Anda di halaman 1dari 23

Birokrasi Dalam Organisasi Pemerintahan

SEJARAH BIROKRASI

Perjalanan Birokrasi Indonesia Dari Masa ke Masa

Birokrasi Zaman Kerajaan

Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad

ke-16, menganut sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk

sistem kerajaan. Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja

sebagai pemegang kekuasaan tunggal atau absolute. Segala keputusan ada di

tangan raja dan semua masyarakat harus patuh dan tunduk pada kehendak sang

Raja. Birokrasi pemerintahan yang terbentuk pada saat itu adalah birokrasi

kerajaan, yang memiliki cirri-ciri sebagai berikut :

1. Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai

urusan pribadi.

2. Administrasi adalah perluasan rumah tangga istana.

3. Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja.

4. “Gaji” dari raja kepada bawahan pada hakikatnya adalah anugerah yang

juga dapat ditarik sewaktu- waktu sekehendak raja.

Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehndak hatinya terhadap rakyat, seperti

halnya dilakukan oleh raja. Aparat kerajaan dikembangkan sesuai dengan

perkembangan kebutuhan raja. Di dalam pemerintahan pusat (keratin), urusan


dalam pemerintahan diserahkan kepada empat pejabat setingkat menteri (wedana

lebet) yang dikoordinasikan oleh seorang pejabat setingkat Menteri Kordinator

(pepatih lebet). Pejabat-pejabat kerajaan tersebut masing-masing membawahi

pegawai (abdidalem) yang jumlahnya cukup banyak. Daerah di luar keraton,

seperti daerah pantai raja menunjuk bupati-bupati yang setia kepada raja untuk

menjadi penguasa daerah. Para bupati biasanya bupati lama yang telah

ditaklukkan oleh raja, pemuka masyarakat setempat, atau saudara raja sendiri.

Birokrasi Zaman Kolonial

Pelayanan publik pada masa pemerintahan kolonial Belanda tidak terlepas dari

sistem administrasi pemerintahan yang berlangsung pada saat itu. Kedatangan

penguasa kolonial tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan adminitrasi

pemerintahan yang berlaku di Indonesia, sebagai bangsa pendatang yang ingin

menguasai wilayah nusantara baik secara politik maupun ekonomi, pemerintah

kolonial menjalin hubungan politik dengan pemerintah kerajaan yang masih

disegani oleh masyarakat, motif utamanya adalah menanamkan pengaruh

politiknya terhadap elite politik kerajaan. Selama pemerintahan kolonial terjadi

dualisme sistem birokrasi pemerintahan. Di satu sisi telah mulai diperkenalkan

dan diberlakukan sistem administrasi kolonial (binnenlandcshe Bestuur) yang

mengenalkan sistem birokrasi dan administrasi modern, sedangkan pada sisi lain,

sistem tradisional (Inheemsche Bestuur) masih tetap dipertahankan.

Birokrasi pemerintahan kolonial disusun secara hierarki yang puncaknya pada

Raja Belanda. Dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintahan di Negara

jajahan, Ratu Belanda menyerahkan kepada wakilnya, yakni seorang gubernur


jenderal. Kekuasaan dan kewenangan gubernur jenderal meliputi seluruh

keputusan politik di wilayah Negara jajahan yang dikuasai. Gubernur Jenderal

dibantu oleh para gubernur dan residen. Gubernur merupakan wakil pemerintah

pusat yang berkedudukan di Batavia untuk wilayah provinsi, sedangkan di tingkat

kabupaten terdapat asisten residen dan pengawas yang diangkat oleh gubernur

jenderal untuk mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan

sehari-hari.

Birokrasi Zaman Orde Lama

Berakhirnya masa pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial politik yang

sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaan-

perbedaan pandangan yang terjadi diantara pendiri bangsa di awal masa

kemerdekaan tentang bentuk Negara yang akan didirikan, termasuk dalam

pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah disintegrasi bangsa dan keutuhan

aparatur pemerintahan. Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal

berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur

pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut

birokrasi pada saat itu. Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai Republik

Indonesia yang telah berjasa mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang

memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana

menempatkan pegawai yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang

memiliki keahlian, tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI.
Demikian pula penerapan sistem pemerintahan parlementer dan sistem politik

yang mengiringinya pada tahun 1950-1959 telah membawa konsekuensi pada

seringnya terjadi pergantian kabinet hanya dalam tempo beberapa bulan.

