Dosen Pembimbing :
Laily Purnawati, S.IP, M.Si
1.YOGA PRADANA
2.VIKA YOUHANS
3.SURYATI NINGSIH
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
berjudul ”Perjalanan Demokrasi di Indonesia” ini dengan lancar dan tepat waktu.
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami
miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan
makalah ini, khususnya kepada Dosen pengampu yang telah memberikan tugas
dan petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Tulungagung, Desember
2019
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Sampul.......................................................................................... i
Kata Pengantar............................................................................................. ii
Daftar Isi...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................ 1
C. Tujuan.............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Demokrasi Pemerintahan Masa Revolusi Kemerdekaan................. 2-13
B...Demokrasi Terpimpin (1959-1965).................................................. 14-17
C...Demokrasi dalam Pemerintahan Orde Baru..................................... 17-22
B. Demokrasi Pancasila Era Reformasi hingga saat ini....................... 23-26
A. Latar Belakang
Demokrasi merupakan sebuah istilah yang sangat populer. Tidak ada
istilah lain dalam wacana politik yang banyak dibicarakan orang-aktivis, politisi
atau pun akademisi- melebihi istilah demokrasi. Istilah ini juga selalu didambakan
oleh semua orang , terutama yang mempunyai sadaran politik, untuk diwujudkan
dalam kehidupan sehari-hari. Mereka percaya bahwa demokrasi akan lebih
banyak membawa kemaslahatan manusia ketimbang implikasi negatifnya , yakni
mahal dan kompleknya dalam proses pembuatan kebijaksanaan publik. Demokarsi
harus dipahami dari dua dimensi, yaitu: dimensi normatif dan dimensi empirik.
Diensi pertama mengajarkan kepada kita apa yang seharusnya secara idiil dari
demokrasi. “kedaulatan ada ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, “ kata Undang Undang Dasar 1945. Sementara
itu , dimensi empirik demokrasi memperlihatkan pada kita apa yang
sesungguhnya terjadi dalam kehidupan politik sebuah negara , bagaimana bentuk
normatif - idiil tersebut diwujudkan dalam kehidupan politik sehari-hari.
Kedaulatan rakyat diwujudkan dengan pemilihan umum yang bebas dan
persaingan antara partai politik berjalan secara wajar. Kedauatan rakyat
diwujudkan dalam pemberian peluang bagi semua warga negara untuk menduduki
jabatan politik.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Perjalanan Demokrasi di Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa saja perjalanan demokrasi yang ada di Indonesia setelah
masa kemerdekaan sampai sekarang.
BAB II
PEMBAHASAN
Demokrasi Di Indonesia
( Demokrasi Parlementer )
1. Demokrasi Parlementer
Dikarenakan hubungan kita selama tiga atau empat tahun yang terbatas
pada satu atau dua pertemuan setahun..., saya merasa terpanggil untuk
menggunakan bentuk "Surat Terbuka" ini guna meminta perhatian Saudara
terhadap keadaan sekarang ini, yang saya yakini bukan hanya luar biasa
pelik, tapi telah hampir menjadi ledakan. Mungkin Saudara sudah
mengetahui hal-hal yang ingin saya sebutkan disini atau yang sudah saya
sampaikan kepada saudara untuk diperhatikan. Walaupun demikian, saya
rasa perlu hal-hal itu dinyatakan kembali, karena saya tidak melihat adanya
langkah-langkah yang ditempuh untuk memperbaiki keadaan ini.
Sebaliknya, keadaan-keadaan buruk yang berlangsung di negeri kita
sekarang setiap hari semakin buruk.
Orang yang mencoba menjelaskan masalah ini adalah Herbert Feith (1962). Di
dalam karyanya yang monumental, The Decline of Constitutional Democracy in
Indonesia, Feith mengajukan tesis bahwa kegagalan demokrasi parlementer di
indonesia adalah karena adanya dua gaya kepemimpinan yang sangat berbeda di
antara kalangan elite indonesia pada masa pasca kemerdekaan, yaitu di satu pihak
apa yang disebut Feith sebagai solidarity makers, dan di lain pihak yang
dimasukkan kedalam kategori administrator atau problem silver. Mereka
mempunyai visi,gaya,kecakapan dan basis kepemimpinan yang berbeda di dalam
mencoba membawa Indonesia merdeka sebagai sebuah negara yang modern.
