Anda di halaman 1dari 18

SEJARAH BIROKRASI

INDONESIA

ABDUL
ADMINISTRASI

N U R FAT I H I N
PUBLIK
2016

FISIP

U N PA D

TERMINOLOGI
Hegel

Birokrasi adalah
masyarakatnya.

jembatan

penghubung

antara

negara

(pemerintah)

dengan

BIROKRASI DALAM MAKNA YANG BAIK DAN RASIONAL (BUREAURATIONALITY)


Birokrasi sebagai organisasi yang rasional (rational organization)

BIROKRASI DALAM MAKNA YANG NETRAL (NETRAL VALUE)

Birokrasi sebagai pemerintahan oleh para pejabat (rule of officials)


Birokrasi sebagai administrasi negara (public administration)
Birokrasi sebagai administrasi oleh para pejabat (administration by officials)
Birokrasi sebagai organisasi yang memiliki ciri tertentu, seperti hirarki dan
peraturan (type of organization with specific characteristic and quality as
khierarchies and rules)

BIROKRASI DALAM MAKNA SEBAGAI PENYAKIT (BEREAUPATHOLOGY)

MODEL BIROKRASI
1. Model Patronase
Pada masa kerajaan, dikendalikan oleh raja, serta pejabat dan pegawainya (abdi
dalem)

2. Model Webberian
a. adanya suatu hirarki, termasuk pendelegasian wewenang dari atas ke bawah
b. adanya serangkaian posisi jabatan yg masing-masing memiliki tugas &
tanggungjawab yg tegas
c. adanya aturan, regulasi, standard formal
d. adanya personel yg scr teknis memenuhi syarat, yg bekerja atas dasar karier
dan promosi

3. Model NPM (New Public Management)


a. Disagregasi (pemecahan hirarki-hirarki sektor publik)
b. Kompetisi penyedia sumber daya internal
c. Skema remunerasi
Setiawan, Sigit. 2014. Evolusi Model Birokrasi dalam Perspektif Ekonomi dan Perkembangan
Reformasi Birokrasi di Indonesia. Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral-BKF

KONTEKS SEJARAH BIROKRASI PUBLIK DI


NUSANTARA-INDONESIA
MASA KERAJAAN
1.

Kerajaan maritim dan agraris

2.

Agraris dominan (pemusatan sumber ekonomi, kehormatan, kesaktian dll pada


raja dan didistribusikan pada para birokrat)

MASA KOLONIALISME
3.

Pada zaman belanda struktur & sistem birokrasi kerajaan tidak dirubah selama
menguntungkan

4.

Beda dgn abdidalem, priyayi (birokrat belanda) diangkat oleh belanda dan
mengadopsi gaya administrasi belanda (strukturnya), tapi gaya feodal ke
masyarakat

5.

Timbul ketidaksenangan para nasionalis pada para priyayi (birokrat belanda)

MASA KEMERDEKAAN
6.

Transformasi gaya-gaya kerajaan dan kolonial masih melekat

7.

Posisi dan status masih berkaitan dgn hirarki, abdi negara, sentralistis dan
ritualitas

8.

Perbedaannya birokrat tdk berada pada kelas istimewa karena terlalu banyak dan

SEJARAH BIROKRASI INDONESIA


Masa Kerajaan (600-1590)
Masa Kolonial (1590-1945)
Masa Orde Lama (1950-1966)
Masa Orde Baru (1967-1998)
Masa Reformasi (1998-)

BIROKRASI ZAMAN KERAJAAN

Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad ke-16, menganut sistem
kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk sistem kerajaan.

Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja sebagai pemegang kekuasaan tunggal dan absolut.
Segala keputusan ada di tangan raja dan semua masyarakat harus patuh dan tunduk pada kehendak sang Raja.

Birokrasi pemerintahan yang terbentuk pada saat itu adalah birokrasi kerajaan, yang memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan pribadi;
2. Administrasi adalah perluasan rumah tangga istana;
3. Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja;
4. Gaji dari raja kepada bawahan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga dapat ditarik sewaktu-waktu
sekehendak raja;
5. Para pejabat kerajaan dapat ertindak sekehndak hatinya terhadap rakyat, seperti halnya dilakukan oleh raja.

. Aparat kerajaan dikembangkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan raja.


. Di dalam pemerintahan pusat (keraton), urusan dalam pemerintahan diserahkan kepada empat pejabat
setingkat menteri (wedana lebet) yang dikoordinasikan oleh seorang pejabat setingkat Menteri Koordinator
(pepatih lebet). Pejabat-pejabat kerajaan tersebut masing-masing membawahi pegawai (abdidalem) yang
jumlahnya cukup banyak.

