Anda di halaman 1dari 20

Penerapan reinventing government(kewirausahaan birokrasi) di indonesia

Desi Mentari

Universitas muhammadiyah sidenreng rappang


E mail : desitasri05@gamail.com

Abstrak

Tujuan penelitian ini untuk memperdalam wawasan tentang penerapan reinventing government
(kewirausahaaan birokrasi) di indonesia. Pemerintah di daerah dituntut untuk bisa mandiri, usaha
tersebut dapat diterapkan agar produktivitas dan efisiensi kerja Pemda bisa dioptimalkan. Oleh
karena itu, pemahaman atas cara-cara mewirausahakan birokrasi Pemerintahan Daerah harus
dikuasai oleh aparat birokrasi. Reinventing Government yang sering disebut juga dengan
Mewirausahakan Birokrasi. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
studi kepustakaan.

Kata kunci : reinventing government

I. Pendahuluan
Kewirausahaan/kewiraswastaan pada dasarnya adalah sifat, ciri dan watak seseorang
yang memiliki kemauan dalam mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia nyata secara
kreatif. Secara ekstrim wirausaha didefinisikan sebagai seseorang yang dapat mengubah
sampah menjadi emas.(Mustanir 2020)
Kata wiraswastawan/wirausaha (entrepreneur) dikenalkan oleh Joseph Schumpeter
seorang ahli ekonomi berkebangsaan Austria pada tahun 1883-1950. Schumpeter berpendapat
bahwa proses perubahan ekonomi pada dasarnya dipengaruhi oleh perilaku tiap-tiap pribadi
yakni sang entrepreneur sendiri sebagai pelaku usaha. Oleh karena itu
kewiraswastaan/kewirausahaan (entrepreneurship) selalu mencari hal-hal yang baru sebagai
tantangan untuk berubah dan dengan perubahan tersebut dimanfaatkan sebagai peluang. (Irwan,
Latif, and Mustanir 2021)
Wirausaha merupakan potensi pembangunan, baik dalam jumlah maupun dalam mutu
wirausaha tersebut. Saat ini, kita menghadapi kenyataan bahwa jumlah wirausahawan
Indonesia masih sedikit dan mutunya belum sepenuhnya baik, sehingga persoalan
pembangunan wirausaha Indonesia merupakan persoalan mendesak bagi suksesnya
pembangunan. Adapun manfaat wirausaha secara lebih terperinci, antara lain: (1) menambah
daya tampung tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi pengangguran; (2) sebagai generator
pembangunan lingkungan, bidang produksi, distribusi, pemeliharaan lingkungan, kesejahteraan,
dan sebagainya; (3) menjadi contoh bagi anggota masyarakat lain, sebagai pribadi unggul yang
patut dicontoh dan diteladani karena seorang wirausaha adalah orang terpuji, jujur, berani,
hidup tidak merugikan orang lain; (4) menghormati hukum dan peraturan yang berlaku,
berusaha selalu mem-perjuangkan lingkungan; (5) memberi bantuan kepada orang lain dan
pembangunan sosial, sesuai dengan kemampuannya; (6) mendidik karyawannya menjadi orang
mandiri, disiplin, jujur, tekun dalam menghadapi pekerjaan; (7) memberi contoh tentang cara
bekerja keras, tanpa melupakan perintah-perintah agama, dekat kepada Allah SWT.; (8) hidup
secara efisien, tidak berfoya-foya, dan tidak boros; (9) memelihara keserasian lingkungan, baik
dalam pergaulan maupun kebersihan lingkungan (Mustanir 2019a)
Reinveting Government ( kewiusahaan birokrasi) yaitu praktik manajemen publik yang
didukung oleh birokrasi dengan semangat kewirausahaan. Beberapa acuan utama dalam
menyelenggarakan pemerintahan yang berorientasi kewirausahaan menurut prinsip dasar
Osborne dan Gaebler (1992) yang harus diterapkan pada sektor publik adalah: Pertama,
pemerintahan yang katalis, yaitu tidak hanya terfokus pada penyediaan jasa publik, tetapi juga
dalam mengkatalisasi seluruh sektor publik, swasta, dan sukarelawan dalam bertindak
menyelesaikan masalah di komunitas mereka. Kedua, memberdayakan rakyat dengan
memberikan wewenang dalam pengendalian. (empowering rather than service). Ketiga,
pemerintahan kompetitif, menciptakan persaingan pelayanan. Keempat, pemerintahan yang
digerakkan oleh misi, mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan dan regulasi.
Kelima, pemerintahan yang berorientasi hasil, membiayai hasil bukan masukan (funding
outcomes, not input). Keenam, pemerintahan berorientasi pelanggan: memenuhi kebutuhan
pelanggan dan menyediakan pilihan bagi mereka. Ketujuh, pemerintahan wirausaha:
menghasilkan ketimbang membelanjakan (earning rather than spending). Kedelapan
pemerintahan yang antisipatif: mencegah daripada mengobati, Kesembilan, pemerintahan
desentralisasi. Kesepuluh, pemerintahan berorientasi pasar: mendongkrak perubahan melalui
pasar (leveraging change through out the market).(Ibrahim et al. 2020)

Konsep Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government) pertama kali disampaikan


