Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

BIROKRASI DAN MILITER DALAM POLITIK

Disusun Oleh :

Kelompok 11

Rafikatul Hidayah (22042014023)

Mita (22042014018)

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI BISNIS


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Pengantar Ilmu Politik dengan
judul: “Birokrasi Dan Militer Dalam Politik”.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah
ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalama dan pengetahuan yang kami miliki oleh karena
itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahwa kritik yang
membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

Makassar , September 2022


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................

DASTAR ISI ........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................

A. Latar belakang .......................................................................................

B. Rumusan masalah .................................................................................

C. Tujuan masalah .....................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................

A. Biroklasi pemerintah dan politik ........................................................

B. Konsep militer dalam kekuatan politik .............................................

BAB III PENUTUP .........................................................................................

A. Kesimpulan ..........................................................................................

B. Saran ....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Birokrasi merupakan instrumen untuk bekerjanya suatu administrasi,


dimana birokrasi bekerja berdasarkan pembagian kerja, hirarki kewenangan,
impersonalitas hubungan, pengaturan perilaku, dan kemampuan teknis dalam
menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara administrasi
pemerintah.

Sebagai suatu organisasi modern, menurut Herry Mintzberg (1983:11)


birokrasi pada dasrnya memiliki lima elemen dasar sebagai berikut: Satu, The
strategic-apex, atau pimpinan puncak yang bertanggungjawab penuh atas
berjalannya roda organisasi: Dua, the middle-line, pimpinanpelaksana yang
bertugas menjembatani pimpinan puncak dengan bawahan: Tiga, the
operating-core, bawahan yang bertugas melaksanakan pekerjaan pokok yang
berkaitan dengan pelayanan dan produk organisasi, Empat, the
technostructure, atau kelompok ahli seperti analis, yang bertanggungjawab
bagi efektifnya bentuk-bentuk tertentu standardisasi dalam organisasi: Lima,
the supportstaff, atau staf pendukung yang ada pada unit, membantu
menyediakan layanan tidak langsung bagi organisasi.

Bekerjanya birokrasi berdasarkan hirarki kewenangan memungkinkan


terjadinya kontrol yang efektif dan kinerja yang positif. Apalagi jika
kewenangan yang dimiliki oleh pimpinan puncak (the strategic-apex)
didesentralisasikan tersebut memungkinkan terciptanya birokrasi profesional
yang terdampak kepada peningkatan kinerja organisasi dimana birokrasi dapat
menjadi bertanggung-gugat dengan adanya kewenangan yang didelegasikan
tersebut.

Sejarah militer memiliki usia yang sangat panjang. Salah satu teks
sejarah lama Histoire de Ia guerre du Peloponnes (sejarah perang
peloponesos) yang ditulis Thucydide abad ke-5 merupakan sejarah militer.
Setelah tahun 1870 meningkatkan minat perancis terhadap sejarah militer,
dengan alasan sebagai berikut. Pertama, dalam rangka mengenang
kemenangan tentara terhadap musuh. Kedua, pentingnya mengumpulkan
benda-benda yang berhubungan dengan kemiliteran menjadi cikal bakal
museum tentara di perancis tahin 1896.

Sejak awal, kemerdekaan indonesia telah menghadapi berbagai ujian,


mulai dari peristiwa berdarah merebut senjata tentara jepang, masuknya
NICA, pemberontakan PKI Medium 1948, pemberontakan daerah,
pengepungan istina presiden hingga gagalnya perlemen hasil pemilu 1955
menetapkan konstitusi nasional. Proklamasi kemerdekaan indonesia, tanggal
17 agustus 1945, adalah sumber dari seluruh tatanan dan kehidupan politik
bagi indonesia sebagai negara yang baru.

Kemerdekaan yang dicapai bangsa indonesia bukanlah sesuatu yang


diraih tanpa perjuangan. Perjuangan yang panjang dan penuh dengan lika-liku
pada akhirnya menghasilkan proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan
oleh peristiwa instabilitas nasional pada awal kemerdekaan dapat dibaca
diantaranya dalam Nugroho Noto Susanto, (PJ), 1985. Tiga puluh tahun
indonesia merdeka, (Ed Lux). Jakarta: Citra Lamtorogung Persada. Hlm
71.Cet ke-15 Ir. Sukarno dan Moh. Hatta pada tanggal 17 agustus 1945
merupakan titik awal mulainya kehidupan baru bagi bangsa ini.

