Anda di halaman 1dari 17

Paradigma New Public Management (NPM) muncul pada tahun 1970an, namun baru

menguat dan dikenal luas pada tahun 1990an sampai dengan sekarang. Paradigma NPM
pada dasarnya berprinsip bahwa menjalankan administrasi negara layaknya sebagaimana
menggerakkan sektor bisnis, yang berbasis pada ideologi liberalisme (run government like a
business atau market as solution to the ills in public sector).
Dengan tujuan agar birokrasi model lama yang lamban, kaku dan banyak masalah, siap
menjawab tantangan zaman yang masalahnya semakin berkembang dan kompleks. Karena
model birokrasi yang hirarkis-formalistis menjadi tidak lagi relevan untuk menjawab problem
publik di era global.
Seiring dengan berkembangnya paradigma NPM, David Osborne dan Ted Gaebler
(1992) menghasilkan sebuah konsep yang secara garis besar serupa dengan NPM. Osborne
dan Gaebler dengan konsep ”Reinventing Government”-nya menyarankan untuk meyuntikkan
semangat wirausaha ke dalam sistem administrasi negara. Sebab birokrasi publik harusnya
lebih menggunakan cara ”steering” (mengarahkan) daripada ”rowing” (mengayuh). Dengan
cara ”steering” tersebut, pemerintah tidak lagi bekerja memberikan pelayanan publik secara
langsung, melainkan diserahkan kepada masyarakat dan mekanisme pasar. Sehingga
akhirnya peran negara hanya sebagai katalisator penyelenggaraan urusan publik saja.
Saat kemunculannya pertama kali, paradigma ini hanya meliputi lima doktrin, yaitu
(1) penerapan deregulasi pada line management,
(2) konversi unit pelayanan publik menjadi organisasi yang berdiri sendiri,
(3) penerapan akuntabilitas berdasarkan kinerja terutama melalui kontrak,
(4) penerapan mekanisme kompetisi seperti melakukan kontrak keluar, dan
(5) memperhatikan mekanisme pasar (Hood, 1991).
Dalam perkembangannya kemudian muncul tujuh doktrin (Osborne & McLaughlin,
2002), delapan doktrin (Martin, 2002), sembilan doktrin (Kasements, 2000), dan bahkan
sepuluh doktrin sebagaimana yang disampaikan dalam Reinventing Government (Gaebler &
Osborne, 1992). Beberapa tahun kemudian, muncul lagi model NPM yang lebih variatif
misalnya model efficiency drive, downsizing and decentralization, in search of excellence dan
public service orientation (Ferlie, et.al., 1996). Berbedanya istilah dan pandangan antar
teoritisi ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Ewan Ferlie, Lynn Ashburner, Louise
Fitzgerald dan Andrew Pettigrew (1996, 10) yang mengibaratkan NPM sebagai sebuah
kanvas kosong (putih) yang dapat digambar oleh siapa pun tentang apa saja yang disuka.
Sehingga tidak ada satu definisi pun yang jelas tentang apa itu NPM, bagaimana prosesnya,
bahkan bagaimana seharusnya NPM itu sendiri. “Indeed, sometimes the new public
management seems like an empty canvass : you can paint on it whatever you like. There is
no clear or agreed definition of what the new public management actually is and not only is
there controversy about what is, or what is in the process of becoming, but also what ought to
be.” Baca juga: Hakikat Etika Politik
Cuma Klik Iklan dan Isi Survey Online Bisa dapat Dollar. Cek disini.
Dari berbagai doktrin NPM di atas, konsep reinventing government yang ditawarkan
oleh Osborne dan Gaebler dirasa paling mendekati tentang apa dan bagaimana NPM itu.
Osborne dan Gaebler menawarkan 10 prinsip pemerintahan yang berjiwa wirausaha, yaitu :

1. Pemerintahan katalis
Pemerintahan katalis adalah Pemerintahan yang mengarahkan bukan mengayuh. Disini
pemerintah hanya menjalankan fungsi strategis saja tidak ikut campur dalam pelaksanaan
atau kegiatan tekniknya. Peran pemerintah hanya sebagai perencana, pencetus visi, dan
penyedia berbagai kebijakan strategis lainnya. Selain itu, berbagai metode dapat digunakan
untuk mencapai organisasi public mencapai tujuan, memilih metode yang paling sesuai untuk
mencapai efisiensi, efektivitas, persamaan, pertanggungjawaban, fleksibilitas seperti,
privatisasi, lisensi, konsesi, kerjasama operasional, kontrak, voucher, insentif pajak, dll.

2. Pemerintahan milik masyarakat


Menekankan adanya kontrol dari masyarakat sebagai akibat dari pemberdayaan yang
diberikan pemerintah. Sehingga masyarakat lebih mampu dan kreatif dalam menyelesaikan
masalahnya, tanpa bergantung pada pemerintah. Akhirnya masyarakat melayani diri mereka
sendiri bukan lagi pemerintah yang melakukannya, namun pemerintah tetap memastikan
masyarakat memperoleh pelayanan dasar mereka. Dengan adanya control dari masyarakat,
pegawai negeri akan memiliki komitmen yang lebih baik, lebih peduli, dan lebih kreatif dalam
memecahkan masalah.

3. Pemerintahan kompetetif;
pemerintahan yang memasukkan semangat kompetisi dalam pemberian layanan kepada
masyarakat. Masyarakat disini sebagai konsumen yang secara pribadi berhak memilih
layanan mana yang lebih baik, sehingga akhirnya pemerintah saling berkompetisi untuk dapat
menjadi yang terbaik.

4. Pemerintahan yang digerakkan oleh misi;


pemerintahan yang mampu merubah orientasi dari pemerintahan yang digerakkan oleh
aturan menjadi pemerintahan yang digerakkan oleh misi. Artinya adalah pemerintah tidak
harus berjalan sesuai aturan, karena dengan aturan pemerintah menjadi lamban dan lebih
mengutamakan prosedur yang sesuai dengan aturan. Dengan digerakkan oleh misi maka misi
utamalah yang dikedepankan dalam menjalankan pemerintahan. Misal tentang pembahasan
APBN terdapat prosedur yang mengaturnya, akan tetapi misi utamanya adalah menggunakan
APBN untuk kesejahteraan rakyat.

5. Pemerintahan yang berorientasi hasil;


pemerintahan yang membiayai hasil bukan input. Pemerintah dalam hal ini akan bekerja
sebaik mungkin karena penghargaan yang diterima berdasarkan hasil yang dikeluarkan oleh
masing-masing instansi. Sehingga dengan hal ini kinerja pemerintah menjadi lebih baik untuk
mendapat penghargaan yang baik pula.

