Anda di halaman 1dari 29

TUGAS

RINGKASAN

PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI KONSENTRASI AKUNTANSI

Nama : Dian Saputra


NIM : 221022214002
Dosen : Dr. Regina J. Arsjah, Ak, CA, CPA(Aust), CMA
RPS 6
Bahan Kajian : Public Sector Governance Issues
POIN 1
Xu, Sun & Si (2015) : every sub title find the main idea

Latar Belakang dari artikel ini ?


Jawab : Dalam artikel ini, konsep New Public Governance dibahas, sebuah pergeseran
paradigm dalam administrasi publik yang menekankan organisasi, pluralisme, dan distribusi
kekuasaan. Ini mengkritik baik teori administrasi publik konvensional maupun paradigma
manajemen publik kontemporer. Teori Manajemen Publik Baru mendorong koordinasi antara
pemerintah, pasar, dan organisasi sosial lainnya. Teori ini juga menghargai peran organisasi
publik sosial dalam menyediakan barang dan jasa publik. Namun, itu juga dikritik karena
tanggung jawab yang tidak jelas, tidak efektif, dan tidak memenuhi syarat hukum. Artikel ini
membahas bagaimana teori ini relevan untuk reformasi manajemen publik dan sistem
administrasi China, dan menyarankan bahwa penelitian masa depan harus berfokus pada
kombinasi tingkat makro dan mikro.
Perbedaan dari between traditional public administration, the new public management, the
new public service, dan the new public governance ?
Jawab : The Traditional Public Administration, yang berasal dari akhir abad ke-19,
menekankan operasi standar dan berfokus pada manajemen pemerintah dalam organisasi. Ia
mencapai puncaknya setelah 1945, ketika negara-negara maju menganggapnya sebagai sistem
teori manajemen administrasi publik yang dapat memenuhi semua kebutuhan masyarakat.
The New Public Management, di sisi lain, menekankan mekanisme persaingan pasar. Ia
memperhatikan efisiensi dan mempertimbangkan warga sebagai pelanggan. The New Public
Service menekankan demokrasi dan didasarkan pada kewarganegaraan demokratis, masyarakat
sipil, teori organisasi humanistik, dan teori administrasi postmodern. New Public Governance
adalah paradigma yang mencakup pemerintah, sektor swasta, organisasi nirlaba, dan
serangkaian kelompok sosial. Ini berfokus pada konsultasi dan negosiasi untuk beradaptasi
dengan perubahan urusan sosial. Ini menyeimbangkan demokrasi dan efisiensi dan memenuhi
perubahan kebutuhan yang dihasilkan oleh perkembangan sosial. Ini berakar dalam sosiologi
dan teori jejaring sosial dan menekankan desain dan evaluasi hubungan jangka panjang antara
organisasi.
Karakter kunci di paradigma The new public governance ?
Jawab : (1) Pluralisme: The New Public Governance menekankan keterlibatan beberapa badan
pemerintahan, termasuk pemerintah, sektor swasta, organisasi nirlaba, dan berbagai kelompok
sosial. Ini menghargai keragaman subjek urusan publik dan penyediaan layanan publik. (2)
Open Public Service Network: Ini mendirikan jaringan layanan publik terbuka di mana
berbagai departemen publik dan swasta dan warga terhubung. Sistem ini tidak hanya
bergantung pada pemerintah, menjadikannya lebih tahan lama. (3) Koordinasi: New Public
Governance menekankan peran pemerintah sebagai koordinator, mengintegrasikan sumber
daya publik dan membangun platform dialog. Jaringan kompleks adalah jaringan yang
kompleks dari organisasi sosial dan individu, dengan setiap anggota dibatasi oleh aturan formal
dan informal. Jaringan yang dibentuk oleh produk dan layanan publik menyediakan sumber
daya sosial yang banyak untuk pertukaran, termasuk mata uang, informasi, dan teknologi. (4)
Kepercayaan dan Stabilitas: Pemerintahan Publik Baru bergantung pada kepercayaan dan
stabilitas kontrak, bukan kekuasaan, untuk mempertahankan stabilitas antara internal dan
eksternal.
Kontribusi paradigma New Public Governance ?
Jawab : (1) Mengatasi Dilema Keragaman: New Public Governance adalah metode untuk
memecahkan dilema keragaman kebijakan publik dan pelayanan publik di era baru. Ini
mencerminkan kebutuhan administrasi publik untuk berubah sesuai dengan perkembangan
masyarakat. (2) Meningkatkan Koordinasi Pemerintah: Pemerintahan Publik Baru
meningkatkan peran koordinasi pemerintah dengan memastikan kepuasan berbagai tuntutan
dari subyek kepentingan yang berbeda, mendapatkan lebih banyak informasi, dan
mengumpulkan kekuatan dari semua aspek untuk memecahkan masalah sosial yang kompleks.
(2) Integrasi Organisasi Sosial: New Public Governance mengintegrasikan organisasi sosial
dan individu untuk membentuk jaringan yang kompleks yang berisi konsentrasi dan
pembatasan kekuasaan dalam semua aspek. (4) Memperkenalkan Mekanisme Berbagi:
Pemerintahan Publik Baru memperkenalkan mekanisme pembagian ke dalam manajemen
administrasi publik untuk memenuhi kebutuhan yang berbeda dari subjek kepentingan dan
warga.
Kesimpulan artikel ini berkaitan paradigma New Public Governance di China ?
Jawab : Paradigma New Public Governance mewakili perubahan signifikan dalam
administrasi publik, menekankan pluralisme, pemerintahan organisasi, dan penyebaran
kekuasaan. Ini mengkritik teori administrasi publik tradisional dan paradigma manajemen
publik baru dan mempromosikan koordinasi antara pemerintah, pasar, dan organisasi sosial
lainnya. Ia menghargai peran organisasi sosial publik dalam menyediakan barang dan jasa
publik. Namun, itu juga menghadapi kritik seperti tanggung jawab yang tidak jelas, tidak
efisien, dan kekurangan hukum. Artikel ini menyarankan bahwa paradigma New Public
Governance memiliki relevansi dengan reformasi sistem administrasi dan manajemen publik
China, dan penelitian masa depan harus berfokus pada kombinasi makro dan mikro tingkat.
Implikasi penerapan NPG di Indonesia ?
Jawab : (1) Partisipasi Masyarakat: Penerapan NPG akan mendorong masyarakat untuk
berpartisipasi lebih aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan.
Konsultasi publik, forum diskusi, atau keterlibatan dalam proses pengawasan adalah beberapa
cara yang dapat digunakan untuk mencapai hal ini. Hasilnya adalah peningkatan kepercayaan
masyarakat dan peningkatan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan publik. (2)
Transparansi dan Akuntabilitas: NPG mendukung transparansi dalam pengelolaan sumber daya
publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Menjadi lebih transparan dan mudah diakses akan
meningkatkan akuntabilitas pemerintah dan mengurangi kemungkinan korupsi. Dengan
demikian, integritas dan kinerja pemerintah meningkat. (3) Kolaborasi antara Pemerintah dan
Masyarakat: NPG mendorong kolaborasi dalam penyediaan layanan publik antara sektor
swasta, masyarakat, dan pemerintah. Kolaborasi ini dapat meningkatkan kualitas dan efisiensi
layanan, serta memperkuat kemampuan masyarakat untuk menangani masalah lokal.
Akibatnya, kemitraan yang lebih kuat antara pemerintah dan masyarakat terbentuk. (4) Inovasi
dalam Pengelolaan Publik: Melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, NPG
mendorong inovasi dalam pengelolaan publik. Penggunaan teknologi ini dapat meningkatkan
efisiensi, aksesibilitas, dan kualitas layanan publik. Ini berarti pemerintah menjadi lebih efisien
dan efektif.Pluralisme: Governance Baru Publik menekankan partisipasi berbagai lembaga
pemerintahan, seperti pemerintah, sektor swasta, organisasi nirlaba, dan berbagai kelompok
sosial. Ini menunjukkan rasa terima kasih atas keanekaragaman topik urusan publik dan
penyediaan layanan publik.
Pengembangan NPG Indonesia adalah bagian dari proses pengembangan, yang melibatkan
berbagai aspek seperti pembangunan kota, mekanisme partisipasi publik, meningkatkan
transparansi melalui e-government, dan pengembangan bersama pemerintah-sektor. Namun
dalam menerapkan NPG secara efektif mempunyai tantangan, seperti perubahan budaya,
kurangnya keamanan dan partisipasi, dan persyaratan peraturan. Pembangunan membutuhkan
kolaborasi dari pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk menciptakan layanan publik
yang lebih bertanggung jawab, transparan, dan efektif.

Prinsip-prinsip dan konsep NPG dapat ditemukan dalam beberapa undang-undang dan
peraturan yang berhubungan dengan tata kelola publik dan reformasi administrasi
public yang ada di Indonesia ?
Jawab : (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik: Undang-
undang ini mengatur tentang pelayanan publik yang berkualitas, transparan, akuntabel, dan
berorientasi pada kepentingan masyarakat. Prinsip-prinsip NPG seperti partisipasi masyarakat,
kolaborasi, dan inovasi tercermin dalam undang-undang ini. (2) Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik: Undang-undang ini memberikan akses
yang lebih luas kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi publik. Prinsip transparansi
yang merupakan salah satu aspek penting dari NPG tercermin dalam undang-undang ini. (3)
Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pengelolaan Aparatur Sipil Negara
(ASN): Peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik melalui
reformasi administrasi publik. Salah satu fokusnya adalah pada peningkatan kompetensi dan
etos kerja ASN, yang berkaitan dengan prinsip akuntabilitas dan kualitas pelayanan dalam
NPG. (4) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah:
Peraturan ini mengatur tentang tata kelola pemerintahan di tingkat daerah. Prinsip kolaborasi
dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dapat ditemukan dalam peraturan
ini.
RPS 6
Bahan Kajian : Public Sector Governance Issues
POIN 2
Butler & Nolan (2019) : point 1,2,& 3

