Anda di halaman 1dari 10

MODUL AJAR MATA KULIAH KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA ( 3 SKS) PROGRAM KHUSUS KELAS KARYAWAN FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS MERCUBUANA NAMA DOSEN : A. SULHARDI, M.Si

POKOK PEMBAHASAN MINGGU KE 12 GLOBALISASI DAN KEBUDAYAAN

A. Pendahuluan Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan koeksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat. Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985. Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan globalisasi:

Internasionalisasi:

Globalisasi

diartikan

sebagai

meningkatnya

hubungan

internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain.

Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi.

Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.

Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.

Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda dengan keempat definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing-masing negara masih mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara-negara.

B. Ciri globalisasi Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia. Hilir mudiknya kapal-kapal pengangkut barang antar negara menunjukkan keterkaitan antar manusia di seluruh dunia

Perubahan dalam Konstantin ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.

Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).

Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan.

Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.

Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Giddens menegaskan bahwa kebanyakan dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Sejalan dengan itu, Peter Drucker menyebutkan globalisasi sebagai zaman transformasi sosial. D. Teori globalisasi Cochrane dan Pain menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan globalisasi, terdapat tiga posisi teoritis yang dapat dilihat, yaitu:

Para globalis percaya bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan. Mereka percaya bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi global yang homogen. meskipun demikian, para globalis tidak memiliki pendapat sama mengenai konsekuensi terhadap proses tersebut.

Para globalis positif dan optimistis menanggapi dengan baik perkembangan

semacam itu dan menyatakan bahwa globalisasi akan menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan bertanggung jawab.

Para globalis pesimis berpendapat bahwa globalisasi adalah sebuah fenomena negatif karena hal tersebut sebenarnya adalah bentuk penjajahan barat (terutama Amerika Serikat) yang memaksa sejumlah bentuk budaya dan konsumsi yang homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benar dipermukaan. Beberapa dari mereka kemudian membentuk kelompok untuk menentang globalisasi (antiglobalisasi).

Para tradisionalis tidak percaya bahwa globalisasi tengah terjadi. Mereka berpendapat bahwa fenomena ini adalah sebuah mitos semata atau, jika memang ada, terlalu dibesar-besarkan. Mereka merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi sebuah fenomena internasional selama ratusan tahun. Apa yang tengah kita alami saat ini hanyalah merupakan tahap lanjutan, atau evolusi, dari produksi dan perdagangan kapital.

Para transformasionalis berada di antara para globalis dan tradisionalis. Mereka setuju bahwa pengaruh globalisasi telah sangat dilebih-lebihkan oleh para globalis. Namun, mereka juga berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita menyangkal keberadaan konsep ini. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa globalisasi seharusnya dipahami sebagai "seperangkat hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung". Mereka menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik, terutama ketika hal tersebut negatif atau, setidaknya, dapat dikendalikan.

E. SEJARAH GLOBALISASI Banyak sejarawan yang menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20 ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional. Padahal interaksi dan globalisasi dalam hubungan antar bangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antar negeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Tiongkok dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat (seperti misalnya jalur sutera) maupun jalan laut untuk berdagang. Berkas:Mcdonalds oslo 2.jpg Fenomena berkembangnya perusahaan McDonald di seluroh pelosok dunia menunjukkan telah terjadinya globalisasi. Fase selanjutnya ditandai dengan dominasi perdagangan kaum muslim di Asia dan Afrika. Kaum muslim membentuk jaringan perdagangan yang antara lain meliputi Jepang, Tiongkok, Vietnam, Indonesia, Malaka, India, Persia, pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia, dan Genoa. Di samping membentuk jaringan dagang, kaum pedagang muslim juga menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya Arab ke warga dunia. Fase selanjutnya ditandai dengan eksplorasi dunia secara besar-besaran oleh bangsa Eropa. Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda adalah pelopor-pelopor eksplorasi ini. Hal ini didukung pula dengan terjadinya revolusi industri yang meningkatkan keterkaitan antar bangsa dunia. berbagai teknologi mulai ditemukan dan menjadi dasar perkembangan teknologi saat ini, seperti komputer dan internet. Pada saat itu, berkembang pula kolonialisasi di dunia yang membawa pengaruh besar terhadap difusi kebudayaan di dunia. Semakin berkembangnya industri dan kebutuhan akan bahan baku serta pasar juga memunculkan berbagai perusahaan multinasional di dunia. Di Indinesia misalnya, sejak politik pintu terbuka, perusahaan-perusahaan Eropa membuka berbagai cabangnya di Indonesia. Freeport dan Exxon dari Amerika Serikat, Unilever dari Belanda, British

