Anda di halaman 1dari 15

PAPER TEORI ORGANISASI

“HAMBATAN PELAYANAN PUBLIK DALAM PELAKSANAAN REFORMASI


BIROKRASI DI INDONESIA”

Dosen Pengampu: Drs. Wahyu Nurharjadmo, M.Si.

Disusun oleh:

Dimas Oxa Setiyanto D0118026

ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2014 Pasal 2 huruf F tentang ASN jelas tertera,
asas, prinsip, nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku penyelenggaraan kebijakan,
manajemen ASN salah satunya berdasarkan asas netralitas. Bahkan dalam pasal 280 ayat
(2) UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan, ASN, pimpinan MA atau MK sampai
perangkat desa dan kelurahan dilarang diikutsertakan dalam kegiatan kampanye. Jika
pihak-pihak disebutkan tetap diikutsertakan dalam kampanye maka akan dikenakan
sanksi pidana kurungan dan denda. Sanksi tersebut tertuang, dalam Pasal 494 UU 7
tahun 2017 yang menyebutkan, setiap ASN, anggota TNI dan Polri, kepala desa,
perangkat desa, dan/atau anggota badan permusyawaratan desa yang terlibat sebagai
pelaksana atau tim kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (3) dapat
dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp.
12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Namun Badan Kepegawaian Negara (BKN) melalui Kedeputian Bidang


Pengawasan dan Pengendalian Kepegawaian (Wasdalpeg) mencatat ada 990 kasus
pelanggaran netralitas yang dilakukan ASN sejak Januari 2018 sampai dengan Maret
2019. Sedangkan hasil pengawasan Bawaslu, sekitar 1.096 pelanggaran hukum terkait
netralitas ASN, TNI dan Polri saat Pemilu 2019. Menariknya, 162 kasus dugaan
pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu 2019, yaitu KPU dan
Bawaslu.

Meski dengan banyaknya larangan, anjuran, peraturan dan peringatan peringatan


agar ASN tetap menjaga netralitasnya dalam pemilu kasus kasus tersebut terus terjadi
dan berulang setiap kali agenda demokrasi dilaksanakan. Bukannya berkurang
pelanggaran netralitas ASN justru meningkat setiap tahunnya. Dengan alasan itulah
kelompok kami bermaksud untuk mengangkat permasalahan ini dan menjabarkanya
secara lebih mendalam.

B. Rumusan Masalah

1.
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep Birokrasi

Dari aspek etimologi, birokrasi berasal dari bahasa Prancis, bureau yang
berarti meja tulis, yaitu suatu tempat para pergawai bekerja dan kratos berasal dari
perkataan Yunani yang berarti kekuasaan atau kepemimpinan. Birokrasi kemudian
menjadi bureaucracy yang berasal dari bahasa bereau yang berarti meja dan cratein
berarti kekuasaan (Albrow 1970:3; Huber & Shipan 2001:162). Dari kata asal birokrasi
tersebut, Hummel (2007:67) menjelaskan birokrasi “is an organized group of people who
carry out their work according to rules and procedures that have been stipulated in term
of offices an not of persons.” Terry (2003:7) memberikan pengertian birokrasi dengan
menyatakan: “bureaucrats are usually those play a role of managerial, charging in both
central commitees and individual sectors, generally it seems described in a public
administrative manner to be both intermediate and top management.”

Menurut Weber (1952) birokrasi yang baik adalah bisa di laksanakan dalam
kondisi organisasi khusus sehingga dapat membedakan dengan organisasi lainnya. Oleh
itu, birokrasi ideal menurut beliau hanya sebuah rangkaian yang dapat menjawab
masalah khusus pada kondisi waktu dan tempat tertentu. Pandangan birokrasi Weber di
atas secara garis besar memberikan beberapa pengertian. Pertama, birokrasi merupakan
organisasi formal yang bekerja berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan. Kedua,
birokrasi mempunyai bidang kekuasaan dan otoritas tertentu. Ketiga, birokrasi
mempunyai susunan posisi mengikuti dasar hierarki dimana kedudukan yang lebih
rendah berada di bawah kontrol dan pengendalian kedudukan yang lebih tinggi. Keempat,
adanya latihan dan kenaikan pangkat berdasarkan kelayakan dan kelulusan. Kelima,
pegawai merupakan tenaga profesional yang dibayar secara tetap (Weber 1952:21-22).

