Anda di halaman 1dari 30

1.

Old Public Administration : Perspektif pertama yang merupakan perspektif klasik


berkembang sejak tulisan Woodrow Wilson di tahun 1887 yang berjudul “the study of
administration”. Terdapat dua gagasan utama dalam perspektif ini. Gagasan pertama
menyangkut pemisahan politik dan administrasi. Administrasi publik tidak secara aktif dan
ekstensif terlibat dalam pembentukan kebijakan karena tugas utamanya adalah
implementasi kebijakan dan penyediaan layanan publik. Dalam menjalankan tugasnya,
administrasi publik menampilkan netralitas dan profesionalitas. Administrasi publik diawasi
oleh dan bertanggung jawab kepada pejabat politik yang dipilih (Denhardt & Denhardt,
2000).

Gagasan kedua membicarakan bahwa administrasi publik seharusnya berusaha sekeras


mungkin untuk mencapai efisiensi dalam pelaksanaan tugasnya. Efisiensi ini dapat dicapai
melalui struktur organisasi yang terpadu dan bersifat hierarkis. Gagasan ini terus
berkembang melalui para pakar seperti Taylor (1923) dengan “scientific management”,
White (1926) dan Willoughby (1927) yang mengembangkan struktur organisasi yang sangat
efisien, dan Gullick & Urwick (1937) yang sangat terkenal dengan akronimnya POSDCORB
(Denhardt dan Denhardt, 2000).
Selama masa berlakunya perspektif old public administration ini, terdapat dua pandangan
utama yang lainnya yang berada dalam arus besar tersebut. Pertama adalah pandangan
Simon yang tertuang dalam karya klasiknya (1957) “administrative behavior”. Simon
mengungkapkan bahwa preferensi individu dan kelompok seringkali berpengaruh pada
berbagai urusan manusia. Organisasi pada dasarnya tidak sekedar berkenaan dengan
standar tunggal efisiensi, tetapi juga dengan berbagai standar lainnya. Konsep utama yang
ditampilkan oleh Simon adalah rasionalitas. Manusia pada dasarnya dibatasi oleh derajat
rasionalitas tertentu yang dapat dicapainya dalam menghadapi suatu persoalan, sehingga
untuk mempertipis batas tersebut manusia bergabung dengan yang lainnya guna
mengatasi segala persoalannya secara efektif. Meski nilai utama yang hendak dijadikan
dasar bertindak manusia adalah rasionalitasnya, namun Simon mengungkapkan bahwa
dalam organisasi manusia yang rasional adalah yang menerima tujuan organisasi sebagai
nilai dasar bagi pengambilan keputusannya. Dengan demikian orang akan berusaha
mencapai tujuan organisasi dengan cara yang rasional dan menjamin perilaku manusia
untuk mengikuti langkah yang paling efisien bagi organisasi. Dengan pandangan ini
akhirnya posisi rasionalitas dipersamakan dengan efisiensi. Hal ini tampak dalam
pandangan Denhardt & Denhardt bahwa “for what Simon called ‘administrative man,’the
most rational behavior is that which moves an organization efficiently toward its objective”
(Denhardt dan Denhardt, 2003).
Kritik yang ditujukan terhadap Administrasi Publik model klasik tersebut juga dikaitkan
dengan karakteristik dari Administrasi Publik yang dianggap inter alia., red tape, lamban,
tidak sensitif terhadap kebutuhan masyarakat, penggunaan sumberdaya publik yang sia-sia
akibat hanya berfokus pada proses dan prosedur dibandingkan kepada hasil, sehingga
pada akhirnya menyebabkan munculnya pandangan negatif dari masyarakat yang
menganggap Administrasi Publik sebagai beban besar para pembayar pajak (Kurniawan,
2006).

2. New Public Management : Perspektif administrasi publik kedua, new public


management, berusaha menggunakan pendekatan sektor swasta dan pendekatan bisnis
dalam sektor publik. Selain berbasis pada teori pilihan publik, dukungan intelektual bagi
perspektif ini berasal dari public policy schools (aliran kebijakan publik) dan managerialism
movement. Aliran kebijakan publik dalam beberapa dekade sebelum ini memiliki akar yang
cukup kuat dalam ilmu ekonomi, sehingga analisis kebijakan dan para ahli yang menggeluti
evaluasi kebijakan terlatih dengan konsep market economics, costs and benefit dan rational
model of choice. Selanjutnya, aliran ini mulai mengalihkan perhatiannya pada implementasi
kebijakan, yang selanjutnya mereka sebut sebagai public management (Denhardt dan
Denhardt, 2000).
Gambaran yang lebih utuh tentang perspektif new public management ini dapat dilihat dari
pengalaman Amerika Serikat sebagaimana tertuang dalam sepuluh prinsip “reinventing
government” karya Osborne & Gaebler. Prinsip-prinsip tersebut adalah: catalytic
government: steering rather than rowing, community-owned government: empowering
rather than serving, competitive government: injecting competition into service delivery,
mission-driven government: transforming rule-driven organizations, results-oriented
government: funding outcomes not inputs, customer-driven government: meeting the needs
of the customer not the bureaucracy, entreprising government: earning rather than
spending, anticipatory government: prevention rather than cure, decentralized government:
from hierarchy to participation and team work, market-oriented government: leveraging
change through the market (Osborne dan Gaebler, 1992).
Menurut Denhardt, karena pemilik kepentingan publik yang sebenarnya adalah masyarakat
maka administrator publik seharusnya memusatkan perhatiannya pada tanggung jawab
melayani dan memberdayakan warga negara melalui pengelolaan organisasi publik dan
implementasi kebijakan publik. Perubahan orientasi tentang posisi warga negara, nilai yang
dikedepankan, dan peran pemerintah ini memunculkan perspektif baru administrasi publik
yang disebut sebagai new public service. Warga negara seharusnya ditempatkan di depan,
dan penekanan tidak seharusnya membedakan antara mengarahkan dan mengayuh tetapi
lebih pada bagaiamana membangun institusi publik yang didasarkan pada integritas dan
responsivitas (Denhardt dan Denhardt, 2000).
Osborne dan Gaebler (1992) menyatakan “isu sentral yang berkembang dalam
penyelenggaraan pemerintahan sebetulnya bukanlah pemerintah yang banyak memerintah
atau sedikit memerintah atau sekedar pemerintahan yang baik, melainkan pemerintahan
yang selain semakin dekat kepada rakyat juga benar-benar memerintah”. Selanjutnya
Wahab (1998) menambahkan “kecenderungan global menunjukkan bahwa pemberian
pelayanan publik yang kompetitif dan berkualitas kepada rakyatnya akan terus dituntut.
Lebih lanjut dinyatakan “kecenderungan global menunjukkan bahwa pemberian pelayanan
yang semakin baik pada sebagian besar rakyat merupakan salah satu tolok ukur bagi
kredibiltas dan sekaligus kepastian politik pemerintah dimanapun”. Inti dari prinsip-prinsip
tersebut sebagai berikut:
1. Catalytic Government: steering rather than rowing (Pemerintahan Katalis:
mengarahkan dari pada mengayuh/mendayung). Pemerintah harus mengambil peran
sebagai katalisator dalam memenuhi/memberikan pelayanan publik dengan melalui cara
merangsang sektor swasta, pemerintah lebih berperan sebagai pengarah.
2. Community-Owned Government: empowering rather than serving (Pemerintah Milik
Masyarakat: memberi wewenang daripada melayani). Pemerintah yang dalam pengambilan
keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat akan ikut bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan keputusan tersebut.
3. Competitive Government: injecting competition into service delivery (Pemerintah
yang kompetitif: menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan). Pemerintah
menumbuhkan semangat untuk meningkatkan
4. kualitas pelayanan kepada masyarakat dengan melalui persaingan dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
5. Mission-Driven Government: meeting the needs of the customer, not the
bureaucracy (Pemerintahan yang digerakkan oleh Misi; Mengubah organisasi yang
digerakkan oleh peraturan). Tugas-tugas yang dilaksanakan aparat pemerintah lebih
berorientasi kepada misi. Pelaksanaan program harus lebih fleksibel.
6. Result Oriented government; funding outcome, not inputs (Pemerintah Berorientasi
pada hasil: membiayai hasil bukan masukan). Pemerintah yang menekankan pada hasil
menekankan pentingnya untuk berorientasi pada hasil atau kinerja yang dicapai.
7. Customer-Driven Government: meeting the needs of the custome, not the
bureaucracy (Pemerintah Berorientasi pada Pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan
bukan kebutuhan birokrasi). Pemerintah melayani kebutuhan masyarakat atau member
pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah harus memberikan pelayanan sebaik-baiknya
baik kuantitas atau kualitas kepada masyarakat.
8. Enterprising Government: earning rather than spending (Pemerintahan Wirausaha:
Menghasilkan daripada Membelanjakan). Pemerintah harus pandai menghasilkan dana
(menggali sumber dana) bukan hanya pandai dalam menghabiskan dana.
9. Anticipatory Government: prevention rather than cure (Pemerintahan Antisipatif:
mencegah daripada mengobati). Pemerintah harus berorientasi pada masa depan.
Pemerintah tidak hanya mengatasi masalah-masalah yang akan muncul dimasa depan.
10. Decentralized Government: From hierarchy to participation and team-work
(Pemerintahan Desentralisasi: Dari sistem hirarki menuju partisipasi dan tim kerja).
Pemberian pelayanan kepada masyarakat dengan proses melalui tingkatan-tingkatan yang
banyak tidak efektif dan efisien serta menyebabkan ketidakpuasan. Sistem
desentralisasilah yang efektif dan efisien.
11. Market-Oriented Government, Leveraging Change Through the Market (Pemerintah
yang berorientasi pasar: mendongkrak perubahan melalui pasar). Pemerintah harus
berorientasi pada pasar dalam arti berusaha menggunakan mekanisme pasar daripada
mekanisme birokrasi.
Sebanyak 10 prinsip tersebut bertujuan untuk menciptakan organisasi pelayanan publik
yang smaller (kecil, efisien), faster (kinerjanya cepat, efektif) cheaper (operasionalnya
murah) dan kompetitif. Dengan demikian, pelayanan publik oleh birokrasi diharapkan bisa
menjadi lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan old public administration.