6. Pemerintahan yang berorientasi pelanggan;


pemerintahan yang memenuhi kebutuhan pelanggan bukan birokrasi. Pemerintah memenuhi
apa yang di inginkan masyarakat bukan menjalankan pelayanan berdasar aturan birokrasi.
Sehingga pemerintah dalam hal ini perlu melakukan survei untuk melihat perkembangan
kebutuhan masyarakat, yang akhirnya pemerintahan menjadi efektif dan efisisen.

7. Pemerintahan wirausaha
Pemerintahan yang menghasilkan profit bukan menghabiskan. Berupaya untuk
meningkatkan sumber-sumber ekonomi yang dimiliki oleh instansi pemerintah dari yang tidak
produktif menjadi produktif, dari yang produksinya rendah menjadi berproduksi tinggi, yaitu
dengan mengadopsi prinsip-prinsip kerja swasta yang relevan dalam administrasi publik. Hal
ini dapat kita lihat dalam BUMN/BUMD yang dimiliki oleh pemerintah.
8. Pemerintahan antisipatif
Pemerintahan yang berorientasi pencegahan bukan penyembuhan. Pemerintah antisipatif
adalah suatu pemerintahan yang berpikir ke depan. Pemerintah berusaha mencegah
timbulnya masalah daripada memberikan pelayanan untuk menyelesaikan masalah, dengan
menggunakan perencanaan strategis, pemberian visi masa depan, dan berbagai metode lain
untuk melihat masa depan.

9. Pemerintahan desentralisasi
merubah pemerintahan yang digerakkan oleh hierarki menjadi pemerintahan partisipatif dan
kerjasama tim. Pemerintah desentralisasi adalah suatu pemerintah yang melimpahkan
sebagian wewenang pusat kepada daerah melalui organisasi atau sistem yang ada. Sehingga
Pegawai di tingkat daerah dapat langsung memberikan pelayanan dan mampu membuat
keputusan secara mandiri, sehingga tercipta efisiensi dan efektifitas.

10. Pemerintahan yang berorientasi pasar


pemerintahan yang mendorong perubahan melalui pasar. Pemerintah yang berorientasi
pasar acap kali memanfaatkan struktur pasar swasta untuk memecahkan masalah dari pada
menggunakan mekanisme administratif, seperti menyampaikan pelayanan atau pemerintah
dan kontrol dengan menggunakan peraturan. Dengan menciptakan insentif keuangan-insentif
pajak, dan sebagainya, sehingga dengan cara ini organisasi swasta atau anggota masyarakat
berperilaku yang mengarah pada pemecahan masalah sosial.
Hasil nyata dari proses penerapan NPM tersebut mencakup lima aspek, yaitu : (1)
saving, (2) perbaikan proses, (3) perbaikan efisiensi, (4) peningkatan efektivitas, dan (5)
perbaikan sistem administrasi seperti peningkatan kapasitas, fleksibilitas dan ketahanan.
Keberhasilan NPM ini sangat tergantung dari konteks dan karakteristik negara dan
sektor yang ditangani, kemampuan institusi, dan konteks dari institusi itu sendiri seperti iklim
dan ideologi manajemen yang dianut, sikap terhadap otoritas, hubungan sosial dan kelompok
(Ferlie, et.al., 1996; Flynn, 2002).
NPS
Paradigma New Public Service (NPS) merupakan konsep yang dimunculkan melalui
tulisan Janet V.Dernhart dan Robert B.Dernhart berjudul “The New Public Service : Serving,
not Steering” terbit tahun 2003. Paradigma NPS dimaksudkan untuk meng”counter”
paradigma administrasi yang menjadi arus utama (mainstream) saat ini yakni paradigma New
Public Management yang berprinsip “run government like a businesss” atau “market as
solution to the ills in public sector”.
Teori NPS memandang bahwa birokrasi adalah alat rakyat dan harus tunduk kepada
apapun suara rakyat ,sepanjang suara itu rasioanal dan legimate secara normative dan
konstitusional. seorang pimpinan dalam birokrasi bukanlah semata – mata makhluk ekonomi
seperti yang diungkapan dalam teori NPM ,melainkan juga makhluk yang berdimensi
social,politik dan menjalankan tugas sebagai pelayan public. Baca juga: Politik Sederhana
Sehari-hari.
Untuk meningkatkan pelayanan publik yang demokratis, konsep “the New Public
Service (NPS)” menjanjikan perubahan nyata kepada kondisi birokrasi pemerintahan
sebelumnya. Pelaksanaan konsep ini membutuhkan keberanian dan kerelaan aparatur
pemerintahan, karena mereka akan mengorbankan waktu, dan tenaga untuk mempengaruhi
semua sistem yang berlaku. Alternatif yang ditawarkan konsep ini adalah pemerintah harus
mendengar suara publik dalam pengelolaan tata pemerintahan. Meskipun tidak mudah bagi
pemerintah untuk menjalankan ini, setelah sekian lama bersikap sewenang-wenang terhadap
publik.
Di dalam paradigma ini semua ikut terlibat dan tidak ada lagi yang hanya menjadi
penonton. Gagasan Denhardt & Denhardt tentang Pelayanan Publik Baru (PPB) menegaskan
bahwa pemerintah seharusnya tidak dijalankan seperti layaknya sebuah perusahaan tetapi
melayani masyarakat secara demokratis, adil, merata, tidak diskriminatif, jujur dan akuntabel.
Disini pemerintah harus menjamin hak-hak warga masyarakat, dan memenuhi
tanggungjawabnya kepada masyarakat dengan mengutamakan kepentingan warga
masyarakat. “Citizens First” harus menjadi pegangan atau semboyan pemerintah (Denhardt
& Gray, 1998). Cara pandang paradigma NPS ini ,menurut Dernhart (2008), diilhami oleh:
1. teori politik demokrasi terutama yang berkaitan dengan relasi warga negara
(citizens) dengan pemerintah, dan Baca juga: Etika dalam Politik.
2. pendekatan humanistik dalam teori organisasi dan manajemen.
Ada 7 (tujuh) prinsip NPS (Denhardt & Denhardt, 2003) yang berbeda dari OPA dan NPM.

