Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PERIODESASI PERKEMBANGAN SISTEM POLITIK INDONESIA

Disusun Oleh ;
Reni Marsalinda
22042291

PRODI ILMU ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua berupa, ilmu dan amal. Berkat rahmat dan
karunia-Nya pula penulis dapat menyelesaikan makalah tentang Periodesasi Perkembangan
Sistem Politik Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada bapak dosen mata kuliah Sistem Politik Indonesia
yang telah memberikan arahan terkait tugas makalah ini. Tanpa bimbingan dari beliau,
mungkin penulis tidak akan dapat menyelesaikan sesuai dengan format yang telah ditentukan.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran pembaca demi kesempurnaan makalah untuk kedepannya.
Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembacanya.
DAFTAR ISI

Bab I
PENDAHULUAN…………………………………………………………………………………….i
A. Latar Belakang………………………………………………………………………………..1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………………….1
C. Tujuan Makalah……………………………………………………………………………....1
Bab II PEMBAHASAN……………………………………………………………………………...ii
A. Periode Demokrasi Parlementer………………………………………………………………2
B. Periode Demokrasi Terpimpin………………………………………………………………...2
C. Periode Orde Baru……………………………………………………………………………..3
D. Periode Reformasi……………………………………………………………………………..5
Bab III PENUTUP……………………………………………………………………………………iii
A. Kesimpulan……………………………………………………………………………………7
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara yang besar dan kompleks, telah mengalami berbagai
perkembangan dalam sistem politiknya sejak era kolonial hingga era reformasi.
Perkembangan ini tidak selalu berjalan mulus, dan seringkali diwarnai oleh krisis dan
konflik politik yang mempengaruhi stabilitas negara. Oleh karena itu, penting untuk
memahami periodesasi perkembangan sistem politik di Indonesia untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan tersebut dan
menemukan solusi yang tepat untuk meningkatkan kualitas sistem politik di
Indonesia. Makalah ini akan membahas periodesasi perkembangan sistem politik di
Indonesia dari masa kolonial hingga era reformasi, serta analisis kelebihan,
kekurangan, dan tantangan sistem politik Indonesia saat ini. Selain itu, makalah ini
juga akan membahas upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas
sistem politik di Indonesia, seperti pendidikan politik, partisipasi masyarakat, dan
penguatan lembaga-lembaga negara. Dengan pemahaman yang lebih mendalam
tentang sistem politik di Indonesia, diharapkan dapat membantu masyarakat,
akademisi, dan pemerintah dalam memperbaiki sistem politik yang lebih efektif dan
efisien bagi negara.

B. Rumusan Masalah
Apa saja periode perkembangan sistem politik Indonesia?

C. Tujuan Makalah
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih
mendalam tentang periodesasi perkembangan sistem politik di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Periode demokrasi parlementer
Periode ini merupakan periode yang unik dalam kehidupan politik Indonesia.
Meskipun secara keseluruhan, periode ini disebut periode parlementer, namun selama
kurun waktu 1945-1949, Indonesia memakai UUD 1945 yang menganut sistem
presidensil. Pada masa ini terdapat dua sistem kabinet yang pernah muncul dalam
pelaksanaan tugas-tugas eksekutif, yaitu presidensil dan perlementer. Dari 8 kabinet
(dengan mengecualikan kabinet darurat Sjafruddin Prawiranegara) yang pernah
muncul dalam periode 1945-1949, terdapat 3 kabinet persidensil dan sisanya kabinet
parlementer.

Selama kurun waktu 14 tahun masa Demokrasi Parlementer berlangsung,terjadi


ketidakstabilan politik di Indonesia. Usia kabinet berkisar antara dua setengah bulan
sampai dua tahun. Kabinet yang terpendek usianya adalah Kabinet Amir Sjarifuddin
ke-II, yaitu selama 11 november 1947-29 januari 1948. Sedangkan yang terpanjang
usianya adalah Kabinet Ali Sastroamidjojo ke-I yang berkuasa sejak 30 juli 1953 – 12
agustus 1955. Sementara kabinet-kabinet yang lain tercatat hanya berkuasa antara 3
bulan sampai 1 tahun. Sebagai akibatnya kabinet tidak dapat menyelesaikan semua
programnya yang telah dirumuskan pertama kali.

