SBK
MENYIAPKAN NASKAH TEATER KONTEMPORER
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNya sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
untuk para pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
A. LATAR BELAKANG
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa menilai,
desain besar penataan sistem politik saat ini masih dikaji oleh DPR dan
pemerintah. Pada masa sidang mendatang, setiap fraksi di DPR akan
mengadakan diskusi serta berkonsultasi kepada berbagai institusi, seperti
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
serta sejumlah kelompok masyarakat sipil yang bergerak di bidang demokrasi
dan kepemiluan.”Memang kita belum bicara resmi, tetapi gambarannya sudah
ada. Oleh karena itu, sekarang tiap fraksi sedang melakukan kajian, dan
tentunya publik, akademisi, akan dilibatkan. Masukan publik akan dijadikan
bahan masukan,” kata Saan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang di maksud dnegan penataan kehidupan politik ?
2. Bagaimana berlakunya demokrasi libersal dan demokrasi terpimpin ?
C. TUJUAN
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata pelajaran Sejarah Indonesia
tentang Penataan kehidupan politik dan Berlakunya demokrasi liberal dan
demokrasi terpimpin.
BAB II
PEMBAHASAN
Di Indonesia, oleh Sanit ada faktor lain dalam perkembangan Indonesia pada
saat ini, yakni faktor histori. Menurut Sanit, histori dianggap sebagai variabel
bebas dalam membaca korelasi antara aspek pertumbuhan ekonomi yang
berkecepatan tinggi dengan peranan politik militer.Untuk menjamin kestabilan
politik, sistem politik perlu mendorong munculnya kepemimpinan yang moderat
di dalam spektrum politik yang begitu plural di Indonesia.Di dalam buku ini, Sanit
menguraikan berbagai persoalan yang dialami Indonesia pada saat buku ini
dibuat pertama kalinya. Polemik soal militer yang mencampuri urusan politik
dalam usahanya menstabilkan kondisi politik yang berujung kepada respresi di
masa Orde Baru dan pembukaan kran invenstasi asing.
Pada masa Orde Baru, kemunculan militer di panggung politik ditandai dengan
Golkar yang membawahi kesatuan petani, kesatuan guru, kesatuan buruh,
organisasi keagamaan, ABRI, dan sebagainya.Sanit menyimpulkan bahwa
kestabilan politik yang selama ini diselenggarakan oleh pemerintah merupakan
hasil dari sokongan militer serta membuka ruang-ruang partisipasi politik
masyarakat. Namun partisipasi ini masih dibatasi karena tujuan dari
pemerintahan saat itu adalah stabilitas ekonomi, sehingga aktivitas politik yang
mengganggu akan segera dihabiskan.
Pembangunan Nasional
Trilogi Pembangunan
Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah
selanjutnya yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah melaksanakan
pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah
waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka pendek dan Pembangunan
Jangka Panjang. [butuh rujukan] Pambangunan Jangka Pendek dirancang
melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi
pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat
Indonesia. Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30
tahun. Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa,
dan Negara. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam upaya mewujudkan
tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yaitu:[butuh rujukan]
Pelita I
Pelita I dilaksanakan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan menjadi
landasan awal pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah
meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi
pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya adalah pangan, sandang, perbaikan
prasarana perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan
rohani. Titik beratnya adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan
tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan
bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil
pertanian.[butuh rujukan]
Pelita II
Pelita II mulai berjalan sejak tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979. Sasaran
utama Pelita II ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana
prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja.
Pelaksanaan Pelita II dipandang cukup berhasil. Pada awal pemerintahan Orde
Baru inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I inflasi berhasil ditekan menjadi
47%. Dan pada tahun keempat Pelita II inflasi turun menjadi 9,5%.[butuh
rujukan]
Pelita III
Pelita III dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984. [butuh
rujukan] Pelaksanaan Pelita III masih berpedoman pada Trilogi Pembangunan,
dengan titik berat pembangunan adalah pemerataan yang dikenal dengan
Delapan Jalur Pemerataan.
Pelita IV
Pelita IV dilaksanakan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik berat
Pelita IV ini adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan
meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Dan di
tengah berlangsung pembangunan pada Pelita IV ini yaitu awal tahun 1980
terjadi resesi.[butuh rujukan] Untuk mempertahankan kelangsungan
pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal.
Dan pembangunan nasional dapat berlangsung terus.
Pelita V
Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pembangunan
ditekankan pada sector pertanian dan industri. Pada masa itu kondisi ekonomi
Indonesia berada pada posisi yang baik, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar
6,8% per tahun.[butuh rujukan] Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan
gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding
sebelumnya.