Dalam perspektif ini memang lebih mengedepankan efisiensi, rasionalitas, produktifitas dan
bisnis sehingga kadangkala dapat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan
kepentingan publik. Jika pemerintah dijalankan laiknya sebuah korporasi dan pemerintah
berperan mengarahkan tujuan pelayanan publik, sehingga tidak jelas lagi siapa yang
merupakan pemilik dari kepentingan publik dan pelayanan publik. Berpijak pada hal ini,
Denhardt dan Denhardt memberikan kritiknya terhadap perspektif new public management
sebagaimana yang tertuang dalam kalimat “in our rush to steer, perhaps we are forgetting
who owns the boat (Denhardt dan Denhardt, 2000:549)”
Akibat dari adopsi pendekatan beorientasi ekonomi (pasar) terhadap penyediaan pelayanan
publik adalah terjadinya transformasi standar etika pelayanan publik seperti akuntabilitas,
keterwakilan, netralistas, daya tanggap, integritas, kesetaraan, pertanggungjawaban,
ketidakpihakan, serta kebaikan dan keadilan yang digantikan dengan nilai-nilai pasar
seperti efisiensi, produktivitas, biaya yang efektif, kompetisi dan pencarian keuntungan.
3. New Public Service : Denhardt dan Denhardt (2000) menegaskan bahwa ”public
servants do not deliver customer service; they deliver democracy”. Dengan demikian maka
sebuah pemerintahan atau institusi pemerintahan tidak seharusnya dijalankan seperti
sebuah perusahaan, tetapi memberi pelayanan kepada masyarakat secara demokratis:
adil, merata, tidak diskriminatif, jujur, dan akuntabel.
Menurut mereka hal ini karena: 1) nilai-nilai demokrasi, kewarganegaraan, dan kepentingan
publik adalah merupakan landasan utama/pokok dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan; dan 2) nilai-nilai tersebut diugemi dan memberi energi kepada pegawai
pemerintah/pelayan publik dalam memberikan pelayanannya kepada publik secara lebih
adil, merata, jujur dan bertanggungjawab (Islamy, 2007). Oleh karenanya, pegawai
pemerintah harus senantiasa melakukan rekoneksi dan membangun jaring-hubungan yang
erat dan dinamis dengan masyarakat atau warganya.
Menurut Denhardt & Denhardt, karena pemilik kepentingan publik yang sebenarnya adalah
masyarakat maka administrator publik seharusnya memusatkan perhatiannya pada
tanggung jawab melayani dan memberdayakan warga negara melalui pengelolaan
organisasi publik dan implementasi kebijakan
publik. Perubahan orientasi tentang posisi warga negara, nilai yang dikedepankan, dan
peran pemerintah ini memunculkan perspektif baru administrasi publik yang disebut
sebagai new public service. Warga negara seharusnya ditempatkan di depan, dan
penekanan tidak seharusnya membedakan antara mengarahkan dan mengayuh tetapi lebih
pada bagaimana membangun institusi publik yang didasarkan pada integritas dan
responsivitas. Perspektif new public service mengawali pandangannya dari pengakuan atas
warga negara dan posisinya yang sangat penting bagi kepemerintahan demokratis. Jati diri
warga negara tidak hanya dipandang sebagai semata persoalan kepentingan pribadi (self
interest) namun juga melibatkan nilai, kepercayaan, dan kepedulian terhadap orang lain.
Warga negara diposisikan sebagai pemilik pemerintahan (owners of government) dan
mampu bertindak secara bersama-sama mencapai sesuatu yang lebih baik. Kepentingan
publik tidak lagi dipandang sebagai agregasi kepentingan pribadi melainkan sebagai hasil
dialog dan keterlibatan publik dalam mencari nilai bersama dan kepentingan bersama.

Secara ringkas, perspektif new public service dapat dilihat dari beberapa prinsip yang
dilontarkan oleh Denhardt & Denhardt. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1. Pertama adalah serve citizens, not customers. Karena kepentingan publik
merupakan hasil dialog tentang nilai-nilai bersama daripada agregasi kepentingan pribadi
perorangan maka abdi masyarakat tidak semata-mata merespon tuntutan pelanggan tetapi
justru memusatkan perhatian untuk membangun kepercayaan dan kolaborasi dengan dan
diantara warga negara.
2. Kedua, seek the public interest. Administartor publik harus memberikan sumbangsih
untuk membangun kepentingan publik bersama. Tujuannya tidak untuk menemukan solusi
cepat yang diarahkan oleh pilihan-pilihan perorangan tetapi menciptakan kepentingan
bersama dan tanggung jawab bersama.
3. Ketiga, value citizenship over entrepreneurship. Kepentingan publik lebih baik
dijalankan oleh abdi masyarakat dan warga negara yang memiliki komitmen untuk
memberikan sumbangsih bagi masyarakat daripada dijalankan oleh para manajer
wirausaha yang bertindak seolah-olah uang masyarakat adalah milik mereka sendiri.
4. Keempat, think strategically, act democratically. Kebijakan dan program untuk
memenuhi kebutuhan publik dapat dicapai secara efektif dan bertanggungjawab melalui
upaya kolektif dan proses kolaboratif.
5. Kelima, recognize that accountability is not simple. Dalam perspektif ini abdi
masyarakat seharusnya lebih peduli daripada mekanisme pasar. Selain itu, abdi
masyarakat juga harus mematuhi peraturan perundang-undangan, nilai-nilai
kemasyarakatan, norma politik, standar profesional, dan kepentingan warga negara.
6. Keenam, serve rather than steer. Penting sekali bagi abdi masyarakat untuk
menggunakan kepemimpinan yang berbasis pada nilai bersama dalam membantu warga
negara mengemukakan kepentingan bersama dan memenuhinya daripada mengontrol atau
mengarahkan masyarakat ke arah nilai baru.
7. Ketujuh, value people, not just productivity. Organisasi publik beserta jaringannya
lebih memungkinkan mencapai keberhasilan dalam jangka panjang jika dijalankan melalui
proses kolaborasi dan kepemimpinan bersama yang didasarkan pada penghargaan kepada
semua orang.
Menurut Denhardt & Denhardt (2000) , karena pemilik kepentingan publik yang sebenarnya
adalah masyarakat maka administrator publik seharusnya memusatkan perhatiannya pada
tanggung jawab melayani dan memberdayakan warga negara melalui pengelolaan
organisasi publik dan implementasi kebijakan publik. Warga negara seharusnya
ditempatkan di depan, dan penekanan lebih didasarkan pada integritas dan responsivitas.
Wamsley & Wolf (1996) dikutip Denhardt & Denhardt (2000) melakukan kritik keras atas
reinventing government dengan menyunting buku berjudul “refounding democratic public
administration.” yang melukiskan betapa pentingnya melibatkan masyarakat dalam
administrasi publik dalam posisi sebagai warga negara bukan sekedar sebagai pelanggan.
Buku tersebut menekankan betapa pentingnya democratic government yang
mengedepankan partisipasi masyarakat dalam administrasi publik. Yang dimaksud dengan
active administration adalah tidak sekedar meningkatkan kekuasaan administrasi tetapi
memperkuat kerja kolaboratif dengan warga negara. Pada intinya, perspektif baru ini
diharapkan dapat meningkatkan pencapaian: akuntabilitas, keterwakilan, netralistas, daya
tanggap, integritas, kesetaraan, pertanggungjawaban, ketidakpihakan, serta kebaikan dan
keadilan.

Meskipun pendekatan New Public Service mempunyai banyak kelebihan, tetapi pendekatan
ini juga tidak lepas dari beberapa kelemahan. Pendekatan New Public Service menuntut
partisipasi aktif masyarakat yang tidak hanya sebagai obyek atau tujuan layanan tetapi juga
sebagai warga negara yang terlibat aktif dalam proses untuk mencapai tujuan bersama.
Salah satu kelemahan pendekatan New Public Service adalah jika pendekatan ini jika tidak
didukung pengetahuan dan distribusi informasi yang baik oleh setiap elemen masyarakat
maka proses akan kembali pada pendekatan Old Public Administration atau New Public
Management, proses menjadi mahal dan lambat karena banyak pihak terlibat dan proses
yang harus dilalui.
Untuk lebih jelasnya ketiga paradigma di atas dapat dilihat pada tabel 2,1 berikut ini :
 Tabel 2.1. Tiga Perspektif dalam Administrasi Publik
PARADIGMA ADMINISTRASI NEGARA

I. Definisi Paradigma
Paradigma adalah corak berfikir menjadi konsep yang menarik perhatian ilmuwan sejak Thomas
Kuhn menulis buku ”The Structure of Scientific Revolution”. Sungguh pun latar belakang Kuhn
adalah bidang ilmu alam, namun pandangan paradigmatik Kuhn banyak mempengaruhi
pengamat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan sosial, termasuk ilmu administrasi negara.
Untuk memahami perkembangan paradigma dalam ilmu administrasi negara, perlu diketahui 
terlebih dahulu apa makna dari paradigma. Secara etimologis, kata “paradigm” berasal dari
bahasa Yunani “paradeigma” yang berarti pola ( pattern) atau contoh (example). Oxford English
Dictionary merumuskan paradigma sebagai “ a pattern or model, an exemplar”.
Secara umum paradigma diartikan sebagai :
•    Cara kita memandang sesuatu (point of view), sudut pandang, atau keyakinan (belief).
•    Cara kita memahami dan menafsirkan suatu realitas.
•    Paradigma seperti ‘peta’ atau ‘kompas’ di kepala. Kita melihat atau memahami segala
sesuatu sebagaimana yang seharusnya .
American Heritage Dictionary merumuskan paradigma sebagai :
•    Serangkaian asumsi, konsep, nilai-nilai, dan praktek-praktek yang diyakini oleh suatu
komunitas dan menjadi cara  pandang suatu realitas ( A set of assumptions, concepts, and
values, and practices that constitutes a way of viewing reality for the community that shares
them)
Thomas Kuhn :
•    Paradigma adalah suatu cara pandang , nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar, atau cara
memecahkan sesuatu masalah , yang dianut oleh suatu masyarakat ilmiah pada masa tertentu.
Menurut Thomas Kuhn , krisis akan timbul apabila suatu permasalahan yang dihadapi
masyarakat tidak dapat dijelaskan atau tidak dapat dipecahkan secara memuaskan dengan
menggunakan pendekatan suatu paradigma. Krisis ini akan mendorong suatu “scientific
revolution” di kalangan masyarakat ilmuwan untuk melakukan penilaian atau pemikiran kembali
paradigma yang ada dan mencoba menemukan paradigma baru yang dapat memberikan
penjelasan dan alternatif pemecahan yang dihadapi secara lebih memuaskan.

