Anda di halaman 1dari 7

RESUME

PARTAI POLITIK DAN BIROKRASI DI INDONESIA


Diajukan untuk memenuhi mata kuliah Birokrasi di Indonesia

Dosen Pengajar :

Hj. Lelita Yunia, M.Si

Disusun Oleh :

Hirla Marsalino ( 2017210002)

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JAKARTA

JAKARTA

TAHUN 2021
Kehidupan partai politik di Indonesia dikenal semenjak adanya Maklumat X Wakil
Presiden tahun 1945. Banyak partai politik yang dibentuk oleh rakyat berdasarkan Maklumat ini.
Sebelumnya ketika Pemerintah Proklamsi dibentuk, susunan kabinetnya sama sekali tidak
ditempati oleh orang-orang partai. Kabinetnya disebut Kabinet Presidensial yang dipimpin
Presiden. Kabinet ini berusia dari tanggal 19 Agustus 1945 sampai dengan 14 Nopember 1945.
Kabinet ini berusia sangat singkat. Karena ada Maklumat Wakil Presiden tersebut juga atas
desakan dari Tokoh Nasional yang vocal, Syahrir, untuk membentuk Kabinet Parlementer. Inilah
sebenarnya penyimpangan pertama dari UUD 1945, karena undang-undang dasar ini menepatkan
mengikuti Pemerintahan Presidensial akan tetapi kenyataannya diarahkan berdasarkan Maklumat
ke sistem Parlementar.

Di bawah UUD 45, yang mengikuti sistem Pemerintahan Presidensial, ternyata bisa
diterapkan pula Sistem Parlementer yang bertolak belakang dari prinsipn Presidensial. Inilah kali
pertama penyimpangan tehadap UUD 45 bisa terjadi.

Kabinet yang tersusun dari partai politik waktu itu ternyata telah dilakukan berdasrkan
koalisi di antara partai-partai politik. Selebihnya partai politik yang tidak berkoalisi memilih
jalur oposisi. Koalisi dan oposisi dimulai dari Kabinet Parlementer Syahrir pertama sampai
seterusnya dan kembali ke Kabinet Presidensial Moh. Hatta, yang tidak memiliki partai tetapi
didukung oleh menteri-menteri dari partai.

Dengan demikian, kehadiran dan dukungan partai politik dalam suatu Kabinet Presidensial
bukanlah hal yang tidak boleh atau asing melainkan pernah dipraktikan oleh Pemerintah
Indonesia di dalam UUD 45.

Kekuasaan di antar Legislatif dan Eksekutif

Selama ini kelembagaan birokrasi pemerintah selalu ditarik dari lokus dan fokus
penggunaan kekuasaan yang sedikit-banyaknya menjauhkan dariterwujudnya Demokrasi.
Paradigma kekuasaan selalu bergulir dari waktu ke waktu, bergerak antara lembaga eksekutif
dan legislatif. Kedua lemabaga itu dan peran Militer ikut mewarnai dari paradigm kekuasaan
tersebut. Pelaku-pelakunya dapat dikatakan tidak mengalami perubahan, yakni, antara partai
politik dan pemerintahan termasuk militer didalamnya. Pada kurun waktu tertentu lokus
kekuasaan berada pada lembaga eksekutif. Di sini pemerintah lebi kuat dan menunjukan
supermasi kekuasaan ketimbang lembaga-lembaga yang ada. Sehingga dengan demikian
penggunaan kekuasaan fokusnya diarahkan agar sentralisir kekuasaan berasal dan bermuara di
satu tempat. Pada kurun waktu yang lain, kekuasaan berada di lembaga legislatif. Partai politik
yang berada di lembaga legislatif memainkan peran yang sentral dalam fokus penggunaan
kekuasaan. Pemerintah bisa dijungkir-balikan sesuai dengan mosi tidak percaya atau
impeachment dari lembaga ini. Stabilitas pemerintahan tidak tercapai, sementara itu
professionalieme baik di lembaga legislatif dan eksekutif tidak bisa diwujudkan. Tarik-menarik
dari lokus dan fokus penggunaan kekuasaan berada di kedua lembaga tersebut.

Siapakah yang bisa menjadi Menteri ?

Menteri merpakanjabatan yang serng diimpikan oleh banyak orang. Lebih-lebih zaman
sekarang ketika banyak partai dibentuk, melalui partai siapa tahu bisa menjadi Menteri nanti.
Maka, ramai-ramaiorang membentuk partai politik. Tidak hanya Menteri yang yang ingin
digapai, kalau mungkin Presiden sekalian. Benarkah menjadi Menteri bisa digapai melalui partai
politik?

