Anda di halaman 1dari 31

SISTEM POLITIK INDONESIA

“PERJALANAN DEMOKRASI DI INDONESIA”

Dosen Pembimbing :
Laily Purnawati, S.IP, M.Si
1.YOGA PRADANA
2.VIKA YOUHANS
3.SURYATI NINGSIH

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS TULUNGAGUNG
2019-2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
berjudul ”Perjalanan Demokrasi di Indonesia” ini dengan lancar dan tepat waktu.
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami
miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan
makalah ini, khususnya kepada Dosen pengampu yang telah memberikan tugas
dan petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.

Tulungagung, Desember
2019

Tim Penyusun

DAFTAR ISI
Halaman Sampul.......................................................................................... i
Kata Pengantar............................................................................................. ii
Daftar Isi...................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................ 1
C. Tujuan.............................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Demokrasi Pemerintahan Masa Revolusi Kemerdekaan................. 2-13
B...Demokrasi Terpimpin (1959-1965).................................................. 14-17
C...Demokrasi dalam Pemerintahan Orde Baru..................................... 17-22
B. Demokrasi Pancasila Era Reformasi hingga saat ini....................... 23-26

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan...................................................................................... 27
B. Saran................................................................................................. 28
Daftar Pustaka.............................................................................................. 29
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demokrasi merupakan sebuah istilah yang sangat populer. Tidak ada
istilah lain dalam wacana politik yang banyak dibicarakan orang-aktivis, politisi
atau pun akademisi- melebihi istilah demokrasi. Istilah ini juga selalu didambakan
oleh semua orang , terutama yang mempunyai sadaran politik, untuk diwujudkan
dalam kehidupan sehari-hari. Mereka percaya bahwa demokrasi akan lebih
banyak membawa kemaslahatan manusia ketimbang implikasi negatifnya , yakni
mahal dan kompleknya dalam proses pembuatan kebijaksanaan publik. Demokarsi
harus dipahami dari dua dimensi, yaitu: dimensi normatif dan dimensi empirik.
Diensi pertama mengajarkan kepada kita apa yang seharusnya secara idiil dari
demokrasi. “kedaulatan ada ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, “ kata Undang Undang Dasar 1945. Sementara
itu , dimensi empirik demokrasi memperlihatkan pada kita apa yang
sesungguhnya terjadi dalam kehidupan politik sebuah negara , bagaimana bentuk
normatif - idiil tersebut diwujudkan dalam kehidupan politik sehari-hari.
Kedaulatan rakyat diwujudkan dengan pemilihan umum yang bebas dan
persaingan antara partai politik berjalan secara wajar. Kedauatan rakyat
diwujudkan dalam pemberian peluang bagi semua warga negara untuk menduduki
jabatan politik.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Perjalanan Demokrasi di Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa saja perjalanan demokrasi yang ada di Indonesia setelah
masa kemerdekaan sampai sekarang.
BAB II
PEMBAHASAN

Demokrasi Di Indonesia

Dalam membicarakan tentang demokrasi di Indonesia, bagaimanapun juga kita


tidak terlepas dari alur periodesasi sejarah politik di indonesia. Yaitu, apa yang
disebut sebagai periode pemerintahan masa revolusi kemerdekaan , pemerintahan
parlementer ( representative democracy ), pemerintahan demokrasi terpimpin
(guided democracy) , pemerintahan orde baru ( pancasila democracy ),
pemerintahan reformasi (reformation democracy ).

1. Demokrasi pemerintahan masa revolusi kemerdekaan

( Demokrasi Parlementer )

Para penyelenggara negara pada awal periode kemerdekaan mempunyai


komitmen yang sangat besar dalam mewujudkan demokrasi politik di Indonesia.
Hal itu terjadi karena latar belakang pendidikan mereka. Mereka percaya, bahwa
demokrasi bukan merupakan sesuatu yang hanya terbatas pada komitmen, tetapi
juga merupakan sesuatu yang perlu di wujudkan. Tentu saja, tidak terlampau
banyak yang akan dibicarakan menyangkut demokrasi pada pemerintahan periode
ini (1945-1949), kecuali beberapa hal yang fundamental merupakan peletakan
dasar bagi demokrasi di Indonesia untuk masa-masa selanjutnya.

Pertama, political franchise yang menyeluruh. Para pembentuk negara, sudah


sejak semula, mempunyai komitmen yang sangat besar terhadap demokrasi,
sehingga begitu kita menyatakan kemerdekaan dari pemerintah kolonial Belanda,
semua warga negara yang sudah dianggap dewasa memiliki hak-hak politik yang
sama, tanpa ada diskriminasi yang bersumber dari ras, agama,suku,dan
kedaerahan.

Kedua, presiden yang secara konstitusional ada kemungkinan untuk menjadi


seorang diktator, dibatasi kekuasaannya ketika Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) dibentuk untuk menggantikan parlemen.

Ketiga, dengan maklumat Wakil Presiden, maka dimungkinkan terbentuknya


sejumlah partai politik, yang kemudian menjadi peletak dasar bagi sistem
kepartaian di Indonesia untuk masa-masa selanjutnya dalam sejarah kehidupan
poliyik kita.

Implementasi demokrasi pada masa pemerintahan revolusi kemerdekaan baru


terbatas pada interaksi politik di parlemen dan berfungsinya pers yang mendukung
revolusi kemerdekaan elemen-elemen demokrasi yang lain belum sepenuhnya
terwujud, karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan. Sebab,
pemerintah harus memusatkan seluruh energinya untuk bersama samaa dengan
rakyat mempertahankan kemerdekaan dan menjaga kedaulatan negara, agar
negara persatuan tetap terwujud.

Partai-partai politik tumbuh dan berkembang dengan cepat. Tetapi, fungsinya


yang paling utama adalah ikut serta memenangkan revolusi kemerdekaan, dengan
menanamkan kesadaran untuk bernegara serta menanamkan semangat anti
imperialisme dan kolonialisme. Karena keadaan yang tidak mengizinkan,
pemilihan umum belum dapat dilaksanakan, sekalipun hal itu sudah merupakan
salah satu agenda politik yang utama. Pemilihan umum sangat terbatas sifatnya
baru dijalankan di beberapa wilayah negara, misalnya di Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Sulawesi Utara.

1. Demokrasi Parlementer

A. Beberapa Karakteristik Utama

Periode kedua pemerintahan negara Indonesia adalah tahun 1950-1959,


dengan menggunakan Undang Undang Dasar Sementara (UUDS) sebagai
landasan konstitusionalnya. Saya menyebutnya periode pemerintahan dalam masa
ini sebagai pemerintahan parlementer, karena pada masa ini merupakan kejayaan
parlemen dalam sejarah politik Indonesia. Periode itu dapat juga disebut sebagai
“Representative/Participatory Democracy”. Oleh Herbert Feith, pemerintahan
pada masa ini disebut juga sebagai “Constitutional Democracy”. Saya kurang
sependapat untuk menamakan periode pemerintahan pada masa ini sebagai
periode Demokrasi Liberal. Karena penamaan seperti itu, di Indonesia, muatan
“politik”-nya sangat tinggi, sehingga sulit untuk dipertanggungjawabkan secara
akademik. Sementara itu, istilah liberal itu sendiri mempunyai makna yang
berbeda beda, sesuai dengan muatan apa yang hendak dikaitkan dengan istilah
tersebut. Seperti halnya dengan istilah konservatif.