Point 1 . Governance Today


Pemerintahan yang baik di sektor publik sangat penting untuk masa depan, tetapi maknanya
dan nilai sering disalahpahami. Istilah "pemerintah" berasal dari verb Yunani "kubernaein",
yang berarti "untuk mengarahkan", yang menyiratkan bahwa pemerintahan adalah kegiatan
tingkat tinggi yang berkaitan dengan rencana jangka panjang, tujuan, dan dampak. Ini tidak
boleh dikelirukan dengan efisiensi bisnis sederhana, demokrasi, ilmu sosial, atau populisme.
Pemerintahan bukan tentang "melakukan apa yang orang inginkan atau berpikir terbaik", tetapi
lebih tentang menempatkan tanggung jawab spesifik untuk memaksimalkan peluang tujuan
organisasi dicapai sambil memiliki kewajiban terhadap semua pemangku kepentingan yang
terlibat. Namun, pemerintahan kadang-kadang dilihat sebagai membosankan, peduli dengan
proses formal dan tanggung jawab, dan dianggap sesuatu di balik adegan. Pandangan ini tidak
seperti apa pemerintahan yang baik harus terlihat atau dirasakan di sektor publik. Pemerintahan
yang baik harus tentang memanfaatkan etos yang lebih luas dan memobilisasi niat bersama
organisasi dan warga untuk melakukan hal yang benar lebih sering dan lebih efektif dengan
cara yang terlihat bagi semua orang. Ini harus tentang mencapai perubahan dan transformasi
yang akan memastikan layanan publik kami kelas dunia. The Good Governance Institute
bertujuan untuk menjadi pemimpin kolaboratif dalam diskusi, dialog, dan debat tentang
pemerintahan yang baik di sektor publik. Institut ini terlibat dengan banyak badan dan
pemimpin sektor publik dan mendapat kesempatan untuk memahami tantangan dan kesuksesan
mereka. Ketika kita mendekati masa depan, pemerintahan yang baik dibutuhkan sekarang lebih
dari sebelumnya untuk menangani "masalah yang rumit" zaman kita dan menanggapi tantangan
kompleksitas dan ketidakpastian.
Pemerintahan melibatkan : mengatur layanan publik, melibatkan pemangku kepentingan
seperti pemerintah, pemungut pajak, regulator, staf, warga, mitra bisnis, bank, kreditur, dan
pesaing. Pemerintahan yang baik adalah tentang pengendalian masa jabatan, bukan
kepemilikan. The Good Governance Institute telah mengidentifikasi enam dimensi yang
mengarah pada empat hasil yang berarti, seperti yang dijelaskan dalam King IV, yang sangat
penting untuk memahami pemerintahan dan menerapkan pendekatan berpikir untuk
menjalankan organisasi sektor publik yang kompleks.
Gambar 1. The Good Governance King IV
Point 2. Trends and Challenges
Trends :
Sektor publik menghadapi beberapa tren dan tantangan yang mempengaruhi pemerintahan.
Salah satu tren kunci adalah dorongan untuk kolaborasi, karena layanan publik semakin
disampaikan oleh banyak pemain di dalam dan di luar sektor publik. Ini membutuhkan
kolaborasi yang lebih erat antara jenis dan berbagai organisasi untuk menciptakan hasil
bersama dan mekanisme pengiriman yang efisien dan efektif. Tren lain adalah kenaikan
populasi dan pergeseran signifikan dari sumber berita tradisional ke platform media sosial di
mana warga memilih sendiri preferensi politik mereka. Ini memungkinkan pemain politik
untuk memanipulasi pesan dan mendapatkan daya tarik, menciptakan basis dukungan dengan
pandangan yang tertanam dan berpolarisasi.
Challenges :
Dalam hal tantangan, sektor publik terus menghadapi isu-isu seperti menemukan waktu dan
ruang untuk melihat ke depan dan membuat rencana jangka panjang, kebutuhan bertambah
untuk tindakan multi-agensi yang tidak diselaraskan oleh pengaturan pemerintahan
terintegrasi, dan data yang sebagian besar tetap terisolasi daripada diintegrasikan untuk
pemerintahan yang lebih efektif. Tantangan lain termasuk siklus pemilihan yang
mempromosikan pemikiran jangka pendek atas pandangan jangka panjang, fragmentasi
layanan membuat semakin sulit untuk mengikuti, kurangnya koneksi pembelajaran di tingkat
nasional, regional, lokal dan institusi. Ada juga ketakutan dan ketidakpastian tentang implikasi
dari profil demografis yang berubah dan keterlibatan warga yang tidak cukup dalam forum
diskusi tentang masa depan pemerintahan sektor publik. Tren dan tantangan ini berpotensi
berdampak pada pemerintahan di sektor publik, yang mengharuskan desain kerangka
penyelidikan yang tepat dan terperinci untuk menangani isu-isu ini.
Point 3. Framework Enquiry
Kerangka permintaan mengenai kebutuhan masa depan untuk pemerintahan sektor publik :
Penduduk : (1) Apa cara yang paling produktif bagi warga untuk berkontribusi pada masa
depan sektor publik? (2) Apa implikasi untuk masa depan pemerintahan sektor publik dan serta
penduduk yang secara aktif dan pasif berkontribusi?
Digital : (1) Apa implikasi era digital yang dengan segera mempengaruhi pemerintahan di
sektor publik dan implikasi jangka panjang nya? (2) Bagaimana manfaat digital dapat
dimanfaatkan, risiko dan peluang segera ditangani secara efektif di seluruh sektor publik?
Lokasi : (1) Potensi sebenarnya dari pemerintahan berbasis lokasi untuk memperkuat hasil dari
waktu ke waktu? (2) Bagaimana lokasi praktis menjadi penghalang yang efektif ?
Kebijakan : (1) Bagaimana pengaruh kebijakan yang kompleks terhadap pemerintahan? (2)
Bagaimana manajemen dapat diterapkan secara konsisten di semua tingkatan untuk
membenarkan kepercayaan publik?
Pengukuran dan dampak : (1) Apa langkah terbaik untuk mengevaluasi kinerja pemerintahan
modern dan nilai tambahnya dari waktu ke waktu? (2) Bagaimana dan langkah-langkah yang
harus dilaporkan ke publik?
Regulasi dan Infrastruktur : (1) Perubahan apa yang diperlukan dalam kerangka hukum dan
peraturan yang memungkinkan pemerintahan berjalan lebih lancar dan efektif di semua
tingkatan sektor publik? (2) Bagaimana struktur dan proses pemerintahan di dalam organisasi
juga perlu berubah?
Akuntabilitas dan kemitraan : (1) Prinsip-prinsip dan kriteria keberhasilan untuk
pemerintahan yang efektif di mana beberapa lembaga dan kemitraan terlibat dalam
memberikan hasil bagi masyarakat? (2) Bagaimana pemerintahan dapat mendorong
peningkatan hasil melampaui batas-batas tradisional?
Kepemimpinan dan Budaya : (1) Apa karakteristik yang menentukan budaya sektor publik
di masa depan? (2) Bagaimana manajemen dapat membantu mengamankan kualitas
kepemimpinan yang diperlukan untuk mencapai budaya ini?

Point 4. Implikasi pemerintahan sektor publik modern dan perkembangan nya di Indonesia
(1)Peningkatan Transparansi: Pemerintahan sektor publik modern mendorong peningkatan
transparansi dalam pengelolaan keuangan negara, pengambilan keputusan, dan penyediaan
layanan publik. Ini dapat mengurangi risiko korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan serta
membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. (2) Partisipasi Masyarakat yang
Lebih Aktif: Pemerintahan sektor publik modern mendorong partisipasi masyarakat yang lebih
aktif dalam proses pengambilan keputusan. Masyarakat memiliki kesempatan untuk
memberikan masukan, menyampaikan aspirasi, dan berpartisipasi dalam perencanaan dan
pelaksanaan kebijakan publik. Hal ini dapat meningkatkan akuntabilitas pemerintah dan
memastikan kebijakan yang lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat. (3) Peningkatan
Kualitas Layanan Publik: Dengan pendekatan yang lebih inovatif dan efisien, pemerintahan
sektor publik modern berupaya meningkatkan kualitas layanan publik. Penggunaan teknologi
informasi dan komunikasi, seperti e-government dan aplikasi mobile, dapat mempermudah
akses masyarakat terhadap layanan publik dan meningkatkan efisiensi administrasi pemerintah.
(4) Kolaborasi antara Pemerintah dan Swasta: Pemerintahan sektor publik modern mendorong
kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta dalam penyediaan layanan publik. Melalui
kemitraan publik-swasta, pemerintah dapat memanfaatkan sumber daya dan keahlian sektor
swasta untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyediaan layanan publik. (5) Perubahan
Budaya Organisasi: Pemerintahan sektor publik modern mendorong perubahan budaya
organisasi di sektor publik. Budaya yang responsif, inovatif, dan berorientasi pada pelayanan
publik menjadi fokus utama. Peningkatan kapasitas aparatur pemerintah dan perubahan
mindset menjadi penting dalam menghadapi perubahan ini.

Point 5. Peraturan pemerintah indonesia yang berkaitan dengan pemerintahan sektor publik
modern
1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik: Undang-undang ini
mengatur prinsip-prinsip pelayanan publik yang modern, termasuk kepastian hukum,
kesederhanaan, keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan akuntabilitas.
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik: Undang-
undang ini mengatur hak masyarakat untuk mendapatkan informasi dari pemerintah secara
transparan. Hal ini mendorong pemerintah untuk menyediakan informasi publik secara terbuka
dan mudah diakses.
3. Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pengelolaan Aparatur Sipil Negara
(ASN): Peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kinerja aparatur sipil negara
(ASN) melalui reformasi kepegawaian, pengembangan kompetensi, dan peningkatan
akuntabilitas.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah:
Peraturan ini mengatur struktur organisasi pemerintah daerah yang modern dan efisien, dengan
penekanan pada pelayanan publik yang berkualitas dan responsif terhadap kebutuhan
masyarakat.
5. Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2019 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020-2024: Peraturan ini merupakan panduan untuk pembangunan
nasional yang mencakup berbagai sektor, termasuk pemerintahan sektor publik modern.
RPJMN ini menekankan pentingnya pelayanan publik yang berkualitas, partisipasi masyarakat,
dan penggunaan teknologi informasi.
6. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 8
Tahun 2020 tentang Reformasi Birokrasi: Peraturan ini mengatur langkah-langkah konkret
untuk melaksanakan reformasi birokrasi di Indonesia, termasuk peningkatan kualitas
pelayanan publik, penggunaan teknologi informasi, dan peningkatan kapasitas aparatur sipil
negara.
RPS 6
Bahan Kajian : Public Sector Governance Issues

POIN 3
Oliveira & Filho (2017) : poin 1,2,& 5

De Oliveira, C.B & Filho, J.R.F. (2017). Agency problems in the public sector: the role of
mediators between central administration of city hall and executive bodies. Brazilian
Journal of Public Administration.

