Dalam perspektif ini memang lebih mengedepankan efisiensi, rasionalitas, produktifitas dan
bisnis sehingga kadangkala dapat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan
kepentingan publik. Jika pemerintah dijalankan laiknya sebuah korporasi dan pemerintah
berperan mengarahkan tujuan pelayanan publik, sehingga tidak jelas lagi siapa yang
merupakan pemilik dari kepentingan publik dan pelayanan publik. Berpijak pada hal ini,
Denhardt dan Denhardt memberikan kritiknya terhadap perspektif new public management
sebagaimana yang tertuang dalam kalimat “in our rush to steer, perhaps we are forgetting
who owns the boat (Denhardt dan Denhardt, 2000:549)”
Akibat dari adopsi pendekatan beorientasi ekonomi (pasar) terhadap penyediaan pelayanan
publik adalah terjadinya transformasi standar etika pelayanan publik seperti akuntabilitas,
keterwakilan, netralistas, daya tanggap, integritas, kesetaraan, pertanggungjawaban,
ketidakpihakan, serta kebaikan dan keadilan yang digantikan dengan nilai-nilai pasar
seperti efisiensi, produktivitas, biaya yang efektif, kompetisi dan pencarian keuntungan.
3. New Public Service : Denhardt dan Denhardt (2000) menegaskan bahwa ”public
servants do not deliver customer service; they deliver democracy”. Dengan demikian maka
sebuah pemerintahan atau institusi pemerintahan tidak seharusnya dijalankan seperti
sebuah perusahaan, tetapi memberi pelayanan kepada masyarakat secara demokratis:
adil, merata, tidak diskriminatif, jujur, dan akuntabel.
Menurut mereka hal ini karena: 1) nilai-nilai demokrasi, kewarganegaraan, dan kepentingan
publik adalah merupakan landasan utama/pokok dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan; dan 2) nilai-nilai tersebut diugemi dan memberi energi kepada pegawai
pemerintah/pelayan publik dalam memberikan pelayanannya kepada publik secara lebih
adil, merata, jujur dan bertanggungjawab (Islamy, 2007). Oleh karenanya, pegawai
pemerintah harus senantiasa melakukan rekoneksi dan membangun jaring-hubungan yang
erat dan dinamis dengan masyarakat atau warganya.
Menurut Denhardt & Denhardt, karena pemilik kepentingan publik yang sebenarnya adalah
masyarakat maka administrator publik seharusnya memusatkan perhatiannya pada
tanggung jawab melayani dan memberdayakan warga negara melalui pengelolaan
organisasi publik dan implementasi kebijakan
publik. Perubahan orientasi tentang posisi warga negara, nilai yang dikedepankan, dan
peran pemerintah ini memunculkan perspektif baru administrasi publik yang disebut
sebagai new public service. Warga negara seharusnya ditempatkan di depan, dan
penekanan tidak seharusnya membedakan antara mengarahkan dan mengayuh tetapi lebih
pada bagaimana membangun institusi publik yang didasarkan pada integritas dan
responsivitas. Perspektif new public service mengawali pandangannya dari pengakuan atas
warga negara dan posisinya yang sangat penting bagi kepemerintahan demokratis. Jati diri
warga negara tidak hanya dipandang sebagai semata persoalan kepentingan pribadi (self
interest) namun juga melibatkan nilai, kepercayaan, dan kepedulian terhadap orang lain.
Warga negara diposisikan sebagai pemilik pemerintahan (owners of government) dan
mampu bertindak secara bersama-sama mencapai sesuatu yang lebih baik. Kepentingan
publik tidak lagi dipandang sebagai agregasi kepentingan pribadi melainkan sebagai hasil
dialog dan keterlibatan publik dalam mencari nilai bersama dan kepentingan bersama.
Secara ringkas, perspektif new public service dapat dilihat dari beberapa prinsip yang
dilontarkan oleh Denhardt & Denhardt. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1. Pertama adalah serve citizens, not customers. Karena kepentingan publik
merupakan hasil dialog tentang nilai-nilai bersama daripada agregasi kepentingan pribadi
perorangan maka abdi masyarakat tidak semata-mata merespon tuntutan pelanggan tetapi
justru memusatkan perhatian untuk membangun kepercayaan dan kolaborasi dengan dan
diantara warga negara.
2. Kedua, seek the public interest. Administartor publik harus memberikan sumbangsih
untuk membangun kepentingan publik bersama. Tujuannya tidak untuk menemukan solusi
cepat yang diarahkan oleh pilihan-pilihan perorangan tetapi menciptakan kepentingan
bersama dan tanggung jawab bersama.
