Disusun oleh:
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2014 Pasal 2 huruf F tentang ASN jelas tertera,
asas, prinsip, nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku penyelenggaraan kebijakan,
manajemen ASN salah satunya berdasarkan asas netralitas. Bahkan dalam pasal 280 ayat
(2) UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan, ASN, pimpinan MA atau MK sampai
perangkat desa dan kelurahan dilarang diikutsertakan dalam kegiatan kampanye. Jika
pihak-pihak disebutkan tetap diikutsertakan dalam kampanye maka akan dikenakan
sanksi pidana kurungan dan denda. Sanksi tersebut tertuang, dalam Pasal 494 UU 7
tahun 2017 yang menyebutkan, setiap ASN, anggota TNI dan Polri, kepala desa,
perangkat desa, dan/atau anggota badan permusyawaratan desa yang terlibat sebagai
pelaksana atau tim kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (3) dapat
dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp.
12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
B. Rumusan Masalah
1.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konsep Birokrasi
Dari aspek etimologi, birokrasi berasal dari bahasa Prancis, bureau yang
berarti meja tulis, yaitu suatu tempat para pergawai bekerja dan kratos berasal dari
perkataan Yunani yang berarti kekuasaan atau kepemimpinan. Birokrasi kemudian
menjadi bureaucracy yang berasal dari bahasa bereau yang berarti meja dan cratein
berarti kekuasaan (Albrow 1970:3; Huber & Shipan 2001:162). Dari kata asal birokrasi
tersebut, Hummel (2007:67) menjelaskan birokrasi “is an organized group of people who
carry out their work according to rules and procedures that have been stipulated in term
of offices an not of persons.” Terry (2003:7) memberikan pengertian birokrasi dengan
menyatakan: “bureaucrats are usually those play a role of managerial, charging in both
central commitees and individual sectors, generally it seems described in a public
administrative manner to be both intermediate and top management.”
Menurut Weber (1952) birokrasi yang baik adalah bisa di laksanakan dalam
kondisi organisasi khusus sehingga dapat membedakan dengan organisasi lainnya. Oleh
itu, birokrasi ideal menurut beliau hanya sebuah rangkaian yang dapat menjawab
masalah khusus pada kondisi waktu dan tempat tertentu. Pandangan birokrasi Weber di
atas secara garis besar memberikan beberapa pengertian. Pertama, birokrasi merupakan
organisasi formal yang bekerja berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan. Kedua,
birokrasi mempunyai bidang kekuasaan dan otoritas tertentu. Ketiga, birokrasi
mempunyai susunan posisi mengikuti dasar hierarki dimana kedudukan yang lebih
rendah berada di bawah kontrol dan pengendalian kedudukan yang lebih tinggi. Keempat,
adanya latihan dan kenaikan pangkat berdasarkan kelayakan dan kelulusan. Kelima,
pegawai merupakan tenaga profesional yang dibayar secara tetap (Weber 1952:21-22).
B. Politisasi Birokrasi
Menurut Budi Setyono (2005: 29-30), pada dasarnya birokrasi lahir sebagai
produk dari sebuah proses sosial yang panjang dan kompleks yaitu dari serangkaian
prosedur yang berliku dan menyangkut kontekstualitas sosial yang universal. Birokrasi
adalah mesin negara (state michenary), karena jika tidak ada negara maka birokrasipun
juga tidak pernah ada, dan sebaliknya juga tidak mungkin ada negara tanpa ditopang oleh
orgasasi birokrasi. Peran birokrasi menentukan hitam putihnya kehidupan masyarakat
dan negara. Jika birokrasi baik, maka negara dan masyarakat akan baik. Begitu juga
sebaliknya, jika birokrasi buruk maka masyarakat juga akan buruk.
Mengingat tugas birokrasi ini sangat vital dalam penyelenggaraan negara dan
pelayanan publik, maka profesionalisme birokrasi mutlak menjadi ruh, derap, dan
langkah setiap aparat birokrasi. Politisasi birokrasi dalam kancah politik praktis sesaat
jelas merusak tatanan birokrasi profesional yang diidamkan.
C. Netralitas Birokrasi
Birokrasi merupakan suatu sistem untuk mengatur organisasi yang besar agar
diperoleh pengelolaan yang efisien, rasional, dan efektif (Thoha, 2008: 15). Model
birokrasi Weberian yang selama ini dipahami merupakan sebuah mesin yang disiapkan
untuk menjalankan dan mewujudkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Dengan demikian
setiap pegawai dalam birokrasi pemerintah merupakan penggerak dari sebuah mesin
yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan pribadi. Oleh karena itu setiap pejabat
pemerintah tidak mempunyai tanggug jawab publik kecuali pada bidang tugas yang
dibebankan kepadanya. Sepanjang tugas dan tanggung jawab sebagai mesin itu
dijalankan sesuai dengan proses dan prosedur yang telah ditetapkan, maka akuntabilitas
pejabat birokrasi pemerintah telah diwujudkan. Pandangan seperti ini menjadikan
birokrasi bertindak sebagai instrumen yang profesional, netral dari pengaruh kekuasaan
dan kepentingan politik tertentu.
