Anda di halaman 1dari 18

TUGAS RESUME BUKU

OLEH :
NURLELA SADU

ADMINISTRASI PUBLIK
PASCASARJANA
UNIVERSITAS TADULAKO
2022
BAB 6
GOOD GOVERNANCE: PARADIGMA BARU ADMINISTRASI PUBLIK

Keinginan mewujudkan good govermance dalam kehidupan pemerintah telah lama


dinyatakan oleh para pejabat pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Pertanyaannya
adalah bagaimana cara mewujudkan good governance didalam pemerintah kita? Apakah good
governance bukan hanya menjadi mitos yang sulalu dinyatakan oleh pejabat pemerintah setiap
berbicara di berbagai forum ? Bagaimana menjadikan good governance sebagai realita? Strategi
apa yang sebaiknya dilakukan untuk mewujudkan good governance ? pertanyaan-pertanyaan ini
akan dijawab dalam tulisan yang ringkas ini.
Dengan banyaknya perspektif yang berbeda dalam menjelaskan konsep good governance
maka tidak mengherankan jika kemudia terdapat banyak pemahaman yang berbeda-beda
mengenai good governance. Namun secara umum ada beberapa karakteristik dan nilai yang
melekat dalam praktik good governance. Pertama, praktik good governance harus memberi
ruang kepada actor lembaga nonpemerintah untuk berperan serta secara optimal dalam kegiatan
pemerintahan sehingga memungkinkan adanya sinergi masyarakat sipil dan mekanisme pasar.
Kedua, dalam praktik good governance tersandung nilai-nilai yang membuat pemerintah dapat
lebih efektif, efisien, berkeadilan, dan daya tanggap menjadi nilai yang penting. Ketiga praktik
good governance adalah praktik pemerintah yang bersih dan bebas dari praktik KKN serta
berorientasi pada kepentigan publik. Karena itu, praktik pemerintah dinilai baik jika mampu
mewujudkan transparansi, penegakan hukum, dan akuntabilitas publik.

A. Peran Strategis Pelayanan Publik

Terkait dengan peran strategis pelayanan publik adalah mengapa reformasi pelayanan public
menjadi titik strategis untuk membangun praktik good governance. Ada beberapa pertimbangan
mengapa pelayanan public menjadi titik strategis untuk mengawali perkembangan good
governance di Indonesia. Pertama, pelayanan public selama ini menjadi ranah di mana Negara
yang diwakili oleh pemerintah berinteraksi dengan lembaga-lembaga non pemerintah. Dengan
menjadikan praktik pelayanan public sebagai pintu masuk dalam membangun good governance,
diharapkan toleransi terhadap praktik bad governance, yang semakin luas dapat dihentikan.
Kedua, berbagai aspek good governance dapat diartikulasikan secara relatif lebih mudah dalam
ranah pelayanan public. Aspek kelembagaan yang selama ini sering dijadikan rujukan dalam
menilai praktik governance dapat mudah dinilai dalam praktik penyelenggaraan pelayanan
publik. Ketiga, pelayanan public melibatkan kepentingan semua unsur governance. Pemerintah
sebegai representrasi Negara, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar memiliki kepentingan dan
keterlibatan yang tinggi dalam ranah ini. Pelayanan public memiliki high stake dan menjadi
pertaruhan yang penting bagi ketiga unsur governance tersebut karena baik dan buruknya praktik
pelayanan publik berpengaruh terhadap ketiganya.

B. Apa yang Perlu direformasi

Untuk menegembangkan pelayanan publik yang mencirikan praktik good governance


tentu ada banyak aspek yang perlu dibenahi dalam birokrasi publik. Bad governance yang
selama ini terjadi dalam birokrasi publik merupakan hasil sebuah proses interaksi yang kompleks
dari akumulasi masalah yang telah lama melekat dalam kehidupan birokrasi publik. Perubahan
mindset menjadi keniscayaan jika kita ingin mewujudkan prilaku baru dari birokrasi publik dan
melahirkan sosok pejabat birokrasi publik yang berbeda dengan yang sekarang ini.
Pengembangan budaya baru yang sesuai dengan visi dan misi birokrasi sebagai agen
pelayanan public tentu harus dilakukan. Orientasi pada kekuasaan yang sangat kuat selama ini
telah menggusur orientasi pada pelayanan. Budaya dan etika pelayanan amat sulit berkembang
dalam birokrasi karena pejabat birokrasi lebih menempatkan diri sebagai penguasa daripada
menjadi pelayan warga dan masyarakat.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta kemudahan transportasi dibanyak
provinsi dan kabupaten dan kota di Indonesia membuat kebutuhan untuk memiliki struktur
pemerintah yang menggurita sebagaimana sekarang ini tidak lagi memilki justifikasi yang jelas.
Dengan memilih satu dari dua pilihan, pertama merampingkan struktur birokrasi pada tingkat
pemerintah kota. Hal ini dapat dilakukan dengan mendelegasikan kewenangan pemerintah kota
sebanyak mungkin kepada kecamatan. Kedua, memusatkan pelayanan publik di tingkat
kebupaten/kota serta merampingkan satuan birokrasi pelayanan di tingkat kecamatan dan
desa/kelurahan.
C. Bagaimanakah Perubahan Birokrasi Dapat Mempercepat Terwujudnya Praktik Good
Governance

Untuk mewujudkan praktik good governance memerlukan perubahan yang menyeluruh


pada smua unsur kelembagaan yang terlibat dalam praktik good governance meliputi pemerintah
sebagai representasi Negara, pelaku pasar, dan dunia usaha serta masyarakat sipil. Ketiganya
perlu diberdayakan sehingga kesemuanya dapat berperan secara optimal dan saling melengkapi
dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan
rakyat maka peran birokrasi diperbesar agar banyak perubahan dapat dilakukan. Akibatnya,
birokrasi pemerintah menjadi lembaga yang paling dominan dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat.
Perubahan birokrasi memiliki multiprier effects yang sangat luas. Sosok dan perilaku
birokrasi yang mencerminkan nilai dan tradisi baru praktik good governance dapat mendorong
perubahan yang berarti dalam kehidupan pasar dan masyarakat sipil. Kinerja birokrasi
pemerintah yang baik dapat membuat pasar menjadi semakin kuat, efisien dan memiliki daya
saing yang tinggi.
Memberikan prioritas pada pembenahan birokrasi menjadi salah satu langkah strategis
dalam pengembangan good governance. Keberhasilan menyelesaikan masalah-masalah
mendasar dalam birokrasi pemerintah sperti inefisinei, rigiditas, dan daya tanggap yang buruk,
kuatnya budaya KKN serta akuntabilitas birokrasi yang rendah dapat menuntaskan sebagian
besar masalah yang dihadapi dalam pengembangan good governance.
Apabila berhasil memperbaiki kinerja birokrasi pemerintah diharapkan kepercayaan
masyarakat terhadap birokrasi pemerintah dapat segera diperbaiki. Dukungan masyarakat sangat
diperlukan untuk keberhasilan mewujudkan good governance karena perjuangan mewujudkan
good governance memerlukan energi yang besar dan berjangka panjang.

BAB 7
DARI GOOD GOVERNANCE KE SOUND GOVERNANCE

Dalam kemunculan good governance ditangkap oleh dunia internasional sebagai ramuan
mejarab pembangunan internasional dan telah dipercaya lembaga-lembaga donor sejak lebih dari
sepuh tahun terakhir. Kajian administrasi publik, konsepsi good governance sedikit banyak juga
telah melakukan revisi total atas istilah Administrasi Publik yang selama ini telah terlanjur
institusionalistik. Governance sudah bukan lagi secara eksklusif menu yang di suguhkan pada
Negara dan sub-sub organisasinya. Governance adalah sebuah proses berinteraksinya sebagai
elemen (dipersempit dalam tiga actor kunci, yaitu Negara, dunia usaha dan masyarakat)
utamanya dalam mengelola sector-sektor yang menjadi hak publik.

A. Hakikat Kepemerintahan yang Baik (Good Governance)

Jika dicermati secara lebih mendalam, latar belakang munculnya paradigma good
governance di beberapa belahan dunia termasuk di Indonesia, antara lain disebabkan telah terjadi
perubahan situasi politik, yakni tumbangnya rezim-rezim pemerintahan yang tidak demokratis
atau otoriter melalui gerakan reformasi yang mengubah menjadi pemerintah yang demokratis.
Hakikat good governance sebagaimana dimaksud, adalah suatu manajemen pembangunan yang
diharapkan mampu sebagai prasyarat penting bagi kokohnya bangunan Negara dan bangsa yang
berorientasi pada tercapainya tujuan dan cita-cita ideal yakni kesejahteraan masyarakat. Good
governance merupakan gabungan dua istilah “good” dan “governance”. Good bermakna sebagai
“nilai-nilai dasar” (universal) yang menjunjung tinggi kehendak rakyat yang mampu mendorong
kemandirian dan keadilan untuk sesama. Sedangkan “governance”, sebagai cara yang digunakan
oleh kekuasaan Negara dalam mengelola sumber daya ekonomi dan social untuk perkembangkan
masyarakat. Dengan demikian , “good governance”, harus dimaknai sebagai “upaya kolektif dan
sinergis diantara negara, sektor swasta dan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai
universalnya untuk menyelenggarakan pemerintah Negara yang efektif, efisien, solid,
bertanggung jawab dan berkeadilan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya”.