Petroleum dari Inggris adalah beberapa contohnya. Perusahaan multinasional seperti ini tetap menjadi ikon globalisasi hingga saat ini. Fase selanjutnya terus berjalan dan mendapat momentumnya ketika perang dingin berakhir dan komunisme di dunia runtuh. Runtuhnya komunisme seakan memberi pembenaran bahwa kapitalisme adalah jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan dunia. Implikasinya, negara negara di dunia mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. Hal ini didukung pula dengan perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Alhasil, sekat-sekat antar negara pun mulai kabur.]] F. Globalisasi dan Persebaran Budaya Dunia Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye, 1966 ). Globalisasi secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak budaya tidak perlu melalui kontak fisik karena kontak melalui media telah memungkinkan. Karena kontak ini tidak bersifat fisik dan individual, maka ia bersifat massal yang melibatkan sejumlah besar orang (Josep Klapper, 1990). Dalam prosesnya banyak warga masyarakat yang terlibat dalam proses komunikasi global tersebut, dan dalam waktu yang bersamaan hal ini berarti banyak pula masyarakat (yang terlibat dalan proses komunikasi global) menjadi exposed terhadap informasi, dan terkena dampak komunikasi tersebut. Karena itu, tidak mengherankan bila globalisasi berjalan dengan cepat dan massal, sejalan dengan berkembangnya teknologi komunikasi modern, mulai bermunculan portable radio, televisi, televisi satelit, dan kemudian internet. Keunggulan media massa, baik cetak maupun elektronik, adalah bahwa media tersebut mampu menyuguhkan gambar-gambar secara jelas dan terinci kepada para pemakainya. Akibatnya, para pemakai media massa tersebut mengetahui apa yang terjadi di tempat lain dengan budaya yang berbeda dalam waktu yang singkat. Mereka dapat melihat dan mengetahui keunggulan-keunggulan budaya yang dimiliki masyarakat lain melalui media massa tersebut. Sikap yang dapat muncul dari sini adalah sikap yang memandang secara kritis apa yang mereka miliki dan bagaimana mengimbanginya dengan nilai-nilai budaya yang sudah mereka miliki itu, termasuk sikap kritis dari bangsa Indonesia sendiri terhadap apa yang sudah mereka miliki. Terkait dengan globalisasi, mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri. 5

Kebudayaan lokal atau etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.Anggapan atau jalan pikiran di atas tersebut tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tak berguna. John Naisbitt (1988) dalam bukunya yang berjudul Global Paradox memperlihatkan hal yang bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Naisbitt (1988) mengemukakan pokok-pokok pikiran , yaitu semakin kita menjadi universal, maka tindakan kita semakin menjadi kesukuan atau lebih berorientasi kesukuan dan berpikir secara lokal, namun bertindak global. Yang dimaksudkan Naisbitt disini adalah bahwa kita harus berkonsentrasi kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia Internasional. Dengan demikian, berpikir lokal, bertindak global, seperti yang dikemukakan Naisbitt di atas, dapat diletakkan dan diposisikan pada masalah-masalah kesenian di Indonesia sebagai kekuatan yang penting dalam era globalisasi ini. Pengaruh globalisasi disatu sisi ternyata menimbulkan pengaruh yang negatif bagi kebudayaan bangsa Indonesia . Norma-norma yang terkandung dalam kebudayaan bangsa Indonesia perlahan-lahan mulai pudar. Gencarnya serbuan teknologi disertai nilai-nilai interinsik yang diberlakukan di dalamnya, telah menimbulkan isu mengenai globalisasi dan pada akhirnya menimbulkan nilai baru tentang kesatuan dunia. Radhakrishnan dalam bukunya Eastern Religion and Western Though (1924) menyatakan untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, kesadaran akan kesatuan dunia telah menghentakkan kita, entah suka atau tidak, Timur dan Barat telah menyatu dan tidak pernah lagi terpisah, Artinya adalah bahwa antara barat dan timur tidak ada lagi perbedaan. Atau dengan kata lain kebudayaan kita dilebur dengan kebudayaan asing. Apabila timur dan barat bersatu, masihkah ada ciri khas kebudayaan kita? Ataukah kita larut dalam budaya bangsa lain tanpa meninggalkan sedikitpun sistem nilai kita? Oleh karena itu perlu dipertahanan aspek sosial budaya Indonesia sebagai identitas bangsa. Caranya adalah dengan penyaringan budaya yang masuk ke Indonesia dan pelestarian budaya bangsa. G. GLOBALISASI KEBUDAYAAN Globalisasi memengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan 6

ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan. Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye, 1966 ). Namun, perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada awal ke20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antar bangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antar bangsa lebih mudah dilakukan, hal ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan. G. BUDAYA GLOBAL DAN GAYA HIDUP Di antara fenomena menarik dalam kehidupan masyarakat kita dewasa ini adalah maraknya budaya global (global culture) dan gaya hidup (life style). Fenomena ini terjadi sebagai akibat atau merupakan derivasi dari arus globalisasi yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Globalisasi yang sering dimaknai sebagai proses mendunianya sistem sosial-ekonomi-politik dan budaya --sehingga dunia seperti menjadi tanpa tapal batas (the borderless world)-pada dasarnya pula bisa dipahami sebagai suatu bentuk penyeragaman, dominasi, dan bahkan hegemoni negara-negara maju (Barat) terhadap negara-negara terbelakang atau bangsa yang sedang berkembang. Anggapan seperti tadi cukup beralasan mengemuka, karena bukan saja istilah globalisasi itu berasal dari kosakata Barat, tetapi juga muatan dan ideologi dari globalisasi itu tidak bisa lepas dari kepentingan politik, ekonomi, dan sosial-budaya negara-negara Barat beserta sekutunya. Isi, ukuran, dan standar dari globalisasi tersebut tidak bisa dipungkiri lagi adalah ala Barat yang pada umumnya dikategorikan kapitalisme, individualisme, materialisme, hedonisme, dsb. Dalam kenyataannya pula, globalisasi secara total membawa komoditas dan produk industri negara-negara maju, apakah itu yang berkenaan dengan urusan pasar, politik, budaya atau bahkan agama sekalipun. Berdasarkan asumsi seperti itu pula, maka secara kasat mata bisa disaksikan dalam realitas kehidupan sehari-hari apa yang sering disitilahkan dengan budaya global dan gaya hidup yang dianut masyarakat, sebagaimana telah disinggung di muka. Masyarakat