B. Perkembangan Paradigma Administrasi Negara


Dalam hubungannya dengan perkembangan ilmu administrasi publik, krisis akademis terjadi
beberapa kali sebagaimana terlihat dari pergantian paradigma yang lama dengan yang baru.
Nicholas Henry melihat perubahan paradigma ditinjau dari pergeseran locus dan focus suatu
disiplin ilm. Fokus mempersoalkan “what of the field” atau metode dasar yang digunakan atau
cara-cara ilmiah apa yang dapay digunakan untuk memecahkan suatu persoalan. Sedang locus
mencakup “where of the field” atau medan atau tempat dimana metode tersebut digunakan
atau diterapkan.
Berdasarkan locus dan focus suatu disiplin ilmu, Henry membagi paradigma administrasi negara
menjadi lima, yaitu :
-    Paradigma Dikotomi Politik dan Administrasi (1900-1926)
-    Paradigma Prinsip-Prinsip Administrasi (1927-1937)
-    Paradigma Administrasi Negara sebagai Ilmu Politik (1950-1970)
-    Paradigma Administrasi Negara sebagai Ilmu Administrasi (1956-1970)
-    Paradigma Administrasi Negara sebagai Administrasi Negara (1970an)
Pada tahun 1970an, George Frederickson memunculkan model Administrasi Negara Baru (New
Public Administration). Paradigma ini merupakan kritik terhadap paradigma administrasi negara
lama yang cenderung mengutamakan pentingnya nilai ekonomi seperti efisiensi dan efektivitas
sebagai tolok ukur kinerja administrasi negara. Menurut paradigma Administrasi Negara Baru,
administrasi negara selain bertujuan meraih efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan juga
mempunyai komitmen untuk mewujudkan manajemen publik yang responsif dan berkeadilan
(social equity).
Pada tahun 1980 – 1990an muncul paradigma baru dengan berbagai macam sebutan seperti
’managerialism’, ’new public management’, ’reinventing government’, dan sebagainya. 
Paradigma administrasi negara yang lahir pada era tahun 1990an pada hakekatnya berisi
kritikan terhadap administrasi model lama yang sentralistis dan birokratis.  Ide dasar dari
paradigma semacam NPM dan Reinventing Government adalah bagaimana mengadopsi model
manajemen di dunia bisnis untuk mereformasi birokrasi agar siap menghadapi tantangan
global.
Pada tahun 2003, muncul paradigma New Public Service (NPS) yang dikemukakan oleh
Dernhart dan Derhart. Paradigma ini mengkritisi pokok-pokok pemikiran paradigma administrasi
negara pro-pasar. Ide pokok paradigma  NPS adalah mewujudkan administrasi negara yang
menghargai citizenship, demokrasi dan hak asasi manusia.
Untuk memberikan gambaran tentang perkembangan paradigma dalam teori administrasi
negara, buku ini membatasi pada empat paradigma yaitu Paradigma Administrasi Negara
Tradisional atau disebut juga sebagai paradigma Administrasi Negara Lama (Old Public
Administration), Paradigma New Public Administration, Paradigma New Public Management, dan
Paradigma Governance /New Public Service.

Paradigma administrasi publik


Paradigma I :
Dikotomi Politik-Administrasi (1900-1926)
Tokoh : Frank J Goodnow dan Leonard D. White
Frank J Goodnow dan Leonard D White dalam bukunya Politics and Administration menyatakan
dua fungsi pokok dari pemerintah yang berbeda:
1. Fungsi politik yang melahirkan kebijaksanaan atau keinginan negara,
2. Fungsi Administrasi yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan negara.
Penekanan pada Paradigma ini terletak pada Locusnya, menurut Goodnow Locusnya berpusat
pada (government Bureucracy ) birokrasi Pemerintahan. Sedangkan Focusnya yaitu metode
atau kakian apa yang akan dibahas dalam Administrasi Publik kurang dibahas secara jelas.
Administrasi negara memperoleh legitimasi akademiknya lewat lahirnya Introduction To the
study of Public Administration oleh Leoanrd D White yang menyatakan dengan tegas bahwa
politik seharusnya tidak ikut mencampuri administrasi, dan administrasi negara harus bersifat
studi ilimiah yang bersifat bebas nilai.
Paradigma II:
Prinsip-Prinsip Administrasi Negara (1927-1937)
Tokoh : Gulick dan Urwick, F.W. Taylor, Henry Fayol, Mary Parker Follet, dan Willooghby
Di awali dengan terbitnya Principles of Public Adminisration karya W F Willoughby. Pada fase ini
Administrasi diwarnai oleh berbagai macam kontribusi dari bidang-bidang lain seperti industri
dan manajemen, berbagai bidang inilah yang membawa dampak yang besar pada timbulnya
prinsip-prinsip administrasi,
Prinsip-prinsip tersebut yang menjadi Focus kajian Administrasi Publik sedangkan Locus dari
paradigma ini kurang ditekankan karena esensi prinsip-prinsip tersebut, dimana dalam
kenyataan bahwa bahwa prinsip itu bisa terjadi pada semua tatanan, lingkungan, misi atau
kerangka institusi, ataupun kebudayaan, dengan demikian administrasi bisa hidup dimanapun
asalkan Prinsip-prinsip tersebut dipatuhi.
• Pada paradigma kedua ini pengaruh manajemen Kalsik sangat besar Tokoh-tokohnya adalah :
• F.W Taylor yang menuangkan 4 prinsip dasar yaitu ; perlu mengembangkan ilmu manajemen
sejati untuyk memperoleh kinerka terbaik ; perlu dilakukukan proses seleksi pegawai ilmiah
agar mereka bisa tanggung jawan dengan kerjanya ; perlua ada pendidikan dan
pengembangan pada pegawai secara ilmiah ; perlu kerjasama yang intim antara pegawai dan
atasan à ( prinsip management ilmiah Taylor )
• Kemudian disempurnakan oleh Fayol ( POCCC ) dan Gullick dan Urwick ( Posdcorb )
Paradigma III
Administrasi Negara Sebagai Ilmu Politik (1950-1970)
Tokoh : Nicholas Henry
• Menurut HERBERT SIMON ( The Poverb Administration ) à Prinsip Managemen ilmiah
POSDCORB tidak menjelaskan makna “ Public” dari “public Administration “ menurut Simon
bahwa POSDCORB tidak menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan oleh administrator publik
terutama dalam decision making. Kritik Simon ini kemudian menghidupkan kembali perdebatan
Dikotomi administrasi dan Politik
• Kemudian muncullah pendapat Morstein-Mark ( element Of Public Administration yang
kemudian kembali mempertanyakan pemisahan politik san ekonomi sebagai suatu hal yang
tidak realistik dan tidak mungkin
• Kesimpulannya Secara singkat dapat dipahami bahwa fase Paradigma ini menerapkan suatu
usaha untuk menetapkan kembali hubungan konseptual antara administrasi saat itu, karena hal
itulah administrasi pulang kembali menemui induk ilmunya yaitu Ilmu Politik, akibatnya
terjadilah perubahan dan pembaruan Locusnya yakni birokrasi pemerintahan akan tetapi
konsekuensi dari usaha ini adalah keharusan untuk merumuskan bidang ini dalam hubungannya
dengan focus keahliannya yang esensial. Terdapat perkembangan baru yang dicatat pada fase
ini yaitu timbulnya studi perbandingan dan pembangunan administrasi sebagi bagian dari
Administrasi negara.
Paradigma IV:
Administrasi Negara Sebagai Ilmu Administrasi (1956-1970)
Tokoh : Henderson, Thompson, Caldwen
• Istilah Administrative Science digunakan dalam paradigma IV ini untuk menunjukkan isi dan
focus pembicaraan, sebagai suatu paradigma pada fase ini Ilmu Administrasi hanya
menekankan pada focus tetapi tidak pada locusnya,
• Ia menawarkan teknik-teknik yang memerlukan keahlian dan spesialisasi, pengembangan
paradigma ke-4 ini bukannya tanpa hambatan, banyak persoalan yang harus dijawab seperti
misal adalah apakah jika fokus tunggal telah dipilih oleh administrasi negara yakni ilmu
administrasi, apakah ia berhak bicara tentang public (negara) dalam administrasi tersebut dan
banyak persoalan lainnya.
Paradigma V:
Administrasi Negara sebagai Administrasi Negara (1970)
Pemikiran Herbert Simon tentang perlunya dua aspek yang perlu dikembangkan dalam disiplain
AN:
1. Ahli Administrasi Negara meminati pengembangan suatu ilmu Administrasi Negara yang
murni
2. Satu kelompok yang lebih besar meminati persoalan-persolan mengenai kebijaksanaan
publik.
Lebih dari itu administrasi negara lebih fokus ranah-ranah ilmu kebijaksanaan (Policy Science)
dan cara pengukuran dari hasil- hasil kebijaksanan yang telah dibuat, aspek perhatian ini dapat
dianggap sebagi mata rantai yang menghubungkan antara fokus administrasi negara dengan
locusnya. Fokusnya adalah teori-teori organisasi, public policy dan tekhnik administrasi ataupun
manajemen yang sudah maju, sedangkan locusnya ialah pada birokrasi pemerintahan dan
persoalan-persoalan masyarakat (Public Affairs).
Paradigma VI
Model Birokrasi Klasik.
Tokoh : Taylor, Wilson, Weber,Gullick Urwick
Birokrasi adalah suatu usaha dalam mengorganisir berbagai pekerjaan agar terselenggara
dengan teratur. Pekerjaan ini bukan hanya melibatkan banyak personil (birokrat), tetapi juga
terdiri dari berbagai peraturan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Birokrasi
diperlukan agar penyelenggaraan tugas pemerintahan tersebut terlaksana secara efisien, efektif
dan ekonomis.
Dalam memahami lebih jelas pengertian birokrasi ini, maka dikemukakan ciri-ciri idealnya dari
Max Weber (Frederickson, 1984) yang dikenal sebagai salah satu tokoh dalam aliran birokrasi
klasik (atau aliran tradisional). Ciri-ciri ini antara lain; suatu birokrasi terdiri dari berbagai
kegiatan, pelaksanaan kegiatannya didasarkan pada peraturan yang konsisten, jabatan dalam
organisasi tersusun dalam bentuk hierarki, pelaksanaan tugas dengan impersonality, sistem
rekruitmen birokrat berdasar pada sistem kecakapan (karier) dan menganut sistem spesialisasi,
dan penyelenggaraan pemerintahan dilakukan secara terpusat (sentralisasi).
Meskipun birokrasi klasik ini banyak dikritik, namun sampai sekarang, tetap ada beberapa
karakteristik dari model ini yang bertahan dalam birokrasi pemerintahan. Kelemahan-
kelemahannya antara lain, seperti terlalu kakunya peraturan yang menyertai model ini,
menyebabkan banyak ahli yang melakukan penelitian untuk penyempurnaannya.
Paradigma VII
Model Neo Birokrasi
Tokoh : Simon,Cyert, March,Gore
Model pendekatan neo-birokrasi merupakan salah satu model dalam erabehavioral. Nilai yang
dimaksimumkan adalah efisiensi, ekonomi, dan tingkat rasionalisme yang tinggi dari
penyelenggaraan pemerintahan. Unit analisisnya lebih banyak tertuju pada fungsi “pengambilan
keputusan” (decision making) dalam organisasi pemerintahan. Dalam proses pengambilan
keputusan ini, pola pemikirannya bersifat “rasional”; yakni keputusan-keputusan yang dibuat
sedapat mungkin rasional untuk dapat mencapai tujuan penyelenggaraan kegiatan
pemerintahan; model pengambilan keputusan didasarkan pada prinsip manajemen modern;
pendekatan dalam mengambil keputusan didasarkan pada analisis sistem; dan di dalam
praktiknya banyak menggunakan penelitian operasi (operation research).
Kelebihan model ini, telah banyak dibuktikan melalui “unit analisisnya” yang lebih didasarkan
pada teknik-teknik ilmu manajemen yang telah mapan sebagai kelengkapan pemecahan
masalah dalam banyak organisasi besar, termasuk organisasi militer dan pemerintahan. Teknik
manajemen ilmiah telah banyak digunakan dalam kegiatan penganggaran, penjadwalan proyek,
manajemen persediaan, program perencanaan karyawan, serta pengembangan produk untuk
mencapai produktivitas yang tinggi. Dibalik kelebihannya, juga memiliki berbagai kelemahan,
antara lain tidak semua persoalan dalam pemerintahan dapat dikuantitatifkan dalam
menerapkan prinsip manajemen ilmiah seperti yang diharapkan dalam penerapan model ini.
Paradigma VIII
Model Kelembagaan
Tokoh : Lindbloom, J. Thompson, Mosher, Blau, Riggs
Model kelembagaan merupakan penjelmaan dari era behavioralisme. Ciri-cirinya, antara lain
bersifat empiris. Di samping memperhatikan aspek internal, juga pada aspek ekstemal, seperti
aspek budaya turut menjadi perhatian utama dalam kajian organisasi pemerintahan (sistem
terbuka).
Para penganut model ini lebih tertarik mempelajari organisasi pemerintahan apa adanya
(netral), dibanding mengajukan resep perbaikan (intervensi) yang harus dilakukan dalam
peningkatan kinerja organisasi pemerintahan. Namun demikian, hasil karya dari tokoh penganut
aliran sangat berjasa dalam pengembangan teori organisasi, karena hasil-hasil karya yang ada
sebelumnya cenderung menganalisis organisasi dengan “sistem tertutup” tanpa
memperhitungkan aspek eksternal organisasi, yang secara realita sangat menentukan terhadap
kinerja organisasi pemerintahan.
Paradigma IX
Model Hubungan Kemanusiaan
Tokoh : Mcgregor, Argyris
Model hubungan kemanusiaan mengkritik model-model birokrasi. pemerintahan yang ada
sebelumnya, yakni model birokrasi klasik dan model neo-birokrasi yang terlalu memformalkan
seluruh kegiatan dalam organisasi pemerintahan. Model hubungan kemanusiaan melihat secara
empiris, bahwa ternyata aturan yang terlalu kaku, dapat menimbulkan kebosanan orang
(birokrat) bekerja dalam organisasi.
Ciri-ciri model ini, antara lain melihat perlunya diperhatikan; hubungan antarpribadi, dinamika
kelompok, komunikasi, sanksi yang tidak perlu merata, pelatihan, motivasi kerja dalam
penyelenggaraan birokrasi pemerintahan. Sejalan dengan ciri-ciri tersebut, maka nilai yang
dimaksimalkan adalah kepuasan kerja, perkembangan pribadi, harga diri individu dalam
organisasi pemerintahan. Model ini tetap menganjurkan perlunya pengawasan, namun tidak
perlu dilakukan secara ketat dan merata kepada semua anggota organisasi. Hanya mereka yang
memerlukan pengawasan adalah yang perlu diberikan. Hal yang paling penting dilakukan
adalah memperbaiki sistem organisasi agar tercipta suasana kerja yang memungkinkan anggota
organisasi dapat berhubungan secara baik dengan rekan kerjanya agar tercipta suasana yang
dapat meningkatkan inovasi aparatur pemerintahan.

Paradigma X
Model Hubungan Publik
Tokoh : Ostrom, Buchanan, Olson, Oppenheimer
Model birokrasi pilihan publik merupakan pendekatan yang paling mutakhir dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Pendekatan ini masih banyak bersifat teoretis dibanding bukti
empiris di lapangan. Resep-resep yang ada dalam penyelenggaraan pemerintahan kebanyakan
bersifat ideal, namun bukti penerapannya, masih tergolong langka. Hal ini antara lain
disebabkan karena pendekatan ini memang relatif masih muda usianya.
Ciri-cirinya, antara lain; lebih bersifat anti birokratis, berdasar pada distribusi pelayanan,
desentralisasi, dan tawar-menawar yang berorientasi kepada klien. Ada berbagai prasyarat yang
seharusnya terpenuhi dalam penerapan model ini, antara lain: (1) sistem politik harus dapat
menjamin partisipasi dalam mengemukakan pendapat secara objektif dan bertanggung jawab;
(2) sistem administrasi pemerintahan yang selalu dinamis, mampu menyesuaikan diri dengan
fungsi yang terus berubah; (3) birokrat harus mampu mengoreksi diri sendiri, dan; (4) perlu
ada langkah kongkrit yang dapat dilakukan dalam mengefektifkan pemberdayaan masyarakat,
antara lain adalah meningkatkan kesadaran kritis dalam hal politik pada berbagai lapisan
masyarakat. Langkah ini terlaksana apabila terjadi komunikasi yang “dialogis” antara perumus
kebijaksanaan dan masyarakat pengguna pelayanan.
Paradigma XI
Administrasi Negara Baru (New Public Administration
Tokoh : J. V. Denhard
• Melayani warga masyarakat bukan pelanggan;
• Mengutamakan kepentingan Publik
• Lebih menghargai warga negara bukan kewirausahaan
• Berfikir strategis dan bertindak demokratis
• Menyadari akuntabilitas bukan suatu yang mudah
• Melayani dari pada mengendalikan
• Menghargai orang buka produktivitas semata
Konsep mutakhir administrasi negara adalah good governance yang memberikan lebih banyak
hal yang harus dihadirkan pemerintahan dalam pelayanan kepada masyarakat. Good
governance lahir di tengah-tengah masyarakat yang kompleks, kritis, dan turunnya sumber
daya yang dimiliki pemerintah jika dibandingkan permasalahan yang dihadapi, sehingga konsep
ini menjadi sangat relevan untuk diadopsi dalam penyusunan kabinet jika memang benar
presiden yang terpilih nantinya memiliki political will yang besar terhadap perbaikan bangsa.
JIka sungguh-sungguh ingin melaksanakan good governance, dari penyusunan kabinet itu
sudah tercermin.
Konsep Administrasi negara baru yang lahir pada tahun 1980-an, mendorong pemerintah untuk
tidak saja adil tetapi juga berpihak pada yang lemah

Paradigma Administrasi Negara Lama


Paradigma Administrasi Negara Lama dikenal juga dengan sebutan Administrasi Negara
Tradisional atau Klasik. Paradigma ini merupakan paradigma yang berkembang pada awal
kelahiran ilmu administrasi negara. Tokoh paradigma ini adalah antara lain adalah pelopor
berdirinya ilmu administrasi negara  Woodrow Wilson dengan karyanya  “The Study of
Administration”(1887) serta F.W. Taylor dengan bukunya “Principles of Scientific Management”
Dalam bukunya ”The Study of Administration”, Wilson berpendapat bahwa problem utama yang
dihadapi pemerintah eksekutif adalah rendahnya kapasitas administrasi. Untuk
mengembangkan birokrasi pemerintah yang efektif dan efisien, diperlukan pembaharuan
administrasi pemerintahan dengan jalan meningkatkan profesionalisme manajemen administrasi
negara. Untuk itu, diperlukan ilmu yang diarahkan untuk melakukan reformasi birokrasi dengan
mencetak aparatur publik yang profesional dan non-partisan. Karena itu, tema dominan dari
pemikiran Wilson adalah aparat atau birokrasi yang netral dari politik. Administrasi negara harus
didasarkan pada prinsip-prinsip manajemen ilmiah dan terpisah dari hiruk pikuk kepentingan
politik. Inilah yang dikenal sebagai konsep dikotomi politik dan administrasi. Administrasi
negara merupakan pelaksanaan hukum publik secara detail dan terperinci, karena itu menjadi
bidangnya birokrat tehnis. Sedang politik menjadi bidangnya politisi.
Ide-ide yang berkembang pada tahun 1900-an memperkuat paradigma dikotomi politik dan
administrasi, seperti karya Frank Goodnow ”Politic and Administration”. Karya fenomenal
lainnya adalah tulisan Frederick W.Taylor ”Principles of Scientific Management (1911). Taylor
adalah pakar manajemen ilmiah yang mengembangkan pendekatan baru dalam manajemen
pabrik di sector swasta – Time and Motion Study. Metode ini menyebutkan ada cara terbaik
untuk melaksanakan tugas tertentu. Manajemen ilmiah dimaksudkan untuk meningkatkan
output dengan menemukan metode produksi yang paling cepat, efisien, dan paling tidak
melelahkan.Jika ada cara terbaik untuk meningkatkan produktivitas di sector industri, tentunya
ada juga cara sama untuk organisasi public.Wilson berpendapat pada hakekatnya bidang
administrasi adalah bidang bisnis, sehingga metode yang berhasil di dunia bisnis dapat juga
diterapkan untuk manajemen sektor publik.
Teori penting lain yang berkembang adalah analisis  birokrasi dari Max  Weber. Weber
mengemukakan ciri-ciri struktur birokrasi yang meliputi hirarki kewenangan, seleksi dan
promosi berdasarkan merit system, aturan dan regulasi yang merumuskan prosedur dan
tanggungjawab kantor, dan sebagainya. Karakteristik ini disebut sebagai bentuk kewenangan
yang legal rasional yang menjadi dasar  birokrasi modern.
Ide atau prinsip dasar dari Administrasi Negara Lama (Dernhart dan Dernhart, 2003) adalah :
-    Fokus pemerintah pada pelayanan publik secara langsung melalui badan-badan pemerintah.
-    Kebijakan publik dan administrasi menyangkut perumusan dan implementasi kebijakan
dengan penentuan tujuan yang dirumuskan secara politis dan tunggal.
-    Administrasi publik mempunyai peranan yang terbatas dalam pembuatan kebijakan dan
kepemerintahan, administrasi publik lebih banyak dibebani dengan fungsi implementasi
kebijakan publik
-    Pemberian pelayanan publik harus dilaksanakan oleh administrator yang bertanggungjawab
kepada ”elected official” (pejabat/birokrat politik) dan memiliki diskresi yang terbatas dalam
menjalankan tugasnya.
-    Administrasi negara bertanggungjawab secara demokratis kepada pejabat politik
-    Program publik dilaksanakan melalui organisasi hirarkis, dengan manajer yang menjalankan
kontrol dari puncak organisasi
-    Nilai utama organisasi publik adalah efisiensi dan rasionalitas
-    Organisasi publik beroperasi sebagai sistem tertutup, sehingga partisipasi warga negara
terbatas
-    Peranan administrator publik dirumuskan sebagai fungsi POSDCORB

Paradigma Administrasi Negara Baru


Paradigma ini berkembang tahun 1970an. Paradigma Administrasi Negara Baru (New Public
Administration) muncul dari perdebatan hangat tentang kedudukan administrasi negara sebagai
disiplin ilmu maupun profesi. Dwight Waldo menganggap administrasi negara berada dalam
posisi revolusi ( a time of revolution) sehingga mengundang para pakar ilmu administrasi
negara dalam suatu konferensi yang menghasilkan kumpulan makalah ”Toward a New Public
Administration : The Minnowbrook Perspective” (1971). Tujuan konferensi ini adalah
mengidentifikasi apa saja yang relevan dengan administrasi negara dan bagaimana disiplin
administrasi negara harus menyesuaikan dengan tantangan tahun 1970an. Salah satu artikel
dalam kumpulan makalah ini adalah karya George Frederickson berjudul ”The New Public
Administration”.
Paradigma New Public Administration pada dasarnya mengkritisi paradigma administrasi lama
atau klasik yang terlalu menekankan pada parameter ekonomi.  Menurut paradigma
Administrasi Negara Baru, kinerja administrasi publik tidak hanya dinilai dari pencapaian nilai
ekonomi ,efisiensi, dan efektivitas ,tapi juga pada nilai “social equity” (disebut sebagai pilar
ketiga setelah nilai efisiensi dan efektivitas). Implikasi dari komitmen pada ”social equity”, maka
administrator publik harus menjadi ’proactive administrator’ bukan sekedar birokrat yang 
apolitis.
Fokus dari Administrasi Negara Baru meliputi usaha untuk membuat organisasi publik mampu
mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan secara maksimal yang dilaksanakan dengan
pengembangan sistem desentralisasi dan organisasi demokratis yang responsif dan partisipatif,
serta dapat memberikan pelayanan publik secara merata. Karena administrasi negara
mempunyai komitmen untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan (social equity),
maka Frederickson menolak pandangan bahwa administrator dan teori-teori administrasi negara
harus netral dan bebas nilai.