1. Melayani masyarakat sebagai warga negara, bukan pelanggan;


2. Memenuhi kepentingan publik;
3. Mengutamakan warganegara di atas kewirausahaan;
4. Berpikir strategis dan bertindak demokratis;
5. Menyadari komplekstitas akuntabilitas;
6. Melayani bukan mengarahkan;
7. Mengutamakan kepentingan masyarakat bukan produktivitas;

Perbandingan
Dari berbagai penjelasan yang ada maka dapat dilihat beberapa perbedaan mendasar
teori NPM dan NPS, menurut Denhardt terdapat 10 elemen yang dapat digunakan untuk
membandingkannya yaitu:
1. Dasar epistemologi
NPM menekankan pada teori ekonomi sedangkan NPS pada teori demokrasi dan beragam
pendekatan lain. Hal ini dapat kita lihat dalam penjabaran konsep NPM yang harus sesuai
dengan prinsip-prinsip dalam ekonomi. Akibatnya NPM melupakan hakekat asalnya sebagai
pegawai yang digaji rakyat untuk melayani rakyat. Masalah ini disadari oleh NPS dengan
mengembalikan fungsi awal birokrasi itu sendiri dengan mendasarkan pada teori-teori
demokrasi.
2. Konsep tentang kepentingan publik
NPM menekankan kepentingan individual sedangkan NPS mengutamakan kepentingan
bersama. Karena melihat pengguna sebagai konsumen akibatnya yang dilihat adalah
kepuasan masing-masing pelanggan, bukan kepentingan bersama seperti dalam NPS yang
melihatnya sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yan sama.
3. Siapa yang dilayani
NPM melihat pengguna sebagai konsumen sedangkan NPS melihatnya sebagai rakyat/warga
negara.
4. Peran pemerintah
NPM steering atau mengarahkan sedangkan NPS serving melayani masyarakat. NPS
berusaha mengembalikan peran pemerintah seperti asalnya yang melayani warganya,
sehingga tidak bisa jika hanya sebagai katalisator. Karena pemerintah ada karena rakyat.
5. Rasionalitas dan model perilaku birokrat
Technical & economic rationality atau manusia ekonomi sedangkan NPS rasionalitas strategis
yang berdimensi dinamis ( politis, ekonomis, dan organisasional). Birokrat melihat masalah
yang ada tidak hanya dari untung rugi seperti dalam ekonomi, melainkan berbagai aspek yang
terlibat di dalamnya.
6. Akuntabilitas
Tolok ukur akuntabilitas selayaknya sesuai dengan mekanisme dan hukum ekonomi dalam
pasar. NPS tolok ukurnya adalah dengan kesepakatan rakyat. Pada NPM pemerintah
melakukan kontrak kepada pasar sedangkan dalam NPS pemerintah melakukan kontrak
terhadap masyarakat, sehingga akuntabilitas dalam pasar belum tentu sesuai dengan
akuntabilitas dalam pandangan masyarakat.
7. Keleluasaan administratif
NPM sangat luas sepanjang memenuhi tujuan ekonomis. NPS keleluasaan diperlukan namun
sesuai kebutuhan dan dapat dipertanggung jawabkan.
8. Struktur organisasi
NPM ramping terdesentralisasi, sedangkan NPS tidak harus ramping asalkan rasional,
proporsional, dan kolaboratif antara kepemimpinan eksternal dan internal.
9. Mekanisme pencapaian tujuan
NPM melalui organisasi privat dan non privat sedangkan NPS koalisi privat nonprivat
10. Dasar motivasi
NPM semangat wirausaha sedangkan NPS semangat melakukan sesuatu untuk masyarakat.

Penerapan di Indonesia
Setelah kita mengetahui perbandingan kedua konsep NPM dan NPS ini, lalu konsep manakah
yang sesuai untuk diterapkan di Indonesia? Untuk itu mari kita lihat dahulu berbagai masalah
birokrasi yang sekarang ada di indonesia.
Menurut R Nugroho Dwijowiyoto (2001), kondisi riil birokrasi Indonesia saat ini, digambarkan
sebagai berikut :

1. Secara generik, ukuran keberhasilan birokrasi sendiri sudah tidak sesuai dengan
tuntutan organisasional yang baru. Di Indonesia, birokrasi di departemen atau
pemerintahan paling rendah, yang diutamakan adalah masukan dan proses, bukan
hasil. Karenanya, yang selalu diperhatikan oleh para pelaku birokrasi adalah jangan
sampai ada sisa pada akhir tahun buku. (birokrasi lama)
2. Birokrasi kita tidak pernah menyadari bahwa ada perubahan besar di dunia. Di mana
semua hal harus mengacu kepada pasar, bisnis harus mengacu kepada permintaan
pasar, dan kalau mau berhasil dalam kompetisi ia harus mampu melayani pasar. Pasar
birokrasi adalah seluruh masyarakat, yang dilayani oleh birokrasi bukannya pejabat
pemerintahan atau pimpinan birokrasi itu sendiri, tetapi rakyat. (melihat dari NPM)

Birokrasi di Indonesia sangatlah commanding dan sentralistik, sehingga tidak sesuai dengan
kebutuhan zaman masa kini dan masa depan, di mana dibutuhkan kecepatan dan akurasi
pengambilan keputusan.
Selain itu dengan posisinya yang strategis, birokrasi di Indonesia tak bisa menghindar dari
berbagai kritik yang hadir yaitu:

1. Buruknya pelayanan publik


2. Besarnya angka kebocoran anggaran negara
3. Rendahnya profesionalisme dan kompetensi PNS
4. Sulitnya pelaksanaan koordinasi antar instansi
5. Masih banyaknya tumpang tindih kewenangan antar instansi, aturan yang tidak
sinergis dan tidak relevan dengan perkembangan aktual, dan masalah-masalah
lainya.
6. Birokrasi juga dikenal enggan terhadap perubahan, eksklusif, kaku dan terlalu
dominan, sehingga hampir seluruh urusan masyarakat membutuhkan sentuhan-
sentuhan birokrasi. (birokrasi lama)
7. Tingginya biaya yang dibebankan untuk pengurusan hal tertentu baik yang berupa
legal cost maupun illegal cost, waktu tunggu yang lama, banyaknya pintu layanan yang
harus dilewati dan tidak berperspektif harus dihormati oleh rakyat.