Overview
Fokus utama dari artikel ini adalah permasalahan agensi dalam sektor publik dan pentingnya
peran birokrat tingkat menengah dalam mengurangi permasalahan agensi tersebut. Fenomena
yang dibahas adalah terjadinya agensi ketika agen (birokrat) tidak sepenuhnya
memperjuangkan kepentingan prinsipal (pemerintah) dan dapat terjadi karena adanya
perbedaan tujuan, informasi, dan insentif antara agen dan prinsipal.

1. Introduction

Studi ini membahas bagaimana sektor publik bekerja, dengan menggambarkan hubungan
antara orang yang memberi perintah (prinsipal) dan orang yang menjalankan perintah (agen)
dalam pemerintahan. Ini mirip dengan hubungan antara pemilik dan manajer dalam bisnis.
Teori ini mencoba mengidentifikasi masalah dan biaya yang muncul dalam hubungan
semacam itu.

Teori agensi mengatakan bahwa jika kedua pihak dalam hubungan ini mencoba
mendapatkan manfaat maksimal, maka agen (pelaksana) tidak selalu akan bertindak sesuai
kepentingan prinsipal (yang memberi perintah). Untuk mengatasi masalah ini, prinsipal
harus memberikan insentif yang baik kepada agen dan harus mengawasi mereka, yang bisa
menjadi mahal.

Masalah ini juga muncul dalam pemerintahan, misalnya dalam hubungan antara warga dan
politisi, atau antara politisi dan birokrasi. Artikel ini meneliti pengalaman Pemerintah Kota
Rio de Janeiro dalam mengatasi masalah ini, dengan menggunakan seorang pegawai negeri
sebagai perantara antara pusat kekuasaan dan badan-badan pemerintah, untuk mengurangi
masalah agensi. Objek dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi efek dari
intermediasi dalam mengurangi perbedaan motivasi dan tujuan antara administrasi pusat
dan badan eksekutif pemerintah kota Rio de Janeiro, Brasil. Studi ini berfokus pada masalah
agensi yang dapat timbul dalam hubungan ini, termasuk asimetri informasi, konflik
kepentingan, dan kurangnya komitmen, dan mengeksplorasi peran potensial dari birokrat
tingkat menengah dalam mengatasi masalah-masalah ini. (Project Office) "administrasi
pusat" merujuk pada pihak yang berada di puncak hierarki pemerintah kota Rio de Janeiro,
Brasil, yang bertanggung jawab atas kebijakan dan program yang ditetapkan oleh
pemerintah kota. Hal ini dapat mencakup pejabat tinggi seperti kepala staf atau walikota.
(Executive bodies) "badan eksekutif" merujuk pada unit-unit organisasi di bawah
administrasi pusat pemerintah kota Rio de Janeiro, Brasil, yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan program dan proyek yang ditetapkan oleh pemerintah kota. Hal ini dapat
mencakup departemen atau lembaga seperti Dinas Pekerjaan Umum atau Dinas Kesehatan.

Penelitian ini juga mencoba untuk memahami peran pegawai negeri tingkat menengah
dalam mengelola proses-proses penting dan kinerja organisasi. Ini adalah upaya untuk
menghubungkan apa yang diputuskan oleh politisi dan manajer tingkat atas dengan
bagaimana kebijakan benar-benar dijalankan oleh birokrasi di lapangan. Ini penting karena
seringkali di tengah-tengah pelaksanaan, kebijakan bisa berubah berdasarkan situasi sehari-
hari dan interaksi dengan masyarakat. Sebagai tambahan, pemahaman tentang peran
birokrat tingkat menengah ini juga merespons kritik dari para ahli yang ingin
menyederhanakan pemerintahan dengan menghapuskan posisi-posisi seperti ini demi
efisiensi.

2. The Agency Problem In The Public Sector


Artikel ini membahas bagaimana organisasi, baik di sektor swasta maupun sektor publik,
diatur melalui perjanjian. Perjanjian ini mencakup hubungan antara pihak yang memberi
perintah (prinsipal) dan pihak yang menjalankan perintah (agen).

Konsep dasarnya adalah bahwa organisasi bisa dilihat sebagai jaringan perjanjian antara
prinsipal dan agen. Prinsipal memberi wewenang kepada agen untuk melakukan tugas
tertentu namun ingin memastikan bahwa agen akan menjalankannya sesuai dengan
kepentingan prinsipal.

Masalah muncul dalam hubungan ini, seperti perbedaan tujuan, ketidaksetaraan informasi,
dan perbedaan dalam cara kedua pihak menghadapi risiko. Semua masalah ini menghasilkan
biaya yang disebut sebagai biaya agensi.

Teori ini juga berlaku di sektor publik, di mana politisi adalah prinsipal dan birokrat adalah
agen. Politisi mencoba mengendalikan birokrat melalui aturan dan pengawasan. Tapi
seringkali, ada perbedaan dalam tujuan mereka.

Dalam konteks ini, Birokrat Tingkat Menengah (MLB) memainkan peran penting dalam
mengelola aliran informasi, mengatasi masalah, dan membantu pelaksanaan kebijakan.

Jadi, intinya, teori agensi membantu kita memahami bagaimana organisasi diatur melalui
perjanjian, baik di sektor swasta maupun publik, dan bagaimana masalah dalam hubungan
ini dapat diatasi.

3. Results And Analysis


Hasil wawancara dibagi menjadi beberapa kategori yang berhubungan dengan masalah
agensi, yang sudah diidentifikasi dalam kerangka teoritis. Hasil ini menunjukkan bagaimana
para Projects and Goals Management Analyst (PGMA) (PGMA) memahami peran mereka
dan mengatasi konflik dalam hubungan antara Project Office dan badan eksekutif. Berikut
adalah beberapa temuan yang dijelaskan:

a. DIFFERENCES IN MOTIVATION AND GOALS


Manajer di Project Office dan manajer di badan eksekutif seringkali memperlakukan suatu
masalah atau subjek dengan cara yang berbeda, sehingga mengakibatkan aktivitas yang
tidak termasuk dalam rencana strategis dan Perjanjian Hasil. Hal ini bisa membuat manajer
yang melaksanakan kebijakan kurang berkomitmen pada tujuan dan proyek strategis.
Terkadang, ada kesesuaian awal ketika rencana hasil departemen dibuat dan kontraknya
ditandatangani. Namun, ketika manajer menghadapi agenda lain atau pemotongan
anggaran, mereka bisa menjauh dari apa yang sudah disepakati.
Tingkat kesesuaian tujuan ini bisa berbeda-beda di antara karyawan di badan eksekutif yang
sama. Beberapa karyawan yang berada dekat dengan manajer tertinggi mungkin lebih
sejalan dengan tujuan Project Office, sementara karyawan lain yang lebih rendah mungkin
kurang tahu tentang rencana strategis. Selain itu, terkadang manajer Project Office tidak
mengerti sepenuhnya aspek teknis yang berkaitan dengan badan eksekutif, sehingga sulit
menyelaraskan motivasi dan tujuan mereka.

Untuk mengatasi perbedaan ini, PGMA mencoba menjelaskan tujuan Project Office kepada
manajer badan eksekutif dan juga membawa kepentingan manajer badan eksekutif kepada
Project Office. Mereka berperan sebagai perantara yang membantu menyusun Perjanjian
Hasil yang wajar dan seimbang. Ini membantu meminimalisir perbedaan tujuan. Namun,
kadang-kadang PGMA takut kehilangan kepercayaan manajer badan eksekutif, sehingga
tidak dapat mengatasi perbedaan ini.

b. ASIMETRI INFORMATION
Sebelumnya, Project Office kesulitan mendapatkan info tentang kinerja badan eksekutif.
Sekarang, PGMA membantu mengungkapkan sumber daya yang terbuang. Tapi mereka tak
tahu pasti berapa besar sumber daya yang terbuang itu. Manajer badan eksekutif kadang-
kadang mencoba mengelabui hasil yang disepakati dengan Project Office. Ini bisa terjadi
karena faktor politik, anggaran, atau pergantian manajemen. PGMA yang memiliki
hubungan baik dengan badan eksekutif bisa lebih mudah mendapatkan info. Namun,
kadang-kadang ada kekhawatiran jika melaporkan masalah ke Project Office akan
memengaruhi hubungan mereka dengan badan eksekutif. Jadi, ini adalah masalah
ketidakseimbangan informasi yang harus dihadapi oleh PGMA.

c. RISK PROPENSITY

Terdapat perbedaan dalam cara Project Office dan badan eksekutif melihat risiko dalam
mencapai tujuan yang mereka sepakati dalam Risult Agreement. "Results Agreement"
adalah sebuah kesepakatan antara administrasi pusat dan badan eksekutif pemerintah kota
Rio de Janeiro, Brasil, yang menetapkan tujuan dan proyek yang harus dicapai oleh badan
eksekutif dalam jangka waktu tertentu. Kesepakatan ini digunakan sebagai dasar untuk
mengevaluasi kinerja badan eksekutif dan memberikan insentif dalam bentuk bonus atau
penghargaan lainnya jika tujuan dan proyek yang ditetapkan berhasil dicapai. Badan
eksekutif umumnya lebih khawatir tentang mencapai tujuan ini daripada Project Office. Ada
dua alasan utama untuk perbedaan ini:

Pertama, badan eksekutif mungkin khawatir tentang citra atau reputasi mereka di antara
bagian lain dari pemerintah kota. Jika mereka gagal mencapai tujuan, reputasi mereka bisa
tercemar.
Kedua, ada bonus uang yang diberikan kepada karyawan badan eksekutif jika mereka
berhasil mencapai tujuan dalam Risult Agreement. Bonus ini bisa menjadi motivasi besar
bagi mereka.

Namun, para PGMA yang bekerja di Project Office mungkin tidak begitu khawatir tentang
mencapai tujuan ini, karena mereka melihat bahwa badan eksekutif yang berhasil mencapai
tujuan yang ambisius berhak mendapatkan bonus. Namun, jika tujuan tersebut terlalu jauh
dari kenyataan atau tidak sesuai dengan janji yang dibuat oleh Wali Kota, Project Office
mungkin akan lebih bersemangat untuk memastikan tujuan tersebut tercapai.