B. Pergeseran Paradigma dari Good Governance ke Sound Governance

Serangkaian yang merupakan indicator-indikator untuk mengukur penerapan good


governance sebagai dimaksud, ternyata belum sepenuhnya berjalan maksimal akibat terkendala
oleh sejumlah masalah. Fakta ini didukung hasil penelitian terhadap 212 negara yang
menerapkan good governance, beberapa indikator yang masih dirasakan lemah, yakni suara dan
pertanggung jawaban, stabilitas politik, dan tidak adanya tindak kekerasan termasuk terorisme,
efektivitas pemerintah, kualitas peraturan, penegakan hukum dan pengendalian korupsi
merupakan prinsip-prinsip yang harus dilakukan oleh pemerintah. Temuan ini juga sejalan
dengan hasil analisis Grindle (2007) yang mengemukakan bahwa yang sesuai bukan good
governance tetapi good enough governance. Pertimbangannya, prinsip-prinsip yang harus
diterapkan terlalu ambisius dan kurang realistis.
Proses ini telah membuat gerakan good governance di Indonesia terjebak pada upaya
yang semata-mata untuk mendelegitimasi Negara, dan membiarkan siapa pun di luar Negara
(dan yang paling kapabel adalah kekuatan ekonomi global) untuk megambil alih peran kunci
Negara. Walaupun dilabeli good governance, yang terjadi adalah ultraliberal-governance,
filosofi dasar governance yang mengedepankan nilai kesejahteraan, kerjasama, akomodasi dan
toleransi telah tergantikan oleh sedikit pelaku dominan, yang dalam konteks Indonesia paska
krisis adalah actor ekonomi global, baik yang terwujud perusahaan multinasional maupun
lembaga-lembaga donor. Atas dasar fakta dan kritik tersebut, konsepsi good governance perlu
ditinjau ulang efektivitasnya, karena ternayata bukan satu-satunya obat mujarab.

C. Sound Governance

Kritik tajam dan temuan-temuan yang menunjukan kurang berhasilnya good governance,
yang mengilhami Ali farazmand (2004) yang menggagas konsep sound governance yang
sekaligus membuka arah baru bagi pembangunan global. Konsep “soundness” digunakan untuk
menggambarkan governance dengan kualitas unggul dalam fungsi, struktur, proses, nilai,
dimensi, dan elemen yang dibutuhkan dalam governing dan administrasi publik. Konsep “sound
governance” digunakan untuk menggambarkan sistem pemerintahan yang bukan hanya jelas
secera demokratik, tanpa cacat secara ekonomi, financial, politik konstitusional, organisasi,
administratif, manejerial, dan etika, tapi juga jelas secara internasional /global dalam cara yang
independen dan mandiri
Oleh karena itu, secara konseptual seharusnya keberhasilan penerapan good governance
di berbagai Negara harus diikuti dengan pengaruh kuatnya fundamental ekonomi rakyat. Namun
kenyataannya, relasi antara kesejahteraan rakyat dengan good governance tidak sesuai harapan.
Salah satu kegagalan good governance adalah tidak memasukan arus globalisasi dalam pigura
analisisnya. Walaupun dikatakan bahwa paradigm sound governance lebih unggul dibandingkan
dengan good governance, namun dalam hal penerapannya di Indonesia perlu dikaji lebih
mendalam.

BAB 8
ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK

Salah satu aspek penting dan mendasar dalam proses reformasi administrasi public adalah
aspek etika administrasi publik. Selama ini yang dipersoalkan sebagai contoh dalam pelayanan
hanya sekedar kulit luarnya dari pelayanan publik yang meliputi antara lain prosedur,
mekanisme, tata cara pelayanan, model pelayanan, waktu, biaya pelayanan publik, dan sarana
dan prasarana fisik sampai dengan penyiapan peraturan perundangan dan peraturan
pelaksanaannya, namun hasilnya masih jauh dari harapan.
Pelayanan adalah masalah hati nurani, niat baik, keiklasan, dan factor kejiwaan lainnya.
Sehebat apa pun sarana dan prasarana fisik yang disediakan, peraturan perundangan yang
mengatur dan faktor lainnya, belum bias menjawab kebutuhan dan harapan masyarakat (public)
atau pelanggan. Moral sebagaimana telah disepakati para pakar merupakan daya dorong internal
dalam hati nurani manusia untuk mengarah kepada perbuatan-perbuatan yang baik dan
meghindari perbuatan-perbuatan buruk.

A. Definisi Etika

Sebelum membahas tentang etika, perlu diklasifikasikan perbedaan makna antara etika,
moral dan nilai. Etika, berasal dari bahasa Yunani “ethos”, artinya kebiasaan atau watak. Dalam
bahasa yunani kuno “ethikos”, berarti “timbul dari kebiasaan” adalah cabang utama filsafat yang
mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standard dan penilaian moral. Etika
mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
Adapun etika administrasi publik dalam arti luas pada dasarnya penyelenggaraan
administrasi public, yakni berkorban atas nama orang lain dalam mencapai kepentingan public.
Dalam konteks ini, administrasi public seperti policy making, desain organisasi, dan proses
manajem dimanfaatkan untuk mensukseskan pemberian pelayanan publik, di mana pemerintah
merupakan pihak provider yang diberi tanggung jawab.
Etika dalam konteks administrasi publik digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi
aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanannya kepada masyarakat. Etika birokrasi
harus menempatkan kepentingan public diatas kepentingan pribadi, kelompok, dan
organisasinya.

B. Pergeseran Paradigma Etika Administrasi Publik

Apabila dirunut secara historis, sejarah etika administrasi public atau etika pelayanan
public dapat ditelusuri dalam tulisan Denhardt yang berjudul The ethies of Public Service (1998).
Digambarkan bahwa secara historis, etika pelayanan public diawali dari karya Wayne A. R. Leys
tahun 1944, yang disebut sebagai Model I – The 1940’s. Dalam model ini, disarankan kepada
pemerintahan Amerika Serikat bagaimana menghasilkan suatu good public decision. Leys
berpendapat, “bahwa seorang administrator dianggap etis apabila ia menguji dan
mempertanyakan standar-standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan, dan tidak
mendasar keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan tradisi yang sudah ada”.
Dari ulasan ringkas pergeseran paradigm etika administrasi publik, menurut Keban
(2006), ada tiga hal pokok yang menarik perhatian, yakni (1) proses menguji dan
mempertanyakan standar etika dan asumsi secara independen; (2) isi standar etika yang
seharusnya menrefleksikan nilai-nilai dasar masyarakat dan perubahan standar tersebut baik
sebagai akibat dari penyempurnaan pemahaman terhadap nilai-nilai dasar masyarakat, maupun
sebagai akibat dari munculnya masalah-masaah baru dari waktu ke waktu; (3) konteks organisasi
dimana para administrator bekerja berdasarkan tujuan organisasi dan peranan yang dimainkan
mereka, yang dapat mempengaruhi otonomi mereka dalam bekerja.

C. Peran Etika Dalam Administrasi Publik

Beberapa pandangan yang mendukung arti pentingnya etika dalam etika administrasi
public seperti dikutip dari buku karangan Kartasasmita terbitan tahun 1977 sebagai berikut:
“Birokrasi melenceng dari keadaan yang seharusnya”. Birokrasi selalu dilihat sebagai masalah
teknis dan bukan masalah moral, sehingga timbul berbagai persoalan dalam bekerjanya birokrasi
publik. Sementara pemahaman administrasi public yang disediakan oleh birokrasi merupakan
wujud dari fungsi aparat birokrasi sebagai abdi masyarakat dan abdi Negara. Sehingga maksud
dari administrasi public tersebut demi mensejahterakan masyarakat.
Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan tersebut, aparat birokrasi harus dapat
memberikan layanan public yang lebih professional, efektif, efisien, sederhana, transparan,
terbuka, tepat waktu, responsive, adaptif, dan sekaligus dapat membangun kualitas manusia
dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif mnentukan masa
depannya sendiri.

D. Etika Aktor Administrasi Publik

Faktor utama dalam keterpurukan administrasi public khususnya dalam pelayanan public
di Indonesia adalah lemahnya etika Sumber Daya Manusia (SDM), yaitu birokrat yang bertugas
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Sudah sepantasnya administrasi publik dilakukan secara beretika agar tidak adanya
kekecewaan dalam suatu masyarakat. Etika yang sewajarnya ada kini sudah mulai luntur oleh
tindakan kurang terpuji dari pihak aparatur Negara.
Tindakan-tindakan tidak etis para aktor administrasi publik dalam memberikan pelayanan
tersebut di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Aparat belum memberikan informasi yang jelas dan benar kepada pengguna jasa,
terkadang terkesan berbelit-belit dan akhirnya para aparatur berkesempatan untuk
mendapatkan uang lebih dari tawarannya yang menguntungkan, misalkan dapat
menyelesaikan pembuatan KTP dengan cepat, namun dengan sedikit imbalan atas usaha
yang dilakukannya
2. Aparat belum menunjukan sikap ramah, sopan, dan santun pada pengguna jasa
3. Masih ada pegawai yang tidak berada pada tempat kerjanya atau mejanya kosong di saat
pengguna jasa membutuhkan pelayanan.
4. Masih ada pegawai yang mementingkan kepentingan pribadi dan terlalu tunduk dengan
apa yang diperintahkan pimpinan.
5. Aparat belum tanggap terhadap keluhan pengguna jasa pelayanan. Oleh karena itu sudah
seharusnya diterapkan pelayanan publik yang professional, pelayanan publik yang
professional.
Dalam etika administrasi public dapat dikemukakan, bahwa ada seperangkat nilai yang dapat
digunakan sebagai acuan, referensi, dan penuntut bagi birokrasi publik dalam melaksanakan
tugas dan kewenangan, yakni sebagai berikut.
1. Efisiensi
2. Membedakan milik pribadi dengan milik kantor
3. Impersonal
4. Merytal system
5. Responsible
6. Accountable
7. Responsiveness

E. Faktor Penyebab Lemahnya Etika Administrasi Publik

Dari berbagai hasil kajian, cukup banyak factor-faktor yang menjadi penyebab lemahnya
etika dalam administrasi public. Lemahnya etika administrasi public terhadap masyarakat
disebabkan oleh beberapa hasil kajian (diolah dari kajian LAN, 2008), antara lain gaji yang
rendah (56%); sikap mental aparat pemerintah (46%) kondisi ekonomi buruk pada umumnya
(32%), lemahnya pengawasan (48%) dan factor-faktor lain (13%).

F. Prinsip Etika Administrasi Publik Menurut ASPA

Adapun bentuk Etika Aministrasi Publik menurut American for Public Administration,
meyebutkan prinsip-prinsip etika administrasi public sebagai berikut.
1. Pelayanan terhadap publik harus diutamakan
2. Rakyat adalah berdaulat, dan mereka yang bekerja di dalam pelayanan publik secara
mutlak bertanggung jawab kepadanya
3. Hukum yang mengatur semua kegiatan pelayanan publik
4. Manajemen yang efisien dan efektif merupakan dasar bagi administrator publik.
5. Sistem merit dan kesempatan kerja yang sama harus didukung, diimplementasikan dan
dipromosikan
6. Mengorbankan kepentingan publik demi kepentingan pribadi tidak dibenarkan
7. Keadilan, kejujuran, keberanian, kesamaan, kepandaian, dan empati merupakan nilai-
nilai yang dijunjung tinggi dan secara aktif harus dipromosikan.
8. Keadaan moral memegang peranan penting dalam memilih alternative keputusan
9. Administrator public tidak semata-mata berusaha menghindari kesalahan, tetapi juga
berusaha mengejar atau mencari kebenaran.

G. Faktor Pendukung Etika Administrasi Publik

Adapun faktor-faktor yang pendukung proses administrasi publik yang seharusnya selalu
mendapatkan perhatian seksama, diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Faktor kesadaran para pejabat serta petugas yang berkecimpung dalam pelayanan
2. Faktor aturan yang menjadi landasan kerja pelayanan
3. Faktor organisasi yang merupakan alat serta sistem yang memungkinkan berjalannnya
mekanisme kegiatan pelayanan
4. Faktor pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum
5. Faktor keterampilan petugas
6. Faktor sarana alam pelaksanaan tugas pelayanan.

BAB 9
INOVASI ADMINISTRASI PUBLIK

A. Hakikat Inovasi

Inovasi merupakan konsep yang relatif baru dalam literatur administrasi publik. Hasil
penelitian David Mars (dalam Lee, 1970) mengungkapkan bahwa sampai tahun 1966 tidak
ditemukan publikasi dari tulisan administrasi publik yang mengulas tentang inovasi. Adapun
literatur klasik yang memuat konsep inovasi dalam konteks reformasi antara lain adalah artikel
“Innovation in Bureaucratic Institutions” tulisan Alfred Diamant yang memuat dalam jurnal
Public Administration Review (PAR) pada tahun 1967. Rumusan inovasi yang dimuat dalam
Ensiklopedia Bisnis bahwa yang dimaksud dengan inovasi adalah “The process by which an idea
or invention is translated into a good or service for which people will pay, or something that
results from this process” (proses penerjemahan ide dalam bentuk sebuah produk atau layanan
yang akan dibeli orang, atau sesuatu yang dihasilkan dari proses tersebut).
Dalam hubungannya dengan pelayanan publik, Hervorsen dan Thomas (dalam Yogi,
2012), mengemukakan enam tipologi inovasi di sector publik, yaitu sebagai berikut.
1. A new or improved service (pelayanan baru atau pelayanan yang telah diperbaiki).
2. Process Innovation (inovasi proses) misalnya perubahan dalam proses penyediaan
pelayanan atau produk
3. Administrative Innovation (inovasi administratif), misalnya penggunaan kebijakan baru
sebagai hail dari perubahan kebijakan.
4. System innovation (inovasi sistem), yakni sistem baru atau perubahan mendasar dari
sebuah sistem yang ada dengan mendirikan organiasi baru atau bentuk kerja sama dan
interaksi.
5. Conceptual innovation (inovasi konseptual), adalah perubahan dalam outlook, misalkan
manajemen terpadu, atau mobility leasing.
6. Radical change (perubahan radikal), yang dimaksud adalah pergeseran pandangan umum
atau perubahan mental dari pegawai instransi pemerintah.
Lebih lanjut, dijelaskan beberapa kategori dari inovasi, yakni sebagai berikut.
1. Incremental innovation-radical innovations. Inovasi ini berhubungan dengan tingkat
keaslian (novelty) dari inovasi itu sendiri.
2. Top down innovation-bottom up innovations. Hal ini menjelaskan siapa yang memimpin
perubahan prilaku.
3. Ned-led innovation and efficiency-led innovation, yakni proses inovasi yang diinisiasi
telah menyelesaikan permasalahan dalam rangka meningkatkan efisiensi pelayanan,
produk, dan prosedur.
Selain itu, juga perlu dicermati dalam inovasi yang telah dilakukan beberapa faktor penghambat
yang perlu diwaspadai. Karena pada kenyataannya, tidak ada inovasi berjalan mulus tanpa
hambatan atau gangguan dan bahkan penolakan. Dari pengalaman dalam praktik, faktor budaya
yang menjadi penghambat dalam menerapkan inovasi. Budaya yang menjadi penghambat adalah
budaya yang tidak menyukai resiko. Selain itu budaya takut kehilangan sesuatu yang telah
mapan juga menjadi budaya yang sudah cukup mengakar di setiap organisasi dan dalam
masyarakat.
Secara lebih khusus Dobni mengemukakan cara mengukur ada tindaknya budaya inovasi,
berdasarkan dimensi pengukuran budaya inovasi yang dibagi dalam empat factor utama sebagai
berikut.
1. Niat untuk berinovasi (Innovation intention)
2. Infrastruktur Inovasi (innovation infrastructure)
3. Pengaruh Inovasi (innovation influence)
4. Implementasi inovasi (innovation implementation)

B. Pengukuran Inovasi Publik Pelayanan Publik

Dari keempat faktor untama tersebut, oleh Dobni dikembangkan suatu konstruksi alat
ukur inovasi, yang harus dijawab dengan tujuh alternative jawaban, yakni (1) sangat tidak
mungkin, (2) tidak mungkin, (3) agak tidak mungkin, (4) antara mungkin dan tidak mungkin, (5)
agak mungkin, (6) mungkin, dan (7) mungkin sekali. Ketujuh subfaktor tersebut diperoleh
melalui analisis faktor (factor analysis) yang merupakan salah satu tehnik pengukuran dalam
ilmu psikometri.
Sakah satu instrument akademik untuk munculnya inovasi-inovasi baru dibidang
administrasi publik adalah melalui penelitian-penelitian yang dilakukan dengan serius sehingga
mampu menghasilkan hasil penelitian yang mampu memberikan solusi-solusi cerdas dalam
menyelesaikan permasalahan administrasi publik.

BAB 10
PERAN PENELITIAN ADMINISTRASI PUBLIK

Terjadi perubahan besar dalam kebijakan pemerintah pada era pemerintahan Jokowi dan
Jusuf Kala, yakni disatukannya bidang penelitian (riset dan teknologi) dengan Pendidikan tinggi
yang berada dalam satu kementrian. Penyatuan ini bermakna bahwa penelitian khususnya yang
dilakukan oleh perguruan tinggi tidak hanya dituntut penelitian di bidang administrasi,
khususnya administrasi publik merupakan salah satu fungsi yang memegang peranan sangat
penting dalam upaya untuk menyempurnakan pelaksanaan pemerintahan menuju good
governance (kepemerintahan yang baik). Perubahan konstilasi dalam kehidupan pemerintahan
menuntut perwujudan good governance dapat dilaksanakan secepat mungkin.
Hasil penelitian di bidang administrasi publik harus peka atau responsif dengan
perkembangan tuntutan perubahan zaman, sebagai akibat dari antara lain; pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan struktur social, perkembangan
aspek kehidupan lainnya, yang meliputi: ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya.

A. Peran Peneliti dan penelitian

Dalam Surat Keputusan Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:


KEP128/M.PAN/9/2004 tentang jabatan Fungsional Peneliti dan Angka Kreditnya, dinyatakan
bahwa: Peneliti adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan
hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan penelitian dan/atau
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada satuan organisasi penelitian dan
pengembangan (litbang). Tugas pokok peneliti adalah melakukan penelitian dan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara
sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman
dan pembuktian kebenaran dan ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu
pengatahuan dan teknologi.
Dinyatakan pula bahwa penelitian berorientasi pada pemecahan masalah, artinya bahwa
suatu penelitian diadakan karena ada masalah dan ada keinginan memecahkan masalah secara
ilmiah. Masalah yang akan diteliti diharapkan bersifat terstruktur dan kompleks, bukan hanya
masalah elementer. Sebagai suatu metode ilmiah, maka dalam melkukan penelitian hendaknya
sistematis, objektif, dan transparan.
Hasil pengamatan selama ini meunjukan, bahwa kelmahan yang sangat mendasar dalam
penelitian bidang administrasi publik adalah kurang berkualitas dan kurangnya pemanfaatan
hasil-hasil penelitian. Dengan demikian, anggaran penelitian yang telah dikeluarkan secara
nasional dan berjumlah cukup besar, apabila tidak disertai dengan pemanfaatan secara nyata dan
optimal, maka hal ini berarti bahwa pembiayaan tersebut pada hakikatnya adalah hanya
merupakan pemborosan yang menyebabkan kerugian negara.

B. Kendala yang Dihadapi

Memerhatikan kondisi dan permasalahan dalam pelaksanaan penelitian khususnya penelitian di


bidang administrasi publik selama ini, terdapat berbagai kendala yang di hadapi antara lain
sebagai berikut.
1. Belum tersussunnya master plan/perencanaan secara menyeluruh strategi penelitian
khususnya bidang administrasi public yang seharusnya dilihat secara nasional, jelas, dan
tegas, dalam bentuk perumusan visi, misi, tujuan, sasaran, program, dan arah kebijakan
serta lainnya, yang dapat dijadikan paying/landasan dasar penelitian secara nasional oleh
seluruh insan peneliti secara nasional, maka hal tersebut mengakibatkan timbulnya
berbagai akses negative, di dalam pelaksanaan penelitian.
2. Kurangnya koordinasi antara penyelenggaraan penelitian dengan penggunaan hasil
penelitian, kadang-kadang menghasilkan penelitian yang tidak dapat
dipublikasikan/disosialisasikan/dimanfaatkan secara optimal oleh para pengguna
penelitian, sementara para pembuat kebijakan merumuskan keputusan-keputusannya
kadang-kadang hanya didasarkan kepada personal judgement/intuisi saja, sehingga tidak
didasarkan kepada hasil penelitian sesungguhnya yang telah dilaksanakan.
3. Institusi yang berfungs sebagai Pembina penelitian, smpai saat ini dirasakan masih blum
dapat mengkoordinasikan rencana, pelaksanaan dan evaluasi penelitian secara
menyeluruh dalam skala nasional, karena pada kenyataannya sampai sekarang ,
pembinaan peneltian masih belum berfungsi sebagai mana mestinya.
4. Terbatasnya anggaran, sarana dan prasarana yang seharusnya dimanfaatkan untung
menunjang pelaksanaan dan keberhasilan penelitian dalam rangka mendapatkan hasil
penelitian yang berkualitas dan dapat dimanfaatkan secara optimal.
5. Masih dijumpai hasil penelitian yang kadang-kadang dibuat berdasarkan
permintaan/pesanan khusus dari pihak tertentu yang kurang/tidak bertanggung jawab
yang akan memanfaatkan/sebagai pengguna penelitian bersangkutan dengan maksud
untuk kepentingan perorangan /atau kelopok tertentu.
6. Belum ada atau belum berfungsinya suatu asosiasi profesi peneliti dan penyelenggara
penelitian, baik di pusatmaupun di daerah khususnya peneliti dalam bidang administrasi
publik yang dihrapakan dapat dijadika sebagai sarana berkomunikasi, tukar-menukar
pikiran, informasi, pengalaman, ilumu pengetahuan, dan lainnya dalam rangka upaya
untuk mengembangkan/meningkatkan kualitas dan kompetensi profesi peneliti dan
meningkatkan kualitas serta pemanfaatan hasil penelitian.

C. Peningkatan Kualitas dan Pemanfaatan Hasil Penelitian

Kondisi ideal yang seharusnya diperhatikan, khususnya oleh insan peneliti administrasi
publik, salah satunya adalah hendaknya berpjak kepada pemikiran utama bahwa setiap penelitian
yang akan dan telah dilakukan, seberapa jauh hasilnya nanti akan dapat diimplementasikan dan
dapat memberi manfaat secara optimal kepada semua pihak yang terkait.

1. Pemanfaatan hasil Penelitan untuk Kepentingan Pengembangan Ilmu Administrasi


Publik
Perkembangan lingkungan stratejik yang sangat cepat, telah memengaruhi seluruh aspek
kehidupan dan merupakan suatu tantangan yang harus direspons oleh para peneliti,
khususnya peneliti administrasi public dalam pengembangan ilmu administrasipublik.
Berbagai teori, dalil, dan kaidah yang selama ini menjadi dasar pemikiran, senantiasa
diharapkan dapat selalu dikaji kembali sesuaidengan tuntutan perkembangan perubahan
zaman sehingga mampu menghasilkan berbagai paradigma baru.

2. Pemanfaatan Hasil Penelitian untuk Kepentingan Praktis dalam Penyelenggaraan


Negara atau pemerintahan
Tujuan akhir yang utama dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan yaitu
memberikan pelayanan yang memuaskan kepada masyarakat sehingga sesuai dengan
tuntutan kebutuhan yang diharapkan oleh masayarakat. Dengan kondisi seperti sekarang ini
di mana tuntutan masyarakat yang terus meningkat, baik kuantitas maupun kualitas, maka
berdasarkan hal tersebut diharapkan bahwa dengan kemampuan negara atau pemerintah yang
relative semakin terbatas, hal ini akan dapat melahirkan berbagai gejolak di antaranya berupa
ketidakpuasan dari masayarakat.

3. Harapan dan Strategi Pencapaian


Berkaitan dengan harapan dan strategi pencapaian, slaah satunya dapat dilakukan dengan
upaya bahwa para penyelenggara penelitian, pengguna, dan Pembina diharapkan secara
priodik dan berkesinambungan dapat Bersama-sama menentukan dan meyepakati strategi
yang bersifat nasional dalam bidang penelitian administrasi negara yang nantinya akan
menjadi paying/landasan dasar di dalam melaksanakan penelitian administrasi publik.
Strategi dimaksud harus mampu dijabarkan dalam bentuk tujuan, sasaran, program kegiatan,
dan hasil yang ingin dicapai. Selanjutnya, program kegiatan dan hasil yang ingin dicapai
tersebut, diharapkan agar didistribusikan dan disosialisasikan kepada seluruh penyelenggara
dan para pengguna penelitian sehingga dapat dihindarkan penelitian yang tidak didasarkan
kepada tuntutan kebutuhan pengguna penelitian. Berikutnya, diharapkan Pembina secara
priodik dan berkesinambungan berkewajiban untuk melakukan evaluasi terhadap
hasilpenelitian dengan mengkordinasikan antara penyelenggara/pelaksana penelitian dengan
pengguna penelitian.
Selanjutnya berikut ini adalah empat langkat strategis yang perlu segera disepakati dan
dilakukan.
a) Lembaga-lembaga penelitian secara kontinu mengikuti perkembangan yang terjadi
dan malakukan needs assessment sesuai dengan kebutuhan
b) Pengembangan forum komunikasi antaralembaga penelitian, antaralembaga
pengguna, dan antaralembaga penelitian dengan Lembaga penggua.
c) Pengembangan forum komunikasi dan informasi antaralembaga penelitian,
antaralembaga pengguna dan antaralembaga penelitian
d) Pengembangan asosiasi peneliti.

Penelitian dan pengembangan di bidang administrasi publik diharapkan dapat terus-


menerus dibenahi agar lebih efektif dan efisien sehingga hasilnya akan lebih berkualitas dan
dapat memberi manfaat secara optimal bagi semua pihak.

Anda mungkin juga menyukai