Seringnya terjadi pergantian kabinaet menyebabkan birokrasi sangat

terfragmentasi secara politik. Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik antar

berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu. Banyak kebijakan

atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik

dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen.

Program-program departemen yang tidak sesuai dengan garis kebijakan partai

yang berkuasa dengan mudah dihapuskan oleh menteri baru yang menduduki

suatu departemen. Birokrasi pada masa itu benar- benar mengalami politisasi

sebagai instrument politik yang berkuasa atau berpengaruh. Dampak dari sistem

pemerintahan parlementer telah memunculkan persaingan dan sistem kerja yang

tidak sehat di dalam birokrasi. Birokrasi menjadi tidak professional dalam

menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan

kebijakan atau program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat dari

partai politik yang memenangkan pemilu. Setiap pejabat atau menteri baru selalu

menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya yang berasal dari partai

politik yang berbeda. Pengangkatan dan penempatan pegawai tidak berdasarkan

merit system, tetapi lebih pada pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya.

Birokrasi Zaman Orde Baru

Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara

yang bertujuan untuk mendukung penetrasinya ke dalam masyarakat, sekaligus

dalam rangka mengontrol piblik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut
merupakan strategi dalam mengatur system perwakilan kepentingan melalui

jaringan fungsional nonideologis, dimana sistem tersebut memberikan berbagai

lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli atau

perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antar

kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap

hilangnya pluralitas social,politik maupun budaya. Pemerintahan Orde Baru mulai

menggunakan birokrasi sebagai premium mobile bagi program pembangunan

nasional. Reformasi birokrasi yang dilakukan diarahkan pada :

1. Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki

birokrasi.

2. Untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak

kepemimpinan pusat.

3. Untuk memperluas wewenang pemerintah baru dalam rangka

mengkonsolidasikan pengendalian atas daerah-daerah.

Birokrasi Zaman Reformasi

Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula

dengan perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi

maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam

berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan

mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis

multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan


terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana

birokrasi di Negara-negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan.

Osborne dan Plastrik (1997) mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan

ekonomi yang dihadapi oleh Negara-negara yang sedang berkembang seringkali

berbeda dengan realitas sosial yang ditemukan pada masyarakat di negara maju.

Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, dimana kondisi

birokrasi di Negara-negara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi

yang dihadapi oleh para reformis di Negara-negara maju pada sepuluh dekade

yang lalu. Persoalan birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya

korupsi, pengaruh kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi

norma birokrasi sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan

personal daripada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan

oleh masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan

merupakan sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara

berkembang, termasuk di Indonesia.

Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya

belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia.

Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi

sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidak-tidaknya

memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih tetap mempraktikkan

berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses pengambilan keputusan.

Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja

dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan-kepentingan golongan atau

partai politik tertentu. Terdapat pula kecenderungan dari aparat yang kebetulan
memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk

bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak KKN. Mentalitas dan budaya

kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian besar aparat birokrasi pada masa

reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi

kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat

atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat

birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak

yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan

baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan

arogan terhadap masyarakat

Dalam kondisi pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan, publik

menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang

dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi dan kultur pelayanan

birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai

praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah

secara efektif. Penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat

pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat

dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi.

Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan

pelayanan publik masih tetap terjadi pada masa reformasi. Birokrasi sipil

termasuk salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi

kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya

kelambanan dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil

yang terlampau besar merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi
terhadap inefisiensi pelayanan birokrasi. Lambannya kinerja pelayanan birokrasi

dimanifestasikan pada lamanya penyelesaian urusan dari masyarakat yang

membutuhkan prosedur perizinan birokrasi seperti pengurusan sertifikasi tanah,

IMB, HO dan sebagainya.

Sebagian besar aparat birokrasi masih memiliki anggapan bahwa eksistensinya

tidak ditentukan oleh masyarakat dalam kapasitasnya sebagai pengguna jasa.