Singkatnya, badan eksekutif cenderung lebih khawatir tentang mencapai tujuan Risult
Agreement karena reputasi mereka dan bonus yang mereka terima jika berhasil. Project
Office mungkin kurang khawatir, tetapi mereka ingin memastikan tujuan tersebut tetap
realistis dan sesuai dengan janji politik yang telah dibuat. Para PGMA tidak dapat mengubah
perbedaan ini dalam pandangan risiko antara kedua belah pihak.

d. DIFFERENT PLANNING HORIZON

Terkait dengan waktu perencanaan, Project Office berfokus pada masa jabatan Wali Kota,
yang biasanya berlangsung selama empat tahun. Mereka ingin Risult Agreement
mencerminkan tujuan Wali Kota saat ini.

Sementara itu, badan eksekutif memiliki pandangan yang lebih panjang. Mereka
merencanakan proyek dan tujuan mereka dengan memikirkan masa depan yang lebih jauh.
Ini mungkin karena banyak pegawai negeri yang memiliki pekerjaan tetap dan tidak terlalu
terpengaruh oleh perubahan politik.

PGMA tidak memiliki cara untuk mengubah perbedaan ini. Project Office akan tetap fokus
pada masa jabatan Wali Kota, sementara badan eksekutif akan lebih berorientasi pada
perencanaan jangka panjang.
RPS 6
Bahan Kajian : Public Sector Governance Issues

POIN 4
Winston (2006) : point 1 & 3

Winston, C. (2006). Government failure versus market failure : microeconomics policy


research and government performance. Brookings Institution Press, 1775 Massachusetts
Avenue, N.W. Washington, D.C

Overview
Buku ini membahas bagaimana ekonom bisa membantu memperbaiki kebijakan publik dengan
menganalisis efektivitas intervensi kebijakan pemerintah untuk mengatasi kegagalan pasar.
Penulis, Clifford Winston, menemukan bahwa seringkali pemerintah campur tangan ketika
tidak ada masalah pasar yang serius atau bahwa banyak kebijakan yang ada bisa lebih efisien.
Dia juga mencatat beberapa perbaikan dalam pendekatan kebijakan di beberapa area tertentu.
Rekomendasinya adalah untuk mencoba lebih banyak kebijakan yang berorientasi pasar untuk
mengatasi masalah ekonomi, dan buku ini merupakan bagian dari serangkaian publikasi yang
berkontribusi pada perdebatan tentang peran pemerintah dan regulasi.

1. Introduction
Kita membahas bagaimana pemerintah Amerika Serikat mencoba mengatur ekonomi
dengan berbagai kebijakan. Ada seorang profesor dari Harvard bernama John D. Graham
yang diangkat oleh Presiden George W. Bush untuk mengawasi kebijakan-kebijakan ini.
Profesor Graham lebih suka menggunakan analisis biaya dan manfaat untuk menilai apakah
kebijakan-kebijakan tersebut benar-benar membantu atau tidak.

Contohnya, jika pemerintah ingin membuat peraturan baru untuk melindungi lingkungan
yang dapat menyelamatkan 100 nyawa, tetapi biayanya sangat mahal, misalnya 1 miliar
dolar per nyawa yang diselamatkan, Profesor Graham akan menentang peraturan tersebut.
Dia akan menyarankan agar pemerintah mencari cara yang lebih murah untuk mencapai
tujuan yang sama.

Namun, ada orang-orang yang tidak setuju dengan pendekatan ini dan lebih mengutamakan
niat baik atau agenda politik daripada analisis ekonomi.

Dalam tulisan ini, kita juga membahas konsep efisiensi ekonomi yang penting. Efisiensi
ekonomi terjadi ketika tidak ada cara untuk membuat seseorang lebih baik tanpa membuat
orang lain menjadi lebih buruk. Pemerintah mencoba mencapai efisiensi ini dengan
mengatasi masalah-masalah di pasar yang disebut "kegagalan pasar."

Untuk menilai keberhasilan suatu kebijakan, kita harus mempertimbangkan apakah ada
kegagalan pasar yang signifikan yang membenarkan campur tangan pemerintah. Selain itu,
kita harus melihat apakah kebijakan pemerintah telah meningkatkan kinerja pasar dan
apakah kebijakan tersebut optimal, artinya efisien dalam mengatasi masalah pasar.
Kegagalan pemerintah terjadi ketika campur tangan pemerintah tidak seharusnya terjadi
atau ketika bisa ada cara yang lebih efisien untuk menyelesaikan masalah tanpa
mengorbankan kesejahteraan ekonomi.
Akhirnya, tulisan ini menekankan pentingnya menggunakan bukti empiris (data nyata)
untuk menilai efektivitas kebijakan pemerintah. Ini akan membantu kita memahami apakah
kebijakan pemerintah sudah berhasil atau tidak. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa
kebijakan pemerintah benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.

2. Market Power: Antitrust Policy (undang-undang antimonopoly) and Economic Regulation

Dalam model persaingan sempurna dalam buku teks ini, perusahaan-perusahaan seharusnya
hanya mendapatkan keuntungan pasar yang normal dalam jangka panjang. Namun,
beberapa perusahaan mungkin memiliki teknologi dan manajemen yang lebih baik sehingga
mereka bisa mendapatkan keuntungan di atas normal untuk waktu yang lama. Namun,
ketika sebuah perusahaan mencoba menguasai pasar atau mengeksploitasi kekuatan pasar
secara ilegal untuk mendapatkan keuntungan lebih besar, pemerintah bisa campur tangan
melalui undang-undang anti monopoli (antitrust) untuk melindungi kesejahteraan konsumen
dengan menghentikan tindakan tersebut dan mencegah perusahaan lain melakukan hal
serupa.

Ada situasi langka di mana satu perusahaan yang berperilaku baik adalah pilihan terbaik
untuk melayani pasar karena karakteristik teknologinya. Persaingan dalam kondisi seperti
ini bisa menyebabkan perusahaan di industri tersebut bangkrut atau satu perusahaan menjadi
pemain tunggal. Karena monopolis yang tidak diatur cenderung mengambil surplus
konsumen dengan merugikan kesejahteraan total, pemerintah bisa campur tangan dengan
mengatur harga yang lebih efisien untuk penyedia layanan monopoli dan mencegah
perusahaan lain masuk ke pasar. Namun, ini bisa mengurangi insentif inovasi.

Meskipun undang-undang antitrust dan regulasi ekonomi memiliki alasan yang berbeda,
keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu mendekatkan pasar ke ideal persaingan. Oleh
karena itu, keduanya dievaluasi dalam bab yang sama dalam buku ini.

Namun, penting untuk diingat bahwa hanya karena teori mendukung keberadaan undang-
undang antimonopoli dan regulasi ekonomi, itu tidak berarti campur tangan pemerintah
selalu diperlukan atau efektif dalam praktiknya. Campur tangan pemerintah hanya dapat
dibenarkan jika ada bukti bahwa tindakan tersebut dapat meningkatkan output dan
kesejahteraan sosial. Dan menurut penulis, berdasarkan bukti ilmiah yang tersedia saat ini,
kebijakan antimonopoli terhadap monopoli, penggabungan perusahaan, dan kolusi hanya
sedikit berdampak pada kesejahteraan konsumen, sementara regulasi ekonomi terhadap
produk pertanian dan perdagangan internasional justru bisa menyebabkan kerugian besar
dalam proses pengalihan sumber daya dari konsumen ke produsen.

Antitrust
Kebijakan antitrust adalah upaya pemerintah Amerika Serikat untuk mengawasi dan
mengendalikan praktik bisnis yang dapat mengakibatkan monopoli atau mengurangi
persaingan yang sehat di pasar. Hal ini dilakukan oleh Departemen Kehakiman (DOJ) dan
Komisi Perdagangan Federal (FTC). Mereka menerapkan undang-undang seperti Sherman
Antitrust Act tahun 1890 dan Clayton Act tahun 1914 untuk menghindari praktik monopoli,
penggabungan perusahaan yang merugikan persaingan, dan konspirasi yang melanggar
persaingan.

Tulisan ini mencoba mengevaluasi sejauh mana industri di Amerika Serikat bersaing secara
sehat. Namun, bukti yang ada tidak menunjukkan adanya masalah serius yang merugikan
persaingan dalam ekonomi negara tersebut. Contohnya, pada tahun 1992, hanya 46 dari 398
industri manufaktur di Amerika Serikat yang dapat dianggap tidak bersaing secara sempurna
berdasarkan ukuran konsentrasi empat perusahaan terbesar. Data awal pada tahun 2002 juga
menunjukkan penurunan pasar yang tidak bersaing dalam industri manufaktur.

Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa ekonomi Amerika Serikat hanya mengalami
sedikit kerugian dari harga yang tidak bersaing. Meskipun ada perkiraan yang berbeda-beda,
perkiraan terbaru menunjukkan kerugian sekitar 1 persen dari Produk Domestik Bruto
(GDP). Namun, ini mencakup banyak faktor, termasuk regulasi dan perlindungan
perdagangan.

Meskipun undang-undang antitrust ada untuk memastikan persaingan yang sehat, beberapa
kasus sejarah menunjukkan bahwa campur tangan pemerintah dalam kasus monopoli tidak
selalu berhasil dalam meningkatkan persaingan dan menurunkan harga konsumen.
Contohnya adalah kasus-kasus terkenal seperti Standard Oil, American Tobacco, Alcoa,
Paramount, dan United Shoe Machinery, di mana tindakan pengadilan tidak menghasilkan
keuntungan konsumen yang signifikan.

Penulis juga menyebutkan kasus pengecualian adalah pembubaran AT&T pada tahun 1984,
yang mengikuti kasus monopoli pada tahun 1974. Namun, pemecahan AT&T ini terutama
karena tuntutan dari FCC (Federal Communications Commission) daripada undang-undang
antitrust, dan itu memungkinkan pertumbuhan persaingan jaringan telepon panjang jarak
dan penurunan tarif.
Sehingga, tulisan ini menyarankan bahwa dalam beberapa kasus, campur tangan pemerintah
dalam undang-undang antitrust mungkin tidak selalu efektif dalam mempromosikan
persaingan dan melindungi konsumen, dan dalam beberapa kasus, regulasi yang baik
mungkin lebih efektif dalam mencapai tujuan tersebut.

