Anda di halaman 1dari 2

Kajian Mitos Terhadap Budaya Politik Indonesia

1. Mitos Kesatuan yang mematikan Persatuan. Mitos politik ini menarasikan tentang
ancaman yang bersifat laten terhadap keutuhan "negara kesatuan" dari ideologi-ideologi
lain, golongan ekstrim kiri maupun kanan, gerakan separatisme maupun kelompok-
kelompok oposisi yang dipersepsi akan melakukan tindakan "makar" terhadap
pemerintahan yang sedang berkuasa. Ketika Orde-Baru, SARA (Suku, Agama, Ras,
Antar Golongan) merupakan tabu-tabu yang menjadi turunan dari mitos politik ini.
Setelah reformasi, turunan dari mitos politik yang sampai hari ini bergaung cukup kuat
adalah "NKRI Harga Mati" sebuah mantra yang diucapkan tanpa tahu apa makna dan
implikasinya yang justru bisa membahayakan bangsa dan negara. Mitos politik kesatuan
ini mungkin yang paling banyak melahirkan berbagai tabu, mulai dari bahaya laten PKI,
separatisme, xenophobia sampai LGBT sebagai ancaman terhadap kepribadian bangsa.
Kita perlu secara kritis melihat bahwa yang diperlukan adalah persatuan, dimana
keragaman dan perbedaan harus dirayakan untuk menumbuhkan rasa memiliki (sense of
belonging) yang diam-diam terkikis terhadap bangsa dan negara ini.

2. Mitos Pertumbuhan yang menafikan Pemerataan. Mitos politik ini sangat kuat dianut oleh
para ekonom-teknokrat Orde-Baru, dan setelah reformasi meskipun ada modifikasi dalam
kebijakan ekonomi, namun ideologi dasarnya tetap diteruskan, bahkan cenderung
menguat bersamaan dengan menguatnya ideologi neo-liberal yang menguasai dunia.
Agenda pertumbuhan mengakibatkan pemerataan pendapatan sesuatu yang irelevan
karena negara tidak berdaya dalam mempengaruhi mekanisme ekonomi pasar.
Mungkinkah krisis akibat pandemi akan mendorong terjadinya restrukturisasi ekonomi?
Mungkin tidak, karena krisis justru akan mendorong para ekonom-teknokrat dalam
pemerintahan Jokowi untuk mencari cara bagaimana mendongkrak pertumbuhan
ekonomi agar tidak terjerembab lebih dalam pertumbuhan ekonomi dibawah 0 persen.
Petani, buruh dan nelayan semakin kokoh menjadi bagian dari mitos negara agraris dan
negara maritim.

3. Mitos Keharmonisan yang mengaburkan Peminggiran. Mitos politik ini terus dianut sejak
zaman Suharto hingga sekarang karena memberikan rasa aman bagi penguasa dan elit
politik sementara dalam kenyataan kehidupan di masyarakat diskriminasi dan eksklusi
terhadap kelompok-kelompok minoritas sebagai sesat atau menyimpang, seperti
Ahmadiah, Syiah, agama-agama lokal dan juga mereka yang dianggap termasuk
kelompok LGBT. Belum lama ini mitos keharmonisan ini mendapatkan tantangan ketika
penduduk Papua diperlakukan tidak adil karena dianggap berasal dari ras yang rendah
dan berbeda. Apa yang terjadi di Amerika hari-hari ini, dalam bentuk gelombang protes
“Black Life Matters” sesungguhnya bukan sesuatu yang tiba-tiba berpengaruh terhadap
munculnya protes serupa di tanah air. Gelombang protes telah sebelumnya terjadi di
Indonesia Agustus-September 2018 ketika kota-kota di Papua berkobar sebagai gerakan
perlawana terhadap menguatnya rasisme dan perlakuan buruk terhadap mahasiswa Papua
di Jawa. Meskipun politik SARA seperti telah ditinggalkan, tabu-tabunya ternyata terus
dihidupkan sampai sekarang.

4. Mitos demokrasi yang mengingkari kedaulatan rakyat. Demokrasi merupakan sebuah


mitos politik yang terus dipercaya meskipun dalam prakteknya mengkebiri prinsip
dasarnya yaitu kedaulatan rakyat. Berbeda dengan pemilihan pada masa Orde-Baru yang
selalu dimenangkan oleh GOLKAR sebagai "the ruling party", pada masa reformasi
sistem multi partai membuat untuk memenangkan pemilihan partai-partai harus
melakukan koalisi. Namun akibat dari perpolitikan yang semakin oligarkis ini adalah
menjamurnya transaksi-transaksi dan money politics yang semakin kuat. Sebuah buku
belum lama ini terbit dengan judul "Democracy for Sale" yang menunjukkan bahwa
rakyat sudah tidak berdaya dan kedaulatan rakyat sesungguhnya telah tergadaikan. Dalam
situasi ketika politik seolah-olah sudah demokratis menjadi tabu ketika ada sekelompok
orang ingin mendiskusikan hal-hal yang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan baik
dalam kebijakan negara, UU atau konstitusi. Berpikir kritis sebagai prasyarat kebebasan
mimbar akademis semakin dikerdilkan dan menjadi tabu bagi mahasiswa dan insan
akademis untuk mendiskusikan berbagai isu yang dianggap sensitif dan ditafsirkan akan
membahayakan bagi negara.

5. Mitos negara hukum yang mengabaikan martabat kemanusiaan. Pasangan dari mitos
demokrasi adalah negara hukum, karena asumsinya masyarakat yang demokratis harus
dilandasi oleh tegaknya hukum (the rule of law). Namun bukan rahasia lagi negara
hukum hanyalah sebuah mitos politik karena hukum telah menjadi sekedar alat politik
dari yang memiliki kekuasaan, baik yang berupa kuasa politik maupun yang berupa kuasa
modal (kapital). Selain pembuatan undang-undang telah diproyekkan (Prolegnas) hampir
setiap RUU yang diusulkan oleh presiden atau parlemen selalu mengundang protes dari
masyarakat. Dari situasi itu tidak sulit menengarai betapa UU yang dibuat selalu
memiliki agenda tersembunyi (hidden agenda) dari kelompok kepentingan, terutama
aliansi antara elit politik dan para pemilik modal, yang jelas tidak akan mewakili
kepentingan rakyat banyak.

Anda mungkin juga menyukai