Persepsi yang masih dipegang kuat aparat birokrasi adalah prinsip bahwa gaji

yang diterima selama ini bukan dari masyarakat tetapi dari pemerintah sehingga

konstruksi nilai yang tertanam dalam birokrasi yang sangat independen terhadap

publik tersebut menjadikan birokrasi memiliki anggapan bahwa masayarakat-lah

yang membutuhkan birokrasi, bukan sebaliknya. Kecenderungan perilaku

birokrasi yang masih tetap korup dan belum mengubah kultur pelayanan kepada

publik, semakin terlihat pada masa reformasi. Birokrasi di Indonesia saat ini

masih dikuasai oleh kekuatan yang begitu terbiasa berperilaku buruk selama

puluhan tahun, birokrasi tidak hanya mengidap kleptomania tetapi juga

antireformasi. Kontraproduktif dalam birokrasi tersebut sangat berpotensi untuk

terjadinya penularan ke seluruh jaringan birokrasi pemerintah baik Pusat maupun

Daerah, baik di kalangan pejabat tinggi maupun di kalangan aparat bawah. Masih

belum efektifnya penegakkan hukum dan kontrol publik terhadap birokrasi,

menyebabkan berbagai tindakan penyimpangan yang dilakukan aparat birokrasi

masih tetap berlangsung.

 
Membangun Paradigma Baru

Pembahasan soal pertanyaan pokok apakah birokrasi perlu berpolitik atau tidak,

merupakan persoalan yang sering dibahas dalam studi ilmu politik. Untuk kasus

Indonesia era Orde Lama Dan Orde Baru, dalam praktiknya birokrasi terlibat

dalam kepengurusan dan pemenangan partai politik pemerintah. Walaupun dalam

dua zaman tersebut, sebagaimana kalangan aktor politik, para ilmuwan politik dan

cendekiawan pun ada yang berbeda pandangan. Ada yang menyatakan setuju

(pro) dan ada pula yang menyatakan menolak (kontra) terhadap peran birokrasi

dalam kehidupan politik. Mereka yang pro terhadap ide birokrasi boleh berpolitik

antara lain mendasarkan diri pada asumsi bahwa semua orang mempunyai hak

memilih dan hak dipilih, sehingga tidak rasional membatasi peran politik pegawai

negeri. Pembatasan seperti itu menurut kubu ini dicarikan alasan sebagai tindakan

pelanggaran HAM. Sedangkan mereka yang kontra, lebih mendasarkan diri pada

pertimbangan kenyataan politik bahwa sangat sulit bagi masyarakat luas yang

dilayani dan tidak adil bagi partai politik lainnya, bila birokrasi boleh dan harus

berperan ganda sebagai pegawai pemerintah yang nota bene menjadi pelayan

masyarakat, sekaligus bertindak sebagai aktor politik.

Gejala tumpang tindihnya kedua peran tersebut (sebagai pelayan masyarakat dan

aktor politik sekaligus) baik dalam tingkatan perorangan maupun institusi

birokrasi, diduga dan diyakini akan menyebabkan conflict of interest yang pada

akhirnya akan merusak salah satu wadah tersebut, merusak kinerja birokrasi

ataupun bisa merusak kehidupan politik, yang menciptakan pembusukan politik

dalam jangka panjang. Bagian penting yang relevan diperhatikan untuk menyusun

paradigma baru birokrasi adalah perlunya menumbuhkan kesadaran bahwa


birokrasi perlu mengakui bahwa publik-lah yang berkuasa, karena mereka

dibiayai oleh pajak yang dibayarkan oleh masyarakat. Begitu juga perlu

menghidupkan koordinasi dan pengawasan dari rekan kerja ketimbang koordinasi

dan pegawasan dari atasan. Dalam model pemerintahan enterpreuneur, pemerintah

dan birokrasi bertindak mengarahkan masyarakat, bukan mengurusi semua bidang

kemasyarakatan; melakukan pemberdayaan masyarakat bukan cuma melayani

masyarkat; membuka kompetisi dan saling bersaing dalam memberikan pelayanan

yang terbaik, bukan monopoli bidang usaha; bekerja digerakkan oleh misi yang

ditetapkan oleh Negara,bukan aturan yang dibuat sendiri oleh birokrat;

menghasilkan pendanaan, bukan menunggu anggaran dari Negara; bekerja

dikendalikan oleh warga Negara pembayar pajak, bukan aturan sepihak birokrat;

memperhitungkan adanya tabungan, bukan hanya menghabiskannya; mempunyai

prinsip lebih baik mencegah, daripada mengobati permasalahan; melibatkan kerja

dan pengawasan kelompok (peer group),bukan hanya kerja individu atau

pengawasan atasan; lebih memperhatikan kemauan pasar, ketimbang maunya

organisasi saja.