Collusion
Merupakan praktik ketika beberapa perusahaan bekerja sama secara rahasia untuk mengatur
harga atau kebijakan mereka agar bisa mendapatkan keuntungan lebih besar. Para ekonom
belum menemukan bukti yang jelas bahwa penuntutan hukum terhadap kolusi dalam
undang-undang antitrust telah secara signifikan menurunkan harga untuk konsumen.

Sebagai contoh, sebuah penelitian mengamati dua puluh lima kasus ketika perusahaan-
perusahaan mencoba mempengaruhi harga antara tahun 1973 dan 1984. Meskipun
seharusnya tindakan hukum ini menurunkan harga jika kartel tersebut sebelumnya telah
menaikkan harga di atas tingkat kompetitif, penelitian tersebut menunjukkan bahwa harga
rata-rata naik sekitar 7 persen empat tahun setelah pengadilan. Bahkan jika kita memulai
perhitungan pada saat penyelidikan sebelum pengadilan, harga juga cenderung naik.

Penelitian terhadap kasus-kasus tertentu juga menunjukkan bahwa tindakan hukum terhadap
kolusi tidak selalu menguntungkan konsumen. Sebagai contoh, ketika ada kasus
penentangan harga oleh para pembuat roti pada tahun 1988, konsumen tidak merasakan
manfaatnya. Demikian pula, ketika ada perjanjian yang melarang maskapai penerbangan
mengumumkan tanggal akhir dari promosi tarif mereka, yang seharusnya menghambat
kolusi, hal tersebut juga tidak membantu konsumen.

Ada kemungkinan bahwa penegakan undang-undang oleh Departemen Kehakiman kurang


efektif karena perusahaan yang didakwa terlibat dalam kolusi sebenarnya memiliki tujuan
lain selain menaikkan harga. Misalnya, mereka mungkin bekerja sama untuk mengurangi
biaya iklan dan riset bersama, yang pada akhirnya bisa mengurangi harga. Atau mungkin
mereka berusaha untuk mencapai tujuan distribusi, seperti dalam kasus sekolah-sekolah Ivy
League yang berkoordinasi dalam kebijakan bantuan keuangan. Meskipun pemerintah
mengklaim bahwa mereka berkolusi untuk meningkatkan pendapatan, penelitian
menunjukkan bahwa hal itu sebenarnya mengarah pada lebih banyak bantuan yang
diberikan kepada mahasiswa berpenghasilan rendah

Merger
Mergers adalah penggabungan antara dua perusahaan atau lebih. Mergers bisa berdampak
baik atau buruk bagi konsumen. Mergers yang memungkinkan perusahaan mendapatkan
kekuasaan pasar cenderung mengakibatkan harga yang lebih tinggi, sementara mergers yang
memungkinkan perusahaan mencapai efisiensi operasional dan manajerial dapat
mengurangi biaya dan akhirnya menurunkan harga.

Di beberapa pasar, perusahaan yang telah bergabung bisa justru mendorong persaingan dan
mengurangi marjin keuntungan atas biaya produksi. Keefektifan kebijakan terkait merger
oleh pihak berwenang tergantung pada seberapa baik mereka dapat membedakan antara
merger yang meningkatkan persaingan dan yang merugikan persaingan. Terlihat bahwa
pihak berwenang tidak selalu mampu mengevaluasi merger dengan cara yang selalu
menguntungkan konsumen.

Bukti dari literatur keuangan menunjukkan bahwa merger yang ditentang oleh Departemen
Kehakiman (DOJ) dan Federal Trade Commission (FTC) pada umumnya tidak merugikan
persaingan dan akan efisien jika dibiarkan berjalan. Dalam beberapa kasus, merger yang
ditentang oleh regulator antitrust ternyata menguntungkan konsumen. Selain itu, analisis
oleh Crandall dan Winston menunjukkan bahwa pihak berwenang antitrust sering kali
menghambat merger yang sebenarnya akan meningkatkan efisiensi, baik dengan
menghalanginya di pengadilan atau dengan memberikan syarat-syarat yang pada akhirnya
meningkatkan biaya bagi perusahaan yang bergabung.
Jadi, mergers dapat memiliki efek yang beragam, dan kebijakan terkait mergers seringkali
kompleks dalam menilai dampaknya pada konsumen.

Deterence
Deterence adalah konsep atau prinsip yang digunakan dalam konteks hukum dan kebijakan
untuk mencegah tindakan ilegal atau perilaku yang merugikan. Prinsip ini mengandalkan
ancaman atau sanksi yang keras sebagai cara untuk mencegah individu atau entitas dari
melanggar hukum atau melakukan tindakan yang tidak diinginkan.

Argumen terkuat yang mendukung kebijakan antitrust adalah bahwa kebijakan ini dapat
meningkatkan kesejahteraan konsumen dengan mencegah perusahaan-perusahaan terlibat
dalam praktik ilegal yang pada akhirnya akan meningkatkan harga. Namun, dampak positif
dari upaya pencegahan sulit untuk diamati, misalnya, perjanjian penetapan harga yang tidak
pernah terjadi, merger menuju monopoli yang tidak terwujud, atau strategi penghancuran
pesaing yang tidak dicoba.
Untuk mencari tahu sejauh mana kebijakan antitrust dapat mencegah terjadinya monopoli
dan merger yang merugikan persaingan, beberapa perbandingan internasional telah
digunakan. Sebagai contoh, Stigsegera joint
ler (1966) membandingkan konsentrasi dalam industri tertentu di Amerika Serikat dengan
industri yang sama di Inggris, yang pada saat penelitiannya tidak memiliki kebijakan publik
melawan konsentrasi kontrol, dan menyimpulkan bahwa Undang-Undang Sherman
memiliki efek yang sangat terbatas dalam mengurangi konsentrasi di Amerika Serikat.
Eckbo (1992) juga memeriksa apakah hukum antitrust mencegah merger yang bersifat
merugikan persaingan dengan mengestimasi apakah probabilitas bahwa merger horizontal
bersifat merugikan persaingan lebih tinggi di Kanada, di mana hingga tahun 1985 merger
dapat berlangsung dalam lingkungan hukum yang efektif tanpa batasan, daripada di
Amerika Serikat. Berdasarkan perbandingan ini, ia menolak hipotesis bahwa hukum
antitrust di Amerika Serikat mencegah merger yang merugikan persaingan.

Perusahaan dan individu yang terbukti melakukan penetapan harga tunduk pada hukuman
pidana federal dan juga rentan terhadap gugatan pribadi yang bisa mengakibatkan kerugian
tiga kali lipat. Bukti menunjukkan bahwa gugatan kelompok seperti ini adalah salah satu
cara yang paling efektif untuk mencegah kolusi. Baru-baru ini, Divisi Antitrust Departemen
Kehakiman Amerika Serikat telah berupaya memperkuat efek pencegahan dengan
memberlakukan denda yang lebih tinggi pada perusahaan yang terlibat dalam penetapan
harga dan dengan memperluas penggunaan kebijakan keringanan perusahaan yang
memberikan informasi tentang peran mereka dalam konspirasi dan bekerja sama dengan
pemerintah. Namun, ada kekhawatiran bahwa langkah-langkah ini dapat menghasilkan
pencegahan berlebihan, yang akan mendorong investasi berlebihan dalam pemantauan dan
pencegahan, meningkatkan biaya produksi, dan akhirnya meningkatkan harga untuk
konsumen.

Jadi, dalam teori dan praktek, lingkungan persaingan yang sangat ketat di Amerika Serikat
telah mengurangi monopoli, membuat sulit bagi perusahaan untuk menjaga perjanjian
kolusi yang merugikan, dan menghasilkan merger yang memberikan manfaat efisiensi atau
bahkan gagal untuk meningkatkan nilai perusahaan. Namun, efek pencegahan dari
kebijakan antitrust dalam teori bisa bercampur aduk dan dalam praktek belum terlalu jelas.
Dalam beberapa kasus, kebijakan ini mungkin membuat perusahaan ragu untuk terlibat
dalam aktivitas yang sebenarnya bermanfaat bagi masyarakat, atau justru mencegah
perilaku yang merugikan persaingan. Oleh karena itu, penting untuk mengukur dampak dari
setiap tindakan kebijakan tersebut. Hal ini juga mengilustrasikan bahwa sulit memberikan
rekomendasi kebijakan yang kuat untuk meningkatkan kebijakan antitrust.

A Credibility Check (penilaian kredibilitas)


Penulis mengemukakan bahwa meskipun ia memberikan penilaian kritis terhadap kebijakan
penanggulangan kegagalan pasar secara umum dan kebijakan antitrust khususnya, ada
pendapat lain yang mendukung efektivitas kebijakan antitrust. Pendukung kebijakan
antitrust berpendapat bahwa biaya pelaksanaan kebijakan ini relatif kecil, sekitar $1 miliar
per tahun, dan manfaat potensialnya jauh lebih besar, mungkin mencapai $100 miliar per
tahun. Namun, argumen ini tidak didasarkan pada bukti empiris bahwa tindakan antitrust
benar-benar mengurangi biaya perusahaan yang melakukan kolusi dan memberikan manfaat
kepada konsumen.
Penulis juga mencatat bahwa meskipun ada beberapa bukti yang mendukung kebijakan
antitrust dalam mencegah beberapa merger yang dapat merugikan konsumen, manfaat dari
tindakan antitrust ini masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan biaya pelaksanaannya.
Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa berdasarkan bukti empiris yang tersedia,
kebijakan antitrust saat ini memberikan manfaat yang sangat terbatas bagi konsumen yang
jauh lebih kecil daripada biaya pelaksanaannya.

Economic Regulation
Sejak tahun 1887 dengan Undang-Undang Perdagangan Antar Negara Bagian yang
mengatur kereta api, pemerintah federal Amerika Serikat telah menggunakan wewenang
hukumnya untuk mengendalikan penetapan harga, masuk, dan keluar dari industri di mana
persaingan dianggap tidak dapat berfungsi karena adanya ekonomi skala besar akan
menyebabkan perusahaan saling bersaing dengan menurunkan harga hingga mereka entah
semua bangkrut atau industri tersebut menjadi monopoli. Pada tahun 1970-an, pemerintah
federal mulai melakukan deregulasi pada sebagian besar industri transportasi, komunikasi,
energi, dan keuangan karena menjadi jelas bahwa regulasi ekonomi sebenarnya
menghambat persaingan yang dapat menguntungkan konsumen. Saat ini, regulasi harga
federal sebagian besar terbatas pada komoditas pertanian dan perdagangan internasional
produk tertentu, yang keduanya tidak dianggap memicu pertimbangan monopoli alami.

