Anda di halaman 1dari 33

MATERI

SBK
MENYIAPKAN NASKAH TEATER KONTEMPORER

DI SUSUN OLEH KELOMPOK VIII


MAGDALENA YESI
PERIADI
ARISTO PANAMUAN

GURU MATA PELAJARAN :

KELAS XII IPA


SMA HARAPAN PAHAUMAN

KECAMATAN SENGAH TEMILA


KABUPATEN LANDAK
PROVINSI KALIMANTAN BARAT
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNya sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
untuk para pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Pahauman, 25 Juli 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Depan ……………………………………………………………………………………


Kata Pengantar …………………………………………………………………………………...
Daftar Isi …………………………………………………………………………………………...

Bab I Pendahuluan ………………………………………………………………………………


A. Latar Belakang ………………………………………………………………………….
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………………………
C. Tujuan Masalah ………………………………………………………………………..

Bab II Pembahasan …………………………………………………………………………….


A. Penataan Kehidupan Politik ………………………………………………………..
B. Berlakunya Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin ………………

Bab III Penutup …………………………………………………………………………………


A. Kesimpulan …………………………………………………………………………….
B. Saran ……………………………………………………………………………………..

Daftar Pustaka …………………………………………………………………………………


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

“PENATAAN SISTEM POLITIK SECARA KOMPREHENSIF PERLU MENYASAR


BANYAK PERSOALAN DAN ISU LAIN UNTUK MENDORONG DEMOKRASI YANG
LEBIH SUBSTANSIAL”

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa menilai,
desain besar penataan sistem politik saat ini masih dikaji oleh DPR dan
pemerintah. Pada masa sidang mendatang, setiap fraksi di DPR akan
mengadakan diskusi serta berkonsultasi kepada berbagai institusi, seperti
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
serta sejumlah kelompok masyarakat sipil yang bergerak di bidang demokrasi
dan kepemiluan.”Memang kita belum bicara resmi, tetapi gambarannya sudah
ada. Oleh karena itu, sekarang tiap fraksi sedang melakukan kajian, dan
tentunya publik, akademisi, akan dilibatkan. Masukan publik akan dijadikan
bahan masukan,” kata Saan.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi


(Perludem) Titi Anggraini mengingatkan pentingnya pelibatan publik dalam
proses pembahasan UU paket politik ini. Hal itu karena isu-isu dalam UU ini
berkaitan erat dengan hak rakyat dalam sistem politik yang
demokratis.”Untuk menghindari pembahasan secara parsial, pembahasan
undang-undang ini harus dalam jangka waktu yang memadai dan melibatkan
banyak aktor, termasuk masyarakat sebagai pemilih,” kata Titi. (AGE, NIA)

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang di maksud dnegan penataan kehidupan politik ?
2. Bagaimana berlakunya demokrasi libersal dan demokrasi terpimpin ?

C. TUJUAN
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata pelajaran Sejarah Indonesia
tentang Penataan kehidupan politik dan Berlakunya demokrasi liberal dan
demokrasi terpimpin.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENATAAN KEHIDUPAN POLITIK


1. Penataan kehidupan politik Indonesia
Penataan di bidang politik memiliki implikasi terhadap kehidupan ekonomi.
Kekuatan politik dan ekonomi saling memengaruhi secara respirokal dan hal ini
dapat terliat di dalam kehidupan demokrasi di Indonesia pada saat ini.Secara
etimologis, kata “politik” berasal dari bahasa Belanda “politiek” dan bahasa
Inggris “politics” di mana keduanya bersumber dari bahasa Yunani τα πολιτικά
“Politika” yang artinya adalah dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga
negara.Dalam bahasa Yunani, kata τα πολιτικά “Politika” merupakan berasal dari
dua kata, yaitu πολίτης polites yang artinya warga negara dan πόλις polis yang
artinya negara kota.Pembubaran PKI dan Organisasi massanya.Dalam rangka
menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan, Soeharto
sebagai pengemban Supersemar telah mengeluarkan kebijakan:Membubarkan
PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan Ketetapan MPRS No
IX/MPRS/1966Menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia Pada
tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang dianggap terlibat
Gerakan 30 September 1965.

Penyederhanaan Partai PolitikPada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan


umum yang pertama pada masa Orde Baru pemerintahan pemerintah
melakukan penyederhaan dan penggabungan (fusi) partai- partai politik menjadi
tiga kekuatan social politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak
didasarkan pada kesamaan ideology, tetapi lebih atas persamaan program.
Tigakekuatan social politik itu adalah:Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang
merupakan gabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan PERTIPartai Demokrasi
Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai
Murba, IPKI, dan Parkindo Golongan KaryaPenyederhanaan partai-partai politik
ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam upayamenciptakan stabilitas
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengalaman sejarah pada masa
pemerintahan sebelumnya telah memberikan pelajaran, bahwa perpecahan yang
terjadi dimasa Orde Lama, karena adanya perbedaan ideologi politik dan
ketidakseragaman persepsiserta pemahaman Pancasila sebagai sumber hukum
tertinggi di Indonesia.Stabilitas politik adalah bagian dari dasar penyusunan
strategi kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Indonesia. Penataan di
bidang politik memiliki implikasi terhadap kehidupan ekonomi. Kekuatan politik
dan ekonomi saling memengaruhi secara respirokal dan hal ini dapat terliat di
dalam kehidupan demokrasi di Indonesia pada saat ini.
Menurut Seymour Martin Lipset ada korelasi antara tingkat pertumbuhan
ekonomi dengan kehidupan politik yang demokratis. Korelasi yang diajukan oleh
Lipset tercermin dari perkembangan kekayaan, industrialisasi, pendidikan, dan
urbanisasi.

Di Indonesia, oleh Sanit ada faktor lain dalam perkembangan Indonesia pada
saat ini, yakni faktor histori. Menurut Sanit, histori dianggap sebagai variabel
bebas dalam membaca korelasi antara aspek pertumbuhan ekonomi yang
berkecepatan tinggi dengan peranan politik militer.Untuk menjamin kestabilan
politik, sistem politik perlu mendorong munculnya kepemimpinan yang moderat
di dalam spektrum politik yang begitu plural di Indonesia.Di dalam buku ini, Sanit
menguraikan berbagai persoalan yang dialami Indonesia pada saat buku ini
dibuat pertama kalinya. Polemik soal militer yang mencampuri urusan politik
dalam usahanya menstabilkan kondisi politik yang berujung kepada respresi di
masa Orde Baru dan pembukaan kran invenstasi asing.

Indonesia pada periode 1948-1967 terdapat 45 aksi protes, 83 huru-hara, dan


615.000 kematian yang diakibatkan oleh kekerasan politik, hal ini adalah
representasi dari rapuhnya kestabilan politik Indonesia.Ketidakstabilan ini adalah
akibat kelemahan elite untuk bekerja satu dengan yang lainnya, serta belum
melembaganya struktr dan prosedur politik yang memberi ruang kepada
masyarakat untuk berpartisipasi. Oleh karena itu, ketika Orde Baru mulai
memerintah, mereka memulai stabilitas politik dengan memberikan aksentuasi
pada pembangunan.Memberikan landasan kepada pembangunan bukan tanpa
alasan, karena Pemerintah Orde Baru telah melakukan tilikan kepada negara
Swedia dan Norwegia pada abad ke-20, bahwa permasalahan politik bersumber
pada permasalahan ekonomi dan akan seiring hilang ketika proses industrialisasi
dimulai.Masyarakat Indonesia yang pada saat itu terdiri dari 70% lebih petani
dan berada di dalam keadaan miskin, memiliki kecenderungan untuk melakukan
tindakan kekerasan, seperti huru-hara, pemberontakan, pembunuhan politis,
revolusi, dan lain sebagainya (halaman 3).

Menurut Sanit, kemunculan anasir-anasir militer di dalam pertarungan politik


nasional diakibatkan oleh lemahnya pihak sipil untuk mengendalikan semua
unsur-unsur kehidupan masyarakat.Mengutip Morris Janowitz, ada lima tipe relasi
antara sipil dengan militer: 1) Authoritarian-personal, kendali politik nasional
berada pada kekuasaan tradisional dan individu pemimpin; 2) Authoritarian-
massparty, kendali kekuasaan ada pada partai tunggal dan pemimpin yang kuat;
3) Democratic-competitive, lembaga penyelenggara kompetisi politik adalah
demokratis dan militer berada di bawah control politisi sipil; 4) Civil-military
coalition, militer memainkan peranan politik yang luas dan menjadi suatu blok
politik, dan politisi sipil hanya dapat memegang kekuasaan atas dukungan pasif
dari tentara; 5) Military-oligarchy, koalisi partai politik dan pemegang kekuasaan
tidak menghasilkan sistem politik yang tidak stabil, maka tentara meningkatkan
aktivitas politiknya sampai menjadi kekuatan politik utama dan dapat
mengendalikan politik nasional.
Pada masa Pemerintahan Soekarno, ABRI berperan sebagai salah satu dari tiga
poros kekuatan politik Indonesia, yakni Presiden Soekarno sendiri, ABRI, dan
Partai Komunis Indonesia (PKI). ABRI tidak menjadi kekuatan pendukung para
politisi sipil, namun telah menjadi suatu kekuatan politik tersendiri.