Selain itu, ada pemikiran yang terus berkembang misalnya : Adanya keinginan

perlu tumbuhnya kesadaran baru di kalangan PNS dan pejabat struktural maupun

fungsional bahwa rakyat banyak yang diwakili di legislatif-lah yang berkuasa,

sedangkan pemerintah dan birokrasi hanya pelaksana.

Birokrasi perlu transparan dalam kegiatan- kegiatannya dan dalam membuat

ketentuan- ketentuan teknis harus terbuka dan mengikutsertakan wakil-wakil

kelompok kepentingan dalam masyarakat.


Pejabat birokrasi perlu “merakyat”, mau turun ke lapangan ke bidang tanggung

jawabnya.

Keinginan kelompok LSM agar segala sesuatu yang sudah bisa dan diurus oleh

masyarakat, biarkan dikerjakan oleh masyarakat itu sendiri.

PENGERTIAN BIROKRASI

Sebelum mengkaji mengenai birokrasi, akan digambaran terlebih dahulu

mengenai biro dan siapa birokrat itu. Biro (bureau) merupakan suatu bentuk

organisasi. Sedangkan pengertian organisasi itu sendiri menurut Chaster I Benard,

dalam Down (1967) adalah suatu koordinasi kegiatan-kegiatan atau kekuatan-

kekuatan dua orang atau lebih yang secara sadar dibentuk untuk mencapai tujuan

tertentu. Kemudian untuk Biro itu sendiri diartikan sebagai organisasi yang

berskala besar, memiliki pekerja yang bekerja secara penuh “full time”, promosi

dalam biro berdasarkan pada penilaian kinerja dan hasil utama bukan dievaluasi

secara langsung atau tidak langsung dalam pasar tempat terjadinya transaksi

secara sukarela.

Kemudian birokrat sendiri menurut Downs, bukanlah diartikan setiap orang yang

menjadi anggota biro. Akan tetapi diartikan sebagai orang yang bekerja yang

ditandai dengan karakteristik organisasi diatas, yaitu birokrat adalah orang yang

bekerja pada organisasi berskala besar, orang yang bekerja full time, kemudian

kebijakan kepegawaian organisasi (penggajian, promosi, pensiun) merupakan

bagian penting  dari anggota orgaanisasi dan didasarkan pada kinerja mereka,

serta hasil kerja dalam organisasi yang mereka kerjakan yang dinilai. Beberapa

hal penting tentang birokrat :


1. Birokrat dapat bekerja pada organisasi walaupun bukan berbentuk biro.

Pengertian ini memperbolehkan kita menhyebut birokrat pada organisasi

swasta, yang secara intrinsik berbeda dengan biro

2. Tidak semua pegawai dalam suatu biro dapat menjadi birokrat

3. Secara individual birokrat lebih kurang memiliki ciri efisien, jujur, bekerja

keras, teliti dan nilai-nilai yang pada umumnya berbeda dengan

nonbirokrat.

Setelah itu dapatlah disimpulkan pengertian birokrasi. Pertama, birokrasi

biasanya menunjuk pada suatu lembaga atau tingkatan lembaga khusus. Dalam

pengertian ini, birokrasi dinyatakan sebagai suatu konsep yang sama dengan

biro. Kedua,  birokrasi juga dapat berarti sebagai suatu metode tertentu untuk

mengalokasian sumber daya dalam suatu organisasi yang berskala

besar. Ketiga, birokrasi diartikan sebagai “bureauness” or”quality that

distinguishes bureaus from other types of organization”. Dalam hal ini birokrasi

merujuk pada kualitas yang dihasilkan oleh suatu organisasi. Pengertian tersebut

diatas dapat digunakan sesuai dengan konteks yang digunakan dalam mengartikan

birokrasi.