Masa Demokrasi Parlementer merupakan masa kejayaan demokrasi di


Indonesia, karena hampir semua elemen demokrasi dapat kita temukan dalam
perwujudannya dalam kehidupan politik di Indonesia.

Pertama, lembaga perwakilan rakyat atau parlemen memainkan peranan yang


sangat tinggi dalam proses politik yang berjalan. Perwujudan kekuasaan parlemen
ini diperlihatkan dimana adanya sejumlah mosi tidak percaya kepada pihak
pemerintah yang mengakibatkan kabinet harus meletakkan jabatannya.

Kedua, akuntabilitas pemegang jabatan dan politisi pada umumnya sangat


tinggi. Hal ini dapat terjadi karena berfungsinya parlemen dan juga sejumlah
media massa sebagai alat kontrol sosial. Sejumlah kasus jatuhnya kabinet dalam
periode ini merupakan contoh konkrit dari tingginya akuntabilitas tersebut.

Ketiga, kehidupan kepartaian boleh dikatakan memperoleh peluang yang


sebesar besarnya untuk berkembang secara maksimal. Dalam periode ini,
Indonesia menganut sistem banyak partai (multy party sistem). Ada hampir 40
partai politik yang terbentuk dengan tingkat ekonomi yang sangat tinggi dalam
proses rekruitmen, baik pengurus atau pimpinan partainya maupun para
pendukungnya. Campur tangan pemerintah dalam hal rekruitmen internal partai
boleh dikatakan tidak ada sama sekali. Sehingga setiap partai bebas memilih ketua
dan segenap anggota pengurusnya. Persaingan antara sejumlah tokoh partai politik
untuk menjadi ketua partai berjala dengan wajar dan demokratik. Hal ini terlihat
dengan jelas dalam sejarah Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Parati Masyumi.
Keempat, sekalipun Pemilihan umum hanya dilaksanakan satu kali yaitu
pada tahun 1955 tetapi Pemilihan umum tersebut benar-benar dilaksanakan
dengan prinsip demokrasi. Kompetisi antara partai politik berjalan dengan sangat
intensif. Partai partai politik dapat melakukan nominasi calonnya bebas,
kampanye dilakukan dengan penuh tanggung jawab, dalam rangka mencari
dukungan yang kuat dari masyarakat pemilih. Dan yang tidak kalah pentingnya
adalah, setiap pemilih dapat menggunakan hak pilih nya dengan bebas tanpa ada
tekanan atau rasa takut undang-undang pemilihan umum tahun 1953 merupakan
landasan berpijak yang saat demokratik dan tidak memberikan peluang kepada
Panitia Pemilihan Indonesia untuk melakukan pengaturan lebih lanjut Dengan
demikian, Pemilihan Umum berjalan dengan sangat kompetitif sebagaimana
halnya dalam suatu pemerintahan yang demokratik, sekalipun pemilihan umum
tersebut tidak dapat melahirkan satu partai politik yang kuat, yang mampu
membentuk eksekutif.

Kelima, masyarakat pada umumnya dapat merasakan bahwa hak-hak dasar


mereka tidak dikurangi sama sekali, sekali pun tidak semua warga negara dapat
memanfaatkannya dengan maksimal. Hak untuk berserikat dan berkumpul dapat
diwujudkan dengan jelas, dengan terbentuknya sejumlah partai politik dan
organisasi peserta Pemilihan Umum (voter's association). Menurut istilah
sekarang, yang tumbuh ibarat cendawan di musim hujan. Kebebasan pers juga
dirasakan dengan baik, karena tidak dikenal adanya lembaga yang menghambat
kebebasan tersebut. Pers memainkan peranan yang sangat besar dalam
meningkatkan dinamika kehidupan politik, terutama sebagai alat kontrol sosial.
Sekalipun pers itu sendiri merupakan instrumen politik yang sangat efektif dari
sejumlah partai politik. Setiap partai politik yang besar mempunyai surat kabar.
Partai Nasional Indonesia (PNI) memiliki suluh Indonesia, yang kemudian
berubah menjadi Suluh Marhaen, Partai Sosialis Indonesia mempunyai afiliasi
dengan harian Pedoman;Masyumi memiliki harian Abadi; dan Partai Komunis
Indonesia (PKI) menerbitkan harian Rakyat.

Demikian juga dengan kebebasan berpendapat (freedom of expression).


Masyarakat yang mampu melakukannya dapat saja menggunakan haknya tanpa
ada rasa khawatir untuk menghadapi resiko, sekalipun mengkritik pemerintah
dengan keras. Kasus yang paling menarik adalah apa yang dilakukan oleh Dr.
Halim, mantan Perdana Menteri, yang menyampaikan surat terbuka dan
mengeluarkan semua isi hatinya dengan kritikan yang sangat tajam terhadap
sejumlah langkah yang dilakukan oleh Presiden Soekarno. Surat tervuak tersebut
di muat oleh hampir semua surat kabar yang besar pada waktu itu. Surat tersebut
tertanggal 27 Mei 1955. Mungkin ada baiknya saya mengutip awal dari surat
tersebut :

Dikarenakan hubungan kita selama tiga atau empat tahun yang terbatas
pada satu atau dua pertemuan setahun..., saya merasa terpanggil untuk
menggunakan bentuk "Surat Terbuka" ini guna meminta perhatian Saudara
terhadap keadaan sekarang ini, yang saya yakini bukan hanya luar biasa
pelik, tapi telah hampir menjadi ledakan. Mungkin Saudara sudah
mengetahui hal-hal yang ingin saya sebutkan disini atau yang sudah saya
sampaikan kepada saudara untuk diperhatikan. Walaupun demikian, saya
rasa perlu hal-hal itu dinyatakan kembali, karena saya tidak melihat adanya
langkah-langkah yang ditempuh untuk memperbaiki keadaan ini.
Sebaliknya, keadaan-keadaan buruk yang berlangsung di negeri kita
sekarang setiap hari semakin buruk.

Dr. Halim, didalam suratnya, menggambarkan secara panjang-lebar tentang


situasi tanah Air pada waktu itu, baik yang menyangkut kehidupan sehari-hari
rakyat biasa, situasi keamanan, kritik terhadap nafsu untuk berkuasa dari para
politisi di Indonesia, maupun saran untuk membentuk Kabinet Presidensial. Pada
akhir suratnya, Dr. Halim menyatakan sebagai berikut :

Akhirnya, saya ingin menyatakan , bahwa saya gembira ketika


mendengar saudara menyatakan bahwa pengembalian Irian Barat
kepada Indonesia merupakan "obsesi" bagi Saudara. Tetapi saya akan
lebih gembira lagi kalau saya mendengar Saudara menyatakan, bahwa
kesejahteraan rakyat juga menjadi obsesi Saudara.Saya berharap, Saudara
membaca surat ini dengan semangat kejujuran.

Apa yang dikemukakan Dr. Halim di atas merupakan ilustrasi bagaimana


warga masyarakat dapat mengunakan haknya untuk menyampaikan isi hatinya
kepada seorang Presiden, yang mempunyai wibawa sangat besar. Saya tidak tahu ,
apakah Presiden Soekarno marah atau tidak. Tetapi, sepanjang yang kita ketahui ,
Dr. Halim tidak menerima konsekuensi apa pun dari apa yang telah dilakukannya.