Pada masa Orde Baru, kemunculan militer di panggung politik ditandai dengan
Golkar yang membawahi kesatuan petani, kesatuan guru, kesatuan buruh,
organisasi keagamaan, ABRI, dan sebagainya.Sanit menyimpulkan bahwa
kestabilan politik yang selama ini diselenggarakan oleh pemerintah merupakan
hasil dari sokongan militer serta membuka ruang-ruang partisipasi politik
masyarakat. Namun partisipasi ini masih dibatasi karena tujuan dari
pemerintahan saat itu adalah stabilitas ekonomi, sehingga aktivitas politik yang
mengganggu akan segera dihabiskan.

2. Berlakunya Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin


Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional,
terutama stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi
ekonomi berarti mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak
terus. Rehabilitasi ekonomi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana
ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana
yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan pemerintah
Orde Lama, pemerintah Orde Baru melakukan langkah-langkah:Memperbaharui
kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Kebijakan ini didasari oleh
Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.[butuh rujukan]
MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan
serta program stabilisasi dan rehabilitasi.

Langkah-langkah yang diambil Kabinet Ampera yang mengacu pada Ketetapan


MPRS tersebut adalah:Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-
sektor yang menyebabkan kemacetan. Adapun yang menyebabkan terjadinya
kemacetan ekonomi tersebut adalah:
Rendahnya penerimaan negara.
Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara.
Terlalu banyak dan tidak efisiennya ekspansi kredit bank.
Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri.
Penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan
prasarana.
Debirokrasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian
Berorientasi pada kepentingan produsen kecil
Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut, maka pemerintah
Orde Baru menempuh cara:
Mengadakan operasi pajak
Melaksanakan sistem pemungutan pajak baru, baik bagi pendapatan perorangan
maupun kekayaan dengan cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak
orang.
Menghemat pengeluaran pemerintah (pengeluaran konsumtif dan rutin), serta
menghapuskan subsidi bagi perusahaan Negara.
Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor.Program stabilsasi ini
dilakukan dengan cara membendung laju inflasi. Pemerintah Orde Baru berhasil
membendung laju inflasi pada akhir tahun 1967-1968, tetapi harga bahan
kebutuhan pokok naik melonjak. Sesudah dibentuk Kabinet Pembangunan pada
bulan Juli 1968, pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya pada
pengendalian yang ketat terhadap gerak harga barang khususnya sandang,
pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu ekonomi nasional relatif stabil,
sebab kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta asing sejak tahun 1969
dapat dikendalikan pemerintah.

Program rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan


berproduksi. Selama sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde Lama,
Indonesia mengalami kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana sosial dan
ekonomi. Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi, dan perbankan
disalahgunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan kelompok
kepentingan tertentu. Dampaknya, lembaga negara tidak dapat melaksanakan
fungsinya sebagai penyusun perbaikan tata kehidupan rakyat.

Kerjasama Luar Negeri


Pertemuan Tokyo
Selain mewariskan keadaan ekonomi yang sangat parah, pemerintahan Orde
Lama juga mewariskan utang luar negeri yang sangat besar, yakni mencapai 2,2
- 2,7 miliar, sehingga pemerintah Orde Baru meminta negara-negara kreditor
untuk dapat menunda pembayaran kembali utang Indonesia. Pada tanggal 19-20
September 1966 pemerintah Indonesia mengadakan perundingan dengan
negara-negara kreditor di Tokyo.[butuh rujukan] Pemerintah Indonesia akan
melakukan usaha bahwa devisa ekspor yang diperoleh Indonesia akan digunakan
untuk membayar utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahan-
bahan baku. Hal ini mendapat tanggapan baik dari negara-negara kreditor.
Perundinganpun dilanjutkan di Paris, Prancis dan dicapai kesepakatan sebagai
berikut:

Pembayaran hutang pokok dilaksanakan selama 30 tahun, dari tahun 1970


sampai dengan 1999.
Pembayaran dilaksanakan secara angsuran, dengan angsuran tahunan yang
sama besarnya.
Selama waktu pengangsuran tidak dikenakan bunga.
Pembayaran hutang dilaksanakan atas dasar prinsip nondiskriminatif, baik
terhadap negara kreditor maupun terhadap sifat atau tujuan kredit.
Pertemuan Amsterdam
Pada tanggal 23-24 Februari 1967 diadakan perundingan di Amsterdam, Belanda
yang bertujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri
serta kemungkinan pemberian bantuan dengan syarat lunas, yang selanjutnya
dikenal dengan IGGI (Intergovernmental Group for Indonesia). Pemerintah
Indonesia mengambil langkah tersebut untuk memenuhi kebutuhannya guna
pelaksanaan program-program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta
persiapan-persiapan pembangunan.[butuh rujukan] Di samping mengusahakan
bantuan luar negeri tersebut, pemerintah juga telah berusaha mengadakan
penangguhan serta memperingan syarat-syarat pembayaran kembali
(rescheduling) hutang-hutang peninggalan Orde Lama. [butuh rujukan] Melalui
pertemuan tersebut pemerintah Indonesia berhasil mengusahakan bantuan luar
negeri.

Pembangunan Nasional
Trilogi Pembangunan
Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah
selanjutnya yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah melaksanakan
pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah
waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka pendek dan Pembangunan
Jangka Panjang. [butuh rujukan] Pambangunan Jangka Pendek dirancang
melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi
pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat
Indonesia. Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30
tahun. Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa,
dan Negara. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam upaya mewujudkan
tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yaitu:[butuh rujukan]

Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia


Meningkatkan kesejahteraan umum
Mencerdaskan kehidupan bangsa
Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial
Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru
berpedoman pada Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan. Inti dari
kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat
dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil. Isi Trilogi Pembangunan adalah:
[butuh rujukan]

Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya


keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Dan Delapan Jalur Pemerataan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru adalah:
Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang
dan perumahan.Pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan
kesehatanPemerataan pembagian pendapatan.Pemerataan kesempatan kerja
Pemerataan kesempatan berusahaPemerataan kesempatan berpartisipasi dalam
pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita.Pemerataan
penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah AirPemerataan kesempatan
memperoleh keadilan.Pelaksanaan Pembangunan NasionalSeperti telah
disebutkan di muka bahwa Pembangunan nasional direalisasikan melalui
Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Dan
Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui program Pembangunan Lima
Tahun (Pelita). Selama masa Orde Baru, pemerintah telah melaksanakan enam
Pelita yaitu:

Pelita I
Pelita I dilaksanakan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan menjadi
landasan awal pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah
meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi
pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya adalah pangan, sandang, perbaikan
prasarana perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan
rohani. Titik beratnya adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan
tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan
bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil
pertanian.[butuh rujukan]

Pelita II
Pelita II mulai berjalan sejak tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979. Sasaran
utama Pelita II ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana
prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja.
Pelaksanaan Pelita II dipandang cukup berhasil. Pada awal pemerintahan Orde
Baru inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I inflasi berhasil ditekan menjadi
47%. Dan pada tahun keempat Pelita II inflasi turun menjadi 9,5%.[butuh
rujukan]

Pelita III
Pelita III dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984. [butuh
rujukan] Pelaksanaan Pelita III masih berpedoman pada Trilogi Pembangunan,
dengan titik berat pembangunan adalah pemerataan yang dikenal dengan
Delapan Jalur Pemerataan.
Pelita IV
Pelita IV dilaksanakan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik berat
Pelita IV ini adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan
meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Dan di
tengah berlangsung pembangunan pada Pelita IV ini yaitu awal tahun 1980
terjadi resesi.[butuh rujukan] Untuk mempertahankan kelangsungan
pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal.
Dan pembangunan nasional dapat berlangsung terus.

Pelita V
Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pembangunan
ditekankan pada sector pertanian dan industri. Pada masa itu kondisi ekonomi
Indonesia berada pada posisi yang baik, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar
6,8% per tahun.[butuh rujukan] Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan
gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding
sebelumnya.