Paradigma New Public Management


Paradigma New Public Management (NPM) muncul tahun 1980an dan menguat tahun 1990an
sampai sekarang. Prinsip dasar paradigma NPM adalah menjalankan administrasi negara
sebagaimana menggerakkan sektor bisnis (run government like a business atau market as
solution to the ills in public sector). Strategi ini perlu dijalankan agar birokrasi model lama -
yang lamban, kaku dan birokratis –  siap menjawab tantangan era globalisasi .
Model pemikiran semacam NPM juga dikemukakan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1992)
dalam konsep ”Reinventing Government”.Osbone dan Gaebler menyarankan agar meyuntikkan
semangat wirausaha ke dalam sistem administrasi negara. Birokrasi publik harus lebih
menggunakan cara ”steering” (mengarahkan) daripada ”rowing” (mengayuh). Dengan cara
”steering”, pemerintah tidak langsung bekerja memberikan pelayanan publik, melainkan
sedapat mungkin menyerahkan ke masyarakat. Peran negara lebih sebagai fasilitator atau
supervisor penyelenggaraan urusan publik. Model birokrasi yang hirarkis-formalistis menjadi
tidak lagi relevan untuk menjawab problem publik di era global.
Ide atau prinsip dasar paradigma NPM (Dernhart dan Dernhart, 2003) adalah :
-    Mencoba menggunakan pendekatan bisnis di sektor publik
-    Penggunaan terminologi dan mekanisme pasar , dimana hubungan antara organisasi publik
dan customer dipahami sebagaimana transaksi yang terjadi di pasar.
-    Administrator publik ditantang untuk dapat menemukan atau mengembangkan cara baru
yang inovatif untuk mencapai hasil atau memprivatisasi fungsi-fungsi yang sebelumnya
dijalankan pemerintah
-    ”steer not row” artinya birokrat/PNS tidak mesti menjalankan sendiri tugas pelayanan
publik, apabila dimungkinkan fungsi itu dapat dilimpahkan ke pihak lain melalui sistem kontrak
atau swastanisasi.
-    NPM menekankan akuntabilitas pada customer dan kinerja yang tinggi, restrukturisasi
birokrasi, perumusan kembali misi organisasi, perampingan prosedur, dan desentralisasi dalam
pengambilan keputusan

Paradigma New Public Service dan Governance


Paradigma New Public Service (NPS) merupakan konsep yang dimunculkan melalui tulisan Janet
V.Dernhart dan Robert B.Dernhart berjudul “The New Public Service : Serving, not Steering” 
terbit tahun 2003. Paradigma NPS dimaksudkan untuk meng”counter” paradigma administrasi
yang menjadi arus utama (mainstream) saat ini yakni paradigma New Public Management yang
berprinsip “run government like a businesss” atau “market as solution to the ills in public
sector”.
Menurut paradigma NPS , menjalankan administrasi pemerintahan tidaklah sama dengan
organisasi bisnis. Administrasi negara harus digerakkan sebagaimana menggerakkan
pemerintahan yang demokratis. Misi organisasi publik tidak sekedar memuaskan pengguna jasa
(customer) tapi juga menyediakan pelayanan barang dan jasa sebagai pemenuhan hak dan
kewajiban publik.
 Paradigma NPS memperlakukan publik pengguna layanan publik sebagai warga negara
(citizen) bukan sebagai pelanggan (customer). Administrasi negara tidak sekedar bagaimana
memuaskan pelanggan tapi juga bagaimana memberikan hak warga negara dalam
mendapatkan pelayanan publik. Cara pandang paradigma NPS ini ,menurut Dernhart (2008),
diilhami oleh (1) teori politik demokrasi  terutama yang berkaitan dengan relasi warga negara
(citizens) dengan pemerintah, dan (2) pendekatan humanistik dalam teori organisasi dan
manajemen.
Paradigma NPS memandang penting keterlibatan banyak aktor dalam penyelenggaraan  urusan
publik . Dalam administrasi publik apa yang dimaksud dengan kepentingan publik dan
bagaimana kepentingan publik diwujudkan tidak hanya tergantung pada lembaga negara.
Kepentingan publik harus dirumuskan dan diimplementasikan oleh semua aktor baik negara,
bisnis, maupun masyarakat sipil.  Pandangan semacam ini yang menjadikan paradigma NPS
disebut juga sebagai paradigma Governance. Teori Governance berpandangan bahwa negara
atau pemerintah di era global tidak lagi diyakini sebagai satu-satunya institusi atau aktor yang
mampu secara efisien, ekonomis dan adil menyediakan berbagai bentuk pelayanan publik
sehingga paradigma Governance memandang penting kemitraan (partnership) dan jaringan
(networking) antar banyak stakeholders dalam penyelenggaraan urusan publik. 

Sumber :
Tri Kadarwati. 2001. Administrasi Negara Perbandingan. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.

Yeremias T. Keban. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep, Teori dan Isu.
Penerbitan Gaya Media. Yogyakarta

Owen E.Hughes. Public Management and Administration: An Introduction. St. Martin’s


Press,Inc. New York.1994

Janet V. Dernhart dan Robert B. Dernhart. 2003. The New Public Service : Serving, not
Steering. M.E Sharpe, New York.

Robert B. Dernhart. 2008. Theories of Public Organization. Thomson & Wadsworth. USA.Fifth
Edition