Banyaknya masalah birokrasi di indonesia saat ini terlihat seperti gambaran birokrasi
negara-negara eropa beberapa dekade lalu. Perlu langkah berani dan mendasar bagi
pemerintah untuk merubah birokrasi indonesia. Penerapan berbagai teori birokrasi yang
berkembang di indonesia sangat beragam, ada daerah dan sebagian instansi yang masih
menerapkan teori birokrasi lama, ada juga yang sudah menerapkan teori NPM, dan ada yang
sudah dan sedang menuju kepada penerapan teori NPS. Dinamisnya kondisi birokrasi di
indonesia membuat penanganan masing-masing wilayah berbeda, namun pemerintah bisa
memaksakan konsep NPS di birokrasi indonesia melalui peraturan yang mengikat. NPS
dirasa sesuai diterapkan di indonesia karena, dengan beragamnya kondisi birokrasi di
Indonesia maka diperlukan penerapan bersama-sama konsep NPS ini. Dengan penerapan
NPS oleh pemerintah, maka birokrat indonesia akan dipaksa merubah pola pikir yang selama
ini selalu ingin dihormati dan sewenang-wenang terhadap warga menjadi sikap yang melayani
masyarakat.
Indonesia dapat menerapkan prinsip-prinsip NPS seperti yang ditawarkan oleh Denhardt
(Denhardt & Denhardt, 2003) yaitu :
1. Melayani masyarakat sebagai warga negara, bukan pelanggan; melalui pajak yang mereka
bayarkan maka warga negara adalah pemilik sah (legitimate) negara.
Dengan prinsip pertama ini maka birokrat merasa sangat hormat dan segan kepada
rakyat, karena rakyat-lah yang menggaji mereka. jika mereka tidak melayani warga dengan
baik maka kemungkinan warga enggan membayar pajak lagi dan mereka tidak mendapat gaji.
2. Memenuhi kepentingan publik; kepentingan publik seringkali berbeda dan kompleks, tetapi
negara berkewajiban untuk memenuhinya. Negara tidak bisa melepas tanggung jawabnya
begitu saja kepada pihak lain dalam memenuhi kepentingan publik.
Kepentingan publik disini adalah yang sifatnya mendasar dan dibutuhkan oleh semua
warga negara seperti kesehatan dan pendidikan.
3. Mengutamakan warganegara di atas kewirausahaan; kewirausahaan itu penting, tetapi warga
negara berada di atas segala-galanya.
4. Berpikir strategis dan bertindak demokratis; pemerintah harus mampu bertindak cepat dan
menggunakan pendekatan dialog dalam menyelesaikan persoalan publik.
5. Menyadari komplekstitas akuntabilitas; pertanggungjawaban merupakan proses yang sulit dan
terukur sehingga harus dilakukan dengan metode yang tepat.
6. Melayani bukan mengarahkan; fungsi utama pemerintah adalah melayani warga negara bukan
mengarahkan.
Dengan penerapan NPS maka birokrat tidak bisa lagi bertindak semena-mena dan melempar-
lempar proses pelayanan masyarakat. Sekarang birokrat harus melayani masyarakat dengan
baik dan memanusiakan manusia.
7. Mengutamakan kepentingan masyarakat bukan produktivitas; kepentingan masyarakat harus
menjadi prioritas meskipun bertentangan dengan nilai-nilai produktivitas.
Dengan penerapan NPS di Indonesia maka kondisi birokrasi yang buruk diharapkan akan
semakin baik, namun dipastikan menemui banyak masalah, dikarenakan struktur birokrasi
yang masih ditempati orang-orang lama yang besar dengan teori birokrasi lama. Untuk
memudahkan penerapan NPS ini jika perlu pemerintah bisa melakukan pemotongan generasi
dengan memasukkan generasi muda yang memiliki idealisme tinggi. Tapi hal itu tetap sulit
untuk dilakukan, mengingat proses perekrutan mereka juga melalui birokrasi yang saat ini di
isi birokrat-birokrat tua. Kemungkinan penolakan dari kalangan birokrat juga besar, karena
para birokrat saat ini sudah berada dalam zona nyaman mereka, dan terusik dengan
kehadiran konsep baru yang berusaha diterapkan pemerintah.
https://www.serbapolitik.com/2016/01/perbandingan-new-public-management-dan.html

anam
Eksistensi pemerintah secara ideal seharusnya mensejahterakan warga negara sebagai salah
satu unsur negara. Kenapa? Karena sistem tata kelola pemerintahan yang dianut bangsa ini
mengindikasikan sesuatu yang wajib dilakukan negara demi kepentingan warga negara.
Dasar ideologi kita memberikan peluang yang besar dalam pelayanan dan kesejahteraan bagi
kepentingan publik. Dalam arti bahwa landasan ideologi pelayanan publik tersebut memiliki
harapan baru bagi penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, sebab era reformasi tata
pemerintahan saat ini, bagi warga negara dianggap masih banyak hal-hal yang bukan
dikehendaki oleh nilai-nilai warga, tetapi lebih berorientasi pada kepentingan dan keuntungan
birokrasi pemerintah.
Beberapa permasalahan tentang ketidakpuasan kinerja pemerintah, keinginan dan harapan-
harapannya tidak didengar, hak-haknya dipasung, aspek dan peluang publiknya dihambat,
adanya dominasi hak rakyat, berisi keras kepada rakyat, bertindak represif dan lupa bahwa
kedaulatan ini adalah milik rakyat, bahkan pilihan untuk kebutuhan-kebutuhan publik dan
suara demokrasi yang substantif telah ditinggalkan atau diabaikan begitu saja bagi pejabat.
Padahal mereka para pejabat publik ada, karena adanya rakyat yang memiliki hak suara
sebagai instrumen penting dalam memulai wacana pemerintah ke depan.

Gagasan Denhardt & Denhardt tentang Pelayanan Publik Baru(PPB) menegaskan bahwa
pemerintah seharusnya tidak dijalankan seperti layaknya sebuah perusahaan tetapi melayani
masyarakat secara demokratis, adil, merata, tidak diskriminatif, jujur dan akuntabel. Karena
bagi paradigma ini; (1) nilai-nilai demokrasi, kewarganegaraan dan kepentingan publik
adalah merupakan landasan utama dalam proses penyelenggaraan pemerintahan; (2) nilai-
nilai tersebut memberi energi kepada pegawai pemerintah atau pelayan publik dalam
memberikan pelayanannya kepada publik secara lebih adil, merata, jujur, dan
bertanggungjawab. Oleh karenanya pegawai pemerintah atau aparat birokrat harus senantiasa
melakukan rekonstruksi dan membangun jejaring yang erat dengan masyarakat atau
warganya.

Pemerintah perlu mengubah pendekatan kepada masyarakat dari suka memberi perintah dan
mengajari masyarakat menjadi mau mendengarkan apa yang menjadi keinginan dan
kebutuhan masyarakat, bahkan dari suka mengarahkan dan memaksa masyarakat menjadi
mau merespon dan melayani apa yang menjadi kepentingan dan harapan masyarakat. Karena
dalam paradigma the new public service dengan menggunakan teori demokrasi ini
beranggapan bahwa tugas-tugas pemerintah untuk memberdayakan rakyat dan
mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada rakyat pula. Hal ini dimaksudkan bahwa para
penyelenggara negara harus mendengar kebutuhan dan kemauan warga negara (citizens).
Pelayanan publik yang di praktekkan dengan situasi yang kreatif, dimana warga negara dan
pejabat publik dapat bekerja sama mempertimbangkan tentang penentuan dan implementasi
dari birokrasi publik, yang berorientasi pada ”aktivitas administrasi dan aktivitas warga
negara”.

Untuk meningkatkan suatu pelayanan publik yang demokratis,maka pilihan terhadap “the
New Public Service(NPS)” dapat menjanjikan suatu perubahan realitas dan kondisi birokrasi
pemerintahan. Aplikasi dari konsep ini agak menantang dan membutuhkan keberanian bagi
aparatur pemerintahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, karena mengorbankan
waktu, tenaga untuk mempengaruhi semua sistem yang berlaku. Alternatif yang ditawarkan
adalah pemerintah harus mendengar suara publik dalam berpartisipasi bagi pengelolaan tata
pemerintahan. Memang tidak gampang meninggalkan kebiasaan memerintah atau mengatur
pada konsep administrasi lama, dari pada mengarahkan, menghargai pendapat sebagaimana
yang disarankan konsep NPS.
Standar Pelayanan Publik yang Partisipatif, Transparan dan Akuntabel. Keberhasilan dalam
penerapan konsep standar dan kualitas pelayanan publik yang minimal memerlukan dimensi
yang mampu mempertimbangkan realitas. Ada sepuluh dimensi untuk mengukur
keberhasilan tersebut;(1) Tangable; yang menekankan pada penyediaan fasilitas, fisik,
peralatan, personil, dan komunikasi. (2) Reability; adalah kemampuan unit pelayanan untuk
menciptakan yang dijanjikan dengan tepat. (3) Responsiveness ; kemauan untuk membantu
para provider untuk bertanggungjawab terhadap mutu layanan yang diberikan.
(4)Competence; tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh
aparatur dalam memberikan layanan. (5) Courtessy; sikap atau perilaku ramah, bersahabat,
tanggap terhadap keinginan pelanggan serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi.
(6) Credibility; sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat. (7)
Security; jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin dan bebas dari bahaya dan resiko. (8)
Acces; terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan. (9) Communication;
kemaun pemberi layanan untuk mendengarkan suara, keinginan, atau aspirasi pelanggan,
sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat. (10)
Understanding the customer; melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan
pelanggan .

Sepuluh konsep ini mempertegas bagaimana model manajemen penyediaan standarisasi


pelayanan publik dalam mengelola sektor-sektor publik yang lebih partisipatif, transparan,
dan akuntabel. Suksesnya sebuah penyelengaaraan pelayanan publik secara ideal
menetapkan(1) Tujuan; para pejabat publik harus mengetahui apa yang menjadi gagasan
pokok, tujuan tersebut harus mengakar secara mendalam dari tindakan sehari-hari dan
perencanaan jangka panjang organisasi yang bersangkutan, para penyelenggara pelayanan
publik sepanjang waktu harus mencontohi misi dan para ”street level bureaucracy”
dikendalikan untuk melakukann hal tersebut. (2) Karakter; para penyelenggara pelayanan
memiliki perasaan yang kuat tentang siapa mereka dan apa yang terpenting. Karakter
organisasi diturunkan dari kesepakatan kepercayaan yang kuat, dikomunikasikan secara
internal dan eksternal melalui aktivitas terpusat secara prinsip. Aparat birokrat sebagai
pelayanan memancarkan integritas,kepercayaan, kepedulian, keterbukaan, dan secara krusial
sebuah hasrat untuk belajar. (3) Keputusan; organisasi yang melakukan segala sesuatu,
pencapaian atas tujuan dan mendemonstrasikan karakter melalui penggunaan aturan yang
luas atas perangkat manajemen.

Organisasi yang memiliki inovasi kerjasama kelompok merupakan elemen yang esensial.
Mewujudkan standar pelayanan publik yang partisipatif, kesamaan hak, keterbukaan dan
akuntabel sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang no 25 tahun 2009 memerlukan
pernyataan kedua pihak baik lembaga pemerintahan maupun warga negara. Artinya untuk
dapat melaksanakan stándar pelayanan publik tersebut, para provider and user, harus
membuat kesepakatan secara demokratis atau dengan sistem (citizen charter), yang
berorientasi visi dan misi pelayanan, standar yang berlakukan (mulai dari jadwal, lamanya
pelayanan, ruang pelayanan, alur pelayanan, hak dan kewajiban provider and user, sanksi –
sanksi bagi provider and user, serta saran, kritik, dan metode keluhan yang disampaikan user
kepada provider.

Paradigma pelayanan publik minimal yang harus diterapkan provider kepada user adalah
akumulasi berbagai program yang berorientasi pada pilihan sekaligus suara publik sebagai
cerminan dari perjuangan yang digalakkan pemerintah menuju paradigma pelayanan publik
yang mau mendengar suara warga negara sebagai bahan pertimbangan dalam memutuskan
setiap kebijakan pelayanan publik, termasuk didalamnya pelayanan KTP, Akte Kelahiran,
IMB, dan sejenisnya.

https://suarabutesarko.com/berita-selengkapnya/paradigma-the-new-public-service/

2 Mei, 2018

Penulis : Dedi Epriadi. S.Sos., M.Si


Dosen STIA Setih Setio Muara Bungo
Sekitar lima tahun yang lalu, masih kuingat jelas tatkala aku hendak mengurus Surat
Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) sebagai salah satu dokumen kelengkapan CPNS.
Aku berusaha mengikuti prosedur dengan datang dulu ke Polsek terdekat untuk meminta
surat pengantar. Aku datang pagi hari, ikut antrian, dan di loket aku disambut dengan muka
jutek. Aku bertanya kenapa aku didiamkan. Petugas penjaga memarahiku karena aku
memakai sandal. Aku disuruh pulang. Pukul satu aku datang lagi, kali ini dengan memakai
sepatu. Tapi petugas penjaga itu belum ada. Kata rekannya, ia pulang makan siang. Kutunggu
hingga jam 3 sore, ia tak datang juga. Rekannya yang lain bilang, biasa itu dia nggak akan
balik ke kantor lagi sampai absen. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Seseorang
yang bicara peraturan tentang sandal justru mengabaikan peraturan tentang jam kerja.