kita atau bangsa Indonesia cukup akrab dengan model budaya seperti itu. Di sinilah, hemat saya, letak salah satu problem dari globalisasi yang perlu dikritisi, dan dalam batas-batas tertentu harus ditandingi. Sebagai bentuk penyeragaman dan invasi budaya, maka setidaknya globalisasi itu --dengan mengutip John Naissbitt dan Patricia Aburdene-- bisa dilihat dari adanya keseragaman atau homogenitas jenis makanan (food), mode pakaian (fashion), dan aneka hiburan (fun). Bisa dipastikan, disadari atau tidak, hampir semua kota di Indonesia telah menjadi agen penyeragaman tersebut yang melahirkan konstruksi sosial-budaya baru dalam kehidupan masyarakat yang sering menimbulkan kesan absurd, ironi, wagu dan saru. Gaya hidup dari budaya global tersebut kerap identik dengan Amerikanisasi atau McDonaldisasi berikut segala atribut dan pandangan hidupnya. Restoran cepat saji dengan sistem waralaba seperti Kentucky Fried Chicken, Dunkin Donuts, McDonald, terdapat di mana-mana. Begitu pula dengan jenis dan model pakaian serta ragam bentuk hiburan --dengan mode atau merek luar negeri--, tidak ada bedanya dengan yang biasa dipakai dan ditonton masyarakat di negara-negara maju. Dengan demikian budaya global telah memasyarakat, dan pada akhirnya memunculkan gaya hidup latah dan konsumtivisme yang kerap mengundang tawa dan dan sekaligus keprihatinan. Karena dalam hal globalisasi, pada umumnya masyarakat hanya ikut arus dan terbawa kecenderungan dalam berbagai hal. Sementara jika ditanya tentang kesadaran terhadap globalisasi yang berkaitan erat dengan sikap kritis dan keniscayaan untuk menyiasatinya agar bias eksis dengan jati diri, budaya, dan integritas kepribadiannya yang autentik, hampir bisa dipatikan minim sekali atau nihil. Persoalan tersebut kemudian melahirkan banyak masalah baru yang semakin menyeret bangsa ini ke pinggiran sejarah dan tepian peradaban. Lantas apa yang mesti kita lakukan? Sangat boleh jadi, menghadapi globalisasi dengan anak-pinaknya itu kita sering terposisikan ke dalam situasi yang dilematis. Menolak globalisasi akan berisiko teralienasi dari dinamika zaman; sementara mengikuti globalisasi akan berisiko mengalami split personality (kepribadian yang terpecah). Hal ini terjadi karena berbagai keterbatasan dan kelemahan yang diidap masyarakat, apakah itu berkaitan dengan mental attitude, self confidence, dan sumber daya manusia yang rapuh, maupun yang berhubungan dengan kondisi riil ekonomi dan politik kita yang sarat ketergantungan. Hemat saya, suka atau tidak suka, kita harus bersikap realistis terhadap masalah globalisasi tersebut. Sikap seperti ini harus dibarengi dengan kesadaran emansipatoris 8

dan kritisisme, sehingga memberikan daya dan kemampuan untuk berhadapan dengan globalisasi dan memanfaatkannya tanpa harus mengorbankan identitas, budaya, dan harkat-martabat bangsa. Dalam batas-batas tertentu, globalisasi yang membawa budaya global daya gaya hidup seperti tadi juga harus dilawan dengan budaya sendiri dan local genius yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Kepribadian dan kebudayaan --sebagai kata kerja-- harus kembali disemaikan di tengah kehidupan publik --secara demokratis, emansipatoris, dan dilogis-melalui institusi pendidikan, media massa, ormas, parpol, LSM, dan lembaga-lembaga lainnya yang punya kepedulian dan keberpihakan. Sekecil atau sesedikit apa pun, ikhtiar dan kemauan demikian akan lebih bermakna daripada tidak sama sekali. Jangan sampai kita tergadaikan dalam arus budaya global dan gaya hidupnya itu.

DAFTAR PUSTAKA Ammon, R.2001. Global Television and the Shaping of World Politics. .Jefferson. McFarland & Compang Inc., Publishers. Doyle, G. 2002. Media Ownership London. Sage Publications. Doyle, G. 2002. Understanding Media Economics. London. Sage Publications. Herman, E. McChesney, R. 1997. The Global Media; The New Missionaries of Global Capatilism. London. CASSELL. Khoo K. J, dan Jomo K.S. 2002. Globalization and its Discontents, Revisited. New Delhi. Tulika Books. McPhill, T. 2002. Global Communication. London. Allyn and Bacon. Picard, R. 1989. Media Economics: Concepts and Issues. London. Sage Publications. Westcott, T 002. Globalisation of Childrens TTV and strategies of the Big Three. Dalam Feilitzen, C dan Carlsoon, U. Children, Young people and Media Globalisation. Nordicom. Gotenborg University. Naisbitt John (1988) Global Paradox, London. Sage Publications www.wikipedia.org

10

Anda mungkin juga menyukai