Anda di halaman 1dari 7

Artikel Ilmiah Pendidikan Kewarganegaraan

Hak Asasi Manusia Di Era Globalisasi

Di susun oleh:
Nur alfina hidayati
051360721
Ilmu komunikasi

Program Sarjana
Universitas Terbuka
2023
Pendahuluan

Samuel P. Huntingtong meramalkan bahwa konflik-konflik utama politik global akan


berlangsung di antara Bangsa-Bangsa dan Kelompok-Kelompok dari berbagai kebudayaan,
Menurutnya sumber konflik-konflik di masa depan bukanlah ideologi dan ekonomi
melainkan kebudayaan. Disadari atau tidak kebudayaan bersifat kompleks dan majemuk
sehingga kita dapat meragukan apakah mereka dapat memobilisasi sebuah konflik global.
Namun, kita dapat menilainya bahwa kebudayaan ternyata dapat diintrumentalisasi secara
politis dan ideologis untuk mengabsolutkan perbedaan-perbedaan. F. Budi Hardiman
Meneguhkan pemikiran ini dengan menunjukan adanya Upaya revitalitasi identitas etnis dan
religious di berbagai negara non-Barat dan juga terror atas nama islam yang tampil di masa
sekarang. Mereka tampaknya memprovokasi suatu politik identitas yang menekankan
kekhasan tradisi kebudayaan.
Berpijak pada kondisi tersebut, penulis mencoba mengkaji Hak-Hak Asasi Manusia Di Era
Globalisasi dengan menggunakn sudut pandang etika politik. Etika politik salah satu cabang
filsafat yang mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia mengenai dimensi
politis manusia. F. Magnis Suseno memetakan dimensi politis manusia menujukan pada
manusia sebagai mahluk sosial, dimensi kesosialan, dimensi politis kehidupan manusia secara
prinsip, manusia sebagai mahluk sosial di pahami bahwa manusia hanya mempunyai
eksitensi karena orang lain. Segala keterampilan yang di butuhkanya untuk berhasil dalam
kehidupan dan berpatisipasi dalam kebudayaan yang di perolehnya dari Masyarakat. Hal ini
termasuk cara manusia memandang duni, menghayati diri sendiri, ,menyembah Tuhan, dan
menyadari apa yang menjadi kewajibanya. Disadari atau tidak, manusia secara mendalam
ditentukan oleh Masyarakat. Ketergantungan dan keterlibatan individu dengan Masyarakat
dapat di sebut kesosialan manusia yang menyatakan dalam tiga hal dimensi: (1) dalam
penghayatan spontan individual (2) berhadapan dengan Lembaga-lembaga (3) melalui
pengertian-pengertian simbolis terhadap realitas. Dalam kerangka dimensi politis mencakup
lingkaran kelembagaan hukum, negara, sistem nilai, dan ideologi yang memberikan
legitimasi kepadanya. Dimensi politis manusia adalah dimensi Masyarakat yang sebagai
keseluruhan, jadi yang menjadi ciri khas suaatu pendekatan yang di sebut “politis” adalah
pendekatan itu terjadi dalam kerangka acuan yang berorientasi kepada Masyarakat sebagai
keseluruhan. Dengan kata lain, dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai dimensi di
mana manusia menyadari diri sebagai anggota Masyarakat merupakan anggota keseluruhan
yang menentukan kerangka kehidupanya dan ditentukan Kembali oleh Tindakan-tindakanya.
Bila di telusuri, ketiga dimensi politis manusia bekerja secara elaborative.
Kajian Pustaka
Dari Pembangunan Ke Globalisasi
Disadari atau tidak, kita sedang mengalami krisis Pembangunan. Kapitalisme di Asia Timur
yang selama ini di jadikan teladan keberhasilan Pembangunan dan keberhasilan kapitalisme
dunia ketiga sedang mengalami kebangkrutan, Pada pakar mulai meramalkan bahwa era ini
dpat dikatakan sebagai peristiwa berakhirnya era developmentalisme dimana sebagai sebuah
proses perubahan sosial pasca perang dunia kedua yang di bangun di atas landasan paham
modernisasi menujuk babak akhir. Krisis terhadap Pembangunan yang sedang terjadi pada
dasarnya merupakan bagian dari krisis Sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas
manusia yang lain, yang di perkirakan telah berusia lebih dari dua ratus tahun. Kondisi ini
tentu menjadi bagian fase kolonialisme. Apa maksud dari fase ini? Fase kolonialisme dapat
dipahami sebagai fase perkembangan kapitalisme di Eropa yang mengharuskan ekspanasi
secara fisik untuk memastikan perolehan bahan baku mentah. Berakhirnya Kolonialisme
sebenarnya telah memasukan dunia pada era neokonalisme, Ketika modus dominasi dan
penjajahan tidak lagi berupa fisik melainkan teori dan ideologi. Namun pada era
developmentalis, dominasi negara-negara bekas jajahan terhadap bekas koloni mereka tetap
di pertahankan melalui adanya control terhadap teori dan proses perubahan sosial yang ada.
Kondisi ini membawa kita pada pemahaman bahwa teori Pembangunan atau
developmentalisme merupakan bagian dari media dominan karena teori tersebut telah di
rekayasa menjadi paradigma dominan untuk perubahan sosial dunia ketiga oleh negara utara.
Pertanyaan berikutnya merupakan kapan proyek globalisasi mulai berjalan? Secara prinsip
kita, perlu memahami bahwa globalisasi terjadi Ketika ditetapkanya formasi sosial global
terbaru dengan ditandai oleh diberlakukanya secara global suatu mekanisme perdagangan
melalui pencipta kebijakan perdagangan bebas setelah melalui proses yang sulit di Marrakesh
Maroko sebagaimana suatu perjanjian internasional perdagangan yang dikenal dengan
General Agreement On Tariff And Trade (GATT) Merupakan suatu perkumpulan
internasional yang mengatur perilaku perdangan antara pemerintah. GATT juga merupakan
forum negosiasi perdagangan antara pemerintah dan juga pengadilan untuk menyelesaikan
jika terjadi perselisihan dagang antara bangsa. Kesepakatan itu tentu dibangun atas asumsi
bahwa sistem datang yang terlebih efisien di banding sistem yanhg proteksionis, dan di
bangun atas keyakinan bahwa persaingan bebas akan menguntukan bagi negara yang
menerapkan prinsip-prinsip efektivitas dan efisiensi.