B. Politisasi Birokrasi

Menurut Budi Setyono (2005: 29-30), pada dasarnya birokrasi lahir sebagai
produk dari sebuah proses sosial yang panjang dan kompleks yaitu dari serangkaian
prosedur yang berliku dan menyangkut kontekstualitas sosial yang universal. Birokrasi
adalah mesin negara (state michenary), karena jika tidak ada negara maka birokrasipun
juga tidak pernah ada, dan sebaliknya juga tidak mungkin ada negara tanpa ditopang oleh
orgasasi birokrasi. Peran birokrasi menentukan hitam putihnya kehidupan masyarakat
dan negara. Jika birokrasi baik, maka negara dan masyarakat akan baik. Begitu juga
sebaliknya, jika birokrasi buruk maka masyarakat juga akan buruk.

Sedangkan politisasi menurut Kamus Besar Bahasa lndonesia diartikan


sebagai hal membuat keadaan (perbuatan, gagasan, dan sebagainya) bersifat politis. Juga
berarti membuat atau mengupayakan agar sesuatu sesuai dengan kepentingannya.
Politisasi birokrasi berarti membuat agar organisasi birokrasi bekerja dan berbuat (patuh
dan taat) sesuai dengan kepentingan politik yang berkuasa. Politisasi birokrasi berada
didua sisi; berasal dari sisi partai politik yang mengintervensi birokrasi atau dari
eksekutif itu sendiri yang mempolitisir birokrasi untuk kepentingannya (kekuasaan).
Tetapi keduanya memiliki kepentingan yang sama yaitu melanggengkan atau
mempertahankan kekuasaan.

Model yang dinilai lebih rasional karena memanfaatkan dasar pemikiran


kelompok Weberian, misalnya model yang dikemukakan Dunleavy dan O’Leary (1987).
Menurut Kumorotomo dan Widyaningrum (2010, 157), bahwa kedua penulis tersebut
diatas menawarkan sejumlah model yang bertujuan agar birokrasi tetap bekerja secara
professional dan terhindar dari intervensi politik yang berlebihan. Model pertama yang
disebut sebagai “model Perwakilan Konstitusional” yang membedakan antara pejabat
politik (elected official) dengan pejabat karier (oppointed official). Model kedua adalah
“Pluralis” yang mengibaratkan birokrasi seolah-olah sebagai actor yang memiliki
kepentingan di antara berbagai kelompok kepentingan lainnya. Model ketiga adalah
“otonom tetapi demokratis” yang menjelaskan adanya policy networks dalam formulasi
kebijakan. Model keempat adalah “New Right” yang melibatkan adanya kecenderungan
birokrasi tidak efisien dan tumbuh tanpa alasan jelas. Penyebabnya adalah kehadiran
partai politik. Menurut pendukung kelompok ini kehadiran parpol sebagai sebuah
kejahatan karena kehadirannya membuat effisiensi pemerintahan terganggu.

Mengingat tugas birokrasi ini sangat vital dalam penyelenggaraan negara dan
pelayanan publik, maka profesionalisme birokrasi mutlak menjadi ruh, derap, dan
langkah setiap aparat birokrasi. Politisasi birokrasi dalam kancah politik praktis sesaat
jelas merusak tatanan birokrasi profesional yang diidamkan.
C. Netralitas Birokrasi

