Di susun oleh:
Nur alfina hidayati
051360721
Ilmu komunikasi
Program Sarjana
Universitas Terbuka
2023
Pendahuluan
Pembahasan
F. Budi Hardiman memetakan setidaknya ada tiga alasan pokok mengapa gagasan mengenai
sebuah sistem dunia terletak sangat jauh dari kenyataan dan mengapa terjadinya sebuah
sistem universal seperti itu tidak dapat di identifikasikan dengan globalisasi. Hal itu tertuang
sebagai berikut : (1) Situasi di dialam setiap negara di dunia dalam kaitanya dengan
kompleksitas internal nya seperti kelompok-kelompok etnis dan religious, berbagai macam
minoritas dan orientasi-orientasi politisi sudah begitu rumit, berwarna-warni, tumpeng tindih,
dan fragmentaris sehingga pencarian akan sebuah totalitas bukan lah benang merah yang
dapat di percayai lagi (2) Globalisasi dapat mencakup berbagai proses yang sangat rumit dan
tidak pernah mengarah pada saling pengertian di antara bangsa-bangsa, negara-negara, dan
kebudayaan-kebudayaan, melainkan sering menggiring kearah konflik-konflik di antara
mereka. Globalisasi di pahami bukan sebuah penerimaan pasif atas unsur-unsur kebudayaan
asing, melainkan sintetis antara unsur-unsur kebudayaan sendiri dan kebudayaan asing.
Globalisasi memiliki ambivalensi di mana terdapat kemungkinan perjumpaan kebudayaan
sekaligus benturan kebudayan-kebudayan. (3) Bgaimanapun, pengalaman negative selama
kolonialisme tidak dapat dilupakan begitu saja dan masih mengendap dalam memori kolektif
kebudayaan-kebudayaan yang dulu dijajah oleh barat. Kolonialisme di pandang merusak
berbagai tradisi pribumi dan pranata sosial yang ada dan berefek sampai sekaramg dalam
berbagai ketertinggalan struktual jangka Panjang.
Globalisasi terukur dari berbagai sistem-sistem nilai yang lahir di barat. Sedangkan
partikularisasi di pahami sebagai perlawanan terhadap hegemoni kebudayaan barat. Nilai-
nilai barat yang mengklaim diri sebagai universal daoat dikatakan berpijak pada tuntunan
dasar revolusi amerika dan prancis yang terangkum dalam hak-hak asasi manusia. Nilai ini
rupanya di sahkan oleh banyak negara sebagai piagam PBB tahun 1948, sedangkan di negara-
negara asia timur, Hak-hak asasi manusia tersebut di cantumkan di kontitusi masing-masing
negara sebagai hak-hak dasar. Dalm praktiknya, hak-hak asasi manusia yang dituntutkan oleh
negara-negara barat kepada negara-negara lian di pandang asing. Berbagai perlawanan
terhadap hegemoni kebudayaan barat yang di lakukan di asia tidak bersumber dari berbagai
perbedaan kultural, melainkan dari pengalaman kolonialisasi yang dialami oleh bangsa-
bangsa di asia . Para penyokong nilai-nilai asia mencoba melindungi diri mereka dari
intervensi asing terhadap urusan internal mereka dengan cara menunjukan keberlainan
kebudayaan mereka sendiri.
Nilai asia kerap di anggap sebagai nilai-nilai kontra. Hal itu dikarenakan untuk melindungi
diri dari efek-efek kebudayaan barat yang di anggap negative contohnya dari individualisme
yang semakin menjadi-menjadi, kehancuran keluarga, dan kencenderungan-kecenderungan
anarkis dalam negara barat yang liberal, Menurut lee kuan yeuw, Barat semakin terancam
berbahaya dekadensi maka nilai-nilai yang lahir di barat tidaklah dapat dijadikan contoh.
Sikap ambivalesi barat di dalam politik global dikritik oleh para pembela nilai-nilai asia
sebagai moral ganda. Barat memang terlihat menyuarakan kemanusiaan dan kesamaan, tetapi
hal ini tidak sepenuhnya diperhatikan di dalam politik global karena kepentingan-kepentingan
barat yang sengguhnya ialah ekonomi.
Para komunitaris contohnya Michael sandel, Charles taylor, dan Alasdair mclntrye
mengkritik gambaran manusia individualis yang ada dalam liberalisme dan menuntut
prioritas nilai-nilai komuniter di atas kebebasan-kebebasan subyektif. Mclntrye
membayangkan negara Sebagai sebuah keluarga besar yang ada di dalamnya para warga
terikat satu sama lain dengan keutamaan-keutamaan dan keutamaan sentralnya adalah
patriotism. Pada sebuah model negara yang menyerupai keluarga dan prioritas kehidupan
komunitas di atas individu, tekanan pada tradisi pribumi atau identitas kultural sendiri dan
pentingnya rasa keikatan dapat dikatakan sebagai argument-argumen khas komunitarisme.
Argumen-argumen komunitaris dimungkinkan di sambut baik di asia. Sekalipun orang-orang
asing tidak memakai istilah komunitarisme. Namun, para komunitaris di asia timur berbeda
dengan para komunitaris amerika. Para komunitaris asia timur berkenan para pragmatikus
politis dengan argument-argumen yang erat terkait dengan berbagai kepentingan politis
mereka, sedangkan para komunitaris amerika bergerak di dalam medan teori Masyarakat.
Penutup
Dalam era globalisasi ini, perlindungan HAM tetap menjadi tantangan yang relevan.
Globalisasi telah membawa perubahan yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, dan
membutuhkan respon yang cerdas dan inovatif dalam memastikan bahwa nilai-nilai HAM
tetap dijaga dan dipromosikan. Melalui kerja sama antar negara dan lembaga internasional,
kita dapat mengembangkan kerangka kerja yang efektif dalam mengatasi tantangan yang
dihadapi dalam memastikan hak-hak asasi manusia di era globalisasi ini.
Daftar Pustaka
Brysk, Alison dan Gherson safir (ed) people out of globalization, Human Rights, and
Citizenship Gap ( New York & London: Routledge,2004
Fakih Mansour, runtuhnya teori Pembangunan dan globalisasi. Yogyakarta: puastaka peajar
2001
Hrdiman F budi. Hak-hak asasi manusia : polemic dengan agama dan kebudayaan ,
Yoyakarta, kanisius, 2011
Kenichi Ohmae. (1995). The End of the Nation State. New York: Free Press
David M. Trubek, et al. (1993). Global Restructuring and the Law. London: Routledge.
.