Politik merupakan legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang


hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun
dengan penggatian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.
Menurut patmo wahjono dalam politik hukum Moh Mahfud MD (2009:1)
mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan
arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk.

Politik hukum di indonesia ada yang bersifat permanen atau jangka


panjang dan ada yang bersifat pemberlakuan prinsip perjanjian yudisial,
ekonomi, kerakyatan, kemanfaatan, pengganti hukum-hukum kolonial dengan
hukum-hukum nasional, penguasaan sumber daya alam oleh negara.
Kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan sebagainya. Disini terlihat bahwa
beberapa prinsip yang dianut dalam UUD 1945 sekaligus berlaku sebagai
politik hukum.

Mengembangkan sutu sistem pendidikan adalah salah satu langkah


penting yang diambil oleh negara-negara modern sebagai upaya untuk dapat
mengontrol dan keluar dari krisis, motivasi. Dengan mengembangkan nilai-
nilai ideologi dan kepentingan-kepentingan negara. Kebijakan-kebijakan yang
mengatur tentang pendidikan pun sudah sangat banyak, sehingga
memudahkan dan memberikan ruang gerak bagi insan pendidikan indonesia
untuk terus berinovasi dan membangun pendidikan yang berkarakter sesuai
dengan harapan pendidikan nasional.

Pada hakikatnya kebijakan pendidikan merupakan suatu peraturan


yang berfungsi sebagai kontrol yang berfungsi: (1) sebagai pemersatu bangsa,
(2) perluasan kesempatan, dan (3) sebagai pengembangan diri. Dengan
demikian pendidikan diharapkan dapat memperkuat keutuhan bangsa dalam
negara kesatuan republik indonesia (NKRI), memberikan kesempatan yang
sama bagi setiap warga negara untuk ikut serta dalam rangka pembangunan,
dan memungkinkan setiap individu untuk mengembangkan potensi yang
dimilikinya.
B. Rumusan masalah

1. Bagaimana peran birokrasi dalam politik?


2. Bagaimana konsep militer sebagai kekuatan politik?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui peran birokrasi dalam politik