B. Periode demokrasi terpimpin


Periode ini ditandai dengan keluarnya dekrit presiden 5 Juli 1959 yang
mengembalikan UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Kekuasaan eksekutif dalam
kehidupan politik Indonesia masa itu sangat dominan dibanding lembaga-lembaga
politik lainnya. Besarnya kekuasaan eksekutif melalui peranan Presiden Soekarno
ditunjukkan oleh beberapa hal berikut ini :
1. Selama kurun waktu tujuh tahun terdapat 6 kali reshuffle kabinet yang di dasari
oleh keinginan presiden semata bukan oleh semakin kompleksnya tugas-tugas
pemerintah.
2. Presiden mengangkat pimpinan MPRS dan DPR-GR sebagai menteri negara, serta
Ketua MA dan BPK diberi status merteri.
3. Presiden membuat keputusan legislatif jika terjadi ketidaksepakatan dengan
legislatif sesuai dengan penpres No.19 tahun 1964.
4. Melalui ketetapan MPRS No. III tahun 1963, Presiden Soekarno ditetapkan
sebagai presiden seumur hidup.
5. Presiden mengembiri kehidupan partai politik melalui batasan jumlah partai
politik sejumlah 10 partai berdasarkan penpres No. 7 tahun 1959.
6. Pembubaran PSI dan Masyumi karena keterlibatan beberapa tokoh partai tersebut
dalam pemberontakan daerah.
7. Pempubaran DPRS pada tahun 1960 dan membentuk DPR-GR melalui penpres
No.4 tahun 1960.
C. Periode orde baru
Lembaga eksekutif pada periodesasi ini mengusung isu bertekad melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen serta pembangunan ekonomi.
Hal ini sebagai reaksi dari kelemahan-kelemahan yang terjadi selama masa kekuasaan
Orde Lama dengan Demokrasi Terpimpin-nya. Dalam perjalanan kekuasaannya,
ternyata lembaga eksekutif di masa ini juga tampil sebagai sosok yang dominan
dibandingkan lembaga-lembaga politik lainnya. Dominasi kekuasaan kepresidenan
tersebut didukung oleh berbagai sumber daya kekuasaan yang dimilikinya
sebagaimana yang dijelaskan oleh Gaffar (1999) yaitu :
1. Mengontrol rekrutmen lembaga negara dan eksekutif serta organisasi politik.
2. Sumber daya keuangan yang sangat besar.
3. Memiliki beberapa personal authority.
4. Sebagai Panglima tertinggi ABRI.
5. Penentu kebijakan publik.

Besarnya kekuasaan yang dimiliki eksekutif menyebabkan terhambatnya proses


demokratisasi dalam kehidupan politik Indonesia. Hal ini terlihat jelas pada
kehidupan politik riil seperti lemahnya peran lembaga legislatif, lahirnya sistem
kepartaian hegemonik, mendegnya artikulasi politik dan terciptanya sistem politik
otoriter yang tidak terkontrol.

Sentaralisasi kekuasaan terutama di lembaga kepresidenan diperkuat oleh


pembentukan mesin politik dengan loyalitas penuh dan pengontrolan secara
sistematis. Legistimasi sistem politik secara riil didasarkan pada kesetiaan kaum
birokrat dan teknokrat, sedangkan secara formal dibangun oleh Golkar lewat
pemaduan dukungan birokrat teknokrat dan militer dengan memobilisasi masyarakat
luas.

Keterlibatan masyarakat banyak dalam lingkungan politik dapat dikatakan sangat


rendah. Dalam banyak hal keterlibatan masyarakat lebih terfokus kepada
implementasi kebijakan, sedangkan dalam proses penentuan kebijakan masyarakat
dapat dikatakan tidak terlibat sama sekali. Tekanan dan represi sepanjang Orde Baru
telah menipiskan keberanian masyarakat untuk bersifat kritis dan melakukan aksi-aksi
politik yang melawan nilai dan kepentingan penguasa.
Terkait dengan birokrasi, pada tahun-tahun pertama Orde Baru menunjukkan usaha
reformasi birokrasi warisan Orde Lama yang kacau, terlalu besar dan tidak
bertanggung jawab menjadi birokrasi yang efisien, jujur, bertanggung jawab dan
menghargai hukum. Pada saat yang sama diikuti pula dengan konsolidasi kekuasaan
pada birokrasi pemerintah. Sehubungan dengan ini Emmerson (dalam Jackson, 1978)
mencatat beberapa hal yang dilakukan oleh Presiden Soeharto yaitu :
1. Memotong sejumlah aparat birokrat pendukung Soekarno, termasuk
menyingkirkan ribuan orang yang terasosiasikan dengan PKI.
2. Membuat birokrasi lebih loyal dengan melakukan rekrutmen beragaya komando
militer serta membentuk Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI)
pada tahun 1970.
3. Membuat aparat birokrasi lebih aktif dengan mengubah performance melalui
kenaikan gaji serta di operasionalisasikan secara luas untuk menyukseskan
program pelita, baik sebagai penjaga stabilitas politik maupun pertumbuhan
ekonomi.

Untuk menopang program pembangunan, reformasi terhadap birokrasi warisan Orde


lama di arahkan pada :
1. Mengalihkan wewenang pemerintahan ke tingkat birokrasi yang lebih tinggi, yaitu
pemusatan pembuatan kebijakan.
2. Membuat birokrasi agar lebih efektif dan tanggap terhadap perintah pemerintah
pusat.
3. Memperluas wewenang pemerintah baru serta konsolidasi pengendalian atas
daerah.