Agriculture
Pemerintah Amerika Serikat memberikan bantuan dan subsidi kepada petani dalam berbagai
bentuk. Ini termasuk bantuan untuk menjadi petani, bantuan jika mereka tidak mendapat
untung dari hasil pertanian mereka, dan bantuan jika mereka tidak menanam tanah mereka.
Namun, sebagian besar bantuan ini cenderung menguntungkan perusahaan besar di sektor
pertanian dan petani terkaya.
Pemerintah juga mengatur harga beberapa produk pertanian seperti gandum, jagung, kapas,
kacang tanah, produk susu, gula, dan beras. Mereka melakukan ini untuk meningkatkan
harga susu cair dan menurunkan harga produk susu olahan, misalnya.

Meskipun bantuan ini awalnya dimotivasi oleh masalah pendapatan rendah petani dan
ketidakstabilan pendapatan dari pertanian, data menunjukkan bahwa sebagian besar petani
sekarang memiliki pendapatan yang sebanding atau bahkan lebih tinggi daripada pekerja di
sektor nonpertanian. Namun, pemerintah masih terus memberikan bantuan ini, bahkan
ketika beberapa petani mendapatkan pendapatan yang tinggi.

Ini menyebabkan sebagian besar subsidi ini mengarah pada kerugian kesejahteraan ekonomi
yang mencapai miliaran dolar setiap tahunnya, dengan sebagian besar manfaatnya mengalir
ke petani yang lebih kaya dan perusahaan besar. Meskipun ada upaya untuk mengurangi
program-program ini, beberapa dari mereka terus berlanjut dengan biaya yang tinggi bagi
pemerintah.

International Trade
Pemerintah Amerika Serikat sering kali menggunakan tarif dan kuota untuk melindungi
beberapa industri dari persaingan luar negeri. Ini biasanya dilakukan dalam sektor seperti
otomotif, baja, tekstil, dan produk susu. Mereka berargumen bahwa ini dilakukan untuk
melindungi industri dalam negeri dan menciptakan lapangan kerja. Namun, banyak
penelitian menunjukkan bahwa tindakan ini sebenarnya merugikan konsumen. Tarif dan
kuota ini dapat membuat harga barang impor menjadi lebih mahal, yang akhirnya membawa
kerugian bagi konsumen. Meskipun ada upaya untuk mengurangi pembatasan perdagangan
di tingkat internasional, seperti perjanjian perdagangan, kebijakan ini masih seringkali
diterapkan oleh pemerintah, terutama dalam situasi politik tertentu.
RPS 6
Bahan Kajian : Public Sector Governance Issues

POIN 5
Karpoff (2020) : point 1 & 6

The Future of Financial


Fraud Jonathan M Karpoff
Apakah fraud finansial menjadi masalah yang lebih besar atau lebih kecil seiring berjalannya
waktu? Bukti yang tersedia beragam, beberapa indikator meningkat dan indikator lainnya
menurun atau datar. Gambar 1, misalnya, menunjukkan jumlah tindakan penegakan SEC baru
yang menargetkan perusahaan publik karena kesalahan penyajian keuangan sejak tahun 1978
hingga awal tahun 2020. Tren jumlahnya meningkat hingga tahun 2003 sebelum berubah
menjadi datar atau sedikit menurun. Gambar 1 juga melaporkan ukuran alternatif, yaitu jumlah
perusahaan (di antara perusahaan yang menghadapi tindakan penegakan hukum) yang benar-
benar melanggar peraturan pelaporan keuangan pada tahun tertentu. Dengan menggunakan
ukuran ini, aktivitas fraud telah menurun sejak awal tahun 2000an. Ukuran ketiga, jumlah
tahunan pengajuan gugatan class action terkait sekuritas yang menuduh adanya pelanggaran
keuangan, menunjukkan bahwa fraud telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Cornerstone Research (2020, hal. 1) melaporkan bahwa, “Penggugat mengajukan 428 kasus
sekuritas class action baru… di pengadilan federal dan negara bagian pada tahun 2019, jumlah
terbanyak yang pernah tercatat dan hampir dua kali lipat rata-rata pada tahun 1997–2018.”
Tindakan SEC dan tuntutan hukum sekuritas dapat memiliki tren yang berbeda jika bertindak
sebagai pengganti penegakan hukum. Atau mungkin masing-masing pihak mempunyai aspek
penegakan hukum yang berbeda. Terlepas dari itu, penghitungan angka-angka ini bukan
merupakan indikator tren fraud yang dapat diandalkan karena penghitungan tersebut
menghilangkan fraud yang terjadi namun tidak pernah memicu tindakan penegakan peraturan
atau tuntutan hukum. Kita dapat melacak indikator pelanggaran keuangan lainnya seperti
penyajian kembali. Namun hal ini tidak menyelesaikan masalah observabilitas. Banyak
pernyataan ulang yang tidak ada hubungannya dengan pelanggaran, dan banyak contoh
pelanggaran yang sebenarnya tidak memicu pernyataan ulang.
Untuk mengatasi masalah pelanggaran yang tidak teramati, beberapa peneliti telah mencoba
mengukur kemungkinan deteksi dan prevalensi fraud yang tidak teramati. Pendekatan-
pendekatan ini menjanjikan, namun belum diperluas untuk menilai tren fraud berdasarkan waktu.
Paper ini mendekati pertanyaan tersebut dengan cara yang berbeda. Daripada menguji data,
penulis mengambil teori untuk mengkaji bagaimana kejadian pelanggaran keuangan cenderung
berubah
seiring berjalannya waktu. Penulis mengambil dua konstruksi teoritis yang menjadi ciri kekuatan
yang mendorong perusahaan melakukan fraud, dan menggunakannya untuk menguji dampak
dari dua kekuatan besar yang membentuk banyak tren sekuler – teknologi dan kekayaan.
Konstruksi pertama adalah Segitiga Kepercayaan (Trust Triangle), yang digunakan Dupont dan
Karpoff (2020) untuk menggambarkan kekuatan yang mendisiplinkan pelanggaran dan
mendorong pembangunan trust yang merupakan inti dari sebagian besar transaksi ekonomi.
Konstruksi kedua adalah model “penegakan kontrak” oleh Klein dan Leffler (1981) tanpa adanya
penegakan pihak ketiga. Model ini menambah isi proposisi dasar Becker (1968) bahwa
seseorang akan melakukan fraud ketika manfaat yang diharapkan melebihi biaya yang
diharapkan, dengan membagi biaya menjadi mekanisme pihak pertama, pihak terkait, dan pihak
ketiga. Saya menggunakan dua konstruksi ini untuk menyimpulkan bahwa beberapa perubahan
dalam kekayaan dan teknologi – misalnya, anonimitas yang diberikan oleh beberapa aplikasi
blockchain – akan menurunkan biaya dan meningkatkan profitabilitas fraud. Namun, sebagian
besar perubahan cenderung meningkatkan penggunaan dan efektivitas penegakan dan
pencegahan fraud pihak pertama, pihak terkait, dan pihak ketiga. Jika dilihat dalam jangka waktu
yang lebih panjang – katakanlah sepuluh tahun atau lebih – dampak bersih dari perubahan ini
adalah berkurangnya fraud dari waktu ke waktu.
Yang pasti, kesimpulan yang membahagiakan datang dengan kualifikasi-kualifikasinya. Di
Bagian 6, penulis membahas beberapa kekuatan yang dapat mengganggu tren jangka panjang
menuju berkurangnya fraud. Yang paling menonjol adalah pandemi COVID-19, dan penutupan
bisnis- bisnis yang diakibatkannya, telah mengganggu “permintaan relatif” dan menghancurkan
modal organisasi di seluruh perekonomian dunia – perubahan yang menjadi lahan subur bagi
segala jenis fraud, termasuk fraud finansial. Pergesekan informasi, bias perilaku, hilangnya
kepercayaan terhadap institusi, dan ketimpangan pendapatan juga dapat meningkat seiring
berjalannya waktu, sehingga mengganggu tren jangka panjang menuju berkurangnya fraud.
Meskipun terdapat bahaya-bahaya tersebut, dan meskipun ada kemungkinan peningkatan fraud
dalam jangka pendek yang terkait dengan pandemi COVID-19 serta gejolak ekonomi dan politik
yang terkait, penulis berpendapat bahwa tren jangka panjangnya adalah menuju berkurangnya
fraud. Dengan kata lain, transaksi yang jujur adalah barang normal dengan pendapatan, dan
permintaan akan barang tersebut akan meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi jangka
panjang.
Sebelum melanjutkan, saya harus mencatat bahwa istilah “fraud” memiliki banyak konotasi.
Seperti Amiram dkk. (2018) menyatakan, istilah umum yang mencakup sebagian besar jenis
perilaku pelaporan keuangan yang ilegal dan tidak etis adalah “kesalahan keuangan.”
Pelanggaran peraturan pelaporan SEC yang melanggar pasal 13(a) dari Securities and Exchange
Act tahun 1934 – misalnya, penundaan pengajuan – dapat disebut “kesalahan pelaporan
keuangan”, sedangkan pelanggaran 13(b) (seperti yang dilaporkan pada Gambar 1) adalah
tentang “representasi keuangan yang keliru.” Pelanggaran tersebut sering kali, namun tidak
selalu, juga mencakup dugaan fraud, misalnya pelanggaran Pasal 17a Undang-undang Sekuritas
tahun 1933 atau Pasal 10(b)-5 Undang-Undang Bursa Efek tahun 1934. (Semua tuntutan hukum
class action sekuritas yang menyebutkan pelanggaran Bagian 10(b)-5 terlibat tuduhan fraud.)
Mengingat perbedaan tersebut, penulis tetap menggunakan istilah “fraud” dalam arti sehari-
hari, sebagai
“penipuan yang salah atau kriminal yang dimaksudkan untuk menghasilkan keuntungan finansial
atau pribadi” (dari kamus Google), dan menggunakan istilah tersebut secara bergantian dengan
“kecurangan”, “kelakuan buruk”, dan “oportunisme”. Fokus penulis adalah pada perilaku yang
melanggar perjanjian eksplisit atau implisit antara pihak-pihak dalam suatu transaksi ekonomi,
baik tindakan tersebut memenuhi definisi hukum dari fraud atau tidak.

