Anda di halaman 1dari 8

Globalisasi, Hegemoni, dan Kolegialitas Perlawanan Lokal

Oleh: Ans Gara

Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerapkali menjumpai hal-hal yang berbau global.
Entah di rumah, di sekolah, di kebun, di lapangan sepakbola, di kantor, di terminal, di warung,
dan di tempat-tempat lainnya. Bukan hanya menyisir berbagai tempat, hal-hal dengan aroma
global juga dapat tampil jumawa dalam berbagai rupa. Kita, misalnya, kerapkali menikmati
konten-konten beraroma global seperti musik, film, pertunjukkan seni, arsitektur, berita, atau
acara-acara televisi global. Bahkan kita barangkali merasa ketinggalan kalau tidak menyisipkan
istilah-istilah asing dalam percakapan sehari-hari, tidak mengetahui peraih penghargaan
terbanyak pada penyelenggaraan Grammy Awards terbaru, atau tidak mengenakan pakaian
dengan trend atau mode terbaru. Contoh-contoh empiris tersebut setidaknya mewakili tesis
pertama penulis bahwa “globalisasi telah menjadi sebuah kenyataan gamblang’ yang mewarnai
keberadaan kita. Ia merambah hampir ke setiap dimensi kehidupan kita entah politik, ekonomi,
sosial, kebudayaan, pendidikan, pertahanan, seni, dan lain sebagainya.

Akan tetapi, globalisasi sebagai sebuah kenyataan gamblang tidak boleh diterima begitu
saja (taken for granted). Ia mesti “diarak” ke bilik pembedahan kritis. Ada dua poin penting di
sini. Pertama, pembedahan terhadap anatomi globalisasi itu mesti dilakukan melalui suatu
diskursus masif dan kolektif. Kedua, kritis berarti diskursus tersebut bergerak pada kerangka
memilah yang baik dari yang buruk, yang positif dari yang negatif, atau yang relevan dari yang
tidak. Diskursus itu tidak mengandung suatu intensi untuk membombardir fenomena globalisasi
tanpa ampun, tanpa mempertimbangkan manfaat positif bagi peradaban manusia. Tak dapat
dipungkiri, globalisasi telah membuka ruang bagi eskalasi pengetahuan dan informasi. Kita,
sebagai misal, dapat dengan mudah mengakses berita-berita terbaru, hasil penelitian, teori,
analisis, temuan-temuan dalam berbagai bidang, atau bahkan mempelajari resep makan dari
belahan dunia lain. Oleh karena itu, tesis kedua penulis barangkali sedikit bernada imperatif
“globalisasi mesti dikritisi karena kemenduaannya”. Tulisan ini merupakan refleksi kritis atas
kemenduaan globalisasi yang telah melahirkan hegemoni kepentingan dan bentuk perlawanan
lokal yang dapat dibuat.
Membaca Perdebatan Seputar Globalisasi

Globalisasi merupakan sebuah istilah yang kompleks dan tidak mudah diidentifikasi.
Diskusi dan perdebatan seputar istilah ini pun masih terus berlangsung. Sebagian menaruh
optimisme terhadap globalisasi, sebagian lagi justru bersikap pesimis. Bagi kelompok pertama-
sering juga disebut globalist (pendukung globalisasi)- globalisasi merupakan sebuah fenomena
nyata yang bersifat ireversibel. Artinya, fenomena tersebut dilengkapi dengan kemampuan maha
dahsyat untuk menarik siapa dan apa pun untuk masuk ke dalam geliat percaturannya.
Sebagaimana diuraikan oleh Allan Cochrane dan Kathy Pain, mereka yang bersikap optimis
terhadap globalisasi seringkali menekankan pergeseran signifikan dari ruang relasi sosial
masyarakat. Sebagian hubungan sosial tersebut telah berlangsung secara global. Interkonektivitas
global itu telah mengurangi relevansi dari batas-batas nasional dalam sistem negara tradisional.
Konsekuensi lanjutnya ialah pelemahan sistemik terhadap kedaulatan negara-bangsa (nation-
state). Globalisasi telah melahirkan struktur global yang menghomogenisasi tatanan global. Ia
bahkan menentukan bagaimana negara, organisasi, atau masyarakat global mesti bertindak,
berpikir, atau bertutur dalam berbagai dimensi kehidupan mereka. Kaum globalis juga
menambahkan bahwa perlawanan terhadap arus deras globalisasi ini akan selalu berakhir dengan
kegagalan.1