Penataan di atas membuahkan beberapa perubahan penting yaitu pemotongan afiliasi


aparat pada partai-partai politik serta penciptaan raksasa birokrasi yang solid,
sentripetal, loyal, serta mengabdi pada pembangunan yang terpusat. Maka, reformasi
birokrasi demokrasi itu sebenarnya bukan untuk menciptakan organisasi yang legal
rasional, yang bisa menjawab tuntutan modernisasi, dan optimalisasi pelayanan
publik, melainkan cuma untuk memenuhi kebutuhan penguasa yaitu menciptakan
stabilitas politik dan memperkuat basis material negara. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa reformasi birokrasi Orde Baru sebenarnya hanya membawa
perubahan komestikal ketimbang substansial menuju birokrasi rasional, yang dapat
dibuktikan dengan mencermati rangkaian gejala patologi (penyakit) birokrasi Orde
Baru selama tiga dasawarsa.

Beberapa penyakit birokrasi Orde Baru adalah :


1. Pembengkakan birokrasi yang disebabkan rekrutmen besar-besaran tanpa
mempertimbangkan kebutuhan yang penting dan mendesak bagi birokrasi.
Pemerintah melakukan rekrutmen- rekrutmen yang tentu saja dilakukan dengan
tidak kompetitif dengan mempertimbangkan kualifikasi teknis, terutama untuk
mengantisipasi pengangguran yang melimpah, dan sekaligus untuk membentuk
orang-orang loyalis baru. Pembengkakan ini tidak di ikuti dengan peningkatan
efiseinsi dan produktifitas yang memadai di kalangan aparat birokrasi.
2. Jabatan birokrasi dipandang sebagai sumber keuntungan dan kekayaan pribadi.
Meminjam tern Kenneth Young, memasuki jaringan birokrasi berarti menduduki
“jabatan basah”. Hal ini lah yang menumbuhsuburkan korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN).
3. Tradisi (budaya) korupsi. Korupsi aparat birokrasi dalam bentuk penyalahgunaan
atau penyelewengan anggaran keuangan negara karena para pejabat tidak
membedakan secara tegas antara kepentingan dinas dengan kepentingan pribadi.
Dalam konteks Indonesia korupsi semakin diperkuat oleh nilai-nilai cultural yang
menekankan hubungan bapak anak buah (T. smith, 1971).
4. Para birokrat selama ini memposisikan dirinya sebagai penguasa yang harus
dilayani, bukannya sebagai pelayan yang baik pada masyarakat. Pola hubungan
birokrasi dengan rakyat lebih bersifat benevolen-obedient (lidlle, 1988).
5. Prosedur (mekanisme) birokrasi yang berbelit-belit (red tape). Penyakit birokrasi
yang satu ini adalah yang paling menyolok, karena dirasakan lansung oleh
masyarakat yang membutuhkan pelayanan birokrasi seperti pembuatan KTP,
STNK, SIM, izin usaha dan sebagainya. Untuk mempersingkat meja dan waktu,
para pengguna jasa terpaksa harus mengeluarkan “uang pelicin” yang jumlahnya
bervariasi menurut kebutuhan.

Patologi birokrasi yang telah dipaparkan sebelumnya menyebabkan gagasan reformasi


dan revitalisasi birokrasi menjadi problematic dan bahkan dilematis. Di satu sisi,
pemerintah sedikit banyak menghendaki revitalisasi birokrasi yang kondusif bagi
pembangunan. Sebaliknya, penguasa berusaha menghendaki pelestarian status dengan
melembagakan kultur paternalistic dalam sistem birokrasi, membangun imperium
patrimonial, serta birokratisasi politik dan birokrasi yang kontradiktif dengan tujuan
semula Orde Baru.

Tentu saja isu reformasi birokrasi hanya menjadi wacana yang diproduksi oleh
masyarakat. Serangkaian reformasi birokrasi yang dilancarkan oleh pemerintah Orde
Baru tetap dalam pagar-pagar otoritarian, dan tetap saja bersifat kosmetikal, terutama
untuk mengurangi tekanan publik. Birokrasi era Orde baru ditata secara hirarkis dan
konsentris sebagai bagian yang interen dari pemeliharaan status quorezim otoritarian
yang dibangun oleh Soeharto.