Teori Birokrasi Max Weber

Max Weber adalah seorang sosiolog Jerman, dalam bukunya “The Protestant

Ethic and Spirit of Capitalism” dan “The Theory of Social and Economic

Organization”, menggambarkan bentuk birokrasi sebagai cara ideal mengatur

organisasi pemerintahan melalui prinsip-prinsip bentuk organisasi. Menurut

observasi beberapa pakar komunikasi, konsep organisasi sebenarnya telah

berkembang cukup lama, yakni mulai abad 20. Konsep-konsep birokrasi secara
awam lekat dengan istilah “tak efektif”, “lambat”, “kaku”, bahkan

“menyebalkan.” Istilah-istilah seperti ini pada satu sisi menemui sejumlah

kebenarannya pada fakta lapangan, namun sebagian lain merupakan stereotipe

yang sesungguhnya masih dapat diperdebatkan keabsahannya. Menurut Max

Weber birokrasi diartikan sebagai “ideal type organization”yang mempunyai ciri-

ciri sebagai berikut:

1. Adanya pembagian pekerjaan, hubungan kewenangan dan tanggung jawab

yang didefinisikan dengan jelas.

2. Kantor diorganisasikan secara hierarkis atau adanya rangkaian komando.

3. Pejabat menejerial dipilih dengan kualifikasi teknis yang ditentukan

dengan pendidikan dan ujian.

4. Peraturan dan pengaturan mengarah pada pelaksanaan pekerjaan.

5. Hubungan antar menejer dengan karyawan berbentuk imperasional.

6. Pegawai yang berorientasi pada karier dan mendapatkan gaji yang tepat

(Efisiensi).

Konsep-konsep inilah yang sekarang dikenal sebagai teori klasik (classical theory)

atau terkadang beberapa orang mengenalnya sebagai teori tradisional. Hingga hari

ini, dampak dari teori klasik pada organisasi masih mendominasi. Birokrasi adalah

kata kunci utama yang dapat menghantarkan pada pemaknaan praktik classical

theory, khususnya Indonesia yang terkenal dengan keruwetan birokrasinya yang

telah membudaya. Dalam memahami teori organisasi klasik, maka nama besar

Weber akan sulit untuk dilepaskan. Tokoh paradigm interpretatif  yang menjadi

sangat popular dengan buah pemikirannya, yakni Karakteristik Organisasi


Weberian (Organisasi Formal), akan selalu identik dengan keyword ‘birokrasi’,

karena memang pada konsepnya terdapat konsep birokrasi yang mendetail.

Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin

(superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem

birokrasi menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan

birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-

aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat

dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya. Menutur Weber

karakteristik birokrasi dapat diperjelasseperti apa yang dikemukakan oleh

Kristiadi (1999)  dalam ( Joko Widodo,2005:12-13) sebagai berikut:

1. Lingkup kewenangan berdasarkan pembagian kerja yang sistematis

2. Pejabat terikat pada disiplin dan pengawasan yang ketat dan sistematis

dalam melaksanakan tugas-tugas jabatannya.

3. Semua kegiatan diatur oleh sistem aturan yang sistematis

4. Jabatan-jabatan mengikuti asas hierarki

5. Pejabat hanya terikat pada satu tugas formal dan tidak personal

6. Jabatan diisi berdasarkan terpenuhinya syarat-syarat teknis yang

dinyatakan melalui ujian atau ijazah. Pejabat bersangkutan diangkat dan

bukan dipilih

7. Jabatan itu merupakan karier berdasarkan waktu atau kecakapan

Dalam prinsip-prinsip bentuk birokrasi harus terdapat adanya antara lain:


1. Struktur hirarkis formal pada setiap tingkat dan di bawah kontrol dan

dikendalikan dalam sebuah hirarki formal atas dasar dari perencanaan

pusat dan pengambilan keputusan.

2. Manajemen dengan aturan yang jelas adanya pengendalian melalui aturan

yang memungkinkan agar keputusan yang dibuat pada tingkat atas akan

dapat dilaksanakan secara konsisten oleh semua tingkat di bawahnya.

3. Organisasi dengan fungsional yang khusus pekerjaan yang harus

dilaksanakan oleh mereka yang benar merupakan ahli kemudian disusun

dalam unit-unit berdasarkan jenis pekerjaan yang akan dilakukan

berdasarkan keahlian.

4.  Mempunyai sebuah misi target yang akan dituju atau yang sedang

dilaksanakandalam upaya agar tujuan agar organisasi ini dapat melayani

kepentingan yang akan diberdayakan termasuk dalam misi untuk melayani

organisasi itu sendiri.

