MANA
MENURUT ANDA YANG PALING MEMUNGKINKAN DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA?
JELASKAN ALASANNYA!(BOBOT SOAL 35)
Asal NPM berasal dari pendekatan atas manajemen public dan birokrasi.Fokus
dari NPM sebagai sebuah gerakan pengadopsian keunggulan teknik manajemen
perusahaan sector public untuk diimplementasikan dalam
pengadministrasiannya.
Penerapan New Public Management di Indonesia dapat dilihat dari penerapan
beberapa karakteristiknya.Terlepas dari kedua pemerintahan tersebut dalam
ranah yang lebih luas,NPM telah dicoba diterapkan juga pada pemerintahan
daerah,yaitu sejalan dengan penerapan otonomi daerah di Indonesia yang
dimulai tahun 2004.
menurut saya dari 3 paradigma diatas yang paling memungkinkan untuk di implementasikan di
Indonesia adalah NPM dikarenakan dengan adanya NPM ini dalam beberapa hal dapat
peningkatan yang efisiensi dan produktifitas dari kinerja pemerintah yang membuat kualitas
pelayanan publik lebih baik dan semakin berkualitas. walau belum sepenuhnya bisa dikatakan
sebagai yang terbaik tapi setidaknya ada dampak positif untuk pemerintahan dalam prosedur
dan proses dalam melayani pelayanan publik pada masyarakat.
Revolusi Industri 4.0 sebagai perkembangan peradaban modern telah kita rasakan dampaknya
pada berbagai sendi kehidupan, penetrasi teknologi yang serba disruptif, menjadikan
perubahan semakin cepat, sebagai konsekuensi dari fenomena Internet of Things (IoT), big
data, otomasi, robotika, komputasi awan, hingga inteligensi artifisial (Artificial
Intelligence). Fenomena disrupsi yang mewarnai perkembangan peradaban Revolusi Industri
4.0, dengan dukungan kemajuan pesat teknologi, akan membawa kita pada kondisi transisi
revolusi teknologi yang secara fundamental akan mengubah cara hidup, bekerja, dan relasi
organisasi dalam berhubungan satu sama lain.
Perkembangan era Revolusi Industri 4.0 yang membawa konsekuensi meningkatnya tuntutan
akuntabilitas dan transparansi dari organisasi pemerintah serta responsif yang tinggi dan cepat,
hal ini membawa perubahan paradigma desain organisasi.
Ukuran besarnya organisasi dengan struktur organisasi dan rentang kendali yang besar,
tidaklah menjamin efektifitas pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi, yang lebih
berperan adalah seberapa sukses transformasi organisasi dilakukan agar adaptif terhadap
perubahan yang sedemikian cepat guna menjawab fenomena tomorrow is today.
Struktur organisasi pemerintah yang selama ini mekanistis, hierarkis birokratis,
departementalisasi yang kaku, formalisasi tinggi dan dan sentralistis perlu terus ditransformasi
ke arah organisasi yang organik, yang ditandai dengan informasi yang mengalir bebas,
formalisasi rendah dan tim lintas fungsi, guna menjawab ketidakpastian yang tinggi dan
lingkungan strategis organisasi pemerintah yang semakin dinamis dan kompleksitas yang
tinggi. Transformasi organisasi pemerintah harus ditandai dengan pengembangan
kepemimpinan transformasi dengan visioner yang terukur pada berbagai level kepemimpinan
dalam organisasi pemerintah, hal ini sangat diperlukan guna memastikan setiap inovasi yang
dikembangkan dapat memberikan nilai tambah kualitas pelayanan, menyelaraskan visi dan
lingkungan internal yang diimbangi dengan kemampuan merespons perubahan lingkungan
eksternal yang bergerak cepat dalam era Revolusi Industri 4.0 ini.
Globalisasi dan tatatan dunia baru memberikan implikasi bagi administrasi publik. Struktur
ekonomi global, dengan begitu banyaknya perubahan suprastruktur dan kekuasaan
suprateritorial, telah membawa implikasi mendalam bagi birokrasi. Kekuasaan maupun
kewenangan negara semakin tereduksi baik dalam konteks kualitas maupun kuantitasnya. Di
berbagai belahan dunia, karakter negara mengalami perubahan secara masif. Meminjam
istilahnya Milward (1994), kini masyarakat hidup dalam era the hallow state dan terjadi
pergesaran dari welfare administrative state ke arah corporate state. Pertama, perubahan
mendasar konfigurasi dalam lingkup publik-privat dalam mendukung globalisasi korporat. Peran
utama pemerintah dan sektor publik dalam alokasi risorsis, distribusi kesejahteraan secara
merata, stabilisasi ekonomi, dan pertumbuhan ekonomi telah dikesampingkan oleh elit-elit
korporat. Dengan runtuhnya Uni Soviet dan meningkatnya globalisasi, juga krisis finansial
negara, maka negara dengan administrasi tradisionalnya mendapatkan serangan dari segala
arah, khususnya dari elit-elit korporat yang tidak lagi mengindahkan adanya welfare state. Hal
ini menyebabkan lingkup publik dan ruang bagi keterlibatan warga negara telah menyusut
sebaga akibat dari globalisasi dan restrukturisasi pemerintah (Rockman, 1997; Habermas,
1974; Offe, 1985). Kedua, perubahan karakter dan aktivitas negara dan administrasi publik dari
civil administration kepada non-civil administration (Farazmand, 1997). Selama beberapa
dekade, sistem administrasi negara tradisional menjaga keseimbangan kepentingan elit-elit
korporat dengan kepentingan publik, sehingga menjaga stabilitas sosial dan politik bagi
akumulasi kapital dan sistem legitimasi. Namun kini, sistem tersebut telah tergantikan oleh
adanya corporate-coercive state, yang dicirikan oleh adanya birokrasi koersif yang mengancam
tertib sosial. Warga negara terancam oleh chaos pasar di bawah tekanan ekonomi dan sosial
yang diakibatkan oleh globalisasi dan marketisasi (Schneider, 1993; Farazmand, 1997a,b,c).
Ketiga, globalisasi mendorong privatisasi, membuka peluang terciptanya korupsi (Gould, 1991).
Privatisasi juga mengancam kepercayaan warga negara akan kepemimpinan dan sistem
legitimasi. Privatisasi didasarkan pada rational choice theory yakni adanya individu yang
cenderung self-interested pada tataran komunitas dan masyarakat. Filosofi ini menempatkan
kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat atau komunitas (Bellah et al., 1991;
Triandis, 1995); inilah yang sesungguhnya sedang diupayakan oleh berbagai perusahaan
transnasional untuk membangun budaya konsumerisme global yang menyatukan budaya
nasional ke dalam sebuah budaya global (Schein, 1985). Globalisasi mendukung elitisme dan
memperkaya elit bisnis, politik, militer, dan manajer yang bekerja sebagai agen korporasi
transnasional.
Globalisasi mengancam keberadaan komunitas (Korten, 1995) dan public spiritedness –
meminjam istilah Frederickson 1997 – dengan mengganti kontrol lokal dan tidak digunakannya
prinsip partisipasi dalam membuat keputusan-keputusan yang mempengaruhi kehidupan
masyarakat. Administrator publik hendaknya berupaya untuk mengurangi ketidak pastian yang
ada dari korporasi global tersebut. Mereka juga hendaknya membangun rasa kebersamaan,
melibatkan partisipasi masyarakat dalam administrasi, dan mendorong nilainilai
kemasyarakatan dan komunitas/ kepentingan publik sehingga bisa menyeim-bangkan
pandangan kepentingan pribadi.
