Anda di halaman 1dari 27

IMPLEMENTASI REINVENTING GOVERNMENT

“MEWIRAUSAHAKAN BIROKRASI” DI INDONESIA

MEGHA AZHARI MADDEPPUNGENG

E-Mail : meghaazhari@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini membahas tentang penerapan reinventing government


(mewirausahakan birokrasi) dalam sistem birokrasi pemerintahan di Indonesia.
Konsep ini diperkenalkan oleh Osborne dan Gaebler sebagai kritikus terhadap
kinerja birokrasi Weberian hierarki yang diadopsi di Amerika Serikat, dimana ia
menjadi tidak efesien dan tidak efektif untuk menyampaikan pelayanan publik
sebagai akibat dari perubahan global yang cepat. Sebagai sebuah konsep, birokrasi
kewirausahaan menjanjikan, dan oleh karena itu dianggap sangat penting untuk
diadopsi dalam konteks membangun kembali birokrasi Indonesia yang baru untuk
mendukung pelaksanaan pemerintahan yang lebih baik. Bagaimanapun, beberapa
masalah menjadi batu sandungan dalam penerapan reinventing government sejak
birokrasi Indonesia telah dicirikan sebagai birokrasi patrimonial yang diwarnai
oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian, diperlukan komitmen
yang kuat dan tindakan nyata dari elit politik nasional maupun lokal dan
gelombang demokrasi saat ini untuk melakukan gerakan reformasi.