Paradigma I :
Dikotomi Politik-Administrasi (1900-1926)
Tokoh : Frank J Goodnow dan Leonard D. White
Frank J Goodnow dan Leonard D White dalam bukunya Politics and Administration menyatakan
dua fungsi pokok dari pemerintah yang berbeda:
1. Fungsi politik yang melahirkan kebijaksanaan atau keinginan negara,
2. Fungsi Administrasi yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan negara.
Penekanan pada Paradigma ini terletak pada Locusnya, menurut Goodnow Locusnya berpusat
pada (government Bureucracy ) birokrasi Pemerintahan. Sedangkan Focusnya yaitu metode
atau kakian apa yang akan dibahas dalam Administrasi Publik kurang dibahas secara jelas.
Administrasi negara memperoleh legitimasi akademiknya lewat lahirnya Introduction To the
study of Public Administration oleh Leoanrd D White yang menyatakan dengan tegas bahwa
politik seharusnya tidak ikut mencampuri administrasi, dan administrasi negara harus bersifat
studi ilimiah yang bersifat bebas nilai.
Paradigma II:
Prinsip-Prinsip Administrasi Negara (1927-1937)
Tokoh : Gulick dan Urwick, F.W. Taylor, Henry Fayol, Mary Parker Follet, dan Willooghby
Di awali dengan terbitnya Principles of Public Adminisration karya W F Willoughby. Pada fase ini
Administrasi diwarnai oleh berbagai macam kontribusi dari bidang-bidang lain seperti industri
dan manajemen, berbagai bidang inilah yang membawa dampak yang besar pada timbulnya
prinsip-prinsip administrasi,
Prinsip-prinsip tersebut yang menjadi Focus kajian Administrasi Publik sedangkan Locus dari
paradigma ini kurang ditekankan karena esensi prinsip-prinsip tersebut, dimana dalam
kenyataan bahwa bahwa prinsip itu bisa terjadi pada semua tatanan, lingkungan, misi atau
kerangka institusi, ataupun kebudayaan, dengan demikian administrasi bisa hidup dimanapun
asalkan Prinsip-prinsip tersebut dipatuhi.
• Pada paradigma kedua ini pengaruh manajemen Kalsik sangat besar Tokoh-tokohnya adalah :
• F.W Taylor yang menuangkan 4 prinsip dasar yaitu ; perlu mengembangkan ilmu manajemen
sejati untuyk memperoleh kinerka terbaik ; perlu dilakukukan proses seleksi pegawai ilmiah
agar mereka bisa tanggung jawan dengan kerjanya ; perlua ada pendidikan dan
pengembangan pada pegawai secara ilmiah ; perlu kerjasama yang intim antara pegawai dan
atasan à ( prinsip management ilmiah Taylor )
• Kemudian disempurnakan oleh Fayol ( POCCC ) dan Gullick dan Urwick ( Posdcorb )
Paradigma III
Administrasi Negara Sebagai Ilmu Politik (1950-1970)
Tokoh : Nicholas Henry
• Menurut HERBERT SIMON ( The Poverb Administration ) à Prinsip Managemen ilmiah
POSDCORB tidak menjelaskan makna “ Public” dari “public Administration “ menurut Simon
bahwa POSDCORB tidak menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan oleh administrator publik
terutama dalam decision making. Kritik Simon ini kemudian menghidupkan kembali perdebatan
Dikotomi administrasi dan Politik
• Kemudian muncullah pendapat Morstein-Mark ( element Of Public Administration yang
kemudian kembali mempertanyakan pemisahan politik san ekonomi sebagai suatu hal yang
tidak realistik dan tidak mungkin
• Kesimpulannya Secara singkat dapat dipahami bahwa fase Paradigma ini menerapkan suatu
usaha untuk menetapkan kembali hubungan konseptual antara administrasi saat itu, karena hal
itulah administrasi pulang kembali menemui induk ilmunya yaitu Ilmu Politik, akibatnya
terjadilah perubahan dan pembaruan Locusnya yakni birokrasi pemerintahan akan tetapi
konsekuensi dari usaha ini adalah keharusan untuk merumuskan bidang ini dalam hubungannya
dengan focus keahliannya yang esensial. Terdapat perkembangan baru yang dicatat pada fase
ini yaitu timbulnya studi perbandingan dan pembangunan administrasi sebagi bagian dari
Administrasi negara.
Paradigma IV:
Administrasi Negara Sebagai Ilmu Administrasi (1956-1970)
Tokoh : Henderson, Thompson, Caldwen
• Istilah Administrative Science digunakan dalam paradigma IV ini untuk menunjukkan isi dan
focus pembicaraan, sebagai suatu paradigma pada fase ini Ilmu Administrasi hanya
menekankan pada focus tetapi tidak pada locusnya,
• Ia menawarkan teknik-teknik yang memerlukan keahlian dan spesialisasi, pengembangan
paradigma ke-4 ini bukannya tanpa hambatan, banyak persoalan yang harus dijawab seperti
misal adalah apakah jika fokus tunggal telah dipilih oleh administrasi negara yakni ilmu
administrasi, apakah ia berhak bicara tentang public (negara) dalam administrasi tersebut dan
banyak persoalan lainnya.
Paradigma V:
Administrasi Negara sebagai Administrasi Negara (1970)
Pemikiran Herbert Simon tentang perlunya dua aspek yang perlu dikembangkan dalam disiplain
AN:
1. Ahli Administrasi Negara meminati pengembangan suatu ilmu Administrasi Negara yang
murni
2. Satu kelompok yang lebih besar meminati persoalan-persolan mengenai kebijaksanaan
publik.
Lebih dari itu administrasi negara lebih fokus ranah-ranah ilmu kebijaksanaan (Policy Science)
dan cara pengukuran dari hasil- hasil kebijaksanan yang telah dibuat, aspek perhatian ini dapat
dianggap sebagi mata rantai yang menghubungkan antara fokus administrasi negara dengan
locusnya. Fokusnya adalah teori-teori organisasi, public policy dan tekhnik administrasi ataupun
manajemen yang sudah maju, sedangkan locusnya ialah pada birokrasi pemerintahan dan
persoalan-persoalan masyarakat (Public Affairs).
Paradigma VI
Model Birokrasi Klasik.
Tokoh : Taylor, Wilson, Weber,Gullick Urwick
Birokrasi adalah suatu usaha dalam mengorganisir berbagai pekerjaan agar terselenggara
dengan teratur. Pekerjaan ini bukan hanya melibatkan banyak personil (birokrat), tetapi juga
terdiri dari berbagai peraturan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Birokrasi
diperlukan agar penyelenggaraan tugas pemerintahan tersebut terlaksana secara efisien, efektif
dan ekonomis.
Dalam memahami lebih jelas pengertian birokrasi ini, maka dikemukakan ciri-ciri idealnya dari
Max Weber (Frederickson, 1984) yang dikenal sebagai salah satu tokoh dalam aliran birokrasi
klasik (atau aliran tradisional). Ciri-ciri ini antara lain; suatu birokrasi terdiri dari berbagai
kegiatan, pelaksanaan kegiatannya didasarkan pada peraturan yang konsisten, jabatan dalam
organisasi tersusun dalam bentuk hierarki, pelaksanaan tugas dengan impersonality, sistem
rekruitmen birokrat berdasar pada sistem kecakapan (karier) dan menganut sistem spesialisasi,
dan penyelenggaraan pemerintahan dilakukan secara terpusat (sentralisasi).
Meskipun birokrasi klasik ini banyak dikritik, namun sampai sekarang, tetap ada beberapa
karakteristik dari model ini yang bertahan dalam birokrasi pemerintahan. Kelemahan-
kelemahannya antara lain, seperti terlalu kakunya peraturan yang menyertai model ini,
menyebabkan banyak ahli yang melakukan penelitian untuk penyempurnaannya.
Paradigma VII
Model Neo Birokrasi
Tokoh : Simon,Cyert, March,Gore
Model pendekatan neo-birokrasi merupakan salah satu model dalam erabehavioral. Nilai yang
dimaksimumkan adalah efisiensi, ekonomi, dan tingkat rasionalisme yang tinggi dari
penyelenggaraan pemerintahan. Unit analisisnya lebih banyak tertuju pada fungsi “pengambilan
keputusan” (decision making) dalam organisasi pemerintahan. Dalam proses pengambilan
keputusan ini, pola pemikirannya bersifat “rasional”; yakni keputusan-keputusan yang dibuat
sedapat mungkin rasional untuk dapat mencapai tujuan penyelenggaraan kegiatan
pemerintahan; model pengambilan keputusan didasarkan pada prinsip manajemen modern;
pendekatan dalam mengambil keputusan didasarkan pada analisis sistem; dan di dalam
praktiknya banyak menggunakan penelitian operasi (operation research).
Kelebihan model ini, telah banyak dibuktikan melalui “unit analisisnya” yang lebih didasarkan
pada teknik-teknik ilmu manajemen yang telah mapan sebagai kelengkapan pemecahan
masalah dalam banyak organisasi besar, termasuk organisasi militer dan pemerintahan. Teknik
manajemen ilmiah telah banyak digunakan dalam kegiatan penganggaran, penjadwalan proyek,
manajemen persediaan, program perencanaan karyawan, serta pengembangan produk untuk
mencapai produktivitas yang tinggi. Dibalik kelebihannya, juga memiliki berbagai kelemahan,
antara lain tidak semua persoalan dalam pemerintahan dapat dikuantitatifkan dalam
menerapkan prinsip manajemen ilmiah seperti yang diharapkan dalam penerapan model ini.
Paradigma VIII
Model Kelembagaan
Tokoh : Lindbloom, J. Thompson, Mosher, Blau, Riggs
Model kelembagaan merupakan penjelmaan dari era behavioralisme. Ciri-cirinya, antara lain
bersifat empiris. Di samping memperhatikan aspek internal, juga pada aspek ekstemal, seperti
aspek budaya turut menjadi perhatian utama dalam kajian organisasi pemerintahan (sistem
terbuka).
Para penganut model ini lebih tertarik mempelajari organisasi pemerintahan apa adanya
(netral), dibanding mengajukan resep perbaikan (intervensi) yang harus dilakukan dalam
peningkatan kinerja organisasi pemerintahan. Namun demikian, hasil karya dari tokoh penganut
aliran sangat berjasa dalam pengembangan teori organisasi, karena hasil-hasil karya yang ada
sebelumnya cenderung menganalisis organisasi dengan “sistem tertutup” tanpa
memperhitungkan aspek eksternal organisasi, yang secara realita sangat menentukan terhadap
kinerja organisasi pemerintahan.
Paradigma IX
Model Hubungan Kemanusiaan
Tokoh : Mcgregor, Argyris
Model hubungan kemanusiaan mengkritik model-model birokrasi. pemerintahan yang ada
sebelumnya, yakni model birokrasi klasik dan model neo-birokrasi yang terlalu memformalkan
seluruh kegiatan dalam organisasi pemerintahan. Model hubungan kemanusiaan melihat secara
empiris, bahwa ternyata aturan yang terlalu kaku, dapat menimbulkan kebosanan orang
(birokrat) bekerja dalam organisasi.
Ciri-ciri model ini, antara lain melihat perlunya diperhatikan; hubungan antarpribadi, dinamika
kelompok, komunikasi, sanksi yang tidak perlu merata, pelatihan, motivasi kerja dalam
penyelenggaraan birokrasi pemerintahan. Sejalan dengan ciri-ciri tersebut, maka nilai yang
dimaksimalkan adalah kepuasan kerja, perkembangan pribadi, harga diri individu dalam
organisasi pemerintahan. Model ini tetap menganjurkan perlunya pengawasan, namun tidak
perlu dilakukan secara ketat dan merata kepada semua anggota organisasi. Hanya mereka yang
memerlukan pengawasan adalah yang perlu diberikan. Hal yang paling penting dilakukan
adalah memperbaiki sistem organisasi agar tercipta suasana kerja yang memungkinkan anggota
organisasi dapat berhubungan secara baik dengan rekan kerjanya agar tercipta suasana yang
dapat meningkatkan inovasi aparatur pemerintahan.

Paradigma X
Model Hubungan Publik
Tokoh : Ostrom, Buchanan, Olson, Oppenheimer
Model birokrasi pilihan publik merupakan pendekatan yang paling mutakhir dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Pendekatan ini masih banyak bersifat teoretis dibanding bukti
empiris di lapangan. Resep-resep yang ada dalam penyelenggaraan pemerintahan kebanyakan
bersifat ideal, namun bukti penerapannya, masih tergolong langka. Hal ini antara lain
disebabkan karena pendekatan ini memang relatif masih muda usianya.
Ciri-cirinya, antara lain; lebih bersifat anti birokratis, berdasar pada distribusi pelayanan,
desentralisasi, dan tawar-menawar yang berorientasi kepada klien. Ada berbagai prasyarat yang
seharusnya terpenuhi dalam penerapan model ini, antara lain: (1) sistem politik harus dapat
menjamin partisipasi dalam mengemukakan pendapat secara objektif dan bertanggung jawab;
(2) sistem administrasi pemerintahan yang selalu dinamis, mampu menyesuaikan diri dengan
fungsi yang terus berubah; (3) birokrat harus mampu mengoreksi diri sendiri, dan; (4) perlu
ada langkah kongkrit yang dapat dilakukan dalam mengefektifkan pemberdayaan masyarakat,
antara lain adalah meningkatkan kesadaran kritis dalam hal politik pada berbagai lapisan
masyarakat. Langkah ini terlaksana apabila terjadi komunikasi yang “dialogis” antara perumus
kebijaksanaan dan masyarakat pengguna pelayanan.
Paradigma XI
Administrasi Negara Baru (New Public Administration
Tokoh : J. V. Denhard
• Melayani warga masyarakat bukan pelanggan;
• Mengutamakan kepentingan Publik
• Lebih menghargai warga negara bukan kewirausahaan
• Berfikir strategis dan bertindak demokratis
• Menyadari akuntabilitas bukan suatu yang mudah
• Melayani dari pada mengendalikan
• Menghargai orang buka produktivitas semata
Konsep mutakhir administrasi negara adalah good governance yang memberikan lebih banyak
hal yang harus dihadirkan pemerintahan dalam pelayanan kepada masyarakat. Good
governance lahir di tengah-tengah masyarakat yang kompleks, kritis, dan turunnya sumber
daya yang dimiliki pemerintah jika dibandingkan permasalahan yang dihadapi, sehingga konsep
ini menjadi sangat relevan untuk diadopsi dalam penyusunan kabinet jika memang benar
presiden yang terpilih nantinya memiliki political will yang besar terhadap perbaikan bangsa.
JIka sungguh-sungguh ingin melaksanakan good governance, dari penyusunan kabinet itu
sudah tercermin.
Konsep Administrasi negara baru yang lahir pada tahun 1980-an, mendorong pemerintah untuk
tidak saja adil tetapi juga berpihak pada yang lemah

Teori dalam Administrasi Publik dapat dilacak dari perkembangan Paradigma


Administrasi Publik itu sendiri. Yang pada awalnya paradigma merupakan
suatu konsep yang digunakan oleh para ilmuwan untuk menjelaskan
fenomena-fenomena perkembangan ilmu atau cara pandang untuk
menganalisis fenomena sosial yang berkembang di masyarakat.

Daftar Isi

Paradigma Administrasi Publik Menurut Nicholas


Henry
Paradigma 1: Dikotomi Politik-Administrasi / The Politics-
Administration Dichotomy (1920-1926)
Paradigma ini dimulai oleh Woodraw Wilson dan Frank Goodnow untuk
memisahkan antara politik dan administrasi. Woodraw dan Goodnow melihat
bahwa perlu adanya pemisahan antara administrasi dan politik. Pemisahan ini
merupakan alasan karena administrasi di Amerika saat ini masih dipenuhi
dengan sistem spoils dan sistem patronase antara dalam perekrutan para
pegawai negeri sipil.