Berbeda dengan kelompok pertama, kelompok yang kedua (sering juga disebut kelompok
internasionalis) justru menaruh pesimisme terhadap klaim-klaim yang dibuat oleh kaum globalis.
Bagi mereka, globalisasi merupakan mitos yang diciptakan oleh negara-negara adidaya untuk
melanggengkan dominasi dan kekuasaan mereka dalam dunia global. Globalisasi sebenarnya
bukan merupakan fenomena yang baru. Ia merupakan perkembangan lebih lanjut dari hubungan-
hubungan dalam perdagangan global di masa lalu. Kendati telah berkembang dalam bentuk dan
rupa yang baru, substansi dari relasi tersebut masih sama, yakni liberalisasi politik dan ekonomi.
Globalisasi merupakan perkembangan lebih lanjut dari ekspansi kolonialisme-imperialisme pada
abad ke-15 yang kemudian berlanjut pada dominasi ideologi pembangunan (developmentalisme)
a la Barat pada medio abad 20.2 Karena itu, globalisasi telah turut berperan penting dalam
1
Bdk. Allan Cochrane dan Kathy Pain, “A globalizing society?” dalam David Held (ed.), A Globalizing
World? Culture, Economics, Politics (New York: Routledge, 2004), hlm. 22.
2
Ignas Kleden menjelaskan bahwa globalisasi dapat juga merujuk pada ekspansi pengaruh suatu
kebudayaan atau agama ke seluruh penjuru dunia. Dalam kerangka pemahaman ini, globalisasi sebenarnya sudah
terjadi sejak berabad-abad lalu melalui perdagangan lintas samudra. Indonesia, sebagai misal, sudah mengalami
menciptakan ketidakadilan dan ketidakseimbangan dalam relasi global. Negara-negara bagian
Utara (Amerika Serikat dan Eropa Barat) dapat dengan mudah memaksakan agenda-agenda
mereka dalam percaturan global. Sementara itu negara-negara periperal (negara pinggiran-negara
Dunia Ketiga-negara berkembang seperti Indonesia) seringkali dinomorduakan dalam alur
percaturan global tersebut. Namun, apakah dengan demikian negara-negara berkembang tidak
berdaya sama sekali? Kelompok internasionalis masih menaruh optimisme terhadap peran
pemerintah setiap negara dalam menentukan arah kebijakan politik, sosial, dan ekonomi mereka.
Gambaran hiperbolis kelompok globalis terkait determinasi total dunia global telah menafikan
sebagian besar aktivitas sosial-ekonomi yang masih berlangsung secara lokal dan regional.
Dalam perdagangan lokal dan regional tersebut, pemerintah masih memainkan peranan penting
dalam menentukan arah kebijakan politik dan ekonomi.3

Uraian singkat terkait perdebatan seputar globalisasi tidak dimaksudkan untuk


“memaksa” pembaca memilih posisi berdasarkan dua oposisi biner tersebut. Bagaimana pun
juga, baik argumentasi pendukung globalisasi maupun mereka yang menolaknya mengandung
kebenaran dan kelemahannya masing-masing. Akan tetapi, perdebatan tersebut setidaknya
memberikan sedikit gambaran kepada kita terkait globalisasi baik pada tataran teoretis-spekulatif
pun pada tataran praksis-real. Pada tataran teoretis globalisasi bertalian erat dengan ideologi
kapitalisme dan liberalisme Barat. Kapitalisme menghendaki adanya kebebasan dalam aktivitas
perdagangan global. Oleh karena itu, pemaksaan dan pengaturan oleh pemerintah berdaulat
dalam suatu batasan teritori tertentu harus diminimalisasi atau bahkan dihilangkan. Dalam logika
kapitalisme, pemerintah tidak diperkenankan untuk mengintervensi pasar karena akan
mengganggu proses-proses di dalamnya. Pembatasan terhadap peran negara berdaulat dalam
mengatur lalu lintas perdagangan global dapat dilakukan dengan membentuk lembaga-lembaga
global yang mengikat dan memaksa. Kebanyakan negara-negara berkembang tidak berdaya
berhadapan dengan gigantisme lembaga-lembaga global tersebut. Kehadiran lembaga-lembaga
global ini justru dipandang sebagai sebuah kemestian agar perdagangan global dapat berjalan
dengan efektif dan efisien.

pengaruh globalisasi semenjak masuknya pengaruh India pada abad ke-4 Masehi. Bdk. Ignas Kleden, “Globalisasi
dan Implikasi Sosial Budaya”, dalam Romanus Satu dan Herman E. Wetu (eds.), Gereja Milenium Baru Sebuah
Bunga Rampai (Tangerang: Yayasan Gapura, 2000), hlm. 16.
3
Bdk. op. cit., hlm. 23.
Pada tataran praksis globalisasi telah memungkinkan adanya hubungan antar-belahan
dunia. Globalisasi telah turut mempengaruhi cara kita berbicara, berpakaian, bertutur kata, atau
bahkan cara kita berpikir. Keputusan yang diambil oleh warga masyarakat di belahan dunia lain
dapat mempengaruhi secara langsung masyarakat di belahan dunia lainnya. Kebiasaan
berpakaian masyarakat dalam suatu wilayah tertentu dapat mempengaruhi produsen-produsen
barang di belahan dunia lain dalam membuat prioritas produksi mereka. Sebaliknya, iklan dan
propaganda yang dibuat dalam saluran-saluran global juga turut mempengaruhi prioritas
masyarakat. Hubungan antar belahan dunia ini mendapat bentuknya yang baru berkat kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu globalisasi juga tidak dapat dilepaspisahakan
dari akseleri kemajuan dan perkembangan teknologi. Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi relasi orang per orang tersebut tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Ruang dan
waktu menjadi tidak relevan lagi karena interaksi antarmanusia dapat dengan begitu mudah
dibangun. Anda dapat dengan mudah berkomunikasi dengan orang-orang dari belahan dunia
berbeda kapan dan di mana pun juga. Inilah yang disebut sebagai fenomena time-space
compression, menyusutnya ruang dan waktu. Dunia seakan menjadi sebuah perkampungan
global (global village). Lantas yang menjadi pertanyaan penting bagi kita ialah bagaimana relasi
global itu berlangsung?

Hegemoni dan Kolegialitas Perlawanan Lokal

Jean Baudrillard (1929-2007), seorang pemikir kelahiran Prancis, menguraikan ‘yang


global’ dalam pertentangannya dengan ‘yang universal’.4 ‘Yang universal’, demikian
Baudrillard, merujuk pada Hak-Hak Asasi Manusia, kebebasan, kebudayaan, dan demokrasi,
sedangkan ‘Yang global’ merujuk pada penyebaran teknologi, pasar, turisme dan informasi.
Nilai-nilai universal, demikian Baudrillard, lahir dari sebuah persetubuhan interaktif dari setiap
singularitas yang dimiliki kelompok masyarakat. Artinya, secara inheren kelompok-kelompok
sosial dalam masyarakat mengakui keberadaan dan pentingnya nilai-nilai universal karena
merupakan produk aspirasi dari setiap kebudayaan dalam masyarakat. Akan tetapi, dalam
globalisasi ‘yang universal’ itu telah didistorsikan oleh ‘yang global’. ‘Yang universal’ secara
formal masih diakui keberadaannya tetapi telah dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan ‘yang

4
Bdk. Silvester Ule, Terorisme Global Tinjauan, Kritik, dan Relevansi Pandangan Jean Baudrillard
(Maumere: Ledalero, 2011), hal. 72-80.
global’.5 ‘Yang universal’ kehilangan sifat autentiknya dan diarahkah seturut kehendak dan demi
keberlangsungan ‘yang global’. Yang global lantas menjadi sebuah identitas hegemonik yang
menciptakan suatu narasi tunggal bagi masyarakat global.

Hegemoni merupakan suatu dominasi simbolik yang seringkali tidak disadari. Disebut
sebagai dominasi simbolik karena hegemoni seringkali terjadi melalui simbol-simbol yang tidak
bersifat koersif. Dalam pemikiran Gramsci, hegemoni bertalian erat dengan kepemimpinan
kultural, bukan terutama kepemimpinan politis. Sebuah kelompok dikatakan hegemonik atas
kelompok-kelompok yang dipimpinnya jika ia memiliki pengaruh [moral dan intelektual] yang
mendorong munculnya consent atau persetujuan dari kelompok-kelompok tersebut sehingga
mereka memberikan dukungan [secara] sukarela.6 Hegemonisasi terjadi jika suatu kelompok atau
identitas politis tertentu menerjemahkan kepentingan partikularnya ke dalam masyarakat melalui
perang posisi. Dengan kata lain, hegemonisasi menuntut suatu kelompok tertentu untuk
menerjemahkan nalar privatnya ke dalam nalar universal sehingga diterima oleh masyarakat.
Dalam rumusan Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, hegemoni tak lain merupakan stabilisator
yang memapankan identitas politis tertentu dengan cara mengartikulasikan kepentingan mereka
dalam suatu perjuangan politis.7 Dengan demikian hegemoni meniscayakan sebuah pertarungan
posisi dan percaturan alternatif. Pertarungan itu tidak terjadi melalui pertumpahan darah. Ia
terjadi melalui sebuah infiltrasi simbolik tanpa menggunakan kekerasan dan tekanan.
Pertarungan ini pada akhirnya dimenangkan oleh posisi tertentu entah dalam rupa entitas politis,
ideologis, kultur, atau pandangan hidup tertentu. Hegemoni dengan demikian akan melahirkan
suatu narasi tunggal yang menguasai keseluruhan hidup masyarakat. Bahkan, masyarakat secara
tidak sadar menerima ketunggalan itu sebagai sebuah kemestian.

5
Contoh yang paling nyata dari distorsi yang universal oleh yang global ialah praktik pelanggaran HAM
dalam praktik perdagangan manusia (Human Trafficking). Perdagangan manusia sarat dengan logika kapitalisme.
Demi meningkatkan akumulasi modal, para kapitalis merasa perlu untuk melanggar hak-hak asasi pekerja, semisal
hak untuk mendapatkan upah yang layak, menyatakan pendapat, beribadah, menentukan pilihan politik, dsb.
Bahkan, para pekerja tersebut tidak jarang menjadi korban kekerasan atau pembunuhan demi perdagangan organ
tubuh.
6
R. Haryono Imam, “Masyarakat Warga dalam Pemikiran Gramsci” dalam F. Budi Hardiman Ruang
Publik Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace, Cet. Ke 6 (Yogyakarta: Kanisius, 2010),
hlm. 176.
7
Bdk. Venan Haryanto, Ranah Politik Menurut Pierre Bourdieu (Maumere: Ledalero, 2014), hlm. 125-
126.
Hegemoni dalam dirinya membawa serta suatu penyakit bawaan. Hal ini disebabkan
karena hegemoni menciptakan suatu narasi tunggal dalam konteks masyarakat majemuk.
Masyarakat majemuk yang menjadi lokus pertarungan kepentingan setiap kelompok tidak
menghendaki adanya suatu narasi tunggal yang menetapkan totalitas kehidupan masing-masing
kelompok atau identitas. Penyeragaman identitas dalam suatu narasi tunggal –seperti kekuasaan
politik, ekonomi, budaya, dan struktur-struktur global- dapat memperlemah atau bahkan
mematikan rupa-rupa ekspresi identitas partikular. Hegemoni dengan demikian selalu
memancing adanya gerakan perlawanan dari kelompok masyarakat atau identitas politis tertentu.
Hegemoni itu rapuh, justru karena singularitas yang dihembuskannya.

Proses perlawanan terhadap hegemoni global dapat dilakukan dengan memperjuangkan


gerakan penyadaran. Penyadaran terutama ditujukan kepada mereka yang terpinggirkan dan
seringkali disubordinasi dalam kerangka kepentingan global. Penyadaran ini semakin krusial
mengingat penguasaan global terjadi dalam frame hegemonik, sebuah dominasi simbolik yang
seringkali tidak disadari oleh mereka yang tersubordinasi. Masyarakat menerima itu sebagai
sebuah keniscayaan (taken for granted) tanpa melakukan pertimbangan kritis dengan membuat
filterisasi. Padahal, globalisasi, tanpa menolak berbagai manfaat posistifnya, seringkali
mengutamakan kepentingan kelompok-kelompok tertentu, tanpa mempertimbangkan
kepentingan lokal. Ikhtiar penghidupan kembali budaya lokal dalam turisme, pengentasan
kemiskinan dalam pembangunan, atau trickle down kesejahteraan dalam pasar bebas sebagai
misal seringkali hanya menjadi jargon semata. Dalam kenyataannya, globalisasi bidang-bidang
kehidupan tersebut justru dimaksudkan untuk menambah akumulasi kekayaan bagi kelompok-
kelompok tertentu.8 Akibatnya, kepentingan masyarakat lokal seringkali terpinggirkan. Dalam

8
Studi yang dibuat oleh Cipry Jehan Paju Dale terhadap geliat pembangunan pariwisata sebagai leading
sector (sektor utama) pembangunan di Manggarai Barat menjadi contoh paling nyata dari kerangka peminggiran
kepentingan lokal oleh yang global. Dale menulis “Keberadaan komodo dan pembangunan pariwisata [di Labuan
Badjo] membawa keuntungan besar bagi para pemodal dan elit lokal yang dengan satu dan lain cara, legal dan
illegal, terlibat dalam bisnis pariwisata ; namun manfaat bagi masyarakat umum tidak sebesar yang diklaim
pemerintah dan pelaku bisnis. Malahan masyarakat lokal turut menanggung risiko dari pembangunan yang
memprioritaskan pariwsata sebagai leading sektor, dan yang berbasis investasi”. Jelas bahwa turisme di Labuan
Badjo cenderung menguntungkan kelompok-kelompok seperti pebisnis pariwisata, investor global, dan elite lokal
sebagai kolega dari para aktor global tersebut. Lih. Cipry Jehan Paju Dale, Kuasa, Pembangunan, dan Pemiskinan
Sistemik (Labuan Badjo: Sunspirit Books, 2013), hlm. 103.
konteks ini, globalisasi, menyitir Hardt dan Negri,9 seakan menjadi kekaisaran baru yang
menciptakan jalan tol bagi hegemoni identitas politis, kultural, atau struktur global.

Gerakan perlawanan terhadap hegemoni global yang kental dengan kepentingan entitas
tunggal mesti dilakukan dalam spirit kolegialitas, taktis, dan strategis. Setiap institusi dalam
masyarakat yang memiliki solidaritas terhadap kepentingan lokal tidak dapat berjalan dan
berjuang sendiri-sendiri. Masing-masing kelompok butuh sinergitas dalam bentuk kerja sama
lintas institusi untuk dapat menghadang terpaan singularitas dalam arus deras globalisasi. Setiap
intitusi dan kelompok dalam masyarakat mesti mampu merumuskan visi-misinya dalam
kesadaran akan keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat umum, terutama yang paling
tertindas. Perjuangan dalam semangat kolegialitas itu bukan tanpa problem. Setiap kelompok
dalam masyarakat selalu memiliki agenda dan kepentingan tertentu. Kenyataan ini tentu
meniscayakan pertentangan kepentingan dalam perjuangan melawan hegemoni global. Hemat
penulis hal ini dapat dicegah apabila gerakan perlawanan terhadap hegemoni global tidak
dilakukan dalam kerangka monologial. Artinya, kelompok-kelompok yang memperjuangkan
kepentingan masyarakat lokal tidak memisahkan diri dari masyarakat lokal, sehingga bahasa
yang menjadi wacana dalam perjuangan tersebut tidak melulu berupa bahasa kelompok-
kelompok pejuang. Kerangka monologial cenderung menempatkan masyarakat lokal sebagai
objek pasif perjuangan. Sebaliknya, gerakan penyadaran dalam semangat kolegialitas mesti
sampai pada usaha pemberdayaan masyarakat lokal yang telah lama dihimpit oleh kepentingan
global. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat dalam gerakan perlawanan.
Masyarakat mesti juga ditempatkan sebagai salah satu aktor utama di samping institusi
perjuangan semisal institusi keagamaan, pendidikan, pemerintah, dsb. Pelibatan masyarakat lokal
dalam perjuangan perlawanan bersama pada gilirannya akan menempatkan mereka sebagai
subjek aktif. Dengan demikian perlawanan yang dilakukan terhadap terjangan yang global,
dalam istilah Baudrillard, sungguh-sungguh berorientasi pada kepentingan masyarakat lokal.
Perlawanan masyarakat lokal itu bukan terutama untuk menghadang arus deras globalisasi, tetapi
membantu mereka agar tidak tenggelam dalam arus deras tersebut.

9
Michael Hardt dan Antonio Negri, “Globalization as Empire” dalam David Held dan Anthony McGrew
(eds.), The Global Transformations Reader, cet. 2 (Cambridge: Polity Press, 2003), hlm 116.
Daftar Pustaka

Dale, Cipry Jehan Paju. Kuasa, Pembangunan, dan Pemiskinan Sistemik. Labuan Badjo:
Sunspirit Books, 2013.
Hardiman, F. Budi (ed). Ruang Publik Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai
Cyberspace. Cet. Ke 6. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Haryanto, Venan. Ranah Politik Menurut Pierre Bourdieu. Maumere: Ledalero, 2014.
Held, David dan Anthony McGrew (eds.). The Global Transformations Reader. Cet. 2.
Cambridge: Polity Press, 2003.
Held, David (ed.). A Globalizing World? Culture, Economics, Politics. New York: Routledge,
2004.
Satu, Romanus dan Herman E. Wetu (eds.). Gereja Milenium Baru Sebuah Bunga Rampai.
Tangerang: Yayasan Gapura, 2000.
Ule, Silvester. Terorisme Global Tinjauan, Kritik, dan Relevansi Pandangan Jean Baudrillard.
Maumere: Ledalero, 2011.

Anda mungkin juga menyukai