Pelita VI
Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan
pada Pelita VI ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan
industri dan pertanian, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai
pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak pembangunan.
[butuh rujukan] Namun pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda
negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan
peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian telah
menyebabkan proses pembangunan terhambat, dan juga menyebabkan
runtuhnya pemerintahan Orde Baru.
Merupakan bank sirkulasi. Bank sentral yang statusnya masih dalam bayang-
bayang Belanda. Pemimpin dan personalianya hampir seluruhnya orang Belanda,
sesuai dengan hasil KMB maka:
D. Plan Kasimo
Kasimo, menteri urusan bahan makanan membuat rencana produksi tiga tahun
1948-1950. Rencana ini dikenal dengan sebutan Plan Kasimo yang menitik
beratkan pada sektor pertanian. Langkah-langkahnya sebagai berikut:
E. Gunting Safrudin
Latar Belakang Gagalnya usaha untuk kembali ke UUD 1945 dengan melalui
Konstituante dan rentetan peristiwa-peristiwa politik yang mencapai klimaksnya
dalam bulan Juni 1959 akhirnya mendorong Presiden Soekarno untuk sampai
kepada kesimpulan bahwa telah muncul suatu keadaan kacau yang
membahayakan kehidupan negara. Demokrasi liberal dikenal pula sebagai
demokrasi parlementer karena pada saat itu berlangsung sistem pemerintahan
parlementer.
Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 Masalah kita bangsa Indonesia hanya bisa
dipecahkan dengan perumusan nilai-nilai murni bangsa sendiri. Sebagian
kelompok merasa merdeka dengan diberlakukannya sistem domokrasi di
Indonesia. Praktik demokrasi liberal dan menawarkan kembali konsepsinya
tentang demokrasi Indonesia yang disebutnya sebagai Demokrasi Terpimpin
Guided Democracy Demokrasi Terpimpin Soekarno kemudian runtuh setelah
terjadinya peristiwa perebutan kekuasaan yang melibatkjan unsur komunis PKI
dan angkatan. Demokrasi terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi di mana
seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin negara kala itu
Presiden Soekarno.
1. Demokrasiliberal ( 1950-1959)
Era Demokrasi Liberal (1950–1959) yang dikenal pula dengan Era Demokrasi
Parlementer adalah era ketika Presiden Soekarno memerintah menggunakan
konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950. Periode ini
berlangsung dari 17 Agustus 1950 (sejak pembubaran Republik Indonesia
Serikat) sampai 5 Juli 1959 (keluarnya Dekret Presiden). Pada masa ini terjadi
sejumlah peristiwa penting, seperti Konferensi Asia–Afrika di Bandung, pemilihan
umum pertama di Indonesia dan pemilihan Konstituante, serta periode
ketidakstabilan politik yang berkepanjangan, dengan tidak ada kabinet yang
bertahan selama dua tahun. Seiring dengan berakhirnya perjuangan untuk
mengamankan kemerdekaan Indonesia, perpecahan di kalangan masyarakat
Indonesia mulai muncul. Perbedaan antardaerah dalam hal adat istiadat, moral,
tradisi, agama, pengaruh Marxisme, serta ketakutan akan dominasi politik Jawa,
semuanya berkontribusi pada perpecahan. Sebagai negara baru, Indonesia
memiliki masalah kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan tradisi
otoriter.[1] Berbagai gerakan separatis juga muncul untuk menentang Republik
Indonesia: militan Darul Islam memproklamasikan "Negara Islam Indonesia" dan
bergerilya melawan Republik Indonesia di Jawa Barat dari tahun 1948 hingga
1962; di Maluku, orang-orang Ambon yang dulunya adalah Tentara Kerajaan
Hindia Belanda (KNIL) memproklamasikan kemerdekaan Republik Maluku
Selatan; ditambah dengan pemberontakan di Sumatra dan Sulawesi antara tahun
1955 dan 1961. Perekonomian Indonesia terpuruk setelah tiga tahun
pendudukan Jepang, kemudian empat tahun perang melawan Belanda. Di tangan
pemerintahan yang masih muda dan belum berpengalaman, perekonomian tidak
mampu mendorong produksi pangan dan kebutuhan lain untuk mengimbangi
pertambahan penduduk. Sebagian besar penduduk buta huruf, tidak terampil,
dan tidak memiliki kemampuan manajerial.