2. Untuk mengetahui konsep militer sebagai kekuatan politik
BAB II
PEMBAHASAN
A. Birokrasi pemerintahan dan politik
1. Pengertian birokrasi politik
Sebagaimana dikatakan Miftah Thoha (Birokrasi & Politik, 2005),
birokrasi tidak bisa dilepaskan dari proses dan kegiatan politik. Politik
sebagaimana yang kita ketahui bersama terdiri dari orang-orang yang
berperilaku dan bertindak politik (consist of people acting politically) yang
diorganisasikan secara politik oleh kelompok-kelompok kepentingan dan
berusaha mencoba memengaruhi pemerintah untuk mengambil dan
melaksanakan suatu kebijakan pemerintah dan mengesampingkan
kepentingan kelompok lainnya. Kelompok masyarakat itu mempunyai
kepentingan yang diperjuangkan agar pemerintah terpengaruh. Birokrasi
pemerintah langsung ataupun tidak langsung akan selalu berhubungan dengan
kelompok kepentingan dalam masyakat.
Istilah birokrasi merujuk pada pengertian efisiensi administrasi
dalam penyelenggaraan kekuasaan. Johan Gares, dalam Europe and
Revolution melihat birokrasi sebagai institusi sipil yang setara dengan
lembaga militer berdasarkan prinsip-prinsip disiplin, promosi, penghargaan
kelompok dan sentralisasi. Birokrasi merepresentasikan kekuasaan
pemerintahan. Selain itu juga sebagai indikator dari keberadaan pejabat-
pejabat pemerintah itu sendiri. Adapun
signifikansi birokrasi dalam politik dapat ditemukan dalam esai-esai politik
yang ditulis oleh John Stuart Mill dalam Consideration On Representative
Government (Considerations on Representative Government, Chapters 1-5,
Notes for Philosophy 166 Spring, 2006). Mill menulis bahwa birokrasi
merupakan lembaga yang memiliki kemampuan politik yang tinggi meski
dijalankan atas nama monarki atau aristokrasi. Karena pekerjaan menjalankan
pemerintahan oleh orang-orang yang memerintah secara profesional inilah
esensi dan arti dari birokrasi.
2. Model birokrasi
Ledivina Carino (1997) mencatat model birokrasi di dunia ini dalam
tiga golongan model yakni model pluralis, marxis, dan otonom. Model
Pluralis mengatakan bahwa kinerja birokrasi adalah hasil dari tarik menarik
berbagai golongan yang tidak satupun dominan. Birokrasi berdiri atas
kesepakatan berbagai pihak yang menjadi penentu organisasi negara. Negara
seperti ini memiliki kekuatan dalam menghasilkan satu kebijakan publik yang
relatif dapat diterima semua golongan.
a. Model Marxis adalah birokrasi yang sepenuhnya menjadi pelayan
golongan berkuasa. Dalam model ini, birokrasi dipengaruhi golongan
para pemilik modal. Golongan yang kuat dalam masyarakat mampu
memengaruhi birokrasi dengan efektif. Kalaupun masyarakat
diuntungkan karena golongan tersebut memiliki kebaikan.
b. Model otonom adalah model yang menyadari bahwa birokrasi bersifat
otonom-relatif terhadap berbagai elemen dalam satu masyarakat. Dalam
pandangan ini, birokrasi memiliki kepentingan sendiri berhadapan dengan
berbagai elemen negara. Elite birokrasi dalam hal ini menjadi penentu.
Birokrasi meskipun memiliki unit yang sangat luas, dalam model ini
logika bekerja birokrasi yang rasional menjadi faktor penting yang
menyatukan kekuatan mereka dalam sebuah negara bangsa.
a. kebijakan pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan rakyat
melalui mandat pemilihan umum. Dengan demikian, birokrasi pemerintah
itu bukan hanya diisi oleh para birokrat, melainkan ada bagian-bagian
tertentu yang diduduki oleh pejabat politik. Demikian pula sebaliknya
bahwa pemerintah itu bukan hanya dimiliki oleh pemimpin politik dari
partai politik tertentu saja, melainkan ada juga pemimpin birokrasi karier
profesional.
3. Hubungan birokrasi dalam politik
Hubungan antara pejabat politik (political leadership) dan
birokrasi merupakan suatu hubungan yang konstan (tetap) antara fungsi
kontrol dan dominasi. Dalam hubungan ini maka akan senantiasa muncul
persoalan siapa mengontrol siapa dan siapa pula yang menguasai,
memimpin dan mendominasi siapa. Persoalan ini sebenarnya merupakan
persoalan klasik sebagai perwujudan dikotomi politik dan administrasi.
Sehingga karenanya, kemudian timbul dua bentuk alternatif solusi yang
utama, yakni apakah birokrasi sebagai subordinasi dari politik
(bureaucratic ascendancy) atau birokrasi sejajar dengan politik
(bureaucratic sublation atau attempt at co-equality with the executive).
Bentuk solusi executive ascendancy diturunkan dari suatu
anggapan bahwa kepemimpinan pejabat politik itu didasarkan atas
kepercayaannya bahwa supremasi mandat yang diperoleh melalui
kepemimpinan politik itu berasal dari Tuhan atau berasal dari rakyat atau
berasal dari kepentingan publik (public interest). Supremasi mandat ini
dilegitimasikan melalui pemilihan atau kekerasan atau penerimaan secara
de facto oleh rakyat. Dalam model liberal, kontrol berjalan dari otoritas
tertinggi rakyat melalui perwakilannya (political leadership) kepada
birokrasi. Kekuasaan untuk melakukan kontrol seperti ini yang diperoleh
darirakyat acap kali disebut sebagai overhead democracy.
Dominasi kepemimpinan pejabat politik atas birokrasi ini
sebenarnya dipacu oleh dikotomi antara politik dan administrasi yang