Globalisasi juga membuka kesadaran manusia. Kaum profesional memiliki peluang dan
tanggung jawab untuk mengetahui dan menindak segala persoalan yang terjadi. Isu-isu seperti
pencabutan hak-hak kaum miskin, destruksi lingkungan, pemanasan global, ketidaksetaraan
dan ketidakadilan. Meningkatnya kesadaran akan isu-isu global baik yang positif dan negatif,
sangat penting dan perlu, karena para administrator publik dapat melakukan pembedaan
ketikan membuat keputusan yang mempengaruhi warga negaranya.
Latar belakangnya konsep penta helix dibangun di atas dua model sebelumnya teori triple helix
dan teori quadra helix. Teori triple helix yakni pemangku kepentingan antara pemerintah
(government), pengusaha (business) dan akademisi (academician). Sedangkan quadra helix
ditambah dengan dimasukkannya satu pemangku kepentingan lainnya yakni masyarakat
madani (civil society). Pemangku kepentingan penta helix disempurnakan menjadi 5 (lima)
yakni media massa (mass media).
Konsep triple helix yang dapat ditelusuri jejaknya sejak perang dunia kedua. Perang dunia
kedua melahirkan konsep hubungan yang komprehensif antara ilmu pengetahuan (akademisi),
sektor industri atau perdagangan (dunia usaha) dan sektor publik (pemerintah). Hubungan
trilogi ini sangat jelas dan saling bergantung. Sektor publik yakni pemerintah menggunakan
basis pajak untuk mendanai lembaga pengetahuan untuk meneliti teknologi dan produk inovatif.
Sektor bisnis memproduksi hasil penelitian dan inovasi tersebut dan akhirnya sektor publik
yakni pemerintah mendapatkan hasil melalui penarikan pajak.
Triple helix bahwa potensi inovasi dan pengembangan ekonomi terletak pada peran yang lebih
menonjol dari sektor universitas atau ilmu pengetahuan. Industri dan pemerintah menghasilkan
sebuah format kelembagaan dan sosial baru dalam produksi, transfer dan penerapan
pengetahuan.
Intinya adalah bahwa ilmu pengetahuan mensyaratkan sektor publik untuk mendukung
eksperimen dan penelitian karena sektor bisnis tidak akan pernah mengambil risiko jika tidak
mampu meyakinkan menghasilkan keuntungan. Demikian juga dibutuhkan sektor publik untuk
mengembangkan kondisi atau tuntutan inovasi, terutama dalam hal komunikasi, transportasi
dan sumber daya.
Triple helix agak generik namun jika menyangkut orang, maka pengguna harus masuk dalam
daftar pemangku kepentingan. Triple helix mengasumsikan pemangku kepentingan tahu yang
terbaik untuk pasar. Akhir 70-an membawa gelombang 'kolektif individu' yang sulit dilakukan
bagi sektor perdagangan dan politik. Terbukti orang (konsumen) adalah materi. Sejak itu
diperkenalkan pemangku kepentingan tambahan yakni pengguna, sehingga menciptakan
konsep quadruple helix.
Quadruple Helix menjadi empat kelompok pemangku kepentingan. Masing-masing memiliki
kontribusi yang sangat berharga. Quadruple helix membawa para aktor lebih dekat dan
membawa pembicaraan ke level terendah pemangku kepentingan. Namun, dimensi keempat
yakni pengguna, tampaknya diperlakukan sebagai konsumen daripada mitra sejati untuk
penciptaan inovasi bersama.
Langkah terakhir penta helix adalah perbedaannya pada modal dan bisnis, keduanya mewakili
pemangku kepentingan yang sangat berbeda. Pemangku kepentingan bisnis seringkali agresif,
kompetitif, mengambil risiko dan siap untuk gagal. Penta helix bisa jauh melampaui, teknologi
dan sains memasuki dimensi ruang yang melibatkan model bisnis inovatif, jaringan sosial dan
sebagainya. Konsep penta helix adalah alat yang ideal untuk bekerja dengan model
kompleksitas dan ekonomi, daripada model inovasi bisnis berbasis konsumen/ pasar.
Model penta helix sangat berguna untuk menyelesaikan masalah multi pihak dimana pemangku
kepentingan mewakili berbagai kepentingan pada satu lokasi (Sturesson, Lindmark, dan Roos,
2009). Kolaborasi dari 5 (lima) pemangku kepentingan ini diharapkan dapat mewujudkan
sebuah kebijakan yang didukung oleh beragamnya sumber daya yang saling berinteraksi
secara sinergis. Penta helix yakni sebagai berikut:
1. Pemerintah (Government)
Kelompok ini mencakup, organisasi budaya yang di danai publik, parlemen, kepolisian, militer,
rumah sakit dan layanan publik lainnya. Pada tingkat nasional ada pemerintah nasional dan
badan-badan nasional yang relevan.
2. Dunia Usaha (Business)
Kelompok bisnis dan perwakilan sektor bisnis seperti koperasi, pengacara, akuntan dan
profesional lainnya. Kelompok bisnis secara lokal, nasional atau bahkan internasional.
Kepentingan komunitas ini akan tergantung pada bagaimana proyek akan mempengaruhi
mereka, apakah akan membawa pelanggan baru atau pesaing baru? Akankah ini memberi
kesempatan untuk tumbuh atau hambatan bagi perkembangan masa depan mereka?
3. Universitas (University)
Praktisi akademisi memiliki pengetahuan dan pengalaman yang relevan untuk pengembangan
proyek/ kebijakan. Keahlian dalam pengetahuan (arsitek, insinyur, ilmuwan, dokter dan praktisi
kesehatan, ahli geografi, pendidik maupun administrasi publik), universitas atau organisasi riset
yang tertarik pada pengembangan proyek. Selain praktisi berbasis lokal, ada juga aktor
nasional dan internasional yang dapat menyumbangkan pengetahuan dan pengalaman, seperti
organisasi penelitian, kelompok pelobi dan advokasi atau konsultan. Anggota kelompok ini
sering mengungkapkan pendapat-pendapat yang kuat dan relevan dengan masalah.
4. Organisasi Non Pemerintah atau Masyarakat Madani (Non-Government Organization or Civil
Society)
Organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela
memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh
keuntungan dari kegiatannya.
Organisasi atau masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam menjaga perilaku beradap,
kesopanan, budaya dan ramah dalam menghadapi lingkungannya, masyarakat yang menjaga
hubungan yang harmoni, sikap saling menghargai kepentingan masing-masing individu dalam
kelompok. Adanya sikap menyadari bahwa walaupun masing-masing mempunyai hak, tetapi
hak tersebut dibatasi oleh hak yang dimiliki orang lain dalam kapasitas yang sama.
5. Media Massa (Mass Media)
Pelaku dalam kelompok ini adalah semua media, digital maupun bukan. Kepentingan mereka
akan didorong oleh apa yang penting diketahui oleh masyarakat luas melalui media yang
mereka miliki.
governanca secara teoretik dipahami sebagai upaya pemerintah untuk memiliki kinerja serta
menjalin hubungan dengan publik maupun swasta secara lebih baik. Hal ini sesuai dengan
prinsip good governance hingga menumbuhkan sebuah sistem yang lebih efisien, efektif,
responsif, transparan, dan akuntabel.
dengan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam kondisi apapun termasuk pada saat
pandemik covid 19 berakhir maka governance tidak boleh berhenti karena dengan
menggunakan ini sebuah cara dalam mengoptimalkan pelayanan publik yang berkualitas dan
praktis, serta pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan menjadi lebih kompleks dan multi model
sehingga transformasi digital dalam pelayanan publik harus diikuti dengan perubahan mindset
yang ada pada pemerintah dan masyarakat.