oleh David Osborne dan Ted Gaebler dalam buku mereka yang berjudul Reinventing
Government: How the enterpreneurial spirit is transforming the public sektor. Buku tersebut
ditulis sebagai saran untuk membantu pencarian solusi di pemerintah Amerika Serikat pada
tahun 1993 yang menanggung beban berat sebagai akibat ditanganinya seluruh kegiatan atau
kebutuhan negara oleh pemerintah federal. Meskipun disambut dengan sikap skeptis, lambat
namun pasti, apa yang disampaikan Osborne dan Gaebler dalam buku tersebut ternyata
membawa angin segar bagi pemerintah federal dalam menyikapi permasalahan yang sedang
dihadapi pada saat itu. Apa yang terjadi pada pemerintahan Amerika Serikat pada saat itu
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia saat ini yang sedang mengawali era
GLG dimana sebagian wewenang pemerintah pusat didelegasikan pada pemerintahan di daerah.
Di GLG, pejabat negara (di daerah) harus kreatif, mandiri dan inovatif dalam melaksanakan
tugas-tugas kepemerintahannya karena inti dari otonomi daerah ialah keleluasaan dan kebebasan
lebih luas untuk menggali dan mengolah aset-aset alamiahnya. Mereka akan lebih banyak
bekerjasama langsung dan lebih luas dengan swasta. Hal inilah yang menjadi cakupan dalam
Reinventing Government yang sering disebut juga dengan Mewirausahakan Birokrasi.
Permasalahan yang sering muncul dalam memahami reinventing government adalah adanya
anggapan bahwa dengan adanya konsep mewirausahakan birokrasi tersebut berarti kantor dinas/
instansi di Pemerintahan Daerah (pemda) dituntut untuk agar dapat memberi nilai tambah untuk
PAD. Padahal, maksud yang sebenarnya adalah memberdayakan institusional. Bukan
menciptakan pengusahaâ dalam lingkungan birokrasi pemerintahan. Menurut Osborne dan
Gaebler, mewirausahakan birokrasi berarti mentransformasikan semangat wirausaha ke dalam
sektor publik. Di era otonomi daerah, dimana pemerintah di daerah dituntut untuk bisa mandiri,
usaha tersebut dapat diterapkan agar produktivitas dan efisiensi kerja Pemda bisa dioptimalkan.
Oleh karena itu, pemahaman atas cara-cara mewirausahakan birokrasi Pemerintahan Daerah
harus dikuasai oleh aparat birokrasi, terlebih-lebih oleh Bupati/ Walikota termasuk pimpinan
pada tiap-tiap instansi/ dinas. (Mustanir et al. 2018)

 Mewirausakan birokrasi

Sejak awal kemerdekaan (tepatnya setelah Maklumat 3 Nopember 1945) sampai masa
orde lama birokrasi di Indonesia lebih menekankan pada posisi Power - politic ketimbang Sosial-
Budaya. Ini cukup menyulitkan karena berada ditengah tarik-menarik antara kekuatan politik
yang satu dengan kekuatan politik yang lain. Kondisi ini inenggeser fungsi pelayanan birokrasi
kepada publik menjadi pelayanan kepada kekuatan politik. Pada masa orde baru, posisi birokrasi
yang suka mengatur dan lebih berorientasi kepada kekuasaan itu tetap, hanya yang
berbeda(Irwan et al. 2019) barangkali faktor pemicunya, apabila dahulu adalah politik maka saat
orde baru triggernya adalah pembangunan dengan security aprouch. Hal ini karena saat itu
dirasakan kondisi politik. Ekonomi, keamanan sangat tidak kondusif dan tidak stabil. Maka
melalui kekuasaan komando diharapkan situasi tersebut bisa diatasi dan pembangunan bisa
diamankan. Peranan pemerintah kemudian menjadi begitu sentral, dia berusaha memobilisasi
sumber daya dan dana untuk ''pembangunan" di mana semua digerakkan dan dikomando oleh
pemerintah melalui alat birokrasi. Saat itu bahkan lantang dikatakan bahwa tugas-tugas itu hanya
bisa dikerjakan oleh pemerintah/Negara, mulai dari pembuatan kebijakan, perencanaan,
pelaksanaan, bahkan pengawasan semua dilakukan oleh birokrasi pemerintah (pusat). Kondisi
yang demikian menjadikan peranan birokrasi menjadi sangat kuat dan pervasive. Birokrasi
pemerintah lebih banyak menekankan pada pendekatan kekuasaan ketimbang memberikan
pelayanan kepada publik. Gayanya lebih banyak lop-down ketimbang bultom-up. Masyarakat
lebih banyak diatur dan ditentukan oleh pemerintah, kemitraan bersifat selektif dan berat sebelah.
Dari sinilah mulai ada anggapan birokrasi pemerintah sangat kuat dan besar sehingga terlalu
mendominasi kehidupan bernegara meskipun kinerja idealnya lamban(Akhmad, Mustanir, and
Ramadhan 2006)

Kewirausahaan atau entrepreneurship adalah sebagai sebuah topik yang sangat menarik
untuk dianalisis dan didiskusikan telah diperkenankan oleh para ahli ekonomi pada abad ke-18
dan semakin populer pada abad ke-19 dan ke-20. Pada abad sekarang dengan kemajuan
teknologi dan berbagai perubahan yang terjadi, dunia terasa seolah menjadi sempit dan
kehilangan batas. Seiring dengan kenyataan tersebut perlu kita akui bahwa kemajuan dan
perubahan yang kita capai pada saat ini merupakan bukti dari kehadiran sejumlah wirausaha
multinasional dari berbagai penjuru dunia. Mereka hadir sebagai agen perubahan, mereka lahir
dengan sejumlah ide-ide inovatif untuk perkembangan dunia usaha dan pembangunan ekonomi
pada umumnya. Kehadiran mereka memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan
ekonomi suatu bangsa. Untuk itu, pada Kegiatan Belajar 3, Anda akan kami ajak untuk mengkaji
peran strategis kewirausahaan dalam pembangunan ekonomi suatu bangsa. Sementara itu, untuk
lebih mengenal sosok seorang wirausaha, pada kegiatan belajar berikutnya, kami akan mengajak
Anda untuk mengidentifikasi ciri atau sifat seorang wirausaha.(R and Mustanir 2019)

Reinventing government merupakan cara birokrasi mengubah sistem atau pengaturan


agar pelaksanaan pemeritahan dapat berjalan secara akuntabilitas, resposif, inovatif, professional,
dan entrepreneur. Entrepreneur dimaksudkan agar pemerintah daerah yang telah diberikan
otonomi memiliki semangat kewirausahaan untuk lebih inovatif dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat dan dapat menjawab tuntutan masyarakat di era globalisasi. Sehingga
mewirausahakan birokrasi bukan berarti birokrasi melakukan wirausaha untuk mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya melainkan memberdayakan institusi agar produktivitas dan
efisiensi kerja dapat dioptimalkan.(‫ الشعراني‬and ‫ الوزير‬2006)

Konsep reinventing government harus dikuasai oleh aparat birokrasi pemerintah daerah,
pimpinan instansi/ dinas di daerah dan terutama Bupati/ Walikota. Osborne dan Gaebler (1992)
dalam buku mereka yang berjudul Reinventing Government: How the enterpreneurial spirit is
transforming the public sektormengemukakan sepuluh cara untuk membentuk birokrasi-
wirausaha, yaitu:

a Pemerintahan Katalis : Mengarahkan daripada mengayuh. Pemerintah sebagai


pembuat kebijakan-kebijakan strategis yang bersifat mengarahkan daripada dalam
teknis pelayanan (pengayuh). Dimana dengan peran pemerintah yang mengarahkan
akan membutuhkan orang yang mampu melihat seluruh visi dan mampu
menyeimbangkan berbagai kebutuhan, sedangkan pengayuh membutuhkan orang yang
memfokuskan pada satu misi dan melakukannya dengan baik.(Rappang 2011)
b Pemerintahan milik masyarakat : Memberi wewenang daripada melayani. Masyarakat
sebagai pemilik pemerintahan harus dapat diberdayakan daripada terus-menerus
dilayani. Pemerintah memberikan wewenang kepada masyarakat untuk dapat mandiri
dan inovatif dalam memenuhi kebutuhannya dalam pelayanan
c Pemerintahan yang kompetitif : menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian
pelayanan. Dengan adanya kompetisi maka diharapkan aparat pemerintahanmemiliki
semangat juang yang tinggi dalam bekerja, menghargai inovasi, dan dapat
meningkatkan kualitas dan kompetensi dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat.
d Pemerintahan yang digerakkan oleh misi : mengubah organisasi yang digerakkan oleh
peraturan. Pemerintah memberikan kesempatan dan kebebasan berkreasi dan
berinovasi kepada unit-unit pemerintahan sebagai lembaga yang bertugas mewujudkan
misi. Oleh karenanya peraturan yang ada untuk ditaati, bukan sebagai
penghambat.(Mustanir et al. 2019)
e Pemerintahan yang berorientasi hasil : membiayai hasil, bukan masukan. Pemerintah
lebih mementingkan hasil kinerja yang dicapai daripada faktor masukan
(input).(Cookson and Stirk 2019)

II. Tinjuan pustaka


A. Konsep-konsep reinventing government

Indonesia adalah negara yang memiliki kompleksitas wilayah dan masyarakat yang
cukup signifikan terutama dari struktur budaya serta lingkungan alam sekitarnya. Pemerintah
selaku pelayan publik harus terus berintegrasi dan beradaptasi dengan perkembangan sosial saat
Konsep reinventing Government dapat dimplikasikan di dalam birokrasi pemerintah melalui
pendekatan integral yakni menggabungkan pendekatan stuktural dan kultural. Pendekatan
struktural berkaitan dengan aktifitas organisasi birokrasi dituangkan dalam struktur dengan
harapan pencapaian tujuan yang efisien dan efektif. Sedangkan di dalam struktur organisasi di
perlukan pola interaksi anggota organisasi yang selalu melibatkan sikap dan perilaku anggota
organisasi tersebut (pendekatan kultural). (Mustanir 2017a)

Konsep reinventing government pada dasarnya merupakan representasi dari paradigma


New Public Management dimana dalam New Public Management (NPM), negara dilihat sebagai
perusahaan jasa modern yang kadang-kadang bersaing dengan pihak swasta. Tetapi di lain pihak
dalam bidang-bidang tertentu memonopoli layanan jasa namun tetap dengan kewajiban
memberikan layanan dan kualitas yang maksimal. Segala hal yang tidak bermanfaat bagi
masyarakat dianggap sebagai pemborosan dalam paradigma New Public Management (NPM).
Warga negara tidak dilihat sebagai abdi lagi, tetapi sebagai pelanggan layanan publik yang
karena pajak yang dibayarkan memiliki hak atas layanan dalam jumlah tertentu dan kualitas
tertentu pula.(Latif, Mustanir, and ir 2019)

Konsep reinventing government, apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia konsep


ini berarti menginventarisasikan lagi kegiatan pemerintah. Pada awalnya gerakan reinventing
government diilhami oleh beban pembiayaan birokrasi yang besar, namun dengan kinerja
aparatur birokrasi yang rendah. Tekanan dari publik sebagai pembayar pajak mendesak
pemerintah untuk mengefisiensikan anggarannya dan meningkatkan kinerjanya. Pengoperasian
fungsi pelayanan publik yang tidak dapat diefisiensikan lagi dan telah membebani keuangan
negara diminta untuk dikerjakan oleh sektor non-pemerintah. Oleh karena itu akan terjadi proses
pereduksian peran dan fungsi pemerintah yang semula memonopoli semua bidang pelayanan
publik, kini menjadi berbagi dengan pihak swasta, yang semula merupakan big government ingin
dijadikan small government yang efektif, efisien, responsive, dan accountable terhadap
kepentingan publik. Dari penjelasan di atas telah dapat digambarkan bahwa reinventing
government (pemerintahan wirausaha) ialah suatu sistem untuk menjalankan wewenang dan
kekuasaan dalam mengatur kehidupan sosial, ekonomi dan politik dengan jiwa kewirausahaan di
masing-masing anggota pemerintahan atau pejabatnya(Kholifah R and Mustanir 2019)

Dimensi struktural dan kultural tersebut bersifat terbuka sehingga perlu dilakukan
penyesuaian diri dengan lingkungannya (adaptasi). Strategi Reinventing Government yang
menggabungkan kekuatan struktural dan kultural merupakan jawaban dari lingkungan yang
berkembang dalam birokrasi publik saat ini. Sikap Birokrasi yang dituntut untuk berjiwa
enterpreneurship namun tetap mengedepankan kepentingan publik merupakan harapan rakyat
Indonesia. Dengan demikian Strategi reinventing Government dapat menumbuhkan sikap dan
perilaku birokrat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik, birokrat yang inovatif, yang adaptif
namun ada kontrol struktural atau kendali birokrasi sehingga menjadi birokrat yang bermartabat,
bekerja semata-mata untuk kepentingan bangsa dan negara.(Fitrah et al. 2021)
Reinventing Government atau wirausaha birokrasi, pemerintah dengan bergaya
wirausaha ini menjadi cara yang efisien dan efektif untuk menghindari kebangrutan suatu
birokrasi. Bagi Osborne dan Gaebler, organisasi birokrasi publik yang dijalankan berdasarkan
peraturan tidak akan efektif dan kurang efisien, karena kinerjanya akan berjalan lamban dan
terkesan bertele-tele. Akan tetapi, birokrasi yang digerakkan oleh misi sebagai tujuan dasarnya,
akan lebih efektif dan efisien. Dengan mendudukkan misi organisasi sebagai tujuan, mereka
dapat mengembangkan sistem anggaran dan peraturan sendiri yang memberi keleluasaan kepada
karyawannya untuk mencapai misi organisasi tersebut. Osborne dan Gaebler memberikan posisi
yang berhadapan antara misi dan peraturan dalam birokrasi organisasi publik. Birokrasi
organisasi publik harus memilih salah satunya. Pilihan tersebut mengandung konsekuensi
mengedepankan salah satu aspek akan mengabaikan aspek yang lain. (dalam Agus, 2005:
168)(Fay 1967)