Referensi: Dwiyanto,
Agus.
2008. Reformasi
Birokrasi
di Indonesia.
Yogyakarta:
Gadjahyang
Mada
University
Press
. Daerah di
luar keraton,
seperti daerah
pantaiPublik
(pesisiran),
raja menunjuk
bupati-bupati
setia
kepada raja

BIROKRASI ZAMAN KOLONIAL


Pelayanan publik pada masa pemerintahan kolonial Belanda tidak terlepas dari sistem administrasi
pemerintahan yang berlangsung pada saat itu.
Kedatangan penguasa kolonial tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan adminitrasi
pemerintahan yang berlaku di Indonesia, sebagai bangsa pendatang yang ingin menguasai
wilayah nusantara baik secara politik maupun ekonomi, pemerintah kolonial menjalin hubungan
politik dengan pemerintah kerajaan yang masih disegani oleh masyarakat, motif utamanya adalah
menanamkan pengaruh politiknya terhadap elit politik kerajaan.
Selama pemerintahan kolonial terjadi dualisme sistem birokrasi pemerintahan. Di satu sisi telah
mulai diperkenalkan dan diberlakukan sistem administrasi kolonial (Binnenlandsche Bestuur)
yang mengenalkan sistem birokrasi dan administrasi modern, sedangkan pada sisi lain, sistem
tradisional (Inheemsche Bestuur) masih tetap dipertahankan.
Birokrasi pemerintahan kolonial disusun secara hierarki yang puncaknya pada Raja/Ratu
Belanda. Dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintahan di Negara jajahan, Ratu Belanda
menyerahkan kepada wakilnya, yakni seorang Gubernur Jenderal. Kekuasaan dan kewenangan
gubernur jenderal meliputi seluruh keputusan politik di wilayah Negara jajahan yang dikuasai.
Gubernur Jenderal dibantu oleh para Gubernur dan Residen. Gubernur merupakan wakil
pemerintah pusat yang berkedudukan di Batavia untuk wilayah provinsi, sedangkan di tingkat
kabupaten terdapat Asisten Residen dan Pengawas yang diangkat oleh gubernur jenderal
untuk mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari.

Referensi: Dwiyanto, Agus. 2008. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Bagan: Struktur Administrasi Pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia


Provinsi

Gubernur Jenderal

Kabupaten

Gubernur

Sub-kabupaten
Distrik

Residen

Patih

Bupati

Wedana

Wedana

Asisten
Wedana

Asisten
Wedana

Sumber: Rohdewold, 1995

Asisten Residen

Wedana
Asisten
Wedana

Pengawas

BIROKRASI ZAMAN ORDE LAMA

Berakhirnya masa pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi kelangsungan
sistem birokrasi pemerintahan.
Perbedaan-perbedaan pandangan yang terjadi diantara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk Negara
yang akan didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah disintegrasi bangsa dan keutuhan
aparatur pemerintahan. Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi RIS melahirkan
dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah.
Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi pada saat itu. Pertama, bagaimana cara
menempatkan pegawai Republik Indonesia yang telah berjasa mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang memiliki
keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada
Pemerintah belanda yang memiliki keahlian,tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI (Menpan, 1995).
Demikian pula penerapan sistem pemerintahan parlementer dan sistem politik yang mengiringinya pada tahun 1950-1959
telah membawa konsekuensi pada seringnya terjadi pergantian kabinet hanya dalam tempo beberapa bulan.
Seringnya terjadi pergantian kabinaet menyebabkan birokrasi sangat terfragmentasi secara politik. Di dalam birokrasi
tejadi tarik-menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu. Banyak kebijakan atau program
birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh
dalam suatu departemen. Program-program departemen yang tidak sesuai dengan garis kebijakan partai yang berkuasa
dengan mudah dihapuskan oleh menteri baru yang menduduki suatu departemen.
Birokrasi pada masa itu benar-benar mengalami politisasi sebagai instrumen politik yang berkuasa atau berpengaruh.
Dampak dari sistem pemerintahan parlementer telah memunculkan persaingan dan sistem kerja yang tidak sehat di
dalam birokrasi.
Birokrasi menjadi tidak professional dalam menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan
kebijakan atau program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat dari partai politik yang memenangkan
pemilu. Setiap pejabat atau menteri baru selalu menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya yang berasal dari
partai politik yang berbeda. Pengangkatan dan penempatan pegawai tidak berdasarkan merit system, tetapi lebih pada
pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya.

Referensi: Dwiyanto, Agus. 2008. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

BIROKRASI ZAMAN ORDE BARU


Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara yang
bertujuan untuk mendukung penetarsinya ke dalam masyarakat, sekaligus dalam rangka
mengontrol publik secara penuh (sentralisasi, kontrol publik lemah).
Pilar kekuatan: militer, Golkar, birokrasi pemerintahan
Fungsi regulatif lebih dominan dari fungsi pelayanan publik
Strategi politik birokrasi tersebut merupakan strategi dalam mengatur sistem perwakilan
kepentingan melalui jaringan fungsional non-ideologis, dimana sistem tersebut
memberikan berbagai lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti
monopoli atau perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau
antar kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap
hilangnya pluralitas sosial, politik maupun budaya. Pemerintahan Orde Baru mulai
menggunakan birokrasi sebagai premium-mobile bagi program pembangunan nasional.
Reformasi birokrasi yang dilakukan diarahkan pada :
1.

Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki birokrasi

2.

Untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak kepemimpinan pusat

3.

Untuk memperluas wewenang pemerintah baru dalam rangka mengkonsolidasikan


pengendalian atas daerah-daerah.