Sehingga kemudian terjadi konflik yang berkepanjangan diantara kedua jenis
kelompok elite tersebut, yang akhirnya menggagalkan proses demokrasi itu
sendiri.
Harry J. Benda, seorang sejarawan sosial dan politik, mengkritik tesis Feith
sebagai a-historic. Dikatakan oleh Benda :
"I believe that it tak es an unhistorial starting point or, to put it more
precisely, that it sees postwar Indonesia primarily as a continuation of the
country's most recent hiatory, while it largely ignores what has gone
before. In point of fact, however, the modern Colonial era (including the
japanese occupation) was a brief intelude in Indonesian history , a
deviation we night almost say, from that history in that subjected the
country to alien dictation." (Benda, dalam Anderson and Kahin, 1982,p.
16)
Oleh karena itu, kata Benda, pertanyaan yang diajukan oleh Herbert Feith
adalah pertanyaan yang "aneh". Kita seharusnya bukan menanyakan "mengapa
demokrasi di Indonesia gagal," tetapi, yang paling penting adalah "mengapa ada
demokrasi di Indonesia?" Tentang tesis Feith tersebut, dengan keras sekali Benda
menyatakan , bahwa: "He is essentially presenting us highly sophisticated and
persuasive answers to an in trinsically mistaken, or irrelevant, question".
Selanjutnya, menurut Benda, Feith tidak memperhatikan hal yang menyangkut
konsep legitimasi kekuasaan. Sehingga apa yang disebut sebagai problem solvers
yang dominan dalam proses politik yang berjalan, sebenarnya tidak lain daripada
sekelompok orang yang asing di tanahnya sendiri, yang tidak memiliki basis
legitimasi kekuasaan, yang tentu saja ditentang oleh kalangan solidarity makers.
Perdebatan tentang gagal nya demokrasi parlementer akhir akhir ini muncul
kembali ketika Adnan Buyung Nasution (1993),didalam diserasinya , mengajukan
tesis bahwa kegagalan demokrasi parlementer itu disebabkan adanya persamaan
kepentingan antara Presiden Soekarno dengan kalangan Angkatan Darat, yang
sama-sama tidak senang dengan proses politik yang berjalan. Tentu saja, tesis
yang diajukan Adnan Buyung Nasution merupakan sesuatu yang sangat menarik.
Tetapi, menurut hemat saya, tesis Buyung terlampau sederhana untuk menjelaskan
sebuah segala yang sangat kompleks, dan tidak dilandasi kerangka konsep tentang
bagaimana demokrasi seharusnya bekerja.
Hal tersebut kita temukan dalam pola pemilihan sosial di Indonesia, yang
membawa dampak dalam sistem kepartaian pada masa pasca-kemerdekaan. Oleh
Herbert Feith dan Lance Castles (1970), sistem kepartaian di Indonesia itu
kemudian dikelompokkan ke dalam lima aliran besar, yaitu : Islam ,Jawa
Traditionalist , Demoxratic Socialist, Radical Nationalist, dan Comunist. Islam
merupakan suatu kekuatan politik sendiri, yang ditopang oleh sejumlah organisasi
massa. Demikian juga dengan yang nasionalis, kelompok aliran yang lain nya.
Pemilahan tersebut umunya tidak bersifat cross-cutting, tetapi mempunyai
kecenderungan untuk berakumulasi, bahkan konsolidatif. Sebagai contoh, Partai
Masyumi (dengan organisasi afiliasi yang sangat besar: PII, HMI, GPII, dan lain-
lain) didukung oleh kalangan Islam yang santri, yang berorientasi kepada
modernitas,banyak didaerah perkotaan , dominan berasal dari luar jawa , dan lain
sebagainya. Sementara, Partai Nasional Indonesia (Pemuda
Demokrat,GMNI,Petani,Wanita Demokrat, GSNI) berasal dari kalangan abangan
atau kalangan Islam yang sekular, dominan terdapat di Jawa , dan lain-lain.
Apakah dampak dari pemilahan sosial seperti itu? Pertama, munculnya konflik
yang bersifat sentrifugal. Dalam arti, konflik itu cenderung meluas melewati batas
wilayah, akibatnya sulit diatasi, dan akhirnya akan membawa dampak yang sangat
negatif terhadap stabilitas politik. Kedua, koalisi antara kekuatan politik yang ada,
terutama didalam membentuk eksekutif, boleh dikatakan menjadi sangat lemah.
Satu kekuatan politik hampir tidak dapat memberikan kesempatan agar kekuatan
politik lainnya mempunyai kesempatan untuk membentuk eksekutif dan
menjalankan progam pemerintahannya. Sementara itu, koalisi baru akan dapat
terwujud apabila memenuhi dua syarat utama, yaitu adanya kompatibilitas
kepemimpinan di antara para tokoh partai dan kedekatan ideologi antara partai
yang berkoalisi. Kalau kedua syarat ini tidak terpenuhi, koalisi akan sangat rapuh.
Hal seperti itulah yang umumnya terjadi pada masa demokrasi parlementer.
Pemilihan Umum yang diharapkan sebagai obat penawar dari ketidakstabila
politik pada masa sebelumnya, ternyata tidak mampu melahirkan suatu
pemerintahan yang kuat. Hal ini terjadi karena tidak ada satu partai politik pun
yang mampu memegang mayoritas yang kuat yang kemudian membentuk
eksekutif. Akibatnya, koalisi harus dilakukan pada setiap pembentukan kabinet.
Pemerintahan pada masa pasca pemilihan umum 1955 merupakan koalisi diantara
sejumlah partai politik. Tetapi, masing partai mempunyai kemampuan untuk
melakukan apa yang disebut political-black-mailing. Dalam arti, kalau keinginan
sebuah partai tidak terpenuhi, maka ia akan dengan mudah menarik dukungan
untuk koalisi dan bergabung dengan oposisi untuk melakukan mosi tidak percaya.
Akibatnya, jarang ada kabinet yang berumur panjang, dan stabilitas politik pun
menjadi sangat rendah. Itulah kenyataan politik yang terjadi pada pemerintahan
parlementer.
Hal ini hendaknya perlu kita dapat catat adalah kinerja dari demokrasi
parlementer mempunyai kaitan sangat erat dengan topangan ekonomi yang masih
sangat lemah. Dikalangan ilmuwan politik, diantaranya Seymour Martin Lipset,
Karl W. Deutsch, dan Bingham Powell, terdapat suatu keyakinan bahwa
demokrasi baru akan berjalan dengan baik kalau ditopang oleh kondisi sosial
ekonomi yang kuat. Terutama dilihat dari besar kecilnya pendapatan perkapita
masyarakat, tinggi rendahnya kemampuan baca tulis (literacy), urbanisasi, dan
besar kecilnya masyarakat yang terekpose di media massa. Kalau kita
menggunakan konsep ini sbagai titik tolak untuk berpijak, kita seharusnya tidak
heran kalau demokrasi parlementer mengalami kegagalan di dalam
memperlihatkan kinerjanya dengan baik. Pada waktu itu, tingkat pendapatan
pendapatan perkapita masyarakat kita masih sangat rendah. Demikian juga dengan
kemampuan baca tulis, yang barangkali baru mencapai sekitar 20%. Logikanya
adalah, bagaimana orang dapat berpolitik dan menggunakan hak-hak politik
dengan baik dan penuh tanggung jawab kalau masyarakatnya masih sangat
tradisional.
Apa makna dari ini semua? Bahwa nilai demokrasi tidak ditopang oleh
tatanan sosial kita yang masih sangat hierarkis. Terutama yang bersumber dari
sistem nilai dalam tatanan sosial Jawa, di mana strata sosial yang tegas antara
wong cilik dengan wong gede sangat mewarnai perilaku politik masyarakat pada
umumnya. Kalau kita kembali ke tesis Feith, mereka yang masuk ke dalam
kelompok solidarity-makers yang tersisih kan dari perpolitikkan pada masa itu
tentu saja akan sulit mendukung pemerintahan yang dibentuk pada kabinet yang
parlementarian.
Di sinilah kita melihat bagaimana posisi soekarno dalam proses politik yang
berjalan, di mana dia yang begitu dominan dalam awal pembentukan republik ini,
kemudian tersisih kan dari proses politik. Sebab, dia hanya sebagai kepala negara
yang tidak mempunyai otoritas untuk menjadi agenda setter dalam pembentukan
kebijaksanaan pemerintah pada waktu itu. Demikian juga halnya dengan interest
politik kalangan angkatan darat, yang tidak mendapat tempat yang sewajarnya.
Tetapi, seperti yang saya nyatakan sebelumnya, bahwa hal ini sudah banyak
diungkapkan. Sehingga saya tidak perlu mengulanginya lagi pada bagian ini.
Dekrit Presiden tersebut memberikan peluang yang sangat besar bagi Presiden
Soekarno untuk mewujudkan gagasan politiknya dan membuka kesempatan yang
sangat besar baginya untuk memainkan peranan politik yang selama ini tidak
dapat dilakukan karena posisinya sebagai kepala negara. Sebagai Presiden,
kemudian Soekarno menunjuk seorang "warga negara Soekarno" untuk
membentuk kabinet yaitu Perdana Menteri nya adalah presiden sendiri. Di
samping itu dengan kewenangan yang dimilikinya, Soekarno kemudian
membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) sebagai
lembaga perwakilan rakyat yang menggantikan Dewan Konstituante. Demokrasi
Terpimpin memungkinkan Soekarno untuk menjadi salah satu agenda setter
politik Indonesia, yang akhirnya membuat dia menjadi pemimpin yang sangat
berkuasa menjadi seorang diktator. Proses politik yang berjalan kemudian
semuanya bermuara pada Soekarno, dengan segala attribute yang dimilikinya.
Di samping itu, PKI yang sebelumnya hanya berperan sebagai kekuatan politik
oposan, kemudian masuk ke dalam eksekutif. PKI merupakan salah satu aliansi
yang sangat diperlukan oleh Soekarno. Dengan Demokrasi Terpimpin, peluang
PKI untuk memperluas basis politik nya menjadi semakin terbuka. Peluang
menjadi salah satu kekuatan politik pun terbuka lebar. Bahkan sebelum terjadinya
Dekrit, pada pemilihan umum yang dilakukan di Jawa Tengah pada 1957 , PKI
merupakan partai politik yang terbesar, menggantikan Partai Nasional Indonesia.
Di pihak lain, Angkatan Darat juga muncul sebagai kekuatan politik yang sangat
kuat, karena ditopang oleh keadaan. Hal itu terjadi dengan baik diwujudkan dalam
struktur pemerintahan daerah, berhubung negara dalam keadaan darurat pada
masa sejak pertengahan 1950-an. Sejak awal, Angkatan Darat sudah mengamati
bahwa PKI merupakan ancaman yang membahayakan negara kesatuan. Sehingga
oleh A.H Nasution sendiri didirikan partai politik IPKI yang kemudian juga
sejumlah organisasi kemasyarakatan.
Politik pada masa Demokrasi Terpimpin diwarnai oleh tarik ulur yang sangat kuat
antara ketiga kekuatan politik yang utama pada waktu itu yaitu: Presiden
Soekarno, Partai Komunis Indonesia, dan Angkatan Darat
(Kagum,1963;Feith,1963,1964). Soekarno memiliki sejumlah agenda politik
tersendiri, yang dalam perwujudannya membutuhkan aliansi dari salah satu partai
politik yang besar, semacam PKI. Di lain pihak, Soekarno juga mempunyai
kekhawatiran akan semakin kuatnya peranan politik Angkatan Darat yang secara
teritorial praktis mempunyai basis yang sangat kuat. Sementara itu, Partai
Komunis Indonesia mempunyai kepentingan yang sangat besr untuk memperluas
basis politiknya. Dan kesempatan itu terbuka luas ketika Soekarno mengajukan
konsepsinya yang menyangkut pemerintahan Gotong Royong. Menurut George
Kahin, dalam proses tarik ulur tersebut tidak jarang Presiden Soekarno
memperlihatkan kecenderungan untuk lebih memihak kepada PKI kalau terjadi
pergeseran kepentingan pada waktu itu, terutama dengan pihak Angkatan Darat.
Demokrasi Terpimpin merupakan pembalikan total dari proses politik yang
berjalan pada masa demokrasi Parlementer. Apa yang disebut dengan demokrasi
tidak lain merupakan perwujudan kehendak presiden dalam rangka menempatkan
dirinya sebagai satu-satunya institusi yang paling berkuasa di Indonesia. Adapun
karakteristik yang utama dari perpolitikan pada era Demokrasi Terpimpin adalah:
4. Masa demokrasi Terpimpin adalah masa puncak dari semangat anti kebebasan
pers. Sejumlah surat kabar dan majalah diberangus oleh Soekarno, seperti
misalnya Harian Abadi dari Masyumi dan Harian Pedoman dari PSI.
Era baru dalam pemerintahan dimulai setelah melalui masa transisi yang
singkat, yaitu antara 1965 sampai 1968, ketika Jenderal Soeharto dipilih menjadi
Presiden Republik Indonesia.Era yang kemudian dikenal sebagai orde baru.
Demikian juga dengan anggota badan legislatif. Anggota DPR sejumlah 100
orang dipilh melalui proses pengangkatan. Demikian juga dengan keanggotaan di
Majelis Permusyawaratan Rakyat, dimana tidak kurang dari 400 orang anggota
lembaga tersebut dipilih oleh DPRD tingkat I, yang kemudian diangkat dengan
surat keputusan presiden, sementara yang 100 orang diangkat oleh presiden, atas
usul dari organisasi kemasyarakatan. Sementara itu dalam kaitanya dengan
rekruitmen politikal lokal seperti gubernur, bupati / walikota masyarakat di daerah
hampir tidak mempunyai peluang untuk ikut menentukan pemimpin mereka,
karena kata akhir tentang siapa yang akan menjabat ada di Jakarta. Jelas, proses
rekruitmen politik ini bertentangan dengan semangat demokrasi. Sebab, menurut
kaidah demokrasi yang umum berlaku, partai yang menang dalam suatu daerah
diberi kesempatan untuk membentuk eksekutif. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi di
Indonesia, karena proses rekruitmen tersebut diatur dengan mekanisme lain.
Sistem Demokrasi yang telah dijalankan selama ini telah menghasilkan banyak
kemjuan yang sangat berarti bagi kehidupan masayrakat secara prosedural. Pemilu
legislatif, pemilu presiden, hingga pilkada dapat berlangsung secara bebas
transparan demokratis dan yang terpenting aman dan tertib. Kebebasan dalam
berpendapat dan berserkat jauh meningkat dari jaman orde baru dimana
kebebasan sangat dibatasi oleh penguasa. Menurut As’ad Said Ali (2009:99) hal
yang paling mendasar dalam demokrasi reformasi ialah dibenahinya beberapa
kelemahan dalam Batang tubuh UUD 1945 yang membuat konstitusi berwajah
beda dari Batang tubuh yang asli.
Sebagaimana seperti yang tercermin dari naskah RPJP 2005-2025, bahwa proses
demokrasi dalam era reformasi berada dalam tahapan ketiga yakni tahap
konsolidasi reformasi. Seperti berikut penjelasannya mengenai tahapan
demokratisasi:
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistem demokrasi dilaksanakan dengan cara yang berbeda-beda antara negara
satu dengan negara lainnya. Hal ini disebabkan oleh sejarah suatu negara tersebut,
pandangan hidup negara tersebut, dan cita-cita dari negara tersebut. Demokrasi di
negara Indonesia melalui beberapa perkembangan yang dapat dibagi menjadi
empat periode yaitu: periode 1945-1959, periode 1959-1965, periode 1966-1998,
dan periode 1999-sekarang.
B. Saran
Negara Indonesia telah menunjukkan bahwa sistem pemerintahan yang dianut
adalah sistem demokrasi yang berlandaskan Pancasila. Tidak ada yang salah
dengan kata demokrasi, bahkan negara-negara di dunia begitu mendambakan
demokrasi. Hanya saja ketika demokrasi ini diterapkan, masih belum
menggambarkan adanya suatu usaha yang sinkron dan maksimal dari berbagai
pihak. Sebagai warga negara yang baik, ketika telah mengetahui bahwa sistem
demokrasi diterapkan di negaranya, sudah seharusnya tindakan dan perilaku
warga negara mencerminkan demokrasi yang penuh tanggung jawab. Sistem
demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia melalui lembaga-lembaga perwakilan.
Lembaga-lembaga perwakilan tersebut dipilih secara langsung oleh rakyat,
sehingga sudah sepatutnya bahwa anggota dari lembaga-lembaga perwakilan
bercermin bahwa jabatan yang mereka emban merupakan amanah dari rakyat
untuk dijalankan sebaik mungkin dengan tujuan kesejahteraan.
DAFTAR PUSTAKA