Salah satu hasil dari Konferensi Meja Bundar tahun 1949 adalah terbentuknya
Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Pembentukan negara federal yang
diprakasai oleh Belanda untuk melemahkan integrasi Indonesia sebagai negara
kesatuan ternyata tidak didukung masyarakat Indonesia. Banyak negara bagian
yang menyatakan ingin kembali ke negara kesatuan dan pada 15 Agustus 1950,
Perdana Menteri Kabinet RIS Mohammad Hatta menyerahkan mandatnya kepada
Presiden Soekarno.
UUDS 1950 sangat berbeda dengan UUD 1945 dalam banyak hal; ia
mengamanatkan sistem pemerintahan parlementer dan menetapkan secara
panjang lebar jaminan konstitusional untuk hak asasi manusia, yang sangat
mengacu pada Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia oleh PBB
tahun 1948.[3] Konstituante
AKonstituante dan Daftar anggota Konstituante
Pada tahun 1955, Indonesia melaksanakan pemilihan umum nasional yang
pertama. Pada bulan September, rakyat memilih wakil untuk DPR, dan pada
bulan Desember pemilih kembali memilih wakil-wakil yang lebih banyak lagi
sebagai anggota Konstituante.Konstituante, setelah dipilih pada tahun 1955,
mulai bersidang pada bulan November 1956 di Bandung, ibu kota Jawa Barat,
untuk membuat UUD yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Perdebatan,
permusyawaratan, dan penulisan draf-draf UD berlangsung selama dua setengah
tahun.
Perdebatan isu dasar negara (terutama antara golongan yang mendukung Islam
sebagai dasar negara dan golongan yang mendukung Pancasila) terjadi sangat
sengit. Walaupun para pimpinan Konstituante merasa sudah lebih dari 90%
materi undang-undang dasar telah disepakati, dan walaupun ada beberapa tokoh
partai politik Islam yang merasa siap berkompromi, Konstituante tidak sempat
menyelesaikan tugasnya.
Awal Akhir
Nama Perdana Jumlah Masa
No. masa masa
kabinet Menteri personel kerja
kerja kerja
6 21
Mohammad 6 bulan
1. Natsir 18 Septembe Maret
Natsir 15 hari
r 1950 1951
23
Sukiman- Sukiman 27 April 9 bulan
2. 20 Februari
Suwirjo Wirjosandjojo 1951 27 hari
1952
3 April 3 Juni 1 tahun 2
3. Wilopo Wilopo 18
1952 1953 bulan
12
Burhanuddin Burhanuddin 3 Maret 6 bulan
5. 23 Agustus
Harahap Harahap 1956 19 hari
1955
Kabinet Natsir jatuh pada 21 Maret 1951 dalam periode 6,5 bulan dan belum
sempat melaksanakan program-programnya. Jatuhnya kabinet ini karena adanya
mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah
mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap Peraturan Pemerintah No. 39
Tahun 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut
disetujui parlemen sehingga Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada
Presiden.
Kabinet Wilopo
Artikel utama: Kabinet Wilopo
Program kerja kabinet Wilopo:
Kabinet ini jatuh tidak diakibatkan oleh keretakan di dalam tubuh kabinet, juga
bukan karena dijatuhkan oleh kelompok oposisi yang mencetuskan mosi tidak
percaya dari parlemen, tetapi karena merasa tugasnya sudah selesai. Pada
tanggal 2 Maret 1956 pukul 10.00 siang, Kabinet Burhanuddin Harahap
mengundurkan diri, sekaligus menyerahkan mandatnya kepada Presiden untuk
dibentuk kabinet baru berdasarkan hasil pemilihan umum. Kabinet ini terus
bekerja sebagai kabinet demisioner selama 20 hari sampai terbentuknya kabinet
baru yakni Kabinet Ali–Roem–Idham yang dilantik tanggal 24 Maret 1956 dan
serah terima dengan Kabinet Burhanuddin Harahap dilakukan tanggal 26 Maret
1956.
Kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo II mendapat dukungan penuh dari presiden dan
dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment, yang hasilnya
adalah pembatalan seluruh perjanjian KMB. Kabinet ini pun berumur tidak lebih
dari satu tahun dan akhirnya digantikan oleh Kabinet Djuanda karena mundurnya
sejumlah menteri dari Masyumi yang membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh
dan menyerahkan mandatnya pada Presiden.
Kabinet Djuanda
Artikel utama: Kabinet Djuanda
Kabinet Djuanda atau juga disebut Kabinet Karya dipimpin oleh Perdana Menteri
Djoeanda Kartawidjaja dari PNI, beserta tiga orang Wakil Perdana Menteri yaitu
Hardi dari PNI, Idham Chalid dari NU, serta Johannes Leimena dari Parkindo.