3. Ketiga, value citizenship over entrepreneurship. Kepentingan publik lebih baik
dijalankan oleh abdi masyarakat dan warga negara yang memiliki komitmen untuk
memberikan sumbangsih bagi masyarakat daripada dijalankan oleh para manajer
wirausaha yang bertindak seolah-olah uang masyarakat adalah milik mereka sendiri.
4. Keempat, think strategically, act democratically. Kebijakan dan program untuk
memenuhi kebutuhan publik dapat dicapai secara efektif dan bertanggungjawab melalui
upaya kolektif dan proses kolaboratif.
5. Kelima, recognize that accountability is not simple. Dalam perspektif ini abdi
masyarakat seharusnya lebih peduli daripada mekanisme pasar. Selain itu, abdi
masyarakat juga harus mematuhi peraturan perundang-undangan, nilai-nilai
kemasyarakatan, norma politik, standar profesional, dan kepentingan warga negara.
6. Keenam, serve rather than steer. Penting sekali bagi abdi masyarakat untuk
menggunakan kepemimpinan yang berbasis pada nilai bersama dalam membantu warga
negara mengemukakan kepentingan bersama dan memenuhinya daripada mengontrol atau
mengarahkan masyarakat ke arah nilai baru.
7. Ketujuh, value people, not just productivity. Organisasi publik beserta jaringannya
lebih memungkinkan mencapai keberhasilan dalam jangka panjang jika dijalankan melalui
proses kolaborasi dan kepemimpinan bersama yang didasarkan pada penghargaan kepada
semua orang.
Menurut Denhardt & Denhardt (2000) , karena pemilik kepentingan publik yang sebenarnya
adalah masyarakat maka administrator publik seharusnya memusatkan perhatiannya pada
tanggung jawab melayani dan memberdayakan warga negara melalui pengelolaan
organisasi publik dan implementasi kebijakan publik. Warga negara seharusnya
ditempatkan di depan, dan penekanan lebih didasarkan pada integritas dan responsivitas.
Wamsley & Wolf (1996) dikutip Denhardt & Denhardt (2000) melakukan kritik keras atas
reinventing government dengan menyunting buku berjudul “refounding democratic public
administration.” yang melukiskan betapa pentingnya melibatkan masyarakat dalam
administrasi publik dalam posisi sebagai warga negara bukan sekedar sebagai pelanggan.
Buku tersebut menekankan betapa pentingnya democratic government yang
mengedepankan partisipasi masyarakat dalam administrasi publik. Yang dimaksud dengan
active administration adalah tidak sekedar meningkatkan kekuasaan administrasi tetapi
memperkuat kerja kolaboratif dengan warga negara. Pada intinya, perspektif baru ini
diharapkan dapat meningkatkan pencapaian: akuntabilitas, keterwakilan, netralistas, daya
tanggap, integritas, kesetaraan, pertanggungjawaban, ketidakpihakan, serta kebaikan dan
keadilan.
Meskipun pendekatan New Public Service mempunyai banyak kelebihan, tetapi pendekatan
ini juga tidak lepas dari beberapa kelemahan. Pendekatan New Public Service menuntut
partisipasi aktif masyarakat yang tidak hanya sebagai obyek atau tujuan layanan tetapi juga
sebagai warga negara yang terlibat aktif dalam proses untuk mencapai tujuan bersama.
Salah satu kelemahan pendekatan New Public Service adalah jika pendekatan ini jika tidak
didukung pengetahuan dan distribusi informasi yang baik oleh setiap elemen masyarakat
maka proses akan kembali pada pendekatan Old Public Administration atau New Public
Management, proses menjadi mahal dan lambat karena banyak pihak terlibat dan proses
yang harus dilalui.
Untuk lebih jelasnya ketiga paradigma di atas dapat dilihat pada tabel 2,1 berikut ini :
Tabel 2.1. Tiga Perspektif dalam Administrasi Publik
PARADIGMA ADMINISTRASI NEGARA
I. Definisi Paradigma
Paradigma adalah corak berfikir menjadi konsep yang menarik perhatian ilmuwan sejak Thomas
Kuhn menulis buku ”The Structure of Scientific Revolution”. Sungguh pun latar belakang Kuhn
adalah bidang ilmu alam, namun pandangan paradigmatik Kuhn banyak mempengaruhi
pengamat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan sosial, termasuk ilmu administrasi negara.
Untuk memahami perkembangan paradigma dalam ilmu administrasi negara, perlu diketahui
terlebih dahulu apa makna dari paradigma. Secara etimologis, kata “paradigm” berasal dari
bahasa Yunani “paradeigma” yang berarti pola ( pattern) atau contoh (example). Oxford English
Dictionary merumuskan paradigma sebagai “ a pattern or model, an exemplar”.
Secara umum paradigma diartikan sebagai :
• Cara kita memandang sesuatu (point of view), sudut pandang, atau keyakinan (belief).