[caption caption="Ilustrasi Konsultasi dengan Petugas Satuan Kerja (Padahal Itu Ahmad
Fuadi). Dokumen Pribadi."][/caption]

Ketika bekerja, aku ditempatkan di Front Office Seksi Pencairan Dana. Tugasku melayani
petugas satuan kerja, baik itu dalam memeriksa Surat Perintah Membayar (SPM), yakni
dokumen yang digunakan untuk meminta pencairan dana APBN, maupun dalam melayani
konsultasi terkait aplikasi dan peraturan perbendaharaan.

Ada-ada saja tingkah petugas satuan kerja. Pernah suatu sore, pukul 3 lewat, seseorang masuk
menggunakan kaos dan celana pendek, bersandal jepit, mengantarkan SPM. Heran rasanya,
seseorang di jam kerja, merepresentasikan kantor tertentu, datang untuk urusan kedinasan,
tapi sebebas itu. Teringat kisahku dipermainkan polisi itu, ingin rasanya berlaku sama. Toh,
kasus ini lebih keterlaluan. Dulu, aku bukan representasi kantor tertentu, dan aku tidak pakai
sandal jepit. Namun, Kepala Kantorku yang biasa mengontrol kemudian menegur petugas
satuan kerja itu. Ia memberi pengertian. SPM tetap maju ke mejaku untuk diperiksa saja,
tetapi tidak dapat diproses. Untungnya, SPM itu masih memiliki kesalahan sehingga alasan
pengembalian bukan karena sandal jepitnya saja.

Kantor-kantor pemerintah, organisasi publik, makin kini makin mengubah wajahnya.


Kepolisian Republik Indonesia sendiri kini sudah memakai frasa “melindungi dan melayani”.
Kementerian Keuangan bahkan sudah sejak lama meletakkan kata “Pelayanan” di kantor-
kantor vertikalnya. Sebut saja Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) dan Kantor Pelayanan Bea dan Cukai (KPBC). Pelayanan bahkan
menjadi salah satu nilai Kementerian Keuangan.

Dalam dinamika administrasi publik, pelayanan adalah ciri dari era yang disebut dengan New
Public Service (NPS). Era ini mengubah cara pandang pemerintah yang sebelumnya dikenal
dengan New Public Management (NPM), yang era sebelumnya lagi adalah Old Public
Administration (OPA) yang kaku, mengatur dan berjarak kepada publik.

Ada 7 kunci pokok yang membedakan NPS dengan NPM maupun OPA:

1. Serving, rather than steering. Peran penting yang berkembang dalam pelayanan publik
adalah untuk membantu masyarakat dalam mengartikan atau memahami kepentingan mereka
ketimbang mengatur atau mengarahkan masyarakat ke arah yang diinginkan pemerintah. Jadi,
bukan tentang ya atau tidak, tapi pemerintah mengajak masyarakat untuk bersama-sama
merumuskan apa yang harus dilakukan dan merealisasikannya.
2. The public interest is the aim, not the by-product. Maksudnya, pemerintah harus terus-
menerus mengenali kebutuhan masyarakat. Hari ini, pemerintah telah membuat sesuatu untuk
masyarakat, tetapi zaman berubah, kebutuhan berubah, pemerintah harus dapat mengenali itu
semua. Selain itu, dalam NPS, dituntut adanya tanggung jawab bersama. Masyarakat juga
nggak boleh cuek atau malah merusak produk yang sudah ada. Sebagai contoh taman kota,
juga barang publik apa saja. Di Kementerian Keuangan sendiri, ada banyak produk yang
dihasilkan. Misal, Modul Penerimaan Negara (MPN) telah menjadi MPN-G2 guna
memberikan pelayanan yang lebih baik. Atau juga Sistem Perbendaharaan Anggaran Negara
(SPAN) yang awal kemunculannya banyak diragukan, namun lambat laun menuai banyak
pujian karena dengan SPAN, negara dapat mengumpulkan banyak data dan
menyederhanakan proses bisnis.

3. Think strategically, act democratically. Berpikir strategis berarti menyadari bahwa suatu
kegiatan pasti memiliki hubungan dengan kegiatan lain, atau menuntut adanya sinergi
antarorganisasi. Kemenkeu menyadari hal itu dengan mencanangkan layanan bersama antara
3 unit eselon I.

4. Serve citizens, not customers. Ciri NPM adalah menganggap rakyat sebagai pelanggan.
NPM mengadopsi praktik-praktik di sektor privat, dan menjadikan financial perspective
sebagai tujuan. Maka, keuntunganlah yang didahulukan, bukan kepentingan rakyat. Terjadi
pula privatisasi BUMN misalnya, itu adalah ciri dari NPM karena negara tidak mau rugi.
Sementara NPS meletakkan customer perspective sebagai tujuan utama. Kemenkeu dalam hal
ini sudah menerapkan Balance Score Card sejak lama dan meletakkan stakeholder dan
customer perspective sebagai yang utama. Value dari melayani rakyat jauh lebih besar
daripada memikirkan keuntungan.

5. Accountability is not simple. NPS adalah era keterbukaan informasi. Segalanya harus
akuntabel. Rakyat berhak tahu apa yang telah, apa yang sedang, dan apa yang akan dilakukan
pemerintah.

6. Value people, not just productivity. Karena itulah dalam tata kerja Transformasi
Kelembagaan, Kemenkeu memberikan value kepada pegawainya dengan adanya
pengembangan karir melalui talent management, kemudahan dalam pelaksanaan tugas,
penghargaan finansial dan nonfinansial untuk yang berprestasi, pengembangan kapasitas
pegawai dan peningkatan kualitas pengelolaan kinerja dan perilaku.

7. Value citizenship and public service above entreprenaurship. Misalnya, dalam sektor
privat dikenal adanya penganggaran modal untuk belanja infrastruktur. Sebuah proyek dinilai
kelayakannya dari segi ekonomi. Tetapi di sektor publik, penganggaran modal dilakukan
dengan analisis biaya dan manfaat dengan mengestimasi nilai dari manfaat yang diterima
masyarakat (target outcome) sebagai manfaat yang dapat dikuantifikasi. Jadi kesejahteraan
masyarakat adalah value tertinggi dari sudut pandang NPS.