Keenam, dalam masa pemerintahan parlementer, daerah daerah memperoleh


otonomi yang cukup bahkan otonomi yang seluas luasnya dengan asas
desentralisasi sebagai landasan untuk berpijak dalam mengatur hubungan
kekuasaan antara pemerintah Pusat dengan pemerintah Daerah. Daerah daerah
diberi hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan
aspirasi yang berkembang di daerah tersebut. Termasuk didalamnya kewenangan
untuk menggali sumber daya keuangan dan kewenangan untuk mengisi jabatan
lokal yang sesuai dengan kondisi politik lokal. Hal itu diatur dengan jelas dalam
Undang Undang No.1 tahun 1957 tentang Pokok Pokok Pemerintahan di Daerah.
Sudah merupakan sesuatu yang diterima didalam ilmu politik, bahwa demokrasi
mempunyai kaitan erat dengan derajat tinggi rendahnya desentralisasi dalam
penyelenggaraan negara. Semakin demokratik sebuah negara, maka semakin
tinggi pula derajat desentralisasi. Sementara, semakin rendah derajat
demokrasinya, maka semakin ada kecenderungan ke arah pemerintahan yang
sentralistik.

B. Mengapa Demokrasi Parlementer Gagal?

Demokrasi parlementer tidak berumur panjang, yaitu antara tahun 1950


sampai 1959 ketika soekarno sebagai presiden mengeluarkan dekrit pada 5 juli
1959, yang membubarkan konstituante dan menyatakan kembali ke undang-
undang dasar 1945. Pernyataan yang kemudian muncul adalah: mengapa
demokrasi parlementer tersebut tidak berhasil dipertahankan? berbagai macam
jawaban telah diungkapkan oleh kalangan ilmuwan politik dan ahli hukum tata
negara.

Orang yang mencoba menjelaskan masalah ini adalah Herbert Feith (1962). Di
dalam karyanya yang monumental, The Decline of Constitutional Democracy in
Indonesia, Feith mengajukan tesis bahwa kegagalan demokrasi parlementer di
indonesia adalah karena adanya dua gaya kepemimpinan yang sangat berbeda di
antara kalangan elite indonesia pada masa pasca kemerdekaan, yaitu di satu pihak
apa yang disebut Feith sebagai solidarity makers, dan di lain pihak yang
dimasukkan kedalam kategori administrator atau problem silver. Mereka
mempunyai visi,gaya,kecakapan dan basis kepemimpinan yang berbeda di dalam
mencoba membawa Indonesia merdeka sebagai sebuah negara yang modern.
Sehingga kemudian terjadi konflik yang berkepanjangan diantara kedua jenis
kelompok elite tersebut, yang akhirnya menggagalkan proses demokrasi itu
sendiri.

Harry J. Benda, seorang sejarawan sosial dan politik, mengkritik tesis Feith
sebagai a-historic. Dikatakan oleh Benda :

"I believe that it tak es an unhistorial starting point or, to put it more
precisely, that it sees postwar Indonesia primarily as a continuation of the
country's most recent hiatory, while it largely ignores what has gone
before. In point of fact, however, the modern Colonial era (including the
japanese occupation) was a brief intelude in Indonesian history , a
deviation we night almost say, from that history in that subjected the
country to alien dictation." (Benda, dalam Anderson and Kahin, 1982,p.
16)
Oleh karena itu, kata Benda, pertanyaan yang diajukan oleh Herbert Feith
adalah pertanyaan yang "aneh". Kita seharusnya bukan menanyakan "mengapa
demokrasi di Indonesia gagal," tetapi, yang paling penting adalah "mengapa ada
demokrasi di Indonesia?" Tentang tesis Feith tersebut, dengan keras sekali Benda
menyatakan , bahwa: "He is essentially presenting us highly sophisticated and
persuasive answers to an in trinsically mistaken, or irrelevant, question".
Selanjutnya, menurut Benda, Feith tidak memperhatikan hal yang menyangkut
konsep legitimasi kekuasaan. Sehingga apa yang disebut sebagai problem solvers
yang dominan dalam proses politik yang berjalan, sebenarnya tidak lain daripada
sekelompok orang yang asing di tanahnya sendiri, yang tidak memiliki basis
legitimasi kekuasaan, yang tentu saja ditentang oleh kalangan solidarity makers.

Perdebatan tentang gagal nya demokrasi parlementer akhir akhir ini muncul
kembali ketika Adnan Buyung Nasution (1993),didalam diserasinya , mengajukan
tesis bahwa kegagalan demokrasi parlementer itu disebabkan adanya persamaan
kepentingan antara Presiden Soekarno dengan kalangan Angkatan Darat, yang
sama-sama tidak senang dengan proses politik yang berjalan. Tentu saja, tesis
yang diajukan Adnan Buyung Nasution merupakan sesuatu yang sangat menarik.
Tetapi, menurut hemat saya, tesis Buyung terlampau sederhana untuk menjelaskan
sebuah segala yang sangat kompleks, dan tidak dilandasi kerangka konsep tentang
bagaimana demokrasi seharusnya bekerja.

Dengan segala penghargaan terhadap berbagai pendapat yang diajukan


tentang kegagalan demokrasi parlementer di Indonesia, saya mencoba
mengidentifikasi beberapa penyebab dari kegagalan tersebut. Yaitu, pertama,
dominannya politik aliran, sehingga membawa konsekuensi terhadap pengelolaan
konflik. Kedua, basis sosial ekonomi yang masih sangat lemah. Ketiga, tentu aaja
alasan seperti yang dikemukakan oleh Adnan Buyung Nasution tersebut. Saya
hendak menekankan alasan yang pertama dan kedua , karena alasan yang ketiga
sudah banyak diungkapkan oleh kalangan ahli yang lain.

Pemilihan sosial yang terjadi di dalam masyarakat pasca kemerdekaan boleh


dikatakan sangat tajam. Pemilihan tersebut bersumber dari agama, etnisitas,
kedaerahan, dan lain sebagainya. Pemilihan tersebut merupakan sumber
pengelompokan politik, yang kemudian oleh Clifford Geertz disebut sebagai
politik aliran , yang merupakan ciri pokok perpolitikan pada masa pasc-
kemerdekaan. Masyarakat terbagi sesuai dengan pilar-pilar tertentu, yang
bersumber dari agama, dab bertumpang tindih dengan etnisitas. Proses
pengelompokan politik seperti ini sebenarnya diwariskan dari pengalaman politik
Belanda, karena sebagian besar kalangan elite politik kita sangat dipengaruhi oleh
sistem kepartaian yang ada di Belanda.

Sebagaimana dikemukakan oleh Arend Lijphart, bahwa di Belnada


masyarakat dikelompokkan ke dalam beberapa pilar atau aliran (verzuilen) yang
sesuai dengan latar-belakang keagamaan mereka, yang kemudian menjadi sebuah
partai politik. Setiap partai politik memiliki sejumlah organisasi pendukung, yang
berasal dari kalangan pemuda,wanita, butuh/ pekerja. Partai tersebut juga
mengelola pendidikan, mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Partai
tersebut juga memiliki sejumlah media massa, yang digunakan untuk
mempropagandakan progam politiknya.