• Cara kita memahami dan menafsirkan suatu realitas.
• Paradigma seperti ‘peta’ atau ‘kompas’ di kepala. Kita melihat atau memahami segala
sesuatu sebagaimana yang seharusnya .
American Heritage Dictionary merumuskan paradigma sebagai :
• Serangkaian asumsi, konsep, nilai-nilai, dan praktek-praktek yang diyakini oleh suatu
komunitas dan menjadi cara pandang suatu realitas ( A set of assumptions, concepts, and
values, and practices that constitutes a way of viewing reality for the community that shares
them)
Thomas Kuhn :
• Paradigma adalah suatu cara pandang , nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar, atau cara
memecahkan sesuatu masalah , yang dianut oleh suatu masyarakat ilmiah pada masa tertentu.
Menurut Thomas Kuhn , krisis akan timbul apabila suatu permasalahan yang dihadapi
masyarakat tidak dapat dijelaskan atau tidak dapat dipecahkan secara memuaskan dengan
menggunakan pendekatan suatu paradigma. Krisis ini akan mendorong suatu “scientific
revolution” di kalangan masyarakat ilmuwan untuk melakukan penilaian atau pemikiran kembali
paradigma yang ada dan mencoba menemukan paradigma baru yang dapat memberikan
penjelasan dan alternatif pemecahan yang dihadapi secara lebih memuaskan.
Paradigma X
Model Hubungan Publik
Tokoh : Ostrom, Buchanan, Olson, Oppenheimer
Model birokrasi pilihan publik merupakan pendekatan yang paling mutakhir dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Pendekatan ini masih banyak bersifat teoretis dibanding bukti
empiris di lapangan. Resep-resep yang ada dalam penyelenggaraan pemerintahan kebanyakan
bersifat ideal, namun bukti penerapannya, masih tergolong langka. Hal ini antara lain
disebabkan karena pendekatan ini memang relatif masih muda usianya.
Ciri-cirinya, antara lain; lebih bersifat anti birokratis, berdasar pada distribusi pelayanan,
desentralisasi, dan tawar-menawar yang berorientasi kepada klien. Ada berbagai prasyarat yang
seharusnya terpenuhi dalam penerapan model ini, antara lain: (1) sistem politik harus dapat
menjamin partisipasi dalam mengemukakan pendapat secara objektif dan bertanggung jawab;
(2) sistem administrasi pemerintahan yang selalu dinamis, mampu menyesuaikan diri dengan
fungsi yang terus berubah; (3) birokrat harus mampu mengoreksi diri sendiri, dan; (4) perlu
ada langkah kongkrit yang dapat dilakukan dalam mengefektifkan pemberdayaan masyarakat,
antara lain adalah meningkatkan kesadaran kritis dalam hal politik pada berbagai lapisan
masyarakat. Langkah ini terlaksana apabila terjadi komunikasi yang “dialogis” antara perumus
kebijaksanaan dan masyarakat pengguna pelayanan.
Paradigma XI
Administrasi Negara Baru (New Public Administration
Tokoh : J. V. Denhard
• Melayani warga masyarakat bukan pelanggan;
• Mengutamakan kepentingan Publik
• Lebih menghargai warga negara bukan kewirausahaan
• Berfikir strategis dan bertindak demokratis
• Menyadari akuntabilitas bukan suatu yang mudah
• Melayani dari pada mengendalikan
• Menghargai orang buka produktivitas semata
Konsep mutakhir administrasi negara adalah good governance yang memberikan lebih banyak
hal yang harus dihadirkan pemerintahan dalam pelayanan kepada masyarakat. Good
governance lahir di tengah-tengah masyarakat yang kompleks, kritis, dan turunnya sumber
daya yang dimiliki pemerintah jika dibandingkan permasalahan yang dihadapi, sehingga konsep
ini menjadi sangat relevan untuk diadopsi dalam penyusunan kabinet jika memang benar
presiden yang terpilih nantinya memiliki political will yang besar terhadap perbaikan bangsa.
JIka sungguh-sungguh ingin melaksanakan good governance, dari penyusunan kabinet itu
sudah tercermin.
Konsep Administrasi negara baru yang lahir pada tahun 1980-an, mendorong pemerintah untuk
tidak saja adil tetapi juga berpihak pada yang lemah
Sumber :
Tri Kadarwati. 2001. Administrasi Negara Perbandingan. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
Yeremias T. Keban. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep, Teori dan Isu.
Penerbitan Gaya Media. Yogyakarta
Janet V. Dernhart dan Robert B. Dernhart. 2003. The New Public Service : Serving, not
Steering. M.E Sharpe, New York.