Sekalipun dugaan optimis penulis mengenai penurunan penipuan dalam jangka panjang benar, tren
tersebut kemungkinan besar tidak akan bisa dihindari atau monoton. Faktor-faktor yang dapat
mencegah tren jangka panjang menuju penurunan fraud yaitu pandemi COVID-19 yang
mengakibatkan terhentinya perekonomian, gesekan informasi dan perilaku, meningkatnya
ketidakpercayaan terhadap institusi, dan kesenjangan ekonomi.
Sekalipun dugaan optimis saya mengenai penurunan penipuan dalam jangka panjang benar, tren
tersebut kemungkinan besar tidak akan bisa dihindari atau monoton. Faktor-faktor yang dapat
memitigasi tren jangka panjang menuju penurunan penipuan adalah pandemi COVID-19 yang
mengakibatkan terhentinya perekonomian, gesekan informasi dan perilaku, meningkatnya
ketidakpercayaan terhadap institusi, dan kesenjangan ekonomi.

6.1. Pandemi COVID-19 dan penutupan ekonomi


Pandemi COVID-19 dan penutupan perekonomian pada tahun 2020 menciptakan lingkungan di
mana fraud menjadi lebih besar – bukannya lebih kecil – kemungkinannya, setidaknya dalam
beberapa tahun ke depan. Hal ini disebabkan oleh tiga alasan. Pertama, baik teori maupun bukti
menunjukkan bahwa perusahaan yang mengalami masalah keuangan lebih besar
kemungkinannya untuk melakukan fraud (misalnya, Maksimovic dan Titman 1992; Files et al.,
2019). Penutupan perekonomian menimbulkan biaya besar dan mengancam kelangsungan hidup
banyak perusahaan, sehingga menciptakan lebih banyak situasi di mana manfaat jangka pendek
dari fraud (W3) melebihi manfaat jangka panjang dari tidak melakukan fraud (W2).
Kedua, pandemi dan penutupan perekonomian menyebabkan perubahan besar dalam komposisi
permintaan agregat. Banyak barang dan jasa yang dulunya memiliki permintaan tinggi –
perjalanan udara dan kapal pesiar – kini mengalami penurunan permintaan, sementara barang
dan jasa lainnya
– alat pelindung diri, pembelian dan pengiriman online – memiliki permintaan yang tinggi.
Pergeseran “permintaan relatif” jarang terjadi tanpa gesekan, karena penyesuaian rantai pasokan
dan proses produksi untuk mengalokasikan kembali sumber daya dari pasar lama guna
memenuhi permintaan baru membutuhkan biaya yang besar. Produsen telah berinvestasi tetap
dalam teknologi, sumber daya manusia, aset fisik, dan inventaris, sehingga sulit untuk
menafsirkan dan merespons perubahan sinyal dari perubahan harga. Hal ini mengubah biaya dan
manfaat dari banyak aktivitas, termasuk fraud.
Alasan ketiga mengapa pandemi COVID-19 kemungkinan besar akan menyebabkan peningkatan
fraud dalam jangka pendek adalah karena pandemi dan penutupan ekonomi telah
menghancurkan
modal organisasi banyak perusahaan. Yang dimaksud dengan modal organisasi adalah porsi nilai
perusahaan yang melebihi jumlah dari bagian-bagiannya.
6.2. Gesekan/friksi informasi dan perilaku
Dalam kerangka Klein-Leffler yang dibahas di Bagian 4, konsumen akan segera mengetahui
jika suatu perusahaan melakukan kecurangan, dan semua konsumen akan segera menyesuaikan
diri dengan menolak membeli dari perusahaan dengan harga kualitas tinggi. Dalam praktiknya,
informasi tentang perilaku curang suatu perusahaan bisa memakan banyak biaya, lambat, dan
tersebar. Bahkan ketika calon rekanan mengetahui tentang kesalahan yang dilakukan suatu
perusahaan, mereka mungkin lambat dalam menyesuaikan perilakunya dan terus membeli dari
perusahaan tersebut dengan harga berkualitas tinggi. Akibatnya, beberapa perusahaan yang
melakukan fraud dapat melanggengkan perbuatannya untuk beberapa waktu. Dan bahkan ketika
mereka tertangkap, mereka mungkin masih membujuk pihak-pihak yang kurang informasi atau
tidak rasional untuk berbisnis dengan mereka dengan harga kualitas tinggi. Dengan kata lain,
gesekan informasi dan perilaku dapat membuat keuntungan jangka pendek dari kecurangan (W3)
menjadi cukup besar.
Dalam kerangka paper ini, gesekan informasi dan perilaku yang meningkatkan W3 memiliki tiga
efek. Pertama, kondisi untuk mendapatkan solusi reputasi terhadap masalah kontrak menjadi
lebih sulit dipenuhi. Hal ini dapat diamati dengan mengacu pada persamaan (5), karena kondisi
untuk “a reputation-enforcing price premium” menjadi semakin kecil kemungkinannya. Secara
intuitif, jika W3 cukup besar, mustahil menemukan harga keseimbangan premium P2 – P1 yang
mendorong transaksi yang jujur. Kedua, bahkan jika harga premium ekuilibrium memang terjadi
dan kondisi dalam persamaan (5) terpenuhi (yaitu W2 > W3), hal ini hanya terjadi pada investasi
yang lebih tinggi pada modal reputasi. Artinya, gesekan yang meningkatkan W3 akan
menyebabkan penyesuaian endogen di mana perusahaan dan mitranya membangun kepercayaan
melalui investasi yang lebih besar pada modal reputasi. Ketiga, meningkatnya biaya yang harus
ditanggung karena mengandalkan modal reputasi akan menyebabkan substitusi ke leg lain dari
Trust Triangle. Dalam kondisi ekstrim, jika kondisi pada persamaan (5) tidak terpenuhi, leg
reputasi dari Trust Triangle tidak akan berfungsi dan kontraksi ekonomi hanya mungkin terjadi
jika terdapat insentif yang cukup yang diberikan oleh lembaga legal pihak ketiga dan/atau pihak
pertama serta dorongan budaya untuk mencegah fraud.
Sejauh penegakan budaya dan pihak ketiga bukanlah pengganti yang sempurna bagi modal
reputasi untuk mendorong transaksi yang jujur, dampak akhirnya adalah peningkatan
kemungkinan dan kejadian fraud. Oleh karena itu, fraud berhubungan positif dengan ukuran dan
pentingnya gesekan informasi dan perilaku yang menghambat peran pasar dan modal reputasi
dalam mencegah fraud. Pada Bagian 5 di atas, penulis berpendapat bahwa inovasi teknologi
cenderung mengurangi gesekan informasi. Namun jika jenis gesekan informasi dan/atau perilaku
lainnya meningkat seiring berjalannya waktu, hal ini akan mengimbangi tren jangka panjang
menuju penurunan fraud.
6.3. Ketidakpercayaan institusional dan ketimpangan pendapatan
Meski kekuatan-kekuatan kontemporer diatas dapat menghambat, perkiraan penulis relatif
optimis mengenai penurunan jangka panjang dalam kejadian kecurangan finansial. Levin (2020),
misalnya, menunjukkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi, termasuk
pemerintah, dunia usaha, dan keluarga. Rusaknya kepercayaan institusional dapat melemahkan
ketiga bagian (leg) dari Trust Triangle, sehingga mendorong peningkatan fraud. Sebagai salah
satu contoh, jika SEC secara luas dipandang sebagai alat politik dan bukan sebagai pengatur
pasar keuangan yang tidak memihak, hal ini akan melemahkan disinsentif terhadap fraud yang
disebabkan oleh prospek penegakan pihak ketiga bagi banyak perusahaan. Contoh lain, Dupont
(2020) menemukan bahwa skandal pelecehan seksual di gereja Katolik melemahkan
kepercayaan di banyak komunitas AS, sehingga memengaruhi kesediaan umat Katolik dan non-
Katolik untuk berinvestasi di pasar saham. Menurunnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga
budaya tersebut akan melemahkan “cultural leg” dari Trust Triangle, sehingga menciptakan
lingkungan yang memungkinkan terjadinya fraud.
Penulis berpendapat bahwa peningkatan ketimpangan pendapatan juga dapat menyebabkan
peningkatan fraud jika hal tersebut melahirkan korupsi dan penegakkan hukum terhadap individu
yang berpunya dan perusahaan tidak efektif. Jika ketimpangan pendapatan terus meningkat
seiring berjalannya waktu, kita akan melihat penegakan undang-undang sekuritas yang kurang
atau bias, karena regulator dikuasai oleh kelompok elit yang semakin kaya. Meningkatnya
ketimpangan pendapatan dapat melemahkan kesepakatan sosial yang memberikan legitimasi
bagi lembaga pemerintah dan dunia usaha, sehingga mengurangi hambatan budaya atau pihak
pertama terhadap perilaku tidak etis. Perkembangan seperti ini mungkin akan memicu
peningkatan ketergantungan pada modal reputasi sebagai media yang membentuk dan
memelihara kepercayaan dalam kontraksi ekonomi. Namun efek akhirnya adalah memperlambat
penurunan fraud dalam jangka panjang seiring berjalannya waktu.
RPS 6
Bahan Kajian : Public Sector Governance Issues

POIN 6
Pellegrini & Gerlagh (2007)

Causes of Corruption: a survey of cross-country analyses and extended


results Lorenzo Pellegrini – Reyel Gerlagh
Korupsi merupakan fenomena yang tersebar luas dan mempengaruhi semua masyarakat pada
tingkat yang berbeda-beda, pada waktu yang berbeda-beda. Di satu sisi, seperti yang telah
berulang kali ditunjukkan dalam skandal korupsi, suap adalah hal biasa di semua negara
meskipun ada perbedaan dalam tingkat pendapatan dan sistem hukum, seperti yang biasa terjadi
di negara demokrasi dan negara diktator. Korupsi tidak jarang terjadi bahkan dalam keadaan
darurat kemanusiaan.
Setiap negara mempunyai perbedaan-perbedaan besar dalam hal tingkat korupsi. Di beberapa
masyarakat, tidak ada transaksi yang diselesaikan tanpa adanya korupsi, sementara di negara lain
hal ini dianggap sebagai pengecualian dan jarang ditoleransi. Korupsi cenderung merajalela
terutama di negara-negara berkembang. Relevansi korupsi dengan tingkat kesejahteraan
memerlukan pemahaman tentang sumber korupsi (dan perbedaan antar negara) dan pengembangan
kebijakan untuk mengatasi fenomena korupsi. Ketika kita mempertimbangkan dampak negatif
korupsi terhadap kesejahteraan, sebuah pertanyaan penelitian yang jelas muncul: apa alasan
korupsi menjadi hal yang umum di beberapa negara sementara negara-negara lain berhasil
mencegah korupsi yang menghambat kesejahteraan mereka?
Studi ini mempertimbangkan dan menguji secara empiris berbagai penjelasan teoritis mengenai
korupsi dan menemukan sebagian besar ‘faktor tetap’ sebagai faktor penentu korupsi. Studi
Treisman (2000) menjadi titik tolak penelitian ini.
Studi empiris sebelumnya dan selanjutnya—kebanyakan bersifat cross sectional—lebih fokus
pada permasalahan tunggal di mana penulis menguji teori tertentu dengan memasukkan proksi
untuk variabel tertentu ke dalam regresi berganda. Penelitian-penelitian tersebut sering kali
memberikan hasil yang menegaskan teori-teori yang telah diuji dan, walaupun penelitian-
penelitian tersebut memberikan kontribusi yang berharga dalam mengidentifikasi kemungkinan
sumber korupsi, penelitian-penelitian tersebut mungkin terlalu menekankan pentingnya variabel-
variabel yang dianalisis karena adanya bias variabel yang dihilangkan.
Kontribusi empiris paper ini ada tiga. Pertama, karena ketersediaan data yang lebih baik, penulis
paper dapat menggunakan sampel data yang lebih besar sehingga memberikan kekuatan lebih
besar pada pengujian statistik dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Kedua, penulis paper
memiliki sejumlah besar variabel independen yang dapat dilakukan uji bersama sehingga tidak
mengalami bias variabel yang dihilangkan, sebuah masalah dalam banyak penelitian sebelumnya
dan parsial yang mungkin terlalu menekankan pentingnya variabel yang dipertimbangkan.
Keuntungan ini sangat berharga karena membantu kita menilai pentingnya penyebab korupsi
yang bersifat jangka panjang dan yang ada saat ini, sementara sumber-sumber korupsi sejauh ini
sebagian besar telah dinilai secara independen. Ketiga, keuntungan dibandingkan penulis
sebelumnya adalah tersedianya dua indeks korupsi alternatif, yang dapat digunakan untuk
memeriksa robustness temuan-temuan tersebut.
Teori-teori tentang determinants dari korupsi
Dalam paper ini dibagi menjadi 2 yaitu akar sejarah dari korupsi dan penyebab kontemporer dari
korupsi.
Akar sejarah dari korupsi menjelaskan hubungan sejarah suatu negara dengan tingkat korupsi
masa kini. Contohnya adalah:
- The actions of the independent judiciary system in countries that adopted the British law
code will be conductive to lower levels of corruption (for a discussionin depth, see La Porta
et al. 1999).
- the Protestant church has traditionally been apart from the state and played a role of
opposition to the abuses of the government (Treisman 2000)
- more ethnically fractionalized countries tend to be more corrupted (Mauro 1995)
Penyebab kontemporer dari korupsi menjelaskan hubungan kelembagaan, struktur ekonomi
dan tingkat pembangunan dengan tingkat korupsi.
Contohnya adalah:
- corruption would be associated to the size of government activities (Chafuen
and Guzmàn 1999; Acemoglu and Verdier 2000).
- contemporary democracy to decrease corruption levels (e.g. Hill 2003; Chowdhury
2004; Bohara et al. 2004)
- corruption is discouraged or fostered by political stability (Treisman
2000). Sumber Data
Paper ini menggunakan data yang sesuai dengan definisi umum “penyalahgunaan kekuasaan
untuk keuntungan pribadi” dari Bank Dunia (Kaufmann et al. 2005) dan Transparency
International. Kedua dataset tersebut serupa dalam arti bahwa keduanya mengumpulkan ukuran-
ukuran yang ada mengenai persepsi korupsi, dan menghasilkan indeks agregat. Paper ini akan
menggunakan data dari Bank Dunia sebagai analisis utama dan indeks dari Transparency
International sebagai uji robustness.
Kesimpulan
Penelitian ini berkontribusi pada literatur yang ada dengan mempertanyakan beberapa temuan
utama studi ekonometrik sebelumnya. Yang paling penting, untuk beberapa karakteristik historis
suatu negara yang dikatakan sebagai penyebab korupsi, tidak mendapatkan dukungan dalam
paper ini. Dalam analisis statistik paper ini, penulis tidak menemukan bahwa sistem common law
atau masa lalu sebagai koloni Inggris (secara negatif) memprediksi korupsi. Lebih-lebih lagi,
penulis paper ini tidak menemukan hubungan apa pun antara desentralisasi dan korupsi.
Selain itu,
hubungan antara fraksionalisasi etnolinguistik dan korupsi menjadi berkurang dan menjadi tidak
signifikan ketika pendapatan dimasukkan dalam regresi.
Penulis paper menemukan bukti sistematis yang mendukung teori budaya tentang penyebab
korupsi, yaitu kehadiran umat Protestan di masyarakat dikaitkan dengan rendahnya tingkat
korupsi. Penulis paper juga menemukan bahwa negara-negara kaya memiliki tingkat korupsi
yang lebih sedikit. Seperti disebutkan di atas, kehati-hatian diperlukan karena mungkin terdapat
hubungan sebab-akibat terbalik antara kualitas kelembagaan dan pendapatan, meskipun hasil ini
dapat dipastikan dengan menggunakan variabel instrumental. Temuan lain menunjukkan bahwa
paparan jangka panjang (30 tahun) terhadap demokrasi yang tidak terputus dikaitkan dengan
rendahnya tingkat korupsi, ketidakstabilan politik cenderung meningkatkan korupsi, dan
penyebaran surat kabar dikaitkan dengan tingkat korupsi yang lebih rendah. Terakhir, penulis
paper juga menemukan beberapa bukti adanya hubungan antara upah yang lebih tinggi di sektor
publik dengan korupsi yang lebih rendah.
Apa yang membedakan penelitian ini dengan penelitian ekonometrik sebelumnya adalah, selain
beberapa pilihan variabel yang berbeda, sampelnya lebih besar. Paper ini juga menyarankan
bahwa perbedaan yang paling menonjol dengan penelitian sebelumnya dapat ditelusuri pada
masuknya negara-negara baru dalam penelitian ini. Penulis paper menyadari keterbatasan
interpretasi hasil ekonometrik. Ekonometrika memiliki bias terhadap teori-teori yang mudah
dikuantifikasi. Studi kasus dan studi yang lebih teoritis dapat berperan sebagai pelengkap penting
dari jenis pekerjaan ini (misalnya Johnston 2005).
Untuk penelitian masa depan, penulis paper berharap untuk mengikuti dua pendekatan. Pertama,
untuk menyelidiki faktor-faktor penentu korupsi yang dapat menerima perubahan kebijakan.
Penelusuran ini dapat ditingkatkan melalui penggunaan analisis ekonometrik yang
mengidentifikasi sumber korupsi di tingkat mikro (misalnya Fisman dan Miguel 2006; Miller
2006; Reinikka dan Svensson 2006). Kedua, mempertimbangkan tantangan lain yang relevan
yaitu pengumpulan data yang memadai untuk pendekatan data panel selama beberapa dekade.
Kombinasi analisis lintas negara—atau lintas wilayah—dan antarwaktu dengan data panel dapat
menjadi kunci untuk menemukan sumber korupsi lainnya.
RPS 6
Bahan Kajian : Public Sector Governance Issues

POIN 7
Ngatikoh, Kumorotomo & Retnandari (2019)

Summary Jurnal ”Transparansi dalam Pemerintahan : Tinjauan atas kegagalan Pencegahan Korupsi
di Indonesia”

1. Isu / Fenomena yang mendasari penelitian

a. Tuntutan masyarakat terhadap akses informasi publik yang transparan

b. Kurangnya akuntanbilitas membuat pemeritah tidak dipercaya dan tidak dapat diandalkan

2. Research Gap yang dibangun peneliti

Banyaknya kasus korupsi dan penyalagunaan wewenang yang terjadi baik pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah.

3. Motiviasi Penelitian (Novelty)

Fokus pada efektivitas transparansi dalam mendorong akuntabilitas dalam konteks administrasi
publik

4. Metode Penelitian

Metodologi tinjauan literatur dengan menggunakan kata kunci transparansi, tata kelola
pemerintahan yang baik dan korupsi.

5. Hasil dan Pembahasan

1. Diperlukan model transparansi dan alat ukur yang mampu dan efektif dalam mencegah korupsi,
serta diperlukan upaya keras untuk memberikan pemahaman kepada para pemangku
kepentingan tentang pentingnya transparansi kepada para pemangku kepentingan mengenai
tujuan, manfaat pentingnya transparansi dalam tata kelola pemerintahan.

2. Kegagalan lain dari transparansi dalam mencegah korupsi adalah belum diterapkannya
transparansi dalam pelayanan publik karena kurangnya partisipasi masyarakat, sulitnya
mengakses informasi terkait agenda pemerintah daerah, transparansi belum
diterapkan olehsemua pemerintah daerah, dan kinerja pelayanan publik yang buruk.

5. Kesimpulan

a. Pentingnya transparansi dalam pemerintahan sebagai bentuk tata kelola yang baik.
Transparansi diperlukan untuk mencegah korupsi, mendapatkan kepercayaan publik dan
meningkatkan akuntabilitas pemerintah.
b. Implementasi transparansi di Indonesia belum efektif dalam mencegah korupsi
disebabkan beberapa faktor seperti konflik kepentingan, penegakan hukum yang
sulit, sikap dan perilaku pejabat yang belum memahami pentingnya transparansi
serta pelayanan.

c. Model dan implementasi transparansi harus terus dikembangkan dan ditingkatkan


sebagai upaya untuk mencegah korupsi, meningkatkan akuntabilitas dan
memperoleh legitimasi dengan memenuhi kepuasan publik untuk menciptakan tata
kelola pemerintah yang baik

Anda mungkin juga menyukai