Anda di halaman 1dari 13

TUGAS TEORI HUKUM

Nama: Fandika Khairul Lubis


Nim:227005177
Kelas: Reguler C
Perbandingan Huku Dalam Konteks Global Sistem Eropa, Asia, dan Afrika

Werner Menski

Di dalam buku Perbandingan Hukum Dalam Konteks Global Sistem Eropa,


Asia dan Afrika yang ditulis oleh Werner Menski menjelaskan tentang perkembangan
dari globalisasi pada abad ke-20 yang menimbulkan berbagai perdebatan-perdebatan
di kalangan para ilmuwan atas segala kosekuensi-konsekuensi dari perkembangan
global ini yang begitu ramai diuperbincangkan di negara-negara. Diskusi yang
membahas tentang bagaimana globalisasi ini terkait dengan teori hukum dan
pemahaman hukum. Dengan adanya perkembangan globalisasi ini sesungguhnya dapat
menimbulkan dampak yang positif dan dampak yang negative, dampak positif dari
globalisasi ini misalnya seperti komunkasi global yang lebih mudah, perdagangan dan
bisnis antar negara yang lebih mudah, dan dampak negatifnya juga ada seperti asumsi-
asumsi akan menilbulkan konflik bahwa manusia akan kekurangan moral apabila tidak
mengikuti arus perkembangan globalisasi ini dengan baik dan benar.
Menggambarkan teori globalisasi sebagai industri akademis baru, Twining
(2000: 5) mengacu pada karya penting Santos (1995) dan perbedaannya tentang
'lokalisme terglobalisasi' dan 'globalisme terlokalisasi'. Hukum, dari perspektif ini,
dipandang saling terkait dengan aspek kehidupan lainnya, dan tidak dapat diperlakukan
sebagai sistem yang tertutup. Twining (2000: 7) melaporkan bahwa 'telah banyak kritik
diri dalam disiplin tentang sejauh mana mereka telah terlalu menekankan pentingnya
batas-batas dan telah memperlakukan masyarakat, negara dan "suku" sebagai
independen, unit dekontekstualisasi.
Yang menjadi perbincangan pokok terhadap globalisasi ini, melalui
penyelidikan atas teori- teori hukum adalah apakah gejala globalisasi harus dilandaskan

1
atas visi misi penyeragaman global, atau apakah visi yang menekankan pluralisme
hukum dan efek pluralisasi pada proses globalisasi yang lebih realistis, sehingga
globalisasi berujung pada keragaman yang nyaris tak terbatas dan dalam faktanya
menjadi glokalisasi (glokalization). Di dunia sekarang ini, klaim-klaim yang paling
nyata muncul dari visi-visi penyeragaman global, yang saling berlawanan dan dibuat
oleh inisiatif-inisiatif pimpinan Amerika seperti Perang terhadap teror dan versi-versi
militant ekstremis dari Jihad Islam, mengarah pada saling tuduh sebagai teroris baik
oleh George Bush maupun Osama Bin Laden yang sama-sama pendukung dari dua visi
liberalitas.
Dari Perspektif global hal ini terlihat cacat karena mereka berfokus terlalu
sempit pada persaingan antara Kristen dan Muslim atau supremasi global, dengan
mengabaikan banyak klaim globalisasi lainnya di dunia.Persepsi public mengenai
sengketa antara dua kutub yaitu antara visi Barat dan Muslim terlalu simplistic dan
berbahaya, terlampau kabur dan terbatas. Para ilmuwan dan para pembuat kebijakan
perlu mengakui pentingnya peran negosiasi konstan sadar pluralitas dari berbagai
perspektif yang berlwanan dengan semangat liberalitas.
Sebagian besar tulisan mengenai globalisasi mengabaikan dimensi-dimensi
hukumnya dan dengan sedikit perkecualian, dunia keilmuan hukum masih harus
menghadapi isu-isu yang muncul.
Globalisasi itu lebih dari sekadar McWorld atau westernisasi, Globalisasi adalah
hubungan antar manusia yang telah mencapai proporsi global dan bertransformasi. Jika
kita berfokus pada globalisasi hanya sebagai sebuah strategi modern untuk kekuasaan,
kita akan terluput dari kedalaman historis dan sosialnya. Sejatinya asal usul globalisasi
ada pada hubungannya yang pelan-pelan telah melingkup umat manusia sejak masa-
masa paling awal, Ketika mereka mengglobalkan diri sendiri. Dalam pengertian ini
globalisasi, globalisasi sebagai sebuah dinamika manusia telah lama menyertai kita,
sekalipun kita tidak menyadarinya hingga baru-baru ini. Sementara teknologi informasi
modern telah menghasilkan perbedaan besar pada bagaimana kita berhubungan dengan

2
pihak lain, para ilmuwan social modern telah cenderung mengabaikan bukti dari
konsep-klonsep kuno dan pola-pola awal interaksi regional kalaupun bukan global.
Para ilmuwan telah menarik hubungan erat antara postmodernitas dan
masyarakat global, sehingga globalisasi sering kali dipahami sebagai konsekwensi
menonjol dari perubahan sosio-ekonomi pasca-modern, pasca-industri. Foshi
(2003:163) menangkap realitas ini dengan nada-nada optimistis yang perlu kita catat,
menympang pada asumsi-asumsi hukum yang laying dipertanyakan.
Informasi dan pengetahuan telah membentuk jalinan antara orang-orang
di dunia, Sekarang, keyakinan bahwa umat manusia bisa beralih menjadi
sebuah komunitas universal, tengan terbentuk melalui proses-proses globalisasi
dan pengetahuan teknologi. Sepertinya dunia bisa mengembangkan sebuah
tertib cosmopolitan yang didasarkan atas kebebasan, keadilan, kesetaraan bagi
seluruh umat manusia. Sehingga globalisasi merupakan ciri baru dari
masyarakat pasca industry.
ada proses-proses yang
cenderung menciptakan dan mengkonsolidasi suatu ekonomi dunia yang terpadu,
sebuah system ekologi tunggal dan sebuah jaringan komunikasi kompleks yang
meliputi seluruh bumi , sekalipun tidak memasuki setiap bagiannya. Anthony Giddens

lokalitas-lokalitasyang jauh dengan cara sedemikian rupa sehingga peristiwa-peristiwa


lain dibentuk oleh peristiwa-peristiwa yang berlangsung bermil-mil jauhnya dan
sebaliknya.

berbeda. Glenn, mengawali pembahasannya dengan mengatakan bahwa globalisasi


atau dominasi dunia, biasanya dipandang sebagai proses tunggal, namun ia langsung
mengingatkan bah
adalah bahwa, problema pada analisis atas keadaan dunia dengan cara ini adalah bahwa
ada sejumlah globalisasi yang berlangsung , ada juga hasilnya misalkan globalisasi
dalam bentuk Islamsisasi. Terutama dipersepsikan sebagai dominasi Amerika atas

3
dunia, sebuah pikiran yang menggida bagi Sebagian orang, namun bagaimana halnya
dengan yang lainnya.
Tidak ada globalisasi tunggal. Ada beberapa globalisai, Avatarnya plural,
proses-prosesnya historis dan hasil-hasilnya beragam. Dan dengan begitu alih-alih
menyebutkannya globalisasi, kita seharusnya menamakannya globalisasi-globalisasi.
Globalisasi di seluruh dunia bukan suatu hal yang gampang. Tantangan-tantangan yang
diberikan padanya sama sekali tidak biasa. Selalu ada kekhawatiran bahwa negara
bangsa akan kehilangan identitas dan arti pentingnya. Ada pula kekhawatiran lain
adalah bombardier kultural atas negara-negara berkembang oleh modernisasi barat-
kapitalisme, industrialisme dan sitsem negara-negara.
Postmodernisme secara metodologi terkait erat dengan postkolonialisme, yang
secara khusus menentang jejak-jejak colonial eurosentrisme dan etnosentrisitas Barat
dalam wacana-wacana dominan tentang masyarakat-masyarakat non Barat. Namun
sebagia besar perbincangan terkini mengenai globalisasi tampaknya masih diilhami
oleh tema misi memperadabkan (civilizing mission), yang sekarang atas nama
universalisme dan dan hak asasi manusia. Dalam perbincangan umum dewasa ini,
globalisasi tampaknya berarti dominasi politik dan ekonomi dari proses pembangunan
berfokus Barat yang eurosentris dan bergaya linear, dan bergerak secara niscaya
menuju keseragaman global.
Positivisme dalam hukum adalah musuh bagi pemahaman bagi pemahaman. Ia
merupakan perspektif reduksionis yang secara artifisial menyingkirkan dari
gambarannya struktur hukum yang lebih dalam ( semisal kultur hukum, Bahasa
ekspresi hukum, momen-momen revolusioner dan sebagainya) dan juga elemen-
elemennya ( yang bertipikal postmodern) yang bersifat dekoratif dan simbolis. Sebagai
akibat nya, positivism terbuka kedonya sebagai sebuah pendekatan yang pada aslinya
bersifat formalistic, dalam pengertian bahwa bentuk mengungguli struktur dalam
menentukan ranah hukum. Ia menganggap sebagai di luar hukum (outlaws) aspek-
aspek structural yang lebih dalam.