Pemikiran dari Osborn dan Gaebler (1992) tentang “Reinveting Government” menjadi
sebuah paradigma solusi atas masalah yang dihadapi sektor publik. Bentuk organisasi birokrasi
pada sektor publik pada masa sekarang sudah saatnya untuk ditinjau kembali dan diarahkan pada
bentuk organisasi yang terbuka atau fleksibel serta terdesentralisasi (Osborne dan Gaebler,
1992). Direktorat Jenderal Pajak sudah seharusnya berdiri sendiri menjadi sebuah departemen,
terpisah dari Departemen Keuangan. Sudah saatnya institusi sebagai mesin pencari sumber
penerimaan negara ini mengatur dan mengurus sendiri rumah tangganya. Ibarat sebuah keluarga
maka Direktorat Jenderal Pajak adalah seorang “Bapak” yang menjadi tulang punggung keluarga
besar Indonesia untuk mencari nafkah dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hampir 80%
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dibiayai oleh pajak dan ini dibebankan kepada DJP
untuk mendapatkannya (Mustanir and Rusdi 2019)

Gagasan Reinventing Government yang dicetuskan oleh David Osborne dan Ted
Gaebler adalah gagasan yang mengkritisi dan memperbaiki konsepkonsep dan teori-teori
klasik tersebut untuk optimalisasi pelayanan publik. Gagasan Reinventing Government
dikemukakan oleh David Osborne dan Ted Gaebler pada tahun l992. Gagasan ini muncul
sebagai respon atas buruknya pelayanan publik yang terjadi di pemerintahan Amerika
Serikat sehingga timbul krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Gagasan-gagasan
Osborne dan Gaebler tentang Reinventing Government mencakup l0 prinsip tersebut
adalah:(Becker et al. 2015)
a Pemerintahan katalis yakni mengarahkan dari pada mengayuh artinya jika
pemerintahan diibaratkan sebagai perahu, maka peran pemerintah seharusnya sebagai
pengemudi yang mengarahkan jalannya perahu, bukannya sebagai pendayung yang
mengayuh untuk membuat perahu bergerak. Pemerintah entrepreneurial seharusnya
lebih berkonsentrasi pada pembuatan kebijakankebijakan strategis (mengarahkan)
daripada disibukkan oleh hal-hal yang bersifat teknis pelayanan
(mengayuh);(Mustainir, Barisan, and Hamid 2017)
b Pemerintahan milik rakyat yakni memberi wewenang dari pada melayani. Artinya,
birokrasi pemerintahan yang berkonsentrasi pada pelayanan menghasilkan
ketergantungan dari rakyat. Hal ini bertentangan dengan kemerdekaan sosial ekonomi
mereka. Oleh karena itu, pendekatan pelayanan harus diganti dengan menumbuhkan
inisiatif dari mereka sendiri.(Surya Adi Tama and Wirama 2020)
c Pemerintahan yang kompetitif yakni menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian
pelayanan; Artinya, berusaha memberikan seluruh pelayanan tidak hanya
menyebabkan risorsis pemerintah menjadi habis terkuras, tetapi juga menyebabkan
pelayanan yang harus disediakan semakin berkembang melebihi kemampuan
pemerintah (organisasi publik), hal ini tentunya mengakibatkan buruknya kualitas dan
efektifitas pelayanan publik yang dilakukan mereka. Oleh karena itu, pemerintah
harus mengembangkan kompetisi (persaingan) di antara masyarakat, swasta dan
organisasi non pemerintah yang lain dalam pelayanan publik. Hasilnya diharapkan
efisiensi yang lebih besar, tanggung jawab yang lebih besar dan terbentuknya
lingkungan yang lebih inovatif.(Sapri, S., Mustanir, A., Ibrahim, M., Adnan, A. A.,
Wirfandi 2019)
d Pemerintahan yang digerakkan oleh misi yakni mengubah organisasi yang digerakkan
oleh peraturan; Artinya, pemerintahan yang dijalankan berdasarkan peraturan akan
tidak efektif dan kurang eisien, karena bekerjanya lamban dan bertele-tele. Oleh
karena itu, pemerintahan harus digerakkan oleh misi sebagai tujuan dasarnya
sehingga akan berjalan lebih efektif dan efisien. Karena dengan mendudukkan misi
organisasi sebagai tujuan, birokrat pemerintahan dapat mengembangkan sistem
anggaran dan peraturan sendiri yang memberi keleluasaan kepada karyawannya untuk
mencapai misi organisasi tersebut.(Andi Asmawati AR, Haeruddin Syarifuddin,
Abdul Jabbar, Kamaruddin Sellang, Muhammad Rais Rahmat Razak, Monalisa
Ibrahim 2021)
e Pemerintahan yang berorientasi hasil yakni membiayai hasil, bukan masukkan.
Artinya, bila lembagalembaga pemerintah dibiayai berdasarkan masukan (income),
maka sedikit sekali alasan mereka untuk berusaha keras mendapatkan kinerja yang
lebih baik. Tetapi jika mereka dibiayai berdasarkan hasil (outcome), mereka menjadi
obsesif pada prestasi. Sistem penggajian dan penghargaan, misalnya, seharusnya
didasarkan atas kualitas hasil kerja bukan pada masa kerja, besar anggaran dan
tingkat otoritas, Karena tidak mengukur hasil, pemerintahan-pemerintahan yang
birokratis jarang sekali mencapai keberhasilan(Adam Latif, Irwan, Muhammad
Rusdi, Ahmad Mustanir 2019)
f Pemerintahan berorientasi pelanggan yakni memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan
birokrasi. Artinya, pemerintah harus belajar dari sektor bisnis dimana jika tidak fokus
dan perhatian pada pelanggan (customer), maka warga negara tidak akan puas dengan
pelayanan yang ada atau tidak bahagia. Oleh karena itu, pemerintah harus
menempatkan rakyat sebagai pelanggan yang harus diperhatikan kebutuhannya.
Pemerintah harus mulai mendengarkan secara cermat para pelanggannya, melalui
survei pelanggan, kelompok fokus dan berbagai metode yang lain. Tradisi pejabat
birokrasi selama ini seringkali berlaku kasar dan angkuh ketika melayani warga
masyarakat yang datang keistansinya.(Mustanir 2017b)
g Pemerintahan wirausaha yakni menghasilkan daripada membelanjakan. Artinya,
sebenarnya pemerintah mengalami masalah yang sama dengan sektor bisnis, yaitu
keterbatasan akan keuangan, tetapi mereka berbeda dalam respon yang diberikan.
Daripada menaikkan pajak atau memotong program publik, pemerintah wirausaha
harus berinovasi bagaimana menjalankan program publik dengan sumber daya
keuangan yang sedikit tersebut. (Mustanir 2016)
h Pemerintahan antisipatif yakni mencegah daripada mengobati. Artinya, pemerintahan
tradisional yang birokratis memusatkan pada penyediaan jasa untuk memerangi
masalah. Misalnya, untuk menghadapi sakit, mereka mendanai perawatan kesehatan.
Untuk menghadapi kejahatan, mereka mendanai lebih banyak polisi. Untuk
memerangi kebakaran, mereka membeli lebih banyak truk pemadam kebakaran. Pola
pemerintahan semacam ini harus diubah dengan lebih memusatkan atau
berkonsentrasi pada pencegahan. Misalnya, membangun sistem air dan pembuangan
air kotor, untuk mencegah penyakit, dan membuat peraturan bangunan, untuk
mencegah kebakaran.(Dawabsheh, Mustanir, and Jermsittiparsert 2020)
i Pemerintahan desentralisasi yakni dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja.
Artinya, pada saat teknologi masih primitif, komunikasi antar berbagai lokasi masih
lamban, dan pekelja publik relatif belum terdidik, maka sistem sentralisasi sangat
diperlukan. Akan tetapi, sekarang abad informasi dan teknologi sudah mengalami
perkembangan pesat, komunikasi antar daerah yang terpencil bisa mengalir seketika,
banyak pegawai negeri yang terdidik dan kondisi berubah dengan kecepatan yang
luar biasa, maka pemerintahan desentralisasilah yang paling diperlukan. Tak ada
waktu lagi untuk menunggu informasi naik ke rantai komando dan keputusan untuk
turun.(Mustanir and Abadi 2017)
j Pemerintahan berorientasi pasar : mendongkrak perubahan melalui pasar. Artinya,
dari pada beroperasi sebagai pemasok masal barang atau jasa tertentu, pemerintahan
atau organisasi publik lebih baik berfungsi sebagai fasilitator dan pialang dan
menyemai pemodal pada pasar yang telah ada atau yang baru tumbuh. Pemerintahan
entrepreneur merespon perubahan lingkungan bukan dengan pendekatan tradisional
lagi, seperti berusaha mengontrol lingkungan, tetapi lebih kepada strategi yang
inovatif untuk membentuk lingkungan yang memungkinkan kekuatan pasar berlaku.
Pasar di luar kontrol dari hanya institusi politik, sehingga strategi yang digunakan
adalah membentuk lingkungan sehingga pasar dapat beroperasi dengan efisien dan
menjamin kualitas hidup dan kesempatan ekonomi yang sama (Subanda 2017)
k Permasalahannya bukan hanya pada otonomi dalam pengelolaan keuangan secara
mandiri oleh DJP. Beban DJP sangatlah vital ini memerlukan pelimpahan wewenang
dan tanggung jawab. Keputusan-keputusan penting dapat dihasilkan tanpa birokrasi
yang rumit karena harus berkoordinasi pada departemen di atasnya (Departemen
Keuangan). Salah dampak tidak terdesentralisasinya DJP selama ini yaitu prosedur
birokrasi audit terhadap DJP lebih rumit dibandingkan dengan institusi publik
lainnya. Ini disebabkan oleh adanya peraturan perundangundangan yang tidak
memungkinkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit tanpa ijin dari Menteri
Keuangan dan Dirjen Pajak. Kondisi ini menunjukkan kurangnya transfaransi dan
akuntabilitas dalam pengelolaan sumber-sumber penerimaan negara. ”Pemerintah
tidak boleh memperlakukan Ditjen Pajak berbeda dengan institusi publik lainnya
yang dapat diaudit. Pada prinsipnya, transparansi menuntut perlakuan equal (sama),”
kata Iman Sugema menegaskan. Sependapat dengan itu, Paskah mengatakan, selama
ini berapa pun target perolehan pajak yang ditetapkan pemerintah selalu dapat
dipenuhi Ditjen Pajak, tetapi sebenarnya tidak pernah diketahui berapa kemampuan
dan potensi perolehan pajak karena sisi penerimaan pajak tidak terjamah audit
(Siriattakul, Jermsittiparsert, and Mustanir 2019)
B. Konsep-konsep birokrasi
Wacana mengenai Birokrasi berlangsungnya berbagai krisis yang yang berkewirausahaan
semakin menggoyahkan sendi-sendi peinerin-mengemuka dalam "perbincangan" tahan dan
ekonomi. Keterbukaan arus informasi dan demokratisasi yang mewarnai gerakan reformasi
membuka tabu wajah birokrasi kita dari dua sisi. Satu sisi adalah keniscayaan dari terbukanya
arus informasi itu sendiri karena pengaruh faktor isu global dan kemajuan teknologi, sedang di
sisi lain perubahan politik membuat masyarakal semakin berani berterus terang dalain menilai
kinerja pemerintah/birokrasi. Jadilah wajah birokrasi kita seronok terlihat jelas, — bahkan oleh
mata awam— di mana merupakan fakta bahwa birokrasi kita inengalami 'keruwetan' yang luar
biasa sehingga kinerjanya menjadi tidak maksimal, tidak efektif dan tidak efisien. Padahal
tuntutan kehidupan dunia modern membutuhkan keberadaan birokrasi yang mampu berperan
sebagai "mediaty agent” bagi pemerintah dan rakyat dalam kerangka civil society (Jamal,
Mustanir, and Latif 2020)

Birokrasi berasal dari kata bureaucracy, diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki
rantai komando dengan bentuk piramida, di mana lebih banyak orang berada di tingkat bawah
daripada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya sipil maupun militer
(Mustanir 2018)