Zaman Bung Karno dan Bung Hatta dulu, orang bisa menjadi Menteri karena salain
Profesional, berilmu, juga berpartai politik. Kadang-kadang ada juga yang ridak berpartai pokitik
tapi berilmu dan berwawasan luas. Ketika Bung Hatta resign dan meninggalkan Bung Karno,
maka zaman Bung Karno yang sendirian ini, yang bisa menjadi Menteri ditambahkan olehnya,
yaitu, berasal dari Militer.

Sedangkan pada zaman Orde Baru, merupakan zaman malaise bagi partai politik. Pada
zaman ini, jabatan Menteri dicapai banyak melalui tentara, dan melalui golongan politik yang
tidak mau disebut partai politik akan tetapi bermain politik. Adapun salah satunya dari kalangan
Konglomerat dan orang-orangd dekat Istana. Partai politik yang jumlahnya hanyak dua gelintir
itu tidak mempunyai harapan kapan bisa dipasang sebagai Menteri yang bergelimang dengan
glamour anggaran yang melimpah. Maka dari itu, banyak anak bangsa yang memimpikan cita-
cita untuk bisa menjadi tentara supaya kelak bisa memasuki lapangan kerja di Pemerintahan dan
menjadi Menteri bahkan Presiden. atau , jika tidak bisa menjadi tentara, maka menjadi
pengusaha yang bisa dekat dengan Istana agar bisa masuk kedalam jajaran Pemerintahan adalah
mimpi lain para anak Bangsa pada masa itu.

Zaman itu partai politik memiliki reputasi yang amat tercela. Partai politik dianggap
sebagai pemecah-belah rayat menjadi berkeping-keping yang membayakan persatuan anak
bangsa. Partai politik dianggap tidak mempunyai jasa bagi bangsa ini. Peran mereka, partai
politik, digantikan oleh kerja keras dengan slogan kekaryaan. Pembangunan Negara dan Bangsa
ini bisa dilakukan dengan karya besar melalui Golongan Karya. Tampilan kelompok-kelompok
bukan partai politik tapi bermain politik dengan menggelar pemilihan umum setian lima tahun
sekali dengan penuh rekayasa untuk selalu menang. Maka setiap lima tahun sekali yang bisa
menjadi Menteri bukanlah lagi dari partai politik melainkan dari Golongan Kekaryaan. Mereka
yang tergolong mengutamakan kekaryaan itu ialah orang-orang Profesional, berilmu luas, ahli,
zaken, dan mengetahui seluk-beluk pekerjaan Kementeriannya. Mereka dikenal dengan sebutan
para Teknokrat. Maka, para Menteri pembantu Presiden ini tidak lagi harus dari partai politik,
melainkan dari para Teknolrat, Militer, dan para pengusaha Konglomerat. Jabatan Menteri pun
tidak lagi disebut sebagai jabatan politik melainkan jabtan negara atau pejabat negara.

Lalu, bagaimana pada saat ini? Seorang Menteri merupakan jabatan politik dan pilih oleh
Presiden dengan persetujuan Wakil Rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari kekuatan
politik atau partai politik yang ada di Dewan. Dasar pemilihannya adalah kompetensi, keahlian,
berakhlak mulia (karimah), dan berilmu pengetahuan yang luas. Cara mengukur hal tersebut
dilihat dari penampilan dan riwayat hidupnya.

Menteri merupakan jabatan politik yang Negarawan, bukan pejabat negara tidak
berpolitik. Identitas berpolitik dan menjadi pendukung, simpatisan, anggota, fungsionaris partai
politik tidak bisa dihindarinya. Menteri haruslah orang yang mengetahui seluk beluk pekerjaan
Departemen. Hal ini bisa dicapai kalau yang bersangkutan memiliki keahlian, berbasis ilmu
pengetahuan yang luas, dan profesional.

Jabatan Politik dan Jabatan Birokrasi

Hadirnya partai politik dalam suatu sistem pemerintahan akan berpengaruh terhadap
tatanan birokrasi pemerintah. Susunan tatanan birokrasi pemerintah akan terdiri dari jabatan-
jabatan yang diisi oleh para birokrat kerier, dan ada pula yang diisi oleh para pejabat politik.
Kehadiran para pejabat politik yang berasal dari kekuatan politik atau partai politik dalam
birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, penataan birokrasi pemerintah dengan
mengakomodasikan hadirnya jabatan-jabatan dan para pejaba politik perlu ditata dengan baik.

Para pemimpin partai politik yang baru hasil gerakan reformasi, yang kini menjabat
Menteri nampaknya ingin melestarikan atau mewarisi cara-cara Golkar sewaktu memerintah.
Semua organisasi pemerintah dikaburkan antara jabatan karier dan non-karier, antara jabatan
birokrasi dan jabatan politik. Kalau sekarang kita akan menubahnya, kondisi mental, sikap,dan
perilaku politik kita belum berubahm, maka akan mengulang-ulang warisan dari pemerintahan
yang lama.

Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam merekonstruksi, reposisi, dan
menyusun kelembagaan birokrasi pemerintah pusat maupun daerah ialah diubahnya mindset para
pemimpin politik kita, dari yang mewarisi sikap dan perilaku Orde Baru yang mayoritas tunggal
menjadi sikap demokratis yang multi partai. Perubahan ini dalam kelembagaan pemerintahan
disediakan dan dibedakan akses politik dalam birokrasi pemerimtah.

Menurut Teori Liberal bahwa birokrasi pemerintah itu menjalankan kebijakan-kebijakan


pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandate yang diperoleh dari
pemilihan. Dengan demikian, maka birokrasi pemerinitah itu bukan hanya didominasi oleh para
birokrat saja melainkan ada bagian-bagian terterntu yang diduduki oleh pejabat politik (Carino,
1994). Begitu juga sebaliknya, bahwa di dalam birokrasi pemerintah itu bukan hanya dimiliki
oleh pemimpin politik dari partai politik saja melainkan ada juga yang berasal dari pimpinan
birokrasi karier yang profesional.

Upaya untuk merestrukturisasi birokrasi pemerintah dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Dirumuskan apa yang dimaksudkan dengan jabatan politik dan apa pula yang
dimaksudkan dengan jabatan karier (birokrasi). Seyogianya rumuskan ini berdasar pada
ketentuan perundangan yang ada.
2. Dilakukan identifikasi jabatan. Di antara jabatan-jabatan itu manakah jabatan yang
digolongkan kepada jabatan politik, mana pula yang dimasukakan ke jabatan karier
(birokrasi).
3. Selanjutnya ditetapakan batas-batas tugas, tanggung jawab, dan kewengan antara kedua
jabatan tersebut, sehingga tidak dijumpai ketidak jelasan, kesimpang siuran, dan saling
intervesi.
4. Demikian pula ditetapkan hubungan kerja di antara kedua jabatan dan pejabatnyan
tersebut.

Lembaga Politik dan Birokrasi Pemerintah

Departemen pemerintah merupakan suatu lembaga yang dipimpin melalui jalur politik yang
berasal dari partai politik. Sebab partai politik merupakan pengejawantahan dari demokrasi yang
berintikan kekuasaan pada rakyat. Hanya dari Departemen inilah partai politik mempunyai jalur
untuk mewujudkan kebijakan politiknya dalam memimpin pemerintahan. Akan tetapi
kesempatan itu hanya dibatasi pada pimpinan Departemen bukan seluruh Aparat Depaartemen.
Dalam birokrasi Departemen seperti dikatakan dimuka tidak bisa hanya didominasi oleh birokrat
profesional saja, tanpa memberikan tempat bagi pejabat politik. (Carino, 1994). Dengan
demikian Departemen pemerintah komposisinya harus terdiri dari jabatan teknikal yang berbasis
pada kompetensi profesional dari para birokrat untuk melangsungkan kontinuitas administrasi
negara, dan jabatan politik yang memimpin jabatan birokrasi trsebut.

Selain organsasi Departemen, Presiden dibantu pula oleh lembaga nondepartemen atau
executive agency yang dipimpin oleh pejabat karier profesional yang bukan partisan partai
politik. Proses administrasi negara itu ditandai dengan suatu peran besar yang dilakukan birokrat
kompeten yang profesional dan mempunyai keahlian tertentu (special knowledge) yang diperoleh
melalui pengalaman di dalam birokrasi itu sendiri (Weber dalam Mainzer, 1967). Pejabat politik
merupakan pejabat yang datang dan pergi sewaktu-waktu sehingga kontinuitas pemahaman dan
pengalaman tentang keahlian tertentu itu kurang diperolehnya. Oleh karena itu, jabatan pimpinan
nondepartemen sebaiknya tidak dijabat atau dirangkap oleh jabatan politik seperti Menteri.
Lembaga Birokrasi Pemerintah Lokal (Daerah)

Hal lain yang harus dipertimbangkan dalam lembaga birokrasi pemerintah ialah kelembagaan
pemerintah lokal atau daerah. Paradigm pemerintahan sekarang berorientasi ke arah perubahan
dari Government ke Governance. Dalam paradigm Government, orientasi kekuasaan masih kuat,
partisipasidan kontrol rakyat belum berjalan secara optimal. Dalam paradigm baru terdapat
asumsi yang mendasar bahwa dalam masyarakat baru terdapat banyak competing interest groups
kelompok-kelompok kepentingan rakyat yang saling berkompetisidalam proses politik
manajemen pemerintahan. Peranan rakyat semakin besar. Oleh karena itu, pemerintah harus
menawarkan saluran-saluran askses kepada rakyat untuk berpartisipasi. Rakyat harus
ditempatkan pada posisi terdepan (putting people in the driver seat). Manajemen pemerintahan
di masa depan menurut perubahan paradigma ini harus juga mencairkan pemusatan kekuasaan
baik vertical maupun horizontal sehingga check and balance dengan rakyat terlaksana dengan
baik.