Pembahasan

Globalisasi, Partikularisasi, Dan Pengalaman kolonialisme


Globalisasi tidak hanya beroperasi dalam bidang ekonomi, melainkan sebuah fenomena
perubahan ruang dan waktu lewat perkembangan yang makin cepat dari komunikasi global
dan lalu lintas massal. Sistem-sistem kontrak internasional yang komprehensif terbentuk dan
jejaring komunikasi global memberi pengaruh yang sangat kuat atas konteks-konteks
kehidupan local dan personal. Hal ini menimbulkan kesan seolah-olah melalui globalisasi
akan terbentuk sebuah sistem dunia yang yang berlaku secara universal, akan tetapi hal itu
justru tidak terjadi.

F. Budi Hardiman memetakan setidaknya ada tiga alasan pokok mengapa gagasan mengenai
sebuah sistem dunia terletak sangat jauh dari kenyataan dan mengapa terjadinya sebuah
sistem universal seperti itu tidak dapat di identifikasikan dengan globalisasi. Hal itu tertuang
sebagai berikut : (1) Situasi di dialam setiap negara di dunia dalam kaitanya dengan
kompleksitas internal nya seperti kelompok-kelompok etnis dan religious, berbagai macam
minoritas dan orientasi-orientasi politisi sudah begitu rumit, berwarna-warni, tumpeng tindih,
dan fragmentaris sehingga pencarian akan sebuah totalitas bukan lah benang merah yang
dapat di percayai lagi (2) Globalisasi dapat mencakup berbagai proses yang sangat rumit dan
tidak pernah mengarah pada saling pengertian di antara bangsa-bangsa, negara-negara, dan
kebudayaan-kebudayaan, melainkan sering menggiring kearah konflik-konflik di antara
mereka. Globalisasi di pahami bukan sebuah penerimaan pasif atas unsur-unsur kebudayaan
asing, melainkan sintetis antara unsur-unsur kebudayaan sendiri dan kebudayaan asing.
Globalisasi memiliki ambivalensi di mana terdapat kemungkinan perjumpaan kebudayaan
sekaligus benturan kebudayan-kebudayan. (3) Bgaimanapun, pengalaman negative selama
kolonialisme tidak dapat dilupakan begitu saja dan masih mengendap dalam memori kolektif
kebudayaan-kebudayaan yang dulu dijajah oleh barat. Kolonialisme di pandang merusak
berbagai tradisi pribumi dan pranata sosial yang ada dan berefek sampai sekaramg dalam
berbagai ketertinggalan struktual jangka Panjang.

