Anda di halaman 1dari 9

TUGAS : UJIAN TENGAH SEMESTER

MATA KULIAH : BIROKRASI DAN PEMERINTAHAN DAERAH


DOSEN : DR. HJ. RAHMUNIAR, M.SI

ANALISA JURNAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN ASN

JUDUL ARTIKEL :

MANAJEMEN TALENTA APARATUR SIPIL NEGARA


DALAM PRAKTIK DAN PELUANG INOVASI
OLEH

TANDI LANTU BASRI


(MAHASISWA PASCA SARJANA UNIV. INDONESIA TIMUR)
PRODI : ADMINISTRASI NEGARA
ANALISA JURNAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN ASN

JUDUL ARTIKEL :

MANAJEMEN TALENTA APARATUR SIPIL NEGARA DALAM PRAKTIK DAN PELUANG INOVASI

A. Analisa menurut pandangan Graham T. Allison

Pengambilan kebijakan yang menggunakan instrument manajemen Pemerintahan


dilingkungan ASN memang sering kali dipengaruhi oleh politik praktis, bahkan arah
kebijakan cenderung berbasis kelompok bahkan individu. Ini biasanya dipengaruhi oleh
leader dari setiap pemimpin atau penguasa didalam periodesasi pemerintahan.
Menurut pandangan Graham T. Allison : pengaruh politik dalam setiap sektor
kebijakan adalah sebuah fenomena untuk melanggengkan kekuasaan secara
transcendental, sebagai wujud pertarungan citra dan dominasi kepentingan jangka
panjang. Salah satu bagian kecil dalam dikotomi politik terhadap birokrasi adalah
pemanfaatan adnimistrasi publik untuk memuluskan arah kebijakan pemerintah yang
sarat atas kepentingan kelompok dan individu. Juga termasuk melakukan mobilisasi
birokrasi dalam setiap moment politik prakstis.
Dengan polarisasi ini maka cenderung membuat birokrat lemah dalam melakukan
inovasi dan pembaruan dibidang masing-masing. Aparatur Negara menjadi tidak ter-
eksplore dalam menunjukan kualitas akibat dari pada struktur birokrasi selalu tidak
equivalent dengan kapasitas dan kualitas ASN. Maka dampak dari semua ini membuat
arah kebijakan birokrat menjadi fremature.
Graham T. Allison menolak dikotomi birokrasi dalam pengaruh politik karena ini
bukan asas kualitative dalam mendorong kinerja birokrasi, melainkan cara yang sering
merusak tatanan birokrasi yang mestinya independen dan mandiri dalam memberikan
pelayanan dan inovasi yang berbasis kinerja. Cara pandang ini bahkan juga dinilai oleh
banyak kalangan sebagai parasit dan benalu dalam birokrasi yang selalu mengancam
runtuhkan pemerintahan kapan saja. Olehnya itu dikotomi birokrasi akibat dari pada
pengaruh politik juga mempengaruhi jalannya administrasi public secara sistematis dan
terstruktur hingga biasa menjadi budaya dan kebiasan dilingkup pemerintah.
B. Paradigma Bureuratic Politics dalam Administrasi Publik

Pada prinsipnya semua Aparatur Sipil Negara adalah individu yang otonom dan
bebas dalam kepentingan politik praktis. Namun ASN tetap memiliki hak politik, memilih
pemimpin, disetiap momentum pemilu. ini adalah interpertasi dan pembeda dengan
masyarakat sipil lainnya. Syarat dan ketentuan ini telah diatur diberbagai aturan dan
norma hukum yang menyangkut independensi penyelenggara Negara, baik untuk ASN,
pegawai BUM dan TNI POLRI.
Namun dalam fakta administrasi publik, paradigm birokrasi yang sarat atas politik
praktis dapat kita jumpai dibeberapa sektor, misalnya : politik anggaran, politik
perencanaan program, dan politik hukum. Semua itu berhubungan dengan jalur
administrasi publik. Sebagai studi kasus adalah politik anggaran, didalam penyusunan
RAPBD kerap kali kita temukan mata anggaran yang tidak pro terhadap masyarakat kecil,
namun justeru melonggrakan para kartel dan oligarki untuk mendapatkan keuntungan
yang banyak dari setiap program pembangunan, menciptakan administrasi public yang
urgensitasnya mendukung kartel bebas dalam menjalankan misinya. Dan biasanya kartel
ini muncul dari kalangan karebat dengan pimpinan tinggi dalam birokrasi.
Sehingga administasi sebagai media untuk memperkuat persekutuan antara
kekuasaan dan kartel. Ketika anggaran pemerintah telah didokumentasi melalui
administrasi publik. Dan telah mendapat persetujuan antara legislative dan eksekutive,
maka administrasi publik bagaikan mensin robot yang dikendalikan oleh tangan politisi
yang berbaju birokrasi. Sehingga paradigm birokrasi yang mestinya otonom dan bebas
mandiri akan sulit dikendalikan lagi. Hal inilah yang membuat ASN sangat kesulitan untuk
berimpropisasi dan berinovasi dalam pelayanan publik.
Sementara talenta ASN dalam berunjuk kualitas itu sangat potensial karena telah
memiliki ruang yang memadai dan supporting dana yang cukup untuk memajukan
kapasitas dan kualitas diri dalam memberikan pelayanan.
C. Praktek Politik dalam Birokrasi atau Pemerintahan