Hal tersebut kita temukan dalam pola pemilihan sosial di Indonesia, yang
membawa dampak dalam sistem kepartaian pada masa pasca-kemerdekaan. Oleh
Herbert Feith dan Lance Castles (1970), sistem kepartaian di Indonesia itu
kemudian dikelompokkan ke dalam lima aliran besar, yaitu : Islam ,Jawa
Traditionalist , Demoxratic Socialist, Radical Nationalist, dan Comunist. Islam
merupakan suatu kekuatan politik sendiri, yang ditopang oleh sejumlah organisasi
massa. Demikian juga dengan yang nasionalis, kelompok aliran yang lain nya.
Pemilahan tersebut umunya tidak bersifat cross-cutting, tetapi mempunyai
kecenderungan untuk berakumulasi, bahkan konsolidatif. Sebagai contoh, Partai
Masyumi (dengan organisasi afiliasi yang sangat besar: PII, HMI, GPII, dan lain-
lain) didukung oleh kalangan Islam yang santri, yang berorientasi kepada
modernitas,banyak didaerah perkotaan , dominan berasal dari luar jawa , dan lain
sebagainya. Sementara, Partai Nasional Indonesia (Pemuda
Demokrat,GMNI,Petani,Wanita Demokrat, GSNI) berasal dari kalangan abangan
atau kalangan Islam yang sekular, dominan terdapat di Jawa , dan lain-lain.

Apakah dampak dari pemilahan sosial seperti itu? Pertama, munculnya konflik
yang bersifat sentrifugal. Dalam arti, konflik itu cenderung meluas melewati batas
wilayah, akibatnya sulit diatasi, dan akhirnya akan membawa dampak yang sangat
negatif terhadap stabilitas politik. Kedua, koalisi antara kekuatan politik yang ada,
terutama didalam membentuk eksekutif, boleh dikatakan menjadi sangat lemah.
Satu kekuatan politik hampir tidak dapat memberikan kesempatan agar kekuatan
politik lainnya mempunyai kesempatan untuk membentuk eksekutif dan
menjalankan progam pemerintahannya. Sementara itu, koalisi baru akan dapat
terwujud apabila memenuhi dua syarat utama, yaitu adanya kompatibilitas
kepemimpinan di antara para tokoh partai dan kedekatan ideologi antara partai
yang berkoalisi. Kalau kedua syarat ini tidak terpenuhi, koalisi akan sangat rapuh.

Hal seperti itulah yang umumnya terjadi pada masa demokrasi parlementer.
Pemilihan Umum yang diharapkan sebagai obat penawar dari ketidakstabila
politik pada masa sebelumnya, ternyata tidak mampu melahirkan suatu
pemerintahan yang kuat. Hal ini terjadi karena tidak ada satu partai politik pun
yang mampu memegang mayoritas yang kuat yang kemudian membentuk
eksekutif. Akibatnya, koalisi harus dilakukan pada setiap pembentukan kabinet.
Pemerintahan pada masa pasca pemilihan umum 1955 merupakan koalisi diantara
sejumlah partai politik. Tetapi, masing partai mempunyai kemampuan untuk
melakukan apa yang disebut political-black-mailing. Dalam arti, kalau keinginan
sebuah partai tidak terpenuhi, maka ia akan dengan mudah menarik dukungan
untuk koalisi dan bergabung dengan oposisi untuk melakukan mosi tidak percaya.
Akibatnya, jarang ada kabinet yang berumur panjang, dan stabilitas politik pun
menjadi sangat rendah. Itulah kenyataan politik yang terjadi pada pemerintahan
parlementer.

Hal ini hendaknya perlu kita dapat catat adalah kinerja dari demokrasi
parlementer mempunyai kaitan sangat erat dengan topangan ekonomi yang masih
sangat lemah. Dikalangan ilmuwan politik, diantaranya Seymour Martin Lipset,
Karl W. Deutsch, dan Bingham Powell, terdapat suatu keyakinan bahwa
demokrasi baru akan berjalan dengan baik kalau ditopang oleh kondisi sosial
ekonomi yang kuat. Terutama dilihat dari besar kecilnya pendapatan perkapita
masyarakat, tinggi rendahnya kemampuan baca tulis (literacy), urbanisasi, dan
besar kecilnya masyarakat yang terekpose di media massa. Kalau kita
menggunakan konsep ini sbagai titik tolak untuk berpijak, kita seharusnya tidak
heran kalau demokrasi parlementer mengalami kegagalan di dalam
memperlihatkan kinerjanya dengan baik. Pada waktu itu, tingkat pendapatan
pendapatan perkapita masyarakat kita masih sangat rendah. Demikian juga dengan
kemampuan baca tulis, yang barangkali baru mencapai sekitar 20%. Logikanya
adalah, bagaimana orang dapat berpolitik dan menggunakan hak-hak politik
dengan baik dan penuh tanggung jawab kalau masyarakatnya masih sangat
tradisional.

Hal ketiga yang hendaknya diperhatikan yang berkaitan dengan pelaksanaan


demokrasi pada masa pascakemerdekaan adalah menyangkut struktur sosial yang
masih sangat hierarkis , yang bersumber dari nilai-nilai feodal, terutama yang
bersumber dari masyarakat Jawa. Barangkali benar,seperti apa yang dikatakan
oleh Harry J. Benda, bahwa kehadiran kalangan elite problem solvers adalah
sesuatu yang asing dalam kehidupan politik masyarakat di Indonesia , khususnya
di Jawa. Dalam hal ini Benda mengungkapkan :

" In the context of indonesian history Feith's problem solvers, wheter


thoroughly Westernuzed or thoroughly Islamized, appear as a small,
intrisically foreign element in the body of social and ideological world of
Indianized Indonesia, especially of java. By Contrast, the solid aditya
kamera, though they may often speak in desceptively modern terminology,
seem to represent just that specifically Javanese culture. It is only by
taking inti account the deep roots, the longevity as well as the remarkable
resilience of that Hindu Javanese world to foreign, e.g. Islamic and
Western, influences thet we can fully understand modern Indonesian
developments." (Dalam Anderson and Kahin, 1982, p. 18)

Apa makna dari ini semua? Bahwa nilai demokrasi tidak ditopang oleh
tatanan sosial kita yang masih sangat hierarkis. Terutama yang bersumber dari
sistem nilai dalam tatanan sosial Jawa, di mana strata sosial yang tegas antara
wong cilik dengan wong gede sangat mewarnai perilaku politik masyarakat pada
umumnya. Kalau kita kembali ke tesis Feith, mereka yang masuk ke dalam
kelompok solidarity-makers yang tersisih kan dari perpolitikkan pada masa itu
tentu saja akan sulit mendukung pemerintahan yang dibentuk pada kabinet yang
parlementarian.

Di sinilah kita melihat bagaimana posisi soekarno dalam proses politik yang
berjalan, di mana dia yang begitu dominan dalam awal pembentukan republik ini,
kemudian tersisih kan dari proses politik. Sebab, dia hanya sebagai kepala negara
yang tidak mempunyai otoritas untuk menjadi agenda setter dalam pembentukan
kebijaksanaan pemerintah pada waktu itu. Demikian juga halnya dengan interest
politik kalangan angkatan darat, yang tidak mendapat tempat yang sewajarnya.
Tetapi, seperti yang saya nyatakan sebelumnya, bahwa hal ini sudah banyak
diungkapkan. Sehingga saya tidak perlu mengulanginya lagi pada bagian ini.