Birokrasi merupakan suatu sistem untuk mengatur organisasi yang besar agar
diperoleh pengelolaan yang efisien, rasional, dan efektif (Thoha, 2008: 15). Model
birokrasi Weberian yang selama ini dipahami merupakan sebuah mesin yang disiapkan
untuk menjalankan dan mewujudkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Dengan demikian
setiap pegawai dalam birokrasi pemerintah merupakan penggerak dari sebuah mesin
yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan pribadi. Oleh karena itu setiap pejabat
pemerintah tidak mempunyai tanggug jawab publik kecuali pada bidang tugas yang
dibebankan kepadanya. Sepanjang tugas dan tanggung jawab sebagai mesin itu
dijalankan sesuai dengan proses dan prosedur yang telah ditetapkan, maka akuntabilitas
pejabat birokrasi pemerintah telah diwujudkan. Pandangan seperti ini menjadikan
birokrasi bertindak sebagai instrumen yang profesional, netral dari pengaruh kekuasaan
dan kepentingan politik tertentu.

Aspek netralitas dari fungsi birokrasi pemerintahan dalam pemikiran Weber


dikenal sebagai konsep konservatif bagi para pemikir pada zaman itu. Weber
menganggap bahwa birokrasi dibentuk harus independen dari kekuatan politik, artinya
birokrasi pemerintah diposisikan sebagai kekuatan yang netral. Netralitas birokrasi bukan
diartikan untuk menjalankan kebijakan atau perintah dari kekuatan politik, tetapi lebih
diutamakan kepada kepentingan negara dan rakyat secara keseluruhan. Sehingga
siapapun kekuatan politik yang memerintah, birokrasi tetap memberikan pelayanan yang
terbaik kepada masyarakatnya (Rakmawanto, 2007: 112) .

Sedangkan menurut Sondang P Siagian birokrasi harus netral, artinya prinsip


ini diinterpretasikan dengan mengatakan bahwa birokrasi pemerintah harus tetap
berfungsi sebagaimana mestinya, terlepas dari pengaruh partai politik manapun yang
berkuasa karena menang dalam pemilihan umum. Interpreteasi demikian dianggap tepat
sepanjang partai politik yang berkuasa tetap berpegang teguh pada tujuan negara yang
bersangkutan dan mengoperasionalkan mekanisme kerja, sehingga berbagai upaya
pencapaian tujuan berlangsung dengan efektif,efisien,dan produktif. Persoalannya
menjadi lain apabila ada indikasi parpol yang berkuasa hendak mengubah filsafat
negara,tujuan nasional, dan sistem politik yang sudah ditentukan dan sejak semula
disepakati. Dalam situasi demikian, yang harus menonjol tentunya peran birokrasi selaku
aparatur negara dan interpretasi yang tepat tentang netralitas adalah mempertahankan
ideologi,negara,tujuan nasional, serta bekerja keras (Siagian, 1994:6).
BAB III

PEMBAHASAN

A. Kasus Pelanggaran Netralitas ASN Dalam Pemilu 2019

Menurut data yang dihimpun bawaslu hingga 28 April 2019 ada 227 kasus di 24 provinsi
yang tercatat melakukan pelanggaran netralitas dalam menjalankan tugasnya sebagai
ASN.

No Provinsi Jumlah Kasus

1. Aceh 4

2. Bali 8

3. Bangka Belitung 4

4. Banten 16

5. Bengkulu 2

6. DKI Jakarta 1

7. Jambi 5

8. Jawa Barat 33

9. Jawa Tengah 43

10. Kalimantan Selatan 6

11. Kalimantan Tengah 1

12. Kalimantan Timur 14

13. Kepulauan Riau 4

14. Maluku 1

15. Maluku Utara 1

16. NTB 7

17. Papua Barat 2

18. Riau 10
19. Sulawesi Barat 7

20. Sulawesi Selatan 29

21. Sulawesi Tenggara 23

22. Sumatera Barat 1

23. Sumatera Selatan 4

24. Sumatera Utara 1

Berikut jenis dan jumlah pelanggaran ASN berdasarkan data Bawaslu

No. Jenis Pelanggaran Jumlah Pelanggaran

1. Mencalonkan Diri sebagai calon legislatif 2 kasus


namun belum mengundurkan diri dari ASN

2. Melakukan tindakan yang menguntungkan 27 kasus


peserta atau calon terpilih

3. Melakukan tindakan yang menguntungkan 40 kasus


peserta atau calon terpilih di media sosial

4. Hadir dalam kampanye 23 kasus

5. Menggunakan atribut partai atau peserta pemilu 16 kasus


dan/atau membagikan alat peraga kampanye

6. Keterlibatan ASN sebagai tim kampanye 11 kasus


peserta pemilu

7. Menghadiri kgiatan peserta pemilu (non 10 kasus


kampanye)

8. Menjadi anggota parpol 14 kasus

Jabatan dari ASN yang melakukan pelanggaran di atas dilakukan oleh:

No. Jabatan Jumlah Pelanggar

1. ASN 81 orang

2. Perangkat Desa 21 orang


3. Ketua atau anggota BPD 10 orang

4. Kepala Daerah 8 orang

5. Camat 8 orang

6. Satpol PP 2 orang

7. Kepala Dinas 1 orang

8. Sekretaris Kecamatan 1 orang

9. Sekretaris Desa 1 orang

B. Penyebab Pelanggaran Netralitas ASN Dalam Pemilu 2019


Dalam pandangan penulis ada beberapa hal yang menyebabkan birokrasi
terkooptasi dengan politik, yang Pertama yaituSikap politisi/ASN yang tidak negarawan.
Berdasarkan kasus-kasus yang disebutkan diatas, seringkali penyebab dari terlibatnya
birokrasi dalam politik justru dorongan dari atasannya. Pemipin yang umumnya
merupakan politisi atau kader partai sering kali tidak bersikap profesional. Mereka justru
memanfaatkan birokrasi untuk kepentingan partai politiknya. Kedua, Budaya politik
patron client yang masih ada dalam tubuh birokrasi menyebabkan keinginan kuat dari
para oknum birokrasi ini untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi atasannya,
termasuk memberikan dukungan politik kepada atasannya. Hal ini tentu saja diikuti
dengan harapan bahwa jika atasannya terpilih kembali atau parpolnya menang, para
oknum birokrasi ini akan mendapatkankenaikan jabatan dan posisi birokrasi. Ketiga,
Fanatisme personal yang berlebihan. Artinya, ASN yang diberikan hak pilih memiliki
ruang untuk mengekspresikan pilihan politiknya. Seringkali fanatisme yang berlebihan
terhadap parpol pilihannya terbawa di lingkungan kerjanya. Hal ini diperlihatkan dengan
terang-terangan mereka berani memasang striker partai tertentu di lingkungan kerjanya,
atau menggunakan jam kerja untuk menghadiri kampanye partai tertentu.Keempat, Sikap
atasan yang tidak tegas. Seringkali politisasi birokrasi terjadi karena sikap atasan yang
tidak tegas menindak bawahannya yang terlibat dalam politik praktis. Kelima, Lemahnya
proses penegakan hukum. Persoalan ini juga dapat dianggap penyebab terjadinya
politisasi birokrasi. Hukuman yang tidak membuat efek jera dan panjangnya proses
hukum bagi ASN yang dianggap melakukan pelanggaran pemilu menjadikan kasus
politisasi birokrasi selalu terjadi.
Kecenderungan faktor utama yang mempengaruhi keberpihakan birokrasi
menjadi mesin poltik kandidat dalam pemilu antara lain yang pertama yaitu Faktor
internal berupa : kepentingan individu ASN yang partisan untuk mobilitas karir mereka.
Adanya vested-interest berupa kepentingan memelihara dan meningkatkan posisi
karir/jabatan menjadi alasan mereka berpolitik dalam pemilu. Walaupun dampaknya bisa
“menggusur” posisi birokrat profesional yang independent (non partisan). Yang kedua
yaitu Faktor eksternal berupa : masih kuatnya budaya patron-client menyebabkan ASN
yang loyal akan membela habis-habisan atasannya ynag menjadi kandidat dalam pemilu.
Selain itu ada juga tarikan kepentingan jaringan “Bisnis dan Politik” dari shadow-
bureaucracy yaitu pengusaha yang menjadi penyandang dana, pers yang berkepentingn
mendapat “belanja” iklan politik, LSM dan tokoh masyarakat yang mendamba politik
uang dan “pengayoman” bila kandidatnya menang. Sebagian ASN berspekulasi menjadi
tim sukses dengan harapan jika kandidat yang ia dukung menang, ia bisa mendapat posisi
yang lebih penting atau pimpinan proyek.
Upaya untuk membentuk karakter, perilaku, nilai sosial dan budaya birokrasi
yang mengabdi dan melayani masyarakat banyak dilakukan dengan pendekatan
institusional. Pendekatan ini mengarahkan birokrasi untuk mencapai netralitas dan tidak
terjerat kepentingan politik praktis. Ada beberapa Undang-Undang hingga Surat Edaran
terkait upaya membentuk netralitas birokrat ini:
1. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps
dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang isinya bahwa PNS dilarang
melakukan perbuatan yang mengarah pada keberpihakan salah satu calon atau
perbuatan yang mengindikasikan terlibat dalam politik praktis/ berafiliasi dengan
partai politik.
2. Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor: K.26- 30/V.31-3/99 tanggal 12
Maret 2009 tentang Netralitas PNS dalam Pemilihan Umum Calon Legislatif dan
Calon Presiden/ Wakil Presiden.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), pasal 2
huruf F bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala pengaruh manapun
dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.
5. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 41/PUU-XIII/2014 tanggal 6 Juli 2015, PNS
yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Gubernur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati, Wali kota/Wakil Wali kota wajib menyatakan pengunduran
diri secara tertulis sebagai PNS sejak ditetapkan sebagai calon peserta Pemilihan
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Wali kota/Wakil Wali kota.
Berbagai peraturan di atas menerapkan bermacam sanksi ketika ASN dinilai
tidak netral dalam proses Pemilu. Sanksi tersebut antara lain penundaan kenaikan gaji,
penundaan kenaikan pangkat, penurunan pangkat, pemindahan dalam rangka penurunan
pangkat, pemindahan jabatan, atau pemberhentian dengan tidak hormat. Akan tetapi,
walaupun telah ada berbagai peraturan yang mendorong netralitas birokrat ini, masih
banyak ASN yang terlibat dalam politik praktis.
Selain itu, upaya menetralisir birokrasi dari kepentingan politik mengabaikan
fakta bahwa mesin-mesin itu dalam banyak kasus digerakan oleh penguasa dengan
segala pendisiplinan tertentu. Dalam setiap ajang Pemilu, para calon yang bertarung
seringkali menggunakan para birokrat sebagai mesin-mesin pemenangan (terutama
dilakukan oleh incumbent). Budaya patron-clientyang masih begitu kuat di Indonesia,
menjadi ladang subur politisasi birokrasi ini.Gerry van Klinken (2009) menunjukan
bahwa patron-client merupakan hambatan utama bagi perkembangan demokrasi di
Indonesia. Studi Klinken memperlihatkan bahwa para patron terutama di tingkat daerah
memiliki client yang begitu banyak (salah satunya berposisi sebagai birokrat). Client
karena berhutang budi, tergantung hidupnya atau berlindung terhadap patron, cenderung
bersetia untuk menjadi mesin pemenangan ketika patron membutuhkan mereka. Kondisi
ini menurut Berenschot (2018) menjadikan demokrasi mengalami distorsi, karena
konstituen memilih tidak berdasarkan mana calon yang terbaik yang sesuai dengan
aspirasi atau ideologinya, akan tetapi berdasarkan kedekatan patron-client. Artinya
mereka cenderung tidak peduli apakah patronnya itu korup, tidak berpihak pada rakyat
atau bebal sekalipun, mereka akan tetap menjadi mesin politik patron.
Para Patron yang saling bertarung dalam pemilu, akan menggerakan para
client mereka. Mereka dapat menjadi patron ketika memiliki kekuasaan yang lebih besar,
baik karena sumber daya ekonomi atau sumber daya politik yang dimiliki. Edward
Aspinall & Ward Berenschot (2019) menganalisis bahwa peran patron-client masih
menjadi penggerak utama dalam pertarungan pemilu di Indonesia. Para politisi
memenangkan kekuasaan dengan mendistribusikan proyek-proyek skala kecil, uang
tunai atau barang-barang kepada masyarakat dan terlibat dalam pertarungan secara
konstan satu sama lain antara kubu birokrat untuk berebut kendali atas sumber daya
negara.
Politik “hadiah dan hukuman” biasanya digunakan untuk mendisiplinkan
birokrat dalam setiap pemilu dan ini pasti akan menghasilan hubungan patron-client yang
baru atau semakin menguat.Menurut Aspinall & Berenschot dalam bukunya Democracy
for Sale, klientelisme di Indonesia berbeda ketika dibandingkan dengan negara lain:
klientelisme biasanya berpusat pada partai politik, di Indonesia itu berpusat pada
kandidat dan “tim suksesnya”. Di “tim sukses” yang merupakan mesin pemenangan ini,
para birokrat memiliki peran penting dan aktor kunci dalam kampanye pemilu karena
mereka mengendalikan sumber daya negara. Menjadi hal umum yang diketahui publik,
dalam setiap pertarungan pemilu (terutama di tingkat daerah), para birokrat akan terbelah
menjadi beberapa kubu berdasarkan patron yang mencalonkan diri atau mendukung
calon tertentu. “Hadiah” (berupa jabatan yang lebih tinggi atau yang menjadi ladang
“basah”) akan diberikan kepada para birokrat ketika patron yang didukung mereka
menang. Sementara “hukuman” akan diberikan oleh lawan kandidat yang mereka
dukung ketika lawan politiknya yang menang. Hukuman tersebut dapat berupa
pemindahan kerja birokrat ke bidang atau dinas yang “kering” proyek-proyek yang
potensial untuk menghasilkan keuntungan pribadi. Para birokrat yang memilih untuk
“netral” juga rentan terterpa gelombang pertarungan politik ini, karena bisa dianggap
tidak loyal kepada kandidat tertentu, sehingga jabatan mereka juga terancam.
Kondisi struktural di atas, yang membuat para birokrat melibatkan diri atau
terjerat dalam kepentingan mendukung kandidat tertentu dalam pemilu. Artinya
pendekatan institusional pada kenyataannya tidak mampu membentuk budaya birokrasi
yang mengabdi dan melayani masyarakat, dikarenakan permasalahan utamanya berada di
ranah struktural. Alih-alih seperti yang dibayangkan oleh Weber bahwa birokrasi dapat
ideal layaknya seperti mesin, mereka justru menjadi mesin-mesin pemenangan di setiap
kampanye politik. Walaupun di tengah mulai menguatnya kesadaran rakyat, tindakan
birokrat menjadi tim pemenangan kandidat tertentu tidak lagi dilakukan secara terang-
terangan.
C. Dampak ketidaknetralan ASN dalam pemilu
Ada sejumlah implikasi atau dampak dari keberpihakan birokrasi dalam
pemilu. Pertama, Birokrasi berpolitik di daerah ini cenderung menghasilkan faksi-faksi
dan ketegangan sosial antar individu dan kelompok di dalam kantor. Dampak ini terjadi
saat ada yang mendefinisikan kawan dan lawan politik. Pada saat pasca pemilu ASN
yang didefinisikan sebagai lawan politik masih ada yang berlanjut dan ada juga yang
mengalami reintegrasi. Kedua, Ada ASN yang tidak disukai karena dianggap lawan
politik saat pemilu, kemudian posisinya “dimutasikan” oleh kandidat yang menang. Pada
sisi lain nasib PNS yang menyatakan diri netral tersebut, malah kemudian tidak memiliki
jabatan struktural digantikan orang lain dari tim sukses. Ketiga, Kekhawatiran APBN
digunakan untuk membayar pegawai honorer yang direkrut sebagai balas jasa
memenangkan kandidat yang menang. Begitu juga pemenang tender proyek
pembangunan dan sumber daya selama pasca pemilu.
Dengan adanya Intervensi politik dalam manajemen kepegawaian, akan
menyebabkanproses pengadaan, penempatan dan promosi pegawai tidak lagi didasarkan
pada kompetensi dan kinerja, dan yang lebih parah lagi Politisasi birokrasi menghambat
upaya peningkatan kinerja pemerintah dan penyelenggaraan pelayanan publik
Dampak negatif politik praktis ASN dalam birokrasi adalah jalannya
demokratisasi negara indonesia menjadi tidak jujur dan adil, tidak terwujudnya tujuan
negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan UndangUndang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu perlu di bangun aparatur sipiil negara yang
memiliki integritas, professional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari
praktik korupsi, kolusi,dan nepotisme. Keberpihakan ASN pasangan tertentu akan
menciderai demokrasi dan netralitas UU ASN yang telah diatur sebaik mungkin untuk
memberikan pada sistem pemilu di republik ini. Dampak buruk lain yang akan muncul
ketika ASN tidak netral yaitu akan berpengaruh dalam pemberian pelayanan pada
masyarakat khususnya, yang dirugikan adalah masyarakat yang tidak mendukung calon
yang didukung oleh calon ASN. Adapun dampak negatif dari ASN yang melanggar yaitu
adanya sanksi yang diberikan sehingga akan menghabiskan karir ASN yang di tempuh.
Untuk itulah pemerintah mengatur segala keterkaitan ASN yang diatur dalam UU ASN
untuk memagari ASN dari permainan politik praktis yang bisa mengakibatkan dampak-
dampak negatif
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari paparan atau penjelasan di atas, sesuai dengan makalah “NETRALITAS


ASN DALAM PEMILU 2019” kami menyimpulkan bahwa :

 Dari sekian banyak pelanggaran yang tercatat di berbagai provinsi, pelanggaran


terhadap netralitas ASN dalam pemilu paling banyak terjadi di provinsi Jawa
Tengah.

 Dari berbagai banyaknya jenis kasus, jenis kasus yang paling banyak ditemui
adalah kasus di media sosial. Jenis kasus di media sosial ini berupa tindakan tidak
netral dari ASN yang berpihak atau menguntungkan atau menyatakan dukungan
kepada salah satu peserta atau calon terpilih.

 Dari sudut pandang penulis, kami sebagai penulis berpandangan bahwa terjadinya
tindakan pelanggaran terhadap netralitas ASN dalam pemilu didasarkan dari
beberapa hal, yaitu :

a. Sikap ASN yang tidak negarawan

b. Budaya “Patron Client” yang masih ada dalam birokrasi

c. Fanatisme yang berlebihan kepada peserta atau calon terpilih

d. Sikap atasan yang tidak tegas

e. Lemahnya proses penegakan hukum

 Beberapa upaya telah dilakukan guna meminimalisir terjadinya pelanggaran


netralitas ASN dalam pemilu, diantaranya adalah :

a. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa


Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (PNS).
b. Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor: K.26- 30/V.31-3/99
tanggal 12 Maret 2009 tentang Netralitas PNS dalam Pemilihan Umum
Calon Legislatif dan Calon Presiden/ Wakil Presiden.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS
d. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
(ASN), pasal 2 huruf F.
e. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 41/PUU-XIII/2014 tanggal 6 Juli
2015.
f. Ketidaknetralan ASN di dalam pemilu juga memiliki dampak, yaitu :

a. Birokrasi berpolitik di daerah ini cenderung menghasilkan faksi-


faksi dan ketegangan sosial antar individu dan kelompok di dalam
kantor.

b. Ada ASN yang tidak disukai karena dianggap sebagai lawan politik.

c. Kekhawatiran APBN digunakan untuk membayar pegawai honorer


yang direkrut sebagai balas jasa memenangkan kandidat yang
menang.