Frank J Goodnow dan Leonard D White dalam bukunya Politics and


Administration menyatakan dua fungsi pokok dari pemerintah yang berbeda:
 Fungsi politik yang melahirkan kebijaksanaan atau keinginan negara
 Fungsi Administrasi yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan
negara

Penekanan pada Paradigma Administrasi Publik ini terletak pada lokusnya,


menurut Goodnow Locusnya berpusat pada birokrasi pemerintahan.
Sedangkan fokusnya yaitu metode atau kajian apa yang akan dibahas dalam
Administrasi Publik kurang dibahas secara jelas (masalah pemerintahan, politik
dan kebijakan).

Baca Juga:  Pengertian Administrasi Menurut Para Ahli

Administrasi Publik memperoleh legitimasi akademiknya lewat lahirnya


Introduction To the study of Public Administration oleh Leonard D White.
Yang menyatakan dengan tegas bahwa politik seharusnya tidak ikut
mencampuri administrasi, dan administrasi negara harus bersifat studi ilmiah
yang bersifat bebas nilai. Paradigma ini juga muncul karena adanya
ketidakpuasan terhadap trikotomi ala trias politika, dan kemudian
menggantinya dengan dua fungsi yaitu politik dan administrasi. Politik sebagai
penetapan kebijaksanaan, sedangkan administrasi sebagai pelaksanaan
kebijakan.
Paradigma 2: Prinsip-Prinsip Administrasi / The Principles of
Administration (1927-1937)
Di awali dengan terbitnya Principles of Public Adminisration (1927) karya W F
Willoughby. Pada fase ini Administrasi diwarnai oleh berbagai macam
kontribusi dari bidang-bidang lain seperti industri dan manajemen, berbagai
bidang inilah yang membawa dampak yang besar pada timbulnya prinsip-
prinsip administrasi. Prinsip- prinsip tersebut menjadi fokus kajian Administrasi
Publik. Sedangkan lokus dari paradigma ini kurang ditekankan karena esensi
prinsip-prinsip tersebut, dimana dalam kenyataan bahwa bahwa prinsip itu
bisa terjadi pada semua tatanan, lingkungan, misi atau kerangka institusi, atau
kebudayaan, dengan demikian administrasi bisa hidup dimanapun asalkan
Prinsip-prinsip tersebut dipatuhi.

Pada paradigma Administrasi Publik kedua ini pengaruh manajemen klasik


sangat besar. Tokoh- tokohnya adalah F.W Taylor yang menuangkan 4 prinsip
dasar yaitu: perlu mengembangkan ilmu manajemen sejati untuk memperoleh
kinerja terbaik, perlu dilakukan proses seleksi pegawai ilmiah agar mereka bisa
tanggung jawab dengan kerjanya, perlu ada pendidikan dan pengembangan
pada pegawai secara ilmiah, perlu kerjasama yang intim antara pegawai dan
atasan (prinsip management ilmiah Taylor). Kemudian disempurnakan oleh
Fayol (POCCC) dan Gullick dan Urwick (POSDCORB).

Paradigma 3: Administrasi Publik Sebagai Ilmu Politik / Public


Administartion as Political Science (1950-1970)
Paradigma Administrasi Publik ini dihiasi oleh berbagai pandangan politik,
bahkan para pakar mencoba memperbaharui definisi lokus dari administrasi
publik yang disebut dengan governmental bureaucracy. Penulisan-penulisan
ilmiah dalam administrasi publik banyak termasuk dalam kajian-kajian ilmu
politik, sehingga ilmu administrasi sendiri sebagai ilmu yang sudah berjalan
pada paradigma ke dua lalu menjadi kritik tajam karena tidak bisa menjadi
keperluan-keperluan publik.

Menurut pendapat Morstein-Mark (Element Of Public Administration) yang


kemudian kembali mempertanyakan pemisahan politik dan ekonomi sebagai
suatu hal yang tidak realistik dan tidak mungkin. Kesimpulannya dapat
dipahami bahwa fase Paradigma ini menerapkan suatu usaha untuk
menetapkan kembali hubungan konseptual antara administrasi saat itu.
Karena hal itulah administrasi kembali kepada Ilmu Politik, akibatnya terjadilah
perubahan dan pembaruan lokusnya. Yakni birokrasi pemerintahan namun
harus adanya perumusan dalam bidang ini yang hubungannya dengan fokus
keahliannya yang esensial. Oleh karena itu, terdapat perkembangan baru yang
dicatat pada fase ini yaitu timbulnya studi perbandingan dan pembangunan
administrasi sebagai bagian dari administrasi negara/publik.

Paradigma 4: Administrasi Publik sebagai Manajemen / Public


Administration as Management
Pada paradigma Administrasi Publik ini, ilmu administrasi publik mendapatkan
bantuan kembali dari adik mudanya yaitu ilmu manajemen. Pengangkatan
konsep manajemen ini sebagai salah satu paradoks dari kajian-kajian ilmu
politik yang sangat empirikal. Sehingga tidak dapat dicarikan benang merah
konsepnya. Namun ketika paradigma ini, konsep-konsep ilmu politik dan
manajemen yang memiliki keunikan dan identitas yang baik semakin
kehilangan arti. Karena mulai dikembangkan teori-teori organisasi dan
perilaku, perencanaan dan pengambilan keputusan yang sebetulnya lebih
banyak diambil oleh para elit. Berbagai ilmu manajemen mulai ditawarkan
dalam ilmu administrasi publik. Seperti teknik manajemen kepemimpinan,
motivasi, komunikasi, MIS, pengangguran, auditing, pemasaran, dan
sebagainya. Yang dalam ilmu politik dan administrasi ini merupakan sesuatu
hal yang sangat baru.

Baca Juga:  Teori Administrasi Publik Menurut Para Ahlix\


Pemeran dalam paradigma ini dilahirkan dalam beberapa buku oleh James G.
March dan Herbert Simon’s dalam bukunya Organization (1958), March’s
dalam bukunya Handbook of Organizations (1965) dan James D. Thompson’s
dalam bukunya Organization in Action (1967) memberikan pandangan bahwa
secara teoritikal ilmu manajemen adalah teori organisasi.

Paradigma 5: Administrasi Publik sebagai Administrasi Publik / Public


Administration as Public Administration (1970an)
Dalam perkembangan paradigma Administrasi Publik ini, para cendikiawan
dalam ilmu administrasi publik mengembangkan berbagai perspektif, seperti
yang dituliskan oleh Felix A. Nigro dan Lloyd G. Nigro (1977) dalam “Modern
Public Administration” yang menuliskan bahwa:

 Usaha kelompok-kelompok yang kooperatif di dalam pelayanan publik.


 Terdiri dari 3 cabang yaitu: eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dan
hubungan antara ketiganya dalam nuansa kerjasama (tidak ada
pemisahan).
 Memainkan peranan penting dalam perumusan kebijakan. Oleh karena
itu, administrasi publik adalah sebagai bagian dari proses politik.
 Administrasi publik dibedakan dari organisasi privat. Organisasi privat
lebih berorientasi profit.
 Administrasi publik memberikan pelayanan publik. Sehingga
administrasi publik modern selalu berhubungan dengan:
 Adanya kerja sama antar ketiga cabang pemerintah
 Perumusan kebijakan
 Proses politik
 Pelayanan publik

 
erubahan paradigma manajemen pemerintahan telah mendorong perkembangannya
administrasi publik yang sangat dinamis mengikuti dinamika lingkungannya. Perubahan
paradigma itu antara lain oleh Savas (1983), Osborne (1992), Effendi (1995),
Mustopadidjaja (1997), Mifta Thoha (1997) mengatakan sebagai berikut : (dalam Artikel ini
membahas Perkembangan Administrasi Publik, Artikel, Teori, Sejarah)

1. Perubahan paradigma dari orientasi manajemen pemerintahan yang serba negara


menjadi berorientasi pasar. Selama ini manajemen pemerintahan mengikuti paradigma
yang lebih mengutamakan kepentingan negara. Kepentingan negara menjadi pertimbangan
pertama dan utama untuk mengatasi segala macam persoalan yang timbul dimasyarakat.
Pasar (dapat berupa rakyat atau masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Sekarang ini, paradigmanya berubah, orientasi manajemen pemerintahan diarahkan
kepada pasar. Segala aspirasi masyarakat menjadi lebih penting artinya untuk menjadi
bahan pertimbangan pemerintah.
2. Perubahan paradigma dari orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian
menjadi berorientasi kepada egelitarian dan demokrasi.
3. Perubahan paradigama dari sentralisasi kekuasaan menjadi desentralisasi
kewenangan.
4. Perubahan manajemen pemerintahan yang hanya menekankan pada batas-batas
dan aturan yang berlaku untuk satu negara tertentu, mengalami perubahan kerah
boundryless organization.
5. Perubahan dari paradigma yang mengikuti tatanan birokrasi Weberian menjadi
tatanan birokrasi yang post bureacracy government, atau perubahan dari manajemen
pemerintahan yang mengikuti struktur fisik (phsical structure) ke tatanan manajemen
pemerintahan berdasarkan pada logical structure. Dengan kata lain, suatu tatanan
administrasi negara yang berorientasi pada paperwork menjadi tatanan administrasi negara
yang paperles.

Sebagai dampak dari perubahan global, administrasi publik akan mengalami perubahan
mendasar terutama peran dan orientasi yang ingin dicapai. Dalam era global kita melihat
berkembang dan tumbuhnya sistem administrasi publik dan pemerintahan yang semakin
efisien, efektif. Pergeseran peran telah mulai terjadi dimana fungsi pemerintah dalam
berbagai segi kehidupan ekonomi, sosial telah bergeser dari peran pemerintah yang begitu
besar ke arah mendorong lembaga-lembaga masyarakat/swasta untuk mengambil bagian
yang besar dalam menjalankan sebagai fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat
(Osborne 1993, Kartasasmita 1996, Kristiadi 1997). Pemeritnah cukup hanya berfungsi
sebagai pengarah tidak lagi berfungsi sebagai pengatur yang dominan. Hal ini berimplikasi
pada adanya keinginan pemerintah untuk memberdayakan masyarakat dan
meningkatkan partisipasi dalam pembangunan.

Perubahan peran administrasi publik akan selalu seiring dengan dinamika masyarakat
dimana sistem administrasi negara itu berada. Frederickson (1983), efektifitas, rasionalitas
dan produktivitas, tetapi yang lebih penting adalah administrasi negara harus menciptakan
keadilan sosial, berdasarkan kebutuhan pada semua lapisan masyarakat. Hal ini berarti
administrasi negara berusaha untuk merubah kebijakan-kebijakan maupun struktur-struktur
yang secara sistematis merintangi terciptanya keadilan sosial.
Administrasi publik memiliki fungsi untuk menjalankan kebijaksanaan dan program-program
kegiatan pemerintahan untuk mecapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keerangka hirarki
kebijaksanaan (Bromley: 1984). Sehubungan dengan hal ini perkembangan administrasi
publik akan sangat dipengaruhi oleh kondisi perkembangan tuntutan dan aspirasi dan
pelayanan kebutuhan masyarakat yang cenderung selalu dinamis.

Nicholas Henry (1995) telah mengidentifikasi alur perkembangan administrasi publik sebagai


kajian akademik ke dalam lima paradigma. Paradigma pertama adalah dikhotomi politik
administrasi publik, yang antara lain dipelopori oleh Woodrow Wilson (1887 dengan
tulisannya yang berjudul The Study of Administration). Paradigma kedua adalah prinsip-
prinsip administrasi yang berkembang antara tahun 1927-1937. paradigma ketiga disebut
paradigma administrasi publik sebagai ilmu politik. Paradigma keempat, yang berkembang
antara tahun 1956 hingga 1970 memandang administrasi publik sebagai ilmu administrasi.
Dalam konteks ini terdapat perkembangan untuk menempatkan locus disiplin administrasi
publik secara proposial pada akar keilmuan administrasi dan manajemen yang berkembang
sejak Henry Fayol menulis bukunya yang berjudul Industrial and General Administration
(1949). Paradigma kelima yang berkembang sejak tahun 1970, menempatkan administrasi
publik sebagai disiplin akademik administrasi publik. Dalam hal ini bahwa administrasi
publik telah berkembang sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri.

Administrasi publik yang berkembang setelah paradigma kelima yang diidentifikasikan oleh
Henry menurut Kristiadi (1997) adalah paradigma administrasi pembangunan. Hal ini
didasarkan pada temuan-temuan hasil kajian kelompok studi komparatid administrasi
(CAG) yang menyebutkan bahwa ”adminsitrasi publik lebih berorientasi untuk mendukung
usaha-usaha pembangunan negara-negara yang belum maju”. Pada umumnya proses
kegiatan ini disebut sebagai administrasi pembangunan. Sedangkan di negara-negara maju
dewasa ini, administrasi publik lebih diarahkan kepada upaya pencarian bentuk
kelembagaan yang tepat, ketatalaksanaan dan aspek kualitas sumebr daya manusia
aparatus yang pada intinya adalah reformasi administrasi. Setelah perkembangan
paradigma administrasi publik sebagai administrasi pembangunan, menurut Bintoro (1999),
paradigma berikutnya adalah mewirausahakan birokrasi yang dipelopori oleh Osborne,
Gaebler (1992) dan perkembangan yang terakhir adalah penyeleggaraan
kepemerintahan/administrasi publik yang baik (good governance) yang bercirikan kepastian
hukum, keterbukaan, akuntability dan konsistensi.

Sementara beberapa teoritir administrasi berpendapat bahwa peranan administrasi publik


harus makin terfokuskan pada upaya menghasilkan barang dan inilah menurut Kristiadi
(1997) efisiensi dalam pelayanan publik melalui pengadaan barang-barang publik (public
goog) dan pelayanan jasa publik sama pentingnya dengan mekanisme pasar yang
dilaksanakan oleh pemerintah yang bercirikan good governance. Untuk mewujudkan hal
tersebut, menurut Osborne dan Gaebler (1992), administrasi publik perlu didukung oleh
birokrasi yang memiliki semangant wirausaha.

Perubahan orientasi dan peran administrasi publik diperlukan untuk merespon dinamika
masyarakat yang tinggi terutama dalam menciptakan pelayanan yang efisien dan efektif
serta menciptakan keadilan sosial bagi warga masyarakat. Hal ini perlukan karena
administrasi publik berfungsi sebagai instrumen publik untuk menciptakan kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian fungsi aparatur sebagai pelayanan masyarakat harus
dominan dan diutamakan ketimbang fungsi sebagai abdi negara. Kartasasmita (1996)
melakukan analisis reposisi terhadap paradigma administrasi pembangunan (birokrasi)
yang selama 32 tahun memiliki peran yang besar dalam pembangunan bangsa, yaitu :
perubahan dalam polarisasi: 
1. Orientasi birokrasi bergeser dari yang kuat kepada yang lemah dan kurang berdaya, 
2. Birokrasi harus membangun partisipasi rakyat, 
3. Peranan birokrasi bergeser dari mengendalikan ke mengarahkan, dan 
4. Birokrasi harus mengembangakan keterbukaan dan kebertanggungjawaban.

Senada dengan itu, Moestopadijaja (1998) mengatakan bahwa penyelenggaraan


pemerintahan ke depan harus didasarkan pada prinsip-prinsip: pemberdayaan, pelayanan,
partisipasi, kemitraan, dan desentralisasi.

Fungsi pemberdayaan, aparatur pemerintah tidak harus berupaya melakukan sendiri, tetapi
mengarahkan (steering rather then rowing). Sesuatu yang sudah bisa dilakukan oleh
masyarakat, jangan dilakukan oleh pemerintah. Apabila masyarakat atau sebagian dari
mereka belum mampu atau tidak berdaya, maka harus diberdayakan (empowering).
Pemberdayaan berarti pula memberi peran kepada masyarakat lapisan bawah di dalam
keikutsertaannya dalam proses pembangunan.

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat dalam pambangunan, peran pemerintah dapat


ditingkatkan antara lain melalui (a) pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi
kreativitas dan partisipasi masyarakat, (b) perluasan akses pelayanan untuk menunjang
beerbagai kegiatan sosial ekonomi masyrakat, dan (c) pengembangan proses untuk lebih
memberikan kesempatan kepada masyarakat belajar dan berperan aktif (social learning
process) dalam memamfaatkan dan mendayagunakan sumber daya produktif yang tersedia
sehingga memiliki nilai tamabah guna meningkatkan kesejahteraan mereka.

Upaya pemberdayaan memerlukan semangat untuk melayani (a spirit of public services),


dan menjadi mitra masyarakat (partner of society); yaitu melakukan kerjasama dengan
masyarakat Esman dalam Moestopadidjaja (1997). Hal ini memerlukan perubahan perilaku
yang antara lain dapat dilakukan melalui pembudayaan kode etik (code of ethical conducts)
yang didasarkan pada dukungan lingkungan (enabling strategy) yang diterjamahkan dalam
standar tingkah laku yang dapat diterima umum dan dijadikan acuan perilaku aparatur
pemerintah.

Di samping itu, dalam pelaksanaan kode etik tersebut, aparatur dan sistem manajemen
publik harus bersikap terbuka, transparan dan accountable, untuk mendorong para
pemimpin dan seluruh sumber daya manusia aparatur menjadi berwibawa, bersih dan
menjadi panutan bagi masyarakat.

Pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan


keberhasilan dalam membangun yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku
melayani, bukan dilayani, mendorong bukan menghambat, mempermudah bukan
mempersulit, sederhana bukan berbelit-belit, terbuka untuk setiap orang bukan hanya untuk
segelintir orang. Dengan demikian makna administrasi publik sebagai wahana
penyelenggaraan pemerintahan negara yang harus melayani publik harus benar-benar
dihayati para penyelenggara pemerintahan negara.

Partisipasi masyarakat harus diikutsertakan dalam proses menghasilkan public good atau
services dengan mengembangkan pola kemitraan dan kebersamaan dan bukan semata-
mata dilayani. Untuk itulah kemampuan masyarakat harus diperkuat (empowering rather
than serving), kepercayaan masyarakat harus meningkat dan kesempatan masyarakat
untuk berpartisipasi harus ditingkatkan.

Upaya pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha, peningkatan partisipasi dan kemitraan
sangat memerlukan keterbukan birokrasi pemerintah, juga disamping itu memerlukan
langkah-langkah yang tegas dalam mengurangi peraturan dan prosedur yang menghambat
kreativitas dan aktivtas mereka dan memebri kesempatan kepada masyarakat untuk dapat
berperan serta dalam proses penyusunan peraturan kebijaksanaan, pelaksanaan,
pengawasan pembangunan.

Inti dari perubahan peran dan orientasi administrasi publik adalah bahwa bentuk organisasi
birokrasi yang ada sekarang harus berubah sesuai dengan tuntutan perubahan itu sendiri,
yaitu bentuk organisasi yang terbuka, fleksibel, ramping atau pipih (flat), efisiensi dan
rasional, terdesentralisasi, kaya fungsi miskin struktur sehingga memungkin organisasi
birokrasi lebih cepat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Bahkan menurut Mc
Kinsey (Kristiadi:1997) desain organisasi kedepan dicirikan oleh 7 S, yaitu: 
 (1) system, 
 (2) structure, 
 (3) strategy, 
 (4) staff, 
 (5) skill, 
 (6) leadership style, dan 
 (7) share value. 

Aspek sistem meliputi pemahaman terhadap visi dan misi organisasi berdasarkan tuntutan
perubahan lingkungan, nilai dan budaya yang dimiliki organisasi yang menjadi ciri khas
organisasi dan sekaligus menjadi perekat dan motivasi anggota organisasi untuk
mengembangkan berbagai aktivitas keorganisasian baik dalam melakukan hubungan
secara internal maupun dalam melakukan hubungan eksternal. Sedangkan aspek strategi
mencangkup kemampuan organisasi menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan,
pemahaman kemampuan memanfaatkan peluang, tantangan, ancaman dan kelemahan
serta kekuatan yang dimiliki organisasi dapat menyesuaikan diri dengan perubahan
tersebut dan pada akhirnya dapat survie dan meraih kemampuan kompetitif. Aspek soft
struktur organisasi meliputi staff, skill, style, dan share value menyarakatkan proses
pembelajaran yang secara terus menerus untuk mencapainya. Administrasi publik
(Birokrasi) ke depan harus menata kembali visi, misi tujuan, sasaran dan strategi
pencapaiannya dalam rangka memberikan pelayanan publik yang cepat, efisien, terbuka,
dan akuntabel.

Daftar Pustaka - Perkembangan Administrasi Publik, Artikel, Teori, Sejarah

Osborne, David, Ted, Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi: Mentransformasikan Semangat


Wirausaha ke Dalam Sektor Publik, PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1992.

Savas, E. S., Privatization : The Key to Better Government, Chatham House Publisher, Inn.,
New Jersey, 1987.

Kartasasmita, Ginanjar, Administrasi Pembangunan, LP3ES, Jakarta, 1997.

Kristiadi, J.B, Persfektif Administrassi Publik Menghadapi Tantangan Abad 21, Jurnal


Administrasi dan Pembangunan, Edisi, Khusus, Volume I No. 2, 1997.

Frederickson, H., George, Administrasi Negara Baru, LP3ES, Jakarta, 1984.

Henry, Nicholas, Administrasi Negara dan Masalah-masalah Publik, Rajawali Press, Jakarta


1995.

Mustopadidjaja, AR & Bintoro, Tjokroamodjojo, Administrasi Negara, Demokrasi dan


Masyarakat Madani, LAN, Jakarta, 1999

Anda mungkin juga menyukai