Kata Kunci : reinventing government, birokrasi wirausaha, birokrasi pemerintahan

A. Pendahuluan
Sejarah birokrasi di Indonesia memiliki rapor buruk, khususnya
semasa Orde Baru yang menjadikan birokrasi sebagai mesin politik. Imbas
dari semua itu, masyarakat harus membayar biaya mahal. Ketidakpastian
waktu, ketidakpastian biaya, dan ketidakpastian siapa yang bertanggung
jawab adalah beberapa fakta empiris rusaknya layanan birokrasi. Lebih
dari itu, layanan birokrasi justru menjadi salah satu causa prima terhadap
maraknya korupsi, kolusi, nepotisme. Pejabat politik yang mengisi
birokrasi pemerintah sangat dominan. Kondisi ini cukup lama terbangun
sehingga membentuk sikap, perilaku, dan opini bahwa pejabat politik dan
pejabat birokrat tidak dapat dibedakan. (Romli, 2008)
Mengutip catatan guru besar ilmu politik Universitas Airlangga,
Ramlan Surbakti, mengenai fenomena birokrasi di Indonesia, kewenangan
besar dimiliki birokrat sehingga hampir semua aspek kehidupan
masyarakat ditangani birokrasi. Kewenangan yang terlalu besar itu
akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan daripada
pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani
masyarakat. Akhirnya, wajar jika kemudian birokrasi lebih dianggap
sebagai sumber masalah atau beban masyarakat daripada sumber solusi
bagi masalah yang dihadapi masyarakat. (Dr. Falih Suaedi, 2009)
Fenomena itu terjadi karena tradisi birokrasi yang dibentuk lebih
sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat dan segala sumber
dayanya. Dengan kata lain, birokrasi lebih bertindak sebagai pangreh praja
daripada pamong praja. Bahkan, kemudian terjadi politisasi birokrasi. Pada
rezim Orde Baru, birokrasi menjadi alat mempertahankan
kekuasaan.(Munawaroh, 2018)
Pascareformasi pun, para pejabat politik yang kini menjabat dalam
birokrasi pemerintah ingin melestarikan budaya tersebut dengan
mengaburkan antara pejabat karier dan nonkarier. Sikap mental seperti ini
dapat membawa birokrasi pemerintahan Indonesia kembali kepada kondisi
birokrasi pemerintahan pada masa orde baru. Bahkan, kemunculan UU
Administrasi pemerintahan turut mendapat respons yang cukup agresif
dari para pejabat politik melalui fraksi-fraksi di DPR yang berusaha
mengakomodasikan kepentingan jabatan politik mereka untuk menduduki
jabatan birokrasi.(Munawaroh, 2018)
Dengan seiring perkembangan zaman seperti dalam konsep
globalisasi yang menuntut kita atau secara umum masyarakat agar dapat
berpikir cepat dalam menanggapi perubahan. Dalam konteks Pemerintahan
juga perlu adanya perubahan di segala aspek untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat yang semakin meningkat pula. Perubahan yang sangat
kompleks dan Abstrak mengharuskan pemerintah utuk jeli dalam memilah
permasalahan yang lebih penting, guna mengurangi beban akibat
kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. (Munawaroh, 2018)
Permasalahan di lingkungan Pemerintahan yang sering muncul di
negara berkembang adalah birokrasi. Permasalahan birokrasi merupakan
suatu permasalahan yang sangat serius bagi para negara berkembang,
keadaan yang belum stabil dan kebutuhan masyarakat yang belum
sepenuhnya terpenuhi membuat pemerintah harus peka dan kritis untuk
memilah permasalahan ini menjadi suatu permasalahan yang harus
ditanggapi. Birokrasi merupakan jantung pemerintahan yang harus dijaga
dan terus disempurnakan. Negara Indonesia merupakan tergolong negara
dengan birokrasi buruk, dengan melihat berbagai permasalahan yang ada
saat ini. Banyaknya keluhan masyarakat atas keburukan birokrasi yang
dipandang menyulitkan(Munawaroh, 2018)
Agar suatu reformasi birokrasi mampu berperan, upaya sadar,
terprogram, dan berkesinambungan dalam pengembangan organisasi
mutlak perlu dilakukan manajemen sumber daya manusia yang baik,
pengembangan sistem kerja yang bergerak sebagai satu kesatuan, dan
pengembangan citra birokrasi ke arah yang lebih positif. (Rusfiana &
Supriatna, 2021)
B. Tinjauan Pustaka
1. Reinventing Government
Konsep Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government)
pertama kali disampaikan oleh David Osborne dan Ted Gaebler dalam
buku mereka yang berjudul Reinventing Government: How the
enterpreneurial spirit is transforming the public sektor. Buku tersebut
ditulis sebagai saran untuk membantu pencarian solusi di pemerintah
Amerika Serikat pada tahun 1993 yang menanggung beban berat
sebagai akibat ditanganinya seluruh kegiatan atau kebutuhan negara
oleh pemerintah federal. (Winarno, 2004)
Meskipun disambut dengan sikap skeptis, lambat namun pasti,
apa yang disampaikan Osborne dan Gaebler dalam buku tersebut
ternyata membawa angin segar bagi pemerintah federal dalam
menyikapi permasalahan yang sedang dihadapi pada saat itu. Apa yang
terjadi pada pemerintahan Amerika Serikat pada saat itu sebenarnya
tidak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia saat ini yang sedang
mengawali era GLG dimana sebagian wewenang pemerintah pusat
didelegasikan pada pemerintahan di daerah. Di GLG, pejabat negara
(di daerah) harus kreatif, mandiri dan inovatif dalam melaksanakan
tugas-tugas kepemerintahannya karena inti dari otonomi daerah ialah
keleluasaan dan kebebasan lebih luas untuk menggali dan mengolah
aset-aset alamiahnya. Mereka akan lebih banyak bekerjasama langsung
dan lebih luas dengan swasta. Hal inilah yang menjadi cakupan dalam
Reinventing Government yang sering disebut juga dengan
Mewirausahakan Birokrasi.
Permasalahan yang sering muncul dalam memahami
reinventing government adalah adanya anggapan bahwa dengan
adanya konsep mewirausahakan birokrasi tersebut berarti kantor dinas/
instansi di Pemerintahan Daerah (pemda) dituntut untuk agar dapat
memberi nilai tambah untuk PAD. Padahal, maksud yang sebenarnya
adalah memberdayakan institusional. Bukan menciptakan dalam
lingkungan birokrasi pemerintahan.
Menurut Osborne dan Gaebler, mewirausahakan birokrasi
berarti mentransformasikan semangat wirausaha ke dalam sektor
publik. Oleh karena itu, pemahaman atas cara-cara mewirausahakan
birokrasi Pemerintahan harus dikuasai oleh aparat birokrasi.(Gaebler,
2008)
Konsep reinventing government pada dasarnya merupakan
representasi dari paradigma New Public Management dimana dalam
New Public Management (NPM), negara dilihat sebagai perusahaan
jasa modern yang kadang-kadang bersaing dengan pihak swasta.
Tetapi di lain pihak dalam bidang-bidang tertentu memonopoli layanan
jasa namun tetap dengan kewajiban memberikan layanan dan kualitas
yang maksimal. Segala hal yang tidak bermanfaat bagi masyarakat
dianggap sebagai pemborosan dalam paradigma New Public
Management (NPM). Warga negara tidak dilihat sebagai abdi lagi,
tetapi sebagai pelanggan layanan publik yang karena pajak yang
dibayarkan memiliki hak atas layanan dalam jumlah tertentu dan
kualitas tertentu pula.(Adam Latif, Irwan, Muhammad Rusdi, Ahmad
Mustanir, 2019)
Konsep reinventing government, apabila diterjemahkan dalam
Bahasa Indonesia konsep ini berarti menginventarisasikan lagi
kegiatan pemerintah. Pada awalnya gerakan reinventing government
diilhami oleh beban pembiayaan birokrasi yang besar, namun dengan
kinerja aparatur birokrasi yang rendah. Tekanan dari publik sebagai
pembayar pajak mendesak pemerintah untuk mengefisiensikan
anggarannya dan meningkatkan kinerjanya. Pengoperasian fungsi
pelayanan publik yang tidak dapat diefisiensikan lagi dan telah
membebani keuangan negara diminta untuk dikerjakan oleh sektor
non-pemerintah. Oleh karena itu akan terjadi proses pereduksian peran
dan fungsi pemerintah yang semula memonopoli semua bidang
pelayanan publik, kini menjadi berbagi dengan pihak swasta, yang
semula merupakan big government ingin dijadikan small government
yang efektif, efisien, responsive, dan accountable terhadap kepentingan
publik. Dari penjelasan di atas telah dapat digambarkan bahwa
reinventing government (pemerintahan wirausaha) ialah suatu sistem
untuk menjalankan wewenang dan kekuasaan dalam mengatur
kehidupan sosial, ekonomi dan politik dengan jiwa kewirausahaan di
masing-masing anggota pemerintahan atau pejabatnya(Kholifah R &
Mustanir, 2019)
Reinventing Government atau wirausaha birokrasi, pemerintah