4
Ilmu hukum terlah beralih melalui berbagai fase modernisasi menuju sebuah
posisi tempat secara bertahap hukum cosmopolitan formal telah menjadi konsep
dominan, seringkali dengan membungkam orang-orang dan tatanan yang lebih kecil
dan segi-segi lokal mereka. Karena metodologi postmodern meliputi upaya
mempertanyakan Kembali semua aktivitas manusia, tugas dunia keilmuan hukum
adalah membangun kesadaran demikian ke dalam metodologi sadar pluralitas yang
kuat bervaliditas global, berfokus pada segenap semesta fenomena hukum.
Namun pengupayaan sebuah teori tunggal yang bisa menjadi pedoman
definitive untuk semua kasus adalah angan-angan belaka, bukan hanya karena
perbedaan, dan kemungkinan tidak bisa direduksi dalam berbagai konteks dan situasi,
melainkan juga karena upaya tersebut menyalahartikan apa yang sebenarnya terjadi
ketika prinsip-prinsip universal diterapkan dalam dunia nyata.
Mengubah Skenario Global: dari transplantasi colonial ke implantasi etnis
Wacana globalisasi telah membangunkan arwah perdebatan lama tentang apa
yang terjadi Ketika hukum dicangkokkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Apakah
gelombang terkini globalisasi hanya versi perulangan dari dominasi kolonial
sebelumnya, sekarang dengan kemasan transaksi-transaksi perdagangan yang menarik
dan program-program pembangunan, memaksa orang-
memenuhi standar-standar metropolitan? Kolonialisme sendiri bukan terutama tertuju
pada pencangkokan (transplantasi) hukum.
Pengalaman kolonial memunculkan semangat kuat akan keunggulan Barat dan
klaim misi memperadabkan. Di banyak Kawasan kolonial, dan juga selainnya (
misalnya Jepang, Thailand), banyak hukum Eropa yang dicangkokkan melalui
berbagai proses peneriman. Banyak warga kolonial yang menelan peraaturan dan nilai-
-
para majikan kolonial mereka. Hanya sedikit yang memprotes melalui kata-kata dan
Tindakan seperti yang dilakukan M.K. Gand
ideologi mengenai bagaimana mengevaluasi konflik-konflik tersebut berlanjut dewasa
ini; Sebagian besar dunia keilmuan non-

5
dunia keilmuan sosio-
hukum yang memadai pun tampak nyata.
Hukum Internasional dan berbagai tekanan penyatuannya
Suatu persoalan kunci bagi para ahli hukum dewasa ini adalah sampai sejauh
mana globalisasi berarti harmonisasi, atau bahkan penyeragaman hukum secara global,
alih-alih glokalisasi atau pluralisme global. Dalam perdebatan ini, penciptaan suatu
tertib hukum universal memotivasi banyak aktivitas hukum, mengarahkan para
mahasiswa-mahasiswa untuk mengambil kuliah-kuliah hukum public internasional,
seringkali secara eksplisit didorong oleh perhatian untuk menjaga hak asasi manusia
dan standar-standar hukum universal di bawah panji-

apakah hal ini merupakan strategi Pendidikan dan respon hukum yang tepat terhadap
beragam dampak globalisasi.
Studi hukum di Inggris biasanya berfokus pada hukum negara dan dengan
keengganan tertentu, pada hukum public internasional. Hukumi nternasional sebagai
sebuah bidang studi dan praktik hukum tampaknya mengisyaratkan kemungkinan
untuk membangun sebuah system hukum dunia. Dalam faktanya hukum public
internasional dengan berbagai agen dan lembaganya dewasa ini menciptakan kesan
bahwa suatu tertib hukum universal telah tercipta. Sebagian besar darinya masih
merupakan angan-angan belaka, namun sementara hukum public dan hukum privat
internasional harus berlomba dengan kekuasaan negarabdan strategi-strategi korporat
yang melangkahi semua ini, ada begitu banyak komitmen penyeragaman sehingga
Sebagian akademisi mulai merasa terkungkung dan mengungkapkan keprihatiann
tentang adanya tekanan untuk beroperasi hanya pada level global.
Perbandingan Hukum Afrika dengan Hukum Tiongkok
Perspektif sadar pluralitas tentang hukum Afrika tidak dapat mengabaikan
orang Afrika dan banyak budaya dan bahasa mereka. Tetapi dapatkah seseorang
berbicara tentang 'hukum Afrika', mengingat keragaman yang sangat besar ini?
Jawaban singkatnya adalah bahwa 'hukum Afrika' hanyalah semacam label etnis dan

6
istilah kolektif 'hukum Afrika' sebenarnya terdiri dari berbagai jenis sistem hukum.
Tapi ada lebih banyak yang dipertaruhkan di sini daripada taksonomi, teori hukum atau
evaluasi hukum adat. Kehadiran hukum Afrika sebagai keluarga hukum yang terpisah
terus ditolak dan didefinisikan. Ini mungkin merupakan konsekuensi dari marjinalisasi
historis 'benua gelap'. Oleh karena itu, bab ini pertama-tama harus membahas masalah
utama dari upaya bersama untuk menolak tempat hukum Afrika di meja global.
Argumen bahwa orang Afrika entah bagaimana primitif, memang tidak memiliki
hukum yang tepat dan harus memodernisasi keluar dari keadaan tertekan mereka
secepat mungkin melalui penerimaan hukum Barat telah kuat dan meresap. Karena
orang Afrika secara luas dianggap tidak memiliki kapasitas untuk berpikir rasional dan
pengaturan administrasi modern yang canggih, pengamat hukum Eropa yang sakit
budaya mengabaikan banyak bukti dari sebagian besar hukum Afrika lisan dan
mengabaikannya sebagai 'budaya'. Dalam konteks upaya peka terhadap pluralitas untuk
mengembangkan teori hukum yang valid secara global, pandangan rabun semacam itu
sudah sangat ketinggalan zaman. Hukum Afrika sama legalnya dengan hukum lainnya,
tetapi mungkin memiliki karakteristik khusus yang unik, yang mendefinisikan 'postulat
identitas' mereka (Chiba 1989: 180).
Unsur-unsur hukum Afrika umum yang tercantum di sini adalah semua unsur
dari setiap sistem hukum di dunia; semua sistem hukum memiliki prosedur, prinsip,
institusi dan teknik. Oleh karena itu, apakah kita menanyakan ciri-ciri 'etnis' Afrika,
atau kita hanya mengandalkan geografi, sehingga hukum Afrika adalah hukum Afrika?
Dihadapkan dengan keragaman internal yang sangat besar dari hukum adat Afrika,
David dan Brierley (1978: 506) bertanya: 'Apakah ini berarti bahwa tidak ada kesatuan

' Sementara pendapat berbeda tentang masalah ini, sekarang ada 'kesepakatan umum
bahwa karakteristik tertentu adalah umum untuk semua' Hukum Afrika memang
membedakannya dari hukum Eropa' (hal. 506), mungkin beberapa elemen konseptual
tatanan sosial Afrika. Allott (1965

7
: 217-18) sebelumnya telah membahas perubahan definisi hukum Afrika pada
periode yang berbeda. Dia mencatat 'suatu ambiguitas tertentu dalam istilah tersebut
menimbulkan keraguan tentang keberadaan badan hukum yang dapat dipisahkan secara
eksternal dan koheren secara internal yang dapat digambarkan sebagai hukum Afrika'
(hal. 217). Istilah hukum adat yang sering digunakan 'akan memiliki implikasi yang
agak merendahkan, seolah-olah hukum adat bukanlah hukum yang sebenarnya' (hal.
218). Di era pascakolonial, keberadaan hukum Afrika secara institusional diakui
dengan terciptanya pos-pos akademik dan kursus-kursus tentang hukum Afrika, yang
mencerminkan persepsi hukum Afrika sebagai rumpun sistem hukum. Allott (1965:
218) berkomentar:
Penerimaan posisi ini tidak menyiratkan keseragaman mendasar dalam sistem
hukum Afrika, apalagi satu jenis hukum Afrika dengan variasi lokal; tetapi ini
menyiratkan bahwa kedekatan geografis dan historis dan latar belakang yang
sebanding dari orang-orang yang tunduk pada hukum-hukum ini, dan karakter hukum
itu sendiri, sedemikian rupa sehingga menjadi bermakna untuk mempelajarinya dengan
cara ini.
Ada banyak bukti sebelumnya tentang penolakan sistematis terhadap hukum
Afrika. Beasiswa hari ini tampaknya lebih berpikiran terbuka tentang orang Afrika dan
hukum mereka. Orang Afrika di mana pun di dunia masih menghadapi perlawanan
yang kuat terhadap validitas norma dan postulat hukum khusus budaya mereka, yang
sekarang sering kali menjadi dasar universalisasi hak asasi manusia. Sementara banyak
tunjangan diberikan kepada Muslim Afrika atas nama agama, orang Afrika hampir di
mana-mana diperlakukan dengan cara yang buta warna, budaya-netral yang
menyangkal sistem nilai mereka pengakuan hukum yang memadai. Terlebih lagi,
pemuda kulit hitam di mana-mana tampaknya secara sistematis dikriminalisasi dan
dihukum karena 'berbeda'. Sejarah hukum Afrika dapat dibagi menjadi tiga periode
utama: hukum Afrika pra-kolonial, kolonial dan pasca-kolonial (Allott, 1965). Hukum
tradisional Afrika, sebagai massa lisan mengambang dari hukum non-negara, tidak
mudah diakui sebagai hukum dan menarik penelitian antropologis daripada hukum.

8
Selain itu, bias yang terus berlanjut terhadap apa pun yang berkaitan dengan Afrika dan
orang kulit hitam sebagai primitif, berbahaya, dan entah bagaimana tidak manusiawi
bagi orang lain harus diperhatikan.687 Beberapa penelitian telah berhasil memahami
Afrika sebagai 'dunia budaya kuno yang sangat tangguh, mampu untuk mengatasi
intrusi asing, betapapun ditentukan dorongannya, tidak mudah kehilangan
orisinalitasnya' (Bozeman 1971: 86). Kebanyakan penulis hanya berasumsi bahwa
sistem hukum kolonial mengganggu pengaturan hukum tradisional dan
menghancurkannya. Jauh lebih dekat dengan kenyataan untuk dicatat bahwa banyak
hukum tradisional Afrika menjadi hukum yang tidak terlihat dan tidak resmi sebagai
akibat dari penjajahan. Di Afrika pasca-kolonial, perdebatan sengit berlanjut tentang
status hukum tradisional Afrika dan nilai melestarikan tradisi hukum Afrika.
Keragaman besar sistem hukum Afrika menghalangi generalisasi menyeluruh.
Selain hukum Afrika, hukum Islam berlaku untuk banyak orang Afrika di semua negara
Afrika Utara, di Sudan, Somalia dan banyak negara lain, termasuk Mozambik. 689
Islam melakukan perjalanan dengan para pedagang di sepanjang rute perdagangan
kuno melintasi Sahara ke Afrika Barat, dan di sepanjang pantai Afrika Timur. Di
Afrika Selatan, terlepas dari berbagai hukum lokal, dan hukum Muslim dan Hindu,
hukum Romawi-Belanda berlaku.Afrika Selatan pasca-apartheid, yang terlibat dalam
rekonstruksi hukum postmodern, sebagaimana dokumen Laporan Komisi Hukum,
menemukan bahwa norma hukum tetap sangat relevan. Selain itu, orang Afrika sebagai
komunitas transnasional global telah membawa tradisi dan hukum mereka di seluruh
dunia, terutama ke Karibia dan Amerika,Brasil, dan ke hampir semua negara di dunia
maju, di mana para pengungsi Afrika telah menjadi kelompok baru yang menonjol.
Kami berkonsentrasi di sini pada Afrika sub-Sahara dan hukum keluarga besar Afrika
. Tidak mengherankan, muncul pertanyaan apakah dalam pandangan keragaman seperti
itu, label seperti 'hukum Afrika' berguna dan tepat.Meskipun tidak ada yang namanya
hukum Afrika tunggal, dan terlepas dari keragaman yang sangat besar di lapangan,
adalah mungkin untuk memperlakukan hukum Afrika sebagai unit yang berbeda.
koheren untuk studi banding. Okupa (1998: 1) menyarankan bahwa pengunjung awal

9
ke Afrika menemukan semua jenis sistem hukum yang beroperasi dan mengenali ciri-
ciri yang sudah dikenal, tetapi pandangan mereka dapat diabaikan sebagai kegilaan
romantis. Kemudian, bagi sarjana hukum yang diresapi dengan positivisme Barat,
hukum Afrika bukanlah hukum karena hanya merupakan campuran besar dari hukum
adat setempat. Karena prevalensi budaya Afrika, kurangnya ketergantungan pada
dokumentasi tertulis, dan ketergantungan pada sistem nilai 'primitif' yang tidak dapat
diterima, dianggap tidak mungkin untuk menemukan hukum yang sesuai. Sementara
kesulitan seperti itu mungkin ada bagi pengamat asing, orang Afrika tahu bahwa
mereka memiliki hukum, dan nenek moyang memiliki hukum, dan mereka mengalami
'hukum kehidupan' mereka sendiri. Kerusakan multiplier dalam komunikasi dalam hal
pemahaman konsep-konsep hukum yang spesifik secara budaya sekali lagi dicirikan
oleh keheningan dan kesenjangan komunikasi yang bermakna.
Pandangan populer bahwa orang Afrika akan melakukan yang terbaik untuk
meniru sistem hukum Barat (Kristen) atau Muslim untuk berkembang menjadi anggota
dunia modern yang beradab, dipandang menyakitkan oleh banyak orang Afrika. Ada
banyak bukti protes. Okupa (1998 : x) dengan tegas menyangkal komentar para penulis
sebelumnya bahwa 'Afrika tidak pernah menciptakan apa pun, tetapi selalu menerima
dari orang lain', sebuah asumsi yang tidak masuk akal jika klaim bahwa umat manusia
dimulai di Afrika adalah benar.
HUKUM CINA
Dibandingkan dengan studi hukum Hindu dan hukum Afrik, studi hukum Cina
mengadapi lingkungan penelitian yang lebih bersahabat. Sementara luas wilayah Cina,
ketidakstabilan dan arti pentingnya tetap menjadi tantangan, kodifikasi hukum-hukum
Cina Imperial berkesan bagi Sebagian besar pengamat Barat dan hanya menyisakan
sedikit keraguan bahwa Cina kuno memiliki hukum. Dilihat sekilas, wacana tentang
-kode
atau filsafat-filsafat etika konfusian, seolah-olah system hukum ini unik dan tak
terbandingkan dalam hal pengandalannya kepada filsafat dan kode-kode buatan negara.

10
Eksplorasi singkat dari beberapa asumsi ilmiah tentang sifat hukum Tiongkok,
khususnya dalam hal isi dan dampak agama, diperlukan untuk memahami mengapa
ada analisis yang berbeda dari hukum Tiongkok. Jenis tertentu dari miopia selektif
dimanifestasikan dalam tulisan-tulisan tentang hukum Cina. Moris (1967:v)
menekankan bahwa relatif sedikit literatur ilmiah dalam bahasa Barat tentang hukum
tradisional Tiongkok. Bahan-bahannya, bagaimanapun, berlimpah.' Van der Sprenkel
(1977: 1) segera menunjukkan masalah bagi para sarjana dalam memastikan apa yang
benar-benar 'legal':
Siapa pun yang ingin belajar hukum Tiongkok bahkan jika dia memiliki
pengetahuan bahasa yang baik pada awalnya dihadapkan pada sejumlah masalah. Dia
dihadapkan dengan banyak materi dari jenis yang berbeda, yang semuanya tampaknya
ada hubungannya dengan apa yang disebut hukum di masyarakat lain, tetapi sulit untuk
melihat dengan tepat apa yang di Cina berhubungan dengan berbagai cabang hukum
seperti kita. tahu itu masalah yang akrab bagi siswa masyarakat pra-[modern]-
industri.
Para ahli mengakui bahwa hukum tradisional Cina, bersama dengan konsepsi
hukum Timur lainnya, 'secara tradisional menganggap hukum memainkan peran kecil
dalam arti bahwa itu hanyalah sarana lain untuk menjaga perdamaian dan ketertiban
sosial' (de Cruz, 1999: 203). Lloyd (1991: 15) mencatat bahwa orang Cina kuno
memandang hukum secara negatif dan sebagai alat kontrol sosial:

Hukum Tiongkok: kode dan perilaku 591


Di Tiongkok kuno abad ketiga SM, kita menemukan aliran penting tentang apa
itu
disebut 'Legists', yang berpendapat bahwa sifat manusia pada awalnya jahat dan
bahwa cara-cara baik yang sering dilakukan manusia adalah karena pengaruh
lingkungan sosial, khususnya pengajaran ritual dan pengekangan hukum pidana. 'Satu
hukum, ditegakkan dengan hukuman berat, lebih berharga untuk menjaga ketertiban

11
daripada semua kata-kata semua orang bijak,' adalah salah satu pepatah yang
mengaturnya.
Terlepas dari perbedaan persepsi tentang hukum, banyak sarjana hukum
memperdebatkan apakah Tiongkok kuno memiliki agama atau filosofi. Dalam analisis
global yang sadar akan pluralitas, perbedaan ini tidak terlalu membuat perbedaan.
Tampaknya tidak masuk akal bagi para pengacara dan orang lain untuk berargumen
bahwa orang Cina memiliki filsafat yang hebat tetapi tidak memiliki agama; tidak jelas
bagaimana perbedaan itu harus ditarik. Karena tidak ada definisi hukum yang
disepakati secara universal, hal yang sama berlaku untuk mendefinisikan 'agama'. Oleh
karena itu, pengandaian ilmiah tertentu memiliki dampak yang signifikan terhadap
analisis hukum interdisipliner. Pengacara kurang memperhatikan masalah ini atau
mencoba menyangkal bahwa agama memengaruhi hukum Tiongkok kuno. Namun,
sebagian besar pengacara berada dalam posisi yang goyah, ketika mereka menolak
penyertaan agama dalam budaya Tionghoa, atau mencoba untuk memproklamirkan
hukum Tiongkok sekuler, atau mengabaikan bidang agama dan etika sejauh mungkin.
Investigasi merpati dan stereotip akademis semacam itu pasti akan menemui kesulitan
karena hukum tradisional Tiongkok, melalui alat kuno hukum Konfusianisme (bagian
7.3.4.), menetapkan metode sadar pluralitas untuk mempertahankan kontrol sosial-
hukum yang melampaui kotak hitam dari disiplin akademik standar.
Awal awal budaya Cina tetap tersembunyi dari mulut ke mulut, kurangnya
catatan, dan berlalunya waktu. Studi tentang pandangan dunia Cina mungkin tidak
menarik sebagai topik hukum. Selain itu, keberadaan kode kekaisaran yang besar
menunjukkan bahwa ada cukup bukti nyata dari sistem hukum resmi untuk
menyibukkan para pengacara. Namun, untuk analisis hukum yang sadar pluralitas dan
interdisipliner, pemeriksaan rinci tentang konsekuensi hukum yang kompleks dari
sistem etika dan moralitas tradisional Tiongkok sangat diperlukan. Bagian ini pertama-
tama berfokus pada konsep kuno tatanan manusia super dan naturalisme, khususnya
Taois, dan kemudian melanjutkan ke analisis terperinci tentang li sebagai konsep kunci
pemikiran hukum Tiongkok, yang mewakili model ideal tatanan yang dikendalikan

12
sendiri yang menjadi ciri teori komunis. hukum. Seperti Daud dan . dikatakan'idealnya
adalah bahwa hukum tidak pernah diterapkan dan pengadilan tidak pernah membuat
keputusan'. Subbagian selanjutnya membahas secara lebih rinci bagaimana nilai-nilai
sosial, moral dan etika ini bekerja dalam konteks sosial dan mempersiapkan dasar
untuk penerapan hukumnya.

13

Anda mungkin juga menyukai