D. Periode reformasi
Dominasi eksekutif era Orde baru telah menggorogoti sistem politik Indonesia dan
mengalami berbagai krisis. Beranjak dari kenyataan ini, satu terobosan yang
dilakukan MPR pasca Orde Baru adalah melakukan amandemen terhadap berbagai
ketentuan dalam UUD 1945 yang sarat executive heavy. Beberapa perubahan
mendasar diantaranya pembatasan masa jabatan presiden hanya sampai dua kali,
adanya penegasan konsultatif presiden dengan DPR dalam hal menentukan pimpinan
MA, BPK, KSAD, KSAU, KSAL serta Kapolri. Dengan demikian, eksekutif pasca
orde baru tidak lagi memiliki kekuasaan politik yang lebih besar dibandingkan
lembaga-lembaga politik lainnya.

Transisi demokrasi pasca Soeharto tampaknya juga menyebabkan guncangan keras


pada jaringan birokrasi karena terlalu lamanya aparat birokrasi begitu loyal kepada
soeharto dan mereka di untungkan oleh sistem KKN yang terbangun. Birokrasi
merupakan kekuatan terbesar yang dirugikan oleh reformasi politik. Mereka harus
berpikir seribu kali kalau hendak melakukanm KKN. Di tempat lain, lewat UU politik
yang baru dan PP No.12/1999, birokrasi dipaksa netral dari partai (terutama Golkar)
dan dikurangi kewenangannya dalam proses pemilu, birokrasi harus berbagi sumber
daya dengan partai-partai baru dan masyarakat luas.

Masalah yang serius adalah birokritisasi politik dan politisasi birokrasi. Birokratisasi
politik merupakan upaya penguatan birokrasi yang harus dipertahankan, karena
birokrasi yang kuat adalah pilar institusional politik dan kuatnya Negara di hadapan
masyarakat. Birokrasi yang kuat juga menjadi pilar bagi stabilitas demokrasi. Hanya
saja, birokratisasi politik harus direvitalisasi sehingga lebih sehat dan professional,
dan yang jelas bahwa birokratisasi dilakukan secara netral untuk kepentingan
penguasa secara pribadi.

Kalau birokratisasi boleh dipertahankan, maka politisasi birokrasi lewaat KORPRI


dan Golkar harus dirombak total. Komitmen kearah ini ditujukan dengan keluarnya
PP No.12/1999, yang secara substansial hendak menetralisasi birokrasi atau depolisasi
birokrasi terutama dalam pemilu dan keberpihakan mereka pada Golkar. Netralisasi
ini merupakan titik awal revitalisasi birokrasi, yang bisa di ikuti dengan penanaman
prinsip meritokrasi. Gagasan baru seperti reinventing government baru bisa
diterapkan bersama-sama secara silmutan dengan meritokrasi seperti itu, bila sudah
tercipta orde baru yang demokratis dan birokrasi dalam posisi yang netral. Selama
birokrasi tidak netral dan punya kepentingan politik jangka pendek, maka gagasan
apapun tidak akan bisa diterapkan. Selama demokrasi belum tercipta dengan baik,
maka upaya reformasi birokrasi menjadi sebuah kemustahilan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada makalah ini, dapat disimpulkan bahwa sistem politik di
Indonesia mengalami beberapa periode yang berbeda, mulai dari era demokrasi
parlementer hingga era reformasi. Periode demokrasi parlementer ditandai dengan
keberadaan kabinet-kabinet yang menganut dua sistem. Setelah Indonesia
merdeka, sistem politik mengalami beberapa perubahan, seperti pada masa
pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Era reformasi yang dimulai pada akhir
1990-an membawa perubahan besar pada sistem politik Indonesia, terutama dalam
hal reformasi politik, otonomi daerah, dan partisipasi masyarakat dalam politik.

Meskipun sistem politik di Indonesia telah mengalami perubahan signifikan,


namun masih terdapat berbagai tantangan yang perlu diatasi untuk meningkatkan
kualitas sistem politik, seperti korupsi, rendahnya partisipasi masyarakat dalam
politik, dan lemahnya lembaga negara. Oleh karena itu, perlu ada upaya-upaya
yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk memperbaiki sistem politik
di Indonesia, seperti melalui pendidikan politik, penguatan lembaga negara, dan
peningkatan partisipasi masyarakat dalam politik.

Dengan pemahaman yang lebih baik tentang perkembangan sistem politik di


Indonesia, diharapkan masyarakat, akademisi, dan pemerintah dapat bekerja sama
untuk memperbaiki sistem politik Indonesia dan menciptakan negara yang lebih
baik dan stabil.
DAFTAR PUSTAKA

Suryadi, B. (2011). PERKEMBANGAN DAN KEGAGALAN SISTEM POLITIK DI


INDONESIA. Jurnal Charta Publika, 1(2), 89-98.
Winarno, B. (2007). Sistem politik Indonesia era reformasi. Gramedia Pustaka Utama.
Nazaruddin Sjamsuddin, 1988. Sistem Politik Indonesia. Jakarta: PT Karunika
Sutaro Eko.2004. Transisi Demokrasi Indonesia. Yogyakarta: APMD Press

Anda mungkin juga menyukai