Robert B. Dernhart. 2008. Theories of Public Organization. Thomson & Wadsworth. USA.Fifth
Edition
Paradigma I :
Dikotomi Politik-Administrasi (1900-1926)
Tokoh : Frank J Goodnow dan Leonard D. White
Frank J Goodnow dan Leonard D White dalam bukunya Politics and Administration menyatakan
dua fungsi pokok dari pemerintah yang berbeda:
1. Fungsi politik yang melahirkan kebijaksanaan atau keinginan negara,
2. Fungsi Administrasi yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan negara.
Penekanan pada Paradigma ini terletak pada Locusnya, menurut Goodnow Locusnya berpusat
pada (government Bureucracy ) birokrasi Pemerintahan. Sedangkan Focusnya yaitu metode
atau kakian apa yang akan dibahas dalam Administrasi Publik kurang dibahas secara jelas.
Administrasi negara memperoleh legitimasi akademiknya lewat lahirnya Introduction To the
study of Public Administration oleh Leoanrd D White yang menyatakan dengan tegas bahwa
politik seharusnya tidak ikut mencampuri administrasi, dan administrasi negara harus bersifat
studi ilimiah yang bersifat bebas nilai.
Paradigma II:
Prinsip-Prinsip Administrasi Negara (1927-1937)
Tokoh : Gulick dan Urwick, F.W. Taylor, Henry Fayol, Mary Parker Follet, dan Willooghby
Di awali dengan terbitnya Principles of Public Adminisration karya W F Willoughby. Pada fase ini
Administrasi diwarnai oleh berbagai macam kontribusi dari bidang-bidang lain seperti industri
dan manajemen, berbagai bidang inilah yang membawa dampak yang besar pada timbulnya
prinsip-prinsip administrasi,
Prinsip-prinsip tersebut yang menjadi Focus kajian Administrasi Publik sedangkan Locus dari
paradigma ini kurang ditekankan karena esensi prinsip-prinsip tersebut, dimana dalam
kenyataan bahwa bahwa prinsip itu bisa terjadi pada semua tatanan, lingkungan, misi atau
kerangka institusi, ataupun kebudayaan, dengan demikian administrasi bisa hidup dimanapun
asalkan Prinsip-prinsip tersebut dipatuhi.
• Pada paradigma kedua ini pengaruh manajemen Kalsik sangat besar Tokoh-tokohnya adalah :
• F.W Taylor yang menuangkan 4 prinsip dasar yaitu ; perlu mengembangkan ilmu manajemen
sejati untuyk memperoleh kinerka terbaik ; perlu dilakukukan proses seleksi pegawai ilmiah
agar mereka bisa tanggung jawan dengan kerjanya ; perlua ada pendidikan dan
pengembangan pada pegawai secara ilmiah ; perlu kerjasama yang intim antara pegawai dan
atasan à ( prinsip management ilmiah Taylor )
• Kemudian disempurnakan oleh Fayol ( POCCC ) dan Gullick dan Urwick ( Posdcorb )
Paradigma III
Administrasi Negara Sebagai Ilmu Politik (1950-1970)
Tokoh : Nicholas Henry
• Menurut HERBERT SIMON ( The Poverb Administration ) à Prinsip Managemen ilmiah
POSDCORB tidak menjelaskan makna “ Public” dari “public Administration “ menurut Simon
bahwa POSDCORB tidak menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan oleh administrator publik
terutama dalam decision making. Kritik Simon ini kemudian menghidupkan kembali perdebatan
Dikotomi administrasi dan Politik
• Kemudian muncullah pendapat Morstein-Mark ( element Of Public Administration yang
kemudian kembali mempertanyakan pemisahan politik san ekonomi sebagai suatu hal yang
tidak realistik dan tidak mungkin
• Kesimpulannya Secara singkat dapat dipahami bahwa fase Paradigma ini menerapkan suatu
usaha untuk menetapkan kembali hubungan konseptual antara administrasi saat itu, karena hal
itulah administrasi pulang kembali menemui induk ilmunya yaitu Ilmu Politik, akibatnya
terjadilah perubahan dan pembaruan Locusnya yakni birokrasi pemerintahan akan tetapi
konsekuensi dari usaha ini adalah keharusan untuk merumuskan bidang ini dalam hubungannya
dengan focus keahliannya yang esensial. Terdapat perkembangan baru yang dicatat pada fase
ini yaitu timbulnya studi perbandingan dan pembangunan administrasi sebagi bagian dari
Administrasi negara.
Paradigma IV:
Administrasi Negara Sebagai Ilmu Administrasi (1956-1970)
Tokoh : Henderson, Thompson, Caldwen
• Istilah Administrative Science digunakan dalam paradigma IV ini untuk menunjukkan isi dan
focus pembicaraan, sebagai suatu paradigma pada fase ini Ilmu Administrasi hanya
menekankan pada focus tetapi tidak pada locusnya,
• Ia menawarkan teknik-teknik yang memerlukan keahlian dan spesialisasi, pengembangan
paradigma ke-4 ini bukannya tanpa hambatan, banyak persoalan yang harus dijawab seperti
misal adalah apakah jika fokus tunggal telah dipilih oleh administrasi negara yakni ilmu
administrasi, apakah ia berhak bicara tentang public (negara) dalam administrasi tersebut dan
banyak persoalan lainnya.