merupakan suatu doktrin yang pengaruhnya dimulai sejak penemuan
administrasi negara sebagai suatu ilmu. Pemikiran tentang supremasi
kepemimpinan pejabat politik atas birokrasi itu timbul dari perbedaan
fungsi antara politik dan administrasi dan adanya asumsi tentang
superioritas fungsi-fungsi politik atas administrasi. Dikotomi antara
politik dan administrasi juga disebabkan karena adanya kesalahan
perubahan referensi dari fungsi ke struktur, dari perbedaan antara
pembuatan kebijakan dan pelaksanaan, antara pejabat politik dan pejabat
karier birokras.
Adapun birokrasi sejajar dengan politik (bureaucratic sublation)
didasarkan atas anggapan bahwa birokrasi pemerintah bukanlah hanya
berfungsi sebagai mesin pelaksana. Weber sendiri mengenalkan bahwa
birokrasi yang riil itu mempunyai kekuasaan yang terpisah dari kekuasaan
yang dilimpahkan oleh pejabat politik.
B. Konsep militer kekuatan dalam politik
1. Definisi militer
Di dalam bukunya Amos Perlmutter menyebutkan bahwa
organisasi militer adalah sebuah organisasi yang paling sering melayani
kepentingan umum tanpa menyertakan orang-orang yang menjadisasaran
usaha-usahaorganisasi itu. Profesi militer disebut sebagai suatu profesi
sukarela karena setiap individu bebas memilih suatu pekerjaan di
dalamnya, namun ia juga bersifat memaksa karena para anggotanya tidak
bebas untuk membentuk suatu perkumpulan sukarela melainkan terbatas
kepada suatu hirarkibirokrasi.15 Lebih lanjut dapat pula diidentifikasi
bahwa dalam diri para prajurit militer terdapat tiga ciri khas sekaligus,
yaitu koorporatis (dalam hal ekskulusifitas), birokratis (dalam hal hirarki),
dan profesional (dalam hal semangat misi). Militer adalah organisasi
kekerasan fisik yang sah untuk mengamankan negara atau bangsa dari
ancaman luar negeri maupun dalam negeri. Dalam hal ini, militer
berfungsi sebagai alat negara yang menjunjung tinggi supremasi sipil.
Ketika kita hendak membahas hubungan sipil-militer, ada baiknya
kita mendefinisikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan
terminologi sipil dan militer, yang sudah umum diketahui. Banyak
pengamat militer memberikan batasan sipil secara beragam, dalam buku
Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal, sipil didefinisikan sebagai
masyarakat umum, lembaga pemerintahan, swasta, para politisi, dan
negarawan. Sipil dibatasi hanya pada masyarakat politik yang diwakili
partai politik. Menurut buku ini masyarakat politik adalah sebuah area di
mana masyarakat bernegarasecara khusus mengatur dirinya sendiri dalam
konstes politik guna memperoleh fungsi kontrol atas kekuasaan
pemerintah dan aparat negara.
Sedangkan dalam mendefinisikan militer, Amos perlmutter
mengatakan bahwa ketika ia menyebut militer, maka yang dimaksud
adalah:
1. kebanyakan perwira tinggi senior (di atas tingkat kolonel);
2. perwira yang berorientasi pada lembaga (pada tiap rank);
3. perwira profesional (tiap rank);
4. perwira yang rank, status, kedudukan, dan orientasinya
menghubungkan mereka dengan sektor sipil dalam masalah garis
kebijaksanaan politik.
Melalui definisi di atas, Perlmutter membatasi konsep militer
hanya pada semua perwira yang duduk dalam jabatan yang menuntut
kecakapan politik, aspirasi, dan memiliki orientasi yang bersifat politik,
serta tidak memandang kepangkatan, apakah perwira tinggi, menengah,
atau pertama. Sedangkan Cohen mendefinisikan militer sebagai personel
militer, lembaga militer, atau hanya para perwira senior. Dan Letjen TNI
(Purn) Sayidiman Suryohadiprojo yang dikutip Connie mendefinisikan
militer sebagai organisasi kekuatan bersenjata yang bertugas menjaga
kedaulatan negara.
Kecenderungan tentara untuk campur tangan dalam politik dan
dalam pembuatan keputusan dikaitkan dengan peranan-peranan dan
orientasi koorporasi dan birokrasinya. Sebagai sebuah korporasi organisasi
militerberusaha melaksanakan pengawasan intern terhadap profesinya dan
melindunginya dari pengawasan politik dari luar, ini dimaksudkan untuk
meningkatkan derajat otonomi organisasi militer. Kaum militer berusaha
mencapai otonomi yang maksimal, dengan konsekuen melancarkan
pengaruh politik, baik melalui lembaga-lembaga dan rezim politik.
Sebagai suatu profesi birokrasi, tentara berkecimpung dalam politik
hingga mampu menjadi partner vital bagi politisi sipil dan birokrat lain di
dalam perumusan dan penerapan kebijaksanaan keamanan nasional.
2. Definisi kekuatan politik
Kekuatan Politik adalah kemampuan suatu kelompok dalam
mempengaruhi proses pembuatan dan perumusan keputusan-keputusan
politik yang menyangkut masyarakat umum. Kemampuan mempengaruhi
dilakukan kelompok dengan menggunakan sumber-sumber kekuasaan dan
akses yang dimiliki, sehingga keputusan-keputusan yang dibuat
pemerintah akan menguntungkan mereka. Suatu kelompok akan
mempengaruhi keputusan-keputusan politik, apabila keputusan-keputusan
yang dibuat menyangkut kepentingan mereka, sehingga apapun
konsekuensinya akan dihadapi oleh kelompok-kelompok tersebut dengan
berbagai upaya. Upaya-upaya yang dilakukan biasanya dengan
mengerahkan sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki dan disalurkan