dengan bergaya wirausaha ini menjadi cara yang efisien dan efektif
untuk menghindari kebangrutan suatu birokrasi. Bagi Osborne dan
Gaebler, organisasi birokrasi publik yang dijalankan berdasarkan
peraturan tidak akan efektif dan kurang efisien, karena kinerjanya akan
berjalan lamban dan terkesan bertele-tele. Akan tetapi, birokrasi yang
digerakkan oleh misi sebagai tujuan dasarnya, akan lebih efektif dan
efisien. Dengan mendudukkan misi organisasi sebagai tujuan, mereka
dapat mengembangkan sistem anggaran dan peraturan sendiri yang
memberi keleluasaan kepada karyawannya untuk mencapai misi
organisasi tersebut. Osborne dan Gaebler memberikan posisi yang
berhadapan antara misi dan peraturan dalam birokrasi organisasi
publik. Birokrasi organisasi publik harus memilih salah satunya.
Pilihan tersebut mengandung konsekuensi mengedepankan salah satu
aspek akan mengabaikan aspek yang lain. (Fay, 1967)
Pemikiran dari Osborn dan Gaebler (1992) tentang
“Reinveting Government” menjadi sebuah paradigma solusi atas
masalah yang dihadapi sektor publik. Bentuk organisasi birokrasi pada
sektor publik pada masa sekarang sudah saatnya untuk ditinjau
kembali dan diarahkan pada bentuk organisasi yang terbuka atau
fleksibel serta terdesentralisasi (Osborne dan Gaebler, 1992).
Direktorat Jenderal Pajak sudah seharusnya berdiri sendiri menjadi
sebuah departemen, terpisah dari Departemen Keuangan. Sudah
saatnya institusi sebagai mesin pencari sumber penerimaan negara ini
mengatur dan mengurus sendiri rumah tangganya. Ibarat sebuah
keluarga maka Direktorat Jenderal Pajak adalah seorang “Bapak” yang
menjadi tulang punggung keluarga besar Indonesia untuk mencari
nafkah dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hampir 80%
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dibiayai oleh pajak dan ini
dibebankan kepada DJP untuk mendapatkannya. (Mustanir & Rusdi,
2019)
Reinventing government merupakan cara birokrasi mengubah
sistem atau pengaturan agar pelaksanaan pemeritahan dapat berjalan
secara akuntabilitas, resposif, inovatif, professional, dan entrepreneur.
Entrepreneur dimaksudkan agar pemerintah daerah yang telah
diberikan otonomi memiliki semangat kewirausahaan untuk lebih
inovatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan dapat
menjawab tuntutan masyarakat di era globalisasi. Sehingga
mewirausahakan birokrasi bukan berarti birokrasi melakukan
wirausaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya
melainkan memberdayakan institusi agar produktivitas dan efisiensi
kerja dapat dioptimalkan.(‫ال وزي ر & ال ش عران ي‬, 2006)
Osborn dan Gaebler merancang setidaknya 10 alur pikir yang
dinamai sebagai Peta Dasar dalam melakukan suatu restrukturisasi.
Pokok pemikiran yang dimaksud adalah sebagai berikut:
 Catalytic Government : Steering Rather Than Rowing
Dalam Bahasa Indonesia yaitu Pemerintahan Katalis :
Mengarahkan lebih baik daripada Mengayuh. Maksudnya adalah
berangkat dari filosofi kapal laut, hendaknya pemerintah
mengambil peran sebagai pengarah saja daripada sebagai pengayuh
atau pelaku pelayanan publik. Dimana dengan peran pemerintah
yang mengarahkan akan membutuhkan orang yang mampu melihat
seluruh visi dan mampu menyeimbangkan berbagai kebutuhan,
sedangkan pengayuh membutuhkan orang yang memfokuskan
pada satu misi dan melakukannya dengan baik. Pemerintah
entrepreneurial seharusnya lebih berkonsentrasi pada pembuatan
kebijakankebijakan strategis (mengarahkan) daripada disibukkan
oleh hal-hal yang bersifat teknis pelayanan. (Mustainir et al., 2017)
 Community-Owned Government : Empowering Rather Than
Serving
Dalam bahasa indonesia yaitu Pemerintahan sebagai milik
masyarakat: Pemberdayaan lebih baik daripada melayani.
Maksudnya adalah dalam hal ini, peran pemerintah adalah
memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan berbagai
kebutuhan publik, sehingga tercipta rasa memiliki bagi mereka
sendiri, sedangkan pemerintah bukan lagi sebagai pelayan
melainkan hanya sekedar memberi petunjuk. Artinya, birokrasi
pemerintahan yang berkonsentrasi pada pelayanan menghasilkan
ketergantungan dari rakyat. Hal ini bertentangan dengan
kemerdekaan sosial ekonomi mereka. Oleh karena itu, pendekatan
pelayanan harus diganti dengan menumbuhkan inisiatif dari
mereka sendiri. (Surya Adi Tama & Wirama, 2020)
 Competitive Government : Injection Competition Into Service
Delivering
Dalam bahasa Indonesia yaitu Pemerintahan yang kompetitif:
Menyuntikkan kompetisi kedalam pemberian pelayanan.
Kompetisi yang dimaksud di sini adalah kompetisi dimana sektor
publik vs sektor publik, sektor privat vs sektor publik, dan sektor
privat vs sektor privat. Kondisi ini dipercaya akan menciptakan
suatu iklim persaingan yang pada akhirnya akan meningkatkan
kualitas dan berpengaruh pada harga pelayanan publik. Berbagai
keuntungan yang diperoleh dari kompetisi ini adalah tingkat
efisiensi yang lebih besar, pelayanan yang lebih mengarah pada
kebutuhan masyarakat, menciptakan sekaligus menghargai suatu
inovasi, yang pada akhirnya akan meningkatkan kebanggaan dan
moralitas pegawai pemerintah.(Sapri, S., Mustanir, A., Ibrahim,
M., Adnan, A. A., Wirfandi, 2019)
 Mission-Driven Government : Transforming rules-Driven
Organizations.
Dalam bahasa Indonesia yaitu Pemerintah yang digerakkan oleh
Misi : Transformasi yang digerakkan aturan. Maksudnya adalah
pemerintahan akan berjalan lebih efisien apabila digerakkan bukan
atas dasar aturan saja, tetapi lebih kepada ‘misi’, sehingga
penganggaran yang dibutuhkan juga diarahkan pada pencapaian
misi sehingga lebih terkontol. Dengan mendudukkan misi
organisasi sebagai tujuan, birokrat pemerintahan dapat
mengembangkan sistem anggaran dan peraturan sendiri yang
memberi keleluasaan kepada karyawannya untuk mencapai misi
organisasi tersebut. Berbagai keuntungan yang diperoleh dari
mission-driven government ini adalah lebih efisien, lebih efektif,
lebih inovatif, dan lebih fleksibel jika dibandingkan dengan ruled-
driven organizations. Dengan keadaan ini, maka diyakini bahwa
moralitas sektor publik juga serta-merta akan meningkat.(Andi
Asmawati AR, Haeruddin Syarifuddin, Abdul Jabbar, Kamaruddin
Sellang, Muhammad Rais Rahmat Razak, Monalisa Ibrahim, 2021)
 Result-oriented Government : Funding Outcomes, Not Inputs
Dalam bahasa Indonesia yaitu Pemerintah yang berorientasi pada
hasil : Membiayai Hasil bukan Masukan. Maksudnya adalah dalam
penyelenggaraan pelayanan publik, pemerintah hendaknya tidak
terfokus pada input saja, tetapi sebaiknya lebih kepada outcomes,
sehingga outcomes dari suatu program pemerintah pada akhirnya
akan menjadi sebuah evaluasi baik-buruknya program pemerintah
tersebut. Pandangan ini mengacu pada performance. Artinya, bila
lembaga lembaga pemerintah dibiayai berdasarkan masukan
(income), maka sedikit sekali alasan mereka untuk berusaha keras
mendapatkan kinerja yang lebih baik. Tetapi jika mereka dibiayai
berdasarkan hasil (outcome), mereka menjadi obsesif pada prestasi.
Sistem penggajian dan penghargaan, misalnya, seharusnya
didasarkan atas kualitas hasil kerja bukan pada masa kerja, besar
anggaran dan tingkat otoritas, karena tidak mengukur hasil,
pemerintahan-pemerintahan yang birokratis jarang sekali mencapai
keberhasilan. (Adam Latif, Irwan, Muhammad Rusdi, Ahmad
Mustanir, 2019)
 Costumer-Driven Government : Meeing The Need of The
Costumer, Not The Bureaucracy
Dalam bahasa Indonesia yaitu Pemerintahan yang berorientasi pada
pelanggan : memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan kebutuhan
birokrasi. Maksudnya adalah penyelenggaraan pelayanan publik
didasarkan pada kebutuhan khalayak umum, bukan semata-mata
memenuhi program kerja pemerintah saja, melalui pendekatan
terhadap masyarakat, sehingga image arogan pemerintah berikut
program-programnya tidak terjadi lagi. Pemerintah harus
menempatkan rakyat sebagai pelanggan yang harus diperhatikan
kebutuhannya. Pemerintah harus mulai mendengarkan secara
cermat para pelanggannya, melalui survei pelanggan, kelompok
fokus dan berbagai metode yang lain. Tradisi pejabat birokrasi
selama ini seringkali berlaku kasar dan angkuh ketika melayani
warga masyarakat yang datang keistansinya. Keuntungan yang
diperoleh adalah lebih accountable, memperluas kesempatan
pemilihan keputusan yang tepat, lebih inovatif, memperluas
kesempatan memilih antara dua jenis pelayanan yang pada
dasarnya adalah sama, mengurangi pemborosan, serta
pemberdayaan pelanggan yang pada akhirnya akan menciptakan
keadilan.(Mustanir, 2017)
 Entreprising Government : Earning Rather Than Spending
Dalam bahasa Indonesia yaitu Pemerintah Wirausaha :
Menghasilkan lebih baik daripada Menghabiskan. Maksudnya
adalah pemerintah bukan menjadi suatu organisasi yang
berorientasi pada laba saja, melainkan pemerintah lebih
mengutamakan efisiensi dalam menghasilkan sesuatu pelayanan
daripada pembelanjaan yang berlebihan sehingga cenderung
menjadi pemborosan. Sebenarnya pemerintah mengalami masalah
yang sama dengan sektor bisnis, yaitu keterbatasan akan keuangan,
tetapi mereka berbeda dalam respon yang diberikan. Daripada
menaikkan pajak atau memotong program publik, pemerintah
wirausaha harus berinovasi bagaimana menjalankan program
publik dengan sumber daya keuangan yang sedikit
tersebut.(Mustanir, 2016)
 Anticipatory Government : Prevention Rather Than Cure
Dalam bahasa Indonesia yaitu Pemerintahan yang Antisipatif:
Mencegah lebih baik dari pada menanggulangi. Maksudnya adalah
hendaknya pemerintah merubah fokus pelayanan yang sebelumnya
bersifat mengobati kerusakan menjadi bersifat pencegahan
terhadap kerusakan, terutama pada bidang pelayanan kesehatan,
lingkungan dan polusi, serta pendegahan terhadap kebakaran
melalui pembentukan future commission dengan melandaskan
kegiatannya pada perencanaan stratejik. Misalnya, untuk
menghadapi sakit, mereka mendanai perawatan kesehatan. Untuk
menghadapi kejahatan, mereka mendanai lebih banyak polisi.
Untuk memerangi kebakaran, mereka membeli lebih banyak truk
pemadam kebakaran. Pola pemerintahan semacam ini harus diubah
dengan lebih memusatkan atau berkonsentrasi pada pencegahan.
Misalnya, membangun sistem air dan pembuangan air kotor, untuk
mencegah penyakit, dan membuat peraturan bangunan, untuk
mencegah kebakaran. (Dawabsheh et al., 2020)
 Decentralized Government : From Hierarchy to Participatory and
Team Work
Dalam bahasa Indonesia yaitu Pemerintahan Desentralisasi : Dari
bersifat Hierarki menjadi Partisipatif dan Kerja Tim. Maksudnya
adalah pemerintah hendaknya tidak sentralis. Banyak bidang
kebutuhan pelayanan publik yang memungkinkan untuk
didesentralisasikan penyelenggaraannya agar lebih partisipatif dan
efisien. Pada saat teknologi masih primitif, komunikasi antar
berbagai lokasi masih lamban, dan pekelja publik relatif belum
terdidik, maka sistem sentralisasi sangat diperlukan. Akan tetapi,
sekarang abad informasi dan teknologi sudah mengalami
perkembangan pesat, komunikasi antar daerah yang terpencil bisa
mengalir seketika, banyak pegawai negeri yang terdidik dan
kondisi berubah dengan kecepatan yang luar biasa, maka
pemerintahan desentralisasilah yang paling diperlukan. Tak ada
waktu lagi untuk menunggu informasi naik ke rantai komando dan
keputusan untuk turun. Keuntungan yang diperoleh adalah lebih
fleksibel karena lebih cepat merespon perubahan kebutuhan
masyarakat, lebih efektif, lebih inovatif, serta meningkatkan
moralitas, komitmen dan produktifitas.(Mustanir & Abadi, 2017)
 Market-oriented Government : Leveraging Change Through the
Market
Dalam bahasa Indonesia yaitu Pemerintah Perorientasi Pasar:
Mendongkrak Perubahan melalui mekanisme Pasar. Maksudnya
adalah dalam penyelenggaraan pelayanan, pemerintah hendaknya
mengikuti situasi pasar, tidak hanya berkutat pada program-
program kerja yang monoton karena biasanya diarahkan pada
konstituen saja, berbau politik, tidak tepat sasaran, terfragmentasi,
serta bukan merupakan suatu tindakan korektif tetapi lebih
mengacu pada kondisi stagnan sebagai akibat dari minimnya
perubahan yang signifikan. Dari pada beroperasi sebagai pemasok
masal barang atau jasa tertentu, pemerintahan atau organisasi
publik lebih baik berfungsi sebagai fasilitator dan pialang dan
menyemai pemodal pada pasar yang telah ada atau yang baru
tumbuh. Pemerintahan entrepreneur merespon perubahan
lingkungan bukan dengan pendekatan tradisional lagi, seperti
berusaha mengontrol lingkungan, tetapi lebih kepada strategi yang
inovatif untuk membentuk lingkungan yang memungkinkan
kekuatan pasar berlaku. Pasar di luar kontrol dari hanya institusi
politik, sehingga strategi yang digunakan adalah membentuk
lingkungan sehingga pasar dapat beroperasi dengan efisien dan
menjamin kualitas hidup dan kesempatan ekonomi yang sama. (I
Gusti Putu Budiana, 2017)
2. Birokrasi dan Reformasi Birokrasi
Kondisi birokrasi Indonesia pada era reformasi saat ini bisa
dikatakan belum menunjukkan arah perkembangan yang baik, karena
masih banyak ditemukan birokrat yang arogan dan menganggap
rakyatlah yang membutuhkannya, praktik KKN yang masih banyak
terjadi, dan mentalitas birokrat yang masih jauh dari harapan. Untuk
melaksanakan fungsi birokrasi secara tepat, cepat, dan konsisten guna
mewujudkan birokrasi yang akuntabel dan baik, maka pemerintah telah
merumuskan sebuah peraturan untuk menjadi landasan dalam
pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia, yaitu Peraturan Presiden
Nomor 80 Tahun 2011 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi
Indonesia 2010-2025.
Bagi Weber, birokrasi adalah metode organisasi terbaik dengan
spesialisasi tugas. Dalam bukunya Wirtschaft und Gesellschaft, Weber
mengutarakan bahwa ada 3 tipologi birokrasi publik yaitu: legitimasi
karismatik, legitimasi tradisional, dan legitimasi rasional. Sedangkan
dalam bukunya Eassy in Sociology, ia menulis bahwa kekuasaan
adalah kesempatan seseorang untuk menyadarkan masyarakat akan
kemauannya sendiri. Sekaligus menerapkan terhadap tindakan
perlawanana dari orang-orang ataupun golongan tertentu.(Mustanir &
Jusman, 2016)
Menurut Weber birokrasi mempunyai ciri-ciri utama yaitu :
 Adanya derajat spesialisasi yang tinggi (Birokrasi kita sering over
lapp, duplikatif atau bahkan terlantar)
 Adanya struktur kewenangan hierarkis dengan batas-batas
tanggungjawab yang jelas. (Birokrasi kita terbiasa"menunggu
petunjuk")
 Adanya hubungan antar anggota yang bersifat impersonal.
(Birokrasi kita sangat paternalis dan sering tidak konsisten)
 Cara pengangkatan pegawai yang berdasarkan atas kecakapan
teknis. (Birokrasi kita nepotism dan rentan suap)
 Pemisahan urusan dinas dan urusan pribadi (Birokrasi kita tidak
bisa/ tidak mau ?((Mustanir & Darmiah, 2016)
Reformasi adalah mengubah atau membuat sesuatu menjadi
lebih baik daripada yang sudah ada. Reformasi ini diarahkan pada
perubahan masyarakat yang termasuk di dalamnya masyarakat
birokrasi, dalam pengertian perubahan ke arah kemajuan. Dalam
pengertian ini perubahan masyarakat diarahkan pada development.
(Iriawan et al., 2019)
Reformasi birokrasi merupakah salah satu upaya pemerintah
untuk mencapai good governance dan melakukan pembaharuan dan
perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan
terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi),
ketatalaksanaan dan sumber daya manusia aparatur. Melalui reformasi
birokrasi, dilakukan penataan terhadap sistem penyelanggaraan
pemerintah di mana uang tidak hanya efektif dan efisien, tetapi juga
reformasi birokrasi menjadi tulang punggung dalam perubahan
kehidupan berbangsa dan bernegara. (Rahman, 2017)
Tujuan reformasi birokrasi adalah untuk menciptakan birokrasi
pemerintah yang profesional dengan karakteristik, berintegrasi,
berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani publik,
netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar
dan kode etik aparatur negara.(“Buku Saku Reformasi Birokrasi,”
2019)
Karl Mannheim sebagaimana disitir oleh Susanto menjelaskan
bahwa perubahan masyarakat adalah berkaitan dengan norma-
normanya. Development adalah perkembangan yang tertuju pada
kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat, di mana kemajuan
kehidupan ini akhirnya juga dinikmati oleh masyarakat. (Iriawan et al.,
2019)
Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk
melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem
penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek
kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan dan sumber daya manusia