PEMBAHASAN
Menurut data yang dihimpun bawaslu hingga 28 April 2019 ada 227 kasus di 24 provinsi
yang tercatat melakukan pelanggaran netralitas dalam menjalankan tugasnya sebagai
ASN.
1. Aceh 4
2. Bali 8
3. Bangka Belitung 4
4. Banten 16
5. Bengkulu 2
6. DKI Jakarta 1
7. Jambi 5
8. Jawa Barat 33
9. Jawa Tengah 43
14. Maluku 1
16. NTB 7
18. Riau 10
19. Sulawesi Barat 7
1. ASN 81 orang
5. Camat 8 orang
6. Satpol PP 2 orang
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari berbagai banyaknya jenis kasus, jenis kasus yang paling banyak ditemui
adalah kasus di media sosial. Jenis kasus di media sosial ini berupa tindakan tidak
netral dari ASN yang berpihak atau menguntungkan atau menyatakan dukungan
kepada salah satu peserta atau calon terpilih.
Dari sudut pandang penulis, kami sebagai penulis berpandangan bahwa terjadinya
tindakan pelanggaran terhadap netralitas ASN dalam pemilu didasarkan dari
beberapa hal, yaitu :
b. Ada ASN yang tidak disukai karena dianggap sebagai lawan politik.
B. Saran
Untuk menjaga netralis birokrasi dalam pilkada dan pemilu nasional, di masa yang
akan datang, disarankan agar Menpan bersama legislatif mengusulkan RUU atau PP
menyangkut Etika Pemerintahan. Suatu regulasi yang secara rinci mengatur apa yang boleh
dan tidak boleh dilakukan oleh PNS dan birokrasi dalam pemilu, termasuk pilkada. Dalam
UU tersebut harus tertera pengaturan secara jelas beserta sanksi hukumannya apabila PNS
melanggar prinsip netralitas birokrasi dan instansi mana yang akan memberikan
sanksi/hukuman tersebut secara struktural. Kelemahan sering terjadi pada saat penegakan
aturan atau saat implementasi kebijakan.
Untuk waktu ke depan, wewenang mutasi jabatan, rekrutmen PNS pasca pemilu dan
pilkada sebaiknya harus melalui Dewan Pertimbangan Karier dan Jabatan. Kepala Daerah
berwenang menentukan formulasi dan arah kebijakan. Pelaksananya adalah birokrat karier
yang profesional dan terdidik di bidangnya. Penyalahgunaan APBD dan program-program/
proyek-proyek pembangunan daerah oleh calon incumbent harus dihentikan, dengan
mendiskualifikasi calon incumbent yang tidak mau mengundurkan diri sebagaimana
seharusnya sesuai aturan yang berlaku. Panwas dan panitia pemilihan harus memiliki
keberanian prinsip netralitas birokrasi demi tegaknya keadilan dan kompetisi politik yang
sehat di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Administrator KASN. 2019. ASN Netral pada Pemilu 2019 Harus dan Tidak Bisa di Tawar
Tawar Lagi. https://www.kasn.go.id/details/item/369-asn-netral-pada-pemilu-
2019-harus-dan-tidak-bisa-di-tawar-tawar-lagi. (diakses pada 11 November
2019, 13.25 WIB)
Batinggi, A., 1999. Manajemen Pelayanan Umum, Materi Pokok IPEM-4429 Universitas
Terbuka.
Budi, Moh. Waspa Kusuma. 2014. Menegakkan Netralitas Birokrasi Pemerintah Daerah
dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung Tahun 2014.
STISIPOL Dharma Wacana Metro Lampung, Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional Dies Natalis ke 30 Universitas Terbuka, dengan SubTema
“Tata Kelola Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi”, Pada Tanggal 23
Oktober 2014 di Universitas Terbuka Covention Center (UTCC), Pondok
Cabe Tangerang Selatan.
Firnas, M. Adian. 2016. Politik dan Birokrasi: Masalah Netralitas Birokrasi di Indonesia Era
Reformasi. Jurnal Review Politik. 6(1): 160-194.
Gloria, Reyn. 2019. Bawaslu Tangani Ribuan Pelanggaran Netralitas ASN Saat Pemilu 2019.
https://www.bawaslu.go.id/id/berita/bawaslu-tangani-ribuan-pelanggaran-
netralitas-asn-saat-pemilu-2019. (diakses pada 11 November 2019, 13.28 WIB)
Martini, Rina. 2010. Politisasi Birokrasi di Indonesia. Jurnal Ilmu Politik. 1(1): 67-74.
Noer, Hamka Hendra. 2014. Ketidaknetralan Birokrasi Indonesia. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Novianto, Arif. 2019. Mempertanyakan Netralitas Birokrat dalam Pemilu: Antara Sistem
Sosial, Kekuasaan, dan Budaya Patron-Client. 1(2):1-13.
Rachman, Fadhly Fauzi. 2019. BKN Catat Ada 990 Kasus Pelanggaran Netralitas PNS.
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4508984/bkn-catat-ada-990-
kasus-pelanggaran-netralitas-pns?_ga=2.197072932.989225585.1573456376-
844694225.1553583922. (diakses pada 11 November 2019, 13.31 WIB)
Thoha, Miftah, 2005. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.