melalui saluran-saluran yang tersedia.
Kesadaran mengenai perkembangan teori, pendekatan dan
wawasan baru dalam memahami kekuatan-kekuatan politik yang pada
dasarnya telah meletakkan tata susunan politik dan kekuatan politik yang
berada di dalamnya dalam konteks dan hubungannya dengan persoalan-
persoalan yang dalam dan luas ini dengan sendirinya menuntut untuk
dipahaminyapula perkembangan sejarah, struktur sosial dan ekonomi
dimana tata susunan politik dan kekuatan-kekuatan politik itu berada.
Kekuatan-kekuatan politik kontemporer yang menampilkan diri sebagai
partai politik, militer, pemuda, mahasiswa, kaum intelektual dan golongan
pengusaha serta kelompok-kelompok penekan yang lain pada dasarnya
memiliki asal usul di dalam perubahan-perubahan besar sosial, politik dan
ekonomi. Perubahan-perubahan ini bukan hanya saja telah menimbulkan
pengaruh yang mendalam, tetapi juga dalam perkembangan sosial, politik
dan ekonomi.
Sangatlah penting kiranya untuk segera disadari bahwa
perubahan-perubahan ini telah menampilkan dimensi-dimensi pokok yang
menjelaskan pemunculan dan perkembangan kekuatan-kekuatan politik
kontemporer. Dimensi-dimensi itu adalah:
1) Politik, ekonomi dan masalah-masalah sosial yang lain secara pelan-
pelan tidak lagi menjadi monopoli kaum bangsawan, tetapi telah menjadi
masalah-masalah masyarakat luas. Terdapat suatu perkembangan nyata
menuju suatu perluasan partisipasi politik dan hak pilih. Proses inilah
yang telah mengawali kelahiran partai politik dan pengelompokan-
pengelompokan politik yang lain.
2) Semakin kuatnya peranan kelas menengah di hampir seluruh bidang
kehidupan. Proses ini juga dibarengi dengan pengukuhan kebudayaan
kota. Tampilnya kelas menengah dan pengukuhan kebudayaan kota inilah
yang telah menandai kelahiran kelasmenengah, kaum profesionaldan
golongan intelektual sebagai kekuatan politik penting yang tidak bisa
diabaikan.
3) Pemunculan, pertumbuhan dan perkembangan negara modern dalam
bentuk seperti yang dikenal dewasa ini. Ini berarti bahwa birokrasi dan
aparatur negara secara pelan-pelan telah pula menjadi unsur penting dalam
kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Termasuk dalam proses ini adalah
penampilan angkatan bersenjata sebagai unsur penting negara yang mulai
dipimpin dan diorganisasi sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalisme.
4) Muncul dan berkembangnya nilai-nilai, filsafat dan ideologi yang
memberikan dasar-dasar pengukuhan, pengesahan dan rasionalisasi untuk
berjalan dan berkembangnya tata susunan politik dan konfigurasi
kekuatan-kekuatan politik baru itu. Bila dilihat dari pendekatan di atas
maka dalam kehidupan bernegara perlu kestabilan sosial, ekonomi dan
politik. Militer sebagai sebuah organisasi yang mempunyai sumber power
yang bersinergi dengan negara berkewajiban atas keamanan dan
kenyamanan dalam sektor sosial, ekonomi dan politik. Dengan sumber
powernya, militer telah menjelma sebagai salah satu kekuatan dalam
negara.
3. Kekuatan politik militer
Dalam historiografi sejarah awal militer Indonesia, atau Tentara
Nasional Indonesia (TNI), hanya terdapat satu paradigma tunggal, yaitu
Bahwa TNI dibentuk dari rakyat yang sedang memperjuangkan
Kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Dalam bahasa Salim
Said mengungkapkan bahwa tentara Indonesia adalah tentara yang
Menciptakan diri sendiri. TNI diyakini sebagai institusi profesional yang
Bukan merupakan warisan institusional negara metropolitan dalam
Hubungan kolonial masa lampau, sebagaimana umumnya ditemui di
negaranegara bekas jajahan. Terlihat memang ada yang tidak biasa dari
proses terbentuknya Tentara Nasional Indonesia, di mana pemerintah tidak
memiliki peran dalam pembentukan institusi ketentaraan.
Perwujudan peran militer dalam politik Indonesia telah melewati
perjalanan panjang, dan keterlibatan militer dalam politik senantiasa
mengalami pasang surut. Bilveer Singh, menyebutkan bahwa
kerterlibatanmiliter dalam bidang non-militer (politik) disebabkan oleh
faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor internal tersebut terdiri
dari; (1) nilai-nilai dan orientasi para perwira militer, baik secara individu
maupun kelompok, serta (2) kepentingan-kepentingan material korps
militer. Menurut Eric Nordlinger, yang mendorong keterlibatan militer
dalam politik adalah perlindungan otonomi dan kepentingan korporat
militer. Begitu juga menurut S.E. Finer kepentingan korpslah yang
menjadi perhatian utama peran militer.
Kepentingan-kepentingan material angkatan bersenjata juga
memainkan peranan amat penting dalam keputusan militer untuk campur
tangan dalam politik seperti:
a) Memperjuangkan kepentingan kelompok dan organisasi, baik untuk
memperoleh fasilitas-fasilitas militer seperti alat utama sistem
persenjataan, maupun untuk memberikan gaji yang layak kepada
anggotanya. Jika para pemimpin politik sipil gagal untukmemenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka ada kecenderungan militer
terpolitisasi dan terintervensi dalam politik.