Pengertian birokrasi dalam perbendaharaan bahasa dan istilah pada abad ke-18 menjelaskan
bahwa "biro" ("bureau") yang berarti meja tulis, senantiasa diartikan sebagai suatu tempat yang
dimana para pejabat bekerja. Kemudian kata tersebut menjadi perbendaharaan istilah politik
internasional (Albrow, 1989: 23).(Mustanir 2015)
Kemandirian birokrasi merupakan prasyarat bagi berlangsungnya fungsi birokrasi yang
Hegelian. Hegel melihat fungsi birokrasi adalah sebagai penghubung antara negara dengan civil
society. Negara mengejawantahkan kepentingan umum sedang civil society mempresentasikan
kepentingan khusus yang ada di dalam masyarakat. Keberhasilan birokrasi diukur dari
kemampuannya untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingan khusus di dalain masyarakat
dan mengkorporasikannya di dalam kepentingan umum Negara(Mustanir 2019b)
Bagi Weber, birokrasi adalah metode organisasi terbaik dengan spesialisasi tugas. Dalam
bukunya Wirtschaft und Gesellschaft, Weber mengutarakan bahwa ada 3 tipologi birokrasi
publik yaitu: legitimasi karismatik, legitimasi tradisional, dan legitimasi rasional. Sedangkan
dalam bukunya Eassy in Sociology, ia menulis bahwa kekuasaan adalah kesempatan seseorang
untuk menyadarkan masyarakat akan kemauannya sendiri. Sekaligus menerapkan terhadap
tindakan perlawanana dari orang-orang ataupun golongan tertentu(Mustanir and Jusman 2016)
Menurut Weber birokrasi mempunyai ciri-ciri utama : (sebagaimana diuraikan di bawah
dengan perbandingan kondisi riil birokrasi kita saat ini), yaitu :(Mustanir et al. 2020)
a Adanya derajat spesialisasi yang tinggi (Birokrasi kita sering over lapp, duplikatif atau
bahkan terlantar)
b Adanya struktur kewenangan hierarkis dengan batas-batas tanggungjawab yang jelas.
(Birokrasi kita terbiasa"menunggu petunjuk")
c Adanya hubungan antar anggota yang bersifat impersonal. (Birokrasi kita sangat
paternalis dan sering tidak konsisten)
d Cara pengangkatan pegawai yang berdasarkan atas kecakapan teknis. (Birokrasi kita
nepotism dan rentan suap)
e Pemisahan urusan dinas dan urusan pribadi (Birokrasi kita tidak bisa/ tidak mau
?(Mustanir and Darmiah 2016)
C. Penerapan reinventing government di indonesia

Pembaharuan sistem birokrasi ini ialah mentranformasikan sistem bisnis diperusahaan


swasta ke dalam sistem birokrasi sebuah negara yang dinamakan dengan Reinventing
Government (Mewiraswastakan Birokrasi). Dalam konsep ini pula, para aparatur negara
bukan diartikan menjadi seorang(Uceng et al. 2019)
pengusaha yang harus berdagang. Melainkan adanya suatu upaya dari para
aparatur tersebut untuk senantiasa bekerja keras dan bekerja cerdas dalam melihat
sumber-sumber yang berpotensi ekonomi di daerahnya agar yang tidak produktif menjadi
produktif, dan yang produksinya rendah mampu lebih ditingkatkan keproduksi yang
tinggi(Ahmad Mustanir1, Hariyanti Hamid2 2019)

Namun sayang pada kenyataannya pemerintah masih belum mampu menyediakan dan
memberikan pelayanan yang benar-benar memuaskan dan memenuhi kebutuhan
pelanggannya yaitu masyarakat. Masih terdapat sistem birokrasi yang berbelit-belit,
proses pelayanan yang membutuhkan waktu cukup lama, kurang responsif terhadap
masyarakat yang dilayani, aparatur yang kurang disiplin, bahkan terkadang praktek pungutan
liar (Pungli) masih bisa terjadi saat berurusan dengan berbagai pelayanan pemerintahan.
Sehingga tercatat metode ini sudah cukup lama dibandingkan dengan metode-metode yang
muncul di era modern saat ini. Walaupun tebilang cukup lama, namun metode ini masih
sangat ideal jika diterapkan di negara Indonesia. Hal ini disebabkan karena
birokrasi pemerintahan di Indonesia sampai saat ini masih banyak terdapat birokrasi yang
bersifat kaku, kurang efisien, dan sistem administrasi yang rumit. Oleh karena itu,
penerapan Reinventing Government dirasa cocok untuk mengubah sistem birokrasi
pemerintahan sebelumnya.(Mustanir and Jaya 2016)

Reinventing Government dapat pula diartikan sebagai pembaharuan birokrasi. Arti


pembaharuan dalam hal ini menurut Peter Plastrik & David Osborne (2001) ialah:
“Transformasi sistem dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan
peningkatan dramatis dalam efektifitas, efisiensi, dam kemampuan mereka untuk
melakukan inovasi. Transformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, sistem insentif,
pertanggung jawaban, struktur kekuasaan, dan budaya sistem dan organisasi pemerintah”.
Kemudian Thoha (2014) seorang ahli administrasi negara menjelaskan bahwa istilah ini
sebenarnya sama halnya dengan upaya untuk melakukan pembaruan di bidang birokasi
pemerintah. Ada pun sepuluh prinsip yang digagas oleh David Osborn dan Ted Gaebler
(2014) dalam karya bukunya yang berjudul Reinventing Government(Mustanir and Jaya
2016)
III. Metode
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode studi kepustakaan.
Pada penelitian ini menggunakan jenis atau pendekatan penelitian studi kepustakaan
(library research)

IV. Hasil dan pembahasan


Menurut David Osborn & Ted Gaebler dalam bukunya yang berjudul Mewirausahakan
birokrasi tahun 2000, menyebutkan reinventing government adalah transformasi sistem
dari organisasi pemerintah untuk menciptakan peningkatan efektifitas, efesiensi dan
kemampuan pegawai dalam melakukan inovasi. Transformasi ini dicapai dengan
mengubah tujuan, sistem, pertanggungjawaban, struktur kekuasaan dan budaya organisasi
pemerintahan. Pembaruan dengan penggantian sistem yang birokratis menjadi sistem
yang lebih bersifat wirausaha. Pembaruan dengan kata lain membuat pemerintah siap
untuk menghadapi tantangan, menciptakan organisasi yang mampu memperbaiki
efektifitas dan efisiensi(Sulaeman, Mustanir, and Muchtar 2019)
Menurut Dwiyanto (2005) Reinventing Government adalah suatu pemikiran dan gerakan
untuk mengembangkan pemerintah yang memiliki jiwa dan semangat entrepreneurial.
Ciri penting dari pemerintah yang entrepreneurial adalah kemampuannya menggunakan
sumber daya yang ada secara efisien, inovatif dan responsif terhadap kebutuhan
masyarakatnya. Pemerintah hanya akan 23 bisa mengembangkan semangat
entrepreneurial jika membuang jauh-jauh sifat dan mental birokratis yang selama ini
mengangkanginya. Karakteristik birokrasi pemerintah yang sentralistik, hirarkhis,
monopolistik, reaktif dan formalistik harus diganti dengan desentralistik, adaptif,
kompetitif, antisipatif dan partisipatif (Hong et al. 2008)

V. Daftar pustaka

Adam Latif, Irwan, Muhammad Rusdi, Ahmad Mustanir, Muh Sutrisno. 2019. “Partisipasi
Masyarakat Dalam Pembangunan Infrastruktur Di Desa Timoreng Panua Kecamatan Panca
Rijang Kabupaten Sidenreng Rappang.” Jurnal MODERAT 5(1): 5.
https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/moderat/article/view/1898.