Teori Weber pada komunikasi organisasi menunjukkan suatu fenomena yang

disebut komunikasi jabatan (positional communication). Relasionalitas dibentuk

antar jabatan, bukan antar individu. Teori ini juga termasuk dalam tradisi

posisional karena masih berada satu payung kajian mahzab klasik, selain teori

empat sistem dari Likert. Dalam membahas mengenai otorita. Weber mengajukan

3 tipe idealnya yang terdiri dari: otorita tradisional, kharismatik dan legal

rasional. Otorita tradisional mendasarkan diri pada pola pengawasan di mana

legitimasi diletakkan pada loyalitas bawahan kepada atasan. Sedang otorita

kharismatik menunjukkan legitimasi yang didasarkan atas sifat-sifat pribadi yang

luar biasa. Adapun otorita legal rasional kepatuhan bawahan di dasarkan atas


legalitas formal dan dalam yurisdiksi resmi. Kelemahan dari teori Weber terletak

pada keengganan untuk mengakui adanya konflik di antara otorita yang disusun

secara hierarkis dan sulit menghubungkan proses birokratisasi dengan modernisasi

yang berlangsung di negara-negara sedang berkembang. Dalam teorinya, Weber

mengemukakan 10 ciri organisasi, yaitu:

1.  Suatu organisasi terdiri dari hubungan-hubungan yang ditetapkan antara

jabatan-jabatan. Blok-blok bangunan dasar dari organisasi formal adalah jabatan-

jabatan.

2. Tujuan atau rencana organisasi terbagi ke dalam tugas-tugas, tugas-tugas

tersebut disalurkan di antara berbagai jabatan sebagai kewajiban resmi  (job

description).

3.  Kewenangan: melaksanakan kewajiban diberikan kepada jabatan (saat resmi

menduduki sebuah jabatan).

4.  Garis kewenangan dan jabatan diatur menurut suatu tatanan hierarkhis.

5.  Sistem aturan dan regulasi yang umum tetapi tegas yang ditetapkan secara

formal, mengatur tindakan-tindakan dan fungsi-fungsi jabatan dalam organisasi.

6.  Prosedur bersifat formal dan impersonal. Perlu adanya catatan tertulis demi

kontinuitas, keseragaman (uniformitas), dan untuk maksud-maksud transaksi.

7.  Adanya prosedur untuk menjalankan disiplin anggota.

8.  Anggota organisasi harus memisahkan kehidupan pribadi dan kehidupan

organisasi.

9.   Pegawai yang dipilih utk bekerja berdasarkan kualifikasi teknis.

10. Kenaikan jabatan berdasarkan senioritas dan prestasi kerja.


Sebenarnya, Weber tidak pernah secara spesifik membangun sebuah teori

birokrasi. Weber hanya mengamati organisasi negara yang dijalankan sebuah

dinasti di masa hidupnya. Birokrasi tersebut bercorak patrimonial sehingga tidak

efektif di dalam menjalankan kebijakan negara. Sebab itu, Weber membangun

pengertian birokrasi sebagai sebuah organisasi yang legal rasional.

Konsep Birokrasi Martin Albrow

Martin Albrow adalah sosiolog dari Inggris. Ia banyak menulis seputar pandangan

para ahli seputar konsep birokrasi Weber. Akhirnya, ia sendiri mengajukan

beberapa konsepsinya seputar birokrasi. Albrow membagi 7 cara pandang

mengenai birokrasi. Ketujuh cara pandang ini dipergunakan sebagai pisau analisa

guna menganalisis fenomena birokrasi yang banyak dipraktekkan di era modern.

Ketujuh konsepsi birokrasi Albrow adalah :

1. Birokrasi sebagai organisasi rasional

Birokrasi sebagai organisasi rasional sebagian besar mengikut pada pemahaman

Weber. Namun, rasional di sini patut dipahami bukan sebagai segalanya terukur

secara pasti dan jelas. Kajian sosial tidap pernah menghasilkan sesuatu yang pasti

menurut hipotesis yang diangkat. Birokrasi dapat dikatakan sebagai organisasi

yang memaksimumkan efisiensi dalam administrasi. Secara teknis, birokrasi juga

mengacu pada mode pengorganisasian dengan tujuan utamanya menjaga stabilitas

dan efisiensi dalam organisasi-organisasi yang besar dan kompleks. Birokrasi juga

mengacu pada susunan kegiatan yang rasional yang diarahkan untuk pencapaian

tujuan-tujuan organisasi. Perbedaan dengan Weber adalah, jika Weber

memaklumkan birokrasi sebagai “organisasi rasional”, Albrow memaksudkan


birokrasi sebagai “organisasi yang di dalamnya manusia menerapkan kriteria

rasionalitas terhadap tindakan mereka.”

2. Birokrasi sebagai Inefesiensi Organisasi

Birokrasi merupakan antitesis (perlawanan) dari dari vitalitas administratif dan

kretivitas manajerial. Birokrasi juga dinyatakan sebagai susunan manifestasi

kelembagaan yang cenderung ke arah infleksibilitas dan depersonalisasi. Selain

itu, birokrasi juga mengacu pada ketidaksempurnaan dalam struktur dan fungsi

dalam organisasi-organisasi besar.

Birokrasi terlalu percaya kepada preseden (aturan yang dibuat sebelumnya),

kurang inisiatif, penundaan (lamban dalam berbagai urusan), berkembangbiaknya

formulir (terlalu banyak formalitas), duplikasi usaha, dan departementalisme.

Birokrasi juga merupakan organisasi yang tidak dapat memperbaiki perilakunya

dengan cara belajar dari kesalahannya. Aturan-aturan di dalam birokrasi

cenderung dipakai para anggotanya untuk kepentingan diri sendiri.

3. Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.

Birokrasi merupakan pelaksanaan kekuasaan oleh para administrator yang

profesional. Atau, birokrasi merupakan pemerintahan oleh para pejabat. Dalam

pengertian ini, pejabat memiliki kekuasaan untuk mengatur dan melakukan

sesuatu. Juga, seringkali dikatakan birokrasi adalah kekuasaan para elit pejabat.

4. Birokrasi sebagai administrasi negara (publik)

Birokrasi merupakan komponen sistem politik, baik administrasi pemerintahan

sipil ataupun publik. Ia mencakup semua pegawai pemerintah. Birokrasi

merupakan sistem administrasi, yaitu struktur yang mengalokasikan barang dan


jasa dalam suatu pemerintahan. Lewat birokrasi, kebijakan-kebijakan negara

diimplementasikan.

5. Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan pejabat

Birokrasi dianggap sebagai sebuah struktur (badan). Di struktur itu, staf-staf

administrasi yang menjalankan otoritas keseharian menjadi bagian penting. Staf-

staf itu terdiri dari orang-orang yang diangkat. Mereka inilah yang disebut

birokrasai-birokrasi. Fungsi dari orang-orang itu disebut sebagai administrasi.

6. Birokrasi sebagai suatu organisasi

Birokrasi merupakan suatu bentuk organisasi berskala besar, formal, dan modern.

Suatu organisasi dapat disebut birokrasi atau bukan mengikut pada ciri-ciri yang

sudah disebut.

7. Birokrasi sebagai masyarakat modern

Birokrasi sebagai masyarakat modern, mengacu pada suatu kondisi di mana

masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang diselenggarakan oleh birokrasi.

Untuk itu, tidak dibedakan antara birokrasi perusahaan swasta besar ataupun

birokrasi negara. Selama masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang ada di dua

tipe birokrasi tersebut, maka dikatakan bahwa masyarakat tersebut dikatakan

modern.

CONTOH

Banyak sekali contoh-contoh birokrasi, karena birokrasi itu sendiri ada di setiap

organisasi informal maupun formal. Kelompok kami akan menyebutkan beberapa

contok bentuk birokrasi dan setelah itu akan kami jelaskan tentang peran

birokrasi. Misalnya saja birokrasi berdasarkan tugasnya, ada departemen tenaga


kerja, departemen pertahanan, atau departemen pendidikan. Tugas utama dari

departemen-departemen ini adalah melaksanakan kebijaksanaan umum yang telah

digariskan oleh lembaga eksekutif maupun yudikatif. Di Indonesia contoh yang

paling mendekati adalah BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Meskipun negara

(eksekutif) terkadang masih merupakan pihak yang paling menentukan dalam

pengangkatan pejabatnya, tetapi secara umum sebagai sebuah lembaga bisnis ia

memiliki otoritas untuk menentukan jenis modal dan juga memutuskan apakah

perusahaan akan melakukan pemekaran organisasi atau sebaliknya, perampingan.

Tidak hanya itu masih ada beberapa bentuk birokrasi dalam pemerintahan

Indonesia misalnya: Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang

berfungsi untuk melakukan rekstrukturisasi kalangan bisnis tanah air yang di masa

lalu dianggap banyak merugikan keuangan negara, dan secara lebih jauh,

kesejahteraan masyarakat Indonesia akibat, katakanlah, ‘kredit-kredit macet’

mereka, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU),

Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia

(KPI), dan sejenisnya.

Dari contoh birokrasi-birokrasi yang disebutkan diatas setiap birokrasi dalam

pemerintahan memiliki peran dalam pemerintahan. Peran birokrasi dalam

pemerintahan modern adalah sebagai berikut:

1. Administrasi

Fungsi administrasi pemerintahan modern meliputi administrasi, pelayanan,

pengaturan, perizinan, dan pengumpul informasi. Dengan fungsi administrasi

dimaksudkan bahwa fungsi sebuah birokrasi adalah mengimplementasikan


undang-undang yang telah disusun oleh legislatif serta penafsiran atas UU

tersebut oleh eksekutif. Dengan demikian, administrasi berarti pelaksanaan

kebijaksanaan umum suatu negara, di mana kebijakan umum itu sendiri telah

dirancang sedemikian rupa guna mencapai tujuan negara secara keseluruhan.

1.  Pelayanan

Birokrasi sessungguhnya diarahkan untuk melayani masyarakat atau kelompok-

kelompok khusus. Badan metereologi dan Geofisika (BMG) di Indonesia

merupakan contoh yang bagus untuk hal ini, di mana badan tersebut ditujukan

demi melayani kepentingan masyarakat yang akan melakukan perjalanan atau

mengungsikan diri dari kemungkinan bencana alam. Untuk batas-batas tertentu,

beberapa korporasi negara seperti PJKA atau Jawatan POS dan Telekomunikasi

juga menjalankan fungsi public service ini.

1. Pengaturan (regulation)

Fungsi pengaturan dari suatu pemerintahan biasanya dirancang demi

mengamankan kesejahteraan masyarakat. Dalam menjalankan fungsi ini, badan

birokrasi biasanya dihadapkan anatara dua pilihan: Kepentingan individu versus

kepentingan masyarakat banyak. Badan birokrasi negara biasanya diperhadapkan

pada dua pilihan ini.

1. Pengumpul Informasi (Information Gathering)

Informasi dibutuhkan berdasarkan dua tujuan pokok: Apakah suatu kebijaksanaan

mengalami sejumlah pelanggaran atau keperluan membuat kebijakan-kebijakan


baru yang akan disusun oleh pemerintah berdasarkan situasi faktual. Badan

birokrasi, oleh sebab itu menjadi ujung tombak pelaksanaan kebijaksanaan negara

tentu menyediakan data-data sehubungan dengan dua hal tersebut. Misalnya,

pemungutan uang yang tidak semestinya (pungli) ketika masyarakat membuat

SIM atau STNK tentunya mengalami pembengkakan. Pungli tersebut merupakan

pelanggaran atas idealisme administrasi negara, oleh sebab itu harus ditindak.

Dengan ditemukannya bukti pungli, pemerintah akan membuat prosedur baru

untuk pembuatan SIM dan STNK agar tidak memberi ruang bagi kesempatan

melakukan pungli.

DAFTAR PUSTAKA

Blau,Peter M.1987. Birokrasi dalam Masyrakat Modern. Jakarta: Universitas

Indonesia( UI-Press)

Guy, Benvesniste. 1991. Birokrasi. Jakarta: CV. Rajawali

Widodo MS, Joko. 2005. Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja. Jakarta:

Bayumedia Publishing.

Sumber Lain :

http://setabasri01.blogspot.com/2009/05/pengantar.html

http://enikkirei.multiply.com/journal/item/115/TEORI-BIROKRASI-MAX-

WEBER

http://muslimpoliticians.blogspot.com/2011/12/perjalanan-birokrasi-indonesia-

dari.html
Posted by ipahipeh ilmu politik Subscribe to RSS feed

Anda mungkin juga menyukai