b) Korps militer adalah wakil penting dari kelas menengah perkotaan, dan
apabila pemerintah gagal untuk memenuhi kebutuhan kelas menengah,
maka kelompok perwira militer diperkirakan akan melakukan tekanan
terhadap pemerintah kemungkinan menjatuhkannya.
c) Para pemimpin puncak militer dapat pula membangun kepentingan-
kepentingan pribadinya melalui intervensi militer dengan menempatkan
mereka dalam kontrol jaringan patronasepemerintah, bahwa
ketidakpedulian pemimpin sipil terhadap kepentingan militer dapat
menyebabkan terjadinya intervensi militer.
Nilai-nilai dan orientasi militer secara garis besar merupakan
hasil dari sejarah pengalaman yang dimiliki para anggota militer. Pada
gilirannya, sejarah asal-usul dan peran awal militer tersebut membentuk
suatu tradisi dan seperangkat nilai, yang di dalamnya para generasi
perwira militer pendahulu dan penerusnya cenderung mematuhi dan
mengekalkannya. Faktor kunci dalam memperkuat keutuhan militer
adalah ancaman terhadap institusi tersebut. Alfred Stepan mengatakan:
“Sebenarnya seringkali ancaman terhadap kepentingan institusional atau
kelangsungan hidup(militer) menjadi faktor dalam menciptakan konsensus
akhir pejabat tinggi militer, karena setiapkali area tradisional dari otoritas
institusional militer diganggu, misalnya dalam hal struktur disiplin dan
hirarkinya, maka bahkan non-aktifis dan legalis di dalam jajaran pejabat
militer itu akan terprovokasi untuk bertindak”.
Faktor institusional adalah salah satu variabel yang krusial di
antara ancaman terhadap lembaga militer dan perebutan kekuasaan oleh
militer. Gerakan militer untuk merebut kekuasaan menjadi efektif hanya
jika ia berhubungan dengan perhatian militer untuk mempertahankan
kepentingan dirinya. Di bawah akan kita ketahui faktor apa yang
melatarbelakangi terjun bebasnya militer dalam hiruk-pikuk politik
kekuasaan di Indonesia.
Militer yang masuk ke dalam dunia politik didasari oleh banyak
faktor pendukung. Secara kultur yang dibangun dalam dunia milter
memang menjadikan setiap perwira militer memiliki keunggulan yang
dapat dikatakan melebihi kualitas sipil. Indoktrinasi yang dibangun dalam
dunia militer juga memberikan semangat juang yang berbeda
dibandingkan kalangan sipil. Faktor-faktor pendukung itu antara lain
adalah jaringan yang dibangun oleh setiap perwira cukup baik. Jaringan
itu dibangun dari berbagai momen seperti latihan militer bersama,
pendidikan militer bersama, atau hubungan antar pimpinan militer di
negara yang berbeda. Perwira tinggi militer yang memiliki jaringan yang
kuat dapat melakukan koordinasi bahkan bantuan dukungan jaringannya
di negara lain. Selain Jaringan, faktor pendukung lainnya adalah sistem
kepemimpinan yangdibangun dalam dunia militer. Setiap perwira militer
sudah dilatih kepemimpinannya dalam suatu entitas terkecil sampai
memimpin satu angkatan secara keseluruhan. Kultur itu membuat
pengalaman seorang perwira militer benar-benar terlatih sejak dini. Selain
itu, ada faktor-faktor lain yang juga sangat mempengaruhi kualitas
seorang perwira militer yang siap memimpin negara antara lain
pendidikan berkualitas yang dididik dengan orang-orang berkualitas
bahkan dari kalangan sipil yang memenuhi kriteria terbaik seperti Guru
Besar, dsb
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari seluruh paparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
upaya untuk menempatkan posisi birokrasi sebagai pelaksana kebijakan
dari pejabat politik telah ditempuh menggunakan undang-undang dan
pasal, namun terbukti hal ini tidak efektif. Sehingga harus ada formulasi
baru yang mengatur hubungan antara birokrasi dengan pejabat politik.
Penulis sepakat bahwa birokrasi harus bebas dari kepentingan politik dan
melaksanakan fungsi dasarnya untuk melayani masyarakat. Di tengah arus
liberalisasi politik, birokrasi tidak boleh terpengaruh dengan
kepemimpinan pejabat politik. Meski pejabat politik berkali-kali berganti,
birokrasi harus dapat menjalankan fungsinya secara profesional.
Selain itu juga, dapat disimpulkan bahwa militer saat ini tidak
menyumbang secara signifikan terhadap konsolidasi demokrasi di
Indonesia. Hal ini terjadi karena militer tidak mau dikoreksi disatu sisi dan
lemahnya posisi politikelit sipil yang berkuasa, baik di parlemen maupun
eksekutif, dihadapan TNI. Oleh karena itu sebagai kekuatan politik dari
rezim lama, TNI tetap menjalankan watak otoriteriannya dengan pola
terror, intimidasi, kekerasan atau pengintaian untuk menundukkan
kekuatan politik lain atau massa rakyat. Dalam suatu sistem demokrasi
dimana negara berperan sebagai pelindung masyarakat dari ancaman dan
gangguan, maka posisi militer di dalam sebuah negara sudah semestinya
berfungsi agar ancaman dan gangguan itu menjadi minimal. Fungsi itu
bisa dikatakan sebagai kewajiban pokok dari sebuah institusi militer.
Dengan demikian posisi militer atau angkatan bersenjata merupakan
sebuah institusi yang sah atau lazim jika memang disepakati dalam sebuah
organisasi yang bernama negara, yang mempunyai kewajiban berkaitan
dengan perlindungan negara demi memproteksi masyarakat dari ancaman
fisik.
B. Saran

