Anda di halaman 1dari 42

Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

BAB 1 MENGAPA PELAYANAN PUBLIK?


Oleh : Agus Dwiyanto

1. PENGANTAR
Keinginan mewujudkan Good Governance dalam kehidupan pemerintah
telah lama dinyatakan oleh para pejabat Pemerintah, mulai dari pusat sampai
daerah. Beberapa pertanyaan yang sering muncul terkait Good Governance adalah
: bagaimana cara mewujudkan Good Governance di dalam pemerintahan kita?
Apakah Good Governance bukan hanya menjadi mitos yang selalu dinyatakan
oleh para pejabat pemerintah setiap berbicara di berbagai forum? Bagaimana
menjadikan Good Governance sebagai realita? Strategi apa yang sebaiknya
dilakukan untuk mewujudkan Good Governance?
Pertanyaan-pertanyaan di atas kendati mudah disampaikan tetpai tidak
mudah dijawab karena sejauh ini konsep Good Governance memiliki arti yang
luas dan sering dipahami berbeda-beda, tergantung dari konteksnya. Dalam
konteks pemberantasan KKN, Good Governance diartikan sebagai pemerintahan
yang bersih dari praktik KKN. Dalam proses demokratisasi, Good Governance
adalah memberi ruang partisipasi yang luas bagi aktor dan lembaga di luar
pemerintah sehingga ada pembagian peran dan kekuasaan yang seimbang antara
Negara, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Sedang untuk kepentingan
lembaga donor dan keuangan internasional, Good Governance dianggap sebagai
sebuah gerakan memperkuat institusi yang ada di Negara dunia ketiga dalam
melaksanakan berbagai kegiatan yang dibiayai oleh berbagai lembaga tersebut.
Meskipun banyak perspektif yang menjelaskan konsep Good Governance,
namun secara umum ada beberapa karakteristik dan nilai yang melekat dalam
praktik Good Governance. Pertama, praktik Good Governance harus memberi
ruang kepada aktor lembaga non-pemerintah untuk berperan serta secara optimal
dalam kegiatan pemerintahan sehingga memungkinkan adanya sinergi di antara
aktor dan lembaga pemerintah dengan non-pemerintah seperti masyarakat sipil
dan mekanisme pasar. Kedua, dalam praktik Good Governance terkandung nilai-
nilai yang membuat pemerintah dapat mewujudkan kesejahteraan bersama. Dan

1
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

ketiga, praktik Good Governance adalah pemerintahan yang bersih dan bebas dari
praktik KKN serta berorientasi pada kepentingan publik.
Dalam mengembangkan praktik Good Governance yang cakupannya
cukup luas, pemerintah perlu mengambil dan menggunakan strategi yang jitu.
Salah satu pilihan adalah melalui pengembangan penyelenggaraan pelayanan
publik.

2. PERAN STRATEGIS PELAYANAN PUBLIK


Pertanyaan mendasar adalah mengapa reformasi pelayanan publik menjadi
titik strategis untuk membangun praktik Good Governance? Ada beberapa
pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai
pengembangan Good Governance di Indonesia :
Pertama, pelayanan publik selama ini menjadi ranah dimana Negara yang
diwakili pemerintah berinteraksi dengan lembaga-lembaga non-pemerintah,
sehingga jika terjadi perubahan yang signifikan pada ranah pelayanan publik
dengan sendirinya dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh warga dan
masyarakat luas. Dengan menjadikan praktik pelayanan publik sebagai pintu
masuk dalam membangun Good Governance, maka diharapkan toleransi terhadap
praktik Bad Governance yang semakin meluas dapat dihentikan.
Kedua, berbagai aspek Good Governance dapat diartikulasikan secara
relatif lebih mudah dalam ranah pelayanan publik. Nilai-nilai yang selama ini
mencirikan praktik Good Governance seperti efisien, non-diskriminatif dan
berkeadilan, berdaya tanggap tinggi, dan memiliki akuntabilitas tinggi dapat
dengan mudah dikembangkan parameternya di dalam ranah pelayanan publik.
Ketiga, pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur
governance. Pemerintah sebagai representasi Negara, masyarakat sipil, dan
mekanisme pasar memiliki kepentingan dan keterlibatan yang tinggi dalam ranah
ini. Pelayanan publik menjadi high stake dan menjadi pertaruhan yang penting
bagi ketiga unsur governance tersebut karena baik dan buruknya praktik
pelayanan publik sangat berpengaruh terhadap ketiganya.

2
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

3. APA YANG PERLU DI REFORMASI?


Untuk mengembangkan pelayanan publik yang mencirikan praktek good
governance dibutuhkan pembenahan dalam birokrasi publik. Salah satunya adalah
dengan melakukan perubahan mindset dari mindset pejabat publik sebagai
penguasa menjadi mindset baru yaitu pejabat sebagai pelayan publik. Untuk itu
nilai, tradisi, dan misi birokrasi sebagai agen pelayanan harus ditumbuh-
kembangkan pada semua pejabat birokrasi sehingga menjadi sebuah budaya baru.
Untuk mengembangkan budaya baru dalam birokrasi dapat dilakukan
dengan berbagai cara, antara lain : pemerintah dapat menggali nilai-nilai dan
tradisi yang dianggap baik (local wisdoms) dari praktik pemerintahan terdahulu
kemudian mentransfernya dalam kehidupan birokrasi pemerintah sekarang ini.
Selain itu dapat pula dengan belajar dari best practices yang ada di negara-negara
lain, yang dapat dipelajari dan ditiru untuk pengembangan birokrasi di Indonesia.
Alternatif yang dapat dilakukan dalam pelayanan publik yaitu : pertama,
merampingkan struktur birokrasi pada tingkat Pemerintahan Kota. Hal ini
dilakukan dengan mendelegasikan kewenangan Pemerintah Kota sebanyak
mungkin kepada Kecamatan. Kedua, memusatkan pelayanan publik di tingkat
Kabupaten/ Kota serta merampingkan satuan birokrasi.

4. BAGAIMANA PERUBAHAN BIROKRASI DAPAT MEMPERCEPAT


TERBENTUKNYA PRAKTIK GOOD GOVERNANCE?
Untuk mewujudkan praktik good governance ada banyak hal dan cara
yang perlu dilakukan. Hal itu berupa perubahan yang menyeluruh pada semua
unsur kelembagaan yang terlibat dalam praktik good governance, meliputi
pemerintah, pelaku pasar dan dunia usaha, serta masyarakat sipil. Namun ada
beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sehingga perubahan birokrasi sebagai
salah satu lembaga pemerintah yang strategis perlu memperoleh perhatian dan
prioritas dalam reformasi.
Sebagai sebuah lembaga tua dengan tradisi dan nilai yang sangat kuat
tertanam dalam dirinya, birokrasi pemerintah sejauh ini masih memainkan peran
yang sangat dominan dalam pengelenggaraan governance. Dengan posisi yang
demikian maka birokrasi pemerintah memiliki peran yang strategis dalam

3
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

reformasi praktik governance. Perubahan pada birokrasi tentu memiliki dampak


yang sangat berarti dalam praktik governance. Sebaliknya, kegagalan melakukan
reformasi birokrasi membuat berbagi upaya yang dilakukan dalam pemberdayaan
masyarakat sipil dan mekanisme pasar menjadi tidak banya artinya.
Perubahan birokrasi memiliki multiplier effects yang sangat luas. Sosok
dan perilaku birokrasi yang mencerminkan nilai dan tradisi baru praktik good
governance dapat mendorong perubahan yang berarti dalam kehidupan pasar dan
masyarakat sipil. Dari pertimbangan ini maka reformasi birokrasi menjadi sangat
strategis dan perlu memperoleh prioritas yang tinggi, sehingga pembenahan
birokrasi pemerintah dapat menjadi langkah awal yang sangat strategis. Dengan
memberikan prioritas pada pembenahan birokrasi pemerintah maka dampaknya
terhadap percepatan terwujudnya good governance sangat besar. Karena itu
sebaiknya pemerintah memberi prioritas pada reformasi birokrasi sebagai bagian
dari tindakan kongkrit dalam membangun good governance. Lebih konkritnya
lagi, dengan menjadikan perbaikan layanan publik menjadi agenda awal reformasi
birokrasi. Apabila penyelenggaraan pelayanan publik dapat lebih efisien,
responsif, partisipatif, dan akuntabel maka pemerintah telah memperbaiki kinerja
birokrasi, bahkan juga telah membangun good governance.

4
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

BAB 2 GOOD GOVERNANCE DAN OTONOMI DAERAH


Oleh : Samodra Wibawa

1. PENDAHULUAN
Pada awal berdirinya, rezim Orde Baru mendeklarasikan diri sebagai kritik
atas rezim Orde Lama. Orde Baru mengatasi berbagai sumber masalah dengan
menetapkan Pancasila sebagai idiologi negara dan mengakhiri disharmoni
hubungan sipil-militer, tetapi dalam perjalanannya Orde Baru juga tidak konsisten
sehingga digantikan oleh Era Reformasi. Pada masa reformasi sebagai babak baru
bangsa Indonesia dilakukan perubahan yang sangat penting yaitu penggantian
sistem sentralisasi menjadi desentralisasi. Mulai Januari 2001, Indonesia melalui
UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 mengubah dirinya menjadi negara yang
desentralistis, yang memberikan kewenangan besar kepada kabupaten/kota serta
propinsi untuk mengelola kepentingan dan kebutuhan mereka. Dalam perjalannya
kemudian direvisi menjadi UU No. 32 dan 33 Tahun 2004.
Belajar dari sejarah kita, eksperimentasi untuk mewujudkan Indonesia
baru tampaknya tidak dapat lagi diharapkan dalam format pemerintahan yang
sentralistik. Indonesia dalam banyak titik gravitasi yang terpencar dan
beranekaragam akan lebih efektif daripada hanya pada satu titik pusat.

2. OTONOMI DAERAH
Hampir semua bangsa di dunia ini menghendaki adanya otonomi, yang
pada hakekatnya merupakan hak untuk mengelola rumah tangga sendiri tanpa
campur tangan dan intervensi. Bukan hanya negara, pemerintah propinsi dan
kabupaten/kota pada suatu negara juga memerlukan otonomi. Dalam batas
tertentu, mereka menginginkan atau menuntut suatu “souveregneity” dalam
mengelola sumberdaya yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan,
penyelenggaraan kepentingan, dan mengatasi permasalahan publik masyarakat
lokal, dengan intervensi yang kecil dari pemerintah pusat.

2.1. Konsep dan Tujuan Otonomi Propinsi dan Kabupaten


Definisi yang diberikan terhadap kata ‘desentralisasi’ sangat beragam.
Rossdinelli dan Cheema (1983) memahami dezentralization secara luas, yaitu

5
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

perpindahan kewenangan atau pembagian kekuasaan dalam perencanaan


pemerintah serta manajemen dan pengambilan keputusan dari tingkat nasional ke
tingkat daerah. menurut mereka ada empat bentuk desentralisasi, yaitu
dekonsentrasi, delegasi, devolusi, dan privatisasi atau debirokratisasi.
Ada beberapa alasan perlunya pemerintah pusat mendesentralisasikan
kekuasaan kepada pemerintah propinsi dan kabupaten/kota, diantaranya yaitu :
a. Dari segi politik, desentralisasi dimaksudkan untuk mengikutsertakan
warga dalam proses kebijakan, baik untuk kepentingan daerah sendiri
maupun untuk mendukung politik dan kebijakan nasional melalui
pembangunan proses demokrasi lapisan bawah.
b. Dari segi manajemen pemerintahan, desentralisasi dapat meningkatkan
efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas publik, terutama dalam
penyelenggaraan layanan publik.
c. Dari segi kultural, desentralisasi dimaksudkan untuk memperhatikan
kekhusuan, keistimewaan atau kontekstualitas suatu daerah.
d. Dari segi pembangun, desentralisasi dapat melancarkan proses formulasi
dan implementasi program pembangunan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan warga.
e. Dilihat dari kepentingan pemerintah pusat sendiri desentralisasi dapat
mengatasi kelemahan pemerintah pusat dalam mengawasi program-
programnya.
f. Desentralisasi dapat meningkatkan persaingan antar daerah dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga mendorong
pemerintah lokal untuk melakukan inovasi guna meningkatkan kualitas
pelayanannya kepada warga.

2.2. Pengalaman Kommune Norwegia


Indonesia yang telah, sedang dan terus melakukan trial and error dalam
mengembangkan otonomi daerah tentu akan semakin dewasa jika tidak hanya
belajar dari pengalaman sendiri, tetapi juga mempelajari pengalaman negara lain
dalam berusaha menjawab permasalahan bangsanya dengan konsep otonomi.

6
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

Pengalaman Norwegia dalam otonomi lokalnya berikut ini dapat dijadikan


sebagai salah satu referensi pembelajaran berotonomi di Indonesia.
Norwegia (bersama Swedia, Denmark dan Finlandia) terletak pada
kawasan Skandinavia di Eropa bagian Utara. Administrasi Norwegia terbagi
dalam tiga tingkatan kekuasaan, yaitu pemerintah pusat, pemerintah
fylkekommune (propinsi, 19 buah) dan kommune (setara kabupaten/kota, 425
buah). Negara ini adalah penganut welfare state sehingga kesejahteraan penduduk
menjadi tanggungjawab negara. Dalam konteks ini, kommune berperan sebagai
pelaksana fungsi dan tanggungjawab negara tersebut melalui penyediaan layanan
publik.
Sejarah otonomi Kommune di Norwegia digambarkan secara ringkas pada
tabel berikut :
Tabel 2.1. Sejarah otonomi Kommune di Norwegia
Periode Ciri-ciri
Otonomi model I : - Formanskap (propinsi) merupakan wakil negara dan memiliki
Tanpa intervensi tanggungjawab penuh atas otoritas lokal.
pemerintah pusat (1837- - Tiap-tiap daerah tidak memiliki otoritas terpisah dari pusat.
1860) - Bentuk negara kesatuan, bukan federasi.
- Tanggungjawab terbesar kommune adalah pada bidang pendidikan.
- Akitivitas kommune dibiayai dari pendapatan lokal yang
pemasukan terbesar dari pajak kepemilikan.
- Kommune mendapat status sebagai kesatuan hukum mandiri,
berwenang membuat regulasi bagi daerahnya.
- Negara tidak memiliki hak untuk mengintervensi kegiatan
Kommune, kecuali diatur UU.
- Meskipun jumlah penduduknya masih jarang, komunikasi anatara
penduduk dengan penguasa lokal masih buruk.
Otonomi Model II - Berakhirnya union dengan Swedia.
(1860-1920) - Terjadi perbaikan kualitas praktik demokrasi, yaitu diakuinya hak
pilih semua warga negara.
- Kommune mendapatkan limpahan tugas yang lebih besar dari
sebelumnya, diantaranya dalam bidang pembangunan infrastruktur
dan aktivitas penyejahteraan masyarakat.
- Kebutuhan akan pembiayaan semakin besar.
- Kommune menetapkan banyak jenis pajak baru sehingga negara
(pusat) berinisiatif mengatur standar penetapan dan besaran pajak.
- Adanya kebijakan subsidi dari pemerintah pusat terhadap keuangan
pemerintah lokal.
Otonomi Model III : - Inisiatif Kommune dan pertumbuhan aktivitasnya terus
Stabilisasi welfare berkembang.
kommune (1920-1939) - Terjadi krisis ekonomi pada tahun 1920an, angka pengangguran
meningkat dan pendapatan kommune menurun drastis sehingga
akhirnya pada tahun 1927 mengalami kebangkrutan. Hal ini
memberi peluang negara melakukan intervensi terhadap kommune.
- Negara melakukan intervensi terhadap kommune terutama dalam
pengaturan kegiatan ekonomi, langkah-langkah untuk mengatasi

7
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

krisis, dan penyetaraan jenis pajak.


Model Integrasi I : - Pasca perang Dunia I, aktivitas kommune terus mengalami
Intervensi (1945-1963) peningkatan secara moderat.
- Kommune sebagai aktor utama dalam penyediaan pelayanan
publik.
- Prinsip desentralisasi dijadikan landasan relasi antara pemerintah
pusat dan kommune, meskipun intervensi negara sangat kuat
termasuk dalam pembuatan perundangan kommune.
- Meskipun dalam intevensi negara, kommune mampu lebih mandiri
terutama dalam hal subsidi.
- Meningkatnya pertumbuhan ekonomi menjadi faktor pendorong
meningkatnya pendapatan kommune.
- Negara melakukan penataan ulang pembagian kommune.
Periode Integrasi II : - Berlangsung reformasi kommune secara komprehensif :
konsolidasi dan peningkatan kewenangan dalam penyediaan layanan publik secara
pembangunan (1963- lebih baik dan pelaksanaan program pembangunan masyarakat
lebih efektif.
1978)
- Intervensi negara terhadap daerah berkurang.
- Daerah semakin mandiri dalam hal keuangan.
- Terjadi penggabungan kommune.
- Fylkeskommune (propinsi) sebagai level pemerintahan sendiri.
Model Integrasi III - Aktivitas kommune semakin berkembang.
(1978-1990an) - Besarnya kewenangan kommune melebihi kemampuan
ekonominya sehingga mengalami permasalahan pembiayaan.
- Untuk mengatasi persoalan pembiayaan digunakan prinsip
tanggungjawab keuangan : pemerintah lokal (kommune dan fylke)
yang ingin memperluas kewenangannya menjadi penanggungjawab
utama dalam pembiayaan.
- Koomune memiliki ruang partisipasi luas dalam perumusan UU
yang akan digunakan bersama.
- Secara bertahap kommune mendapatkan kewenangan legal untuk
merumuskan kewenangannya dalam pelayanan publik.
- Demokrasi lokal semakin menguat seiring dengan menguatnya
manajemen kommune.
Sumber : Diringkas dari Abdul Gafar Karim (Ed.) 2003 : 368-372

Tabel 2.2. Tiga Kelompok Kewenangan Kommune


Kategori Kewenangan Jenis Kewenangan
Kewenangan penuh kommune - Pemadam kebakaran
- Pendidikan pra sekolah
- Pendidikan dasar
- Pelayanan kesehatan primer
- Taman kanak-kanak
- Panti jompo
- Perumahan
- Pemurnian air
- Penanganan sampah
- Perpustakaan
- Listrik
- Penyediaan air
Kewenangan bersama fylke - Pendidikan orang dewasa
- Teater, konser

8
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

- Museum
- Event olahraga
- Jalan*)
- Lalu-lintas bersama*)
- Perencanaan fisik*)
- Pengembangan bisnis*)
Kewenangan bersama negara - Konservasi Lingkungan
Sumber : Abdul Gafar Karim (Edt.),2003:374
Keterangan : *) Kewenangan ini juga dijalankan bersama pemerintah pusat.

Dari kasus Norwegia yang merupakan salah satu di antara banyak negara
maju dengan sistem pemerintahan daerah yang mapan dapat dipetik beberapa
pelajaran :
a. Di antara hirarkhi pemerintahan yang terdiri dari regjering (pemerintah
pusat), fylke (propinsi), dan kommune (kabupaten/kota), kommune
berperan sebagai agen pemerintah pusat sekaligus representasi entitas
politik lokal.
b. Kommune – dalam bentuknya yang sekarang – merupakan hasil evolusi
dari bentuk kesatuan lokal yang pernah ada sejak lebih dari seribu tahun
silam.
c. Relasi antara pemerintah pusat dan kommune di Norwegia sekarang
merupakan konsistensi atas komitmen dan kerjasama antar keduanya
dalam memegang doktrin welfare state.
d. Keberhasilan Norwegia dalam ber-otonomi didukung oleh faktor tingginya
tingkat kematangan berpolitik dan berdemokrasi masyarakatnya.

2.3. Pengalaman Indonesia Dalam Berotonomi


2.3.1. Politik desentralisasi Indonesia dalam sejarah
Perkembangan politik desentralisasi di Indonesia dari tahun 1945 sampai
dengan sekarang secara ringkas dapat diamati pada tabel 2.3. Dari tabel terlihat
ada beberapa keajegan dalam politik desentralisasi sampai dengan tumbangnya
Orde Baru. Pertama, sistem pemerintahan hierarkis, dimana daerah otonom yang
lebih tinggi berhak memberikan pengawasan terhadap daerah yang lebih rendah
dalam seluruh aspek pemerintahan. Kedua, tidak ada perbedaan yang dikotomis
antara daerah otonom (sebagai penerapan asas desentralisasi) dengan wilayah

9
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

administratif (sebagai penerapan asas dekonsentrasi) sehingga sebuah wilayah


pemerintahan mempunyai dua kedudukan sekaligus. Ketiga, konsep otonomi
terutama yang digariskan oleh UU No. 5/1974 adalah konsep otonomi
“pemberian” negara sehingga penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan oleh
daerah otonom menunggu pelimpahan wewenang dari pemerintah atasannya.
Keempat, yang disebut sebagai pemerintah daerah adalah DPRD dan Kepala
Daerah. Hal ini tidak jarang menjadi kendala psikologis bagi DPRD dalam
melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kinerja eksekutif.

10
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

Tabel 2.3. sejarah Pemerintahan Daerah RI


Periode Undang-undang Nama Wilayah administrasi dan Posisi Kepala Daerah, DPRD, Pengaturan Karakter
daerah otonom Pemerintah Pusat Demokrasi di Otonomi
tingkat lokal
Perjuangan UU No. 1/1945 - Wilayah administrasi popinsi, Kepala Daerah dipilih oleh dan Dibentuk KNID Otonomi luas
kemerdekaan kota. memimpin KND (BPRD) dan Badan
(1945-1949) : - Daerah otonom : karesidenan, Eksekutif.
Demokrasi kota kabupaten (kecuali untuk
Surakarta dan Yogyakarta)
UU. No. 22/1948 - Wilayah administrasi dihapus. Kepala daerah diangkat oleh Pemerintahan
- Daerah otonom : propinsi (dati I), pemerintah pusat dari calon yang kolegial (DPRD-
kabupaten/kota besar (dati II), diajukan DPRD, memimpin DPD dan DPD)
desa, kota kecil, negeri, marga bertanggungjawab kepada DPRD.
(dati III). Dalam hal ini DPD-pun dibentuk oleh
- Pengecualian daerah istimewa DPRD
Pasca UU. No. 1/1957 Sama dengan UU No. 22/1948 Kepala daerah dipilih langsung oleh Pemerintahan Otonomi luas
kemerdekaan DPRD, dan disahkan oleh pusat. kolegial
(1950-1959) : Kepala daerah dan DPD menjalankan
Demokrasi kebijakan yang dibuat DPRD.
Demokrasi Penpres No. Daerah tingkat I dan II Kepala daerah diangkat pusat, dari Otonomi
terpimpin (1959- 6/1959, calon usulan DPRD, menjadi ketua terbatas
1965) : Penpres No. 5/1960 DPRD dan bersama-sama merupakan
Otoritarian pemerintah daerah, dibantu Badan
Pekerja Harian-yang dibentuk oleh
kepala daerah atas usul DPRD-dan
sekretariat.
Demokrasi UU No. 18/1965 - Dati I : Propinsi/kotaraya Kepala daerah diangkat pusat, dari Pemerintahan Otonomi
terpimpin (1959- - Dati II : kabupaten/kotamadya calon usulan DPRD, namun tidak kolegial (kepala terbatas
1965) : - Dati III : kecamtan/kotapraja merangkap sebagai ketua DPRD dan daerah dan
Otoritarian - Daerah istimewa akan dihapus. dibantu oleh seorang wakil kepala DPRD)
daerah dan BPH boleh menjadi anggota
parpol.
Orde Baru (1965- UU No. 5/1974 - Propinsi/Dati I Kepala wilayah/daerah adalah aparat Pemerintahan Sentralisasi

11
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

1998) - Kabupaten/Dati II pusat, diangkat oleh pusat atas calon kolegial


- Keduanya bersifat atas-bawah. Di usulan DPRD, dibantu sekretarian dan
bawahnya ada kecamatan dan dinas
desa, yang juga mempunyai
hubungan hierarkis.
Pasca Orde Baru UU No. 22/1999, Daerah otonom propinsi dan Kepala daerah dan wakilnya dipilih Chek and Otonomi luas
(1998-sekarang) : UU No. 23/1999 kabupaten/kota oleh DPRD. DPRD mempunyai fungsi balances antara
Demokrasi kontrol terhadap eksekutif, bersama kepala daerah dan
eksekutif mempunyai fungsi legislasi, DPRD
dan mempunyai kewenangan besar di
daerah. pusat dapat membatalkan
keputusan daerah.
Sumber : Wibawa, 2001: hlm 167-168

12
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

2.3.2. Politik desentralisasi pasca Orde Baru


a. Kewenangan pemerintah daerah dan relasi kabupaten – propinsi – negara.
Kewenangan pemerintahan terkesan lebih banyak berada di tingkat
kabupaten/kota daripada di tingkat propinsi maupun negara.
b. Kekuasaan DPR Kabupaten/Kota. DPR Kabupaten/kota mempunyai
kewenangan yang lebih luas dibandingkan masa sebelumnya.
c. Kepegawaian dan organisasi. Untuk merespon pelimpahan wewenang yang
sangat banyak dari pemerintah pusat, tidak sedikit pemerintah kabupaten/kota
yang berusaha meningkatkan profesionalisme para pegawainya, tetapi di sisi
lain tidak sedikit kabupaten/kota yang justru melakukan sebaliknya sehingga
menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan di kalangan birokrasi.
d. Keuangan. Sejak diberlakukan UU No. 22 da 25/ 1999, sebagian propinsi dan
kabupaten memiliki sumber penerimaan keuangan yang lebih banyak.
e. Kualitas pelayanan publik. Banyak kabuapten/kota yang berusaha
meningkatkan kualitas pelayanan dengan mengembangkan unit pelayanan
terpadu atau mendelegasikan pada kecamatan sehingga proses perijinan lebih
cepat dan mudah. Tetapi pada umumnya kualitas pelayanan publik belum
bertambah baik secara signifikan.
f. Partisipasi warga. Di banyak tempat telah dibentuk forum-forum pertemuan
antara elite politik/birokrasi dengan warga, namun belum secara keseluruhan.

2.3.3. Revisi ata UU No. 22 dan 25/ 1999 menjadi UU No. 32 dan 33/ 2004
a. Kewenangan pemerintah daerah dan relasi kabupaten – propinsi – negara.
Undang-undang baru menegaskan kewenangan propinsi dan kabupaten/kota
dan kembalinya hubungan hierarkhi antara propinsi dan kabupaten/kota.
b. Kekuasaan DPR Kabupaten/Kota. UU No. 32/2004 mencoba mengembalikan
hubungan kerja eksekutif dan legislatif menjadi setara dan bersifat kemitraan,
sehingga terkesan peran DPRD dikebiri.
c. Kepegawaian dan organisasi. Pegawai dikelola secara unified maupun
separated, sementara organisasi, dilakukan pengendalian secara berjenjang.
d. Keuangan. Dengan UU baru pengawasan keuangan secara berjenjang menjadi
lebih preventif.

13
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

e. Partisipasi warga. Jalur partisipasi warga menjadi lebih panjang, tetapi


diimbangi dengan memberikan hak kepada warga untuk memilih bupati dan
gubernur secara langsung, dari yang sebelumnya dilakukan oleh wakil
mereka DPRD.

Dengan demikian, secara umum dapatlah dinilai bahwa sebagian besar


ketentuan dalam UU No. 32/2004 merupakan reaksi keras terhadap UU No.
22/1999.

3. GOOD GOVERNANCE
3.1. Konsep dan Isu
Menjelang berlangsungnya reformasi politik di Indonesia atau sekitar
tahun 1996, beberapa lembaga internasional seperti UNDP dan World Bank
memperkenalkan terminologi baru yang disebut sebagai good governance. Kata
ini merujuk pada pengertian bahwa kekuasaan tidak lagi semata-mata dimiliki
atau menjadi urusan pemerintah, tetapi secara bersama-sama dengan institusi lain,
yaitu LSM, perusahaan swasta maupun warga.
Meskipun perspektif governance mengimplikasikan terjadinya
pengurangan peran pemerintah tetapi peran pemerintah sebagai institusi tidak bisa
ditinggalkan begitu saja. Ada enam prinsip dalam good governance, yaitu :
a. Dalam kolaborasi yang dibangun, negara tetap bermain sebagai figur kunci
namun tidak mendominasi, serta memiliki kapasitas mengkoordinasi aktor-
aktor pada institusi-institusi semi dan non-pemerintah untuk mencapai tujuan-
tujuan publik.
b. Kekuasaan yang dimiliki negara harus ditransformasikan, dari yang semula
dipahami sebagai “kekuasaan atas” menjadi “kekuasaan untuk”
menyelenggarakan kepentingan, memenuhi kebutuhan, dan menyelesaikan
masalah publik.
c. Negara, NGO, swasta, dan masyarakat lokal merupakan aktor-aktor yang
memiliki posisi dan peran yang saling menyeimbangkan-untuk tidak
menyebut setara.

14
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

d. Negara harus mampu mendesain ulang struktur dan kultur organisasinya agar
siap dan mampu menjadi katalisator bagi institusi lainnya untuk menjalin
sebuah kemitraan yang kokoh, otonom, dan dinamis.
e. Negara harus melibatkan semua pilar masyarakat dalam proses kebijakan
mulai dari formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan, serta
penyelenggaraan layanan publik.
f. Negara harus mampu meningkatkan kualitas responsivitas, adaptasi, dan
akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan kepentingan, pemenuhan
kebutuhan, dan penyelesaian masalah publik.

Dari berbagai prinsip di atas dapat disimpulkan bahwa sistem administrasi


good governance haruslah melibatkan banyak pelaku, jaringan, dan institusi di
luar pemerintah untuk mengelola masalah dan kebutuhan publik. Dengan
demikian, dalam penyelesaian masalah dan kepentingan publik selalu melibatkan
multi-stakeholders dari berbagai lembaga yang terkait dengan masalah dan
kepentingan publik itu.

3.2. Pengalaman Negara Lain : Perlunya Penataan “Perangkat Keras”


Setiap negara menjalani masa transisi –dari sistem otoriter menuju sistem
demokratis dan dari sentralistis ke desentralistis dengan rentang waktu yang
berbeda-beda. Filipina melalui fase transisi dengan berat dan menjalaninya hanya
dalam waktu sekitar lima tahun (1986-1991) setelah sang diktator Marcos –yang
telah berkuasa selama 20 tahun- berhasil ditumbangkan. Sementara di Portugal,
setelah Revolusi Bunga 1974 pemerintahnya berhasil menata ulang perangkat
kerasnya pada tahun 1983-1984.
Perangkat keras yang ditata pada masa transisi di kedua negara tersebut
adalah menyiapkan peluang demokratisasi dan menutup peluang otorotarian.

3.3. Pengalaman Indonesia


Di kabupaten ataupun propinsi dapat didentifikasi beberapa corak
pemerintahan seperti : pertama, pola pemerintahan serba negara, yaitu dalam
pengertian government telah memberi makna tentang negara yang serba mengatur,
dan sebagai agen tunggal pembangunan. Kedua, saat ini kita mewarisi suatu kultur

15
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

pemerintahan yang berorientasi pada kekuasaan, bukan pelayana. Ketiga, korupsi


yang dulunya terbatas dan tertutup kini makin meluas pada semua level
pemerintahan dan bersifat terbuka. Keempat, otonomisasi daerah ditafsirkan
sebagai kemerdekaan daerah sehingga daerah-isme menjadi subur kembali setelah
tumbuh secara sembunyi-sembunyi pada masa pemerintahan sentralistik.
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa perwujudan good local
governance di Indonesia masih sangat lemah.

4. MEWUJUDKAN GOOD LOCAL GOVERNANCE DI INDONESIA


4.1. Otonomi Sebagai Peluang?
Pada negara-negara yang relatif mapan kehidupan demokrasinya
diterapkan otonomisasi yang luas bagi pemerintah lokal (negara bagian, propinsi,
teritori) untuk mengelola kebutuhan dan kepentingannya sendiri, sementara
pemerintah pusat hanya mengurusi yang bersifat vital dalam rangka menjaga
keutuhan negara. Dari sini tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa demokratisasi
dan otonomisasi berpengaruh liniear terhadap terwujudnya penyelenggaraan
pemerintahan yang baik (good governance) dan meningkatnya kualitas
kesejahteraan rakyat.

4.2. Langkah-langkah Menerapkan Good Local Governance


Langkah terdekat yang dapat dilakukan adalah membenahi permasalahan
dan menyembuhkan penyakit yang di idapnya, seperti melakukan reformasi
birokrasi dengan memperbaiki komponen-komponen yang rusak di dalam sistem
birokrasi.
Terdapat tiga elemen di dalam tubuh birokrasi yang harus disentuh, yaitu
organisasi, manajemen, dan personil. Karena itu berbagai program pendidikan dan
pelatihan perlu ditata kembali untuk disesuaikan dengan kebutuhan nyata.

16
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

BAB 3 PELAYANAN YANG AKUNTABEL DAN BEBAS DARI KKN


Oleh : Wahyudi Kumorotomo

1. TANGGUNG JAWAB BIROKRAT DALAM PELAYANAN PUBLIK


Pelayanan publik dapat menyangkut bidang pendidikan, kesehatan,
transportasi, perumahan, kesejahteraan sosial, gizi, listrik, kebutuhan pangan
pokok, dan masih banyak lagi. Begitu luas ruang lingkup pelayanan publik
sehingga intervensi birokrasi absah di dalamnya. Terkait dengan itu, tuntutan-
tuntutan terhadap para birokrat seringkali muncul sehubungan dengan kurangnya
perhatian para aparatur birokrasi pemerintah dalam proses pelayanan publik
tersebut.
Dari banyak contoh di lapangan, seringkali terlihat aparatur birokrasi yang
melayani kepentingan publik masih belum menyadari fungsinya sebagai pelayan
masyarakat sehingga menyebabkan buruknya tata kerja dalam birokrasi pelayanan
publik. Sebuah penelitian sejak lama telah menunjukkan bahwa kecendrungan
untuk merujuk pada prosedur dan kurangnya kreativitas merupakan ciri umum
pegawai negeri di Indonesia. Dengan demikian, untuk menciptakan good
governance yang salah satunya ditunjukkan dengan sistem pelayanan birokrasi
pemerintah yang akuntabel, kesadaran diantara para pegawai pemerintah
mengenai pentingnya mengubah citra pelayanan publik sangat diperlukan.
Akuntabilitas (accountability) adalah suatu derajat yang menunjukkan
besarnya tanggungjawab aparat atas kebijakan maupun proses pelayanan publik
yang dilaksanakan pemerintah. Dalam hal ini, ada dua bentuk, yaitu akuntabilitas
eksplisit dan implisit. Akuntabilitas eksplisit (answerability) adalah
pertanggungjawaban seorang pejabat atau pegawai pemerintah manakala dia
diharuskan untuk menjawab atau menanggung konsekuensi dari cara-cara yang
mereka gunakan dalam melaksanakan tugas-tugas kedinasan. Sedangkan
akuntabilitas implisit berarti bahwa setiap pejabat atau pegawai pemerintah secara
implisit bertanggungjawab atas setiap kebijakan, tindakan atau proses pelayanan
publik yang dilaksanakan. Termasuk tanggungjawab implisit yang harus dipikul
ialah menghindari penyakit-penyakit birokrasi yang senantiasa dikeluhkan
masyarakat saat ini, yaitu KKN.

17
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

2. PATOLOGI BIROKRASI
Dari segi pengertiannya, berbagai fenomena yang terkandung dalam istilah
korupsi memang telah berkembang sedemikian rupa sehingga hampir setiap
negara mengembangkan istilah dan terminologi sendiri sesuai dengan konteks
yang ada. Korupsi berasal dari bahasa Latin com-rumpere, yang artinya
penyimpangan dari kesucian (profanity), tindakan tak bermoral, kebejatan,
kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran, atau kecurangan.
Di Indonesia, istilah KKN terdiri dari tiga unsur. Unsur korupsi merujuk
pada tindakan penggelapan sumberdaya negara yang dilakukan oleh pejabat
pemerintah (manipulasi). Unsur kolusi (collusion) merujuk kepada fenomena
kerjasama terselubung antara pejabat pemerintah atau tokoh politik dengan pelaku
bisnis swasta, dengan memanfaatkan sumberdaya publik untuk kepentingan
pribadi atau kelompok. Sedangkan unsur nepotisme adalah usaha-usaha yang
disengaja oleh pejabat dengan memanfaatkan kedudukan dan jabatannya untuk
menguntungkan dirinya, keluarga ataupun kawan dengan cara yang tidak adil atau
melanggar hukum.
Mengutip pendapat dari Robert C. Brooks (1910:46) dan menambahnya
dengan beberapa kategori, Syed Hussein Alatas menunjukkan tujuh kategori
korupsi, yaitu korupsi transaktif, korupsi yang memeras, korupsi investif, korupsi
perkerabatan atau nepotisme, korupsi defensif, korupsi otogenik, dan korupsi
dukungan.
Dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik, ada dua jenis korupsi
yang dilakukan oleh para birokrat, yaitu korupsi manipulasi dan korupsi transaksi
suap.
Beberapa persoalan yang menyebabkan korupsi masih merebak di
Indonesia antara lain, :
a. Model birokrasi yang bersifat patrimonial,
b. Penegakkan hukum yang belum tegas,
c. Masih rendahnya tingkat pendapatan pegawai pemerintah, dan
d. Rendahnya kualitas moral yang dianut oleh masyarakat.

3. STRATEGI UNTUK MENINGKATKAN AKUNTABILITAS

18
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

Sebab-sebab yang membuat akuntabilitas serta kinerja instansi publik pada


masih rendah, yaitu :
a. Sistem kultur atau budaya yang sudah tertanam selama puluhan tahun,
bahkan akar permasalahannya dapat ditemukan sejak sistem pemerintahan
kolonial Belanda.
b. Lebarnya kesenjangan antara rumusan dan implementasi kebijakan.
c. Ketidakjelasan antara kekuasaan politik dan kekuasaan administratif atau
manajerial.
Mengingat berbagai macam persoalan yang dapat mengakibatkan
rendahnya akuntabilitas pejabat dalam penyelenggaraan pelayanan publik maka
dirumuskan beberapa strategi pokok, yaitu :
1) Mengikis budaya paternalistik,
2) Menegakkan kriteria efektivitas dan efisiensi,
3) Merampingkan struktur dan memperkaya fungsi,
4) Sistem penggajian berdasarkan kinerja (merit system),
5) Mengakomodasi kritik dari publik (media, LSM, masyarakat umum),
6) Memupuk semangat kerjasama dan mengutamakan sinergi,
7) Membudayakan delegasi kewenangan dan diskresi yang
bertanggungjawab, dan
8) Orientasi kepada pelayanan pengguna jasa.
Untuk melaksanakan berbagai strategi baru dalam peningkatan
akuntabilitas, dukungan penuh diperlukan bukan hanya dari pucuk pimpinan,
melainkan dari seluruh strata organisasi pemerintah.

4. STRATEGI UNTUK MENGURANGI PRAKTIK KKN


Ada tiga hal yang secara umum dapat dilakukan untuk menangkal
berjangkitnya korupsi, yaitu :
a. Cara sistemik-struktural, yaitu mendayagunakan segenap suprastruktur
maupun infrastruktur politik dan pada saat yang sama membenahi
birokrasi sehingga lubang-lubang yang dapat dimasuki oleh tindakan-
tindakan korup dapat ditutup.
b. Cara abolisionistik, yaitu menumpas atau memberantas.

19
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

c. Cara moralistik, yaitu dengan melakukan pembinaan mental dan moral


manusia, ceramah, atau penyuluhan di bidang keagamaan, etika, dan
hukum.
Menurut Klitgaard et al, secara umum pola yang menjadi penyebab
merebaknya korupsi dapat diungkapkan dengan rumus berikut :
C=M+D–A
Dimana : C = corruption
M = monopoly of power
D = discretion by officials
A = accountability
Dari rumus tersebut dapat dirumuskan strategi yang baik untuk
mengendalikan korupsi atau KKN, yaitu monopoli kewenangan seorang pejabat
harus dibatasi, diskresi harus dibatasi atau setidaknya diawasi, dan pada saat yang
sama akuntabilitas birokrasi publik harus dipelihara.
Beberapa strategi dalam memerangi KKN, yaitu :
1) Menyeleksi pelaksana, dengan cara : menyingkirkan orang-orang yang tidak
jujur, mengoptimalkan sistem penerimaan SDM, dan memanfaatkan jaminan
atas kejujuran dari luar.
2) Menerapkan sistem peemberian imbalan dan sanksi (reward and punishment)
bagi pelaksana
3) Mengumpulkan informasi mengenai langkah yang dilaksanakan dan hasil
yang diperoleh, melalui cara : memperbaiki sistem audit dan sistem informasi
serta memperkuat tim pelaksana bidang informasi.
4) Menyusun kembali hubungan antara majikan-pelaksana-warga untuk
mengurangi kekuasaan monopoli, membatasi wewenang dan meningkatkan
akuntabilitas.
5) Menaikkan nilai “kerugian moral” tindakan korupsi, dengan cara :
mengadakan program pelatihan, pendidikan, dan teladan; menyusun kode etik
yang cukup mudah dipahami dan dapat dijadikan rujukan pada kasus-kasus
yang praktis; dan mengubah budaya organisasi.

20
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

BAB 4 PELAYANAN PUBLIK YANG EFISIEN, RESPONSIF, DAN


NON- PARTISAN
Oleh : AG. Subarsono

1. PENGANTAR
Proses demokratisasi yang sedang berlangsung di Indonesia memberikan
pelajaran yang berharga bagi birokrasi di satu pihak, dan warga negara (citizen) di
pihak lain. Wajah dan sosok birokrasi sudah sepantasnya mengalami perubahan
dari birokrasi yang otoriter ke arah yang lebih demokratis, responsif, transparan,
dan non-partisan. Tulisan ini bertujuan membahas strategi meningkatkan kualitas
pelayanan publik terutama dari aspek efisiensi, responsifitas, dan non-partisan.

2. KONSEP DAN DINAMIKA PELAYANAN PUBLIK


Pelayanan publik merupakan produk birokrasi publik yang diterima oleh
warga pengguna maupun masyarakat secara luas. Karena itu, pelayanan publik
dapat didefinisikan sebagai serangkaian aktifitas yang dilakukan oleh birokrasi
publik untuk memenuhi kebutuhan warga pengguna.
Menurut perspektif teoritik, telah terjadi pergeseran paradigma pelayanan
publik sebagaimana dijelaskan pada tabel berikut :
Tabel 4.1. Pergeseran Paradigma Model Pelayanan Publik
Old Public New Public
Aspek New Public Service
Administration Administration
Dasar teoritis Teori politk Teori ekonomi Teori demokrasi
Konsep kepentingan Kepentingan publik Kepentingan publik Kepentingan publik
publik adalah sesuatu yang mewakili agregasi dari adalah hasil dari dialog
didefinisikan secara kepentingan individu tentang berbagai nilai
politis dan yang
tercantum dalam
aturan
Kepada siapa Klien (clients) dan Pelanggan Warga negara (citizers)
birokrasi publik harus pemilih (Customers)
bertanggungjawab?
Peran pemerintah Pengayuh (Rowing) Mengarahkan Menegosiasikan dan
(Steering) mengelaborasi berbagai
kepentingan warga
negara dan kelompok
komunitas
Akuntabilitas Menurut hirarki Kehendak pasar yang Multi aspek :
administratif merupakan hasil Akuntabel pada hukum,
keinginan pelanggan nilai komunitas, norma
politik, standar
profesional,

21
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

kepentingan warga
negara
Sumber : Diadopsi dari Denhardt dan Denhardt, 2000 : 28-29

Dalam pandangan Albrecht dab Zemke (1990:41), kualitas pelayanan


publik merupakan hasil interaksi dari berbagai aspek, yaitu sistem pelayanan,
SDM, pemberi layanan, strategi, dan pelanggan (customers), seperti yang terlihat
pada gambar berikut :
Gambar 4.1. Segitiga Pelayanan Publik

3. KUALITAS PELAYANAN PUBLIK YANG IDEAL


Untuk menilai kualitas pelayanan publik, terdapat sejumlah indikator yang
dapat digunakan. Levine (1990:188), menjelaskan bahwa di dalam negara
demokrasi setidaknya harus memenuhi tiga indikator, yaitu :
1) Responsiveness atau responsivitas, adalah daya tanggap penyedia layanan
terhadap harapan, keinginan, aspirasi maupun tuntutan pengguna layanan.
2) Responsibility atau responsibilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan
seberapa jauh proses pemberian pelayanan publik itu dilakukan sesuai dengan

22
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan administrasi dan organisasi yang


benar dan telah ditetapkan.
3) Accountability atau akuntabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan
seberapa besar proses penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan kepentingan
stakeholders dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat.
Sementara itu, Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1996) memasukkan
dimensi waktu, yaitu menggunakan ukuran jangka pendek, jangka menengah dan
jangka panjang dalam melihat kinerja organisasi publik. Dalam hal ini kinerja
pelayanan publik terdiri dari prosuksi, mutu, efisiensi, fleksibilitas, dan kepuasan
untuk ukuran jangka pendek; persaingan dan pengembangan untuk jangka
menengah; serta kelangsungan hidup.
Sedangkan Zeithaml, Parusaraman dan Berry (1990:26) menggunakan
ukuran tangibles, reliability, responsiveness, assurance, and empathy.
Menurut KepMenPan 81/1995, kinerja organisasi publik dalam
memberikan pelayanan publik dapat dilihat dari indikator seperti kesederhanaan,
kejelasan dan kepastian, keamanan, keterbukaan, efisien, ekonomis, keadilan yang
merata, dan ketepatan waktu.
Berdasrkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa untuk mengukur kualitas
pelayanan publik harus dilihat dari aspek proses pelayanan maupun dari out-put
atau hasil pelayanan.

4. KONSEP PELAYANAN PUBLIK YANG EFISIEN, RESPONSIF, DAN


NON-PARTISAN
4.1. Pelayanan Publik Yang Efisien
Efisiensi dapat didefinisikan sebagai perbandingan yang terbaik antara
input da output. Dengan demikian, apabila suatu output dapat dcapai dengan input
yang minimal maka dinilai efisien. Input dalam pelayanan publik dapat berupa
uang, tenaga, waktu, dan materi lain yang digunakan untuk menghasilkan atau
mencapai output. Artinya, harga pelayanan publik harus dapat terjangkau oleh
kemampuan ekonomi masyarakat. Dengan menggunakan teknologi modern maka
proses pelayanan publik dapat dilakukan dengan cepat dan hemat tenaga.

23
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

4.2. Pelayanan Publik Yang Responsif


Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengidentifikasi
kebutuhan masyarakat, menyusun prioritas kebutuhan, dan mengembangkannya
ke dalam berbagai program pelayanan. Untuk meningkatkan responsivitas
organisasi terhadap kebutuhan pelanggan, terdapat dua strategi yang dapat
digunakan, yaitu menerapkan strategi KYC (know your customers) dan
menerapkan model citizen’s charter.

4.2.1. Mendekatkan diri dengan pelanggan melalui strategi KYC


Dalam dunia perbankan sekarang dikembangkan konsep know your
customers (KYC), yaitu sebuah prinsip kehati-hatian sebelum melakukan
transaksi. Dalam konteks penyelenggaraan pelayanan publik, prinsip KYC dapat
digunakan birokrasi publik untuk mengenali kebutuhan dan kepentingan
pelanggan sebelum memutuskan jenis pelayanan yang akan diberikan. Beberapa
metode yang dapat digunakan untuk mengetahu keinginan dan kebutuhan para
pelanggan adalah survai, wawancara, dan observasi.

4.2.2. Model Citizen Charter


Agar birokrasi lebih responsif terhadap pelanggan atau pengguna layanan,
Osborne dan Plastrik (1997) mengenalkan ide Citizen’s charter (kontrak
pelayanan), yaitu standar pelayanan yang ditetapkan berdasarkan aspirasi dari
pelanggan, dan birokrasi berjanji untuk memenuhinya. Dalam hal ini, kebutuhan
dan kepentingan pengguna layanan harus menjadi pertimbangan utama dalam
proses pelayanan. Citizen’s charter pada dasarnya merupakan kontrak sosial
antara birokrasi dan pelanggan untuk menjamin kualitas pelayanan publik.

4.3. Pelayanan Publik Yang Non-Partisan


Pelayanan publik non-partisan adalah sistem pelayanan yang
memperlakukan semua pengguna layanan secara adil tanpa membeda-bedakan
berdasarkan status sosial ekonomi, kesukuan, etnik, agama, kepartaian, dan
sebagainya.
Pelayanan publik non-partisan dapat dilihat dari indikator-indikator :
1) Adanya akses yang sama bagi semua orang untuk mendapatkan pelayanan.

24
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

2) Pemberian pelayanan publik kepada pelanggan berdasarkan nomor urut.


3) Tidak diberlakukannya dispensasi pelayanan kepada pelanggan.
Larangan bagi aparat birokrasi untuk menjadi anggota dan atau pengurus
partai politik seperti yang tercantum dalam pasal 3 ayat 3 UU No. 43/1999 adalah
sebuah awal dari iklim menuju pelayanan publik uang non-partisan dan adil.

5. DESKRIPSI PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA : ASPEK


EFISIENSI, RESPONSIVITAS DAN NON-PARTISAN
5.1. Efisiensi Pelayanan Publik
Berdasarkan data emprik untuk aspek efisiensi, setidaknya terdapat dua
praktik pelayanan publik yang terjadi di Indonesia, yaitu : 1) dimata para investor,
Indonesia selama ini dikenal sangat buruk karena mempunyai jalur birokrasi yang
berbelit-belit dalam pemberian ijin membuka usaha. 2) dalam proses
penyelenggaraan pelayanan publik seringkali dijumpai adanya biaya tambahan
yang harus dikeluarkan oleh warga pengguna untuk diberikan kepada petugas agar
dapat memperoleh produk atau jasa pelayanan.

5.2. Responsivitas Pelayanan Publik


Responsivitas birokrasi penyelenggara layanan terhadap tuntutan dan
kebutuhan masyarakat yang selalu berkembang masih rendah. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan PSKK UGM ditemukan bahwa tidak semua keluhan
dari warga pengguna ditindaklanjuti oleh birokrasi.

5.3. Pelayan Publik yang Non-Partisan


Dalam era otonomi daerah saat ini, seringkali kita menjumpai peraturan
daerah yang bersifat diskriminatif dan tidak memberikan kesamaan di antara
pelaku ekonomi.
Proses tender proyek di berbagai daerah seringkali dirasakan tidak adil dan
tidak transparan oleh sebagian pengusaha karena yang mendapatkan proyek
biasanya adalah mereka yang mempunyai hubungan dekat dengan penguasa.

25
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

6. MENUJU PELAYANAN PUBLIK YANG EFISIEN, RESPONSIF, DAN


NON-PARTISAN
Berdasarkan pengalaman empiris, kualitas pelayanan publik di Indonesia
pada umumnya masih kurang baik. Karena itu diperlukan rekomendasi konkret
dalam rangka memperbaiki kualitas pelayanan publik, yang dikhususkan pada
aspek efisiensi, responsivitas dan non-partisan.