B. Saran

Untuk menjaga netralis birokrasi dalam pilkada dan pemilu nasional, di masa yang
akan datang, disarankan agar Menpan bersama legislatif mengusulkan RUU atau PP
menyangkut Etika Pemerintahan. Suatu regulasi yang secara rinci mengatur apa yang boleh
dan tidak boleh dilakukan oleh PNS dan birokrasi dalam pemilu, termasuk pilkada. Dalam
UU tersebut harus tertera pengaturan secara jelas beserta sanksi hukumannya apabila PNS
melanggar prinsip netralitas birokrasi dan instansi mana yang akan memberikan
sanksi/hukuman tersebut secara struktural. Kelemahan sering terjadi pada saat penegakan
aturan atau saat implementasi kebijakan.
Untuk waktu ke depan, wewenang mutasi jabatan, rekrutmen PNS pasca pemilu dan
pilkada sebaiknya harus melalui Dewan Pertimbangan Karier dan Jabatan. Kepala Daerah
berwenang menentukan formulasi dan arah kebijakan. Pelaksananya adalah birokrat karier
yang profesional dan terdidik di bidangnya. Penyalahgunaan APBD dan program-program/
proyek-proyek pembangunan daerah oleh calon incumbent harus dihentikan, dengan
mendiskualifikasi calon incumbent yang tidak mau mengundurkan diri sebagaimana
seharusnya sesuai aturan yang berlaku. Panwas dan panitia pemilihan harus memiliki
keberanian prinsip netralitas birokrasi demi tegaknya keadilan dan kompetisi politik yang
sehat di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA

Administrator KASN. 2019. ASN Netral pada Pemilu 2019 Harus dan Tidak Bisa di Tawar
Tawar Lagi. https://www.kasn.go.id/details/item/369-asn-netral-pada-pemilu-
2019-harus-dan-tidak-bisa-di-tawar-tawar-lagi. (diakses pada 11 November
2019, 13.25 WIB)

Batinggi, A., 1999. Manajemen Pelayanan Umum, Materi Pokok IPEM-4429 Universitas
Terbuka.

Budi, Moh. Waspa Kusuma. 2014. Menegakkan Netralitas Birokrasi Pemerintah Daerah
dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung Tahun 2014.
STISIPOL Dharma Wacana Metro Lampung, Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional Dies Natalis ke 30 Universitas Terbuka, dengan SubTema
“Tata Kelola Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi”, Pada Tanggal 23
Oktober 2014 di Universitas Terbuka Covention Center (UTCC), Pondok
Cabe Tangerang Selatan.

Firnas, M. Adian. 2016. Politik dan Birokrasi: Masalah Netralitas Birokrasi di Indonesia Era
Reformasi. Jurnal Review Politik. 6(1): 160-194.

Gloria, Reyn. 2019. Bawaslu Tangani Ribuan Pelanggaran Netralitas ASN Saat Pemilu 2019.
https://www.bawaslu.go.id/id/berita/bawaslu-tangani-ribuan-pelanggaran-
netralitas-asn-saat-pemilu-2019. (diakses pada 11 November 2019, 13.28 WIB)

Martini, Rina. 2010. Politisasi Birokrasi di Indonesia. Jurnal Ilmu Politik. 1(1): 67-74.

Noer, Hamka Hendra. 2014. Ketidaknetralan Birokrasi Indonesia. Jakarta: Elex Media
Komputindo.

Novianto, Arif. 2019. Mempertanyakan Netralitas Birokrat dalam Pemilu: Antara Sistem
Sosial, Kekuasaan, dan Budaya Patron-Client. 1(2):1-13.

Rachman, Fadhly Fauzi. 2019. BKN Catat Ada 990 Kasus Pelanggaran Netralitas PNS.
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4508984/bkn-catat-ada-990-
kasus-pelanggaran-netralitas-pns?_ga=2.197072932.989225585.1573456376-
844694225.1553583922. (diakses pada 11 November 2019, 13.31 WIB)

Thoha, Miftah, 2005. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.

Anda mungkin juga menyukai