Referensi: Dwiyanto, Agus. 2008. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

REALISASI KEBIJAKAN

GBHN

Repelit
a

APBN

BIROKRASI ZAMAN REFORMASI


Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula dengan perubahan
besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, namun harapan
terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di Negaranegara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan.
Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya belum sepenuhnya
dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia. (Contoh kasus: Brunei Gate dan Bulog Gate)
Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja dijadikan alat politik
yang efektif bagi kepentingan-kepentingan golongan atau partai politik tertentu.
Terdapat pula kecenderungan dari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan
strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak KKN.
Mentalitas dan budaya kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian besar aparat birokrasi pada
masa reformasi.
Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata
masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi.
Osborne dan Plastrik (1997) mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan ekonomi yang
dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembang seringkali berbeda dengan realitas sosial
yang ditemukan pada masyarakat di negara maju.

Referensi: Dwiyanto, Agus. 2008. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

MODEL BIROKRASI
1. Model Patronase
Pada masa kerajaan, dikendalikan oleh raja, serta pejabat dan pegawainya (abdi
dalem)

2. Model Webberian
a. adanya suatu hirarki, termasuk pendelegasian wewenang dari atas ke bawah
b. adanya serangkaian posisi jabatan yg masing-masing memiliki tugas &
tanggungjawab yg tegas
c. adanya aturan, regulasi, standard formal
d. adanya personel yg scr teknis memenuhi syarat, yg bekerja atas dasar karier
dan promosi

3. Model NPM (New Public Management)


a. Disagregasi (pemecahan hirarki-hirarki sektor publik)
b. Kompetisi penyedia sumber daya internal
c. Skema remunerasi
Setiawan, Sigit. 2014. Evolusi Model Birokrasi dalam Perspektif Ekonomi dan Perkembangan
Reformasi Birokrasi di Indonesia. Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral-BKF

PANDANGAN TERHADAP BIROKRASI WEBBERIAN


Warren Bennis (1967)
Birokrasi hierarki piramida pada masa depan akan diganti dengan sistem
sosial baru sesuai harapan masyarakat.
Lawrence dan Lorch (1967)
Birokrasi yang bersifat rutin dan stabil, belum tentu cocok untuk lingkungan
yang kompleks. Oleh karena itu, jika ingin survive birokrasi harus
menyesuaikan diri dengan perkembangan atau perubahan lingkungan.
David Bheetham (1975)
Birokrasi Weber memiliki ciri-ciri pokok (1) instrumen teknis; (2) kekuatan
independen; (3) dapat keluar dari fungsinya yang tepat karena anggotanya
cenderung dari kelas sosial partikular (parpol, misalnya).

PANDANGAN TERHADAP BIROKRASI WEBBERIAN


Heckscher dan Donellon (1994)
Bentuk organisasi masa depan adalah post bureaucratic organization yang tidak sama dengan
birokrasi weberian. Powering (kekuasaan) bukan satu-satunya cara mengendalikan birokrasi,
melainkan perlu empowering (pemberdayaan).
Miftah Thoha (2003)
Birokrasi Weberiandiistilahkan sebagai officialdom atau kerajaan pejabatmemiliki dua
pemahaman, yaitu birokrasi yang rasional (netral) dan birokrasi yang sarat dengan kekuasaan
(potensi politis).
Karl Marx
Didasari teori perjuangan kelas, krisis kapitalisme, dan pengembangan komunisme, Karl Marx
berpendapat tentang birokrasi Weber sbb:
1. Birokrasi adalah negara atau pemerintah itu sendiri.
2. Birokrasi merupakan instrumen yang digunakan oleh kelas yang dominan (pemerintah) dengan
power-nya untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas sosial (proletariat, borjuis, dll)
lainnnya.
3. Dalam masyarakat komunis kelak (tiada kelas sosial, semua sama), birokrasi menjadi tiada arti
karena fungsi birokrasi dijalankan oleh semua anggota masyarakat secara mandiri dan kolektif
(dewan komune).

Tabel: Potret Birokrasi di Indonesia Periode 1949-1997


Periode
Program

Sasaran

19491959

19591967

19671997

Efisiensi

Rasionalisasi

Orientasi pemberian pelayanan publik

Profesionalisme birokrasi

Parkinsonisasi

Proliferasi struktur dan personil birokrasi

Orwelisasi

Birokrasi sebagai instrumen politik negara dan


alat kontrol politik

Jaksonisasi

Akumulasi kekuasaan melalui birokrasi

Alienasi publik dari proses pengambilan


keputusan

Webberisasi

Keterangan:
Angka-angka dalam table secara tentatif menunjukkan tingkat keberhasilan setiap progr
dan mengandung arti sebagai berikut: 1= rendah; 2= sedang; 3= tinggi.
Sumber: Fatah, 1998.

PATOLOGI BIROKRASI

Perilaku
Birokrasi
Feodal dan
Sentralistik

Pelayanan
Publik yang
tidak
Akuntabel

Patologi
Birokrasi
(Praktek
KKN)

Kegagalan
Birokrasi

Reformasi
Birokrasi

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai