Anda di halaman 1dari 11

Volume 1 No.

2
Oktober 2020
e-ISSN : 2721-9755
Email:
jurnalindependen@umj.ac.id
Website : http://jurnal.umj.ac.id/index.php/independen

REFORMASI SISTEM POLITIK UNTUK KEBERHASILAN


REFORMASI BIROKRASI

Ma’mun Murod Al-Barbasy1,*, Retnowati WD. Tuti2, Djoni Gunanto3


1,3
Ilmu Politik, FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Jl. KH. Ahmad Dahlan, Cirendeu, 15419
2
Ilmu Administrasi, FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Jl. KH. Ahmad Dahlan, Cirendeu, 15419

*E-mail: mamun.murod@umj.ac.id

ABSTRAK
Salah satu problem politik di Indonesia sejak zaman Orde Lama hingga saat ini adalah problem relasi
birokrasi dengan politik. Relasinya berjalan tidak proporsional. Birokrasi tak pernah diposisikan
sebagai “abdi Negara” atau “abdi masyarakat”, tapi selalu menjadi “abdi penguasa” atau bahasa
yang lebih halus menjadi “abdi kekuasaan”. Reformasi birokrasi sempat digaungkan di awal
reformasi, namun seperti halnya nasib reformasi birokrasi yang selalu hadir di awal-awal rezim baru
politik berkuasa, selalu lenyap ditelan bumi. Masalah utamanya, reformasi birokrasi tidak diikuti oleh
reformasi kelembagaan lainnya yang ada keterkaitannya dengan reformasi birokrasi, seperti
reformasi system politik. Kalau reformasi birokrasi mau berjalan dengan baik, maka harus diikuti
pula dengan reformasi system politik yang senafas dengan semangat reformasi birokrasi. Kalau tidak
maka reformasi birokrasi hanya akan diwacanakan tapi tak akan pernah terwujud.

Kata kunci: reformasi birokrasi, reformasi sistem politik, “abdi negara”, dan “abdi penguasa”

ABSTRACT
One of the political problems in Indonesia since the Old Order era until now is the problem of
bureaucratic relations with politics. The ratio goes disproportionately. Bureaucracy was never
positioned as a “servant of the state” or “servant of the people”, but always a “servant of power”.
Bureaucratic reform was echoed at the beginning of reform, but like the fate of bureaucratic reform
that was always present at the beginning of the new political regime in power, always vanished in the
earth. The main problem is that bureaucratic reform is not followed by other institutional reforms that
are linked to bureaucratic reform, such as political system reform. If bureaucratic reform is to go
well, it must be followed by political system reform which is in line with the spirit of bureaucratic
reform. If not, then bureaucratic reform will only be discussed but it will never be realized.

Keywords: bureaucratic reform, political system reform, “servants of the state”, “servants of the
ruling”

DOI: 10.24853/independen.1.2.75-86
INDEPENDEN: Jurnal Politik Indonesia dan Global
Website: http://jurnal.umj.ac.id/index.php/independen E-ISSN: 2721-9755

PENDAHULUAN kelola pemerintahan yang dipakai pada masa


itu. Kehadiran Belanda nyaris tak banyak
Kepemimpinan dalam suatu negara dihadirkan memberikan perubahan pada perilaku
untuk mewujudkan kebaikan bersama (public birokrasi. Sebagai pendatang yang mencoba
good, maslahat-i al-ammah). Hal ini sejalan menguasai Nusantara, dengan cerdik Belanda
dengan qaidah ushul: tasharraful imam alâ menjalin relasi dengan pihak kerajaan.
ra’iyyati manûtun bi al-maslahat-i, Motifnya tentu menanamkan pengaruh
keberhasilan pemimpin diukur dari terhadap elit kerajaan. Masuknya Belanda di
kemampuannya dalam mewujudkan Nusantara telah menghadirkan dua model
kesejahteraan rakyatnya. Untuk birokrasi. Di satu sisi Belanda telah
mewujudkannya, maka negara memerlukan mengenalkan model birokrasi Barat yang
kahadiran birokrasi yang mampu menjalankan dikenal lebih modern. Sementara di sisi lain
setiap kebijakan politik yang dibuat para tetap berlangsung praktik model birokrasi
pengambil kebijakan yang pelaksanaannya kerajaan yang tradisionalis (Thoha, 2012).
tentu diharapkan bisa berjalan efektif dan
efisisen. Dalam konteks tata kelola Birokrasi tradisonal ini sering disebut sebagai
pemerintahan, peran birokrasi juga semestinya birokrasi paternalistic. Ada juga yang
dapat mendorong terwujudnya clean menyebutnya sebagai birokrasi patrimonial
government dan good governance. yang menempatkan raja sebagai patron dan
rakyat sebagai client. Raja mempunyai
Dalam menjalankan fungsinya, birokrasi akan wewenang penuh mengatur pembagian
tergantung pada pengalaman sejarah yang kehormatan, kemakmuran, dan kedudukan
melingkupinya. Negara yang pernah dijajah rakyat. Dalam sistem ini, masyarakat terbagi
pasti awal terbentuknya memiliki corak dalam dua strata, yaitu “abdi dalem” dan
birokrasi yang identik dengan negara yang “wong cilik”. Oleh raja, “abdi dalem” diberi
pernah menjajahnya. Indonesia menjadi kewenangan untuk menarik pajak dan
contoh. Birokrasi Indonesia adalah warisan mengelola tanah kerajaan. (Setianto, 2010:
kolonial Belanda. Dalam praktiknya, seperti 170-176). Di era kolonial, pembaruan birokrasi
halnya yang terjadi di era kolonial, keberadaan mencoba dilakukan. Meski begitu, pembaruan
birokrasi di Indonesia juga dibangun untuk tak lebih hanya salah satu upaya Belanda untuk
tujuan mengendalikan masyarakat. Birokrasi tetap tampil mendominasi dan memangkas
kemudian berubah fungsi dari yang seharusnya sedikit demi sedikit peran birokrasi kerajaan.
menjadi “abdi negara” berubah menjadi “abdi Kebijakan ini tentu menguntungkan Belanda.
penguasa”. Perubahan fungsi ini tentu sejalan Sebaliknya, raja yang semula merupakan
dengan kehendak politik yang mencoba sentra kuasa kerajaan secara politik
dibangun Belanda, yaitu berusaha untuk pengaruhnya mulai berkurang.
mempertahankan kuasa atas tanah jajahannya.
Meski terjadi pembaruan, secara substansial
Seperti tercacat dalam sejarah, Indonesia belum mampu mengubah corak birokrasi
termasuk negara yang cukup lama dijajah oleh dalam menjalin relasi dengan masyarakat.
negara lain. Mula pertama adalah Negara Sentralisasi kekuasaan dalam birokrasi tetap
Portugis, kemudian disusul Spanyol, Belanda, dominan. Pembuatan berbagai kebijakan
dan terakhir Jepang. Sebelum kedatangan para publik tak pernah bergeser dari penggunaan
penjajah, sebagian besar wilayah menganut pola top-down. Inisiatif dan peran birokrasi
sistem kerajaan dan birokrasi yang berlaku pemerintah lokal tidak banyak berfungsi.
juga birokrasi model kerajaan. Dalam sistem Semua inisiatif kebijakan dan otoritas formal
kerajaan, pucuk pimpinan sepenuhnya di berasal dari pemerintah pusat. Unit-unit
tangan raja sebagai pemegang kekuasaan birokrasi di daerah secara hierarkis
absolut. Rakyat diharuskan taat pada titah dan bertanggung jawab kepada Gubernur Jenderal
perintah raja. Berlaku prinsip “dengar” dan Belanda (Hasan, 2012: 1076-1077).
“taat” (sami’na wa atha’na) pada raja.
Praktek birokrasi yang berlangsung di era
Sementara di era penjajahan Belanda, kerajaan maupun kolonial ini tampil
pelayanan masyarakat sejalan dengan tata mendominasi di dalam birokrasi pasca

76
Ma’mun Murod Al-Barbasy, Retnowati WD. Tuti, Djoni Gunanto: Reformasi Sistem Politik Untuk Keberhasilan Reformasi
Birokrasi

INDEPENDEN: Jurnal Politik Indonesia dan Global 1 (2) pp 75-86 © 2020

kemerdekaan, sejak Orde Lama hingga kurang tepat untuk tidak mengatakan keliru
Reformasi. Secara politik, birokrasi tidak yang dilakukan selama ini dalam melakukan
pernah diposisikan secara adil yang bertugas reformasi birokrasi, yaitu seakan keberhasilan
membantu pemerintah dalam arti sebenarnya, reformasi birokrasi an sich dengan menata
bukan pemerintah yang menjelma jadi ulang praktek birokrasi dari posisi “abdi
penguasa politik. Dan besarnya political penguasa” menjadi “abdi negara”. Seakan
influence ini telah menjadikan birokrasi di reformasi birokrasi bisa berhasil tanpa perlu
Indonesia secara das sollen tak pernah bekerja melakukan reformasi di bidang lainnya.
secara proporsional sebagai abdi masyarakat.
Bandul kerja birokrasi lebih condong menjadi Kegagalan reformasi birokrasi yang terjadi
“abdi penguasa” daripada “abdi masyarakat”. selama ini, karena di saat bersamaan tidak
Potret birokrasi yang seperti ini sejak mula secara serius melakukan reformasi sistem
kerajaan hingga saat ini belum menunjukkan politik. Tentu saja reformasi sistem politik
ke arah perubahan yang positif (Fakhruddin, yang dimaksud di sini bukan hanya
2012: 285-287). Birokrasi selalu dijadikan mereformasi sistem pemilu dan sistem
sebagai alat kekuasaan. Di era Orde Lama kepartaian, tapi juga reformasi yang dapat
birokrasi mengalami pembelahan politik. menopak dan memperkuat posisi birokrasi.
Akibatnya, di internal birokrasi sendiri terjadi Sebab apapun sistem politiknya, birokrasi yang
tarik menarik di antara kekuatan yang tengah akan menjadi garda terdepan dalam
berkuasa saat itu. Bukan hanya itu, kerja-kerja pelaksanaan produk dari reformasi sistem
birokrasi juga dengan mudah dapat diatur oleh politik. Karenanya, betapapun seriusnya
kekuatan politik yang tengah berkuasa. Wajah melakukan reformasi birokrasi kalau sistem
kebijakan birokrasi pun menjadi sarat politiknya masih membuka peluang untuk
kepentingan politik dari penguasa maupun memposisikan birokrasi sebagai “abdi
partai politik yang berkuasa saat itu penguasa”, sampai kapan pun reformasi
(Fakhruddin, 2012: 284). birokrasi tak akan pernah sukses.

Kondisi ini tak berbeda jauh dengan era Orde Berangkat dari paparan di atas, tulisan ini
Baru. Bahkan tarikan politiknya lebih kuat. mencoba membahas tentang reformasi
Birokrasi jadi “kekuatan politik”, sehingga birokrasi yang lebih utuh dan menyeluruh. Hal
dikenal istilah ABG: ABRI, Birokrasi, dan yang ditawarkan, bahwa reformasi birokrasi
Golkar (Puspita, 2012: 30-34). Di era hanya akan berhasil dengan baik apabila secara
Reformasi, upaya depolitisasi birokrasi gencar bersamaan juga dilakukan reformasi sistem
dilakukan. Namun dalam perjalanannya, politik yang bersifat menyeluruh pula.
kooptasi terhadap birokrasi bukan berkurang, Semangat reformasi sistem politiknya harus
tapi bertambah. Birokrasi semakin terombang- senafas dengan semangat reformasi birokrasi,
ambing dan liar. Jika pada masa Orde Baru yang mencoba mendudukan birokrasi secara
birokrasi harus monoloyalitik kepada Golkar, proporsional, terutama dalam relasinya dengan
di era Reformasi “kepatuhan” bercabang, politik.
tergantung sang penguasa berasal dari partai
apa. Kalau di suatu kabupaten, penguasanya Birokrasi dan Politik
berasal dari partai yang berbeda dengan
penguasa di tingkat provinsi maupun pusat, Birokrasi dimengerti sebagai keseluruhan
posisi birokrasi akan cenderung bercabang. aparat pemerintah, sipil maupun militer, yang
Dalam banyak kasus, kepatuhan birokrasi lebih bertugas membantu pemerintah dan mereka
kuat kepada bupati atau walikota, daripada menerima gaji dari pemerintah karena
kepada gubernur atau presiden. statusnya. Sementara Wrong sebagaimana
dikutip Yudiatmaja (2015: 12) mengartikan
Paparan di atas menggambarkan bahwa upaya birokrasi sebagai organisasi yang diangkat
untuk melakukan reformasi birokrasi telah untuk mencapai satu tujuan tertentu dari
dilakukan sejak Orde Lama hingga era berbagai tujuan, diorganisir secara hierarki
Reformasi. Bahkan di awal era Reformasi dengan jalinan komando yang tegas,
marak kajian-kajian tentang perlunya menciptakan pembagian kerja yang jelas,
reformasi birokrasi. Namun ada hal yang peraturan-peraturan umum, karyawan dipilih

77
INDEPENDEN: Jurnal Politik Indonesia dan Global
Website: http://jurnal.umj.ac.id/index.php/independen E-ISSN: 2721-9755

berdasarkan kompetensi (merit system), dan yang longgar. Birokrasi model ini menunjut
pekerjaan birokrat merupakan pekerjaan jumlah pegawai yang banyak dengan tugas-
seumur hidup. tugas yang begitu longgar (Nugraha, 2017:
55). Weber menyebutnya sebagai birokrasi
Berbicara tipe birokrasi yang ideal tak patrimonial, di mana jabatan dan perilaku
mungkin juga berpaling dari Max Weber, dalam hirarki birokrasi lebih didasarkan pada
orang pertama yang meletakkan dasar-dasar relasi familier, pribadi, dan “bapak-anak buah”
dan karakteristik organisasi modern yang (patron client) (Djakfar, 2011: 326).
kemudian dikenal dengan birokrasi. Menurut Dorodjatun Kuntjoro-Jakti menyebut birokrasi
Weber ada beberapa karakteristik yang harus patrimonial serupa dengan lembaga
dimiliki birokrasi, yaitu pembagian kerja yang perkawulaan, di mana patron itu juragan, dan
jelas (job descriptions), adanya hierarki klien itu kawula. Relasi gusti-kawula bersifat
kewenangan, terdapat aturan-aturan formal pribadi, implisit dianggap mengikat seluruh
yang mengatur tata relasi birokrasi, birokrasi hidup, seumur hidup, dengan loyalitas
bersifat impersonal, berlaku prinsip the right primordial sebagai dasar pertalian relasi
man on the right job, adanya penerapan (Djakfar, 2011: 326). Birokrasi patrimonial ini
jenjang karier pegawai yang jelas, dan terakhir, telah melahirkan birokrasi nepotisme, yang
adanya pemisahan secara tegas antara lebih mengutamakan pendekatan kekerabatan
kehidupan organisasi dan pribadi. dan persahabatan. Dalam lingkungan birokrasi
(Yudiatmaja, 2015: 13). yang seperti ini, korupsi dianggap sebagai hal
yang wajar dan masyarakat pun permisif dalam
Sementara mengkaji keterkaitan birokrasi dan menyikapi birokrasi yang korup ini.
politik, ada beberapa pendekatan teori yang
bisa dijadikan pijakan. Karl D Jackson Dalam bahasa lain, Azra menyebutnya sebagai
menyebut birokrasi di era Orde Lama dan Orde demokrasi kolutif (The Economist, 2010).
Baru sebagai bureaucratic polity (Purwoko, Demokrasi ini digunakan untuk
2016: 519), di mana negara menjadi tempat menggambarkan perkembangan demokrasi di
menghimpun kekuasaan dan memarjinalkan Indonesia, yang mengacu pada perilaku politik
peran politik masyarakat. Peran presiden pemerintah yang lebih memilih ko-opsi dan
sangat dominan dalam mengatur segala konsensus daripada kompetisi secara fair.
kebijakan dari pusat hingga daerah. Birokrasi Demokrasi kolusif terlihat dalam pengaturan
juga tampil sangat kuat. Pada masa Orde Baru keseimbangan yang hati-hati dalam kabinet,
bahkan terjadi hegemoni politik yang ketiadaan oposisi di parlemen, dan relasi
dikendalikan secara hegemonic oleh militer promiscuous di dalam aliansi-aliansi politik.
dan (Sekber) Golkar. Dua kekuatan ini telah Hasilnya, aliansi politik sangat tidak stabil
menciptakan kehidupan politik yang jauh dari karena partai politik-partai politik terus
demokratis (Bourchier, 2015; Mietzner (2015). membentuk aliansi, meningggalkan aliansi,
Masyarakat pun menjelma menjadi masyarakat dan membuat aliansi baru berdasarkan
birokratik. Lance Castle memberikan ciri pertimbangan jangka pendek yang nyaris
masyarakat birokratik sebagai: Lembaga kosong dari komitmen ideologis dan
politik yang dominan adalah aparat birokrasi; kepentingan konstituen.
Lembaga politik lainnya, seperti parlemen,
partai, dan interest group semuanya lemah, Dengan demikian, demokrasi kolusif termasuk
tidak mampu melakukan balance dan kontrol salah satu bentuk korupsi, kolusi, dan
kepada birokrasi; dan massa di luar birokrasi nepotisme. Secara konvensional, istilah kolusi
secara politis dan ekonomis pasif, merupakan lebih terkait “persekutuan gelap” yang
penyebab penting lemahnya peran partai, dan merugikan negara dan publik. Demokrasi
secara timbal balik menguatkan peranan kolusif juga merugikan pertumbuhan
birokrasi (Djafar, 2011: 328). demokrasi dan kepentingan publik karena
politik sebagian besarnya tetap merupakan
Hans-Dieter Ever dan Tilmen Schiel menyebut kolusi di antara elite politik, baik di tingkat
birokrasi masa Orde Baru sebagai model nasional maupun lokal. Di tingkat lokal,
birokrasi Parkinson, yang identik dengan demokrasi kolusif menghasilkan oligarki
birokrasi yang “gemuk” dan struktur birokrasi politik yang hampir tidak memberikan ruang

78
Ma’mun Murod Al-Barbasy, Retnowati WD. Tuti, Djoni Gunanto: Reformasi Sistem Politik Untuk Keberhasilan Reformasi
Birokrasi