Kabinet ini memiliki 5 program yang disebut Pancakarya yaitu
Gagasan Sumitro kemudian ditetapkan dalam program Kabinet Natsir Pada bulan
April 1950 dengan nama Program Benteng. Program Benteng tahap 1 resmi
dijalankan selama 3 tahun (1950-1953) dengan 3 kabinet berbeda (Natsir,
Sukiman, dan Wilopo). Selama 3 tahun, lebih dari 700-an bidang usaha
bumiputera memperoleh bantuan kredit dari program ini.
Akan tetapi, hal yang diharapkan dari program ini tidak sepenuhnya tercapai,
bahkan banyak pula yang membebani keuangan negara. Ada banyak faktor yang
menyebabkan kegagalan program ini, salah satunya mentalitas para pengusaha
bumiputera yang konsumtif, besarnya keinginan untuk memperoleh keuntungan
secara cepat, dan menikmati kemewahan.
Program Benteng tahap 2 dimulai pada masa Kabinet Ali pertama. Program
Benteng tahap 2 merancang pemberian kredit dan lisensi pada pengusaha
swasta nasional bumiputera agar dapat bersaing dengan para pengusaha non
bumiputera. Jika pada awal tahun 1943 para importir pribumi hanya menerima
37,9% dari total ekspor impor, maka mereka telah menerima 80% sampai 90%
pada masa Kabinet Ali. Total dari 700 perusahaan yang menerima bantuan
menjadi 4000-5000 perusahaan.
Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) berintikan Masyumi dan PSI dengan
Mohammad Natsir sebagai perdana menteri. Kebijakan-kebijakan Natsir yang
mengutamakan pembangunan perekonomian negara dianggap telah
mengabaikan masalah kedaulatan Papua oleh partai oposisi. Soekarno pun
menyetujui bahwa masalah kedaulatan Papua (yang melalui perundingan tidak
mengalami kemajuan) tidak boleh disepelekan. Kondisi ini membuat Natsir
bersikeras agar Soekarno membatasi dirinya dalam peran presiden yang hanya
sebagai lambang saja. Puncaknya, Natsir menyerahkan jabatannya yang
kemudian digantikan oleh Sukiman pada April 1951.
Jatuhnya Kabinet Sukiman disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran
nota keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan
Duta Besar AS Merle Cochran. Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS
kepada Indonesia didasarkan pada ikatan Mutual Security Act (MSA) yang di
dalamnya terdapat pembatasan terhadap kebebasan politik luar negeri yang
bebas aktif. Indonesia diwajibkan lebih memperhatikan AS sehingga tindakan
Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif
dan dianggap lebih condong ke blok Barat. Selain itu, penyebab lainnya adalah
semakin meluasnya korupsi di kalangan birokrat dan gagalnya Kabinet Sukiman
dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.
Lain halnya dengan Kabinet Ali I (kabinet koalisi antara PNI dan NU), kabinet ini
jatuh karena tidak dapat menyelesaikan kemelut yang ada di tubuh Angkatan
Darat dan pemberontakan DI/TII yang berkobar di Jawa Barat, Sulawesi Selatan,
dan Aceh. Selain itu, ada pula konflik antara PNI dan NU yang mengakibatkan NU
menarik semua menterinya yang duduk di kabinet.
Pembentukan MPRS
Pada tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk kabinet kerja. Karena tidak ada
wakil presiden, maka presiden mengadakan jabatan menteri pertama. Ir. Juanda
ditunjuk untuk memegang jabatan itu. Program kabinet kerja disebut dengan Tri
Program meliputi:
Front Nasional dibentuk berdasarkan Penpres No. 13 tahun 1959. Tujuan dari
Front nasional adalah menyatukan segala bentuk potensi nasional menjadi suatu
kekuatan menyukseskan pembangunan. Front Nasional dipimpin oleh Prsiden.
Tugas dari Front Nasional adalah:
Pembubaran DPR hasil Pemiu 1955 disebabkan oleh penolakan DPR terhadap
RAPBN tahun 1960 yang diajukan oleh pemerintah. Presiden kemudian
mengeluarkan Penpres yang menyatakan DPR dibubarkan. Sebagai gantinya
presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat gotong-Royong (DPR-GR) yang
anggotanya ditunjuk oleh presiden. Tugas DPR-GR adalah: melaksanakan
manifesto politik, mewujudkan amanat penderitaan rakyat, melaksanakan
demokrasi terpimpin.