Pelita VI
Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan
pada Pelita VI ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan
industri dan pertanian, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai
pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak pembangunan.
[butuh rujukan] Namun pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda
negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan
peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian telah
menyebabkan proses pembangunan terhambat, dan juga menyebabkan
runtuhnya pemerintahan Orde Baru.

Pada awal penataan negara RI berdiri, perekonomian sangat kacau, inflasi


menjulang tinggi, kas negara kosong, pengeluaran sangat besar serta adanya
blokade laut oleh Belanda. Terdapat 3 mata uang yang berlaku saat itu, De
Javasche Bank, uang pemerintah kolonial Belanda, dan uang penduduk Jepang.

Beberapa langkah yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi situasi tersebut


antara lain:

 Mengadakan pinjaman nasional, yang dilakukan oleh menteri keuangan Ir.


Surahman.
 Pemerintah mengeluarkan uang Republik Indonesia (ORI) pada bulan Oktober
1946 sebagai pengganti mata uang diatas.
 Didirikan bank Negara Indonesia (November tahun 1946)
 Menembus Blokade laut Belanda.
 Plan Kasimo, rencana produksi lima tahun sebagai usaha swasembada pangan.
A. Nasionalisasi De Javasche Bank

Merupakan bank sirkulasi. Bank sentral yang statusnya masih dalam bayang-
bayang Belanda. Pemimpin dan personalianya hampir seluruhnya orang Belanda,
sesuai dengan hasil KMB maka:

1. Semua Peraturan pemerintah RI yang menyangkut De Javasche Bank harus


berkonsultasi dahulu dengan pemerintah Belanda, termasuk perubahan personalia
direksi Bank.
2. Konsultasi juga harus dilakukan ketika De Javasche Bank akan memberi kredit
kepada pemerintah Indonesia.

Kondisi tersebut jelas sekali menyulitkan pemerintah Indonesia. Satu sisi


pemerintah Indonesia telah memiliki Bank sirkulasi pada sisi lain bank tersebut
dibawah naungan pihak lan. Hal ini tak mungkin dapat dipertahankan. Salah satu
usaha Kabinet Sukiman untuk mengatasi krisis moneter yaitu dengan cara
menasionalisasi De Javasche Bank melalui keputusan pemerintah No. 118 / 1951 (2
Juli 1951), selanjutnya keputusan ini ditindak lanjuti dengan UU No. 24 / 1951
(Desember 1951) tentang nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia
yang berfungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi. Pertama kalinya Bank
Indonesia dipimpin oleh Mr. Safruddin Prawironegoro (Indonesia) yang
menggantikan Presiden De Javasche Bank Dr. Houwink (Belanda).

B. Sistem Ekonomi Gerakan Banteng

Ketika Sumitro Jayahadikusumo menjadi menteri perdagangan pada masa kabinet


Natsir (September 1950 – April 1951). Ia menuangkan gagasannya menjadi
program kabinet. Program ini terkenal dengan sebutan Program Banteng atau
program ekonomi gerakan banteng. Program ini tujuannya adalah pembangunan
ekonomi baru yang mengubah susunan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional
dengan cara:

 Menumbuhkan dan membina wiraswastawan pribumi sambil menumbuhkan


nasionalisme ekonomi (Indonesianisasi).
 Mendorong para importir nasional agar mampu bersaing dengan perusahaan
impor asing.
 Membatasi impor barang-barang tertentu dan memberikan lisensi impor hanya
kepada importir Indonesia.
 Memberikan bantuan yang berbentuk kredit keuangan kepada para pengusaha
Indonesia (antara tahun 1950-1959) ada sekitar 700 pengusaha pribumi yang
mendapatkan bantuan kredit dari program ini.

Namun, setelah dilaksanakan program ini kurang berhasil. Pengusaha pribumi


menjadi kurang mandiri, selalu menggantungkan kepada pemerintah. Banyak
juga penyalahgunaan kredit ini untuk mendapatkan keuntungan.

C. Sistem Ekonomi Ali Baba

Ketika Mr. Ishaq Cokrohadisuryo menjabat sebagai menteri perekonomian pada


masa kabinetAli Sastroamidjoyo I, ia pelopor sistem ekonomi yang selanjutnya
dikenal dengan sistem ekonomim Ali Baba. Ali yang menggambarkan sebagai
pengusaha pribumi dan Baba yang menggambarkan sebagai pengusaha non-
pribumi. Untuk memajukan perekonomian harus terjalin kerjasama antara Ali
dan Baba. Maka, selanjutnya pemerintah memberikan bantuan kredit kepada
Ali (sebagai pengusaha pribumi).

D. Plan Kasimo

Kasimo, menteri urusan bahan makanan membuat rencana produksi tiga tahun
1948-1950. Rencana ini dikenal dengan sebutan Plan Kasimo yang menitik
beratkan pada sektor pertanian. Langkah-langkahnya sebagai berikut:

1. Mengadakan program intensifikasi di Jawa.


2. Menyediakan bibit unggul bagi rakyat.
3. Pemeliharaan hewan dan pencegahan penyembelihan hewa bila tidak benar-
benar perlu.
4. Melaksanakan program transmigrasi dari Jawa ke Sumatera.

E. Gunting Safrudin

Untuk mengatasi krisis ekonomi, maka Menteri Keuangan Safrudin Prawironegoro


mengeluarkan keputusan No. PU. 1 tanggal 19 Maret 1950, pemerintah
melakukan pemotongan uang dengan cara memberlakukan setengahnya untuk
mata uang yang bernilai Rp. 2,50 ke atas. Hasilnya: Pemerintah RI mendapat
kepercayaan dari pemerintah Belanda sehingga mendapatkan pinjaman sebesar
Rp. 200 Juta.

B. Berlakunya Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin


pemerintahan yang bertahan mulai dari era reformasi 1998 sampai saat ini adalah
sistem pemerintahan demokrasi. Masa demokrasi terpimpin 1957-1965 dimulai
dengan tumbangnya demokrasi parlementer atau demokrasi Liberal yang ditandai
pengunduran Ali Sastroamidjojo sebagai perdana mentri.

Latar Belakang Gagalnya usaha untuk kembali ke UUD 1945 dengan melalui
Konstituante dan rentetan peristiwa-peristiwa politik yang mencapai klimaksnya
dalam bulan Juni 1959 akhirnya mendorong Presiden Soekarno untuk sampai
kepada kesimpulan bahwa telah muncul suatu keadaan kacau yang
membahayakan kehidupan negara. Demokrasi liberal dikenal pula sebagai
demokrasi parlementer karena pada saat itu berlangsung sistem pemerintahan
parlementer.

Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 Masalah kita bangsa Indonesia hanya bisa
dipecahkan dengan perumusan nilai-nilai murni bangsa sendiri. Sebagian
kelompok merasa merdeka dengan diberlakukannya sistem domokrasi di
Indonesia. Praktik demokrasi liberal dan menawarkan kembali konsepsinya
tentang demokrasi Indonesia yang disebutnya sebagai Demokrasi Terpimpin
Guided Democracy Demokrasi Terpimpin Soekarno kemudian runtuh setelah
terjadinya peristiwa perebutan kekuasaan yang melibatkjan unsur komunis PKI
dan angkatan. Demokrasi terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi di mana
seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin negara kala itu
Presiden Soekarno.

1. Demokrasiliberal ( 1950-1959)
Era Demokrasi Liberal (1950–1959) yang dikenal pula dengan Era Demokrasi
Parlementer adalah era ketika Presiden Soekarno memerintah menggunakan
konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950. Periode ini
berlangsung dari 17 Agustus 1950 (sejak pembubaran Republik Indonesia
Serikat) sampai 5 Juli 1959 (keluarnya Dekret Presiden). Pada masa ini terjadi
sejumlah peristiwa penting, seperti Konferensi Asia–Afrika di Bandung, pemilihan
umum pertama di Indonesia dan pemilihan Konstituante, serta periode
ketidakstabilan politik yang berkepanjangan, dengan tidak ada kabinet yang
bertahan selama dua tahun. Seiring dengan berakhirnya perjuangan untuk
mengamankan kemerdekaan Indonesia, perpecahan di kalangan masyarakat
Indonesia mulai muncul. Perbedaan antardaerah dalam hal adat istiadat, moral,
tradisi, agama, pengaruh Marxisme, serta ketakutan akan dominasi politik Jawa,
semuanya berkontribusi pada perpecahan. Sebagai negara baru, Indonesia
memiliki masalah kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan tradisi
otoriter.[1] Berbagai gerakan separatis juga muncul untuk menentang Republik
Indonesia: militan Darul Islam memproklamasikan "Negara Islam Indonesia" dan
bergerilya melawan Republik Indonesia di Jawa Barat dari tahun 1948 hingga
1962; di Maluku, orang-orang Ambon yang dulunya adalah Tentara Kerajaan
Hindia Belanda (KNIL) memproklamasikan kemerdekaan Republik Maluku
Selatan; ditambah dengan pemberontakan di Sumatra dan Sulawesi antara tahun
1955 dan 1961. Perekonomian Indonesia terpuruk setelah tiga tahun
pendudukan Jepang, kemudian empat tahun perang melawan Belanda. Di tangan
pemerintahan yang masih muda dan belum berpengalaman, perekonomian tidak
mampu mendorong produksi pangan dan kebutuhan lain untuk mengimbangi
pertambahan penduduk. Sebagian besar penduduk buta huruf, tidak terampil,
dan tidak memiliki kemampuan manajerial.