2.Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

a. Gambaran Umum Demokrasi Terpimpin

Sejak berakhirnya pemilihan umum 1955, Presiden Soekarno sudah


menunjukkan gejala ketidakseimbangan nya kepada partai-partai politik. Hal itu
terjadi karena partai politik sangat berorientasi pada kepentingan ideologinya
sendiri dan kurang memperhatikan kepentingan politik nasional secara
menyeluruh. Bahkan pernah pada suatu kesempatan di Istana Merdeka beliau
melontarkan keinginannya untuk membubarkan saja partai-partai politik.
Disamping itu, Soekarno juga melontarkan gagasan, bahwa demokrasi
parlementer tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang dijiwai oleh
semangat gotong royong dan kekeluargaan. Soekarno juga menekankan
bagaimana besarnya peranan pemimpin dalam proses politik yang berjalan dalam
masyarakat kita. Soekarno kemudian juga mengusulkan agar terbentuk
pemerintahan yang bersifat gotong royong yang melibatkan semua kekuatan
politik yang ada, termasuk Partai Komunis Indonesia yang selama ini tidak pernah
terlibat secara resmi dalam koalisi kabinet. Untuk mewujudkan gagasan tersebut,
Soekarno kemudian mengajukan usulan yang dikenal sebagai "Konsepsi
Presiden". Melalui konsepsi tersebut, terbentuk kemudian apa yang disebut
sebagai Dewan Nasional yang melibatkan semua partai politik dan organisasi
sosial kemasyarakatan.

Konsepsi Presiden dan terbentuknya Dewan Nasional mendapat tantangan yang


sangat kuat dari sejumlah partai politik, terutama Masyumi dan PSI. Penentang
Konsepsi Presiden menyatakan bahwa pembentukan Dewan Nasional merupakan
pelanggaran yang sangat fundamental terhadap konstitusi negara, Karena lembaga
tersebut tidak dikenal dalam konstitusi. Pada saat yang sama, sejumlah faktor lain
muncul secara hampir bersamaan.

Pertama, hubungan antara pemerintah Pusat dengan pemerintah Daerah semakin


memburuk. Sejumlah perwira Angkatan Darat di daerah-daerah membentuk
misalnya Dewan Banteng, Dewan Garuda dan Dewan Gajah di Sumatra yang
kemudian mengambil alih pemerintahan sipil. Demikian pula yang terjadi di
Sulawesi. Semuanya itu kemudian mencapai puncaknya dengan terjadinya
pemberontakan daerah yang dipelopori oleh PRRI dan Permesta.
Kedua, Dewan Konstituante ternyata mengalami jalan buntu untuk mencapai
kesepakatan guna merumuskan ideologi nasional, karena tidak tercapainya tujuan
titik temu antara dua kubu politik, yaitu kelompok yang menginginkan Islam
sebagai dasar negara dan kelompok lain yang menginginkan Pancasila sebagai
dasar negara. Ketika voting dilakukan, ternyata suara mayoritas yang diperlukan
tidak dapat tercapai (A. Buyung Nasution, 1993). Bahkan hal tersebut berlarut-
larut karena semakin banyak anggota Konstituante yang tidak mau lagi
menghadiri sidang lembaga perwakilan rakyat tersebut. Agar dapat keluar dari
persoalan politik yang sangat pelik tersebut, dan berhubung situasi keamanan
nasional sudah sangat membahayakan persatuan dan kesatuan nasional, dengan
pertimbangan demi kepentingan negara, Soekarno kemudian pada 5 Juli 1959
mengeluarkan Dekrit Presiden, yang membubarkan Konstituante dan menyatakan
kembali kepada Undang-undang Dasar 1945. Dekrit Presiden tersebut merupakan
palu godam bagi demokrasi parlementer, yang kemudian membawa dampak yang
sangat besar dalam kehidupan politik nasional. Era baru demokrasi dan
pemerintahan di Indonesia mulai dimasuki. Yaitu, apa yang kemudian oleh
Soekarno disebut sebagai Demokrasi Terpimpin.

b. Karakteristik Utama Demokrasi Terpimpin

Dekrit Presiden tersebut memberikan peluang yang sangat besar bagi Presiden
Soekarno untuk mewujudkan gagasan politiknya dan membuka kesempatan yang
sangat besar baginya untuk memainkan peranan politik yang selama ini tidak
dapat dilakukan karena posisinya sebagai kepala negara. Sebagai Presiden,
kemudian Soekarno menunjuk seorang "warga negara Soekarno" untuk
membentuk kabinet yaitu Perdana Menteri nya adalah presiden sendiri. Di
samping itu dengan kewenangan yang dimilikinya, Soekarno kemudian
membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) sebagai
lembaga perwakilan rakyat yang menggantikan Dewan Konstituante. Demokrasi
Terpimpin memungkinkan Soekarno untuk menjadi salah satu agenda setter
politik Indonesia, yang akhirnya membuat dia menjadi pemimpin yang sangat
berkuasa menjadi seorang diktator. Proses politik yang berjalan kemudian
semuanya bermuara pada Soekarno, dengan segala attribute yang dimilikinya.

Di samping itu, PKI yang sebelumnya hanya berperan sebagai kekuatan politik
oposan, kemudian masuk ke dalam eksekutif. PKI merupakan salah satu aliansi
yang sangat diperlukan oleh Soekarno. Dengan Demokrasi Terpimpin, peluang
PKI untuk memperluas basis politik nya menjadi semakin terbuka. Peluang
menjadi salah satu kekuatan politik pun terbuka lebar. Bahkan sebelum terjadinya
Dekrit, pada pemilihan umum yang dilakukan di Jawa Tengah pada 1957 , PKI
merupakan partai politik yang terbesar, menggantikan Partai Nasional Indonesia.

Di pihak lain, Angkatan Darat juga muncul sebagai kekuatan politik yang sangat
kuat, karena ditopang oleh keadaan. Hal itu terjadi dengan baik diwujudkan dalam
struktur pemerintahan daerah, berhubung negara dalam keadaan darurat pada
masa sejak pertengahan 1950-an. Sejak awal, Angkatan Darat sudah mengamati
bahwa PKI merupakan ancaman yang membahayakan negara kesatuan. Sehingga
oleh A.H Nasution sendiri didirikan partai politik IPKI yang kemudian juga
sejumlah organisasi kemasyarakatan.

Politik pada masa Demokrasi Terpimpin diwarnai oleh tarik ulur yang sangat kuat
antara ketiga kekuatan politik yang utama pada waktu itu yaitu: Presiden
Soekarno, Partai Komunis Indonesia, dan Angkatan Darat
(Kagum,1963;Feith,1963,1964). Soekarno memiliki sejumlah agenda politik
tersendiri, yang dalam perwujudannya membutuhkan aliansi dari salah satu partai
politik yang besar, semacam PKI. Di lain pihak, Soekarno juga mempunyai
kekhawatiran akan semakin kuatnya peranan politik Angkatan Darat yang secara
teritorial praktis mempunyai basis yang sangat kuat. Sementara itu, Partai
Komunis Indonesia mempunyai kepentingan yang sangat besr untuk memperluas
basis politiknya. Dan kesempatan itu terbuka luas ketika Soekarno mengajukan
konsepsinya yang menyangkut pemerintahan Gotong Royong. Menurut George
Kahin, dalam proses tarik ulur tersebut tidak jarang Presiden Soekarno
memperlihatkan kecenderungan untuk lebih memihak kepada PKI kalau terjadi
pergeseran kepentingan pada waktu itu, terutama dengan pihak Angkatan Darat.
Demokrasi Terpimpin merupakan pembalikan total dari proses politik yang
berjalan pada masa demokrasi Parlementer. Apa yang disebut dengan demokrasi
tidak lain merupakan perwujudan kehendak presiden dalam rangka menempatkan
dirinya sebagai satu-satunya institusi yang paling berkuasa di Indonesia. Adapun
karakteristik yang utama dari perpolitikan pada era Demokrasi Terpimpin adalah:

1. Mengaburnya sistem kepartaian. Kehadiran partai-partai politik, bukan untuk


mempersiapkan diri dalam kerangka kontestasi politik untuk mengisi jabatan
politik di pemerintahan (karena pemilihan umum tidak pernah dijalankan), tetapi
lebih merupakan elemen penompang dari tarik tambang antara Presiden Soekarno,
Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia. Namun yang perlu dicatat adalah
bahwa partai-partai politik masih memiliki otonomi dalam proses internalnya,
walaupun kemudian dalam perjalanan selanjutnya dibatasi hanya sepuluh partai
politik saja.

2. Dengan terbentuknya DPR-GR , peranan lembaga legislatif dalam sistem


politik nasional menjadi sedemikian lemah. Sebab, DPR-GR kemudian lebih
merupakan instrumen politik Presiden Soekarno. Proses rekruitmen politik untuk
lembaga ini pun ditentukan oleh Presiden.

3. Basic Human Rights menjadi sangat lemah. Soekarno dengan mudah


menyingkirkan lawan-lawan politiknya yang tidak sesuai dengan kebijaksanaan
nya atau yang mempunyai keberanian untuk menentangnya. Sejumlah lawan
politik nya menjadi tahanan politik Soekarno, terutama yang berasal dari kalangan
Islam dan sosialis.

4. Masa demokrasi Terpimpin adalah masa puncak dari semangat anti kebebasan
pers. Sejumlah surat kabar dan majalah diberangus oleh Soekarno, seperti
misalnya Harian Abadi dari Masyumi dan Harian Pedoman dari PSI.

5. Sentralisasi kekuasaan semakin dominan dalam proses hubungan antara


pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Daerah-daerah memiliki otonomi
daerah no.1/1957, diganti dengan penetapan Presiden, yang kemudian
dikembangkan menjadi undang-undang no. 18 tahun 1965.
3.Demokrasi dalam Pemerintahan Orde Baru

Pemberontakan G-30-S/PKI merupakan titik kulminasi dari pertarungan atau


tarik-tambang politik antara Soekarno, Angkatan Darat dan Partai Komunis
Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, akibat dari usaha kudeta yang gagal dari
PKI membawa akibat yang amat fatal bagi partai itu sendiri, yakni dengan
tersisihkannya partai tersebut dari arena perpolitikan Indonesia.Demikian juga
dengan Soekarno, yang begitu besar kekuasaannya pada masa Demokrasi
Terpimpin (1959-1965),sedikit demi sedikit kekuasaannya dikurangi.Bahkan
Soekarno tersingkir dari politik nasional, sampai meninggal tahun 1971.Akhirnya,
Angkatan Darat muncul sebagai kekuatan politik yang sangat menentukan dalam
proses politik selanjutnya, dengan apa yang dikenal sebagai dwifungsi ABRI.

Era baru dalam pemerintahan dimulai setelah melalui masa transisi yang
singkat, yaitu antara 1965 sampai 1968, ketika Jenderal Soeharto dipilih menjadi
Presiden Republik Indonesia.Era yang kemudian dikenal sebagai orde baru.

Orde Baru memberikan pengharapan baru,terutama yang berkaitan dengan


perubahan-perubahan politik, dari yang bersifat otoriter pada masa Demokrasi
Terpimpin dibawah Soekarno menjadi lebih demokratik.Apakah kenyataannya
memang benar demikian ? Menurut hemat saya, tidak ada perubahan substantif
dari kehidupan pol-itik di Indonesia antara Orde Lama dengan Orde Baru,
terutama pada permulaan Orde Baru sampai berakhirnya Pelita IV, atau memasuki
permulaan 1990-an. Kenyataannya, dalam perjalanan politik Orde Baru,
kekuasaan kepresidenan merupakan pusat dari seluruh proses politik yang berjalan
di Indonesia. Lembaga tersebut merupakan pembentuk dan penentu agenda sosial,
ekonomi, dan politik nasional.Kekuasaan Lembaga Kepresidenan boleh dikatakan
sedemikian besarnya, karena presiden mampu mengontrol rekruitmen politik dan
memiliki sumber daya keuangan yang tidak terbatas. Disamping itu, Presiden
Soeharto sendiri memiliki sejumlah legacies yang tidak dimiliki oleh siapapun,
seperti Pemegang Supersemar,Mandataris MPR, Bapak Pembangunan serta
Panglima tertinggi ABRI.
Sejumlah indikator demokrasi yang digunakan pada awal bab ini dapat kita
jadikan dasar untuk mengamati demokrasi pada masa Orde baru, yang oleh
masyarakat, baik dari kalangan pemerintah, Angkatan Bersenjata, para politisi,
bahkan akademisi, disebut dengan label demokrasi Pancasila.

Rotasi kekuasaan eksekutif boleh dikatakan hampir tidak pernah terjadi.Kecuali


yang terdapat pada jajaran yang lebih rendah,seperti : gubernur, bupati / walikota,
camat dan kepala desa. Kalaupun ada perubahan, selama pemerintahan orde baru
hanya tersedia pada jabatan wakil presiden, sementara pemerintah tahan secara
esensial masih tetap sama.

Demokrasi mempersyaratkan adanya kemungkinan rotasi kekuasaan. Tetapi, hal


itu hampir tidak mungkin terjadi di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru.
Sebagai contoh adalah kasus di Pasuruan dan Kotamadya Pekalongan. Di dua
daerah pemilihan tersebut, yang memenangkan Pemilihan umum pada 1992
adalah Partai Prsatuan Pembangunan (PPP). Seharunya sebagai konsekuensinya
dari sebuah demokrasi, adalah partai yang memenangkan Pemilihan Umum
tersebut yang mempunyai hak membentuk eksekutif.Artinya, kepala daerah di dua
daerah pemilihan tersebut berasal dari PPP. Tetapi kenyataannya tidak demikian.
Pemilihan Umum di Indonesia tidak ada kaitannya dengan pembentukan
eksekutif, apalagi proses rekruitmen politik yang masih tertutup.

Rekruitmen politik tertutup merupakan proses pengisian jabatan politik dalam


penyelenggaraan pemerintahan negara. Termasuk didalamnya adalah jabatan
eksekutif (Presiden disertai dengan para mentri kabinet ), legislatif
(MPR,DPR,DPRD tingkat I, dan DPRD tingkat II dan jabatan lembaga tinggi
negara lainnya , seperti Mahkamah Agung, Dewan Pertimbangan Agung, dan
lain-lain. Dalam negara yang demokratis, semua warga negara yang mampu dan
memenuhi syarat mempunyai peluang yang sama untuk mengisi jabatan politik
tersebut. Akan tetapi, di Indonesia, sistem rekruitmen politik tersebut bersifat
tertutup, kecuali anggota DPR yang berjumlah 400 orang.Pengisian jabatan di
lembaaga tinggi negara, seperti Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan,
Dewan dan Jabatan-jabatan dalam birokrasi dikontrol sepenuhnya oleh lembaga
kepresidenan.