Paradigma V:
Administrasi Negara sebagai Administrasi Negara (1970)
Pemikiran Herbert Simon tentang perlunya dua aspek yang perlu dikembangkan dalam disiplain
AN:
1. Ahli Administrasi Negara meminati pengembangan suatu ilmu Administrasi Negara yang
murni
2. Satu kelompok yang lebih besar meminati persoalan-persolan mengenai kebijaksanaan
publik.
Lebih dari itu administrasi negara lebih fokus ranah-ranah ilmu kebijaksanaan (Policy Science)
dan cara pengukuran dari hasil- hasil kebijaksanan yang telah dibuat, aspek perhatian ini dapat
dianggap sebagi mata rantai yang menghubungkan antara fokus administrasi negara dengan
locusnya. Fokusnya adalah teori-teori organisasi, public policy dan tekhnik administrasi ataupun
manajemen yang sudah maju, sedangkan locusnya ialah pada birokrasi pemerintahan dan
persoalan-persoalan masyarakat (Public Affairs).
Paradigma VI
Model Birokrasi Klasik.
Tokoh : Taylor, Wilson, Weber,Gullick Urwick
Birokrasi adalah suatu usaha dalam mengorganisir berbagai pekerjaan agar terselenggara
dengan teratur. Pekerjaan ini bukan hanya melibatkan banyak personil (birokrat), tetapi juga
terdiri dari berbagai peraturan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Birokrasi
diperlukan agar penyelenggaraan tugas pemerintahan tersebut terlaksana secara efisien, efektif
dan ekonomis.
Dalam memahami lebih jelas pengertian birokrasi ini, maka dikemukakan ciri-ciri idealnya dari
Max Weber (Frederickson, 1984) yang dikenal sebagai salah satu tokoh dalam aliran birokrasi
klasik (atau aliran tradisional). Ciri-ciri ini antara lain; suatu birokrasi terdiri dari berbagai
kegiatan, pelaksanaan kegiatannya didasarkan pada peraturan yang konsisten, jabatan dalam
organisasi tersusun dalam bentuk hierarki, pelaksanaan tugas dengan impersonality, sistem
rekruitmen birokrat berdasar pada sistem kecakapan (karier) dan menganut sistem spesialisasi,
dan penyelenggaraan pemerintahan dilakukan secara terpusat (sentralisasi).
Meskipun birokrasi klasik ini banyak dikritik, namun sampai sekarang, tetap ada beberapa
karakteristik dari model ini yang bertahan dalam birokrasi pemerintahan. Kelemahan-
kelemahannya antara lain, seperti terlalu kakunya peraturan yang menyertai model ini,
menyebabkan banyak ahli yang melakukan penelitian untuk penyempurnaannya.
Paradigma VII
Model Neo Birokrasi
Tokoh : Simon,Cyert, March,Gore
Model pendekatan neo-birokrasi merupakan salah satu model dalam erabehavioral. Nilai yang
dimaksimumkan adalah efisiensi, ekonomi, dan tingkat rasionalisme yang tinggi dari
penyelenggaraan pemerintahan. Unit analisisnya lebih banyak tertuju pada fungsi “pengambilan
keputusan” (decision making) dalam organisasi pemerintahan. Dalam proses pengambilan
keputusan ini, pola pemikirannya bersifat “rasional”; yakni keputusan-keputusan yang dibuat
sedapat mungkin rasional untuk dapat mencapai tujuan penyelenggaraan kegiatan
pemerintahan; model pengambilan keputusan didasarkan pada prinsip manajemen modern;
pendekatan dalam mengambil keputusan didasarkan pada analisis sistem; dan di dalam
praktiknya banyak menggunakan penelitian operasi (operation research).
Kelebihan model ini, telah banyak dibuktikan melalui “unit analisisnya” yang lebih didasarkan
pada teknik-teknik ilmu manajemen yang telah mapan sebagai kelengkapan pemecahan
masalah dalam banyak organisasi besar, termasuk organisasi militer dan pemerintahan. Teknik
manajemen ilmiah telah banyak digunakan dalam kegiatan penganggaran, penjadwalan proyek,
manajemen persediaan, program perencanaan karyawan, serta pengembangan produk untuk
mencapai produktivitas yang tinggi. Dibalik kelebihannya, juga memiliki berbagai kelemahan,
antara lain tidak semua persoalan dalam pemerintahan dapat dikuantitatifkan dalam
menerapkan prinsip manajemen ilmiah seperti yang diharapkan dalam penerapan model ini.