aparatur”. Sangat menarik membicarakan tentang birokrasi, karena
dalam realita kehidupan birokrasi terkesan negatif dan menyulitkan
dalam melayani masyarakat, padahal para pegawai birokrasi itu
dibayar dari duit masyarakat. Dan terkadang wewenang yang diberikan
kepada pegawai dari birokrasi disalahgunakan. Oleh karena itu sangat
diperlukan adanya reformasi birokrasi. (Rusfiana & Supriatna, 2021)
Dengan demikian maka perubahan masyarakat dijadikan
sebagai peningkatan martabat manusia, sehingga hakikatnya perubahan
masyarakat berkait erat dengan kemajuan masyarakat. Dilihat dari
aspek perkembangan masyarakat tersebut maka terjadilah
keseimbangan antara tuntutan ekonomi, politik, sosial dan hukum,
keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta konsensus antara
prinsip-prinsip dalam masyarakat. (BAYU INDRA PRASETIYO,
2018)
Khan (1981) memberi pengertian reformasi sebagai suatu usaha
perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan
mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang
telah lama. Sedangkan Quah mendefinisikan reformasi sebagai suatu
proses untuk mengubah proses, prosedur birokrasi publik dan sikap
serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan
tujuan pembangunan nasional. Aktivitas reformasi sebagai padanan
lain dari change, improvement, atau modernization. (Mufidayati, 2017)
Dari pengertian ini, maka reformasi ruang lingkupnya tidak
hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan
perubahan pada tingkat struktur dan sikap tingkah laku (the ethics
being). Arah yang akan dicapai reformasi antara lain adalah
tercapainya pelayanan masyarakat secara efektif dan efisien.
Reformasi bertujuan mengoreksi dan membaharui terus-menerus arah
pembangunan bangsa yang selama ini jauh menyimpang, kembali ke
cita-cita proklamasi. Reformasi birokrasi penting dilakukan agar
bangsa ini tidak termarginalisasi oleh arus globalisasi. (H &
RAMDHANI, n.d.)
Reformasi ini harus dilakukan mulai dari pejabat tertinggi,
seperti presiden dalam suatu negara atau menteri/kepala lembaga pada
suatu departemen dan kementerian negara/lembaga negara, sebagai
motor penggerak utama diikuti oleh seluruh aparatur di bawahnya.
Reformasi birokrasi di Indonesia untuk saat ini dapat dikatakan belum
berjalan dengan maksimal. Indikasinya adalah buruknya pelayanan
publik dan masih maraknya perkara korupsi.(BAYU INDRA
PRASETIYO, 2018)(Munawaroh, 2018)
3. Mewirausahakan Birokrasi
Langkah pertama untuk mewirausahakan birokrasi adalah
pemerintah lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat mengarahkan
dari pada kegiatan yang sifatnya mengatur. Konsekuensinya, perlu ada
redistribusi kepenguasaan dan pemerintah. Secara tradisional, peran
pemerintah adalah mengatur dan kurang mengedepankan dialog.
Dalam konsep bam, peran pemerintah diharapkan lebih bersifat
mengarahkan pada dialog serta membangun kemitraan dengan swasta
khususnya kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan.(Gaebler, 2008)
Langkah kedua dilakukan dengan cara menempatkan pemerintah
sebagai milik masyarakat, dengan mengutamakan memberikan wewenang
ketimbang melayani. Pemberian wewenang kepada masyarakat dipandang
sebagai suatu tradisi yang telah berlaku di Amerika, mengingat negara
Amerika Serikat merupakan sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai
kelompok organisasi masyarakat yang mandiri. Jika para birokrat tetap
mengendalikan pelayanan publik, berarti akan mengurangi kepercayaan dan
kompetensi warga masyarakat sehingga akan berdampak pada
ketergantungan, dan adanya ketergantungan surlah tentu kurang
menguntungkan. Dengan adanya pembenaan kewenangan kepada
masyarakat, maka partisipasi masyarakat akan meningkat. Dicontohkan
dalam bidang pendidikan, para orang tua membentuk dewan sekolah dan
dewan ini bertindak sebagai direksi, mempekerjakan dan menentukan kepala
sekolah atas dasar jasa atau prestasi kerjanya dan bukan atas dasar senioritas
belaka. Dengan memberikan kewenangan kepada masyarakat diharapkan
akan dapat membangkitkan kepercayaan serta mampu memberikan solusi
yang lebih baik., mengingat masyarakat memiliki komitmen yang lebih tinggi
serta lebih memahami masalahnya, dan dapat menegakkan standar perilaku
yang lebih efektif. (Prof. Dr. Muchlis Hamdi & Supriyatno, S.H., 1945)
Langkah ketiga perlunya pemerintahan yang kompetitif yakni
perlunya persaingan dalam memberikan pelayanan. Kompetisi yang sehat
akan memberikan keuntungan antara lain terjadinya etlsiensi yang lebih
besar., meningkatkan respon terhadap kebutuhan pelanggan, mendorong
inovasi, dan membangkitkan rasa harga diri maupun semangat
juang.(goleman, daniel; boyatzis, Richard; Mckee & Perdana, 2018)
Langkah keempat, perlu adanya perubahan dalam tata kerja
pemerintahan, yakni mengubah dan sistem pemerintahan yang digerakkan
oleh peraturan menuju pemerintahan yang digerakkan oleh misi. Misi yang
akan dicapai hendaknya dipandang sebagai arah kebijakan pemerintah.
Organisasi yang digerakkan dengan misi ternyata memiliki keuntungan,
yakni akan lebih efisien dan efektif dan inovatif, fleksibel, serta memiliki
semangat kerja yang lebih tinggi. Sehubungan dengan itu, disarankan dalam
menyusun anggaran perlu didasarkan pada misi. Demikian juga dalarn
menentukan personalia. Untuk dapat membangun organisasi yang digerakkan
dengan misi, perlu ada pernyataan tentang misi, serta mengorganisasi
berdasarkan misi dan hukan berdasarkan atas kekuasaan.(W. Meliala, 2020)
Langkah kelima adalah menciptakan pemerintahan yang berorientasi
pada hasil. Untuk menilai suatu hasil dilakukan dengan kriteria kepuasan
pelayanan, tingkat partisipasi masyarakat, serta kualitas lingkungan. Untuk
mendukung hal tersebut, pemerintah sebaiknya mengembangkan sistem
insentif sebagai bentuk penghargaan terhadap hasil yang berprestasi.
(Dwiyanto, 2015)
Langkah keenam, adalah pemerintahan yang berorientasi pada
pelanggan, yakni berusaha memenuhi kebutuhan pelanggan (masyarakat) dan
bukan untuk memenuhi kebutuhan birokrasi. Jika orientasi pemerintah
kepada birokrasi dikawatirkan akan dapat menimbulkan arogansi birokrasi
dan atau lebih mengutamakan untuk memenuhi kebutuhan kelompok
kepentingan. Masyarakat merupakan pelanggan pelayanan pemerintah,
sehingga pelayanan kepada rakyat akan semakin baik. Untuk itu, pemerintah
sebaiknya lebih mendekatkan diri kepada kebutuhan rakyat. (Yuniningsih,
2019)
Langkah ketujuh adalah pemerintahan wirausaha merupakan
pemerintahan yang ber orientasi untuk menghasilkan dari pada hanya sekedar
membelanjaan. Jika orientasi pemerintahan hanya pada pengeluaran maka
akan terjadi pemborosan. Untuk itu perlua ada perubahan orientasi yang
mendorong kekuatan dan motif bahwa setiap pengeluaran hendaknya dapat
meng hasilkan target tertentu. Memang diakui bahwa untuk dapat menghasil
kan diperlukan biaya. Biaya tersebut dapat dikenakan kepada mereka yang
mendapatkan manfaat kegiatan yang bersangkutan. Pembiayaan atau
pengeluaran hendaknya dipandang sebagai kegiatan menabung sehingga
setiap pengeluaran atau investasi dimasudkan untuk mendapatkan hasil.
Untuk itu perlu diadakan pengubahan pada diri manajer publik termasuk pada
birokfat agar selalu bertindak dan berpikir sebagai wirausaha, bersifat
inovatif, efisien, serta berani melakukan investasi.(Djohar et al., 2002)
Langkah kedelapan adalah pemerintahan yang antisipatif sehingga
perlu bertindak cepat dan mempersiapkan diri terhadap keadaan yang akan
terjadi berdasarkan data dan trend yang ada pada saat kini. Oleh sebab itu,
perlu menerapkan prinsip mencegah lebih baik dari pada mengobati. Dalam
sistem pemerintahan tradisonal, umumnya kegiatan yang dilakukan lebih
banyak yang bersifat reaktif, menyelenggarakan pelayanan jasa untuk
mengurangi masalah. Misalnya untuk menang gulangi masalah kesehatan,
pemerintah mendanai perawatan kesehatan. Untuk mengurangi kejahatan,
pemerintah mendanai polisi yang lebih banyak. Dalam pemerintahan yang
antisipatif, dalam mengurangi masa lah kesehatan pemerintah membanguan
sarana air bersih, pengolahan limbah, pengawasan makanan,
menyelenggarakan vaksinasi dan sebagainya, yang semua kegiatan
merupakan upaya pencegahan. Kegiatan pencegahan macam ini diharapkan
akan lebih dapat memecah kan masalah dari pada hanya memberikan
pelayanan jasa. Untuk dapat mengantisipasi keadaan yang akan timbul perlu
melakukan analisis berbagi tantangan yang kemungkinan akan terjadi
kemudian memper siapkan langkah-langkah antisipatif. Dengan melakukan
kegiatan kegiatan yang sifatnya antisipatif terhadap apa yang akan terjadi
diharap-kan dampak negatif akan dapat diminimalisasi serta pembiayaan
untuk mengatasi hal tersebut akan lebih sedikit, serta akan dapat
menghindarkan diri dari kemungkinan krisis yang timbul Sehubungan dengan
itu, maka pemerintah hendaknya memiliki pandangan ke depan dan dapat
mengantisipasi akan yang akan terjadi pada masa depan, selanjutnya
merumuskan sejumlah kegiatan dalam suatu kerangka rencana strategis.
Kegiatan yang dilakukan tidak hanya sekedar kegiatan yang sifatnya rutin.
Untuk keperluan penyusun strategis dan penganggaran jangka panjang dapat
dibentuk komisi masa depan.(Hendrayad et al., 2016)
Langkah ke sembilan adalah pemerintahan desentralisasi. Pada waktu
lima puluh tahun yang lalu, pemerintahan yang tersentralisasi sangat
diperlukan. Karena pada masa itu teknologi informasi masih primitif,
komunikasi antar lokasi masih sangat lamban, sumber daya manusia masih
lemah. Namun, pada masa kini keadaan telah berubah, dimana teknologi
komunikasi berkembang pesat, komukasi antar daerah berjalan lancar bahkan
untuk daerah terpencilpun dapat terlayani komunikasi, sumber daya manusia
berkualitas, sarana dan prasarana umum lengkap dan memadai. Bahkan
perubahan keadaan dalam era globalisasi dapat dikatakan luar biasa, sehingga
wajar jika dewasa ini disebut sebagai era komunikasi dan teknologi. Apa
yang terjadi di suatu wilayah, dengan segera dapat diketahui oleh daerah
lainnya. Dengan adanya kemajuan informasi dan teknologi maka
pemerintahan yang berjiwa wirausaha menghendaki terjadinya desentralisasi
dalam peng ambilan keputusan. Pemerintahan atau lembaga yang
terdesentralisasi memiliki keunggulan (a) lebih fleksibel karena dapat
memberikan respon yang lebih cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan
yang berubah; (b) lebih efektif karena dapat mengetahui perkembangan
setiap saat dan menciptakan solusi yang lebih baik; (c) lebih inovatif karena
terbukanya gagasan dan ide dari para pelaksana di lapangan dan (d)
memberikan semangat kerja yang lebih tinggi, komitmen yang tinggi
sehingga produktivitas yang dicapai akan semakin meningkat. Dalam rangka
mendesentralisasikan organisasi publik perlu dikembangkan manajemen
partisipatif. Manajemen partisipatif akan berjalan baik dalam organisasi
publik yang entrepreneurial pada seluruh tingkatan organisasi.(Djohar et al.,
2002)
Langkah kesepuluh adalah pemerintahan yang berorientasi pada
pasar, dimana perubahan-perubahan dan kebijakan-kebijakan yang dilakukan
melalui mekanisme pasar. Jika dibandingkan dengan manajemen
administratif, mekanisme pasar memiliki beberapa keunggulan, antara lain:
(a) lebih kompetitif, sehingga lebih efisien serta mutu produk dan pelayanan
terjaga; (b) mendorong pelanggan untuk membuat pilihan, mengingat jumlah
produk relatif cukup banyak baik jumlah maupun jenisnya; (c) dapat
memberikan respon yang lebih cepat terhadap perubahan yang
terjadi.(Naskah Akademik RUU LPPI, 2016)
Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat dalam dunia usaha,
Pemerintah menyadari perlunya pengembangan budaya wirausaha bagi
seluruh masyarakat Indonesia. Sebenarnya sejak akhir Orde Baru, pemerintah
telah berusaha keras, mengembangkan budaya wirausaha dengan melibatkan
17 menteri, gubernur bank sentral serta seluruh gubernur. Ketujuh belas
menteri yang dilibatkan dalam pengembangan budaya kewirausahaan adalah
menteri : Koperasi dan PPK; Perhubung an, Perdagangan, Pertanian,
Pekerjaan Umum, Pertambangan dan Energi, Pariwisata Pos dan
Telekomunikasi, Keuangan, Tenaga Kerja, Pendidikan dan Kebudayaan,
Peneraaangan, Agama, Dalam negeri, Meneteri Negara PPN/Ketua
Bappenas, Meneg Kependudukan / Ketua BKKBN, Meneg Pemuda dan Olah
raga. Pengembangan budaya wirausaha ini tertuang dalam Instruksi Presiden
No. 4 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan
Membudayakan Kewirausahaan. Jika dibandingkan dengan ide
mewirausahaan birokrasi, pembudayaan kewirausahaan ini masih bersifat
sentralistis sesuai dengan pola kepemimpinan pada saat itu. Dalam
Pemerintahan Reformasi, yang dimulai oleh Presiden Habibie hingga kini
pembudayaan kewirausahaan dilakukan secara terdesentralisasi yakni
pemerintah menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif bagi UKM dan
golongan ekonomi lemah serta memberikan kredit lunak bagi UKM. Pada
tingkat perguruaan tinggi diprogramkan pula kegiatan untuk membudayakan
kewirausahaan baik dengan jalan memberikan kesempataan yang luas
menyebarluaskan pengetahuan dasar kewira usahaan, pembentukan sikap
wirausaha pada mahasiswa, meningkatkan kegiatan magang kewirausahaan,
penyelenggaraan kopnsultasi bisnis dan penempatan kerja,
menyelenggarakan inkubator bisnis, serta perintisan program usaha dan jasa
industri. Untuk merealisasi program pembudayaan kewirausahaan di
perguruan tinggi, pemerintah memberikan dana stimulan yang dikelola oleh
Direktorat Pendidikan Tinggi yang kemudian dituangkan dalam Program
Pengembangan Budaya Kewirausahaan.(Rusdiana, 2018)
C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah
metode studi kepustakaan. Pada penelitian ini menggunakan jenis atau
pendekatan penelitian studi kepustakaan .
D. Hasil dan Pembahasan
Reinventing government itu sendiri oleh Osborne dan Plastrik
dalam Banishing Bureaucracy dimaknai sebagai “The fundamental
transformation of public systems and organizations to create dramatic
increases in their effectiveness, efficiency, adaptability, and capacity to
innovate. This transformation is accomplished by changing their purpose,
incentives, accountability, power structure, and culture.”(Abiradin Rosidi,
2013)
Dalam konteks ini, reinventing dimaknai sebagai penciptaan
kembali birokrasi dengan mendasarkan pada sistem wirausaha, yakni
menciptakan organisasi-organisasi dan sistem publik yang terbiasa
memperbarui, yang secara berkelanjutan, memperbaiki kualitasnya tanpa
harus memperoleh dorongan dari luar. Dengan demikian, reinventing
berarti menciptakan sektor publik yang memiliki dorongan dari dalam
untuk memperbaiki apa yang disebut dengan “sistem yang memperbarui
kembali secara sendiri”. Dengan kata lain, reinventing menjadikan
pemerintah siap menghadapi tantangan-tantangan yang mungkin tidak
dapat diantisipasi. Di samping itu, reinventing tidak hanya memperbaiki
keefektifan pemerintah sekarang ini, tetapi juga dapat membangun
organisasi-organisasi yang mampu memperbaiki keefektifannya di masa
mendatang pada waktu lingkungan organisasi mengalami
perubahan.(Astara, 2015)
Namun, dalam konteks yang berlaku di Indonesia, usaha
mengimplementasikan konsep reinventing government ini akan
mendapatkan banyak kendala. Hal ini karena model birokrasi di Indonesia
dicirikan oleh model birokrasi patrimonial, birokrasi rente, dan
bureaucratic polity. Jika dirunut kembali dengan seksama, model-model
birokrasi seperti ini sangat bertentangan dengan model birokrasi
wirausaha. Oleh karena itu, usaha mewirausahakan birokrasi tidak akan
dapat dilakukan dengan baik tanpa terlebih dahulu menghancurkan model
birokrasi yang lama. Untuk itu, diperlukan komitmen yang kuat dari elit
politik. Selain itu, hal ini juga dapat dilakukan dengan mendorong
keterlibatan masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja
birokrasi. Oleh karena itu, program pemberdayaan masyarakat menjadi
salah satu agenda penting yang harus dilakukan. Penguatan kelompok-
kelompok kepentingan, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat juga
penting dilakukan karena kelompok-kelompok ini dapat diharapkan
menjadi pengawas kinerja birokrasi publik. Media massa juga dapat
diharapkan perannya dalam konteks menyediakan informasi bagi
masyarakat sehingga masyarakat akan memiliki sumber informasi yang
cukup untuk mengambil tindakan-tindakan yang bersifat politis, terutama
dalam konteks penyikapannya terhadap kinerja birokrasi publik.
(Suryanto, 2019)

Daftar Pustaka

Abiradin Rosidi, R. F. (2013). Reinventing local Goverment, Demokrasi dan


Reformasi Pelayanan Publik. 10.

Adam Latif, Irwan, Muhammad Rusdi, Ahmad Mustanir, M. S. (2019). Partisipasi


Masyarakat Dalam Pembangunan Infrastruktur Di Desa Timoreng Panua
Kecamatan Panca Rijang Kabupaten Sidenreng Rappang. Jurnal MODERAT,
5(1), 5. https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/moderat/article/view/1898

Andi Asmawati AR, Haeruddin Syarifuddin, Abdul Jabbar, Kamaruddin Sellang,


Muhammad Rais Rahmat Razak, Monalisa Ibrahim, A. A. (2021). Sipil
Negara Kabupaten Sidenreng Rappang. Jurnal Sosial-Politika, 2(1), 65–73.

Astara, I. W. W. (2015). DINAMIKA BIROKRASI DAN PERLUNYA


REFORMASI BIROKRASI LINGKUNGAN. Syria Studies, 7(1), 37–72.
https://www.researchgate.net/publication/269107473_What_is_governance/li
nk/548173090cf22525dcb61443/download%0Ahttp://www.econ.upf.edu/~re
ynal/Civil wars_12December2010.pdf%0Ahttps://think-
asia.org/handle/11540/8282%0Ahttps://www.jstor.org/stable/41857625

BAYU INDRA PRASETIYO. (2018). Reformasi Birokrasi Dalam Pelayanan


Publik. Pelaksanaan Pekerjaan Galian Diversion Tunnel Dengan Metode
Blasting Pada Proyek Pembangunan Bendungan Leuwikeris Paket 3,
Kabupaten Ciamis Dan Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat,
11150331000034, 1–147.

Buku Saku Reformasi Birokrasi. (2019). In Kementrian Energi Dan Sumber Daya
Mineral Direktorat Jendral Ketenagalistrikan (Vol. 1, Issue 1).
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://gatrik.esd
m.go.id/assets/uploads/download_index/files/d0700-buku-
rb.pdf&ved=2ahUKEwiGuaLI4q7tAhVIeX0KHWJ8D6M4ChAWMAF6BA
gDEAE&usg=AOvVaw0uOVZZZwCohjx6I7fK0mRh

Dawabsheh, M., Mustanir, K., & Jermsittiparsert, K. (2020). School Facilities as a


Potential Predictor of Engineering Education Quality: Mediating Role of
Teaching Proficiency and Professional Development. TEST Engineering &
Management, 82(3511), 3511–3521.
http://www.testmagzine.biz/index.php/testmagzine/article/view/1417
Djohar, Hasan, said hamid, & Supriyoko. (2002). CAKRAWALA PENDIDIKAN
(JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN).

Dr. Falih Suaedi, I. B. S. (2009). Jejaring Admnistrasi Publik. I(1).

Dwiyanto, A. (2015). Administrasi Publik: Desentralisasi, Kelembagaan dan


Apartus Sipil Negara, Gadjah Mada University Press Bekerjasama dengan
LAN RI. 45–59.

Fay, D. L. (1967). Indonesian Short Story. Angewandte Chemie International


Edition, 6(11), 951–952., 4(1), 269–277.

Gaebler, D. O. T. (2008). Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government).


In Teruna Gravika: Jakarta.

goleman, daniel; boyatzis, Richard; Mckee, A., & Perdana. (2018). Landasan
Teori Persaingan Bisnis. Journal of Chemical Information and Modeling,
53(9), 1689–1699.

H, M. U. M., & RAMDHANI, S. (n.d.). DISUSUN OLEH : Fakultas Ilmu


Administrasi Kebijakan dan Administrasi Perpajakan. 55, 1–22.

Hendrayad, A., Arman, Satmoko, N. D., Heriyanto, Mustanir, A., Ramdani, A.,
Amane, A. P. O., & Razak, M. R. R. (2016). PENGANTAR ILMU
ADMINISTRASI PUBLIK. 15(2), 1–23.

I Gusti Putu Budiana, I. N. S. (2017). Pengembangan Rencana Bisnis Dalam


Perspektif Reinventing Government Pada Dinas Pekerjaan Umum Provinsi
Bali. Jurnal Administrator, 9(1), 46–67.

Iriawan, H., Publik, A., & Biak, I. Y. (2019). REFORMASI BIROKRASI DALAM
PELAYANAN PUBLIK ( Studi Kasus UPTB Samsat Kabupaten Biak Numfor
). 5, 128–141.

Kholifah R, E., & Mustanir, A. (2019). Food Policy and Its Impact on Local
Food. October, 27–38. https://doi.org/10.32528/pi.v0i0.2465
Mufidayati, K. (2017). Reformasi Birokrasi Di DKI Jakarta. Seminar IQRA,
01(01), 689–703. http://jurnal.untag-
sby.ac.id/index.php/iqra/article/view/5074

Munawaroh, N. (2018). Mewujudkan Good Governance Melalui Reformasi


Birokrasi: Kasus Pelayanan Pembuatan E-Kartu Tanda Penduduk di Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung Provinsi Jawa
Barat. Jurnal Dukcapil, 6(1), 21–46.

Mustainir, A., Barisan, & Hamid, H. (2017). Towards Open Goverment: Finding
The Whole-Goverment Approach Participatory Rural Appraisal As The
Participatory Planning Method Of Development Planning. Iapa, 78–84.

Mustanir, A. (2016). Magang mahasiswa. 1–7.


https://www.academia.edu/38492683/Panduan_magang_STISIP_Muhamma
diyah_Rappang_2015_2016.pdf

Mustanir, A. (2017). Pemberdayaan Badan Usaha Milik Desa Melalui Kelompok


Ekonomi Kewirausahaan Secara Partisipatif. Osf.

Mustanir, A., & Abadi, P. (2017). Partisipasi Masyarakat Dalam Musyawarah


Rencana Pembangunan Di Kelurahan Kanyuara Kecamatan Watang
Sidenreng Kabupaten Sidenreng Rappang. Jurnal Politik Profetik, 5(2), 247–
261. http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/viewFile/4347/3986%0Ahttp://journal.ui
n-alauddin.ac.id/index.php/jpp/issue/view/636

Mustanir, A., & Darmiah, D. (2016). Implementasi Kebijakan Dana Desa Dan
Partisipasi Masyarat Dalam Pembangunan Di Desa Teteaji Kecamatan Tellu
Limpoe Kabupaten Sidenreng Rappang. Jurnal Politik Profetik, 4(2), 225–
238. http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/view/2749%0Ahttp://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/jpp/issue/view/457

Mustanir, A., & Jusman. (2016). Implementasi Kebijakan Dan Efektivitas


Pengelolaan Terhadap Penerimaan Retribusi Di Pasar Lancirang Kecamatan
Pitu Riawa Kabupaten Sidenreng Rappang. Jurnal Ilmiah Akmen, 13(3),
542–558. https://e-jurnal.stienobel-
indonesia.ac.id/index.php/akmen/article/view/69%0Ahttps://e-
jurnal.stienobel-indonesia.ac.id/index.php/akmen/issue/view/6

Mustanir, A., & Rusdi, M. (2019). Participatory Rural Appraisal (PRA) Sebagai
Sarana Dakwah Muhammadiyah Pada Perencanaan Pembangunan di
Kabupaten Sidenreng Rappang. Prosiding Konferensi Nasional Ke-8
Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah
(APPPTMA), 467–475.
http://asosiasipascaptm.or.id/index.php/publikasi/prosiding-konferensi-
nasional-appptma-ke-8

Naskah Akademik RUU LPPI. (2016). 1–205.

Prof. Dr. Muchlis Hamdi, M., & Supriyatno, S.H., M. (BPHN). (1945). Naskah
Akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Hubungan
Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah. 2, 1–170.

Rahman, F. (2017). Strategi Reformasi Birokrasi Pemerintahan Daerah: Menuju


Era Globalisasi. Jurnal Transformative, 40–52.
https://transformative.ub.ac.id/index.php/jtr/article/viewFile/22/23

Romli, L. (2008). Masalah reformasi birokrasi. Jurnal Kebijakan Dan Manajemen


PNS, 2(2), 1–8. https://jurnal.bkn.go.id/index.php/asn/article/view/149/129

Rusdiana, H. A. (2018). Kewirausahaan Teori dan Praktik. Journal for Research


in Mathematics Learning, 2(4), 369.

Rusfiana, Y., & Supriatna, C. (2021). Memahami Birokrasi Pemerintahan Dan


Perkembangan (1st ed.). ALFABETA, cv.

Sapri, S., Mustanir, A., Ibrahim, M., Adnan, A. A., Wirfandi, W. (2019). Peranan
Camat dan Partisipasi Masyarakat Dalam Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Di Kecamatan Enrekang Kabupaten Enrekang. MODERAT:
Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 5(2), 33–48.
https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/moderat/article/view/2127

Surya Adi Tama, P., & Wirama, D. G. (2020). Akuntabilitas Pemerintah Desa
dalam Pengelolaan Alokasi Dana Desa. E-Jurnal Akuntansi, 30(1), 73.
https://doi.org/10.24843/eja.2020.v30.i01.p06

Suryanto, A. (2019). Pendayagunaan aparatur negara.

W. Meliala. (2020). Menuju Good Governance dengan Reinventing Government.


Jurnal Citizen Education, 2(2), 1–11.

Winarno, B. (2004). IMPLEMENTASI KONSEP “ REINVENTING


GOVERNMENT .” 1–24.

Yuniningsih, T. (2019). Kajian Birokrasi. Definisi Manajemen, 371.


http://eprints.undip.ac.id/73483/1/BUKU_KAJIAN_BIROKRASI_GABUN
GAN.pdf

‫ال ش عران ي‬, ‫إ‬. ‫ف‬., & ‫ال وزي ر‬, ‫غ‬. ‫ج‬. (2006). No Title‫و ال كام لة ال م تحرك ة ال ت عوي ضات‬
‫ه يةال وج ال ف ك ية ال ت عوي ضات‬. ‫مم مم ممم مم مم مم ممم‬,
1999(December), 1–6.

Anda mungkin juga menyukai