Oleh:
1. Sulaimah (120100150)
2. Avissa Abli Umayyah (120100152)
3. Ghina Fikriya Putri (120100163)
KELAS E
2020
Keterangan Buku
Tidak kurang dari 25 buah kabinet yang memerintah di Indonesia selama Indonesia
merdeka. Dari jumlah tersebut hanya 7 kabinet yang berhasil memerintah selama 12
sampai 23 bulan. Lalu terdapat 12 kabinet yang berumur antara 6 sampai 11 bulan. Dan 6
buah kabinet yang hanya bisa bertahan di antara 1 sampai 4 bulan.
Demikian salah satu gambaran dari ketidakstabilan politik Indonesia, yakni di lihat
dari kesempatan yang tersedia bagi setiap pemerintah (kabinet) untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapinya. Dalam pada itu terdapat 45 buah protes melaluí
sumber daya, 83 huru-hara (kerusuhan) dan 615.000 kematian yang disebabkan kekerasan
politik di antara tahun 1948 dan 1967. Betapa rapuhnya kestabilan politik di Indonesia.
Kalau ketidakstabilan yang terdahulu lebih bersumber daripada kelemahan elit untuk
bekerja sama satu sama lain, maka yang terakhir ini lebih disebabkan oleh belum
melembaganya struktur dan prosedur politik yang mampu memberi tempat kepada
masyarakat luas untuk mengambil bagian di dalam proses politik.
Oleh karena itu adalah logis program politik Orde Baru pada awal kekuasaannya untuk
menegakkan kestabilan politik untuk memberi landasan kepada pembangunan. Secara
teoritis, stabilitas politik banyak ditentukan oleh 3 variabel yang berkaitan satu sama lain,
yakni perkembangan ekonomi yang memadai, perkembangan perlembagaan baik struktur
maupun proses politik, dan partisipasi politik.
Kesimpulan bahwa masalah politik yang penting pada masa ini bersumber dari
perkembangan industri yang cepat. Dengan cepat perkembangan industri tersebut
memperbesar jumlah buruh tidak ahli yang berasal dari pedesaan, karena masyarakat tidak
mampu menyediakan tenaga ahli sesuai dengan kecepatan perkembangan kebutuhan
Industri akan tenaga ahli. Akibatnya pengangguran menjadi masalah politik yang perlu
diselesaikan dengan segera. Hal inilah yang merupakan salah satu sebab dari penerimaan
masyarakat, terutama kaum buruh Jerman kepada Litler dengan harapan Hitler akan
membawa perubahan yang mendasar bagi sistem politik dan sosial Jerman pada waktu itu.
Bagi Indonesia yang tidak kurang dari 70 persen penduduk hidup dalam sektor
pertanian, kenyataan sejarah di atas masih bermakna untuk diperhatikan. Persoalan pokok
adalah bagaimana menyeimbangkan antar daya serap tenaga kerja dari semua sektor
ekonomi dengan persediaan tenaga kerja yang ada di dalam masyarakat. Kecenderungan
ini menyebabkan tumbuhnya potensi radikal pada petani di pedesaan dan lapisan bawah
masyarakat di kota, karena rasaketidakpuasan serta perasaan tidak aman tentang kehidupan
baik masa kini maupun masa yang akan datang. Para ahli yang meneliti sebab-sebab yang
hakiki dari relatif mudahnya Partai Komunis Indonesia (PKI) menggerakkan massa petani
untuk melakukan aksi sepihak pada awal tahun enampuluhan, melihat bahwa
ketidakpuasan di kalangan petani menyebabkan mereka lebih mudah tertarik ke dalam
taktik perjuangan PKI, seperti pembagian tanah dan lain-lain.
Demikian pula dengan terjadinya peristiwa Bogor dan Sukabumi dalam tahun 1964
peristiwa Bandung tahun 1973, dan mungkin sekali peristiwa Jakarta dalam bulan Januari
tahun 1974; sebab hakiki dari peristiwa-peristiwa tersebut jauh terletak pada rasa
ketidakpuasan umum terhadap suasana kehidupan yang dirasakan oleh masyarakat. Di
samping kesemuanya itu, dalam situasi di mana “perkembangan ekonomi yang tidak
diimbangi oleh perluasan partisipasi masyarakat secara politik, sukar pula diharapkan
terpeliharanya kestabilan politik.”
Bab 2
Partai Politik: Partisipasi Politik dan Legitimasi Sistem Politik
Sistem Politik
Masyarakat yang secara minimal mengenal berbagai sistem politik di dunia dan
mencoba mempraktekkan salah satu atau kombinasi sistem politik yang dikenalnya.
Demikian halnya dengan partai politik yang sebelum kemerdekaan sudah menghadapi
berbagai masalah kehidupan partai. Para perintis kemerdekaan sudah memikirkan sistem
kepartaian apa yang akan dikembangkan di Indonesia, namun mereka tidak berkesempatan
mempraktekkan pemikiran-pemikiran mereka. Di samping itu, perkembangan ekonomi dan
kemasyarakatan belum memberi kesempatan meletakkan dasar-dasar kehidupan partai
politik yang diharapkan.
Pengelompokan Partai
Faktor sejarah, sifat-sifat hubungan masyarakat, kemampuan organisasi elit, dan sikap
ideologi berpengaruh negatif pada kehidupan partai politik. Namun, seringkali pemimpin
cenderung mempermasalahkan jumlah partai yang terlalu banyak sebagai masalah pokok
di balik lemahnya partai. Masalahnya ialah apakah dengan menyederhanakan jumlah
partai, perbaikan kehidupan partai dapat dilaksanakan.
Usaha penyederhanaan partai politik dengan menyederhanakan jumlah partai politik
dilakukan pada masa Orde Baru dengan hanya mengizinkan tiga parpol dan satu golongan
karya untuk mengikuti pemilu setelah tahun 1971. Berhasil atau tidaknya akan diukur dari
perkembangan sejarah. Tidak mudah memperkirakan kemungkinan yang akan dialami dari
pendekatan tersebut.
BAB 3
Angkatan Bersenjata: Pembangunan dan Pembaruan Politik
BAB 4
Mahasiswa dan Angkatan Muda
Sumpah Pemuda tahun 1928 dianggap merupakan yang pertama kali mengeluarkan
pendapat bahwa angkatan muda adalah komponen dalam masyarakat yang juga mengambil
bagian di dalam kehidupan politik Indonesia. Tercapainya kemerdekaan, tidaklah
mengendorkan kegiatan angkatan muda di dalam politik Indonesia, dengan kata lain teknik
perjuangan, permasalahan yang menjadi titik tolak kegiatan dari aktivitas bisa berbeda dari
waktu ke waktu.
Menurut pandangan partai politik, perkembangan jumlah mahasiswa dilihat sebagai
kekuatan potensial, karena itu menjelang pemilu tahun 1955 partai politik meningkatkan
kegiatan di kalangan mahasiswa dalam rangka memperoleh dukungan, karakteristik dari
mahasiswa sendiri merupakan faktor pendorong bagi meningkatnya peranan mereka di
dalam kehidupan politik angkatan muda.
Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik,
mahasiswa mempunyai horizon yang cukup luas di antara keseluruhan untuk lebih mampu
bergerak di antara pelapisan masyarakat.
Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah,
mahasiswa dianggap telah melalui proses sosialisasi yang terpanjang di antara angkatan
muda. Di damping oleh sosialisasi di bidang politik yang sekiranya didapat dari berbagai
organisasi mahasiswa, baik yang pro kepada salah satu partai politik, maupun yang bukan.
Maka mahasiswa merupakan kelompok dari angkatan muda yang mempunyai pengetahuan
sosial dan politik yang lebih banyak.
Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa,
jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga sosial lainnya, maka universitas lebih kentara
maknanya bagi pembentukan akulturasi sosial dan budaya dikalangan angkatan muda.
Keempat, mahasiswa dianggap sudah menjadi atau merupakan kalangan elit di antara
kalangan angkatan muda lainnya, sebab mahasiswa yang merupakan bagian kecil dari
angkatan muda umumnya mempunyai latar belakang sosial, ekonomi, dan pendidikan yang
lebih baik dibandingkan angkatan muda lainnya.
Kelima, meningkatnya kepemimpinan mahasiswa di kalangan angkatan muda tidak
terlepas daripada perubahan kecenderungan orientasi universitas. Mahasiswa sebagai
komponen universitas mempunyai kesempatan untuk terlibat di dalam pemikiran,
pembicaraan serta penelitian tentang masalah-masalah seperti halnya, hampir separuh dari
tamatan universitas yang berasal dari daerah tidak kembali ke daerah asalnya malah
mencari pekerjaan di kota, hal ini dikarenakan lapangan pekerjaan di daerah tidak
memadai untuk tamatan universitas.
Adapun faktor-faktor pendorong mahasiswa untuk terjun ke dunia politik tidaklah
terpisah dari unsur-unsur penyebab politik angkatan muda. Perbedaan nilai antara generasi
angkatan muda dengan generasi angkatan yang lebih tua mendorong terbentuknya generasi
muda sebagai kekuatan politik di Indonesia, akan tetapi sesuai dengan tanggapan mereka
terhadap lingkungan dan diri sendiri membuat generasi muda lebih tertarik kepada
masalah-masalah kesempatan kerja, kebebasan berbicara dan berkumpul, karena menurut
mereka hal-hal tersebut akan mereka hadapi secara nyata dan akan mempengaruhi
kehidupan mereka di hari depan.
Umumnya mahasiswa yang aktif berpolitik adalah mereka yang memiliki pandangan
pesimis mengenai kemungkinan untuk memperoleh posisi yang baik di dalam masyarakat,
sebaliknya mahasiswa yang berhasil studinya dan lebih yakin akan ketersedianya
kesempatan untuk memperoleh jabatan yang baik, pada umumnya memperlihatkan
kecenderungan yang kecil untuk berpolitik. Di dalam hal ini, faktor idealisme yang
mendorong bagi kegiatan politik mahasiswa pada umumnya mungkin akan memberikan
jawaban yang bermakna untuk diperhatikan.
Semua unsur-unsur yang telah dibahas adalah yang bersama-sama mendorong kegiatan
politik mahasiswa disekitar pergantian sistem politik Demokrasi Terpimpin kepada sistem
politik Demokrasi Pancasila.
BAB 5
Politik, Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat
Kehidupan politik dan ekonomi di Indonesia tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Kedua unsur kehidupan itu sebagai sub-sistem yang mempunyai sifat dan fungsi tersendiri.
Misalnya pada perencanaan dan pengerahan masyarakat terhadap pembangunan
perekonomian merupakan contoh dari hubungan yang sangat erat antara politik dan
ekonomi.
Di Indonesia, hubungan antara politik dan ekonomi Indonesia bisa terjalin dengan erat
dikarenakan beberapa faktor.
Pertama, sebagai negara yang baru lepas dari sistem ekonomi kolonial di mana sistem
ekonomi terpecah menjadi dua unsur yaitu, ekonomi ekspor dan ekonomi lokal. Tindakan
seperti itu diperlukan pula mengingat perekonomian lokal terjerat di dalam sistem produksi
untuk kebutuhan sendiri. Bahkan untuk pasar yang menghendaki produksi yang cukup
besar.
Kedua, sebagai akibat dari sistem ekonomi penjajahan di mana masyarakat lebih
terpusat kepada sektor produksi pertanian, maka sektor industri dan perdagangan
menengah atau perantara dengan sektor ekspor amatlah lemah. Masyarakat kurang mampu
mengembangkan keahlian seperti manajemen dan permodalan.
Ketiga, kelompok ekonomi yang baru tumbuh ini juga lemah kedudukannya untuk
bersaing dengan kelompok ekonomi yang telah berpengalaman sebagai perantara di dalam
sistem ekonomi kolonial. Seperti kelompok ekonomi pribumi menghadapi kelompok
ekonomi Tionghoa dan orang asing lainnya.
Keempat, secara nasional kelompok-kelompok ekonomi tersebut belum mampu melihat
potensi sesungguhnya yang dimiliki Indonesia, sehingga sulit bagi mereka untuk bersaing
dengan kelompok ekonomi lainnya. Keseluruhan faktor ini memperlihatkan adanya
kebutuhan akan suatu pengorganisasian yang meliputi perekonomian masyarakat Indonesia
secara keseluruhan.
Pada umumnya dikenal tiga usaha pokok yang harus dilaksanakan pemerintah dalam hal
perekonomian ini. Pertama, mengatur kegiatan ekonomi secara keseluruhan, menekan
pengangguran, dan menjaga kestabilan harga. Kedua ialah membagi kembali penghasilan
nasional kepada masyarakat melalui pajak progresif, sumbangan-sumbangan, dan subsidi
jaminan sosial. Dan yang ketiga yaitu menyediakan prasarana bagi perekonomian dalam
bentuk fasilitas komunikasi.
Di Indonesia, pengusaha sebagai kelompok masih lemah dan perusahaan besar nasional
masih kecil jumlahnya. Sedangkan kecenderungan generasi muda untuk terjun ke dalam
dunia usaha masih kecil. Akhirnya perhatian kita tertuju kepada daerah pedesaan yang
sesungguhnya merupakan basis dari kehidupan sosial, ekonomi, dan politik bangsa
Indonesia.
Hal yang paling penting antara hubungan sistem ekonomi dan politik adalah politik
memiliki kewenangan untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang nantinya dapat
digunakan sebagai salah satu solusi untuk menstabilkan perekonomian atau bahkan untuk
memajukan perekonomian di Indonesia.