Demikian juga dengan anggota badan legislatif. Anggota DPR sejumlah 100
orang dipilh melalui proses pengangkatan. Demikian juga dengan keanggotaan di
Majelis Permusyawaratan Rakyat, dimana tidak kurang dari 400 orang anggota
lembaga tersebut dipilih oleh DPRD tingkat I, yang kemudian diangkat dengan
surat keputusan presiden, sementara yang 100 orang diangkat oleh presiden, atas
usul dari organisasi kemasyarakatan. Sementara itu dalam kaitanya dengan
rekruitmen politikal lokal seperti gubernur, bupati / walikota masyarakat di daerah
hampir tidak mempunyai peluang untuk ikut menentukan pemimpin mereka,
karena kata akhir tentang siapa yang akan menjabat ada di Jakarta. Jelas, proses
rekruitmen politik ini bertentangan dengan semangat demokrasi. Sebab, menurut
kaidah demokrasi yang umum berlaku, partai yang menang dalam suatu daerah
diberi kesempatan untuk membentuk eksekutif. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi di
Indonesia, karena proses rekruitmen tersebut diatur dengan mekanisme lain.

Pemilihan Umum pada masa pemerintahan Orde Baru, telah dilangsungkan


sebanyak enam kali, dengan frekuensi yang teratur, yaitu setiap lima tahun sekali.
Tetapi, kalau kita mengamati kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum di
Indonesia, mau tidak mau, kita akan sampai pada suatu simpulan, bahwa
Pemilihan umum tersebut masih jauh dari semangat demokrasi. Pemilihan Umum
di Indonesia sejak 1971 dibuat sedemikian rupa, agar Golkar memenangkan
pemilihan dengan mayoritas mutlak. Sehingga, Golkar kemudian menjadi satu
partai hegemonik. Partai-partai politik non pemerintah sama sekali tidak
mempunyai peluang untuk memmenangkan pemilihan, karena kompetisi antara
Golkar dengan partai politik yang lainnya dibuat tidak seimbang. Caranya
bagaimana ? Pertama, melalui seperangkat peraturan pemilihan yang ada, yang
memungkinkan Lembaga Pemilihan Umum LPU dan Panitia Pemilihan umum
memainkan peranan yang sangat dominan, dimulai dari Undang-Undang
Pemilihan Umum sampai seperangkat peraturan pelaksanaannya.
Kedua mekanisme penyelenggaraan, misalnya nominasi calon anggota wakil
rakyat, pengaturan dan pelaksanaan kampanye, pemberian dan perhitungan suara,
dan lain sebagai nya. Pemilihan Umum yang digambarkan sebagai pesta
demokrasi tidak jarang menimbulkan sejumlah masalah yang tidak mengenakkan
bagi masyarakat. Di beberapa daerah di luar jawa, misalnya aparat pemerintah
daerah menempuh berbagai macam cara agar masyarakat memilih Golongan
Karya. Bahkan, tidak jarang pegawai pemerintah daerah sudah melakukan
pencoblosan terlebih dahulu.. Di sulawesi Selatan, misalnya pada berbagai
pemilihan umum hasil perhitungan suara sudah final disiarkan oleh TVRI pada
warta berita pukul 17.00 WIB sore harinya. Semua ini menggambarkan,
bagaimana pemilihan umum diselenggarakan dengan tidak memperhatikan
semangat demokrasi. Dan dari pengalaman penyelenggaraan pemilu tersebut saya
berpendapat bahwa pemilu bukan sarana untuk meningkatkan kehidupan
demokrasi, melainkan merupakan sarana untuk memperoleh legitimasi guna
mendapatkan mandat untuk memerintah selama masa berikutnya.

Basic Human Right. Apakah warga masyarakat dapat menikmati hak-hak


dasarnya? Persoalan ini juga masih merupakan hal yang sangat rumit. Sudah
bukan menjadi Rahasia umum lagi, bahwa dunia Internasional seringkali
menyoroti politik Indonesiabberkaitan erat dengan implementasi masalah hak-hak
asasi manusia. Pertama, masalah kebebasan pers. Persoalan yang paling mendasar
adalah campur tangan birokrasi yang sangat kuat. Hal itu terlihat dari adanya apa
yang disebut dengan instansi SIUPP ( Surat Ijin Usaha Penerbitan ) dan SIT
( Surat Ijin Terbit ). Selama masa pemerintahan Orde Baru, sejarah
pemberangusan surat kabar dan majalah terulang kembali, seperti yang terjadi
pada masa pemerintahan orde lama.

Kedua, menyangkut kebebasan masyarakat pendapat. Didaerah-daerah, hal


tersebut merupakan barang mewah. Aparat Pemerintah Di Daerah, terutama aparat
keamanan, sangat terbatas dalam memberikan ruang gerak bagi masyarakat untuk
menyatakan pendapat. Bagaimana dengn kebebasan untuk berkumpul ? Peranan
Birokrasi untuk mengatur masalah ini juga masih sangat terasa, karena setiap
kegiatan apalagi kegiatan politik harus mendapat ijin dari pemerintah setempat.
Ijin merupakan sesuatu yang sama sekali tidak dapat dihindari untuk melakukan
seminar, sarasehan, bahkan membaca puisi. Akibatnya, masyarakat mempunyai
keterlibatan yang rendah dalam proses pengambilan kebijaksanaan, sehingga tidak
jarang kemudian menimbulkan pembenturan-pembenturan, misalnya yang
menyangkut masalah ganti rugi , penentuan tarif pungutan, dan lai sebagainya.

Dalam implementasinya yang lebih spesifik dari basic human rights di


Indonesia, kita juga menyaksikan kenyataan-kenyataan yang sangat
memprihatinkan, yaitu dengan diberlakukannya prinsip pencekalan terhadap
sejumlah orang yang di anggap mempunyai posisi yang berbeda secara tegas
dengan pemerintah. Misalnya mereka yang termasuk dalam Kelompok Petisi 50.
Hal itu diperlihatkan dengan usaha untuk menghalangi, bahkan melarang, mereka
untuk berpergian ke luar negeri, hadir pada sebuah pertemuuan atau seminar-
seminar, dan aktivitas politik yang lain dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat.

4. Demokrasi Pancasila Era Reformasi hingga saat ini

Sistem Demokrasi yang telah dijalankan selama ini telah menghasilkan banyak
kemjuan yang sangat berarti bagi kehidupan masayrakat secara prosedural. Pemilu
legislatif, pemilu presiden, hingga pilkada dapat berlangsung secara bebas
transparan demokratis dan yang terpenting aman dan tertib. Kebebasan dalam
berpendapat dan berserkat jauh meningkat dari jaman orde baru dimana
kebebasan sangat dibatasi oleh penguasa. Menurut As’ad Said Ali (2009:99) hal
yang paling mendasar dalam demokrasi reformasi ialah dibenahinya beberapa
kelemahan dalam Batang tubuh UUD 1945 yang membuat konstitusi berwajah
beda dari Batang tubuh yang asli.

Perubahan penting dan mendasar tersebut membawa sejumlah harapan baru


ditengah masyarakat seperti yang diungkapkan As’ad Said Ali dalam
bukunya Negara Pancasila :Jalan Kemaslahatan Bangsa(2009). Masyarakat
menghendaki adanya perubahan dan peningkatan kualitas demokrasi seiring
dengan kemajuan prosedur demokrasi. Berikut adalah penjelasan mengenai
demokrasi era reformasi

Demokari masa Reformasi (1998)

Setelah berakhirnya masa pemerintahan orde baru yang ditandai dengan


lengsernya kepemimpinan presiden Soekarnoa pada 1998, bangsa Indonesia
kemudian memasuiki masa orde reformasi (mulai 1988 hingga saat ini). Cerminn
mengenai pelaksanaan demokrasi pada masa reformasi dapat diketahui dari
naskah Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025. Dalam naskah
tersebut diuraikan mengenai keadaan pembangunan demokrasi, sebagaimana
berikut yg merupakan demokrasi era reformasi :

Perkembangan demokrasi sejak 1998 hingga proses diselenggarakannya Pemilu


2004 telah memberikan sebuah kesempatan untuk mengakhiri sebuah masa
transisi demokrasi menuju proses konsolidasi demokrasi.
Adanya pemilihan umum secara langsung, yakni pemilihan presiden dan
wakilnya, pemilihan anggota DPR, PDP, DPRD, dan juga pemilihan kepala
daerah. Hal tersebut merupakan modal awal yang teramat penting dalam
meningkatkan proses perkembangan demokrsi dimasa mndatang.
Dengan terciptanya sebuah hubungan baru antara pemerintah pusat dan daerah
melalui program Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia.
Perkembangan demokrasi juga terlihat dari hubungan antara sipil-militer, yang
menjunjung tinggi supremasi sipil dan hubungan TNI sebagai militer dengan
Kepolisian NKRI (POLRI) terkait dengan hubungan dalam sebuah kewenangan
dalam melaksanakan fungsi pertahanan dan juga kemanan kedulatan bangsa.
Demokrasi pada masa reformasi terlihat dari telah berkembangnya kesadaran
masyarakat mengenai partisipasinya dalam kehidupan perpolitikan nasionl. Yang
juga menjadi jalan untuk terbukanya kesempatan untuk ikut dalam meningkatkan
keehidupan politik dimasyarakat.
Tahapan Demokrasi

Sebagaimana seperti yang tercermin dari naskah RPJP 2005-2025, bahwa proses
demokrasi dalam era reformasi berada dalam tahapan ketiga yakni tahap
konsolidasi reformasi. Seperti berikut penjelasannya mengenai tahapan
demokratisasi:

1. Tahap pertama, yakni peralihan dari kepemimpinan dari penguasa non-


demokratis ke penguasa demokratis.
2. Tahap kedua, yakni pembentukan lembaga-lembaga dan tertib politik
demokrasi
3. Tahap ketiga, yakni Konsolidasi demokrasi
4. Tahap keempat, yakni praktik demokrasi sebagai budaya politik berbangsa
dan bernegara.
Pelaksanaan demokrasi di masa reformasi memiliki beberapa karakteristik yang
memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Berikut ciri-ciri demokrasi secara
umum pada masa Orde Reformasi, diantaranya:

1. Dalam pengamblan sebuh keputusan mengutamakan adanya


musyawarah demi mencapi mufakat.
2. Terlebih dahulu mengutamakan segala kepentingan masyarakat, bangsa
dan negara
3. Tidak melakukan pemaksaan kehendak atau keputusan terhadap orang
lain.
4. Menjunjung tinggi semangat kekeluargaan.
5. Memiliki rasa tanggung jawab dalam pelaksanaan sebuah keputusan
yang dihasilkan dalam sebuah musyawarah. 
6. Dalam melaksanakan demokrasi berdasarkan nilai nilai luhur Pancasila.
Secara teori disebutkan bahwa semakin banyak prinsip-prinsip Demokrasi 
dijalankan, maka sebuah negara akan semakin demokratis. Juga sebaliknya bila
prinsip-prisip demokrasi ditinggalkan maka demokrasi di dalam sebuah negara
akan semakin hilang. Berikut beberapa hasil penelitian mengenai pelaksanaan
demokrasi di Indonesia yang dilakukan oleh lembaga regional maupun nasional. 

Sistem Pemerintahan pada Masa Reformasi (1998 – sekarang), Sistem


pemerintahan dapat terlihat dari aktivitas kenegaraan yang terjadi dalam sebuah
pemerintahan, sebagaimana berikut :

 Kebijakan pemerintah yang memberikan kebebasan dalam mengeluarkan


pendapat dan pikiran baik lisan dan juga tulisan sesuai pasal 28 UUD 1945 yang
terwujud dengan dikeluarkannya UU No 2 / 1999 tentang partai politik yang
memungkinkan adanya multi partai.
 Upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta
bertanggung jawab dibuktikan dengan dikeluarkan ketetapan MPR No IX / MPR /
1998 yang ditindaklanjuti dengan UU No 30/2002 tentang KOMISI
pemberantasan tindak pidana korupsi.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sistem demokrasi dilaksanakan dengan cara yang berbeda-beda antara negara
satu dengan negara lainnya. Hal ini disebabkan oleh sejarah suatu negara tersebut,
pandangan hidup negara tersebut, dan cita-cita dari negara tersebut. Demokrasi di
negara Indonesia melalui beberapa perkembangan yang dapat dibagi menjadi
empat periode yaitu: periode 1945-1959, periode 1959-1965, periode 1966-1998,
dan periode 1999-sekarang.

Pada dasarnya, meskipun sistem demokrasi di Indonesia telah berkembang hingga


dapat dibagi menjadi empat periode, sistem demokrasi di Indonesia masih juga
belum menemui titik cerah. Dari periode pertama sampai periode sekarang ini,
sistem demokrasi di Indonesia masih belum dapat meminimumkan kelemahan-
kelemahannya. Pada periode 1999-sekarang, yang dianggap menjadi periode
kebangkitan di mana pada masa ini peran partai politik kembali menonjol
sehingga iklim demokrasi memperoleh nafas baru, ternyata masih juga memiliki
kelemahan yang cukup mendasar. Secara singkatnya, demokrasi adalah kekuasaan
di tangan rakyat, maka praktik demokrasi tatkala pemilu memang demikian,
namun dalam pelaksanaannya setelah pemilu, banyak kebijakan yang tidak
mendasarkan pada kepentingan rakyat, melainkan lebih kea rah pembagian
kekuasaan antara presiden dan partai politik dalam DPR.

Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya,


sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya
organisasi negara dijamin. Oleh sebab itu, hampir semua pengertian yang
diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi
rakyat kendati secara operasional implikasinya di berbagai negara tidak selalu
sama. Sekedar untuk menunjukkan betapa rakyat diletakkan pada posisi penting
dalam asas demokrasi.

B. Saran
Negara Indonesia telah menunjukkan bahwa sistem pemerintahan yang dianut
adalah sistem demokrasi yang berlandaskan Pancasila. Tidak ada yang salah
dengan kata demokrasi, bahkan negara-negara di dunia begitu mendambakan
demokrasi. Hanya saja ketika demokrasi ini diterapkan, masih belum
menggambarkan adanya suatu usaha yang sinkron dan maksimal dari berbagai
pihak. Sebagai warga negara yang baik, ketika telah mengetahui bahwa sistem
demokrasi diterapkan di negaranya, sudah seharusnya tindakan dan perilaku
warga negara mencerminkan demokrasi yang penuh tanggung jawab. Sistem
demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia melalui lembaga-lembaga perwakilan.
Lembaga-lembaga perwakilan tersebut dipilih secara langsung oleh rakyat,
sehingga sudah sepatutnya bahwa anggota dari lembaga-lembaga perwakilan
bercermin bahwa jabatan yang mereka emban merupakan amanah dari rakyat
untuk dijalankan sebaik mungkin dengan tujuan kesejahteraan.

DAFTAR PUSTAKA

Gaffar, Afan. 2006, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rahayu, A. S. 2013. Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan
(PPKn). Jakarta: Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai