RINGKASAN
Prinsip-prinsip dan konsep NPG dapat ditemukan dalam beberapa undang-undang dan
peraturan yang berhubungan dengan tata kelola publik dan reformasi administrasi
public yang ada di Indonesia ?
Jawab : (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik: Undang-
undang ini mengatur tentang pelayanan publik yang berkualitas, transparan, akuntabel, dan
berorientasi pada kepentingan masyarakat. Prinsip-prinsip NPG seperti partisipasi masyarakat,
kolaborasi, dan inovasi tercermin dalam undang-undang ini. (2) Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik: Undang-undang ini memberikan akses
yang lebih luas kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi publik. Prinsip transparansi
yang merupakan salah satu aspek penting dari NPG tercermin dalam undang-undang ini. (3)
Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pengelolaan Aparatur Sipil Negara
(ASN): Peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik melalui
reformasi administrasi publik. Salah satu fokusnya adalah pada peningkatan kompetensi dan
etos kerja ASN, yang berkaitan dengan prinsip akuntabilitas dan kualitas pelayanan dalam
NPG. (4) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah:
Peraturan ini mengatur tentang tata kelola pemerintahan di tingkat daerah. Prinsip kolaborasi
dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dapat ditemukan dalam peraturan
ini.
RPS 6
Bahan Kajian : Public Sector Governance Issues
POIN 2
Butler & Nolan (2019) : point 1,2,& 3
Point 4. Implikasi pemerintahan sektor publik modern dan perkembangan nya di Indonesia
(1)Peningkatan Transparansi: Pemerintahan sektor publik modern mendorong peningkatan
transparansi dalam pengelolaan keuangan negara, pengambilan keputusan, dan penyediaan
layanan publik. Ini dapat mengurangi risiko korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan serta
membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. (2) Partisipasi Masyarakat yang
Lebih Aktif: Pemerintahan sektor publik modern mendorong partisipasi masyarakat yang lebih
aktif dalam proses pengambilan keputusan. Masyarakat memiliki kesempatan untuk
memberikan masukan, menyampaikan aspirasi, dan berpartisipasi dalam perencanaan dan
pelaksanaan kebijakan publik. Hal ini dapat meningkatkan akuntabilitas pemerintah dan
memastikan kebijakan yang lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat. (3) Peningkatan
Kualitas Layanan Publik: Dengan pendekatan yang lebih inovatif dan efisien, pemerintahan
sektor publik modern berupaya meningkatkan kualitas layanan publik. Penggunaan teknologi
informasi dan komunikasi, seperti e-government dan aplikasi mobile, dapat mempermudah
akses masyarakat terhadap layanan publik dan meningkatkan efisiensi administrasi pemerintah.
(4) Kolaborasi antara Pemerintah dan Swasta: Pemerintahan sektor publik modern mendorong
kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta dalam penyediaan layanan publik. Melalui
kemitraan publik-swasta, pemerintah dapat memanfaatkan sumber daya dan keahlian sektor
swasta untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyediaan layanan publik. (5) Perubahan
Budaya Organisasi: Pemerintahan sektor publik modern mendorong perubahan budaya
organisasi di sektor publik. Budaya yang responsif, inovatif, dan berorientasi pada pelayanan
publik menjadi fokus utama. Peningkatan kapasitas aparatur pemerintah dan perubahan
mindset menjadi penting dalam menghadapi perubahan ini.
Point 5. Peraturan pemerintah indonesia yang berkaitan dengan pemerintahan sektor publik
modern
1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik: Undang-undang ini
mengatur prinsip-prinsip pelayanan publik yang modern, termasuk kepastian hukum,
kesederhanaan, keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan akuntabilitas.
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik: Undang-
undang ini mengatur hak masyarakat untuk mendapatkan informasi dari pemerintah secara
transparan. Hal ini mendorong pemerintah untuk menyediakan informasi publik secara terbuka
dan mudah diakses.
3. Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pengelolaan Aparatur Sipil Negara
(ASN): Peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kinerja aparatur sipil negara
(ASN) melalui reformasi kepegawaian, pengembangan kompetensi, dan peningkatan
akuntabilitas.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah:
Peraturan ini mengatur struktur organisasi pemerintah daerah yang modern dan efisien, dengan
penekanan pada pelayanan publik yang berkualitas dan responsif terhadap kebutuhan
masyarakat.
5. Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2019 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020-2024: Peraturan ini merupakan panduan untuk pembangunan
nasional yang mencakup berbagai sektor, termasuk pemerintahan sektor publik modern.
RPJMN ini menekankan pentingnya pelayanan publik yang berkualitas, partisipasi masyarakat,
dan penggunaan teknologi informasi.
6. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 8
Tahun 2020 tentang Reformasi Birokrasi: Peraturan ini mengatur langkah-langkah konkret
untuk melaksanakan reformasi birokrasi di Indonesia, termasuk peningkatan kualitas
pelayanan publik, penggunaan teknologi informasi, dan peningkatan kapasitas aparatur sipil
negara.
RPS 6
Bahan Kajian : Public Sector Governance Issues
POIN 3
Oliveira & Filho (2017) : poin 1,2,& 5
De Oliveira, C.B & Filho, J.R.F. (2017). Agency problems in the public sector: the role of
mediators between central administration of city hall and executive bodies. Brazilian
Journal of Public Administration.
Overview
Fokus utama dari artikel ini adalah permasalahan agensi dalam sektor publik dan pentingnya
peran birokrat tingkat menengah dalam mengurangi permasalahan agensi tersebut. Fenomena
yang dibahas adalah terjadinya agensi ketika agen (birokrat) tidak sepenuhnya
memperjuangkan kepentingan prinsipal (pemerintah) dan dapat terjadi karena adanya
perbedaan tujuan, informasi, dan insentif antara agen dan prinsipal.
1. Introduction
Studi ini membahas bagaimana sektor publik bekerja, dengan menggambarkan hubungan
antara orang yang memberi perintah (prinsipal) dan orang yang menjalankan perintah (agen)
dalam pemerintahan. Ini mirip dengan hubungan antara pemilik dan manajer dalam bisnis.
Teori ini mencoba mengidentifikasi masalah dan biaya yang muncul dalam hubungan
semacam itu.
Teori agensi mengatakan bahwa jika kedua pihak dalam hubungan ini mencoba
mendapatkan manfaat maksimal, maka agen (pelaksana) tidak selalu akan bertindak sesuai
kepentingan prinsipal (yang memberi perintah). Untuk mengatasi masalah ini, prinsipal
harus memberikan insentif yang baik kepada agen dan harus mengawasi mereka, yang bisa
menjadi mahal.
Masalah ini juga muncul dalam pemerintahan, misalnya dalam hubungan antara warga dan
politisi, atau antara politisi dan birokrasi. Artikel ini meneliti pengalaman Pemerintah Kota
Rio de Janeiro dalam mengatasi masalah ini, dengan menggunakan seorang pegawai negeri
sebagai perantara antara pusat kekuasaan dan badan-badan pemerintah, untuk mengurangi
masalah agensi. Objek dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi efek dari
intermediasi dalam mengurangi perbedaan motivasi dan tujuan antara administrasi pusat
dan badan eksekutif pemerintah kota Rio de Janeiro, Brasil. Studi ini berfokus pada masalah
agensi yang dapat timbul dalam hubungan ini, termasuk asimetri informasi, konflik
kepentingan, dan kurangnya komitmen, dan mengeksplorasi peran potensial dari birokrat
tingkat menengah dalam mengatasi masalah-masalah ini. (Project Office) "administrasi
pusat" merujuk pada pihak yang berada di puncak hierarki pemerintah kota Rio de Janeiro,
Brasil, yang bertanggung jawab atas kebijakan dan program yang ditetapkan oleh
pemerintah kota. Hal ini dapat mencakup pejabat tinggi seperti kepala staf atau walikota.
(Executive bodies) "badan eksekutif" merujuk pada unit-unit organisasi di bawah
administrasi pusat pemerintah kota Rio de Janeiro, Brasil, yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan program dan proyek yang ditetapkan oleh pemerintah kota. Hal ini dapat
mencakup departemen atau lembaga seperti Dinas Pekerjaan Umum atau Dinas Kesehatan.
Penelitian ini juga mencoba untuk memahami peran pegawai negeri tingkat menengah
dalam mengelola proses-proses penting dan kinerja organisasi. Ini adalah upaya untuk
menghubungkan apa yang diputuskan oleh politisi dan manajer tingkat atas dengan
bagaimana kebijakan benar-benar dijalankan oleh birokrasi di lapangan. Ini penting karena
seringkali di tengah-tengah pelaksanaan, kebijakan bisa berubah berdasarkan situasi sehari-
hari dan interaksi dengan masyarakat. Sebagai tambahan, pemahaman tentang peran
birokrat tingkat menengah ini juga merespons kritik dari para ahli yang ingin
menyederhanakan pemerintahan dengan menghapuskan posisi-posisi seperti ini demi
efisiensi.
Konsep dasarnya adalah bahwa organisasi bisa dilihat sebagai jaringan perjanjian antara
prinsipal dan agen. Prinsipal memberi wewenang kepada agen untuk melakukan tugas
tertentu namun ingin memastikan bahwa agen akan menjalankannya sesuai dengan
kepentingan prinsipal.
Masalah muncul dalam hubungan ini, seperti perbedaan tujuan, ketidaksetaraan informasi,
dan perbedaan dalam cara kedua pihak menghadapi risiko. Semua masalah ini menghasilkan
biaya yang disebut sebagai biaya agensi.
Teori ini juga berlaku di sektor publik, di mana politisi adalah prinsipal dan birokrat adalah
agen. Politisi mencoba mengendalikan birokrat melalui aturan dan pengawasan. Tapi
seringkali, ada perbedaan dalam tujuan mereka.
Dalam konteks ini, Birokrat Tingkat Menengah (MLB) memainkan peran penting dalam
mengelola aliran informasi, mengatasi masalah, dan membantu pelaksanaan kebijakan.
Jadi, intinya, teori agensi membantu kita memahami bagaimana organisasi diatur melalui
perjanjian, baik di sektor swasta maupun publik, dan bagaimana masalah dalam hubungan
ini dapat diatasi.
Untuk mengatasi perbedaan ini, PGMA mencoba menjelaskan tujuan Project Office kepada
manajer badan eksekutif dan juga membawa kepentingan manajer badan eksekutif kepada
Project Office. Mereka berperan sebagai perantara yang membantu menyusun Perjanjian
Hasil yang wajar dan seimbang. Ini membantu meminimalisir perbedaan tujuan. Namun,
kadang-kadang PGMA takut kehilangan kepercayaan manajer badan eksekutif, sehingga
tidak dapat mengatasi perbedaan ini.
b. ASIMETRI INFORMATION
Sebelumnya, Project Office kesulitan mendapatkan info tentang kinerja badan eksekutif.
Sekarang, PGMA membantu mengungkapkan sumber daya yang terbuang. Tapi mereka tak
tahu pasti berapa besar sumber daya yang terbuang itu. Manajer badan eksekutif kadang-
kadang mencoba mengelabui hasil yang disepakati dengan Project Office. Ini bisa terjadi
karena faktor politik, anggaran, atau pergantian manajemen. PGMA yang memiliki
hubungan baik dengan badan eksekutif bisa lebih mudah mendapatkan info. Namun,
kadang-kadang ada kekhawatiran jika melaporkan masalah ke Project Office akan
memengaruhi hubungan mereka dengan badan eksekutif. Jadi, ini adalah masalah
ketidakseimbangan informasi yang harus dihadapi oleh PGMA.
c. RISK PROPENSITY
Terdapat perbedaan dalam cara Project Office dan badan eksekutif melihat risiko dalam
mencapai tujuan yang mereka sepakati dalam Risult Agreement. "Results Agreement"
adalah sebuah kesepakatan antara administrasi pusat dan badan eksekutif pemerintah kota
Rio de Janeiro, Brasil, yang menetapkan tujuan dan proyek yang harus dicapai oleh badan
eksekutif dalam jangka waktu tertentu. Kesepakatan ini digunakan sebagai dasar untuk
mengevaluasi kinerja badan eksekutif dan memberikan insentif dalam bentuk bonus atau
penghargaan lainnya jika tujuan dan proyek yang ditetapkan berhasil dicapai. Badan
eksekutif umumnya lebih khawatir tentang mencapai tujuan ini daripada Project Office. Ada
dua alasan utama untuk perbedaan ini:
Pertama, badan eksekutif mungkin khawatir tentang citra atau reputasi mereka di antara
bagian lain dari pemerintah kota. Jika mereka gagal mencapai tujuan, reputasi mereka bisa
tercemar.
Kedua, ada bonus uang yang diberikan kepada karyawan badan eksekutif jika mereka
berhasil mencapai tujuan dalam Risult Agreement. Bonus ini bisa menjadi motivasi besar
bagi mereka.
Namun, para PGMA yang bekerja di Project Office mungkin tidak begitu khawatir tentang
mencapai tujuan ini, karena mereka melihat bahwa badan eksekutif yang berhasil mencapai
tujuan yang ambisius berhak mendapatkan bonus. Namun, jika tujuan tersebut terlalu jauh
dari kenyataan atau tidak sesuai dengan janji yang dibuat oleh Wali Kota, Project Office
mungkin akan lebih bersemangat untuk memastikan tujuan tersebut tercapai.
Singkatnya, badan eksekutif cenderung lebih khawatir tentang mencapai tujuan Risult
Agreement karena reputasi mereka dan bonus yang mereka terima jika berhasil. Project
Office mungkin kurang khawatir, tetapi mereka ingin memastikan tujuan tersebut tetap
realistis dan sesuai dengan janji politik yang telah dibuat. Para PGMA tidak dapat mengubah
perbedaan ini dalam pandangan risiko antara kedua belah pihak.
Terkait dengan waktu perencanaan, Project Office berfokus pada masa jabatan Wali Kota,
yang biasanya berlangsung selama empat tahun. Mereka ingin Risult Agreement
mencerminkan tujuan Wali Kota saat ini.
Sementara itu, badan eksekutif memiliki pandangan yang lebih panjang. Mereka
merencanakan proyek dan tujuan mereka dengan memikirkan masa depan yang lebih jauh.
Ini mungkin karena banyak pegawai negeri yang memiliki pekerjaan tetap dan tidak terlalu
terpengaruh oleh perubahan politik.
PGMA tidak memiliki cara untuk mengubah perbedaan ini. Project Office akan tetap fokus
pada masa jabatan Wali Kota, sementara badan eksekutif akan lebih berorientasi pada
perencanaan jangka panjang.
RPS 6
Bahan Kajian : Public Sector Governance Issues
POIN 4
Winston (2006) : point 1 & 3
Overview
Buku ini membahas bagaimana ekonom bisa membantu memperbaiki kebijakan publik dengan
menganalisis efektivitas intervensi kebijakan pemerintah untuk mengatasi kegagalan pasar.
Penulis, Clifford Winston, menemukan bahwa seringkali pemerintah campur tangan ketika
tidak ada masalah pasar yang serius atau bahwa banyak kebijakan yang ada bisa lebih efisien.
Dia juga mencatat beberapa perbaikan dalam pendekatan kebijakan di beberapa area tertentu.
Rekomendasinya adalah untuk mencoba lebih banyak kebijakan yang berorientasi pasar untuk
mengatasi masalah ekonomi, dan buku ini merupakan bagian dari serangkaian publikasi yang
berkontribusi pada perdebatan tentang peran pemerintah dan regulasi.
1. Introduction
Kita membahas bagaimana pemerintah Amerika Serikat mencoba mengatur ekonomi
dengan berbagai kebijakan. Ada seorang profesor dari Harvard bernama John D. Graham
yang diangkat oleh Presiden George W. Bush untuk mengawasi kebijakan-kebijakan ini.
Profesor Graham lebih suka menggunakan analisis biaya dan manfaat untuk menilai apakah
kebijakan-kebijakan tersebut benar-benar membantu atau tidak.
Contohnya, jika pemerintah ingin membuat peraturan baru untuk melindungi lingkungan
yang dapat menyelamatkan 100 nyawa, tetapi biayanya sangat mahal, misalnya 1 miliar
dolar per nyawa yang diselamatkan, Profesor Graham akan menentang peraturan tersebut.
Dia akan menyarankan agar pemerintah mencari cara yang lebih murah untuk mencapai
tujuan yang sama.
Namun, ada orang-orang yang tidak setuju dengan pendekatan ini dan lebih mengutamakan
niat baik atau agenda politik daripada analisis ekonomi.
Dalam tulisan ini, kita juga membahas konsep efisiensi ekonomi yang penting. Efisiensi
ekonomi terjadi ketika tidak ada cara untuk membuat seseorang lebih baik tanpa membuat
orang lain menjadi lebih buruk. Pemerintah mencoba mencapai efisiensi ini dengan
mengatasi masalah-masalah di pasar yang disebut "kegagalan pasar."
Untuk menilai keberhasilan suatu kebijakan, kita harus mempertimbangkan apakah ada
kegagalan pasar yang signifikan yang membenarkan campur tangan pemerintah. Selain itu,
kita harus melihat apakah kebijakan pemerintah telah meningkatkan kinerja pasar dan
apakah kebijakan tersebut optimal, artinya efisien dalam mengatasi masalah pasar.
Kegagalan pemerintah terjadi ketika campur tangan pemerintah tidak seharusnya terjadi
atau ketika bisa ada cara yang lebih efisien untuk menyelesaikan masalah tanpa
mengorbankan kesejahteraan ekonomi.
Akhirnya, tulisan ini menekankan pentingnya menggunakan bukti empiris (data nyata)
untuk menilai efektivitas kebijakan pemerintah. Ini akan membantu kita memahami apakah
kebijakan pemerintah sudah berhasil atau tidak. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa
kebijakan pemerintah benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
Dalam model persaingan sempurna dalam buku teks ini, perusahaan-perusahaan seharusnya
hanya mendapatkan keuntungan pasar yang normal dalam jangka panjang. Namun,
beberapa perusahaan mungkin memiliki teknologi dan manajemen yang lebih baik sehingga
mereka bisa mendapatkan keuntungan di atas normal untuk waktu yang lama. Namun,
ketika sebuah perusahaan mencoba menguasai pasar atau mengeksploitasi kekuatan pasar
secara ilegal untuk mendapatkan keuntungan lebih besar, pemerintah bisa campur tangan
melalui undang-undang anti monopoli (antitrust) untuk melindungi kesejahteraan konsumen
dengan menghentikan tindakan tersebut dan mencegah perusahaan lain melakukan hal
serupa.
Ada situasi langka di mana satu perusahaan yang berperilaku baik adalah pilihan terbaik
untuk melayani pasar karena karakteristik teknologinya. Persaingan dalam kondisi seperti
ini bisa menyebabkan perusahaan di industri tersebut bangkrut atau satu perusahaan menjadi
pemain tunggal. Karena monopolis yang tidak diatur cenderung mengambil surplus
konsumen dengan merugikan kesejahteraan total, pemerintah bisa campur tangan dengan
mengatur harga yang lebih efisien untuk penyedia layanan monopoli dan mencegah
perusahaan lain masuk ke pasar. Namun, ini bisa mengurangi insentif inovasi.
Meskipun undang-undang antitrust dan regulasi ekonomi memiliki alasan yang berbeda,
keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu mendekatkan pasar ke ideal persaingan. Oleh
karena itu, keduanya dievaluasi dalam bab yang sama dalam buku ini.
Namun, penting untuk diingat bahwa hanya karena teori mendukung keberadaan undang-
undang antimonopoli dan regulasi ekonomi, itu tidak berarti campur tangan pemerintah
selalu diperlukan atau efektif dalam praktiknya. Campur tangan pemerintah hanya dapat
dibenarkan jika ada bukti bahwa tindakan tersebut dapat meningkatkan output dan
kesejahteraan sosial. Dan menurut penulis, berdasarkan bukti ilmiah yang tersedia saat ini,
kebijakan antimonopoli terhadap monopoli, penggabungan perusahaan, dan kolusi hanya
sedikit berdampak pada kesejahteraan konsumen, sementara regulasi ekonomi terhadap
produk pertanian dan perdagangan internasional justru bisa menyebabkan kerugian besar
dalam proses pengalihan sumber daya dari konsumen ke produsen.
Antitrust
Kebijakan antitrust adalah upaya pemerintah Amerika Serikat untuk mengawasi dan
mengendalikan praktik bisnis yang dapat mengakibatkan monopoli atau mengurangi
persaingan yang sehat di pasar. Hal ini dilakukan oleh Departemen Kehakiman (DOJ) dan
Komisi Perdagangan Federal (FTC). Mereka menerapkan undang-undang seperti Sherman
Antitrust Act tahun 1890 dan Clayton Act tahun 1914 untuk menghindari praktik monopoli,
penggabungan perusahaan yang merugikan persaingan, dan konspirasi yang melanggar
persaingan.
Tulisan ini mencoba mengevaluasi sejauh mana industri di Amerika Serikat bersaing secara
sehat. Namun, bukti yang ada tidak menunjukkan adanya masalah serius yang merugikan
persaingan dalam ekonomi negara tersebut. Contohnya, pada tahun 1992, hanya 46 dari 398
industri manufaktur di Amerika Serikat yang dapat dianggap tidak bersaing secara sempurna
berdasarkan ukuran konsentrasi empat perusahaan terbesar. Data awal pada tahun 2002 juga
menunjukkan penurunan pasar yang tidak bersaing dalam industri manufaktur.
Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa ekonomi Amerika Serikat hanya mengalami
sedikit kerugian dari harga yang tidak bersaing. Meskipun ada perkiraan yang berbeda-beda,
perkiraan terbaru menunjukkan kerugian sekitar 1 persen dari Produk Domestik Bruto
(GDP). Namun, ini mencakup banyak faktor, termasuk regulasi dan perlindungan
perdagangan.
Meskipun undang-undang antitrust ada untuk memastikan persaingan yang sehat, beberapa
kasus sejarah menunjukkan bahwa campur tangan pemerintah dalam kasus monopoli tidak
selalu berhasil dalam meningkatkan persaingan dan menurunkan harga konsumen.
Contohnya adalah kasus-kasus terkenal seperti Standard Oil, American Tobacco, Alcoa,
Paramount, dan United Shoe Machinery, di mana tindakan pengadilan tidak menghasilkan
keuntungan konsumen yang signifikan.
Penulis juga menyebutkan kasus pengecualian adalah pembubaran AT&T pada tahun 1984,
yang mengikuti kasus monopoli pada tahun 1974. Namun, pemecahan AT&T ini terutama
karena tuntutan dari FCC (Federal Communications Commission) daripada undang-undang
antitrust, dan itu memungkinkan pertumbuhan persaingan jaringan telepon panjang jarak
dan penurunan tarif.
Sehingga, tulisan ini menyarankan bahwa dalam beberapa kasus, campur tangan pemerintah
dalam undang-undang antitrust mungkin tidak selalu efektif dalam mempromosikan
persaingan dan melindungi konsumen, dan dalam beberapa kasus, regulasi yang baik
mungkin lebih efektif dalam mencapai tujuan tersebut.
Collusion
Merupakan praktik ketika beberapa perusahaan bekerja sama secara rahasia untuk mengatur
harga atau kebijakan mereka agar bisa mendapatkan keuntungan lebih besar. Para ekonom
belum menemukan bukti yang jelas bahwa penuntutan hukum terhadap kolusi dalam
undang-undang antitrust telah secara signifikan menurunkan harga untuk konsumen.
Sebagai contoh, sebuah penelitian mengamati dua puluh lima kasus ketika perusahaan-
perusahaan mencoba mempengaruhi harga antara tahun 1973 dan 1984. Meskipun
seharusnya tindakan hukum ini menurunkan harga jika kartel tersebut sebelumnya telah
menaikkan harga di atas tingkat kompetitif, penelitian tersebut menunjukkan bahwa harga
rata-rata naik sekitar 7 persen empat tahun setelah pengadilan. Bahkan jika kita memulai
perhitungan pada saat penyelidikan sebelum pengadilan, harga juga cenderung naik.
Penelitian terhadap kasus-kasus tertentu juga menunjukkan bahwa tindakan hukum terhadap
kolusi tidak selalu menguntungkan konsumen. Sebagai contoh, ketika ada kasus
penentangan harga oleh para pembuat roti pada tahun 1988, konsumen tidak merasakan
manfaatnya. Demikian pula, ketika ada perjanjian yang melarang maskapai penerbangan
mengumumkan tanggal akhir dari promosi tarif mereka, yang seharusnya menghambat
kolusi, hal tersebut juga tidak membantu konsumen.
Merger
Mergers adalah penggabungan antara dua perusahaan atau lebih. Mergers bisa berdampak
baik atau buruk bagi konsumen. Mergers yang memungkinkan perusahaan mendapatkan
kekuasaan pasar cenderung mengakibatkan harga yang lebih tinggi, sementara mergers yang
memungkinkan perusahaan mencapai efisiensi operasional dan manajerial dapat
mengurangi biaya dan akhirnya menurunkan harga.
Di beberapa pasar, perusahaan yang telah bergabung bisa justru mendorong persaingan dan
mengurangi marjin keuntungan atas biaya produksi. Keefektifan kebijakan terkait merger
oleh pihak berwenang tergantung pada seberapa baik mereka dapat membedakan antara
merger yang meningkatkan persaingan dan yang merugikan persaingan. Terlihat bahwa
pihak berwenang tidak selalu mampu mengevaluasi merger dengan cara yang selalu
menguntungkan konsumen.
Bukti dari literatur keuangan menunjukkan bahwa merger yang ditentang oleh Departemen
Kehakiman (DOJ) dan Federal Trade Commission (FTC) pada umumnya tidak merugikan
persaingan dan akan efisien jika dibiarkan berjalan. Dalam beberapa kasus, merger yang
ditentang oleh regulator antitrust ternyata menguntungkan konsumen. Selain itu, analisis
oleh Crandall dan Winston menunjukkan bahwa pihak berwenang antitrust sering kali
menghambat merger yang sebenarnya akan meningkatkan efisiensi, baik dengan
menghalanginya di pengadilan atau dengan memberikan syarat-syarat yang pada akhirnya
meningkatkan biaya bagi perusahaan yang bergabung.
Jadi, mergers dapat memiliki efek yang beragam, dan kebijakan terkait mergers seringkali
kompleks dalam menilai dampaknya pada konsumen.
Deterence
Deterence adalah konsep atau prinsip yang digunakan dalam konteks hukum dan kebijakan
untuk mencegah tindakan ilegal atau perilaku yang merugikan. Prinsip ini mengandalkan
ancaman atau sanksi yang keras sebagai cara untuk mencegah individu atau entitas dari
melanggar hukum atau melakukan tindakan yang tidak diinginkan.
Argumen terkuat yang mendukung kebijakan antitrust adalah bahwa kebijakan ini dapat
meningkatkan kesejahteraan konsumen dengan mencegah perusahaan-perusahaan terlibat
dalam praktik ilegal yang pada akhirnya akan meningkatkan harga. Namun, dampak positif
dari upaya pencegahan sulit untuk diamati, misalnya, perjanjian penetapan harga yang tidak
pernah terjadi, merger menuju monopoli yang tidak terwujud, atau strategi penghancuran
pesaing yang tidak dicoba.
Untuk mencari tahu sejauh mana kebijakan antitrust dapat mencegah terjadinya monopoli
dan merger yang merugikan persaingan, beberapa perbandingan internasional telah
digunakan. Sebagai contoh, Stigsegera joint
ler (1966) membandingkan konsentrasi dalam industri tertentu di Amerika Serikat dengan
industri yang sama di Inggris, yang pada saat penelitiannya tidak memiliki kebijakan publik
melawan konsentrasi kontrol, dan menyimpulkan bahwa Undang-Undang Sherman
memiliki efek yang sangat terbatas dalam mengurangi konsentrasi di Amerika Serikat.