Globalisasi terukur dari berbagai sistem-sistem nilai yang lahir di barat. Sedangkan
partikularisasi di pahami sebagai perlawanan terhadap hegemoni kebudayaan barat. Nilai-
nilai barat yang mengklaim diri sebagai universal daoat dikatakan berpijak pada tuntunan
dasar revolusi amerika dan prancis yang terangkum dalam hak-hak asasi manusia. Nilai ini
rupanya di sahkan oleh banyak negara sebagai piagam PBB tahun 1948, sedangkan di negara-
negara asia timur, Hak-hak asasi manusia tersebut di cantumkan di kontitusi masing-masing
negara sebagai hak-hak dasar. Dalm praktiknya, hak-hak asasi manusia yang dituntutkan oleh
negara-negara barat kepada negara-negara lian di pandang asing. Berbagai perlawanan
terhadap hegemoni kebudayaan barat yang di lakukan di asia tidak bersumber dari berbagai
perbedaan kultural, melainkan dari pengalaman kolonialisasi yang dialami oleh bangsa-
bangsa di asia . Para penyokong nilai-nilai asia mencoba melindungi diri mereka dari
intervensi asing terhadap urusan internal mereka dengan cara menunjukan keberlainan
kebudayaan mereka sendiri.

Perdebatan-Perdebatan Seputar Nilai-Nilai Asia


Konsep “Asia” tidak mengacu pada ketunggalan kultural. Konsep ini mnyederhanakan
kenyataan yang sangat majemuk dan kompleks yakni meringkas bagian bumi yang paling
beragam secara geografis,kultural,religious,lingustis,dan politis. Di Asia kita menemukan
berbagai bentuk pemerintah (demokrasi,otokrasi,negara polisi) dan berbagai macam tradisi
kultural (kebudayaan, konfusian, islam, buddhis) Dengan kata lain, Asia lebih merupakan
kontruksi intelektual daripada kenyataan empiris. Di sisi lain, Ketika kita berbincang tentang
nilai, nilai di mengerti sebagai sebuah tolak ukur yang kepadanya manusia mengorintasikan
diri dalam bertindak dan dalam cara bertindak. Yang di anggap nialai-nilai asia yaitu
mengutamakan hubungan-hubungan personal lebih memilih hrmoni daripada kompetisi atau
konfrontasi mengambil keputusan dengan pola hiarkis dan vertical belajar dengan meniru dan
mengasuh dengan hukuman mengutamakan etika dan moral di atas hukum memiliki
keutamaan-keutamaan sosial di antaranya kerajinan, kerja keras, disiplin diri, dan kepatuhan.

Nilai asia kerap di anggap sebagai nilai-nilai kontra. Hal itu dikarenakan untuk melindungi
diri dari efek-efek kebudayaan barat yang di anggap negative contohnya dari individualisme
yang semakin menjadi-menjadi, kehancuran keluarga, dan kencenderungan-kecenderungan
anarkis dalam negara barat yang liberal, Menurut lee kuan yeuw, Barat semakin terancam
berbahaya dekadensi maka nilai-nilai yang lahir di barat tidaklah dapat dijadikan contoh.
Sikap ambivalesi barat di dalam politik global dikritik oleh para pembela nilai-nilai asia
sebagai moral ganda. Barat memang terlihat menyuarakan kemanusiaan dan kesamaan, tetapi
hal ini tidak sepenuhnya diperhatikan di dalam politik global karena kepentingan-kepentingan
barat yang sengguhnya ialah ekonomi.