6.1. Perbaikan Aspek Efisiensi


Untuk memperbaiki aspek efisiensi terdapat tiga strategi yang dapat
dilakukan, yaitu deregulasi, pengurangan biaya, dan adopsi teknologi.
Ada beberapa tindakan konkrit yang dapat dilakukan dalam rangka
menjalankan strategi deregulasi, yaitu :
1) Menyederhanakan formulir untuk semua jenis pelayanan publik.
2) Mengumumkan secara terbuka semua persyaratan dan prosedur pelayanan
agar para warga pengguna dapat mengakses dan mengetahui secara mudah
semua informasi yang diperlukan untuk memperoleh pelayanan.
3) Mengoptimalkan penggunaan teknologi internet sehingga tidak sekedar
menampilkan data atau informasi saja, tetapi melengkapi dengan fasilitas
download untuk mendapatkan semua jenis formulir pelayanan publik.
4) Mengirimkan hasil dari suatu pelayanan publik ke alamat pengguna layanan
dengan penggunaan biaya APBD.
Strategi kedua untuk meningkatkan efisiensi adalah mengurangi biaya
pelayanan publik yang ditanggung warga dengan cara membebaskan biaya
pelayanan yang bersifat mendasar atau yang dibutuhkan oleh setiap orang.
Sedangkan strategi ketiga yang dapat diterapkan untuk memperbaiki
efisiensi adalah dengan mengadopsi teknologi. Inti dari strategi ini adalah
mengoptimalkan penggunaan teknologi komputer dan informasi.

6.2. Perbaikan Aspek Responsivitas


Strategi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan responsivitas
pelayanan publik adalah melalui pelembagaan citizen’s charter atau kontrak
pelayanan. Citizen charte mendorong penyedia dan pengguna layanan serta

26
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

stakeholders lainnya secara bersama-sama menyepakati jenis, prosedur, waktu


serta biaya pelayanan.

6.3. Perbaikan Aspek Non-Partisan


Untuk menyelenggarakan layanan publik secara non-partisan atau tidak
diskriminatif, terdapat tiga prinsip yang harus dipegang. Pertama adalah asas
kesamaan hukum, kedua adalah netralitas birokrasi di dalam politik, yaitu
melarang semua PNS menjadi anggota dan atau pengurus partai politik, dan ketiga
adalah menerapkan kode etik birokrasi.

27
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

BAB 5 PELAYANAN PUBLIK PARTISIPATIF


Oleh : Erwan Agus Purwanto

1. PENGANTAR
Tidak dapat dipungkiri, baik di negara maju maupun di negara-negara
yang sedang berkembang, birokrasi pemerintah masih mendominasi hampir
seluruh aspek kehidupan masyarakat. Namun seiring dengan bergulirnya waktu,
dominasi birokrasi pemerintah mulai dipertanyakan. Munculnya buku
“Reinventing Government” karya Osborne dan Gaebler (1992) barangkali dapat
dianggap sebagai momentum terpenting di penghujung abad ke dua puluh yang
mempertanyakan dominasi birokrasi.
Di antara berbagai gagasan yang dimaksudkan untuk meredifinisi peran
pemerintah dalam kehidupan masyarakat tersebut, gagasan tentang perlunya
pergeseran paradigmatis dari government ke governance merupakan gagasan yang
memperoleh sambutan sangat luas dan menjadi wacana menarik untuk
didiskusikan di kalangan para akademisi, praktisi, dan aktivis sosial di berbagai
organisasi NGO. Pergeseran paradigmatis dari government ke governance pada
hakekatnya mengisyaratkan tentang perlunya pemerintah melibatkan berbagai
stakeholders di luar pemerintah dalam proses pembuatan berbagai kebijaka
(policy making) yang menyangkut kepentingan publik. Mengenai hal ini, UNDP
(1997) menyebutkan bahwa “Good Governance adalah suatu kesepakatan
menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah,
masyarakat madani dan sektor swasta”.
Harus diakui bahwa kemunculan gagasan tentang perlunya pergeseran
paradigma tersebut memang seiring dengan gerakan demokratisasi yang melanda
seluruh dunia. Untuk itu, sebagaimana yang terjadi secara global, birokrasi di
Indonesia juga harus mereformasi dirinya agar mampu memenuhi tuntutan
masyarakat yang semakin sadar akan hak dan kewajibanya sebagai warga negara.
Maka dengan demikian pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah
daerah di Indonesia harus mengikuti prinsip-prinsip good governance. Salah satu
prinsip good governance adalah perlunya melibatkan masyarakat (partisipasi
publik) dlam penyelenggaraan pelayanan publik. Meskipun dalam pelaksanaannya

28
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

tidak mudah karena selama ini birokrasi pemerintah daerah telah


menginternalisasi nilai-nilai lama seperti paternalisme, mental priyayi, mental
pangreh dan lain sebagainya yang jauh dari prinsip good governance.

2. PELAYANAN PUBLIK
Laing (2003), menyebutkan ada beberapa karakteristik untuk
mendefinisikan apa yang dikategorikan pelayanan publik, yaitu :
1) Dalam kegiatan penyediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat,
pelayanan publik dicirikan oleh adanya pertimbangan untuk mencapai tujuan
politik yang lebih besar dibanding dengan upaya mewujudkan tujuan
ekonomis.
2) Pelayanan publik juga dicirikan oleh adanya asumsi bahwa pengguna layanan
lebih dilihat posisinya sebagai warga negara daripada hanya dilihat sebagai
pengguna layanan (customer) semata.
3) Pelayanan publik juga dicirikan oleh karakter pengguna layanan (customer)
yang kompleks dan multi dimensional.
Spektrum pelayanan publik mulai dari yang manfaat sosialnya lebih
menonjol sampai dengan yang manfaat ekonomisnya lebih dominan digambarkan
oleh Laing (2003:438) berikut ini :
Gambar 5.1. Spektrum Pelayanan Publik
Manfaat Sosial Dominan Manfaat Individu Dominan
Pertahanan Penganggulan Pelayanan
dan Pelayanan Perumahan
gan kejahatan Pendidikan transportasi
Keamanan dan peradilan kesehatan rakyat
umum
Sumber : Laing (2003:438)
Gambar 5.2. Klasifikasi Pelayanan Publik Berdasarkan Tingkat Kebutuhan
Masyarakat dan Kontribusi yang Dikeluarkan untuk Memperoleh Layanan
Tingkat kebutuhan Tingkat kontribusi (pembayaran) yang harus dikeluarkan
publik terhadap pengguna untuk memperoleh layanan
layanan Rendah Tinggi
Tinggi Penanggulangan kejahatan  Perumahan rakyat
Pelayanan untuk hal-hal yang bersifat  Transportasi umum
darurat, misalnya pemadam kebakaran dan  Telepon
penanganan bencana alam.  Listrik
Pelayanan pembuatan KTP, Akte kelahiran
dan sejenisnya.
Rendah Pelayanan yang diberikan oleh pemerintah  Pembayaran pajak
pusat. dan retribusi
Sumber : Dimodifikasi dari Van der Hart (1991:36)

29
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

3. PARTISIPASI PUBLIK DAN DEMOKRASI


Dalam literatur ilmu politik, partisipasi publik merupakan salah satu
indikator penting atau ciri-ciri eksistensi sistem pemerintahan yang demokratis.
Tipologi partisipasi berikut ini dapat membantu untuk membedakan antara
partisipasi yang sesungguhnya dengan partisipasi yang semu.
Tabel 5.3. Tipologi Partisipasi Publik Berdasarkan Jenis Partisipasi dan Tingkat
Keterwakilan
Jenis Tingkat Keterwakilan
Partisipasi Sempit Luas
Palsu Keputusan : kurang transparan, Keputusan : dibuat oleh pejabat publik.
dibuat oleh pejabat publik.
Partisipasi : simbolik, meskipun
Partisipasi : simbolik, hanya melibatkan berbagai kelompok yang ada
segelintir orang yang terlibat. dalam masyarakat.
Parsial Keputusan : dibuat oleh Keputusan : dibuat oleh pejabat
sekelompok elit pemerintah dengan pemerintah dengan pengaruh yang sangat
mempertimbangkan masukan dari sedikit dari partisipasi masyarakat.
kelompok kepentingan yang
terbatas.
Partisipasi : melibatkan berbagai
Partisipasi : hanya melibatkan kelompok kepentingan namun peluang
kelompok kepentingan yang berpartisipasi disediakan dalam sesi yang
memiliki pengaruh, sedangkan sangat terbatas.
sebagian besar masyarakat tidak
mempunyai kesempatan sama
sekali.
Penuh Keputusan : dibuat oleh pejabat Keputusan : dibuat oleh pejabat
pemerintah dan kelompok pemerintah dengan pengaruh yang sangat
kepentingan yang terpilih. kuat dari partisipasi masyarakat.

Partisipasi : masyarakat luas terlibat


Partisipasi : melibatkan kelompok diskusi yang cukup intensif dengan
kepentingan yang mempunyai pemerintah.
pengaruh, namun sebagian besar
warga negara tetap kurang memiliki
kesempatan.
Sumber : Monyhan (2003:170)

Gambar 5.2. Delapan Tangga Partisipasi Publik


1. Kontrol oleh warga negara Masyarakat punya
2. Pendelegasian wewenang kewenangan penuh/ Partisipasi
3. Kemitraan penuh
4. Konsesi Partisipasi simbolik
5. Konsultasi
6. Pemberian informasi
7. Terapi Tidak ada partisipasi
8. Manipulasi

30
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

4. PARTISIPASI DALAM PELAYANAN PUBLIK


Dalam hal pelayanan publik, prinsip partisipasi dalam upaya mewujudkan
good governance ini juga sejalan dengan pandangan baru yang berkembang di
dalam upaya meningkatkan pelayanan publik dengan cara melihat masyarakat
tidak hanya sebagai pelanggan (customer) melainkan sebagai warga negara yang
memiliki negara dan sekaligus pemerintahan yang ada di dalamnya (owner).
Partisipasi publik dalam proses penyediaan pelayanan publik diharapkan
dapat mewujudkan tiga elemen penting yang harus dicapai oleh pemerintah dalam
hal penyediaan pelayanan publik yaitu demokrasi, partisipasi, dan akuntabilitas.
Berikut ini diuraikan strategi atau langkah-langkah yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan partisipasi pelayanan publik sebagai upaya meningkatkan
kualitas pelayanan.
a. Mengidentifikasi peran masyarakat
Secara ringkas identifikasi peran masyarakat yang dibuat oleh Wray et al
(2000) adalah sebagai berikut :
Peran Masyarakat Bagaimana Peran Dijalankan
Masyarakat/ warga negara sebagai Masyarakat adalah pengguna utama dan klien
customer pelayanan publik sehingga mereka harus diperlakukan
sebagai customer yang berharga oleh pemerintah
sebagai penyedia pelayanan publik.
Masyarakat/ warga negara sebagai Masyarakat adalah pemilik negara, melalui pajak yang
pemilik atau pemegang saham. mereka bayarkan maka mereka telah melakukan
investasi terhadap pelayanan publik yang disediakan
oleh pemerintah. Masyarakat adalah pemegang saham
karena mereka memberikan suara secara langsung
untuk memilih gubernur/bupati/walikota yang harus
menjalankan pemerintahan.
Masyarakat/ warga negara sebagai Masyarakat menentukan visi pemerintah, masa depan
pembuat isu kebijakan. yang ingin diwujudkan serta strategi untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut. Masyarakat adalah penasehat
pemerintah ketika mereka akan membuat kebijakan
menyangkut kepentingan publik.
Masyarakat/ warga negara bersama- Masyarakat dan institusi-institusi yang dibentuk oleh
sama dengan pemerintah sebagai masyarakat bekerja sama dengan pemerintah menjadi
produsen pelayanan publik. penyedia pelayanan publik, baik yang dibayar maupun
yang dilakukan secara sukarela.
Masyarakat/ warga negara sebagai Sebagai pengguna utama pelayanan publik yang
evaluator kualitas pelayanan publik disediakan oleh pemerintah, masyarakat memegang
yang dilakukan oleh pemerintah. posisi yang paling sentral untuk menilai kualitas
pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah.
Masyarakat/ warga negara sebagai Pengukuran kinerja dilakukan oleh masyarakat pada
pemantau pelayanan publik yang level akar rumput yang lebih bersifat independen
independen. dengan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat
secara umum.

31
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

Sumber : Diringkas dari Wray et all (2000)

b. Mengidentifikasi metode atau instrumen yang dapat digunakan untuk


meningkatkan partisipasi
Urban Institute dan USAID menyebutkan instrumen partisipasi publik
dalam pelayanan publik sebagai berikut :
1) Penerbitan newsletter secara reguler, misalnya mingguan, dua mingguan, atau
bulanan yang berisi aktivitas-aktivitas penting menyangkut masalah
pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
2) Pertemuan warga dengan pemerintah daerah atau DPRD yang dilakukan
secara berkala.
3) Menggunakan media massa untuk penyampaian informasi.
4) Membuka saluran keritik dan saran untuk pemerintah daerah.
5) Menerbitkan brosur-brosur pemberitahuan kepada masyarakat tentang
pemerintah daerah.
6) Talk show atau wawancara melalui TV atau radio lokal.
7) Public hearning dengan berbagai topik.
8) Membentuk lembaga perwakilan yang menampung aspirasi.
9) Mengadakan festival daerah.
10) Membentuk tim khusus di pemerintah daerah.
11) Membuat forum tanya jawab.
12) Melakukan survei aspirasi masyarakat.
13) Membentuk program-program kemitraan.
14) Membuat Citizen dan LSM Charter.
15) Membuat mekanisme untuk menyediakan dana bagi program-program yang
muncul atas inisiatif masyarakat.

c. Mencocokkan instrumen partisipasi yang sesuai dengan peran


masyarakat dalam proses penyelenggaraan layanan publik
Rumusan instrumen partisipasi menurut peran yang dimainkan oleh
masyarakat adalah sebagai berikut :

32
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

Gambar 5.3.
Peran Bagaimana peran dijalankan Instrumen partisipasi
Masyarakat
Masyarakat/ Masyarakat adalah pengguna  Citizen charter
warga negara utama dan klien pelayanan publik  LSM charter
sebagai sehingga mereka harus  Membentuk forum
customer diperlakukan sebagai customer konsumen
yang berharga oleh pemerintah  Hotline service
sebagai penyedia pelayanan  Brosur Frequently asked
publik. Question
 Menerbitkan newletter
Masyarakat/ Masyarakat adalah pemilik  Menyediakan tempat bagi
warga negara negara, melalui pajak yang perwakilan masyarakat
sebagai mereka bayarkan maka mereka untuk menjadi dewan
pemilik atau telah melakukan investasi pengawas lembaga
pemegang terhadap pelayanan publik yang pelayanan masyarakat.
saham. disediakan oleh pemerintah.  Membentuk Ombudsman,
Masyarakat adalah pemegang Ombudsneighb our
saham karena mereka
memberikan suara secara
langsung untuk memilih
gubernur/bupati/walikota yang
harus menjalankan pemerintahan.
Masyarakat/ Masyarakat menentukan visi  Membentuk dewan
warga negara pemerintah, masa depan yang penasehat pemerintah
sebagai ingin diwujudkan serta strategi daerah.
pembuat isu untuk mencapai tujuan-tujuan  Penjaringan aspirasi
kebijakan. tersebut. Masyarakat adalah masyarakat
penasehat pemerintah ketika  Public hearing.
mereka akan membuat kebijakan
menyangkut kepentingan publik.
Masyarakat/ Masyarakat dan institusi-institusi  Membentuk perkumpulan
warga negara yang dibentuk oleh masyarakat masyarakat untuk
bersama-sama bekerja sama dengan pemerintah menyelenggarakan layanan
dengan menjadi penyedia pelayanan sosial dalam bidang
pemerintah publik, baik yang dibayar maupun pendidikan, kesehatan, dan
sebagai yang dilakukan secara sukarela. lain sebagainya.
produsen  Membuat program
pelayanan kemitraan.
publik.
Masyarakat/ Sebagai pengguna utama  Melakukan survai
warga negara pelayanan publik yang disediakan konsumen.
sebagai oleh pemerintah, masyarakat  Membentuk Watchdog
evaluator memegang posisi yang paling untuk berbagai jenis
kualitas sentral untuk menilai kualitas pelayanan publik.
pelayanan pelayanan publik yang disediakan
publik yang oleh pemerintah.
dilakukan
oleh
pemerintah.
Masyarakat/ Pengukuran kinerja dilakukan  Mendorong munculnya
warga negara oleh masyarakat pada level akar relawan untuk mengawasi
sebagai rumput yang lebih bersifat dampak kegiatan pelayanan
pemantau independen dengan berorientasi publik pada masyarakat
pelayanan pada kesejahteraan masyarakat misalnya timbulnya polusi

33
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

publik yang secara umum. udara, air, tanah, dsb.


independen.
Sumber : Dimodifikasi dari Wray et all (2000)

d. Memilih instrumen yang akan digunakan


Sebelum memilih instrumen yang sesuai, Wilcox (1994:8) mengingatkan
beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih instrumen, yaitu :
1) bahwa ada tingkat partisipasi yang berbeda untuk situasi yang berbeda.
2) meskipun masyarakat “satu”, namun memiliki kepentingan yang berbeda-
beda.
3) mempertimbangkan jenis partisipasi yang tepat karena partisipasi
membutuhkan waktu.
4) masyarakat sudah saling memahami, memilik kepercayaan, dan mengetahui
manfaat partisipasi.
5) pengambil kebijakan harus menyadari posisinya.

e. Mengimplementasikan strategi yang dipilih


Langkah-langkah dalam mengimplementasikan strategi yang dipilih,
yaitu :
1) mempersiapkan SDM profesional terlatih yang diberi tugas dan
tanggungjawab untuk menjalankan strategi yang sudah dipilih.
2) membentuk kepanitiaan yang terdiri dari para staf profesional terlatih sebagai
unit utama (core unit).
3) mempersiapkan anggaran keuangan yang digunakan untuk menunjang
kegiatan secara berkelanjutan.
4) mempersiapkan teknologi yang dapat mendukung implementasi kegiatan
partisipasi.
5) melakukan evaluasi secara terus menerus terhadap pelaksanaan kegiatan
partisipasi.

34
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

5. BERBAGAI CONTOH KEBERHASILAN PENGGUNAAN


PENDEKATAN PARTISIPASI DALAM MEMECAHKAN MASALAH
PELAYANAN PUBLIK DI DAERAH
Beberapa daerah yang telah berhasil menerapkan prinsip partisipasi
masyarakat dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik sebagai berikut :
1) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dengan Citizen charter di Kota Blitar.
2) Penyelenggaraan pelayanan administrasi kependudukan dan catatan sipil di
Kota Bogor.
3) Penyelenggaraan pengelolaan sampah di Kota Mataram.
4) Penyelesaian masalah ketidakteraturan terminal di Kota Bogor.

6. HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PARTISIPASI


Hambatan-hambatan yang menghambat program partisipasi muncul dari
pihak pemerintah sendiri dan dari pihak masyarakat.
Dari pihak pemerintah, kendala yang muncul berupa :
1) Lemahnya komitmen politik para pengambil keputusan di daerah.
2) Lemahnya dukungan SDM yang dapat diandalkan.
3) Rendahnya kemampuan lembaga legislatif dalam mengartikulasikan
kepentingan masyarakat.
4) Lemahnya dukungan anggaran.
Sedangkan dari pihak masyarakat, kendalanya adalah :
1) Masih kuatnya budaya paternalisme,
2) Apatisme, dan
3) Tidak adanya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

7. PELAYANAN TIDAK PARTISIPATIF


7.1. Penerapan Sistem Partisipasi Secara Tidak Partisipatif, contohnya adalah
penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
7.2. Penyelenggaraan Layanan Publik secara Tidak Partisipatif, contohnya
pada kasus pembangunan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST)
Bojong di Bogor Jawa Barat.

35
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

BAB 6 TRANSPARANSI PELAYANAN PUBLIK


Oleh : Agus Dwiyanto

1. Mengapa Transparansi dalam Pemerintahan Penting?


Transparansi merupakan konsep yang sangat penting karena praktik good
governance mensyaratkannya harus ada dalam proses pemerintahan secara
keseluruhan. Transparansi yang dimaksud antara lain : mengenai proses kebijakan
publik, alokasi anggaran pelaksanaan kebijakan, serta pemantauan dan evaluasi
terhadap pelaksanaan kegiatan.
Pada negara-negara maju yang demokratis, biasanya pemerintah menjamin
akses warganya untuk mengetahui berbagai informasi mengenai kegiatan
pemerintahan. Akan tetapi di Indonesia, hak warga untuk mengetahui apa yang
terjadi dalam suatu birokrasi publik seringkali masih sangat terbatas. Contohnya
pada hasil penelitian mengenai proyek pengelolaan hutan di Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Tengah yang dilakukan oleh PT. Aya Yayang Indonesia dan PT.
Dwima Jaya Utama.
Transparansi memiliki keterkaitan yang erat dengan akuntabilitas publik.
Tanpa transparansi maka tidak akan ada akuntabilitas publik. Selain itu
transparansi juga memiliki kontribusi yang sangat penting terhadap upaya
penegakan hukum dan pemberantasan praktik KKN. Dalam upaya pemberantasan
KKN, peran transparansi menjadi lebih besar lagi. Semakin rendah transparansi
semakin besar peluang untuk melakukan praktik KKN.
Karena keterkaitannya dengan ciri-ciri good governance lainnya sangat
kuat dan kontribusinya terhadap perwujudan good governance sangat besar, maka
transparansi pemerintahan menjadi satu aspek yang strategis untuk mewujudkan
good governance di Indonesia. Karena itu, upaya sungguh-sungguh untuk
meningkatkan transparansi menjadi suatu keniscayaan kalau kita ingin
membangun Indonesia baru yang lebih baik.

2. Transparansi Dalam Pelayanan Publik


Transparansi tidak hanya penting dalam penyelenggaraan pemerintahan
tetapi juga dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Akan tetapi pada

36
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

kenyataannya transparansi belum terlaksana dengan baik dalam pelayanan publik.


Bagi para pengguna penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia diibaratkan
seperti hutan belantara yang sangat sulit diketahui seluk beluknya. Masih sering
terjadi ketidak seimbangan hak dan kewajiban antara masyarakat selaku pengguna
dengan pemerintah selaku penyelenggara pelayanan.

3. Konsep Transparansi Pelayanan


Konsep transparansi menunjuk pada suatu keadaan dimana segala aspek
dari proses penyelenggaraan pelayanan bersifat terbuka dan dapat diketahui
dengan mudah oleh para pengguna dan stakeholders yang membutuhkan.
Ada tiga indikator yang dapat digunakan untuk mengukur transparansi
pelayanan publik, yaitu :
a. Mengukur tingkat keterbukaan proses penyelenggaraan pelayanan publik.
Termasuk di dalamnya adalah persyaratan, biaya dan waktu serta
mekanisme atau prosedur pelayanan yang harus dipenuhi.
b. Seberapa mudah peraturan dan prosedur pelayanan dapat dipahami oleh
pengguna dan stakeholders yang lain.
c. Kemudahan untuk memperoleh informasi mengenai berbagai aspek
penyelenggaraan pelayanan publik.

4. Masalah Transparansi di Indonesia


Tuntutan untuk membangun transparansi dalam pemerintahan di Indonesia
semakin menguat, sejalan dengan keinginan masyarakat untuk mengembangkan
praktik good governance. Transparansi telah menjadi kata kunci dalam hampir
setiap perdebatan mengenai praktik governance. Seolah-olah tidak ada praktik
governance yang baik tanpa adanya transparansi dalam pemerintahan.
Beberapa permasalahan yang terkait transparansi di Indonesia dapat kita
temukan seperti dalam hal : pembuatan kebijakan publik, dan penyelenggaraan
pelayanan publik. Dalam pembuatan kebijakan publik misalnya, masyarakat
sebagai stakeholders merasa tidak dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan.
Sementara dalam penyelenggaraan pelayanan, persoalan informasi menjadi
persoalan utama.

37
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

Rendahnya transparansi di dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan seperti


yang dijelaskan sebelumnya sebenarnya menunjukkan benang merah dari
berbagai persoalan mendasar dalam praktik pemerintahan di Indonesia. Praktik
pemerintahan di Indonesia selama ini masih menjadi domain bagi elit birokrasi
dan politik. Mereka lupa bahwa kekuasaan yang mereka miliki sebenarnya
pemberian warga untuk melayani dan mengabdi kepada warga.

5. Teladan dalam Pengembangan Transparansi


Salah satu cara yang lazim digunakan diberbagai negara maju dan di
Indonesia dalam pengembangan transparansi adalah dengan menggunakan
client’s charter atau citizen charter. Dalam charter yang dikembangkan ini,
prosedur pelayanan, waktu pelayanan, biaya pelayanan, serta hak dan kewajiban
penyelenggara dan pengguna pelayanan diatur dengan jelas. Isi dari charter
tersebut disebarluaskan sehingga diketahui oleh publik. Penyelenggaraan
pelayanan publik harus dilakukan berdasarkan charter tersebut.
Dengan adanya charter tersebut maka transparansi pelayanan dapat
diwujudkan. Juga dapat mempermudah warga untuk berpartisipasi dalam
penyelenggaraan pelayanan, termasuk mengontrol praktek pelayanan.
Contoh inovasi transparansi praktik pelayanan publik yang dilakukan
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM adalah dengan
mengembangkan Kontrak Pelayanan.

6. Kebijakan untuk Memperbaiki Transparansi Pelayanan


Pemerintah dapat melakukan banyak cara untuk memperbaiki transparansi
pelayanan, antara lain :
a. Memberdayakan masyarakat terutama para pengguna layanan agar
memiliki kebutuhan terhadap informasi pelayanan.
b. Mendorong semua instansi publik untuk mendokumentasikan segala
kegiatan dan mengelolanya dalam sebuah publikasi yang mudah dipahami
dan diakses oleh warga.
c. Meminta lembaga perwakilan rakyat untuk mentranskrip semua
pembicaraan pada sidang-sidang terbuka, dan hasilnya dapat diakses oleh
siapapun yang membutuhkan.

38
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

d. Mendorong partisipasi warga dalam penyelenggaraan pelayanan publik.


Upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong keterlibatan warga dalam
penyelenggaraan pelayanan adalah dengan mengenalkan kontrak
pelayanan. Selain itu dapat juga dilakukan upaya lain seperti pelembagaan
Pakta Integritas.
e. Peninjauan kembali terhadap semua kebijakan dan peraturan perundangan
mengenai penyelenggaraan pelayanan publik untuk dikaji kesesuaiannya
dengan prinsip-prinsip transparansi.

39
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

BAB 7 PENGAMATAN UNTUK MENILAI KINERJA PELAYANAN


PUBLIK
Oleh : Agus Dwiyanto

1. Pengantar
Dalam sebuah penelitian terdapat beberapa metode yang dapat digunakan
dalam pengumpulan data seperti : kuisioner atau wawancara, dan pengamatan.
Keduanya tidak perlu dipertentangkan karena masing-masing memiliki
keunggulan dan kelemahan masing-masing. Karena itu, keduanya dapat
digunakan secara bersama-sama dan komplementer untuk memetakan masalah
yang terjadi dalam birokrasi pelayanan publik.
Melalui pengamatan, peneliti dapat memperoleh first hand information
yang sangat berguna dalam mengembangkan kerangka pikir induktif. Terkait
pelayanan publik, melalui pengamatan peneliti akan memperoleh informasi yang
lengkap mengenai kondisi faktual yang terjadi pada birokrasi pelayanan, baik
menyangkut perilaku sehari-hari pejabat birokrasi dan petugas pelayanan, sarana
dan prasarana yang ada pada birokrasi pelayanan, maupun penilaian pengguna dan
stakeholders mengenai berbagai hal yang terkait dengan praktik penyelenggaraan
layanan publik.

2. Mengapa Pengamatan?
Terdapat banyak pertimbangan mengapa peneliti dan konsultan perlu
melakukan pengamatan langsung pada birokrasi pelayanan untuk mendiagnosis
kinerja birokrasi pelayanan publik. Pertimbangan-pertimbangan tersebut, antara
lain :
 Peneliti dan konsultan ingin memperoleh informasi yang berasal langsung
dari tangan pertama dan faktual mengenai kenyataan yang terjadi pada
birokrasi pelayanan.
 Melalui pengamatan langsung, memungkinkan peneliti dan konsultan
mengetahui realitas objektif dari fenomena yang ingin mereka ketahui
termasuk konteks yang melatarinya.

40
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

 Pengamatan langsung membuka wawasan peneliti dan konsultan mengenai


apa yang terjadi dan apa saja yang perlu diklarifikasi melalui survei dan
wawancara mendalam dengan narasumber dan responden.

3. Keterbatasan dari Pengamatan


Sebagaimana metode pengumpulan data yang lain, pengamatan juga
memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan ini perlu diketahui agar tidak
melakukan kesalahan dalam memberikan interpretasi terhadap temuan yang
diperoleh.
Keterbatasan-keterbatasan itu antara lain :
 Kesulitan mengontrol pengaruh variabel lain dalam kasus atau fenomena
yang diamati.
 Kesulitan dalam melakukan kuantifikasi terhadap informasi yang diperoleh.
 Memiliki kasus yang terbatas.
 Sering mengalami masalah perizinan dalam melakukan penelitian.

4. Apa Yang Perlu Diamati?


Terdapat beberapa indikator mengenai kinerja yang informasinya dapat
diperoleh melalui pengamatan, antara lain :
 Sikap dan perilaku penyelenggara layanan untuk menjelaskan pemahamannya
mengenai budaya pelayanan yang berkembang dalam birokrasi pelayanan
publik.
 Desain dan tata letak kantor.
 Fasilitas pelayanan yang disediakan.

5. Bagaimana Pengamatan Dilakukan?


Pada dasarnya pengamatan yang dilakukan tergantung pada pertimbangan
yang digunakan peneliti. Ada beberapa pertanyaan mendasar yang terkait dengan
pengamatan dan menentukan bagaimana peneliti melakukan pengamatan, seperti
apakah pengamatan akan dilakukan secara terbuka atau tertutup? Seberapa jelas
dan rinci tujuan pengamatan disampaikan kepada subjek yang akan diamati? Dan

41
Mewujudkan Good governance melalui pelayanan publik

seberapa jauh peneliti perlu terlibat di dalam kegiatan subjek yang sedang
diamati?
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas muncul banyak
kontroversi di kalangan peneliti. Terdapat banyak pendapat yang pro dan kontra
mengenai pendekatan yang digunakan. Akan tetapi dalam menghadapi kontroversi
itu, sebaiknya peneliti tidak menanggapi secara dikotomis, tetapi menyesuaikan
dengan konteks yang dihadapi.
Selain menentukan pilihan pendekatan, ada beberapa hal yang perlu
dilakukan oleh seorang peneliti ketika melakukan pengamatan untuk menilai
kinerja birokrasi pelayanan, yaitu :
1) Membangun kepercayaan (trust)
2) Mendeskripsikan, menginterpretasi, dan mengecek ulang hasil pengamatan.
3) Memisahkan secara tegas antara deskripsi, interpretasi dan penilaian hasil
pengamatan.
4) Memberikan umpan balik (feedback).

42

Anda mungkin juga menyukai