Pembubaran Masyumi dan PSI
Deklarasi Ekonomi atau Dekan disusun oleh Panitia 13. Anggota panitia ini bukan
hanya para ahli ekonomi, namun juga melibatkan para pimpinan partai politik,
anggota Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR), pimpinan DPR, DPA.
Panitia ini menghasilkan konsep yang kemudian disebut Deklarasi Ekonomi
(Dekon) sebagai strategi dasar ekonomi Indonesia dalam rangka pelaksanaan
Ekonomi Terpimpin
Adanya devaluasi terhadap mata uang Rp. 1.000 menjadi Rp. 1
Pembentukan Bank Tunggal Milik Negara.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, politik luar negeri Indonesia lebih condong ke
blok Timur hal ini dikarenakan kekecewaan Indonesia terhadap negara-negara
Barat yang dianggap kurang mendukung perjuangan Indonesia dalam upaya
pembebasan Irian Barat. Beberapa kebijakan luar negeri yang ditempuh oleh
presiden Seokarno antara lain:
Prosedur pembentukan MPRS dan DPRS, yang keduanya ditetapkan oleh Penpres.
Pada hal menurut undang-undang kedua lembaga tersebut dibentuk berdassakan
pemilu.
Membubarkan DPR hasil pemilu 1955, menurut UUD 1945 bahwa DPR adalah
mitra presiden dalam membuat undang-undang dan menetapkan RAPBN.
Menjadikan kedudukan pemimpin lembaa tertinggi dan lembaga Negara sebagai
menteri yang berarti sebagai pembantu presiden. Pada hal menurut UUD 1945
kedudukan MPR berada di atas presiden, sedangkan kedudukan lembaga-lembaga
tinggi sejajar dengan presiden.
Selain itu juga keluar Tap MPRS No. XV/MPRS/1966 yang menyatakan bahwa
apabila presiden berhalangan, pemegang Supersemar berfungsi sebagai pemegang
jabatan presiden. Pada tahun 1967, MPRS melakukan sidang meminta
pertanggungawaban Presiden Seokarno. Pada sidang tersebut presiden Soekarno
membacakan pidato Nawaksara dan kemudian ditambah dengan Pelengkap
Nawaksawa. Akan tetapi pidato pertanggungjawaban presiden tersebut ditolak.
Hasil Sidang Istimewa dikeluarkannya Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang
pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan
mengangkat Letjen Soeharto sebagai pejabat presiden. Pada tanggal 21-30 Maret
1968 diadakan Sidang Umum V MPRS menghasilkan keputusan pengangkatan
Soeharto dari Pejabat Presiden menjadi Presiden Republik Indonesia ke-2.
Pengangkatan Soeharto sebagai presiden ke-2 dilakukan pada tanggal 27 Maret
1968.
Berbagai peristiwa dari keluarnya Supersemar hingga berujung dengan
pengangkatan Soeharto sebagai presiden Indonesia ini menandakan berakhirnya
Demokrasi Terpimpin berganti dengan masa Orde Baru.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penataan di bidang politik memiliki implikasi terhadap kehidupan ekonomi.
Kekuatan politik dan ekonomi saling memengaruhi secara respirokal dan hal
ini dapat terliat di dalam kehidupan demokrasi di Indonesia pada saat ini.
Penyederhanaan Partai PolitikPada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan
umum yang pertama pada masa Orde Baru pemerintahan pemerintah
melakukan penyederhaan dan penggabungan (fusi) partai- partai politik
menjadi tiga kekuatan social politik. Program pemerintah diarahkan pada
upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama stabilisasi dan rehabilitasi
ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berarti mengendalikan
inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Masa Demokrasi
Terpimpin 1959-1965 Masalah kita bangsa Indonesia hanya bisa dipecahkan
dengan perumusan nilai-nilai murni bangsa sendiri. Sebagian kelompok
merasa merdeka dengan diberlakukannya sistem domokrasi di Indonesia.
B. SARAN
Tentunya terhadap penyusun sudah menyadari jika dalam penyusunan
makalah di atas masih banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna.
Adapun nantinya penyusun akan segera melakukan perbaikan susunan
makalah itu dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik
yang bisa membangun dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
https://gulalima.blogspot.com/2012/12/penataan-kehidupan-politik.html
https://guruppkn.com/6-perbedaan-demokrasi-liberal-dan-demokrasi-
terpimpin-di-indonesia.
https://id.wikipedia.org/wiki/
Sejarah_Indonesia_(1950%E2%80%931959)
https://www.donisetyawan.com/demokrasi-terpimpin-di-indonesia-1959-
1965/
MATERI
MTK WAJIB
DIAGRAM BATANG