Inflasi meningkat, banyak penyelundupan yang merugikan pemerintah pusat


yang sangat membutuhkan devisa, dan banyak perkebunan hancur selama
pendudukan penjajah dan perang.[2] Pada masa Soekarno, sistem pemerintahan
di Indonesia mengalami beberapa peralihan. Indonesia pernah menerapkan
sistem pemerintahan presidensial, parlementer (demokrasi liberal), hingga
demokrasi terpimpin. Pada masa pemerintahan Soekarno juga terjadi
penyimpangan UUD 1945, di antaranya perubahan fungsi Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP), dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi
kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang merupakan wewenang
MPR.

Salah satu hasil dari Konferensi Meja Bundar tahun 1949 adalah terbentuknya
Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Pembentukan negara federal yang
diprakasai oleh Belanda untuk melemahkan integrasi Indonesia sebagai negara
kesatuan ternyata tidak didukung masyarakat Indonesia. Banyak negara bagian
yang menyatakan ingin kembali ke negara kesatuan dan pada 15 Agustus 1950,
Perdana Menteri Kabinet RIS Mohammad Hatta menyerahkan mandatnya kepada
Presiden Soekarno.

Mulainya Demokrasi Parlementer


Pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan.
Pemerintahan Republik Indonesia masih melanjutkan model demokrasi
parlementer yang liberal. Kabinet dipimpin oleh seorang perdana menteri sebagai
kepala pemerintahan dan bertanggung jawab kepada parlemen. Presiden hanya
berkedudukan sebagai kepala negara. Sementara itu, Undang-Undang Dasar
Sementara Republik Indonesia (UUDS) 1950 digunakan sebagai konstitusi
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi
Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS
tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini dinamakan “sementara”,
karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante hasil
pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru.

UUDS 1950 sangat berbeda dengan UUD 1945 dalam banyak hal; ia
mengamanatkan sistem pemerintahan parlementer dan menetapkan secara
panjang lebar jaminan konstitusional untuk hak asasi manusia, yang sangat
mengacu pada Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia oleh PBB
tahun 1948.[3] Konstituante
AKonstituante dan Daftar anggota Konstituante
Pada tahun 1955, Indonesia melaksanakan pemilihan umum nasional yang
pertama. Pada bulan September, rakyat memilih wakil untuk DPR, dan pada
bulan Desember pemilih kembali memilih wakil-wakil yang lebih banyak lagi
sebagai anggota Konstituante.Konstituante, setelah dipilih pada tahun 1955,
mulai bersidang pada bulan November 1956 di Bandung, ibu kota Jawa Barat,
untuk membuat UUD yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Perdebatan,
permusyawaratan, dan penulisan draf-draf UD berlangsung selama dua setengah
tahun.

Perdebatan isu dasar negara (terutama antara golongan yang mendukung Islam
sebagai dasar negara dan golongan yang mendukung Pancasila) terjadi sangat
sengit. Walaupun para pimpinan Konstituante merasa sudah lebih dari 90%
materi undang-undang dasar telah disepakati, dan walaupun ada beberapa tokoh
partai politik Islam yang merasa siap berkompromi, Konstituante tidak sempat
menyelesaikan tugasnya.

Berakhirnya Demokrasi Parlementer


Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis, namun
Konstituante gagal membentuk konstitusi baru sampai berlarut-larut. Presiden
Soekarno lalu menyampaikan konsep Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil
pemilu yang berisi ide untuk kembali pada UUD 1945. Pada tanggal 5 Juli 1959,
Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959, yang antara lain berisi
pembubaran Konstituante serta penggantian konstitusi dari UUDS 1950 menjadi
UUD 1945 kembali. Peristiwa ini menandai berakhirnya Demokrasi Parlementer
dan mulainya Era Demokrasi Terpimpin. Pemerintah kemudian membentuk
lembaga-lembaga MPRS dalam demokrasi terpimpin yang menerapkan sistem
politik keseimbangan. Pada masa ini Soekarno merencanakan konsep pentingnya
persatuan antara kaum nasionalis, agama, dan komunis.

Kabinet-kabinet pada masa Demokrasi Parlementer


Demokrasi Parlementer dengan banyak partai justru menimbulkan
ketidakstabilan politik. Pada masa ini terjadi banyak pergantian kabinet. Tercatat
ada tujuh kabinet pada masa ini. Kabinet jatuh bangun karena munculnya mosi
tidak percaya dari partai lawan. Di samping itu, terjadi perdebatan dalam
Konstituante yang sering menimbulkan konflik berkepanjangan.

Awal Akhir
Nama Perdana Jumlah Masa
No. masa masa
kabinet Menteri personel kerja
kerja kerja

6 21
Mohammad 6 bulan
1. Natsir 18 Septembe Maret
Natsir 15 hari
r 1950 1951

23
Sukiman- Sukiman 27 April 9 bulan
2. 20 Februari
Suwirjo Wirjosandjojo 1951 27 hari
1952
3 April 3 Juni 1 tahun 2
3. Wilopo Wilopo 18
1952 1953 bulan

Ali Ali 1 tahun


1 Agustus 24 Juli
4. Sastroamidjojo Sastroamidjoj 20 11 bulan
1953 1955
I o 23 hari

12
Burhanuddin Burhanuddin 3 Maret 6 bulan
5. 23 Agustus
Harahap Harahap 1956 19 hari
1955

Kabinet Natsir merupakan kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri


Mohammad Natsir dari Partai Masyumi. Kabinet ini dibentuk pada 6 September
1950 dan didemisionerkan pada tanggal 21 Maret 1951. Program kerja kabinet
Natsir:

Mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih Dewan


Konstituante
Menyempurnakan susunan pemerintahan dan membentuk kelengkapan negara
Menggiatkan usaha mencapai keamanan dan ketenteraman
Meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan mengembangkan dan memperkuat
ekonomi rakyat
Menyempurnakan organisasi angkatan perang
Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat
Hasil kerja kabinet ini yaitu berlangsungnya perundingan antara Indonesia-
Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat. Sementara
kendala atau masalah yang dihadapi yaitu upaya memperjuangkan masalah Irian
Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu (kegagalan) dan timbul masalah
keamanan dalam negeri berupa pemberontakan hampir di seluruh wilayah
Indonesia, seperti gerakan DI/TII, gerakan Andi Azis, gerakan APRA, dan
gerakan RMS.

Kabinet Natsir jatuh pada 21 Maret 1951 dalam periode 6,5 bulan dan belum
sempat melaksanakan program-programnya. Jatuhnya kabinet ini karena adanya
mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah
mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap Peraturan Pemerintah No. 39
Tahun 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut
disetujui parlemen sehingga Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada
Presiden.