Paradigma VIII
Model Kelembagaan
Tokoh : Lindbloom, J. Thompson, Mosher, Blau, Riggs
Model kelembagaan merupakan penjelmaan dari era behavioralisme. Ciri-cirinya, antara lain
bersifat empiris. Di samping memperhatikan aspek internal, juga pada aspek ekstemal, seperti
aspek budaya turut menjadi perhatian utama dalam kajian organisasi pemerintahan (sistem
terbuka).
Para penganut model ini lebih tertarik mempelajari organisasi pemerintahan apa adanya
(netral), dibanding mengajukan resep perbaikan (intervensi) yang harus dilakukan dalam
peningkatan kinerja organisasi pemerintahan. Namun demikian, hasil karya dari tokoh penganut
aliran sangat berjasa dalam pengembangan teori organisasi, karena hasil-hasil karya yang ada
sebelumnya cenderung menganalisis organisasi dengan “sistem tertutup” tanpa
memperhitungkan aspek eksternal organisasi, yang secara realita sangat menentukan terhadap
kinerja organisasi pemerintahan.
Paradigma IX
Model Hubungan Kemanusiaan
Tokoh : Mcgregor, Argyris
Model hubungan kemanusiaan mengkritik model-model birokrasi. pemerintahan yang ada
sebelumnya, yakni model birokrasi klasik dan model neo-birokrasi yang terlalu memformalkan
seluruh kegiatan dalam organisasi pemerintahan. Model hubungan kemanusiaan melihat secara
empiris, bahwa ternyata aturan yang terlalu kaku, dapat menimbulkan kebosanan orang
(birokrat) bekerja dalam organisasi.
Ciri-ciri model ini, antara lain melihat perlunya diperhatikan; hubungan antarpribadi, dinamika
kelompok, komunikasi, sanksi yang tidak perlu merata, pelatihan, motivasi kerja dalam
penyelenggaraan birokrasi pemerintahan. Sejalan dengan ciri-ciri tersebut, maka nilai yang
dimaksimalkan adalah kepuasan kerja, perkembangan pribadi, harga diri individu dalam
organisasi pemerintahan. Model ini tetap menganjurkan perlunya pengawasan, namun tidak
perlu dilakukan secara ketat dan merata kepada semua anggota organisasi. Hanya mereka yang
memerlukan pengawasan adalah yang perlu diberikan. Hal yang paling penting dilakukan
adalah memperbaiki sistem organisasi agar tercipta suasana kerja yang memungkinkan anggota
organisasi dapat berhubungan secara baik dengan rekan kerjanya agar tercipta suasana yang
dapat meningkatkan inovasi aparatur pemerintahan.
Paradigma X
Model Hubungan Publik
Tokoh : Ostrom, Buchanan, Olson, Oppenheimer
Model birokrasi pilihan publik merupakan pendekatan yang paling mutakhir dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Pendekatan ini masih banyak bersifat teoretis dibanding bukti
empiris di lapangan. Resep-resep yang ada dalam penyelenggaraan pemerintahan kebanyakan
bersifat ideal, namun bukti penerapannya, masih tergolong langka. Hal ini antara lain
disebabkan karena pendekatan ini memang relatif masih muda usianya.
Ciri-cirinya, antara lain; lebih bersifat anti birokratis, berdasar pada distribusi pelayanan,
desentralisasi, dan tawar-menawar yang berorientasi kepada klien. Ada berbagai prasyarat yang
seharusnya terpenuhi dalam penerapan model ini, antara lain: (1) sistem politik harus dapat
menjamin partisipasi dalam mengemukakan pendapat secara objektif dan bertanggung jawab;
(2) sistem administrasi pemerintahan yang selalu dinamis, mampu menyesuaikan diri dengan
fungsi yang terus berubah; (3) birokrat harus mampu mengoreksi diri sendiri, dan; (4) perlu
ada langkah kongkrit yang dapat dilakukan dalam mengefektifkan pemberdayaan masyarakat,
antara lain adalah meningkatkan kesadaran kritis dalam hal politik pada berbagai lapisan
masyarakat. Langkah ini terlaksana apabila terjadi komunikasi yang “dialogis” antara perumus
kebijaksanaan dan masyarakat pengguna pelayanan.