Ahmad Mustanir1, Hariyanti Hamid2, Rifni Nikmat Syarifuddin3. 2019. “Pemberdayaan


Kelompok Masyarakat Desa Dalam Perencanaan Metode Partisipatif.” Jurnal Moderat 5(3):
227–39.

Akhmad, Israwaty, Ahmad Mustanir, and Muhammad Rohady Ramadhan. 2006. “Enrekang.” :
89–103.

Andi Asmawati AR, Haeruddin Syarifuddin, Abdul Jabbar, Kamaruddin Sellang, Muhammad
Rais Rahmat Razak, Monalisa Ibrahim, Akhwan Ali. 2021. “Sipil Negara Kabupaten
Sidenreng Rappang.” Jurnal Sosial-Politika 2(1): 65–73.

Becker, Fernando Gertum et al. 2015. “No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者における 健康

関 連 指 標 に 関 す る 共 分 散 構 造 分 析 Title.” Syria Studies 7(1): 37–72.

https://www.researchgate.net/publication/269107473_What_is_governance/link/548173090
cf22525dcb61443/download%0Ahttp://www.econ.upf.edu/~reynal/Civil
wars_12December2010.pdf%0Ahttps://think-
asia.org/handle/11540/8282%0Ahttps://www.jstor.org/stable/41857625.

Cookson, Maria Dimova, and Peter M.R. Stirk. 2019. Pelayanan Publik Di Era Tatanan Normal
Baru.

Dawabsheh, Mohammad, Kittisak Mustanir, and Kittisak Jermsittiparsert. 2020. “School


Facilities as a Potential Predictor of Engineering Education Quality: Mediating Role of
Teaching Proficiency and Professional Development.” TEST Engineering & Management
82(3511): 3511–21. http://www.testmagzine.biz/index.php/testmagzine/article/view/1417.

Fay, Daniel Lenox. 1967. “Indonesian Short Story.” Angewandte Chemie International Edition,
6(11), 951–952. 4(1): 269–77.

Fitrah, Nurul et al. 2021. “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pemetaan Swadaya Dengan
Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Tata Kelola Potensi Desa.” SELAPARANG Jurnal
Pengabdian Masyarakat Berkemajuan 5(1): 337.
Hong, Seok Won, Hyung J00 Kim, Y S Choi, and T H Chung. 2008. “Diterjemahkan Dari
Bahasa Inggris Ke Bahasa Indonesia - Www.Onlinedoctranslator.Com.” Field Experiments
on Bioelectricity Production from Lake Sediment Using Microbial Fuel Cell Technology.

Ibrahim, Monalisa, Ahmad Mustanir, A Astinah Adnan, and Nur Alizah P. 2020. “Pengaruh
Manajemen Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa Terhadap Peningkatan Partisipasi
Masyarakat Di Desa Bila Riase Kecamatan Pitu Riase Kebupaten Sidenreng Rappang.”
Movere Journal 2(2): 56–62.

Irwan, Irwan et al. 2019. “Gaya Kepemimpinan, Kinerja Aparatur Sipil Negara Dan Partisipasi
Masyarakat Terhadap Pembangunan Di Kecamatan Kulo Kabupaten Sidenreng Rappang.”
Jurnal Moderat 5(1): 32–43. https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/moderat.

Irwan, Irwan, Adam Latif, and Ahmad Mustanir. 2021. “Pendekatan Partisipatif Dalam
Perencanaan Pembangunan Di Kabupaten Sidenreng Rappang.” GEOGRAPHY Jurnal
Kajian, Penelitian dan Pengembangan Pendidikan 9(2): 137–51.
https://journal.ummat.ac.id/index.php/geography/article/view/5153.

Jamal, Yenni, Ahmad Mustanir, and Adam Latif. 2020. “Penerapan Prinsip Good Governance
Terhadap Aparatur Desa Dalam Pelayanan Publik Di Desa Ciro-Ciroe Kecamatan Watang
Pulu Kabupaten Sidenreng Rappang.” PRAJA: Jurnal Ilmiah Pemerintahan 8(3): 207–12.

Kholifah R, Emy, and Ahmad Mustanir. 2019. “Food Policy and Its Impact on Local Food.”
(October): 27–38.

Latif, Adam, Ahmad Mustanir, and ir. 2019. “Buku Kepemimpinan Adam Irwan 2020.Pdf.” :
154.

Mustainir, Ahmad, Barisan, and Hariyanti Hamid. 2017. “Towards Open Goverment: Finding
The Whole-Goverment Approach Participatory Rural Appraisal As The Participatory
Planning Method Of Development Planning.” Iapa: 78–84.

Mustanir, Ahmad. 2015. “Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Bina Desa.” Osf.

———. 2016. “Magang Mahasiswa.” : 1–7.


https://www.academia.edu/38492683/Panduan_magang_STISIP_Muhammadiyah_Rappang
_2015_2016.pdf.

———. 2017a. “Deskripsi Tentang Keamanan Di Gedung Dan Jalanan Kota Kuala Lumpur.”
https://www.researchgate.net/publication/331064740_Deskripsi_Tentang_Keamanan_Di_G
edung_dan_Jalanan_Kota_Kuala_Lumpur.

———. 2017b. “Pemberdayaan Badan Usaha Milik Desa Melalui Kelompok Ekonomi
Kewirausahaan Secara Partisipatif.” Osf.

———. 2018. “Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Optimalisasi Pelayanan Publik Dan
Potensi Desa Sereang Utilization of Information Technology in Optimizing Public Services
and the Potential of Sereang Village.” Doi 10.17605/Osf.Io/Jmsx8.
https://osf.io/preprints/pv4bf/.

———. 2019. “Kepemimpinan Lurah Terhadap Pemberdayaan Masyarakat Di Kelurahan


Lautang Benteng Kabupaten Sidenreng Rappang.” Journal of Social Politics and
Governance (JSPG) 1(2): 99–118.

———. 2019a. “Pemberdayaan Masyarakat Kewirausahaan.” Osf.


https://www.researchgate.net/publication/331311483_Pemberdayaan_Masyarakat_Kewirau
sahaan%0Ahttps://www.academia.edu/38428570/Pemberdayaan_Masyarakat_Kewirausaha
an.

———. 2019b. “Pemberdayaan Perempuan Anggota Badan Usaha Milik Desa Dengan
Pemanfaatan Lahan Kebun Bibit Desa.” Osf.

———. 2020. “Implementasi E Government Pemerintahan Desa Dalam Administrasi Pelayanan


Publik (Studi Kasus Web Site Desa Kanie Kecamatan Maritengngae Kabupaten Sidenreng
Rappang).” Osf.

———. 2020. “Village Head Leadership and Bureaucratic Model Towards Good Governance in
Sidenreng Rappang.”

Mustanir, Ahmad, and Partisan Abadi. 2017. “Partisipasi Masyarakat Dalam Musyawarah
Rencana Pembangunan Di Kelurahan Kanyuara Kecamatan Watang Sidenreng Kabupaten
Sidenreng Rappang.” Jurnal Politik Profetik 5(2): 247–61. http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/viewFile/4347/3986%0Ahttp://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/jpp/issue/view/636.

Mustanir, Ahmad, and Darmiah Darmiah. 2016. “Implementasi Kebijakan Dana Desa Dan
Partisipasi Masyarat Dalam Pembangunan Di Desa Teteaji Kecamatan Tellu Limpoe
Kabupaten Sidenreng Rappang.” Jurnal Politik Profetik 4(2): 225–38. http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/view/2749%0Ahttp://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/jpp/issue/view/457.

Mustanir, Ahmad, and Irfan Jaya. 2016. “Pengaruh Kepemimpinan Dan Budaya Politik
Terhadap Perilaku Pemilih Towani Tolotang Di Kecamatan Maritengngae Kabupaten
Sidenreng Rappang.” Jurnal Politik Profetik 4(1): 84–97. http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/view/2741#%0Ahttp://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/jpp/issue/view/430.

Mustanir, Ahmad, and Jusman. 2016. “Implementasi Kebijakan Dan Efektivitas Pengelolaan
Terhadap Penerimaan Retribusi Di Pasar Lancirang Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten
Sidenreng Rappang.” Jurnal Ilmiah Akmen 13(3): 542–58. https://e-jurnal.stienobel-
indonesia.ac.id/index.php/akmen/article/view/69%0Ahttps://e-jurnal.stienobel-
indonesia.ac.id/index.php/akmen/issue/view/6.

Mustanir, Ahmad, and Muhammad Rusdi. 2019. “Participatory Rural Appraisal (PRA) Sebagai
Sarana Dakwah Muhammadiyah Pada Perencanaan Pembangunan Di Kabupaten Sidenreng
Rappang.” Prosiding Konferensi Nasional Ke-8 Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan
Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah (APPPTMA): 467–75.
http://asosiasipascaptm.or.id/index.php/publikasi/prosiding-konferensi-nasional-appptma-
ke-8.

Mustanir, Ahmad, Akhmad Yasin, Irwan, and Muhammad Rusdi. 2018. “Potret Irisan Bumi
Desa Tonrong Rijang Dalam Transect Pada Perencanaan Pembangunan Partisipatif.” Jurnal
Moderat 4(4): 1–14.
https://scholar.google.co.id/citations?view_op=view_citation&hl=id&user=dq-
wyqwAAAAJ&citation_for_view=dq-wyqwAAAAJ:SeFeTyx0c_EC.
R, E M Y Kholifah, and Ahmad Mustanir. 2019. “Kebijakan Pangan Dan Dampaknya Terhadap
Pangan Lokal.” Journal of Asian Reviewe of Public Affairs Abd Policy.

Rappang, Kabupaten Sidenreng. 2011. “KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG Kabupaten


Sidenreng Rappang Sebagai Daerah Otonom Yang Diberikan Kewenangan Untuk
Mengelola PAD Berdasarkan Pengamatan Awal Kinerja Kinerja Yang Masih Jauh Dari
Kontribusi Yang Pembangunan . Kontribusi PAD Daerah Di Kabupaten S.” : 542–58.

Sapri, S., Mustanir, A., Ibrahim, M., Adnan, A. A., Wirfandi, W. 2019. “Peranan Camat Dan
Partisipasi Masyarakat Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Di Kecamatan
Enrekang Kabupaten Enrekang.” MODERAT: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan 5(2): 33–
48. https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/moderat/article/view/2127.

Siriattakul, Parinya, Kittisak Jermsittiparsert, and Ahmad Mustanir. 2019. “What Determine the
Organizational Citizenship Behavior in Indonesian Agriculture Manufacturing Firms?”
International Journal of Psychosocial Rehabilitation 23(4): 778-`792.

Subanda, I Nyoman. 2017. “Pengembangan Rencana Bisnis Dalam Perspektif Reinventing


Government Pada Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali I Gusti Putu Budiana (1) I Nyoman
Subanda (2).” 9(1): 46–67.

Sulaeman, Zhilviana, Ahmad Mustanir, and Andi Ilham Muchtar. 2019. “Partisipasi Masyarakat
Terhadap Perwujudan Good Governance Di Desa Damai Kecamatan Watang Sidenreng
Kabupaten Sidenreng Rappang.” PRAJA: Jurnal Ilmiah Pemerintahan 7(3): 88–92.

Surya Adi Tama, Putu, and Dewa Gede Wirama. 2020. “Akuntabilitas Pemerintah Desa Dalam
Pengelolaan Alokasi Dana Desa.” E-Jurnal Akuntansi 30(1): 73.

Uceng, Andi et al. 2019. “Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat Terhadap Pembangunan
Sumber Daya Manusia Di Desa Cemba Kecamatan Enrekang Kabupaten Eenrekang Dosen
Universitas Muhammadiyah Sidenreng Rappang 4).” Jurnal MODERAT 5(2): 1–17.

‫الشعراني‬, ‫فؤاد إياد‬, and ‫الوزير جميل غسان‬. 2006. “No Title‫الفكية التعويضات و الكاملة المتحركة التعويضات‬
‫الوجهية‬.” ‫ مممم ممممم ممممممم‬1999(December): 1–6.

Anda mungkin juga menyukai