Negara yang menganut sistem demokrasi (Pemilihan langsung), jabatan dalam


organisasi pemerintahan dan kenegaraan tidak dipimpin oleh birokrasi, tetapi dipimpin
pejabat politik. Parpol merupakan perwujudan dari kekuasaan rakyat. Inilah awal mula
politik didalam batang tubuh birokrasi.
Peranan kekuasaan parpol dalam sistem kepemerintahan dan kenegaraan semakin
hari semakin menarik untuk dianalisis. Semenjak awal reformasi 1999, kehadiran parpol
dalam pemerintahan semakin bertambah. Kehidupan parpol sejak kemerdekaan 1945
dalam membangun tata kepemerintahan dan kenegaraan sudah banyak dirasakan.
Sebelum ada sistem demokrasi, pejabat yang memimpin lembaga pemerintahan
hanya birokrat yang membuat kebijakan dan mewujudkannya. Birokrat adalah pejabat
yang profesional, kompeten, dan ahli di bidangnya yang diperoleh melalui lembaga
pendidikan dan pelatihan dan meniti kariernya secara otomatis dengan cara mobilitas.
Sekarang, di zaman sistem demokrasi, jabatan dalam organisasi pemerintahan dan
kenegaraan tidak dipimpin oleh birokrasi, tetapi dipimpin pejabat politik. Parpol
merupakan perwujudan dari kekuasaan rakyat, sedangkan birokrasi merupakan wujud
kekuasaan pejabat.
Parpol menurut tabiatnya adalah organisasi yang mencari kekuasaan, melaksanakan
kekuasaan, dan mempertahankan kekuasaan (Bung Karno). Oleh karena itu, begitu suatu
partai atau kumpulan partai memenangi pemilu, mereka akan memimpin lembaga
pemerintahan dan menjadikan birokrasi pemerintah sebagai subordinasi politik. Dalam
pemerintahan yang dipimpin pejabat politik, tugas utamanya membuat keputusan atau
kebijakan politik.
Dengan demikian, mulailah terbentuk sistem kerja antara kekuasaan membuat
keputusan atau kebijakan di tangan pejabat politik, dengan pelaksana keputusan atau
kebijakan yang dilakukan oleh pejabat birokrasi. Akhir-akhir ini kita mengenal sistem
oligarki politik.
Sistem ini salah satu model pemerintahan demokrasi yang penekanan kekuasaannya
berada di tangan kelompok parpol yang berkuasa. Kekuasaan di eksekutif ini bahkan
didukung oleh mayoritas suara di legislatif. Pemerintahan oligarki politik semacam ini
cenderung dan sama artinya dengan pemerintahan otoriter, lawan sistem pemerintahan
demokrasi.
Sistem oligarki politik ini merisaukan tatanan kehidupan pemerintahan yang
demokratis. Banyak parpol yang cenderung menggunakan kekuasaan politiknya melebihi
kekuasaan rakyat yang diwakilinya.

Hubungan kerja politik dan birokrasi


Pada awal pemerintahan demokrasi tahun 1998, ketika presiden dijabat BJ Habibie,
banyak undang-undang direvisi dan dibentuk. Sebut saja UU pemerintahan, UU
kepegawaian, UU kepartaian, UU pemilu, UU susunan dan kedudukan DPR, DPRD, MPR,
dan diciptakan UU baru tentang kebebasan pers atau UU tentang demokrasi.
Sayang, saat itu terlambat tak diciptakan hubungan kerja yang bisa mewujudkan
pemerintahan demokrasi yang good government. Akibatnya, sampai sekarang dirasakan
hubungan keduanya dalam suatu pemerintahan yang demokratis tidak mencerminkan
hubungan yang co-equality, tetapi hubungan kekuasaan antara pejabat yang memimpin
dan pejabat yang dipimpin.
Kekuasaan memang nyawa dalam suatu organisasi, tetapi jangan diobral
penggunaannya. Tak jarang dijumpai jika pejabat politik atau menterinya melakukan
korupsi, pejabat birokrasinya ikut terlibat. Ini juga terjadi di pemerintahan daerah.
Pendekatan kekuasaan di atas erat kaitannya dengan hubungan antara jabatan
politik dan jabatan karier birokrasi yang belum pernah ditata dengan baik. Posisi
subordinasi pejabat birokrasi pemerintah di bawah kendali jabatan politik menjadikan
sangat sulit bagi pejabat birokrasi lepas dari pengaruh politik pemegang jabatan politik
yang jadi atasannya.
Model hubungan kerja birokrasi dan politik
Di Amerika Serikat (AS), dalam perkembangan ilmu politik dan ilmu pemerintahan
(public administration), lebih didahulukan untuk mengenalkan ilmu politik daripada ilmu
public administration. Ilmu politik dikembangkan dengan mengemukakan kajian yang
tekanannya untuk merumuskan kebijakan (Warren Bennis, 1966), sedangkan ilmu public
administration dikembangkan untuk melaksanakan kebijaksanaan (Martin Albrow, 1970).
Kedua ilmu itu dikembangkan dengan baik sekali sehingga bisa diterapkan dalam
aktivitas lembaga pemerintahan dalam sistem demokrasi. Dalam menata hubungan kerja
antara pejabat birokrasi dan pejabat politik, banyak model yang dikemukakan. Sebagian
model sudah pernah diterapkan di negara kita untuk masa pemerintahan yang cukup
lama.
Model hubungan kerja antara pembuat keputusan dan pejabat yang merealisasikan
keputusan tidak co-equality. Yang terjadi, dalam setiap sistem organisasi kepemerintahan,
gambaran yang ada adalah antara pejabat yang berkuasa dan pejabat yang dikuasai, atau
secara lebih eksplisit antara pejabat politik dan pejabat birokrasi dikuasai oleh kekuasaan
pejabat politik.
Dalam model Marxis yang dikenalkan oleh Karl Marx, atau model executive
ascendancy (AS), pejabat birokrasi dikuasai pejabat politik. Model ini pernah dilaksanakan
selama lebih dari 32 tahun oleh Presiden Soeharto pada masa pemerintahan Orde Baru.
Dalam pemerintahan Orde Baru saat itu, hanya ada tiga kekuatan politik: dua berupa
partai politik, dan satunya golongan bukan partai politik, tetapi bertindak sebagai partai
politik. Satu kekuatan politik yang tidak berupa partai politik menguasai pemerintahan
dan kenegaraan. Birokrasi pemerintah dikuasai oleh kekuatan politik yang bukan partai
politik.
Ini termasuk model yang aneh, belum ada di negara mana pun yang
menggunakannya, tetapi bisa berjalan lama sekali selama 32 tahun pada pemerintahan
Orde Baru.
Model yang belum pernah dicoba atau model yang masih menjadi angan-angan
adalah model di mana kekuatan birokrasi mempunyai kedudukan yang sama dengan
kekuatan politik (co-equality with the executive). Kekuatan birokrasi itu adalah kekuatan
keahlian, kekuatan kompetensi, dan kekuatan profesionalisme.
Birokrasi itu diambil dari calon-calon yang terdidik dari bawah sampai pendidikan
tertinggi melalui pelatihan. Oleh karena itu, jika kekuasaan politik itu memberikan reward
pada pengalaman pejabat birokrasi, akan terbentuk tim kerja (teamwork) yang saling
mengisi kekurangan di satu pihak dengan kelebihan pihak lain.
Dahulu, pada zaman pemerintahan Orde Baru, ada dua nomenklatur yang menyebut
suatu organisasi pemerintah yang dipimpin oleh menteri. Satu nomenklatur disebut
kementerian, untuk menamakan organisasi politik yang dipimpin menteri dari partai
politik, dan satu lagi disebut departemen, untuk kementerian.
Istilah departemen menunjukkan bahwa di kementerian itu ada pejabat birokrasi
yang berperan selain menteri. Suatu contoh, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
bisa juga disebut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dipimpin Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dipimpin Sekretaris Jenderal
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Model ini di AS dinamakan bureaucratic
sublation model, yang mendudukkan kekuatan birokrasi co-equality with the executive.
Jika model ini diberlakukan, penataan karier aparatur sipil negara (ASN) bisa
dilakukan oleh pejabat birokrasi karier. Pejabat pembina karier birokrasi harus dipegang
pejabat karier birokrasi, dalam hal ini sekretaris jenderal di kementerian dan sekretaris
daerah di tiap-tiap pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota.
Bukan seperti sekarang ini, dalam Undang-Undang ASN ditentukan bahwa pejabat
pembina karier ASN dipegang oleh pejabat politik, dari presiden didelegasikan kepada
menteri, dan kepala daerah.
Semoga model bureaucratic sublation yang mendudukkan pejabat birokrasi
sederajat dengan kedudukan pejabat politik bisa menjadi pertimbangan model hubungan
kerja pejabat birokrasi dan pejabat politik.

Dominasi Politik dalam Birokrasi dan Pemerintahan


Birokrasi pemerintah tidak bisa dilepaskan dari proses dan kegiatan politik. Pada
setiap gugusan masyarakat yang membentuk suatu tata kepemerintahan tidak bisa
dilepaskan dari aspek politik ini. Politik sebagaimana kita ketahui bersama, terdiri dari
orang-orang yang berperilaku dan bertindak politik yang diorganisasikan secara politik
oleh kelompok-kelompok kepentingan dan berusaha mencoba mempengaruhi
pemerintah untuk mengambil dan melaksanakan suatu kebijakan dan tindakan yang bisa
mengangkat kepentingannya dan mengesampingkan kepentingan kelompok lainnya.

Kelompok masyarakat mempunyai kepentingan yang diperjuangkan agar pemerintah


terpengaruh, dan birokrasi pemerintah langsung ataupun tidak langsung akan selalu
berhubungan dengan kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat. Karena itulah,
partai-partai politik memandang strategis fungsi birokrasi dan dapat dijadikan sarana
untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan politiknya.

Di Indonesia, partai politik ramai-ramai berusaha menancapkan pengaruh ke dalam


birokrasi dengan menempatkan kader-kadernya sebagai menteri dan kepala daerah yang
notabene merupakan pimpinan pucuk sebuah birokrasi di kemterian dan daerah. Hal ini
berlangsung sejak era Orde Lama hingga era reformasi. Di era Orde Lama, tiga kekuatan
partai politik yang dibungkus dalam Nasakom berusaha membagi kaplingan pengaruhnya
di beberapa departemen pemerintah.

Tiga kekuatan partai politik Nasakom tersebut berambisi menggunakan jabatan birokrasi
dalam lembaga pemerintah sebagai building block untuk kepentingan membangun
organisasi partainya. Pada masa ini, lembaga pemerintah sudah mulai memihak kepada
kekuatan politik yang ada. Atau lebih tepatnya lembaga pemerintah kita sudah
terperangkap ke dalam jaring yang dipasang oleh kekuatan politik Nasakom. Hal ini
terbukti ketika terjadi tragedi nasional pemberontakan PKI 30 September 1965. Dari data
yang diungkap, ternyata kekuatan partai politik PKI telah menyusup ke hampir semua
departemen pemerintah. Sementara itu, kekuatan agama dan nasionalis mendominasi
kavling kementerian masing-masing.

Di era Orde Baru, kelembagaan birokrasi pemerintah dipimpin dan dikuasai oleh Golkar.
Birokrasi pemerintah terang-terangan memihak ke Golkar, dan ini berlangsung cukup
lama selama 32 tahun. Dengan dikuasainya birokrasi oleh Golkar, sebagaimana yang kita
ketahui setiap pemilu di era Orde Baru selalu dimenangkan oleh Golkar.

Di era reformasi, Presiden terpilih bukan berasal dari partai mayoritas pemenang pemilu,
hal ini menyebabkan Presiden membentuk pemerintahan koalisi. Jabatan Menteri
dibagikan kepada parpol koalisi sebagai sharing of power, akibatnya Menteri yang berasal
dari parpol menancapkan pengaruh ke dalam kementerian yang pimpinnya. Kondisi ini
menyebabkan birokrasi tidak bisa benar-benar netral dari kepentingan politik. Dan masing
banyak fenomena lainnya yang membuktikaan bahwa politiklah yang mempengaruhi
birokrasi dan pemerintahan.

Sekian dan Terima Kasih

Dari :
Tandi Lantu Basri
NIM : P2MA 230102001

Anda mungkin juga menyukai