Dalam program Kabinet Natsir, kemudian diterapkan Program Benteng yang


didasari oleh gagasan pentingnya mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi
ekonomi nasional. Program Benteng resmi berjalan selama tiga tahun (1950–
1953) dengan tiga kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo).
Kabinet Sukiman-Suwirjo
Berkas:Kabinet sukiman suwirjo.jpg
Kabinet Sukiman Suwirjo
Artikel utama: Kabinet Sukiman-Suwirjo
Kabinet ini merupakan kabinet kedua pada Era Demokrasi Parlementer. Kabinet
ini bertugas pada masa bakti 27 April 1951 hingga 3 April 1952, tetapi telah
didemosioner sejak 23 Februari 1952. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi
antara Masyumi dan PNI. Program kerja kabinet Sukiman:

Menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai negara hukum untuk


menjamin keamanan dan ketenteraman serta menyempurnakan organisasi alat-
alat kekuasaan negara
Membuat dan melaksanakan rencana kemakmuran nasional dalam jangka
pendek untuk meningkatkan kehidupan sosial dan perekonomian rakyat serta
memperbaharui hukum agraria sesuai dengan kepentingan petani
Mempercepat usaha penempatan mantan pejuang dalam lapangan
pembangunan
Mempercepat dan menyelesaikan persiapan pemilihan umum untuk membentuk
dewan konstituante dan menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu yang
singkat serta mempercepat terlaksananya otonomi daerah
Menyiapkan undang-undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja
sama (collective arbeidsovereenkomst), penetapan upah minimum, dan
penyelesaian pertikaian perburuhan
Menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif serta menuju perdamaian
dunia, menyelenggarakan hubungan antara Indonesia dengan Belanda yang
sebelumnya berdasarkan asas unie-statuut menjadi hubungan berdasarkan
perjanjian internasional biasa, mempercepat peninjauan kembali persetujuan
hasil Konferensi Meja Bundar, serta meniadakan perjanjian-perjanjian yang pada
kenyataannya merugikan rakyat dan negara
Memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia dalam
waktu sesingkat-singkatnya
Hasil dari program kerja ini tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan
program Natsir, hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan
programnya, seperti awalnya program menggiatkan usaha keamanan dan
ketenteraman namun selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan
ketenteraman. Beberapa kendala atau masalah yang dihadapi, di antaranya:

adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia


Soebadjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cockran mengenai
pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika Serikat kepada
Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA) . Dimana di dalam MSA
terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan
untuk memperhatikan kepentingan Amerika.
adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada
setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.

masalah Irian Barat belum juga teratasi


hubungan Sukirman dengan militer kurang baik, ditunjukkan dengan kurang
tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Sulawesi.
Kabinet Sukiman tidak mampu bertahan lama dan jatuh pada bulan Februari
1952. Penyebab jatuhnya kabinet ini disebabkan oleh adanya kegagalan dalam
pertukaran nota keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad
Soebardjo dan Duta Besar AS Merle Cochran. Kesepakatan bantuan ekonomi dan
militer dari AS kepada Indonesia didasarkan pada ikatan Mutual Security Act
(MSA). DI dalam MSA, terdapat pembatasan terhadap kebebasan politik luar
negeri yang bebas aktif. Indonesia diwajibkan lebih memperhatikan Amerika
sehingga tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar
negeri yang bebas aktif dan dianggap lebih condong ke blok Barat. Di samping
itu, penyebab lainnya adalah semakin merebaknya korupsi di kalangan birokrat
dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.

Kabinet Wilopo
Artikel utama: Kabinet Wilopo
Program kerja kabinet Wilopo:

Mempersiapkan dan melaksanakan pemilihan umum


Berupaya untuk mengembalikan Irian Barat agar kembali menjadi wilayah
Republik Indonesia
Meningkatkan keamanan dan kesejahteraan
Memperbarui bidang pendidikan dan pengajaran
Melaksanakan politik luar negeri bebas aktif
Kabinet Wilopo banyak mengalami kesulitan, yaitu:

Mengatasi gerakan separatisme yang terjadi di berbagai daerah


Penekanan Presiden Soekarno yang dilakukan oleh sejumlah perwira Angkatan
Darat pada tanggal 17 Oktober 1952 agar parlemen dibubarkan
Kejadian Tangjung Morawa yang terjadi di Sumatra Utara. Peristiwa Tanjung
Morawa terjadi akibat persetujuan pemerintah sesuai dengan KMB agar
memberikan izin kepada pengusaha asing agar dapat mengusahakan tanah
perkebunan di Indonesia lagi. Tanah ini sebelumnya digarap oleh para pertani
karena bertahun tahun telah ditinggalkan oleh pemiliknya pada saat Kabinet
Sukiman. Saat itu juga Mr. Iskaq Cokroadisuryo selaku menteri dalam negeri
memberikan persetujuan agar tanah Deli dikembalikan. Tanah tersebut berhasil
dikembalikan saat masa Kebinet Wilopo. Kemudian pada tanggal 16 Maret 1953,
pihak polisi mengusir penggarap sawah yang tidak mempunyai izin. Akibat
pengusiran tersebut, banyak terjadi bentrokan bersenjata yang menewaskan 5
orang petani. Peristiwa bentrokan itu mendapatkan sorotan yang tajam dari
pihak parlemen maupun pers. Hal inilah yang tentunya menjadi penyebab
jatuhnya kabinet wilopo. Akibatnya Kabinet Wilopo memperoleh mosi tidak
percaya dari Sidik Kertapati dari Serikat Tani Indonesia atau Sakti. Lalu Wilopo
mengembalikan mandatnya kepada Presiden pada tanggal 2 Juni 1953.

Kabinet Wilopo harus mengakhiri masa tugas karena tidak berhasil


menyelesaikan masalah peristiwa 17 oktober 1952. Peristiwa itu dipicu oleh
adanya gerakan yang diprakarsai oleh sejumlah perwira angkatan darat yang
tidak puas terhadap kebijakan pemerintah. Mereka menghendaki agar Presiden
Sukarno membubarkan parlemen.

Kabinet Ali Sastroamidjojo I


Artikel utama: Kabinet Ali Sastroamidjojo I
Program kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo I yang disebut juga Ali-Wongsonegoro:

Menumpas pemberontakan DI/TII di berbagai daerah


Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta melaksanakan pemilihan umum
Memperjuangkan kembalinya Irian Barat kepada RI
Menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika
Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB
Penyelesaian pertikaian politik
Pada masa kabinet Ali-Wongsonegoro, gangguan keamanan makin meningkat,
antara lain munculnya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Daud Beureuh Aceh,
dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Meskipun dihinggapi berbagai kesulitan,
kabinet Ali-Wongsonegoro berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika.
Oleh karena itu, kabinet Ali-Wongsonegoro ikut terangkat namanya. Selain
berhasil menyelenggarakan Konfereni Asia Afrika, pada masa ini juga terjadi
persiapan pemilu untuk memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan
pada 29 September 1955. Kabinet Ali-Wongsonegoro akhirnya jatuh pada bulan
Juli 1955 dalam usia 2 tahun (usia terpanjang). Penyebab jatuhnya kabinet Ali-
Wongsonegoro adalah perselisihan pendapat antara TNI-AD dan pemerintah
tentang tata cara pengangkatan Kepala Staf TNI-AD.

Pada masa pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo I, diselenggarakan


Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 18-25 April 1955. Konferensi ini dihadiri
29 negara Asia dan Afrika yang kemudian membawa pengaruh penting bagi
terbentuknya solidaritas dan perjuangan kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia-
Afrika. Pemilihan umum pertama yang diselenggarakan pada 1955 juga
merupakan rancangan kabinet ini, tetapi pelaksanaannya kemudian dilanjutkan
oleh kabinet berikutnya.

Kabinet Burhanuddin Harahap


Artikel utama: Kabinet Burhanuddin Harahap
Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap dari Masyumi
serta Wakil Perdana Menteri yaitu R. Djanu Ismadi dari PIR-Hazairin dan Harsono
Tjokroaminoto dari PSII. Presiden Soekarno sebenarnya kurang merestui kabinet
ini karena yang menunjuk Burhanuddin Harahap sebagai kepala pemerintahan
kabinet ini adalah Wakil Presiden Mohammad Hatta. Program kerja Kabinet
Burhanuddin Harahap yaitu:

mengembalikan kewibawaan moral pemerintah, dalam hal ini kepercayaan


Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah;
melaksanakan pemilihan umum, desentralisasi, memecahkan masalah inflasi, dan
pemberantasan korupsi; serta
memperjuangkan pengembalian Irian Barat.
Keberhasilan kabinet ini di antaranya mengadakan perbaikan ekonomi, termasuk
mengendalikan harga dengan menjaga agar tidak terjadi inflasi dan sebagainya.
Dalam masalah ekonomi, kabinet ini telah berhasil cukup baik. Dapat dikatakan
bahwa kehidupan rakyat semasa kabinet ini cukup makmur karena harga-harga
barang kebutuhan pokok tidak melonjak naik akibat inflasi. Dalam periode
kabinet ini, pemilihan umum pertama tahun 1955 dilaksanakan untuk memilih
anggota-anggota DPR. Selain itu, kabinet ini juga mengembalikan wibawa
pemerintah Republik Indonesia di mata pihak Angkatan Darat.

Kabinet ini jatuh tidak diakibatkan oleh keretakan di dalam tubuh kabinet, juga
bukan karena dijatuhkan oleh kelompok oposisi yang mencetuskan mosi tidak
percaya dari parlemen, tetapi karena merasa tugasnya sudah selesai. Pada
tanggal 2 Maret 1956 pukul 10.00 siang, Kabinet Burhanuddin Harahap
mengundurkan diri, sekaligus menyerahkan mandatnya kepada Presiden untuk
dibentuk kabinet baru berdasarkan hasil pemilihan umum. Kabinet ini terus
bekerja sebagai kabinet demisioner selama 20 hari sampai terbentuknya kabinet
baru yakni Kabinet Ali–Roem–Idham yang dilantik tanggal 24 Maret 1956 dan
serah terima dengan Kabinet Burhanuddin Harahap dilakukan tanggal 26 Maret
1956.

Kabinet Ali Sastroamidjojo II


Artikel utama: Kabinet Ali Sastroamidjojo II
Kabinet Ali Sastroamidjojo II disebut pula Kabinet Ali–Roem–Idham karena
dipimpin oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dari PNI beserta dua Wakil
Perdana Menteri yakni Mohamad Roem dari Masyumi dan Idham Chalid dari NU.
Program pokok kabinet ini adalah pembatalan Konferensi Meja Bundar,
pemulihan keamanan dan ketertiban, dan melaksanakan keputusan Konferensi
Asia–Afrika. Program kerjanya disebut rencana pembangunan lima tahun yang
memuat program jangka panjang, yaitu

menyelesaikan pembatalan hasil Konferensi Meja Bundar;


menyelesaikan masalah Irian Barat;
membentuk Provinsi Irian Barat;
menjalankan politik luar negeri bebas aktif;
membentuk daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-
anggota DPRD;
mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai;
menyehatkan keseimbangan keuangan negara; dan
mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.

Kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo II mendapat dukungan penuh dari presiden dan
dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment, yang hasilnya
adalah pembatalan seluruh perjanjian KMB. Kabinet ini pun berumur tidak lebih
dari satu tahun dan akhirnya digantikan oleh Kabinet Djuanda karena mundurnya
sejumlah menteri dari Masyumi yang membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh
dan menyerahkan mandatnya pada Presiden.

Kabinet Djuanda
Artikel utama: Kabinet Djuanda
Kabinet Djuanda atau juga disebut Kabinet Karya dipimpin oleh Perdana Menteri
Djoeanda Kartawidjaja dari PNI, beserta tiga orang Wakil Perdana Menteri yaitu
Hardi dari PNI, Idham Chalid dari NU, serta Johannes Leimena dari Parkindo.
Kabinet ini memiliki 5 program yang disebut Pancakarya yaitu

membentuk Dewan Nasional,


menormalisasi keadaan Republik Indonesia,
melanjutkan pembatalan Konferensi Meja Bundar,
memperjuangkan Irian Barat, dan
mempercepat pembangunan.
Kebijakan ekonomi
Pemerintah Indonesia harus menghadapi banyak masalah terkait dengan
masalah keamanan dan pertahanan negara. Masalah tersebut di antaranya
adalah kemelut yang terjadi di tubuh Angkatan Darat seperti upaya-upaya
memecah integrasi bangsa dan sejumlah permasalahan ekonomi negara.
Permasalahan yang muncul ini tidak lepas dari beberapa hal berikut.

Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda yang diumumkan pada 27 Desember


1949, bangsa Indonesia dinyatakan menanggung beban ekonomi dan keuangan
yang cukup besar seperti yang diputuskan dalam Konferensi Meja Bundar.
Ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh jatuh bangunnya kabinet berdampak
pada ketidakberlanjutan program sehingga pemerintah harus mengeluarkan
anggaran untuk mengatasi biaya operasional pertahanan dan keamanan negara.
Permasalahan lain yang harus dihadapi adalah ekspor Indonesia yang hanya
bergantung pada hasil perkebunan dan angka pertumbuhan penduduk semakin
meningkat dengan tajam. Sumitro Djojohadikusumo, ahli ekonomi Indonesia
berhasil merancang gerakan Benteng sebagai salah satu usaha untuk
memperbaiki perekonomian negara. Tercetusnya Gerakan Benteng didasari atas
gagasan penting untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi
nasional.

Gagasan Sumitro kemudian ditetapkan dalam program Kabinet Natsir Pada bulan
April 1950 dengan nama Program Benteng. Program Benteng tahap 1 resmi
dijalankan selama 3 tahun (1950-1953) dengan 3 kabinet berbeda (Natsir,
Sukiman, dan Wilopo). Selama 3 tahun, lebih dari 700-an bidang usaha
bumiputera memperoleh bantuan kredit dari program ini.

Akan tetapi, hal yang diharapkan dari program ini tidak sepenuhnya tercapai,
bahkan banyak pula yang membebani keuangan negara. Ada banyak faktor yang
menyebabkan kegagalan program ini, salah satunya mentalitas para pengusaha
bumiputera yang konsumtif, besarnya keinginan untuk memperoleh keuntungan
secara cepat, dan menikmati kemewahan.

Sebenarnya pemberian kredit impor yang diberikan kepada para pengusaha


bumiputera dimaksudkan untuk memicu pertumbuhan perekonomian nasional.
Akan tetapi, kebijakan ini ternyata tidak mampu meruntuhkan dominasi para
pengusaha asing. Oligopoli yang dibangun oleh para pengusaha dari perusahaan
Inggris, Belanda, dan Tiongkok yang pandai memanfaatkan peluang ternyata
tetap menguasai pasar.

Program Benteng tahap 2 dimulai pada masa Kabinet Ali pertama. Program
Benteng tahap 2 merancang pemberian kredit dan lisensi pada pengusaha
swasta nasional bumiputera agar dapat bersaing dengan para pengusaha non
bumiputera. Jika pada awal tahun 1943 para importir pribumi hanya menerima
37,9% dari total ekspor impor, maka mereka telah menerima 80% sampai 90%
pada masa Kabinet Ali. Total dari 700 perusahaan yang menerima bantuan
menjadi 4000-5000 perusahaan.

Program Benteng gagal karena salah sasaran. Banyak perusahaan bumiputera


yang menjual lisensi impor yang diberikan oleh pemerintah kepada para
pengusaha non bumiputera. Hal ini menimbulkan istilah perusahaan "Alibaba".
Sebutan "Ali" merepresentasikan bumiputera sedangkan "Baba"
merepresentasikan non bumiputera. Bantuan kredit dan pemberian kemudahan
dalam menerima lisensi impor kemudian dinilai tidak efektif. Padahal pemerintah
telah menambah beban keuangannya sehingga menjadi salah satu sumber
defisit. Selain itu, Program Benteng diterapkan ketika industri Indonesia masih
lemah dan tingginya persaingan politik program ini dimanfaatkan oleh sebagian
partai politik untuk memperoleh dukungan.

Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) berintikan Masyumi dan PSI dengan
Mohammad Natsir sebagai perdana menteri. Kebijakan-kebijakan Natsir yang
mengutamakan pembangunan perekonomian negara dianggap telah
mengabaikan masalah kedaulatan Papua oleh partai oposisi. Soekarno pun
menyetujui bahwa masalah kedaulatan Papua (yang melalui perundingan tidak
mengalami kemajuan) tidak boleh disepelekan. Kondisi ini membuat Natsir
bersikeras agar Soekarno membatasi dirinya dalam peran presiden yang hanya
sebagai lambang saja. Puncaknya, Natsir menyerahkan jabatannya yang
kemudian digantikan oleh Sukiman pada April 1951.
Jatuhnya Kabinet Sukiman disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran
nota keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan
Duta Besar AS Merle Cochran. Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS
kepada Indonesia didasarkan pada ikatan Mutual Security Act (MSA) yang di
dalamnya terdapat pembatasan terhadap kebebasan politik luar negeri yang
bebas aktif. Indonesia diwajibkan lebih memperhatikan AS sehingga tindakan
Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif
dan dianggap lebih condong ke blok Barat. Selain itu, penyebab lainnya adalah
semakin meluasnya korupsi di kalangan birokrat dan gagalnya Kabinet Sukiman
dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.

Lain halnya dengan Kabinet Ali I (kabinet koalisi antara PNI dan NU), kabinet ini
jatuh karena tidak dapat menyelesaikan kemelut yang ada di tubuh Angkatan
Darat dan pemberontakan DI/TII yang berkobar di Jawa Barat, Sulawesi Selatan,
dan Aceh. Selain itu, ada pula konflik antara PNI dan NU yang mengakibatkan NU
menarik semua menterinya yang duduk di kabinet.

Jatuh bangunnya kabinet dalam waktu yang singkat menimbulkan ketidakstabilan


politik yang mengakibatkan program-program kabinet tidak berjalan dengan baik.
Kondisi ini yang kemudian membuat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit
Presiden pada 5 Juli 1959.

Dekret Presiden 5 Juli 1959


Kata dekrit berasal dari bahasa Latin decemere yang berarti mengakhiri atau
memutuskan. Kata dekrit, kemudian digunakan untuk menunjukkan adanya
perintah dari kepala negara atau kepala pemerintahan untuk mengakhiri atau
memutuskan sesuatu yang terkait dengan sistem pemerintahan yang berjalan.
Dekrit yang dikeluarkan Presiden Soekarno berisi:

Pembubaran Konstituante hasil Pemilu 1955;


Pemberlakuan kembali UUD 1945 menggantikan UUDS 1950;
Pembentukan MPRS yang terdiri dari para anggota DPR ditambah dengan para
utusan daerah dan golongan.
Beberapa alasan mengapa Presiden Soekarno harus mengeluarkan dekrit adalah
sebagai berikut.

Kegagalan Konstituante untuk membuat UUD baru meskipun sudah berkali-kali


bersidang. Padahal, UUD sangat dibutuhkan sebagai pedoman hukum yang
penting dalam melaksanakan pemerintahan.
Situasi politik dan ketidakstabilan keamanan dalam negara semakin memburuk.
Konflik antarpartai yang terus-menerus terjadi sangat mengganggu stabilitas
nasional.
Para politisi partai yang saling berbeda pendapat sering bersikap membenarkan
segala cara agar tujuan kelompok/partai tercapai.
UUDS 1950 yang menerapkan Demokrasi Liberal dianggap tidak sesuai dengan
kondisi masyarakat Indonesia.
Sejumlah pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia semakin
mengarah kepada gerakan separatis.
Sisi positif dari adanya dekrit ini:

Memberikan pedoman yang jelas bagi kelangsungan negara melalui perintah


untuk kembali ke UUD 1945;
Menyelamatkan negara dari disintegrasi dan krisis politik yang berkepanjangan;
Memprakarsai pembentukan lembaga-lembaga tinggi negara (MPRS dan DPAS)
yang selama masa Demokrasi Liberal tertunda pembentukannya.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan Presiden Soekarno ialah dekrit yang
mengakhiri masa parlementer. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi
Terpimpin.

2. Demokrasi terpimpin ( 1959-1965 )

Demokrasi Terpimpin di Indonesia dimulai dengan dikeluarkannya Dekrit


Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno. Dekrit 5 Juli 1959 menandakan era
baru yang mana Indonesia meninggalkan Demokrasi Liberal berganti dengan
Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin diartikan sebagai demokrasi yang
dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Pada
prakteknya pengertian Demokrasi Terpimpin lebih cenderung kepada Demokrasi
yang dipimpin oleh presiden sebagai Panglima Besar Revolusi.

Berbagai peristiwa pada masa Demokrasi Terpimpin, antara lain:

Pembentukan MPRS

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dibentuk berdasarkan


Penpres No. 2 Tahun 1959. Para anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh
presiden dengan sejumlah persyaratan : setuju kembali kepada UUD 1945, setia
kepada perjuangan RI, dan setuju pada manifesto politik. Keanggotaan MPRS
terdiri atas 61 orang anggota DPR, dan 200 wakil golongan. Chaerul Shaleh
ditunjuk menjadi ketua MPRS. Tugas MPRS terbatas pada menetapkan Garis-
garis Besar Haluan Negara. Beberapa keputusan yang dibuat oleh MPRS:

Melaksanakan Manifesto politik


Pengangkatan Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup
Pidato presiden yang berjudul Berdiiri di atas Kaki Sendiri sebagai pedoman
revolusi dan politik luar negeri.
Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung

Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasakan Penpres


No. 3 Tahun 1959. Lembaga tinggi Negara diketuai oleh presiden dan Roeslan
Abdulgani sebagai wakilnya. Tugas DPAS adalah member jawaban atas
pertanyaan presiden dan mengajukan usul kepada pemerintah.
Pembentukan Kabinet Kerja

Pada tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk kabinet kerja. Karena tidak ada
wakil presiden, maka presiden mengadakan jabatan menteri pertama. Ir. Juanda
ditunjuk untuk memegang jabatan itu. Program kabinet kerja disebut dengan Tri
Program meliputi:

mencukupi kebutuhan sandang pangan,


menciptakan keamanan Negara,
mengembalikan Irian Barat.
Pembentukan Front Nasional

Front Nasional dibentuk berdasarkan Penpres No. 13 tahun 1959. Tujuan dari
Front nasional adalah menyatukan segala bentuk potensi nasional menjadi suatu
kekuatan menyukseskan pembangunan. Front Nasional dipimpin oleh Prsiden.
Tugas dari Front Nasional adalah:

Menyeesaikan revolusi nasional


Melaksankan pembangunan
Mengambalikan Irian Barat
Pembentukan Dewan Perancang Nasional (Depernas)

Depernas dipimpin oleh Mohammad Yamin dan beranggotakan 50 orang. Tugas


Depernas adalah menyiapkan rancangan undang-undang pembangunan nasional
sekaligus menilai pelaksanaannya. Pada tahun 1963, Depernas berganti naman
menjadi Badan Perancang Pembangunan Nasional (Beppenas). Ketua badan ini
diambil alih oleh presiden. Tugas Beppenas adalah:

Menyusun rencana pembangunan jangka panjang dan jangka pendek


Mengawasi pelaksanaan pembangunan
Menilai hasil kerja mendataris MPRS
Pembentukan DPR-GR

Pembubaran DPR hasil Pemiu 1955 disebabkan oleh penolakan DPR terhadap
RAPBN tahun 1960 yang diajukan oleh pemerintah. Presiden kemudian
mengeluarkan Penpres yang menyatakan DPR dibubarkan. Sebagai gantinya
presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat gotong-Royong (DPR-GR) yang
anggotanya ditunjuk oleh presiden. Tugas DPR-GR adalah: melaksanakan
manifesto politik, mewujudkan amanat penderitaan rakyat, melaksanakan
demokrasi terpimpin.
Pembubaran Masyumi dan PSI

Pada tanggal 17 Agustus 1960, pemerintah membubarkan Partai Masyumi dan


PSI. Pertimbangan pembubaran dua partai tersebut adalah dikarenakan
pemimpin-pemimpinnya turut serta memberikan bantuan terhadap
pemberontakan PRRI dan Permesta. Pembubaran partai politik merupakan
gagasan dari Presiden Soekarno, hal ini mengacu keberadaan partai politik pada
Demokrasi Liberal yang memunculkan ketidakstabilan dalam pemerintahan. Ide
tentang pembubaran partai politik ini mendapatkan tentangan dari berbagai
pihak, salah satunya dari Hatta. Oleh karena itu, Hatta kemudian mengundurkan
diri dari jabatannya sebagai wakil presiden Indonesia pada tanggal 1 Desember
1956.

Pembebasan Irian Barat

Pada Demokrasi Liberal sudah dilakukan berbagai upaya dalam rangka


pengembalian Irian Barat kepada Indonesia. Setiap Perdana Menteri pada masa
Demokrasi Liberal dalam program kerjanya terdapat upaya pengembalian Irian
Barat. Namun berbagai upaya tersebut belum mampu mengembalikan Irian
Barat. Perjuangan Irian Barat kemudian berlangsung pula pada masa Demokrasi
Terpimpin. Berbagai upaya dilakukan baik itu memalui upaya diplomasi,
konfrontasi politik, konfrontasi Ekonomi, pengumuman Trikora oleh presiden,
hingga operasi militer ke Irian Barat. Perjuangan tersebut menemui titik terang
dengan adanya Perjanjian New York yang salah satu poin utamanya adalah
wilayah Irian Barat diserahkan kepada Indonesia selambat-lambatnya tanggal 1
Mei 1963.

Ekonomi pada Demokrasi Terpimpin

Demokrasi Terpimpin dibentuk Seokarno pasca adanya Dekrit Presiden 5 Juli


1959. Dalam bidang ekonomi dipraktekkan ssstem ekonomi Terpimpin, Presiden
Soekarno secara langsung terjun dan mengatur perekonomian-perekonomian
yang terpusat pada pemerintah pusat yang menjurus pada sistem ekonomi
etatime menyebabkan menurunnya kegiatan ekonomi. Pada gilirannya keadaan
perekonomian mengalami invlasi yang cukup parah. Pada akhir tahun 1965 inflasi
telah mencapai 650 persen. Berbagai kebijakan Ekonomi pada masa Demokrasi
Terpimpin antara lain:

Pembentukan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang


diketuai oleh Presiden Soekarno dengan tugas menyusun rencana pembangunan
jangka panjang dan jangka pendek, serta mengawasi dan menilai pelaksanaan
pembangunan tersebut.
Melakukan pemotongan nilai mata uang atau senering pada tanggal 25 Agustus
1959 yang isinya : uang kertas pecahan bernilai Rp. 500 menjadi Rp. 50, uang
kertas pecahan Rp. 1.000 menjadi Rp. 100, dan pembekuan simpanan di bank
yang melebihi Rp. 25.000.

Deklarasi Ekonomi atau Dekan disusun oleh Panitia 13. Anggota panitia ini bukan
hanya para ahli ekonomi, namun juga melibatkan para pimpinan partai politik,
anggota Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR), pimpinan DPR, DPA.
Panitia ini menghasilkan konsep yang kemudian disebut Deklarasi Ekonomi
(Dekon) sebagai strategi dasar ekonomi Indonesia dalam rangka pelaksanaan
Ekonomi Terpimpin
Adanya devaluasi terhadap mata uang Rp. 1.000 menjadi Rp. 1
Pembentukan Bank Tunggal Milik Negara.

Politik Luar Negeri Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin

Pada masa Demokrasi Terpimpin, politik luar negeri Indonesia lebih condong ke
blok Timur hal ini dikarenakan kekecewaan Indonesia terhadap negara-negara
Barat yang dianggap kurang mendukung perjuangan Indonesia dalam upaya
pembebasan Irian Barat. Beberapa kebijakan luar negeri yang ditempuh oleh
presiden Seokarno antara lain:

Bersama dengan Yugoslavia, India, Ghana, dan Mesir, Indonesia memprakarsai


berdirinya Gerakan Non Blok (1961)
Pada saat pelaksanaan ASIAN Games ke-4 yang dilakukan di Jakarta, Indonesia
tidak mengundang Israel dan Taiwan.
Presiden Soekarno membagi kekuatan dunia menjadi dua yaitu Oldefo dan Nefo
Indonesia menyelenggaakan pecan olahraga untuk negara negara Nefo yang
bernama Game of The Emeging Forces (Ganefo) sebagai tandingan dari Olimpiade
Pembentukan poros Jakarta-Peking, yakni kerjasama antara Indonesia dengan
Cina
Melakukan konfrontasi dengan Malaysia
Presiden Soekarno merencanakan akan membentuk Conference of The New
Emerging Forces (Conefo) sebagai tandingan dari PBB.
Indonesia keluar dari PBB yang diumumkan secara langsung oleh Presiden
Soekarno pada tanggal 7 Januari 1965.

Penyimpangan Demokrasi Terpimpin di Indonesia

Berbagai penyimpangan muncul pada masa Demokrasi Terpimpin. Kekuasaan


presiden yang sangat besar menjadi salah satu penyebabnya. Berbagai
penyimpangan yang muncul antara lain:

Prosedur pembentukan MPRS dan DPRS, yang keduanya ditetapkan oleh Penpres.
Pada hal menurut undang-undang kedua lembaga tersebut dibentuk berdassakan
pemilu.
Membubarkan DPR hasil pemilu 1955, menurut UUD 1945 bahwa DPR adalah
mitra presiden dalam membuat undang-undang dan menetapkan RAPBN.
Menjadikan kedudukan pemimpin lembaa tertinggi dan lembaga Negara sebagai
menteri yang berarti sebagai pembantu presiden. Pada hal menurut UUD 1945
kedudukan MPR berada di atas presiden, sedangkan kedudukan lembaga-lembaga
tinggi sejajar dengan presiden.

Membentuk Front Nasional dan Musyawarah Pembantu pimpinan Revolusi. Kedua


lembaga tersebut tidak ada dalam UUD 1945.
Pengangkatan presiden seumur hidup, hal ini merupakan penyimpangan terhadap
UUD 1945. Menurut Pasal 7 UUD 1945 dinyatakan bahwa Presiden memagang
jabatan selama lima tahun sesudahnya dapat dipilih kembali
Lembaga-lembaga Negara berintikan Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom).
Hal ini mengakibatkan Komunis (PKI) banyak memegang peranan penting dalam
percaturan politik Negara. Di samping itu dengan memasukan PKI dalam
pemerintahan itu jelas bertentangan dengan Pancasila
Politik luar negeri Indonesia lebih condong ke blok timur.
Berakhirnya Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin berakhir setelah terjadinya peristiwa G 30 S/PKI yang diikuti
berbagai peristiwa lainnya. Dalam menganggapi aksi Demo Mahasiswa yang
terkenal dengan tuntutannya, yakni TRITURA, presiden Soekarno memberikan
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) kepada Letjen Soeharto untuk
mengambil tindakan untuk menjamin keamanan, ketenangan, dan kestabilan
jalannya pemerintahan, demi keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Keluarnya Supersemar ini kemudian menimbulkan dualisme kepemimpinan yang


mana Presiden Seokarno masih sah sebagai presiden Indonesia, sedangkan dalam
menjalankan kebijkan dilakukan oleh pengemban Supersemar, yakni Letjen
Soeharto. Keputusan tentang pengemban Supersemar diperkuat dengan adanya
Sidang Umum MPRS IV yang salah satu hasilnya adalah Tap MPRS No.
IX/MPRS/1966 mengesahkan dan mengukuhkan Supersemar.

Selain itu juga keluar Tap MPRS No. XV/MPRS/1966 yang menyatakan bahwa
apabila presiden berhalangan, pemegang Supersemar berfungsi sebagai pemegang
jabatan presiden. Pada tahun 1967, MPRS melakukan sidang meminta
pertanggungawaban Presiden Seokarno. Pada sidang tersebut presiden Soekarno
membacakan pidato Nawaksara dan kemudian ditambah dengan Pelengkap
Nawaksawa. Akan tetapi pidato pertanggungjawaban presiden tersebut ditolak.
Hasil Sidang Istimewa dikeluarkannya Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang
pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan
mengangkat Letjen Soeharto sebagai pejabat presiden. Pada tanggal 21-30 Maret
1968 diadakan Sidang Umum V MPRS menghasilkan keputusan pengangkatan
Soeharto dari Pejabat Presiden menjadi Presiden Republik Indonesia ke-2.
Pengangkatan Soeharto sebagai presiden ke-2 dilakukan pada tanggal 27 Maret
1968.
Berbagai peristiwa dari keluarnya Supersemar hingga berujung dengan
pengangkatan Soeharto sebagai presiden Indonesia ini menandakan berakhirnya
Demokrasi Terpimpin berganti dengan masa Orde Baru.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Penataan di bidang politik memiliki implikasi terhadap kehidupan ekonomi.
Kekuatan politik dan ekonomi saling memengaruhi secara respirokal dan hal
ini dapat terliat di dalam kehidupan demokrasi di Indonesia pada saat ini.
Penyederhanaan Partai PolitikPada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan
umum yang pertama pada masa Orde Baru pemerintahan pemerintah
melakukan penyederhaan dan penggabungan (fusi) partai- partai politik
menjadi tiga kekuatan social politik. Program pemerintah diarahkan pada
upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama stabilisasi dan rehabilitasi
ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berarti mengendalikan
inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Masa Demokrasi
Terpimpin 1959-1965 Masalah kita bangsa Indonesia hanya bisa dipecahkan
dengan perumusan nilai-nilai murni bangsa sendiri. Sebagian kelompok
merasa merdeka dengan diberlakukannya sistem domokrasi di Indonesia.

B. SARAN
Tentunya terhadap penyusun sudah menyadari jika dalam penyusunan
makalah di atas masih banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna.
Adapun nantinya penyusun akan segera melakukan perbaikan susunan
makalah itu dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik
yang bisa membangun dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

https://gulalima.blogspot.com/2012/12/penataan-kehidupan-politik.html
https://guruppkn.com/6-perbedaan-demokrasi-liberal-dan-demokrasi-
terpimpin-di-indonesia.
https://id.wikipedia.org/wiki/
Sejarah_Indonesia_(1950%E2%80%931959)
https://www.donisetyawan.com/demokrasi-terpimpin-di-indonesia-1959-
1965/
MATERI
MTK WAJIB
DIAGRAM BATANG

DI SUSUN OLEH KELOMPOK II :


MARGARETA PELAGIA MARLI
EMELIANA JESI
NELA
TASA RATU ANANDA
MARSELINA ANJELINA
LALA
BUYUNG
GURU MATA PELAJARAN :

KELAS XII IPS 1


SMA HARAPAN PAHAUMAN

KECAMATAN SNEGAH TEMILA


KABUPATEN LANDAK
PROVINSI KALIMANTAN BARAT
TAHUN 2022

Anda mungkin juga menyukai