bahasa, dan bahkan clan. Kasus- kasus pemilihan kepala daerah langsung (pilkada) menunjukan bahwa kandidat dengan jejaring personal (personal network) terkuat yang akan memenaangkan pemilihan. Kecendrungan ini, selain mengubah peta hubungan pusat-daerah didalam partai, juga mengubah hubungan antara elite lokal dan nasional. Keempat, dan menjadi fokus utama tulisan ini, adalah persoalan elite politik. Berbeda dengan dugaan banyak orang yang berandai-andai bakal adanya pertarungan antara elite pendukung otoritersime dengan pendukung demokratisasi, kalangan elite di Indonesia menampakan stabilitas luar biasa dalam menghadapi kelompok-kelompok elite yang mendukung faksi-faksi di dalam tentara. Pemerintahan Aquino menghadapi paling tidak tujuh kali percobaan kudeta. Sementara di Indonesia situasinya relatif stabil dan hampir tanpa gejolak. Apakah yang bisa menjelaskan stabilitas elite politik di negeri ini? Apakah ini akan berlangsung dalam jangka waktu relatif lama dan akan menjadi pola perpolitikan Indonesia di masa depan? Persoalan elite ini saling terkait dengan partai, sistem kepartaian, serta hubungan antara kondisi lokal dan politik nasional. Namun sebelumnya kita akan melihat dua konstruksi teoretis populer yang berkaitan dengan elite politik ini, yakni oligarki yang bersifat predator dan bossism. Penulis sendiri akan keluar dengan konsep “kartel,” sebuah konsep ekonomi yang diterapkan untuk menganalisis sistem kepartaian (politik). Dalam banyak hal, menurut penulis, kartel lebih tepat untuk menganalisis stabilitas politik Indonesia.
Dua Konstruksi Teoretis: Oligarki atau Bossism?
Bannyak pengamat berusaha memberikan kerangka analisis terhadap politik Indonesia pasca-Orde Baru. Salah satu yang paling berpengaruh adalah karya Richard Robinson dan Vedi R Hadiz. Kedua sarjana terkemuka ini menyatakan bahwa sekalipun Indonesia lepas dari jerat otoriterisme, dia tidak bisa lepas dari jerat oligarki yang memang sudah ditenun dalam struktur politik Indonesia sejak lama. Oligarki yang hidup dalam pemerintahan otoriter dalam masa demokrasi menjelma menjadi Oligarki politik uangg. Bahwa jaringan patronase dan pengalokasian kekuasaan dan kekayaan publik mendapatkan ruang baru, yakni dalam partai politik dan parlemen. Mereka yang awalnya masuk sebagai pembaru kemudian tengggelam didalam perkawinan antara kapitalisme pemangsa (predatory capitalism) dan politik demokratik. Jaringan Oligarki yang dahulu bekerja dalam sistem represi negara sekarang bekerja dalam sistem pemilihan, partai-partai, dan parlemen. Oligarki lokal telah membajak lembaga-lembaga demokrasi seperti partai politik, pemilihan umum, dan parlemen. Mereka mampu mempertahankann kekusaan, karena mereka mampu menguasai sumber-sumber kekayaan negara. Dengan kekayaan ini mereka membeli suara dalaam pemilihan. Selain itu, merekaa jugaa memakai kekerasaan dengan kekuatan bersenjata semi-formal yang memungkinkan mereka melakukan intimidasi fisik kepada lawan mereka. Kesinambungan diantara Oligarki pada zaman pemerintahan otoriter bukan saja populer tetapi juga dominan dalam analisis politik pasca-Orde Baru. Teori Oligarki menekankan daya tahan para oligarki dari zaman Orde Baru. Sementara, Bossism memberi perspektif tentang bagaimana jejaring orang kuat itu menguasai, memperkuat, dan memanfaatkan negara untuk kepentingan sendiri. Keduanya sama-samaa menekankan karakter predatoris (pemangsa) dari negara. Pada bossism, karakter predatoris dinyatakan sebagai konsekuensi untuk menciptakan negara kuat dari jaringan para bos. Sementara, untuk Oligarki karakter ini berasal dari logika modal dalam sistem kapitalisme. Oligarki tidak terlalu percaya bila kapitalisme akan membawa kemajuan, karena logika marxian yang mendasarinya. Sebaliknya bossism bersikap agnostic terhadap massa-rakyat di wilayah masing-masing. Untuk kasus indonesia, Sidel mengakui bahwa kekuatan politik, terutama di tingkat lokal, kurang (atau belum) didominasi orang kuat atau dinasti-dinasti politik. Kemunculan orang kuat dihalangi oleh struktur kelembagaan dari negara itu sendiri. Namun demikian, dia memprakirakan orang kuat dan dinasti politik akan muncul bersamaan dengan pemilihan langsung. Ada beberapa kelemahan mendasar dari dua konstruksi teoretis tersebut. Pertama daya tahan Oligarki yang berlangsung sejak Orde Baru hingga kini mungkin tidak sekuat yang dihipotesiskan. Dengan kata lain, ruang untuk perubahan mungkin terbuka lebar, dan sesungguhnya tidak terlalu sulit untuk memahami bahwa politik Indonesia sedang mengalami perubahan mendasar. Kedua, perbincangan mengenai Oligarki dan Bossism tidak masuk ke dalam wilayah persaingan kekuasaan diantara para Bos atau Oligarki. Dengan demikian, cengkeraman, represi, dan kekuatan daya predator negara oleh kedua teori diasumsikan sangat kuat kemungkinan melemah di beberapa bagian. Ketiga, kedua konstruksi teoretis tersebut tidak membuka ruang bagi analisis tentang kemungkinan adanya kekuatan oposisional. Keempat, teori-teori tersebut tidak menutup kemungkinan adanya sejumlah variasi, baik spesial maupun temporal. Dengan demikian, pemisahan (disaggregation) antara politik nasional dan politik lokal menjadi amat sangat penting.
Stabilitas Elite di Tingkat Nasional: Kartel dan
Segala Konsekuensinya Satu hal yang menonjol dalam politik pasca Orde Baru adalah stabilitas elite. Tidak seperti negara lain yang mengalami transisi demokrasi, dengan persaingan antar elite berjalan sengit dan membawa instabilitas, di Indonesia kerja sama antar elite berlangsung dalam suasana relatif damai. Ini membawa kita pada bentuk kartel yang dalam istilah ekonomi berarti koordinasi untuk meminimalkan persaingan, mengontrol harga, dan memaksimalkan keuntungan diantara anggota kartel. Pada awalnya, konsep itu dikembangkan untuk menganalisis perkembangan baru dalam sistem kepartaian. Dengan menekan stabilitas elite, kita bisa menganalisis sebuah sistem monopoli yang meminimalisasi persaingan, menoleransi korupsi dan kolusi dan menjelaskan berbagai kegagalan fungsi institusi-institusi demokratis. Politik kartel muncul dari sebuah koalisi besar diantara elite politik. Sistem ini diciptakan untuk meminimalkan kerugian dari pihak yang kalah, entah dalam pemilu atau dalam koalisi. Ia berbeda dengan sistem otoriterisme-birokratik yang memakai sistem “penyingkiran” (Exclusionary), Kartel lebih mengutamakan mekanisme “perangkulan” (incoporation) dari elite yang memiliki latar belakang ideologis berbeda. Kekuasaan menjadi tidak memiliki pertanggungjawaban (unaccountable). Secara prosedural, sistem itu bisa dikatakan demokratis karena pemilu dilakukan secara reguler. Akan tetapi, kompetisi antar partai akan berubah menjadi kolusi antar elite begitu kotak pemilihan ditutup dan suara dihitung. Selain memberi stabilitas elite Indonesia, kartel politik ini juga memberikan beberapa konsekuensi penting pada politik Indonesia. Pertama, kartel sangat menekankan pragmatisme. Tidak terlalu mengherankan, apa bila aktivis-aktivis radikal ingin masuk ke ranah politik, mereka dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan iklim pragmatis ini. Kedua, batas antara mereka yang memerintah dan kalangan oposisi menjadi tidak jelas. Baik pemerintah maupun mereka yang beroposisi lebih banyak menampilkan persetujuan ketimbang perbedaan. Para elite menjadi tidak responsif terhadap suara rakyat. Ketiga, sistem kartel adalah sistem kolutif yang berakibat pada pengebirian kekuatan massa rakyat. Kartel politik memang memberikan stabilisasi untuk para elite. Keempat, politik kartel memberikan hasil sangat ironis bagi kekuatan politik masyarakat. Ironi paling besar adalah apa yang dicapai dengan represi brutal oleh orde baru bisa dicapai dengan persuasi dan manipulasi dalam iklim politik kartel.
Politik Kartel di Tingkat Lokal
Desentralisasi telah mengubah wajah politik Indonesia menjadi sangat berbeda dari yang pernah ada dalam sejarah. Pada awalnya desentralisasi bermaksud menciptakan pemerintahan yang baaik (good governance) di tingkat lokal. Bahkan world bank (IMF) sempat menyatakan bahwa desentralisasi adalah “the big bang” (dentuman besar) dalam politik Indonesia. Apakah politik kartel juga bekerja di tingkat lokal? Pertanyaan ini cukup sulit untuk dijawab mengingat begitu besarnya variasi antar daerah di Indonesia. Namun, hampir semua pengamat dan pemerhati sepakat bahwa desentralisasi telah melahirkan “orang-orang kuat” yang memiliki akar di daerah.