Memang saat ini, belum semua elemen pemerintah, baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah bicara tentang NPS. Bahkan masih ada yang sangat kaku dan mengatur,
seolah-olah menjadi birokrat adalah menjadi raja. Pemikiran itu sungguh sangat usang. Yang
masih mendingan adalah yang berpikir NPM, mana yang nggak rugi. Tapi era NPS yang
mewabah di Eropa di tahun 2000-an ditandai dengan maraknya pemerintah menasionalisasi
kembali perusahaan-perusahaan yang sebelumnya diprivatisasi sudah menjadi tuntutan nyata
untuk pemerintah dalam melayani rakyatnya. Siap atau tidak siap. Mau atau tidak mau.

https://www.kompasiana.com/pringadiasurya/56dd8ced25b0bdde0fe0234b/new-public-service-
nps-cara-pandang-baru-pemerintah?page=2

7 Maret 2016
Dampak penerapan New Public Service di indonesia

Dampak Penerapan New Public Sevice di Indonesia juga memberikan dampak yaitu adanya
kesadaran dalam peranan negara yang sebenaranya. Tidak lagi otoriter maupun masih memilih siapa
yang berhak mendapatkan pelayanan dari negara. Dalam konteks kekinian praktek Administrasi
Publik di Indonesia telah mengarah pada prinsip-prinsip paradigma New Public Service. Hal ini dapat
kita lihat pada beberapa kebijakan publik yang berpola bottom up, yaitu Alur pengambilan
keputusan ditetapkan secara berjenjang mulai dari level struktur yang paling bawah atau
masyarakat, yang kemudian menjadi dasar keputusan struktur teratas. Pola bottom up ini
menunjukkan kecenderungan bahwa pada dasarnya pemerintah menganggap masyarakat sebagai
warga Negara atau pemilik sah pemerintahan bukan sebagai pelanggan atau pembeli. Pengaruh
paradigma New Public Service ini memberikan wawasan baru bahwa negara seharusnya
memberikan pelayanan publik bagi semua warga negara. Hal inilah yang mendorong administrasi
publik di Indonesia untuk menerapkan paradigma tersebut yang menerapkan pelayanan kepada
setiap warga negara di Indonesia serta memberi kemudahan dengan adanya program-program yang
diselenggarakan pemerintah untuk datang memberi pelayanan pada warga negara yang menjangkau
segala pelosok daerah. Dari adanya program-program tersebut sebagai bukti bahwa paradigma New
Public Service telah memberi pemikiran baru dalam cara memerintah sebuah negara. New Public
Service adalah cara pandang baru dalam administrasi negara yang mencoba menutupi (cover)
kelemahan-kelemahan paradigma Old Public Administration dan New Public Management.

Kritik mengenai New Public Service

NPS adalah cara pandang baru dalam administrasi negara yang mencoba menutupi (cover)
kelemahan-kelemahan paradigma OPA dan NPM. Namun demkian, apakah NPS tidak memiliki
kekurangan? Berikut ini akan diuraikan beberapa kritik terkait dengan beberapa kelemahan NPS.

1. Pendekatan politik dalam administrasi negara

Secara epistimologis, NPS berakar dari filsafat politik tentang demokrasi. Denhardt dan Denhardt
menspesifikasikkannya menjadi demokrasi kewargaaan. Demokrasi merupakan suatu paham
pemerintahan yang berdasarkan pada aturan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebaikan
bersama. Dalam konteks demokrasi kewargaan, demokrasi dalam hal ini dimaknai sebagai
pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan warga negara secara keseluruhan. Warga negara
memiliki hak penuh memperoleh perhatian dari pemerintah dan warga negara berhak terlibat dalam
setiap proses pemerintahan (politik dan pengambilan kebijakan).

Denhardt dan Denhardt berhasil mencari akar mengapa pemerintah harus melayani (serve) bukan
mengarahkan (steer), mengapa pemerintah memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai
warga negara (citizens) bukan sebagai pelanggan (customers), tetapi mereka lupa bahwa nalar
politik telah masuk dalam upaya pencarian state of the art administrasi negara--pelayanan publik.
Lebih jauh, Denhardt dan Denhardt telah terjerembab dalam pendulum administrasi negara sebagai
ilmu politik (paradigma 3). Padahal, dengan merumuskan NPS sebagai antitesa terhadap NPM
berarti mereka meyakini bahwa administrasi negara telah bergerak melewati paradigma 5.

Tidak ada yang salah ketika Denhardt dan Denhardt mencari akar ideologis paradigma NPS dari teori-
teori politik karena administrasi negara sangat dipengaruhi oleh ilmu politik. Hanya saja nalar politik
seperti ini harus diwaspadai sebagai upaya merewind administrasi negara sebagai ilmu politik.
Semestinya Denhardt dan Denhardt dapat menggunakan nalar administrasi negara dalam mencari
akar dan prinsip-prinsip NPS yang bisa dikonstatasikan dengan NPM. Misalnya, Denhardt dan
Denhardt dapat meyakinkan orang lain bahwa pemerintah bertanggung-jawab melayani masyarakat
sebagai warga negara karena pada awalnya warga negaralah yang mendirikan negara dan kemudian
menjalankannya serta terikat dengan aturan-aturan negara. Oleh karena itu, secara etika dan moral
warga negara adalah pemilik negara.

2. Standar ganda dalam mengkritik NPM

NPS berusaha mengkritik NPM, tetapi tidak tegas karena kritikan terhadap NPS hanyalah kritik
secara filosofis-ideologis bukan kritik atas realitas pelaksanaan NPM yang gagal di banyak negara.
NPM memang sukses diterapkan di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Selandia Baru dan beberapa
negara maju lainnya, tetapi bagaimana penerapannya di negara-negara berkembang? Kenyataannya,
banyak negara berkembang, termasuk Indonesia dan negara miskin, seperti negara-negara di
kawasan benua Afrika yang gagal menerapkan konsep NPM karena tidak sesuai dengan landasan
ideologi, politik, ekonomi dan sosial-budaya negara yang bersangkutan. Akhirnya, negara tersebut
tetap miskin dan tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kemajuan.

Denhardt dan Denhardt mengkritik NPS sebagai konsep yang salah dalam memandang masyarakat
yang dilayani. NPM memandang masyarakat yang dilayani sebagai customer, sedangkan NPS
menganggap masyarakat yang dilayani sebagai warga negara (citizens). Namun, Denhardt dan
Denhardt lupa mencari akar ideologis, mengapa NPM memiliki perspektif demikian dalam
memandang subjek pelayanan? mengapa NPM menawarkan “jurus” privatisasi, liberalisasi dan
deregulasi untuk mendongkrak kinerja pemerintah? Tidak bisa dipungkiri bahwa NPM adalah anak
ideologis neoliberalisme yang mencoba menerapkan mekanisme pasar dan berupaya secara
sistematis mereduksi peran pemerintah, sehingga pemerintah menurut konsep berada di belakang
kemudi kapal, sedangkan kapalnya dijalankan oleh organ-organ di luar pemerintah.

Dalam konsep NPS yang diajukan oleh Denhardt dan Denhardt nilai-nilai neoliberalisme NPM tidak
hilang secara otomatis. Ketika pemerintah melayani masyarakat sebagai warga negara misalnya,
aspek privatisasi bisa saja tetap berlangsung asalkan atas nama melayani kepentingan warga negara
bukan pelanggan. Misalnya, sektor pendidikan dapat diprivatisasi asalkan pelaksana pendidikan
tetap melayani masyarakat sebagai warga negara bukan pelanggan.

3. Aplikasi NPS masih diragukan

Prinsip-prinsip NPS belum tentu bisa diaplikasikan pada semua tempat, situasi dan kondisi.
Administrasi negara sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (ideologi, politik, hukum, ekonomi,
militer, sosial dan budaya), sehingga suatu paradigma yang sukses di suatu tempat belum tentu
berhasil diterapkan pada tempat yang lain. Prinsip-prinsip NPS masih terlalu abstrak dan perlu
dikonkritkan lagi. Prinsip dasar NPS barangkali bisa diterima semua pihak, namun bagaimana prinsip
ini bisa diimplementasikan sangat bergantung pada aspek lingkungan.

Lagi pula, NPS terlalu mensimplifikasikan peran pemerintah pada aspek pelayanan publik. Padahal,
urusan pemerintah tidak hanya berkaitan dengan bagaimana menyelenggarakan pelayanan publik,
tetapi juga menyangkut bagaimana melakukan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Di negara-negara maju seperti di Amerika Serikat, Inggris dan Selandia Baru yang tidak
lagi berkutat pada upaya percepatan pembangunan (development acceleration) dan peningkatan
pertumbuhan ekonomi karena negara-negara tersebut relatif sudah stabil, maka pelayanan publik
menjadi program prioritas yang strategis. Namun, bagi negara-negara berkembang, pelayanan publik
bisa jadi belum menjadi agenda prioritas karena masih berupaya mengejar pertumbuhan dan
meningkatkan pembangunan.

Permasalahan penerapan paradigma New Public Service di indonesia

Permasalahan Administrasi Publik di Indonesia Administrasi publik dalam perkembangannya di


Indonesia telah melalui beberapa tahap, mulai dari masa pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan,
orde baru, dan masa reformasi tahun 1998 sampai dengan sekarang. Sebagai salah satu negara yang
ada di dunia tentunya Indonesia juga merupakan bagian sistem pelaksanaan administrasi global,
yang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan kontradiksi dan saling hubungan antar
sesama bangsa di dunia.Dan Indonesia pun saat ini mulai mengadopsi sistem administrasi dengan
paradigma yang palig baru yaitu New Publik Service. Hanya saja banyak permasalahan administrasi
yang terjadi di Indonesia antara lain :

a. Pengaruh budaya lama (budaya feodal) Dalam mengadopsi sistem administrasi, maka tidak bisa
dengan utuh langsung diterapkan di sebuah negara atau daerah, karena pasti budaya setempat
mempengaruhi dengan kuat ketika akan mempraktekkannya. New Publik Service atau good
governance sulit untuk di terapkan di Indonesia, karena budaya masyarakat Indonesia yang biasa
melayani kepentingan penguasa, maka aparatur yang seharusnya melayani warga masyarakat,
malah berbalik arah untuk minta dilayani, dan masyarakatpun dengan senang hati melayani
kepentingan atau kemauan penguasa dalam hal pengurusan permasalahan administrasi
pemerintahan. Budaya asal bapak senang, budaya kroonisme/nepotisme, tidak bisa di pisahkan
dalam pelaksanaan administrasi, Rasa kekeluargaan di Indonesia sangat kuat, apabila ada saudara,
famili, atau tetangga yang mempunyai wewenang untuk melakukan proses pengurusan administrasi
pemerintahan, pastilah kita minta bantuannya dan otomatis famili atau keluarga tersebut akan
mendahulukan kita tanpa proses antri, dan masih banyak contoh yang lainnya.

b. Politisasi Administrator Daerah Tuntutan otonomi daerah pada saat reformasi tahun 1998,
merupakan bentuk dari ketidakpuasan daerah dalam rangka pembagian kekayaan daerah dengan
pusat, walaupun hanya daerah-daerah tertentu (daerah yang kaya, seperti Riau, Aceh, Kaltim, dsb)
yang menuntut ruang yang lebih besar dalam pengelolaan kekayaannya, atau mereka akan
melepaskan diri dari NKRI. Dalam perkembangannya otonomi daerah dengan sistem pemilihan
kepala daerah (Pilkada) secara langsung, dimana kepala daerah merupakan jabatan politis yang
dicalonkan oleh partai, sehingga unsur politis tidak akan pernah lepas dari corak dan gaya
kepemimpinannya. Administrator daerah dalam hal ini kepala daerah sebagai jabatan politis maka
akan banyak kepentingan politis yang lebih mempengaruhi dalam pelaksanaan administrasi
pemerintahan. Ini bisa terlihat setiap ada pergantian kepala daerah, maka pasti akan diikuti oleh
pergantian pejabat eselon yang ada, tanpa alasan yang jelas hampir semua pejabat diganti, dengan
alasan menempatkan orang yang loyal, dan ini menyebabkan pejabat eselon juga menjadi mandul,
tidak kritis terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, karena takut jabatannya di copot.
Kemudian bisa di pastikan ada kesepakatan-kesepakatan politik antara kepala daerah terpilih
dengan partai yang mencalonkannya, minimal pada pembagian proyek-proyek daerah. Dan masih
banyak yang lainnya. Dapat kita simpulkan bahwa permasalahan yang ada di Indonesia dalam
pelaksanaan administrasi publik, secara garis besar adalah pengaruh budaya lokal yang tidak bisa
bertransformasi langsung dengan baik terhadap konsep-konsep yang kita ambil dari luar, oleh
karena itu, kita masih membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan perubahan budaya ke arah
yang lebih baik. Kemudian yang kedua adalah politisasi dalam pelaksanaan administrasi publik yang
sangat kental dan pengaruh politik ini bisaa menjadi dominan, dalam menentukan kebijakan publik.
Selagi administrasi publik belum bisa melepaskan diri dari ranah politik maka kebijakan publik pun
tidak akan pernah lepas dari kepentingan politik

Anda mungkin juga menyukai