INDEPENDEN: Jurnal Politik Indonesia dan Global 1 (2) pp 75-86 © 2020

bagi partisipasi politik rakyat secara signifikan partai politik yang berkuasa (Daniarsyah,
guna perbaikan kehidupan mereka. Sebaliknya, 2015: 89-90). Konsekuensinya, birokrasi tak
rakyat hanya diperlukan untuk mencapai lepas dari kepentingan partai-partai. Hal ini
agenda politik kolusif di antara para elite tentu berimplikasi terhadap kinerja birokrasi
politik. Kepentingan rakyat hanya menjadi yang tidak efesien dan tidak efektif dan sarat
lips-service dan simbolik belaka. dengan kepentingan partai-partai (Martini,
2010: 207).
Relasi Birokrasi dan Politik
1. Era Orde Lama 2. Era Orde Baru
Berakhirnya masa kolonial membawa Pada awal kuasanya, Orde Baru berpandangan
persoalan tersendiri bagi birokrasi. Pertama, bahwa birokrasi harus dihindarkan dari politik
terkait penempatan pegawai yang punya andil dukung mendukung, harus netral politik.
besar dalam merebut dan mempertahankan Pandangan ini diwujudkan lewat kebijakan
kemerdekaan Indonesia, tapi kurang memiliki Kepmendagri Nomor 12 Tahun 1969 tentang
keahlian dan pengalaman kerja yang pelarangan pegawai dalam negeri terlibat aktif
mencukupi. Kedua, berkenaan dengan dalam partai dan PP Nomor 6 Tahun 1970
penempatan pegawai yang telah bekerja pada tentang kewajiban pegawai negeri memiliki
Belanda yang memiliki keahlian, tapi dianggap monoloyalitas kepada pemerintah. Penguasa
berkhianat pada NKRI. Ketiga, pergantian Orde Baru sadar bahwa birokrasi adalah
kabinet yang sering terjadi telah menyebabkan perangkat penting dalam upaya modernisasi,
terpolarisasinya birokrasi. Kinerja birokrasi karenanya sejak awal mencoba menata
sangat ditentukan oleh kekuatan politik yang birokrasi lewat beragam upaya birokratisasi
berkuasa. dengan tujuan: penumbuhan aparat negara
yang kuat secara kuantitatif; dan penambahan
Dampaknya, terjadi persaingan dan sistem pengawasan yang birokratis. Hasilnya,
kerja yang tak sehat dalam birokrasi. Birokrasi birokrasi membentuk dirinya sebagai alat
menjadi tidak professional dalam menjalankan negara sekaligus memiliki kekuasaan
tugasnya. Birokrasi tak dapat melaksanakan kuantitatif yang besar. Penumbuhan aparat
kebijakan atau program karena sering terjadi negara yang kuat secara kuantitatif itu terlihat
pergantian pejabat dari partai yang dengan peningkatan jumlah pegawai negeri.
memenangkan pemilu. Setiap pejabat baru
selalu menerapkan kebijakan yang berbeda Penguasaan birokrasi sebagai alat negara juga
dari pendahulunya yang berasal dari partai dilakukan dengan keharusan para pegawai
yang berbeda. Pengangkatan dan penempatan negeri menjadi anggota Golkar. Dalam kaitan
pegawai tak memakai sistem merit, tapi lebih ini, birokrasi telah menjadi aparat negara yang
didasarkan pada pertimbangan loyalitas digunakan untuk tujuan-tujuan kekuasaan.
terhadap partainya. Dengan tidak adanya kontrol yang seimbang,
sebagai akibat dari penguasaan total atas
Kekuatan politik saat itu dikendalikan oleh kehidupan bernegara, Orde Baru berhasil
Soekarno dan ditopang militer, Partai Nasional memanipulasi birokrasi untuk melayani
Indonesia, dan Partai Komunis Indonesia. kepentingan kuasanya. Relasi ini oleh James
Terjadi kontrol terhadap rakyat yang kritis dan Scott, sebagaimana dikutip Firnas (2016: 168-
dianggap membahayakan, dibentuk 169) disebut patronclient relationship, di mana
perkumpulan-perkumpulan berbasis profesi relasi didasarkan antara patron dan klien.
atau lainnya yang bertujuan penampung
aspirasi mereka (Al-Barbasy, 2018). Birokrasi Pada akhirnya, rejim Orde Baru pun sama
juga terjebak pada politik dukung mendukung. seperti rezim Orde Lama yang tak mampu
Pegawai negeri dibebaskan terlibat di dalam memposisikan birokrasi secara proporsional
partai politik, baik sebatas menjadi anggota dan professional dengan menempatkannya
atau pengurus. Pertimbangannya, seperti warga sebagai “abdi negara”. Bahkan prakteknya
negara lainnya, pegawai negeri pun memiliki jauh lebih parah. Birokrasi sepenuhnya
hak politik yang sama. Konsekuensinya, dijadikan sebagai instrument kekuasaan untuk
birokrasi menjadi terkerangkeng dalam menggalang dukungan politik masyarakat.
pusaran kepentingan penguasa dan partai-

79
INDEPENDEN: Jurnal Politik Indonesia dan Global
Website: http://jurnal.umj.ac.id/index.php/independen E-ISSN: 2721-9755

Berger (Gaus, 2017: 658-669) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan


mengilustrasikan awal kekuasaan Orde Baru: Tindak Pidana Korupsi.

Illustration the history of the rise of the Publik berharap bahwa terjadinya Reformasi
New Order regime of Soeharto’s rule in akan diikuti dengan perubahan besar terkait
which the process of revision of classical perubahan struktur, kultur, dan paradigma
modernization theory, which projected an birokrasi. Namun harapan tersebut tak
image of transition from the tradition of terwujud. Kecenderungan birokrasi yang tak
primordial society (ethnicity, religion, and netral politik belum hilang sepenuhnya dari
loyalty to region) to modern society took kultur birokrasi di Indonesia. Birokrasi yang
root. One manifestation of the revision of seharusnya apolitis, faktanya masih dijadikan
the classical modernization theory was the alat kekuasaan bagi kepentingan-kepentingan
rise of patrimonialism (the legacy of post- politik tertentu. Budaya politik terkait relasi
and precolonial era of Javanese Empires) birokrasi dan politik sejak era kerajaan dan
toward the process of “politics-of-order”. kolonial ternyata masih sulit dilepaskan dari
The characteristic of this politics-of-order perilaku aparat birokrasi. Kepentingan partai
was marked by the stringent role of military masih saja mengintervensi birokrasi.
in administrative roles and technical skills Implikasinya, rakyat menjadi pihak yang
to facilitate political and economic dirugikan. Kultur kekuasaan politik yang
modernization. dominan membawa dampak pada abainya
fungsi pelayanan birokrasi sebagai abdi rakyat.
Birokrasi masa Orde Baru hampir-hampir tak Akibat lainnya, inefisiensi birokrasi dalam
terbantah telah menjadi instrumen politik yang penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan
paling berkuasa, memiliki kewenangan, pelayanan publik masih terjadi, kelambanan
kekuatan, dan klaim yang hampir tak terbatas dan kebocoran anggaran juga terjadi. Birokrasi
sebagai salah satu penyokong kuasa Orde tetap dengan mudah dimanfaatkan dan
Baru. Nyaris tak ada satu ruang kehidupan pun terkooptasi oleh kekuatan politik.
yang tidak bisa diacak-acak oleh birokrasi.
Perumpamaan ini tak berlebihan. Kenyataan Reformasi Kebijakan Politik
menunjukan bahwa hampir tidak ada satu pun Mendasarkan pada relasi birokrasi dengan
ruang kehidupan yang benar-benar bebas dari politik sejak Orde Baru sampai era Reformasi,
pengaruh birokrasi. menyiratkan posisi birokrasi yang berada di
persimpangan jalan. Birokrasi yang seharusnya
3. Era Reformasi menjadi “abdi negara”, dalam sejarah
panjangnya justru menjadi “abdi penguasa”.
Lengsernya Orde Baru lewat gerakan Lalu di tengah persimpangan tersebut,
reformasi 1998, oleh Chalmers dan Hadiz bagaimana seharusnya posisi birokrasi?
disebut telah memungkinkan terjadinya transisi Jawabnya tentu tegas bahwa birokrasi harus
ke era baru di bawah kepemimpinan berada dan berjalan di atas rel yang benar,
masyarakat demokratis baru (Gaus et al. 2017: yaitu sebagai aparat yang bertugas membantu
661). Lengsernya Orde Baru menjadi dalam menjalankan roda pemerintahan.
momentum untuk mereformasi birokrasi. Relasinya dengan politik juga harus dilakukan
Keluar UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang secara proporsional dan profesional. Untuk
Pokok-pokok Kepegawaian, yang melarang menegaskan posisinya ini, dibutuhkan
PNS terlibat kampanye dan mendukung partai. beberapa kebijakan yang semestinya
Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi juga dijalankan secara serius untuk terwujudnya
mendapat respon positif dari Habibie dengan birokrasi yang proporsional dalam
keluarnya PP Nomor 5 Tahun 1999, yang memposisikan politik. Selain reformasi
menekankan netralitas PNS dari partai. birokrasi, kebijakan penting lainnya yaitu
Pemerintah juga mengeluarkan beberapa reformasi sistem politik penting juga untuk
peraturan, di antaranya UU Nomor 28 Tahun dilakukan.
1999 tentang Penyelenggara Negara yang Reformasi Birokrasi
Bersih dan Bebas KKN dan UU Nomor 20 Berangkat dari pengalaman 70 tahun lebih
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Indonesia merdeka, dapat digambarkan bahwa

80
Ma’mun Murod Al-Barbasy, Retnowati WD. Tuti, Djoni Gunanto: Reformasi Sistem Politik Untuk Keberhasilan Reformasi
Birokrasi

INDEPENDEN: Jurnal Politik Indonesia dan Global 1 (2) pp 75-86 © 2020

terdapat tiga tipologi politisasi birokrasi. Agar reformasi birokrasi berjalan baik, seperti
Pertama, politisasi terbuka, di mana upaya- dinyatakan Jennings, positioning birokrasi
upaya politisasi dilakukan secara langsung dan harus berada pada posisi menjalankan
tidak ada hal yang ditutup-tutupi. Periode konstitusi tanpa mengunggulkan kalangan
Demokrasi Parlementer menjadi contoh, di tertentu dalam masyarakat. Fakta bahwa sistem
mana para pemimpin partai bersaing berebut pemerintahan, partisipasi politik, kebebasan
posisi menteri yang langsung memimpin berpikir, dan berperilaku orang sangat
kementerian. Setelah menduduki kursi beragam, membuat birokrasi selalu dihadapkan
kementerian, sang menteri berusaha pada perilaku dan keinginan yang berbeda.
memperlihatkan kepemimpinan dan Namun, karena konstitusi yang netral,
kebijakannya dengan maksud agar pegawai di birokrasi juga harus netral (Jennings, 2011).
kementerian tersebut tertarik masuk dan
meniadi anggota partainya. Dengan kondisi ini, Sementara Eko Prasojo (2006: 301-303)
tak heran bila didapati beberapa kementerian menyebut tiga hal yang harus dilakukan
menjadi basis atau didominasi oleh suatu partai sebagai prasyarat reformasi birokrasi. Pertama,
tertentu. Kedua, politisasi setengah terbuka, komitmen dan national leadership. Reformasi
berlangsung di era Demokrasi Terpimpin. birokrasi harus bermula dari visi dan
Politisasi birokrasi diperuntukkan bagi parpol komitmen pemimpin di negeri ini. Pemimpin
pendukung Nasakom. Ketiga, politisasi harus menjadi kekuatan gerakan tentang
tertutup, berlangsung pada masa Orde Baru. pentingnya mereposisi dan merevitalisasi
Mulai dari tingkat pusat (presiden) sampai ke administrasi negara. Penting juga komitmen
tingkat desa atau kelurahan (lurah/kepala desa) untuk memodernisasi birokrasi dan
semua wajib menjadi anggota yang sekaligus menegakkan hukum atas pelanggaran yang
pembina Golkar. Akibat politisasi birokrasi, terjadi di lingkup birokrasi. Kedua, dekooptasi
birokrasi mengalami gangguan konsentrasi, dan netralitas birokrasi oleh kekuatan politik.
sementara pada saat yang sama gagal melayani Saat ini birokrasi masih terkooptasi dan
masyarakat sesuai misi utama birokrasi. terintervensi oleh kekuatan politik. Reformasi
birokrasi bukan sekadar perubahan struktur
“Rupture of bureaucratic concentration dan reposisi birokrasi, tapi juga meliputi
caused circulation regional head once perubahan sistem politik secara menyeluruh,
every five years. Those who rely on the perubahan sikap mental dan budaya birokrat
dominant incumbent candidates are often dan masyarakat, serta perubahan mindset dan
disoriented in the competition when they komitmen pemerintah serta partai politik.
lost the next election. On the other hand the Harus ada kejelasan batas antara pejabat karir
politicization of the bureaucracy to create a dan pejabat politik. Ketiga, profesionalisme
relationship between the executive and birokrasi. Perlu adanya penataan menyeluruh
legislative experience serious dynamic terkait sistem kepegawaian dan penguatan
tension if not continuous.” (Agus Dwiyanto, peran masyarakat dalam kontrol pelaksanaan
2011). pemerintahan.

Berangkat dari tiga tipologi politisasi birokrasi, Penting juga dilakukan langkah-langkah
tantangan reformasi birokrasi di Indonesia strategis dalam mereformasi birokrasi.
setidaknya mencakup tiga hal, pertama, faktor Pertama, lingkup kebijakan, harus diciptakan
internal, termasuk ketakmampuan birokrasi beragam kebijakan yang dapat memaksa agar
untuk mengubah dirinya menjadi lebih baik. birokrasi lebih berorientasi pada pelayanan
Kedua, faktor eksternal terkait intervensi masyarakat. Kedua, lingkup organisasional,
politik yang membuat birokrasi kehilangan perlu adanya perbaikan proses rekrutmen yang
konsentrasi dalam menjalankan fungsi layanan. berbasis kompetensi, pendidikan, dan latihan
Dan Ketiga, faktor keraguan publik terhadap yang sensitif terhadap kepentingan masyarakat.
efektivitas kebijakan yang direncanakan dan Ketiga, lingkup operasional, dilakukan
dilaksanakan oleh birokrasi (Labolo, perbaikan melalui peningkatan service quality
Indrayani, 2017: 35-38; ). yang meliputi tangibles, reliability,
responsiveness, assurance, dan emphaty
(Tjiptono, Chandra, 2011).

81
INDEPENDEN: Jurnal Politik Indonesia dan Global
Website: http://jurnal.umj.ac.id/index.php/independen E-ISSN: 2721-9755

Langkah-langkah strategis di atas senafas birokrasi. Etika di sini tentu dimaknai secara
dengan reformasi birokrasi yang dilakukan luas terkait dengan nilai-nilai ideal yang
sejak awal reformasi. Misalnya seperti tertuang seharusnya dijadikan dasar pijakan dalam
dalam UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan urusan publik, misalnya
Pokok-Pokok Kepegawaian, yang mengatur integritas, akuntabel, responsif, transparan,
secara tegas netralitas pegawai dalam bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN),
pemerintahan. Dalam pasal 3 misalnya diatur netral, dan tidak diskriminatif. Kalangan
tentang pelayanan professional, jujur, adil, dan birokrat harus menjadikan nilai-nilai ideal ini
merata dalam penyelenggaraan tugas negara, sebagai tameng atau filter dalam penjalankan
pemerintahan, dan pembangunan. Juga diatur tugas yang berkenaan dengan kebirokrasian.
tentang keharusan pegawai negeri bersikap
netral terhadap semua kekuatan dan partai Kalau tawaran di atas dijalankan dengan baik
politik serta tidak bertindak diskriminatif dalam mereformasi birokrasi, maka posisi
dalam memberikan pelayanan kepada birokrasi sebagai “abdi negara” akan terjaga
masyarakat. dengan baik dari godaan politik. Birokrasi
tidak akan mudah untuk ditarik masuk ke
Disayangkan kebijakan normatif tersebut tetap gelanggang politik. Idealnya birokrasi memang
saja gagal menempatkan birokrasi pada terlepas dari semua kepentingan politik.
maqam-nya secara proporsional dan Namun, pada kenyataannya birokrat saat ini
professional. Politisasi terhadap birokrasi tetap memiliki keterkaitan yang erat dengan
saja terjadi dan dilakukan oleh kekuatan politik kepentingan politik (Haning, 2015).
yang tengah berkuasa. Terdapat beberapa
faktor yang menyebabkan politisasi birokrasi Reformasi Sistem Politik
tetap terjadi. Pertama, sikap politisi yang tak Selain reformasi birokrasi, mendesak dibuat
pernah mau bergeser menjadi negarawan. kebijakan yang dapat mendukung reformasi
Sering ditemukan bahwa penyebab birokrasi. Kebijakan yang dinilai mendesak
keterlibatan birokrasi dalam politik justru adalah perlunya melakukan reformasi sistem
karena ulah politisi yang tak professional yang politik. Masalah yang terjadi pada birokrasi
tengah menjabat sebagai presiden, gubernur bukan ansich yang melekat pada birokrasi, tapi
atau bupati/walikota. Kedua, budaya patron- juga timbul dan terkait dengan aspek lainnya.
client yang masih cukup kuat dalam birokrasi Maka tidak cukup hanya mereformasi
mengakibatkan tetap kuatnya keinginan para birokrasi, tapi penting juga mereformasi aspek
oknum birokrasi untuk memberikan pelayanan lainnya yang terkait dengan birokrasi, di
terbaik kepada atasannya, termasuk “pelayanan antaranya, perlunya reformasi sistem politik,
politik”. Tentu saja pelayanan ini diberikan terutama reformasi sistem kepartaian, sistem
sambil berharap bila kelak atasannya terpilih pemilu, pilpres maupun pilkada, yang terbukti
kembali, akan naik posisi atau setidaknya telah menyeret-nyeret posisi birokrasi.
jabatannya di birokrasi tetap aman.
Setidaknya ada dua persoalan mendasar yang
Ketiga, fanatisme personal terhadap kandidat mendesak direformasi. Pertama, pembiayaan
atau partai politik. Pegawai negeri yang partai yang proporsional. Tentu ada alasannya,
mempunyai hak pilih seringkali menggunakan yaitu aliran dan distribusi dana politik secara
hak pilihnya menonjolkan fanatisme langsung akan mempengaruhi kesetaraan
berlebihan dan dibawa di lingkungan kerjanya. dalam pemilihan; dana yang berasal dari
Keempat, politisasi birokrasi terjadi karena donator individu dan/atau kelompok
lemahnya sikap atasan dalam menindak kepentingan seringkali tidak terdistribusi
bawahannya yang terlibat dalam politik secara merata; bantuan keuangan negara secara
praktis. Kelima, lemahnya proses penegakan langsung dapat memperkuat otonomi politisi,
hukum terhadap pegawai negeri yang mencegah korupsi serta meningkatkan
melakukan pelanggaran pemilu menjadikan transparansi keuangan partai; bantuan
kasus politisasi birokrasi selalu terjadi. keuangan pada partai dapat menciptakan
kesetaraan dan peluang yang sama antarpartai
Selain kelima hal di atas, penting juga terutama dalam proses pemilihan umum.
melakukan penguatan etika di lingkup

82
Ma’mun Murod Al-Barbasy, Retnowati WD. Tuti, Djoni Gunanto: Reformasi Sistem Politik Untuk Keberhasilan Reformasi
Birokrasi

INDEPENDEN: Jurnal Politik Indonesia dan Global 1 (2) pp 75-86 © 2020

Argument lain yang meniscayakan dukungan Pendidikan Politik ini terkait dengan empat
pembiayaan partai, pertama, partai merupakan pilar berbangsa dan bernegara, pemahaman
salah satu institusi demokrasi yang penting dan mengenai hak dan kewajiban warga negara
strategis karena memiliki fungsi, tugas, dan Indonesia dalam membangun etika dan budaya
tanggung jawab melakukan rekrutmen politik, politik, dan pengkaderan anggota partai secara
baik melalui mekanisme elektoral maupun berjenjang dan berkelanjutan. Padahal
mekanisme nonelektoral. Kedua, demokrasi anggaran terbesar partai justru diperuntukan
yang terkonsolidasi membutuhkan partai yang untuk konsolidasi partai, perhelatan politik
juga solid dan sehat secara organisasi, lima tahunan berupa muktamar/
demokratis secara internal, berintegritas, dan kongres/munas sampai musyawarah ranting.
terinstitusionalisasi. Ketiga, pembiayaan partai Selain tentunya pelaksanaan pemilu, pilgub,
oleh negara secara signifikan diperlukan untuk dan pilkada yang juga membutuhkan banyak
mengambil alih kepemilikan sekaligus anggaran.
kepemimpinan partai dari “pemilik uang”,
sehingga ke depan partai benar-benar menjadi Komisi Pemberantasan Korupsi bekerja sama
badan hukum publik yang dimiliki para dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
anggota dan dipimpin secara demokratis oleh pernah membuat simulasi anggaran
anggota sebagaimana semangat UU Partai pembiayaan untuk partai yang terbilang cukup
Politik yang tak pernah terwujud dalam realitas ideal. Dari simulasi tersebut keluarlah angka
politik (kpk.go.id., 2019). sebagai berikut:

Sesuai UU Nomor 2 Tahun 20011 Pasal 34 Tahun Jumlah


disebutkan: Pasal 1. Keuangan Partai Politik I 2,138,484,763,035
bersumber dari: a. iuran anggota; b. II 2,245,409,001,187
sumbangan yang sah menurut hukum; dan c. III 2,357,679,451,247
bantuan keuangan dari APBN/APBD. Pasal 2. IV 2,475,563,423,809
Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat V 2,599,341,594,999
(1) huruf b, dapat berupa uang, barang, Jumlah 11,816,478,234,277
dan/atau jasa. Pasal 3. Bantuan keuangan dari
APBN/APBD sebagaimana dimaksud pada Belum lama, tepatnya November 2019,
ayat (1) huruf c diberikan secara proporsional Pemerintah membuat sebuah kebijakan terkait
kepada Partai Politik yang mendapatkan kursi anggaran partai politik. Pemerintah siap
di DPR, DPR Provinsi, dan DPR Kab./Kota mengucurkan bantuan keuangan bagi partai
yang penghitungannya berdasarkan jumlah yang bersumber dari APBN mencapai sekitar
perolehan suara. Rp. 6 triliun per tahun. Bantuan ini baru akan
direalisasikan tahun 2023. Tapi terlepas
Pelaksanaan atas ketentuan di atas diturunkan apapun, jumlah anggaran ini termasuk
dalam bentuk PP. Nomor 51 Tahun 2001, di lompatan bagus untuk menopang kemandirian
mana pemerintah menetapkan harga setiap partai politik, meminimalisir money politics,
suara Rp 1.000,- sehingga jumlah uang APBN dan tentu saja mensupport semangat
yang diterima oleh setiap partai dikalikan mereformasi birokrasi. Anggaran sebesar itu
jumlah suara yang diraihnya dalam pemilu akan memutus atau setidaknya mengurangi
DPR dengan Rp 1.000,-. Sementara harga ketergantungan anggaran partai politik dari
suara pemilu DPR Provinsi dan DPR APBN ataupun APBD yang sering dilakukan
Kab./Kota disesuaikan dengan PP Nomor 1 sembunyi-sembunyi, menjadikan BUMN
Tahun 2018 tentang Bantuan Keuangan sebagai sapi perahan atau “menguras”
Kepada Partai Politik. Partai yang memiliki anggaran suatu kementerian tertentu yang
kursi di DPR Provinsi dapat bantuan Rp. kebetulan menterinya berasal dari partai politik
1.200,- per suara, dan DPR Kab./Kota tertentu.
mendapat bantuan Rp. 1.500,- per suara.
Kedua, model pemilihan presiden, gubernur,
Dana sekecil itu, ternyata sesuai Pasal 4 hanya dan bupati/walikota memakai model pemilihan
diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan langsung. Model ini terbukti sangat
politik bagi anggota partai dan masyarakat.

83
INDEPENDEN: Jurnal Politik Indonesia dan Global
Website: http://jurnal.umj.ac.id/index.php/independen E-ISSN: 2721-9755

mengganggu netralitas birokrasi. Terdapat menjadi “abdi negara”, “abdi masyarakat”


banyak kasus yang dapat dijadikan contoh praktis tak sesuai harapan. Birokrasi dalam
yang dalam prakteknya sering ditemukan praktiknya justru menjadi tangan panjang
pegawai yang tidak netral. Seperti pergantian kekuasaan. Menjadi “abdi penguasa”.
pejabat eselon I dan II yang memiliki afiliasi
atau mencari afiliasi politik kepada dan dengan Dalam relasinya dengan politik, sejak era
menteri tertentu. Dalam penganggaran kekuasaan politik Orde Lama hingga era
disisipkan kegiatan yang membawa misi dari Reformasi, birokrasi selalu menjadi alat politik
partai politik di mana menteri tersebut yang efektif dalam upaya melanggengkan
bernaung. Di banyak daerah bahkan lebih kekuasaan. Di era Orde Lama, birokrasi
demonstratif lagi. Didapati banyak kasus di mengalami fragmentasi politik, di mana
mana pegawai negeri yang sudah lama bekerja oknum-oknum birokrat –yang semestinya
dengan incumbent berusaha mendukung walau memahami dengan baik posisi birokrasi
tidak terang-terangan kepada pejabat sebagai “abdi negara”– tak sungkan untuk
incumbent agar bisa terpilih kembali dan yang secara eksplisit menyatakan dukungan ke salah
bersangkutan bisa mempertahankan jabatan satu kekuatan atau partai politik yang ada saat
lamanya atau mendapatkan jabatan yang baru itu. Pada era Orde Baru, birokrasi secara
(Daniarsyah, 2015: 91-93). Ada juga banyak terang-terangan mendukung pemerintah dan
pegawai negeri yang dihadapkan pada pilihan menjadi bagian yang secara faktual dan
sulit. Kalau tidak mendukung incumbent, eksplisit juga mendukung Golkar. Padahal
pilihannya dimutasi ke tempat kerja yang jauh terdapat beragam kebijakan yang
dari tempat tinggal. Namun kalau mengharuskan birokrasi bersikap netral
mendukungnya, sikap ini tentu bertentangan terhadap kekuatan politik, terlebih terhadap
dengan semangat melakukan reformasi partai politik. Hal serupa juga masih terjadi di
birokrasi yang menuntut birokrasi harus netral era reformasi. Dalam banyak kasus perhelatan
politik. politik, terlebih dalam pilkada, masih dapat
dengan mudah menyaksikan keterlibatan
Kalau menginginkan reformasi birokrasi aparat birokrat dalam politik dukung
berjalan dengan baik, maka mengembalikan mendukung terhadap kandidat politik tertentu.
pemilihan presiden kembali dipilih oleh Kebanyakan para birokrat ini mendukung
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), tentu petahana (incumbent) yang dalam konteks
dalam kapasitas sebagai lembaga tertinggi relasi patron dan clien maupun kepentingan
negara, rasanya harus menjadi pilihan politik para birokrat ini dinilai lebih
kebijakan yang urgent melakukan reformasi memungkinkan untuk didukungnya.
system politik. Sementara Gubernur biarlah
menjadi hak presiden untuk mengangkatnya, Mata rantai politisasi birokrasi harus diputus.
tentu setelah “melucuti” peran besar politik Tawarannya, bukan hanya perlunya melakukan
seorang gubernur. Bupati/walikota masih reformasi birokrasi, tapi penting dan mendesak
dimungkinkan untuk dipilih secara langsung, pula untuk melakukan reformasi sistem politik,
namun dengan persyaratan yang lebih ketat terutama dalam hal reformasi sistem
lagi dan harus bisa memastikan bahwa kepartaian, pemilihan presiden, dan pilkada
reformasi sistem pilkada mampu menghasilkan menjadi keniscayaan kalau kita ingin
produk kepala daerah yang lebih bermutu atau menempatkan birokrasi secara proporsional
bahkan unggul. dan profesional. Dua hal ini harus dilakukan
secara serius. Tak bisa salah satunya menonjol
KESIMPULAN dan serius dijalankan, sementara satu lainnya
dibelakangkan karena dinilai tidak penting.
Perjalanan kehidupan birokrasi di Indonesia
selalu dipengaruhi oleh kondisi sebelumnya. DAFTAR PUSTAKA
Budaya birokrasi yang telah ditanamkan sejak
jaman kerajaan dan kolonial berakar kuat Al-Barbasy, Ma’mun Murod. (2018). Politik
hingga saat ini. Paradigma yang dibangun Perda Syariat: Dialektika Islam dan
dalam birokrasi cenderung untuk kepentingan Pancasila di Indonesia, Yogyakarta:
kekuasaan. Posisi birokrasi yang seharusnya Suara Muhammadiyah.

84
Ma’mun Murod Al-Barbasy, Retnowati WD. Tuti, Djoni Gunanto: Reformasi Sistem Politik Untuk Keberhasilan Reformasi
Birokrasi

INDEPENDEN: Jurnal Politik Indonesia dan Global 1 (2) pp 75-86 © 2020

Bourchier, David. (2015). Illiberal Democracy Mietzner, Marcus. (2015). Money, Power, and
in Indonesia: The ideology of the family Ideology: Political Parties in Post-
state, London and New York: Authoritarian Indonesia, Singapore:
Routledge. NUS Press and Nias Press.
Daniarsyah, Dida. (2015). Bureaucratic Nugraha, Fajar Kuala. (2017). Model Birokrasi
Political and Neutrality of Bureaucracy Parkinson Dalam Pemerintahan Susilo
in Indonesia. Jurnal Ilmu Politik dan Bambang Yudhoyono (SBY). Jurnal
Komunikasi. Volume V Nomor 2 Transformative, Volume 3, Nomor 1,
Desember. Maret.
Djakfar, Wahyudi. (2011). Deducting Prasojo, Eko. (2006). Reformasi Birokrasi di
Bureaucracy Legacy of The Past, Indonesia: Beberapa Catatan Kritis.
Creating a Free Corruption Jurnal Bisnis & Birokrasi
Demorcation. Jurnal Legislasi Vol.XIV/Nomor 1. Jakarta : FISIP UI.
Indonesia, Volume 8 Nomor 2 Juni. Purwoko, Bambang. (2016). Bureaucracy and
Dwiyanto, Agus. (2011). Bureaucracy Reform, the Politics of Identity: A Study on the
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Influence of Ethnicity on the Bureaucrat
Fakhruddin, M. Anas. (2012). Model Recruitment Process in Sorong Selatan
Hubungan Antara Birokrasi dan Politisi Regency, West Papua, Indonesia.
di Indonesia. Jurnal Review Politik, Journal of Government & Politics.
Volume 02, Nomor 02, Desember. Volume 7 Nomor 4 November
Firnas, M. Adian. (2016). Politik dan Puspita, Nia Endra. (2012). Strategi Politik
Birokrasi: Masalah Netralitas Birokrasi dan Kemenangan Golkar di Semarang
di Indonesia Era Reformasi. Jurnal pada Pemilu 1971. Journal of
Review Politik Volume 06, Nomor 01, Indonesian History, Volume 1 (1).
Juni. Setianto, Yudi. (2010). Birokrasi Tradisional
Gaus, Nurdiana et al. (2017). State di Jawa dalam Perspektif Sejarah.
Bureaucracy in Indonesia and its Paramita, Volume 20, Nomor 2, Juli.
Reforms: An Overview. International Thoha, Miftah. (2012). Government
Journal of Public Administration, Bureaucracy and the Power in Indonesia
Volume 40, Nomor 8. (Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di
Haning, Mohammad Thahir. (2015). Indonesia). Suraji (ed.). Yogyakarta:
Reformasi Birokrasi: Desain Organisasi Matapena Institute.
yang Mendukung Pelayanan Publik di Tjiptono, Fandy & Chandra, Gregorius.
Indonesia. Yogyakarta: Ilmu Giri. (2011). Service, Quality & Satisfaction.
Hasan, M. Nur. (2012). Corak Budaya Edisi 3. Yogyakarta: Andi.
Birokrasi pada Masa Kerajaan, Kolonial Yudiatmaja, Wayu Eko. (2015). Politisasi
Belanda Hingga di Era Desentralisasi Birokrasi: Pola Hubungan Politik dan
dalam Pelayanan Publik. Jurnal Hukum, Birokrasi di Indonesia. Jurnal Ilmu
Volume XXVIII, Nomor 2, Desember. Administrasi Negara. Volume 3 Nomor
Jennings, Ian. (2011). Against State Neutrality 1 Juni.
Raz, Rawls, and Philosophical
Perfectionism. Saarbrücken:
Südwestdeutscher Verlag für
Hochschulschriften.
Labolo, Muhadam, Etin Indrayani. (2017).
Bureaucratic Reform and the Challenge
of Good Governance Implementation in
Indonesia. Journal of Asian Review of
Public Affairs and Policy, Volume 2
Nomor 4, Desember.
Majalah The Economist, 23 Oktober 2010.
Martini, Rina. (2010). Politisasi Birokrasi di
Indonesia, Politika, Volume l, Nomor 7.

85

Anda mungkin juga menyukai