Kelembagaan birokrasi pemerintah lokal atau daerah dengan memperhatikan perubahan-


perubahan paradigma tersebut dan hadirnya banyak partai politik perlu diadakan perubahan.
Perlu disediakan pula jabatan politik non-struktural yang ditempati oleh orang-orang partai
politik yang berkoalisi dengan kepala daerah. Jabatan politik ini berfungsi membantu kepala
daerah sebagai tim politikuntuk membuat kebijakan-kebijakan politik

Susunan organisasipemerintah pusat dan daerah sebagai bentuk restrukturisasi dan reposisi
birokrasi publik supaya agak sedikit permanen permanen dan berjangka panjang, ada baiknya di
dasarkan atas undang-undang.

Netralitas Birokrasi Pemerintah

Sebagaimana diketahui bersama bahwa birokrasi dan politik bisa dibedakan akan tetapi tidak
bisa dipisahan. Bagi partai politik yang memenangkan suara dalam pemilihan umum, maka
partai politik dalam suatu sistem negara bisa memimpin dan mengendalikan pemerintahan.
Kehadiran partai politik dalam pemerintahan dapat menjadi master dalam pemerintah. Birokrasi
itu bekerja sesuai dengan profesionalisme yang dituntut kepadanya sepanjang masa, dan tidak
boleh terkontaminasi oleh warna politik yang datang silih berganti memimpinnya. Oleh karena
itu, netralitas bagi birokrasi pemerintah terhadap pengaruh warna politik yang dibawa oleh
master sangat penting untuk diperhatikan.

Netralitas birokrasi pada hakikatnya adalah suatu sistem di mana birokrasi tiadak akan
berubah dalam memberikan pelayanan kepada masternya (dari parpol yang memerintah), biar
pun masternya berganti dengan master (parpol) lainnya. Pemberian pelayanan tidak bergeser
sedikitpun walau masternya berubah. Birokrasi dalam memberikan pelayanan berdasarkan
profesionalisme bukan karena kepentingan politik.
Sekarang dengan adanya banyak partai politik yang ikut pemilu, maka semua partai
mempunyai kesempatan yang sama untuk memenangkannya. Di dalam sistem demokrasi maka
partai yang memenangkan suara dalam pemilu berhak memimpin pemerintahan ini.

Jika birokrasi memihak pada salah satu kekuatan partai yang memimpin dan sedang
memerintah, sementara itu diharapkan birokrasi pemerintah birokrasi pemerintah itu memberi
pelayanan kepada rakyat secara adil dan merata sebagaimana tugas tugas dan fungsi negara dan
pemerintahan pada umumnya, maka sikap pelayanan tersbut jelas tidak terpuji. Selain tidak
terpuji, sikap pelayanan tersebut tidak mencerminkan sikap demokratis dan cenderung
memberikan peluang bagi suburnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Partai Politik dan Tatanan Birokrasi Pemerintah

Memang sebenarnya kehadiran partai politik dalam tatanan birokrasi pemerintah sulit
dihindari untuk menjadikan birokrasi netral. Setiap saat partai politik yang memimpin birokrasi
pemerintah berinterkasi dengan pejabat karier birokrasi. Pihak mana dulu yang memulai, apakah
dari partai politiknya atau dari pejabat birokrasinya, semua bisa terjadi. Interaksi seperti inilah
yang membangun sistem birokrasi pemerintah yang rentan terhadap intervensi politik. Di dalam
sistem pemerintahan perwakilan konstitusional birokrasi pemerintah merupakan mesin yang
netral, akan tetapi operasional mesin tersebut tergantung kepada pemerintah yang dipilih oleh
wakil-wakil rakyat di parlemen. Dengan demikian pemerintah itu sangat tergantung pula oleh
partai politik yang memerintah pegawai dan pejabat birokrasi pemerintah sebagi salah satu pilar
utama pemerintahan. Ibarat mesin, mesin itu bisa diputar atau distop kapansaja oleh masternya,
yakni, partai politik. Sebaiknya, jika akan dilakukan reformasi, maka, hendak dimulai dengan
suatu sistem yang menjunjung tinggi mral, etika, dan supermasi hukum. Bangunan itu harus
didasari oleh UU yang tegas dan sangsinya.

Anda mungkin juga menyukai