Para komunitaris contohnya Michael sandel, Charles taylor, dan Alasdair mclntrye
mengkritik gambaran manusia individualis yang ada dalam liberalisme dan menuntut
prioritas nilai-nilai komuniter di atas kebebasan-kebebasan subyektif. Mclntrye
membayangkan negara Sebagai sebuah keluarga besar yang ada di dalamnya para warga
terikat satu sama lain dengan keutamaan-keutamaan dan keutamaan sentralnya adalah
patriotism. Pada sebuah model negara yang menyerupai keluarga dan prioritas kehidupan
komunitas di atas individu, tekanan pada tradisi pribumi atau identitas kultural sendiri dan
pentingnya rasa keikatan dapat dikatakan sebagai argument-argumen khas komunitarisme.
Argumen-argumen komunitaris dimungkinkan di sambut baik di asia. Sekalipun orang-orang
asing tidak memakai istilah komunitarisme. Namun, para komunitaris di asia timur berbeda
dengan para komunitaris amerika. Para komunitaris asia timur berkenan para pragmatikus
politis dengan argument-argumen yang erat terkait dengan berbagai kepentingan politis
mereka, sedangkan para komunitaris amerika bergerak di dalam medan teori Masyarakat.

Perlawanan Terhadap Demokrasi Barat dan Hak-Hak Asasi Manusia


Problematika nilai tidak berhenti pada aspek kebudayaan dan kemasyarakatan, melaimnkan
memuncak pada momen-momen politis. Hal itu dikarenakan konsepsi kenegaraan antinomi
anatara individualisme barat dan kolektivisme asia kerap di tekan-tekan kan oleh para
pemimpin negara-negara di asia. Mereka juga menolak setiap bentuk intervensi asing
kedalam urusan-urusan internal negara mereka atas nama hak-hak asasi manusia. Sikap barat
dalam hak-hak asasi manusia dilihat sebagai suatu Upaya untuk membatasi pertumbuhan
ekonomi dan peranan politis Asia di politik global. Karena itu, beberapa pemerintah di asia
timur cenderung menegas-negaskan bahwa asia memiliki pemahamanya yang khas tentang
hak-hak asasi manusia dan demokrasi yang bersesuaian dengan nilai-nilai asia dan berbagai
taraf perkembangan dan tardisi menutut konsep tersendiri tentang hak-hak asasi manusia dan
demokrasi.
Budi Hardiman mengatakan empat kecenderungan perlawanan terhadap demokrasi dan hak-
hak asasi manusia sebagai berikut. (1) Budi Hardiman menunjukannya melalui pemikiran lee
kuan yeuw dan Suharto. Lee kuan yeuw berpendapat bahwa Pembangunan lebih
membutuhkan disiplin dan pemerintah yang bersih daripada demokrasi, dan ia berpijak dari
asumsi bahwa demokrasi dapat di hasilkan sebagai akibat pertumbuhan ekonomi yang juga
tidak perlu mengikuti model barat, sedangkan Suharto mengajak wrga lebih mengutamakan
kewajiban sosial. Bakti kepada bangsa dan negara yang lebih menyatakan bahwa tujuan
Pembangunan nasional itu lebih penting dan mendesak daripada hak-hak asasi manusia. (2)
Demokrasi Barat dan hak-hak asasi manusia di pandang tidak cocok dengan asia, Khususnya
politik dan masyrakat asia. Hal itu dikarenakan asia memiliki gambaran-gambaran sendiri
tentang negara yang mengutamakan loyalitas dan memperhatikan otoritas serta hierki
kekuasan yang cocok untuk konteks asia. (3) Standar-standar hak-hak asasi manusia yang di
tetapkan oleh PBB seharusnya di ganti dengan berbagai konsep pribumi tentang hak-hak
asasi manusia. Pemahaman ini menekankan negara sebagai subyek hukum, prinsip non-
intervensi dan berbagai kewajiban individu terhadap Masyarakat (4) media-media barat
berlaku tidak adil kepada Masyarakat asia timur dengan cara memberi cap tirans dan
diktatoris kepada semua negara yang memiliki pandangan mereka sendiri.
Namun, bersamaan dengan perubahan ini, globalisasi juga telah menimbulkan sejumlah
tantangan dalam perlindungan HAM.
1. Tantangan Hak Ekonomi
Globalisasi ekonomi telah membuka peluang ekonomi yang besar, terutama bagi negara-
negara maju. Namun, pertumbuhan ekonomi yang tidak merata dan ketidaksetaraan ekonomi
telah menjadi masalah yang serius. Di banyak negara berkembang, terdapat kesenjangan yang
semakin membesar antara kelompok kaya dan miskin. Ini menciptakan tantangan dalam
memastikan bahwa hak ekonomi setiap individu dijaga. Oleh karena itu, pemerintah dan
lembaga internasional perlu mengadopsi kebijakan yang mendukung inklusi ekonomi,
redistribusi kekayaan, dan akses yang adil terhadap sumber daya ekonomi. Program
pendidikan dan pelatihan juga penting untuk meningkatkan keterampilan dan peluang
ekonomi bagi kelompok yang kurang beruntung.
2. Privasi dan Keamanan Data
Perkembangan teknologi informasi telah membawa manfaat besar dalam berkomunikasi dan
berbagi informasi. Namun, hal ini juga meningkatkan risiko privasi dan keamanan data. Data
pribadi individu dapat dengan mudah disalahgunakan atau dicuri. Solusinya, pemerintah dan
perusahaan teknologi perlu bekerja sama dalam mengembangkan regulasi yang efektif untuk
melindungi privasi dan keamanan data. Ini melibatkan pengaturan pengumpulan,
penyimpanan, dan penggunaan data pribadi.
3. Isu-Isu Sosial dan Budaya
Globalisasi telah menghubungkan orang dari berbagai budaya dan latar belakang. Ini
menciptakan peluang untuk memahami dan menghargai keanekaragaman budaya. Namun, ini
juga dapat menciptakan konflik budaya dan identitas. Walhasil, pendidikan tentang
keragaman budaya dan dialog antarbudaya perlu ditingkatkan. Penting untuk
mempromosikan toleransi, pengertian, dan saling menghormati antarbudaya.
4. Integrasi HAM dalam Hukum Nasional
Integrasi nilai-nilai HAM dalam hukum nasional merupakan tantangan yang kompleks.
Meskipun terdapat norma-norma HAM internasional, setiap negara memiliki sistem hukum
yang berbeda. Ini memerlukan penyesuaian dan reformasi hukum yang cermat. Sabagai
solusi, pemerintah perlu bekerja sama dengan lembaga internasional untuk mengintegrasikan
HAM dalam hukum nasional dengan cara yang sesuai dengan konteks masing-masing negara.
Pendidikan hukum HAM juga harus ditingkatkan.

Penutup
Dalam era globalisasi ini, perlindungan HAM tetap menjadi tantangan yang relevan.
Globalisasi telah membawa perubahan yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, dan
membutuhkan respon yang cerdas dan inovatif dalam memastikan bahwa nilai-nilai HAM
tetap dijaga dan dipromosikan. Melalui kerja sama antar negara dan lembaga internasional,
kita dapat mengembangkan kerangka kerja yang efektif dalam mengatasi tantangan yang
dihadapi dalam memastikan hak-hak asasi manusia di era globalisasi ini.

Daftar Pustaka
Brysk, Alison dan Gherson safir (ed) people out of globalization, Human Rights, and
Citizenship Gap ( New York & London: Routledge,2004
Fakih Mansour, runtuhnya teori Pembangunan dan globalisasi. Yogyakarta: puastaka peajar
2001
Hrdiman F budi. Hak-hak asasi manusia : polemic dengan agama dan kebudayaan ,
Yoyakarta, kanisius, 2011
Kenichi Ohmae. (1995). The End of the Nation State. New York: Free Press
David M. Trubek, et al. (1993). Global Restructuring and the Law. London: Routledge.
.

Anda mungkin juga menyukai