Eckbo (1992) juga memeriksa apakah hukum antitrust mencegah merger yang bersifat
merugikan persaingan dengan mengestimasi apakah probabilitas bahwa merger horizontal
bersifat merugikan persaingan lebih tinggi di Kanada, di mana hingga tahun 1985 merger
dapat berlangsung dalam lingkungan hukum yang efektif tanpa batasan, daripada di
Amerika Serikat. Berdasarkan perbandingan ini, ia menolak hipotesis bahwa hukum
antitrust di Amerika Serikat mencegah merger yang merugikan persaingan.
Perusahaan dan individu yang terbukti melakukan penetapan harga tunduk pada hukuman
pidana federal dan juga rentan terhadap gugatan pribadi yang bisa mengakibatkan kerugian
tiga kali lipat. Bukti menunjukkan bahwa gugatan kelompok seperti ini adalah salah satu
cara yang paling efektif untuk mencegah kolusi. Baru-baru ini, Divisi Antitrust Departemen
Kehakiman Amerika Serikat telah berupaya memperkuat efek pencegahan dengan
memberlakukan denda yang lebih tinggi pada perusahaan yang terlibat dalam penetapan
harga dan dengan memperluas penggunaan kebijakan keringanan perusahaan yang
memberikan informasi tentang peran mereka dalam konspirasi dan bekerja sama dengan
pemerintah. Namun, ada kekhawatiran bahwa langkah-langkah ini dapat menghasilkan
pencegahan berlebihan, yang akan mendorong investasi berlebihan dalam pemantauan dan
pencegahan, meningkatkan biaya produksi, dan akhirnya meningkatkan harga untuk
konsumen.
Jadi, dalam teori dan praktek, lingkungan persaingan yang sangat ketat di Amerika Serikat
telah mengurangi monopoli, membuat sulit bagi perusahaan untuk menjaga perjanjian
kolusi yang merugikan, dan menghasilkan merger yang memberikan manfaat efisiensi atau
bahkan gagal untuk meningkatkan nilai perusahaan. Namun, efek pencegahan dari
kebijakan antitrust dalam teori bisa bercampur aduk dan dalam praktek belum terlalu jelas.
Dalam beberapa kasus, kebijakan ini mungkin membuat perusahaan ragu untuk terlibat
dalam aktivitas yang sebenarnya bermanfaat bagi masyarakat, atau justru mencegah
perilaku yang merugikan persaingan. Oleh karena itu, penting untuk mengukur dampak dari
setiap tindakan kebijakan tersebut. Hal ini juga mengilustrasikan bahwa sulit memberikan
rekomendasi kebijakan yang kuat untuk meningkatkan kebijakan antitrust.
Economic Regulation
Sejak tahun 1887 dengan Undang-Undang Perdagangan Antar Negara Bagian yang
mengatur kereta api, pemerintah federal Amerika Serikat telah menggunakan wewenang
hukumnya untuk mengendalikan penetapan harga, masuk, dan keluar dari industri di mana
persaingan dianggap tidak dapat berfungsi karena adanya ekonomi skala besar akan
menyebabkan perusahaan saling bersaing dengan menurunkan harga hingga mereka entah
semua bangkrut atau industri tersebut menjadi monopoli. Pada tahun 1970-an, pemerintah
federal mulai melakukan deregulasi pada sebagian besar industri transportasi, komunikasi,
energi, dan keuangan karena menjadi jelas bahwa regulasi ekonomi sebenarnya
menghambat persaingan yang dapat menguntungkan konsumen. Saat ini, regulasi harga
federal sebagian besar terbatas pada komoditas pertanian dan perdagangan internasional
produk tertentu, yang keduanya tidak dianggap memicu pertimbangan monopoli alami.
Agriculture
Pemerintah Amerika Serikat memberikan bantuan dan subsidi kepada petani dalam berbagai
bentuk. Ini termasuk bantuan untuk menjadi petani, bantuan jika mereka tidak mendapat
untung dari hasil pertanian mereka, dan bantuan jika mereka tidak menanam tanah mereka.
Namun, sebagian besar bantuan ini cenderung menguntungkan perusahaan besar di sektor
pertanian dan petani terkaya.
Pemerintah juga mengatur harga beberapa produk pertanian seperti gandum, jagung, kapas,
kacang tanah, produk susu, gula, dan beras. Mereka melakukan ini untuk meningkatkan
harga susu cair dan menurunkan harga produk susu olahan, misalnya.
Meskipun bantuan ini awalnya dimotivasi oleh masalah pendapatan rendah petani dan
ketidakstabilan pendapatan dari pertanian, data menunjukkan bahwa sebagian besar petani
sekarang memiliki pendapatan yang sebanding atau bahkan lebih tinggi daripada pekerja di
sektor nonpertanian. Namun, pemerintah masih terus memberikan bantuan ini, bahkan
ketika beberapa petani mendapatkan pendapatan yang tinggi.
Ini menyebabkan sebagian besar subsidi ini mengarah pada kerugian kesejahteraan ekonomi
yang mencapai miliaran dolar setiap tahunnya, dengan sebagian besar manfaatnya mengalir
ke petani yang lebih kaya dan perusahaan besar. Meskipun ada upaya untuk mengurangi
program-program ini, beberapa dari mereka terus berlanjut dengan biaya yang tinggi bagi
pemerintah.
International Trade
Pemerintah Amerika Serikat sering kali menggunakan tarif dan kuota untuk melindungi
beberapa industri dari persaingan luar negeri. Ini biasanya dilakukan dalam sektor seperti
otomotif, baja, tekstil, dan produk susu. Mereka berargumen bahwa ini dilakukan untuk
melindungi industri dalam negeri dan menciptakan lapangan kerja. Namun, banyak
penelitian menunjukkan bahwa tindakan ini sebenarnya merugikan konsumen. Tarif dan
kuota ini dapat membuat harga barang impor menjadi lebih mahal, yang akhirnya membawa
kerugian bagi konsumen. Meskipun ada upaya untuk mengurangi pembatasan perdagangan
di tingkat internasional, seperti perjanjian perdagangan, kebijakan ini masih seringkali
diterapkan oleh pemerintah, terutama dalam situasi politik tertentu.
RPS 6
Bahan Kajian : Public Sector Governance Issues
POIN 5
Karpoff (2020) : point 1 & 6
Sekalipun dugaan optimis penulis mengenai penurunan penipuan dalam jangka panjang benar, tren
tersebut kemungkinan besar tidak akan bisa dihindari atau monoton. Faktor-faktor yang dapat
mencegah tren jangka panjang menuju penurunan fraud yaitu pandemi COVID-19 yang
mengakibatkan terhentinya perekonomian, gesekan informasi dan perilaku, meningkatnya
ketidakpercayaan terhadap institusi, dan kesenjangan ekonomi.
Sekalipun dugaan optimis saya mengenai penurunan penipuan dalam jangka panjang benar, tren
tersebut kemungkinan besar tidak akan bisa dihindari atau monoton. Faktor-faktor yang dapat
memitigasi tren jangka panjang menuju penurunan penipuan adalah pandemi COVID-19 yang
mengakibatkan terhentinya perekonomian, gesekan informasi dan perilaku, meningkatnya
ketidakpercayaan terhadap institusi, dan kesenjangan ekonomi.
POIN 6
Pellegrini & Gerlagh (2007)
POIN 7
Ngatikoh, Kumorotomo & Retnandari (2019)
Summary Jurnal ”Transparansi dalam Pemerintahan : Tinjauan atas kegagalan Pencegahan Korupsi
di Indonesia”
b. Kurangnya akuntanbilitas membuat pemeritah tidak dipercaya dan tidak dapat diandalkan
Banyaknya kasus korupsi dan penyalagunaan wewenang yang terjadi baik pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah.
Fokus pada efektivitas transparansi dalam mendorong akuntabilitas dalam konteks administrasi
publik
4. Metode Penelitian
Metodologi tinjauan literatur dengan menggunakan kata kunci transparansi, tata kelola
pemerintahan yang baik dan korupsi.
1. Diperlukan model transparansi dan alat ukur yang mampu dan efektif dalam mencegah korupsi,
serta diperlukan upaya keras untuk memberikan pemahaman kepada para pemangku
kepentingan tentang pentingnya transparansi kepada para pemangku kepentingan mengenai
tujuan, manfaat pentingnya transparansi dalam tata kelola pemerintahan.
2. Kegagalan lain dari transparansi dalam mencegah korupsi adalah belum diterapkannya
transparansi dalam pelayanan publik karena kurangnya partisipasi masyarakat, sulitnya
mengakses informasi terkait agenda pemerintah daerah, transparansi belum
diterapkan olehsemua pemerintah daerah, dan kinerja pelayanan publik yang buruk.
5. Kesimpulan
a. Pentingnya transparansi dalam pemerintahan sebagai bentuk tata kelola yang baik.
Transparansi diperlukan untuk mencegah korupsi, mendapatkan kepercayaan publik dan
meningkatkan akuntabilitas pemerintah.
b. Implementasi transparansi di Indonesia belum efektif dalam mencegah korupsi
disebabkan beberapa faktor seperti konflik kepentingan, penegakan hukum yang
sulit, sikap dan perilaku pejabat yang belum memahami pentingnya transparansi
serta pelayanan.