Paradigma XI
Administrasi Negara Baru (New Public Administration
Tokoh : J. V. Denhard
• Melayani warga masyarakat bukan pelanggan;
• Mengutamakan kepentingan Publik
• Lebih menghargai warga negara bukan kewirausahaan
• Berfikir strategis dan bertindak demokratis
• Menyadari akuntabilitas bukan suatu yang mudah
• Melayani dari pada mengendalikan
• Menghargai orang buka produktivitas semata
Konsep mutakhir administrasi negara adalah good governance yang memberikan lebih banyak
hal yang harus dihadirkan pemerintahan dalam pelayanan kepada masyarakat. Good
governance lahir di tengah-tengah masyarakat yang kompleks, kritis, dan turunnya sumber
daya yang dimiliki pemerintah jika dibandingkan permasalahan yang dihadapi, sehingga konsep
ini menjadi sangat relevan untuk diadopsi dalam penyusunan kabinet jika memang benar
presiden yang terpilih nantinya memiliki political will yang besar terhadap perbaikan bangsa.
JIka sungguh-sungguh ingin melaksanakan good governance, dari penyusunan kabinet itu
sudah tercermin.
Konsep Administrasi negara baru yang lahir pada tahun 1980-an, mendorong pemerintah untuk
tidak saja adil tetapi juga berpihak pada yang lemah
Daftar Isi
erubahan paradigma manajemen pemerintahan telah mendorong perkembangannya
administrasi publik yang sangat dinamis mengikuti dinamika lingkungannya. Perubahan
paradigma itu antara lain oleh Savas (1983), Osborne (1992), Effendi (1995),
Mustopadidjaja (1997), Mifta Thoha (1997) mengatakan sebagai berikut : (dalam Artikel ini
membahas Perkembangan Administrasi Publik, Artikel, Teori, Sejarah)
Sebagai dampak dari perubahan global, administrasi publik akan mengalami perubahan
mendasar terutama peran dan orientasi yang ingin dicapai. Dalam era global kita melihat
berkembang dan tumbuhnya sistem administrasi publik dan pemerintahan yang semakin
efisien, efektif. Pergeseran peran telah mulai terjadi dimana fungsi pemerintah dalam
berbagai segi kehidupan ekonomi, sosial telah bergeser dari peran pemerintah yang begitu
besar ke arah mendorong lembaga-lembaga masyarakat/swasta untuk mengambil bagian
yang besar dalam menjalankan sebagai fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat
(Osborne 1993, Kartasasmita 1996, Kristiadi 1997). Pemeritnah cukup hanya berfungsi
sebagai pengarah tidak lagi berfungsi sebagai pengatur yang dominan. Hal ini berimplikasi
pada adanya keinginan pemerintah untuk memberdayakan masyarakat dan
meningkatkan partisipasi dalam pembangunan.
Perubahan peran administrasi publik akan selalu seiring dengan dinamika masyarakat
dimana sistem administrasi negara itu berada. Frederickson (1983), efektifitas, rasionalitas
dan produktivitas, tetapi yang lebih penting adalah administrasi negara harus menciptakan
keadilan sosial, berdasarkan kebutuhan pada semua lapisan masyarakat. Hal ini berarti
administrasi negara berusaha untuk merubah kebijakan-kebijakan maupun struktur-struktur
yang secara sistematis merintangi terciptanya keadilan sosial.
Administrasi publik memiliki fungsi untuk menjalankan kebijaksanaan dan program-program
kegiatan pemerintahan untuk mecapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keerangka hirarki
kebijaksanaan (Bromley: 1984). Sehubungan dengan hal ini perkembangan administrasi
publik akan sangat dipengaruhi oleh kondisi perkembangan tuntutan dan aspirasi dan
pelayanan kebutuhan masyarakat yang cenderung selalu dinamis.
Administrasi publik yang berkembang setelah paradigma kelima yang diidentifikasikan oleh
Henry menurut Kristiadi (1997) adalah paradigma administrasi pembangunan. Hal ini
didasarkan pada temuan-temuan hasil kajian kelompok studi komparatid administrasi
(CAG) yang menyebutkan bahwa ”adminsitrasi publik lebih berorientasi untuk mendukung
usaha-usaha pembangunan negara-negara yang belum maju”. Pada umumnya proses
kegiatan ini disebut sebagai administrasi pembangunan. Sedangkan di negara-negara maju
dewasa ini, administrasi publik lebih diarahkan kepada upaya pencarian bentuk
kelembagaan yang tepat, ketatalaksanaan dan aspek kualitas sumebr daya manusia
aparatus yang pada intinya adalah reformasi administrasi. Setelah perkembangan
paradigma administrasi publik sebagai administrasi pembangunan, menurut Bintoro (1999),
paradigma berikutnya adalah mewirausahakan birokrasi yang dipelopori oleh Osborne,
Gaebler (1992) dan perkembangan yang terakhir adalah penyeleggaraan
kepemerintahan/administrasi publik yang baik (good governance) yang bercirikan kepastian
hukum, keterbukaan, akuntability dan konsistensi.
Perubahan orientasi dan peran administrasi publik diperlukan untuk merespon dinamika
masyarakat yang tinggi terutama dalam menciptakan pelayanan yang efisien dan efektif
serta menciptakan keadilan sosial bagi warga masyarakat. Hal ini perlukan karena
administrasi publik berfungsi sebagai instrumen publik untuk menciptakan kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian fungsi aparatur sebagai pelayanan masyarakat harus
dominan dan diutamakan ketimbang fungsi sebagai abdi negara. Kartasasmita (1996)
melakukan analisis reposisi terhadap paradigma administrasi pembangunan (birokrasi)
yang selama 32 tahun memiliki peran yang besar dalam pembangunan bangsa, yaitu :
perubahan dalam polarisasi:
1. Orientasi birokrasi bergeser dari yang kuat kepada yang lemah dan kurang berdaya,
2. Birokrasi harus membangun partisipasi rakyat,
3. Peranan birokrasi bergeser dari mengendalikan ke mengarahkan, dan
4. Birokrasi harus mengembangakan keterbukaan dan kebertanggungjawaban.
Fungsi pemberdayaan, aparatur pemerintah tidak harus berupaya melakukan sendiri, tetapi
mengarahkan (steering rather then rowing). Sesuatu yang sudah bisa dilakukan oleh
masyarakat, jangan dilakukan oleh pemerintah. Apabila masyarakat atau sebagian dari
mereka belum mampu atau tidak berdaya, maka harus diberdayakan (empowering).
Pemberdayaan berarti pula memberi peran kepada masyarakat lapisan bawah di dalam
keikutsertaannya dalam proses pembangunan.
Di samping itu, dalam pelaksanaan kode etik tersebut, aparatur dan sistem manajemen
publik harus bersikap terbuka, transparan dan accountable, untuk mendorong para
pemimpin dan seluruh sumber daya manusia aparatur menjadi berwibawa, bersih dan
menjadi panutan bagi masyarakat.
Partisipasi masyarakat harus diikutsertakan dalam proses menghasilkan public good atau
services dengan mengembangkan pola kemitraan dan kebersamaan dan bukan semata-
mata dilayani. Untuk itulah kemampuan masyarakat harus diperkuat (empowering rather
than serving), kepercayaan masyarakat harus meningkat dan kesempatan masyarakat
untuk berpartisipasi harus ditingkatkan.
Upaya pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha, peningkatan partisipasi dan kemitraan
sangat memerlukan keterbukan birokrasi pemerintah, juga disamping itu memerlukan
langkah-langkah yang tegas dalam mengurangi peraturan dan prosedur yang menghambat
kreativitas dan aktivtas mereka dan memebri kesempatan kepada masyarakat untuk dapat
berperan serta dalam proses penyusunan peraturan kebijaksanaan, pelaksanaan,
pengawasan pembangunan.
Inti dari perubahan peran dan orientasi administrasi publik adalah bahwa bentuk organisasi
birokrasi yang ada sekarang harus berubah sesuai dengan tuntutan perubahan itu sendiri,
yaitu bentuk organisasi yang terbuka, fleksibel, ramping atau pipih (flat), efisiensi dan
rasional, terdesentralisasi, kaya fungsi miskin struktur sehingga memungkin organisasi
birokrasi lebih cepat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Bahkan menurut Mc
Kinsey (Kristiadi:1997) desain organisasi kedepan dicirikan oleh 7 S, yaitu:
(1) system,
(2) structure,
(3) strategy,
(4) staff,
(5) skill,
(6) leadership style, dan
(7) share value.
Aspek sistem meliputi pemahaman terhadap visi dan misi organisasi berdasarkan tuntutan
perubahan lingkungan, nilai dan budaya yang dimiliki organisasi yang menjadi ciri khas
organisasi dan sekaligus menjadi perekat dan motivasi anggota organisasi untuk
mengembangkan berbagai aktivitas keorganisasian baik dalam melakukan hubungan
secara internal maupun dalam melakukan hubungan eksternal. Sedangkan aspek strategi
mencangkup kemampuan organisasi menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan,
pemahaman kemampuan memanfaatkan peluang, tantangan, ancaman dan kelemahan
serta kekuatan yang dimiliki organisasi dapat menyesuaikan diri dengan perubahan
tersebut dan pada akhirnya dapat survie dan meraih kemampuan kompetitif. Aspek soft
struktur organisasi meliputi staff, skill, style, dan share value menyarakatkan proses
pembelajaran yang secara terus menerus untuk mencapainya. Administrasi publik
(Birokrasi) ke depan harus menata kembali visi, misi tujuan, sasaran dan strategi
pencapaiannya dalam rangka memberikan pelayanan publik yang cepat, efisien, terbuka,
dan akuntabel.
Savas, E. S., Privatization : The Key to Better Government, Chatham House Publisher, Inn.,
New Jersey, 1987.