Maka adapun saran-saran untuk hal tersebut yaitu:

1. Perlu memformulasikan tempat dan posisi TNI dalam politik saat ini
secara lebih jelas dalam kendali otoritas sipil. Sehingga TNI tidak
Mudah memanipulasi masa lalunya yang menjadi alat kekuasaan
Untuk kembali berpolitik, menindas dan korup. Dalam hal ini sangat
Diperlukan adanya pembongkaran sejarah secara resmi terhadap
Segala bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan
Terhadap institusi militer di masa lalu.
DAFTAR PUSTAKA

Asshidiqie, Jimly. 2006. Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan


Mahkamah Konstitusi. Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, Jakarta
Budiardjo, Miriam. 1978. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Gramedia, Jakarta
Carino, Ledivio V. 1997. The Concept Of Governance dalam From Government To
Governance. Manila : National College of Public Administration
and Governance University of the Philippines
Dalim, Sudiman. 2010. Politisasi Birokrasi : Mobilitas dan Netralitas PNS Dalam
Pilkada. CV. Titian Pena Abadi, Tangerang
Hashemi, Nader. 2010. Islam, Sekularisme dan Demokrasi Liberal. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
Hasyim, Laila. 1981. Partai Politik dan Kelompok–Kelompok Kepentingan. Bina
Aksara, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai