Anda di halaman 1dari 41

MODUL 1

Konsep Dasar Manajemen Publik


BAB 1
KONSEP DASAR MANAJEMEN PUBLIK

A. PENDAHULUAN
Berbicara masalah Public Management atau manajemen publik seringkali tidak
terlepas dari skup keilmuan yang lebih besar yang menaunginya yaitu Administrasi.
Meskipun manajem publik bukan administratif. Banyak para pakar administrasi
mengemukakan pengertian tentang definisi administrasi, seperti yang dikemukakan
J. M. Pfiffner dalam Darmanto (2014) bahwa administrasi diartikan sebagai
pengorganisasian dan pengerahan sumber-sumber manusia dan material untuk
mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan. Definisi yang hampir sama juga
dikemukakan oleh W. H. Newman dalam Mirrian Sjofjan (2014) yang mengartikan
administrasi sebagai pengarahan, kepemimpinan dan pengendalian usaha
sekelompok individu dalam rangka pencapaian tujuan bersama.
Berdasarkan kedua definisi administrasi yang dikemukakan dapat diambil
benang merahnya bahwa peran administrasi yaitu mengelola, memimpin,
mengarahkan semua kegiatan manusia dalam rangka mencapai tujuan bersama,
sehingga administrasi memiliki hampir memiliki makna yang identik dengan
manajemen. Akan tetapi ada juga yang membedakannya seperti yang dikemukakan
Mc Farland dalam Handayaningrat (2002) yang membedakan antara definisi
administrasi dengan manajemen. Dimana administrasi dianggap berperan dalam
menentukan tujuan pokok kebijakan-kebijakan, sedangkan manajemen dianggap
lebth berperan dalam melaksanakan tujuan dan kebijakan tersebut secara berhasil.

B. BAGAIMANA DENGAN ADMINISTRASI PUBLIK?


Dimock dan Koenig dalam Syafiie (2010) bukunya Public Administration
sebagai aktifitas negara/pemerintah dalam melaksanakan kekuasaan politik yang
dimilikinya. Dengan nada yang sama J. M. Pfiffner dan R. Presthus dalam Tahir
(2014) administrasi publik merupakan sebuah proses yang bertujuan untuk
mewujudkan kebijakan-kebijakan publik. Berdasarkan kedua definisi tersebut jelas
tampak bahwa peran administrasi publik yaitu pelaksanaan kekuasaan politik atau
pelaksana kebijakan-kebijakan publik, sedangkan perumusan/formulasi kebijakan
tersebut bukan peran administrasi publik.

C. MANAJEMEN PUBLIK
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa manajemen publik tidak
akan melepaskan dari administrasi, meskipun manajemen publik bukan administrasi
tetapi manajemen publik merupakan salah satu dari delapan sub yang dimiliki
administrasi publik, antara lain: kebijakan publik, birokrasi publik, kepemimpinan,
pelayanan publik, kepegawaian negara kinerja, etika administrasi publik dan
Manajemen Publik.
Landasan berfikir manajemen publik berkiblat pada karangan yang dihasilkan
oleh Wilson. Intinya mengemukakan pemikiran tentang organisasi pemerintahan,
yaitu:
1. Pemerintahan yang dijalankannya dijalankan seperti menjalankan perusahaan
2. Kualitas personel dalam organisasi pemerintahan haruslah ditingkatkan
3. Mengembangkan organisasi metode/sistem uep pemerintahannya.

Sedangkan manajemen publik itu sendiri diartikan oleh Wankle dan Stoner,
dalam Rohman (2017) sebagai Proses perencanaan, pengorganisasian,
kepemimpinan, dan pengendalian upaya anggota organisasi dan penggunaan seluruh
sumberdaya organisasi lainnya demi tercapainya tujuan organisasi yang telah
ditetapkan. Oleh karenanya menurut Islamy dalam Ullum (2016) doktrin utama
dalam manajemen publik adalah:
1. Fokus utamanya pada aktifitas manajemen, penilaian kinerja dan efisiensi
2. Memecah birokrasi publik kedalam unit-unit dibawah yang terkait langsung
dengan pemakai pelayanan
3. Pemanfaatan “erzast market” dan “kontrak kerja” untuk menggalakkan
persaingan
4. Pengurangan anggaran pemerintahi
5. Penggunaan gaya manajemen yang lebih menekankan pada sasaran akhir,
kontrak jangka pendek, insentif anggaran, dan kebebasan melaksanakan
manajemen
Disamping itu dapat dikenali pula karakteristik utama dalam Manajemen
Publik, antara lain:
1. Manajemen publik lebih banyak terkait dengan tugas-tugas operasional
pemerintahan daripada perumusan kebijakan
2. Manajemen publik lebih berkonsentrasi pada upaya mencapai tujuan daripada
berkutat dengan proses dan prosedur
3. Manajemen publik lebih banyak berorientasi pada pemenuhan kebutuhan
pelanggan daripada kebutuhan birokrasi
4. Manajemen publik menghindarkan diri memberikan pelayanan langsung kepada
masyarakat sesuai dari berperan dengan peran utamanya memberikan arahan
saja atau pemberdayaan kepada masyarakat.
5. Manajemen publik mengubah diri dari budaya birokrasi ke budaya wirausaha.

Sedangkan karakteristik New Public Management, tidak jauh berbeda dengan


karakteristik manajemen publik, yaitu:
1. Pelaksanaan tugas manajemen pemerintahan diserahkan kepada manajer
professional
2. Adanya standar dan ukuran kinerja yang jelas
3. Lebih ditekankan pada kontrol hasil/keluaran
4. Pembagian tugas pada unit-unit yang ada dibawah
5. Ditumbuhkannya persaingan ditubuh sektor publik
6. Lebih ditekankan pada penerapan gaya manajemen sektor privat
7. Menekankan pada kedisiplinan yang tinggi dan tidak boros dalam penggunaan
segala jenis sumberdaya.

Pada dasarnya manajemen publik diarahkan kegiatannya dalam rangka


meningkatkan kinerja sektor publik, hal ini sesuai dengan tujuan manajemen publik
yang dikemukakan Graham & Hays dalam Lamangida (2018) yaitu menjadikan
sektor publik lebih efisien, akuntabel dan tujuannya tercapai, serta lebih mampu
menangani berbagai masalah manajerial dan teknis.

D. PARADIGMA MANAJEMEN
Manajemen klasik yang menganut prinsip manajemen Universal POSDCORB
Luther Gullick & Lundall Urwick dalam Islamy (2003) telah menuai berbagai
kritikan baik dari secara teoritis maupun secara praktis, dimana manajemen klasik
dikenal kaku, hierarkis dan birokratis telah memuncul berbagai pandangan yang
tidak lagi mendukung penggunaan pola manajemen ini pada organisasi, karena tidak
sesuai lagi dengan situs publik.
Berbagai kritikan seperti:
1. Semakin membesarnya anggaran pemerintah
2. Rendahnya kualitas kinerja pemerintah yang bersifat konfliktif terhadap
perubahan
3. Adanya nilai paradigma pemerintahan
4. Adanya tekanan yang kuat atas peran sektor publik
5. Terjadinya perubahan teori ekonomi
6. Adanya pengaruh globalisasi terhadap sektor publik.

Telah menerapkan konsep-konsep manajemen baru pada awal tahun 1990-an


dalam Reinventing Government yang lebih tepat untuk diterapkan di sektor publik,
yang dapat meningkatkan kinerja publik, yang dikenal dengan nama New Public
Management dan Public Management.
Setelah NPM juga tidak lepas dari berbagai kritikan secara teoritis maupun
praktis, dimana pemerintah sebagai pelayan publik terlalu berwujud kapitalistik.
Selain itu menurut para pengkritiknya bahwa sebagai masyarakat warga negara
memiliki hak untuk dilayani tanpa memandang status sosial, sehingga dalam
memberikan pelayanan tata caranya harus lebih memanusiakan manusia, dimana
pengguna jasa layanan tidak lagi sebagai klien/pelanggan tetapi sebagai warganegara
yang memiliki hak untuk dilayani. Oleh masyarakat haruslah dilibatkan dalam
pengambilan keputusan yang terkait dengan kepentingan publik, yang semula
menjadi monopoli pemerintah. Konsep-konsep tersebut muncul pada awal tahun
2000an yang dikemukakan oleh Denhardt & Denhardt, yang dikenal dengan New
Public Service.
Dengan berkembangnya sistem manajemen pada sektor publik telah membawa
arti penting bahwa administrasi publik telah terbebas dari sistem yang kaku hierarkis,
dan birokratis menuju ke bentuk manajemen publik yang lebih fleksible. Berikut ini
akan dirangkum beberapa pandangan berbeda tentang manajemen publik dari
beberapa penulis, adalah sebagai berikut:
Perbandingan Manajemen Publik dari Berbagai Sudut Pandang

Christopher Hood (1991) Michael Barzelay (1992) Osborne & Gaebler (1992) OECD (1991; 1996)
Manajemen profesional Pergeseran dari kepentingan Pemerintahan katalis: Fokus yang lebih besar
di sektor publik publik menjadi fokus pada fokus pada pemberian terhadap hasil
hasil dan kualitas citizen's pengarahan bukan produksi (efisiensi, efektifitas,
value pelayanan publik dan kualitas pelayanan)

Adanya standar kinerja Pergeseran dari efisiensi Pemerintah milik Dari struktur organisasi
dan ukuran kinerja menjadi fokus pada masyarakat: hierarkis-sentralistis
kualitas dan value memberdaayakan menjadi desentralisasi
masyarakat daripada
melayani

Penekanan yang lebih besar Pergeseran dari Pemerintah kompetitif: Fleksibilitas untuk mencari
terhadap pengendalian pengadministrasian menjadi menyuntikan semangat alternatif penyediaan
output dan outcome fokus pada memproduksi kompetisi dalam pemberian pelayanan publik yang
pelayanan publik lebih tinggi efektifitas
biayanya

Pemecah unit-unit kerja di Pergeseran dari pengendalian Pemerintah yang digerakkan Fokus terhadap efisiensi
sektor publik, menciptakan menjadi fokus pada oleh misi: mengubah pelayanan termasuk penetapan
saingan di sektor publik keunggulan taat pada aturan organisasi yang digerakkan target kinerja dan penciptaan
(norma) oleh peraturan menjadi persaingan dalam sektor
organisasi yang digerakkan publik
oleh misi
Menciptakan persaingan Pergeseran dari penentuan Pemerintah yang berorientasi
disektor publik fungsi otoritas dan struktur hasil: membiayai hasil bukan
menjadi fokus pada misis masukan
pelayanan pelanggan dan
outcomes

Mengadopsi gaya manajemen Pergeseran dari justifikasi Pemerintah berorientasi pada


disektor bisnis ke dalam skala biaya menjadi fokus pada pelanggan: memenuhi
sektor publik pemberian nilai (value) kebutuhan pelanggan, bukan
birokrasi

Penekanan pada disiplin Pergeseran dari memaksakan Pemerintahan wirausaha:


dan penghematan dalam taggungjawab menjadi menciptakan pendapatan, tidak
menggunakan sumberdaya membangun tanggungjawab sekedar membelanjakan
Dari berbagai pandangan yang dikemukakan oleh para pemerhati dan penulis
manajemen publik, dapat dikatakan bahwa pandangan-pandangan dari beragam
perspektif ini cenderung saling mengisi, sehingga jika dirangkai akan membentuk
suatu pola manajemen baru yang lebih terinci dan utuh.

E. MANAJEMEN PUBLIK VS GOVERNANCE


Tema sentral dalam manajemen publik adalah upaya mereformasi sektor publik
agar tujuan yang dicapai lebih efektif, efesien dan ekonomis semata-mata hanya
menunjukan kepada kita tentang hubungan antara Negara (the state) dan pasar (the
market) dan tekanan lebih eksplisit ditujukan pada adanya dominasi preferensi
individu terhadap penyediaan barang dan jasa atas preferensi kolektif.
Penyediaan anggaran yang cukup, penetapan standar mutu kinerja dsb.
Mungkin dibutuhkan untuk mewujudkan manajemen yang baik dan pemanfaatan
sumber daya yang efisien, tetapi upaya perbaikan ini menghasilkan pelayanan yang
tidak sesuai dengan harapan warga, maka warga sebagai pemilih dalam pemilu akan
berontak dan tidak memilihnya lagi. Respon ini jelas merupakan salah satu
kelemahan reformasi pemerintahan yang berbasis pasar tadi.
Selain itu, manajemen publik baru bisa berakibat semakin berkurangnya
akuntabilitas pemerintah kepada publik, terutama sebagai pihak yang harus
bertanggung jawab atas penyediaan pelayanan yang baik. Oleh karena itu isu-isu
mengenai akuntabilitas, pengawasan, kepekaan, transparansi, partisipasi tersebut
menjadi sangat penting diperhatikan selain isu-isu terkait dan ekonomi. Bahkan bagi
warga masyarakat yang paling penting adalah terciptanya hukum yang adil dan
ketertiban sosial, yang hal itu hanya bisa dilakukan oleh pemerintahan yang sah dan
kuat.
Istilah “governance” merefleksikan proses penyelenggaraan pemerintahan
yang mencakup semua dan mampu semua isu-isu tersebut di atas tadi. Konsep
governance tidaklah dimaksudkan untuk menggantikan konsep new public
management tetapi lebih menekankan kesadaran kita bahwa pemerintahan yang baik
itu adalah pemerintahan yang mampu memenuhi 4 persyaratan utama yaitu:
1. Kuat legitimasinya
2. Akuntabel
3. Kompeten
4. Respek terhadap hukum dan hak-hak asasi manusia.

Menurut Minogue, Polidano & Hulme (2000): “… Good governance aims to


achieve much more than more efficient management of economic and financial
resources, or particular public services, it is also abroad reform strategy to
strenghthen the institutions of civil society, and make government more open,
responsive, accountable and democratic”. Jadi, penyelenggaraan pemerintahan yang
baik itu berfungsi untuk mencapai lebih dari sekedar pengelolaan sumber-sumber
ekonomi dan finansial yang lebih efisien, tetapi juga dimana pemerintahan antara
sektor publik dan privat telah menjadi merupakan suatu strategi reformasi yang lebih
luas untuk memperkuat lembaga-lembaga masyarakat sipil dan upaya menjadikan
pemerintahan itu lebih terbuka, responsif, akuntabel dan demokratis. Oleh karena itu
“New Public Management” merupakan bagian dari strategi yang lebih luas tentang
“Good Governance”

F. GOOD GOVERNANCE DALAM KAJIAN TEORITIS


Teori penyelenggaraan pemerintahan (governance theory) di dasarkan atas
pandangan R.A. W. Rhodes dan G. Stoker dalam Ginting (2016). Perbedaan makna
Government dan Governance. Menurut Stoker dalam Ginting (2016) istilah
government menunjukkan pada:
1. The formal institutions of the state (Lembaga formal negara)
2. Monopoly of legitimate coercive power (Monopoli kekuasaan koersif yang sah)
3. Its ability to make decisions and its capacity to enforce them (Kemampuan
membuat keputusan dan kapasitas untuk menegakkan)
4. The formal and institutional processes which operate at the level of the nation
state to maintain public order and facilitate collective action (Proses formal dan
kelembagaan yang beroperasi di tingkat negara untuk menjaga ketertiban umum
dan memfasilitasi tindakan kolektif)

Selanjutnya menurut Rhodes dalam Ginting (2016), istilah governance


menunjukkan pada:
1. A change in the meaning of govermment (Perubahan makna pemerintahan)
2. Referring a new process of governing (Merujuk pada proses pemerintahan yang
baru)
3. A changed condition of ordered rule (Kondisi yang berubah dari aturan yang
dipesan)
4. The new method by which society is governed (Metode baru dimana masyarakat
diatur)

Stoker memandang perbedaan government dan governance hanya pada aspek


prosesnya (styles of governing) bukan pada outputnya Akhirnya Stoker dan pakar
lainnya setuju untuk menyatakan bahwa: “Governance itu menunjukkan pada
pengembangan gaya menjalankan pemmerintahan dalam mana antara sektor publik
dan privat telah menjadi kabur. Esensi governance adalah pada fokusnya yaitu
mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang tidak lagi tergantung pada bantuan
dan sanksi dari pemerintah”. Kobiman dan Van Vliet dalam Said (2012)
mengemukakan “Konsep governance lebih tertuju pada kreasi suatu struktur atau
tertib yang tidak dapat diimposisikan keluar tetapi merupakan hasil dari interaksi
banyak pihak yang ikut terlibat dalam proses pemerintahan dan mereka saling
mempengaruhi satu sama lain”.
Rhodes memandang paling tidak ada 6 istilah yang berbeda dalam memberi
makna konsep governance, yaitu:
1. Governance as the Minimal state
Ukuran, struktur, dan peran pemerintah dirampingkan supaya proses
penyelenggaraan pemerintahan lebih efektif dan efisien dengan melakukan
pengurangan beban anggaaran, privatisasi dan memotong jumlah dinas sipil
yang dirasakan kurang berfungsi atau tumpang tindih.
2. Governance as Corporate Governance
Proses penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dengan mengambil over
atau mengimitasi prinsip-prinsip yang ada di sektor privat terbentuknya antar-
organisasi dan antar-aktor yang kuat dimana semua keterbukaan informasi,
integritas individu, peran yang lebih jelas dan akuntabilitas yang tinggi.
3. Governance as The New Public Management
Proses penyelenggaraan pemerintahan yang lebih mengedepankan peran
pemerintah sebagai layaknya peran manajer perusahaan/bisnis dengan
manajemen gaya sektor privat yang kental dan selalu waspada terhadap adanya
persaingan, mekanisme pasar, upaya mementingkan kepuasan pelanggan,
pilihan pelayanan dan nilai dampak usaha.
4. Governance as Good Governance
Proses penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik, yaitu dalam arti
berusaha mencapai kinerja pemerintahan yang lebih efektif, efisien dan
ekonomis dan juga sekaligus lebih responsive, representative dan
responsible/akuntabel terhadap kepentingan publik yang sangat beragam.
5. Governance as A Socio-Cybernetic System
Proses penyelenggaraan pemerintahan yang melibatkan interaksi dan
interelasi banyak aktor/pelaku baik dari birokrasi pemerintahan maupun non-
pemerintahan (legislatif, swasta, LSM, akademi, pers/media, dsb) dan
bertanggungjawab secara bersama. Hasil kebijakan publik bukanlah merupakan
produk dari apa yang dilakukan pemerintah saja tetapa produk dari usaha
intervensi, interdependensi dan interaksi seru interrelasi banyak actor.
6. Governance as Self-Organizing Networks
Proses penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan atas pihak saling
bertukar sumber-sumber baik dana, informasi maupun keahlian serta akses dan
aset yang lain untuk memaksimalkan kineria pemerintahan.

Selain keenam makna sekaligus karakteristik governance tersebut diatas,


World Bank dalam laporannya menegaskan perlunya negara-negara sedang
berkembang menerapkan konsep good governance, yang terdiri dari:
1. An efficient public service (Terselenggaranya proses publik yang efisien)
2. An independent judicial system and legal framework to enforce contracs (Sistem
peradilan yang independen dan sistem kontrak kerja yang berdasarkan hukum
yang jelas dan pasti)
3. The accountable administration of public funds (Akuntabilitas administrasi atas
dana masyarakat)
4. An independent public auditor, responsible to a representative legislature
(Adanya pemeriksa/auditor publik yang independen dan bertanggungjawab
kepada wakil rakyat di DPR)
5. Respect for the law and human rights at all levels of government (Penghargaan
terhadap hukum dan hak azasi manusia di semua jenjang pemerintahan)
6. A pluralistic institutional structure (Adanya struktur kelembagaan yang
pluralistik)
7. A free press (Adanya pers yang bebas).

G. PROPOSISI KONSEP GOOD GOVERNANCE


Pandangan Stoker tentang governance as theory, mengemukakan adanya 5
proposisi yang perlu dipertimbangkan dalam mengkaji konsep good governance,
yaitu:
1. Proposisi I “Governance Refers to a Set of Institutions and Actors That Ore
Drawn from But Also Beyond Government”
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik memanfaatkan seperangkat
institusi dan aktor baik dari dalam maupun luar birokrasi pemerintah.
Pemerintah perlu membuka pintu dan tidak alergi atau curiga terhadap eksistensi
berbagai macam institusi dan aktor diluar institusi pemerintah, bahkan
sebaliknya hal itu bisa dimanfaatkan sebagai komponen penguat dalam
mencapai tujuan bersama.
2. Proposisi II “Governance Recognizes the Blurring of Boundaries and
Responsibilities for Tackling Social and Economic Issues”
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik memungkinkan lagi terjadinya
trikotomi peran sektor pertama (eksekutif dan legislatif), sektor kedua (swasta)
dan sektor ketiga (masyarakat) dalam menangani masalah sosial-ekonomi,
karena peran tersebut sekarang sudah demikian kabur. Peran ketiga sektor
tersebut seyogyanya menyatu dan padu karena mereka mempunyai kepentingan
dan komitmen yang sama tingginya untuk mengatasi masalah-masalah sosial-
ekonomi tersebut.
3. Proposisi III “Governance Identifies the Power Dependence Involved in the
Relationship Between Institutions Involved in Collective Action”
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik mengaku adanya saling
ketergantungan diantara ketiga fakio tersebut diatas dalam peran bersama untuk
mengatasi masalah sosial-ekonomi. Tujuan meningkatkan kesejahteraan hidup
masyarakat tidak membutuhkan lagi satu kekuatan atau sektor manapun yang
dominan yang melebihi perannya atas yang lain, melainkan semuanya
berinteraksi dan berinterrelasi serta punya akses yang sama dalam berpartisipasi
dalam mewujdkan kesejahteraan masyarakat.
4. Proposisi IV “Governance Is About Autonomous Self-Governing Networks of
Actors”
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik merupakan jaringan kerja antar
aktor dari ketiga kekuatan (sektor) yang menyatu dalam suatu ikatan yang
otonom dan kuat. Institusi-institusi dan aktor-aktor dari ketiga sektor tadi akan
menjadi kekuatan yang solid dan dahsyat bila mereka bersedia memberikan dan
menerima kontribusi baik sumber-sumber, keahlian, kepentingan maupun
tujuan- tujuan dalam rangka mencapai tujuan bersama yang diinginkan.
5. Proposisi V “Governance Recognizes the Capacity Toget Things Done Which
Does Not Rest on the Power of Government to Commandor Use Its Authority. It
Sees Government as Able To Use New Tools And Techniques To Steer And
Guide”
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat tidak perlu semata-mata menggantungkan diri pada
arahan, petunjuk dan otoritas pemerintah tetapi juga kemampuan untuk
memanfaatkan sarana dan teknik pemerintahan dari sektor non pemerintah untuk
merumuskan, melaksanakan dan mengevaluasi kebijakan yang baik dan benar.
Pemerintah perlu mengajak sektor yang lain untuk ikut berperan serta dalam
proses kebijakan tersebut dan peran pemerintah cukup sebagai fasilitator dan
enabler.

Kelima proposisi tersebut diatas walaupun mempunyai nilai dan arti yang
cukup tinggi namun untuk bisa diterapkan secara efektif masih perlu diuji/dites
tingkat signifikansinya.

H. DOMAIN PUBLIK DALAM KONSEP MANAJEMEN


Pada uraian berikut akan dijelaskan pandangan J. Stewart & S. Ranson tentang
Teori Domain Publik (Public Domain Theory). Public Domain dapat digambarkan
sebagai arena atau organisasi untuk mengejar atau memenuhi nilai-nilai kolektif.
Public Domain diperlukan untuk mengatasi ketidak sempurnaan pasar, dimana
kebutuhan berbagai kebutuhan pelayanan masyarakat atau redistribusi sumber-
sumber tidak dapat disediakan oleh pasar. Selain itu, public domain juga diperlukan
untuk memenuhhi nilai-nilai khas yang harus ada pada setiap manajemen sektor
publik, yaitu equity dan equality. Dengan bahasan lain, manajemen sektor publik
tidak hanya ditujukan untuk mencapai tujuan sektor publik secara efektif dan efisien,
tetapt juga secara adil dan merata.
Alasan-alasan mengapa model atau teori public domain diperlukan adalah:
1. Ketidaktepatan model-model manajemen sektor swasta untuk mengkaji
manajemen sektor publik, sehingga diperlukan model yang khusus/tersendiri.
2. Penyusunan model manajemen sektor publik dapat dimulai dengan menetapkan
tujuan-tujuan, persyaratan-persyaratan, dan tugas-tugas public domain.
3. Mengatasi dilema yang ada agar dapat tersusun model manajemen sektor publik
yang tepat.
4. Menyusun suatu pendekatan manajemen domain publik yang khas dan jelas
tujuan-tujuannya, persyaratan-persyaratannya, tugas-tugasnya dan termasuk
pula dilema yang dihadapinya.

Perbedaan Model Sektor Privat dan Publik

No Model Sektor Privat Model Sektor Publik

Pilihan individu pada pasar Pilihan kolektif pada negara atau


1
pemerintah
Atas dasar permintaan dan harga Atas dasar kebutuhan akan
2 sumber-sumber
Terbatas bagi tindakan privat Terbuka bagi tindakan publik
3

Berdasar keadilan pasar Berdasar keadilan kebutuhan


4

Mencari kepuasan pasar


5

Kekuasan ada pada konsumen


6

Kompetisi sebagai instrumen pasar


7

Merespon protes dengan keluar dari


8 kegiatan pasar
I. NEW PUBLIC MANAGEMENT
New Public Management (NPM) merupakan suatu bentuk baru dari birokrasi
pemerintah yang secara konsisten menerapkan prinsip. prinsip manajemen publik
dengan meminimalkan anggaran, mempublikan perusahaan-perusahaan negara, dan
menerapkan prinsip 3 E (ekonomis, efisiensi, dan efektivitas).
Pada prinsipnya NPM menawarkan cara baru dalam pengelolaan organisasi
sektor publik, yaitu dengan mengadopsi prinsip-prinsip manajemen yang ada pada
sektor privat yang akan diimplementasikan pada sektor publik. Akan tetapi, seperti
yang dikatakan Mahmudi (2003) bahwa pengadopsian prinsip-prinsip manajemen
sektor privat pada sektor publik berarti juga mengadopsi segala keburukan sektor
privat ke sektor publik. Selanjutnya dikatakan bahwa pengadopsian tersebut juga
akan mengabaikan perbedaan yang fundamental antara sektor publik dan sektor
privat.
Prinsip yang ada pada sektor privat pada dasarnya dianggap sangat
bertentangan dengan prinsip demokrasi, dimana dalam sektor publik memiliki
standar etika yang tinggi dan pelayanan kepada negard. yang tidak dimiliki atau
sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dianut manajemen. Akan tetapi
pada kenyataannya, manajemen model baru ini sangat berkembang pesat pada sektor
publik dan mampu menyingkirkan pendekatan administrasi publik tradisional.
Tuntutan masyarakat yang semakin luas akan produk-produk sektor publik
yang berkualitas, "memaksa" sektor publik untuk menggunakan prinsip-prinsip
manajemen publik baru ini, yang dianggap melaluinya dapat memberikan jawaban
terhadap tuntutan masyarakat.
Ciri-ciri New Public Management yang diusung adalah:
1. Memfokuskan aktivitasnya hanya pada kegiatan manajemen, tidak pada
aktivitas kebijakan.
2. Melihat administrasi publik (birokrasi) pada segi kinerja (performance
appraisal) dan efisiensi, tidak lagi dari segi politis.
3. Pemecahan birokrasi publik menjadi badan-badan kecil dan sederhana yang
berkaitan langsung dengan kepentingan dasar pengguna (user pay based).
4. Menggunakan landasan pasar (quasi market) sebagai daya dorong bagi
terciptanya kompetisi, baik antar dalam bagian birokrasi maupun kompetisi
dengan institusi lain.
5. Adanya pemangkasan ekonomi biaya tinggi, hingga pelayanan menjadi lebih
murah.
6. Gaya manajemen yang berorientasi pada output, cara tersingkat dan kebebasan
pengelolaan.

Ringkasnya konsep NPM pada dasarnya mengandung tujuh komponen utama


yang dikemukakan oleh Cristopher Hood dalam Mahmudi (2003) yaitu:
1. Manajemen profesional di sektor publik.
2. Adanya standar kinerja dan ukuran kinerja.
3. Penekanan yang lebih besar terhadap pengendalian output dan outcome.
4. Pemecahan unit-unit kerja di sektor publik.
5. Menciptakan persaingan di sektor publik.
6. Pengadopsian gaya manajemen di sektor bisnis ke dalam sektor publik.
7. Penekanan pada disiplin dan penghematan yang lebih besar dalam menggunakan
sumberdaya.

Konsep-konsep yang diusung NPM tidak saja diterapkan pada negara-negara


maju, akan tetapi juga oleh negara-negara berkembang. Akan tetapi hal ini serta
merta dapat dilaksanakan dengan mudah, mengingat kondisi negara berkembang dari
berbagai segi memiliki kesiapan yang masih jauh dari siap untuk mengadopsi
prinsip-prinsip yang ada dalam NPM ini.
Meskipun sebenarnya NPM bertujuan membuat sektor publik berjalan lebih
efektif dan menghasilkan pelayanan publik yang berkualitas yang berujung pada
meningkatnya kesejahteraan masyarakat, akan tetapi penerapan NPM dinegara
berkembang tidak jarang ditemukan gagal. Salah satu penyebabnya adalah masih
sulit menghilangkan kecenderungan buruk dalam birokrasi, sehingga penerapan
NPM dalam sektor publik di negara berkembang hanya padal tataran kerangka saja.
Meskipun demikian tidaklah salah untuk melihat kembali tujuan dari NPM
pada organisasi publik:
1. Pencapaian hasil (result) dan adanya tanggungjawab personal (personal
responsibility)
2. Membuat organisasi dan aparat organisasi lebih fleksibel
3. Membuat tujuan organisasi jelas dan mudah diukur dengan menggunakan
indikator-indikatornya
4. Membuat staf senior lebih memiliki komitmen politis pada pemerintah
5. Menjadikan organisasi publik dalam menjalankan aktivitasnya untuk lebih
bertindak sebagai steering (mengemudi) daripada rowing (mengayuh)
6. Untuk lebih mengurangi peran pemerintah dalam birokrasi melalui privatisasi

Tujuan yang diusung NPM sangatlah mengarah pada pembangunan organisasi


publik yang efektif dan efisien dalam melaksanakan fungsi pemerintah. Oleh
karenanya penguatan-penguatan dari berbagai sisi, terutama kesiapan sumberdaya
manusia yang akan melaksanakan berbagai fungsi manajemen dalam sektor publik
harus benar-benar disiapkan, disamping pembenahan pada tata kelola pemerintahan.
Konsep-konsep NPM terus semakin berkembang dan melahirkan berbagai
kritikan, karena disadari konsep ini tidak selalu sesuai ketikan diterapkan dinegara-
negara berkembang. Konsep NPM membutuhkan sumberdaya manusia yang telah
matang dan mapan baik pada masyarakat maupun sumberdaya manusia pada sektor
publik lainnya. Konsep ini memberikan berbagai pilihan kepada masyarakat luas
akan peran negara dalam penyediaan berbagai kebutuhan layanan publik digeser
kepada sektor privat, dan menjadikan “harga” berbanding lurus dengan tingkat
kepuasan jasa yang diperoleh. Konsep yang dikemukakan Denhardt (2003) ini
menjadi perdebatan ketika peran pemerintah yang sedianya memberikan pelayanan
publik secara adil dan merata kepada warga negaranya dan menjadi monopoli dalam
penyelenggaraan pelayanan publik, telah terminimalisir oleh mekanisme pasar yang
dianggap lebih meniciptakan efetifitas dan efisiensi dalam menjalankan birokrasi
pemerintah. Konsep NPM ini dianggap sulit berjalan dengan baik pada birokrasi
pemerintah, terutama pada birokrasi pemerintah tradisional dinegara-negara
berkembang. Perubahan sistem kerja secara drastis antara birokrasi tradisional
menuju birokrasi modern dianggap belum tepat diterapkan pada negara-negara
berkembang karena berbagai alasan, terutama alasan sumberdaya manusianya.
J. NEW PUBLIC SERVICE
Konsep NPS yang dikemukakan oleh Denhardt and Denhardt (2007), Terdapat
7 karakteristik utama yang membedakan NPS, NPM maupun OPA, adalah sebagai
berikut:
1. Serving, rather than steering. Peran penting yang berkembang dalam pelayanan
publik adalah untuk membantu masyarakat dalam mengartikan atau memahami
kepentingan mereka ketimbang mengatur dan mengarahkan masyarakata kearah
yang diinginkan. Dalam hal ini pemerintah lebih mengajak masyarakat untuk
bersama-sama merumuskan apa yang harus dilakukan dan merealisasikannya.
2. The public interest is the aim, not the by-product. Dalam hal ini pemerintah
dituntut untuk selalu mengenali kebutuhan dari masyarakatnya yang sangat
dinamis. Selain itu dalam paradigma NPS dituntut adanya tanggungjawab
bersama dari berbagai stakeholders.
3. Think strategically, Act democratically. Berpikir strategis berarti menyadari
bahwa suatu kegiatan pasti saling terkait, dengan kata lain dituntut adanya
sinergi yang berkesinambungan antar organisasi.
4. Serve citizens, not customers. Ciri NPM adalah menganggap masyarakat sebagai
pelanggan. NPM mengadopsi praktek-praktek pada sektor privat yang
berorientasi profit, maka keuntunganlah yang diutamakan bukan kepentingan
masyarakat. Sementara NPS menjadikan public perspective sebagai tujuan
utama.
5. Accountability is not simple. NPS adalah era keterbukaan informasi. Semua
kegiatan harus terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Masyarakat berhak
tahu apa yang telah, apa yang sedang dan apa yang akan dilakukan pemerintah.
6. Value people, not just productivity. Karena itulah dalam tata kerja transformasi
kelembagaan, Kenmenkeu, memberi value kepada pegawainya dengan adanya
pengembangan karier, dan sebaginya.
7. Value citizanships and public service above enterprenuership. Misalnya dalam
sektor privat dikenal dengan adanya penganggaran modal untuk belanja
infrastruktur. Sebuah proyek akan dinilai kelayakannya dari sudut pandang
ekonomi. Tetapi di sektor publik penganggaran modal dilakukan dengan analisis
biaya dan manfaat dengan melakukan estimasi nilai dari manfaat yang diterima
masyarakat (target outcome) sebagai manfaat yang dapat dikuatifikasikan.
karenanya kesejahteraan masyarakat adalah value tertinggi dari sudut pandang
NPS.

Paradigma New Public Service (NPS) merupakan konsep yang dimunculkan


melalui tulisan Janet V. Dernhart dan Robert B. Dernhat berjudul “The New Public
Service: Serving, not Steering”, terbit tahun 2003. Paradigma New Public Service
dimaksudkan untuk mengcounter paradigma administrasi yang menjadi arus utama
(mainstream) saat ini yakni paradigma New Public Management yang berprinsip
"Run Government Like a Businesss" atau "Market as Solution to the Ills in Public
Sector". Teori NPS memandang bahwa birokrasi adalah alat rakyat dan harus tunduk
kepada apapun suara rakyat, sepanjang suara itu rasioanal dan legimate secara
normatif dan konstitusional. Seorang pimpinan dalam birokrasi bukanlah semata-
mata makhluk ekonomi seperti yang diungkapan dalam teori NPM, melainkan juga
makhluk yang berdimensi sosial, politik, dan menjalankan tugas sebagai pelayan
publik. Untuk meningkatkan pelayanan publik yang demokratis, konsep NPS
menjanjikan perubahan nyata kepada kondisi birokrasi pemerintahan sebelumnya.
Pelaksanaan konsep ini membutuhkan keberanian dan kerelaan aparatur
pemerintahan, karena mereka akan mengorbankan waktu, dan tenaga untuk
mempengaruhi semua sistem yang berlaku. Alternatif yang ditawarkan konsep ini
adalah pemerintah harus mendengar suara publik dalam pengelolaan tata
pemerintahan. Meskipun tidak mudah bagi pemerintah untuk menjalankan ini,
setelah sekian lama bersikap sewenang-wenang terhadap publik. Di dalam paradigma
ini semua ikut terlibat dan tidak ada lagi yang hanya menjadi penonton.
Gagasan Denhardt & Denhardt tentang Pelayanan Publik Baru (PPB)
menegaskan bahwa pemerintah scharusnya tidak dijalankan seperti layaknya sebuah
perusahaan tetapi melayani masyarakat secara demokratis, adil, merata, tidak
diskriminatif, jujur, dan akuntabel. Disini pemerintah harus menjamin hak-hak warga
masyarakat, dan memenuhi tanggung jawabnya kepada Paradigma NPS masyarakat
dengan mengutamakan kepentingan warga masyarakat. "Citizens First" harus
menjadi pegangan atau semboyan pemerintah (Denhardt & Gray, 1998).
NPS berakar dari beberapa teori, yang meliputi:
1. Teori tentang demokrasi kewarganegaraan, perlunya pelibatan warganegara
dalam pengambilan kebijakan dan pentingnya deliberasi untuk membangun
solidaritas dan komitmen guna menghindari konflik.
2. Model komunitas dan masyarakat sipil, akomodatif terhadap peran masyarakat
sipil dengan membangun social trust, kohesi sosial, dan jaringan sosial dalam
tata pemerintahan yang demokratis.
3. Teori organisasi humanis dan administrasi negara baru, administrasi negara
harus fokus pada organisasi yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan (human
beings) dan respon terhadap nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan isu-isu sosial
lainnya.
4. Administrasi negara postmodern mengutamakan dialog (dirkursus) terhadap
teori dalam memecahkan persoalan publik daripada menggunakan one best way
perspective. Dilihat dan teori yang mendasari munculnya NPS, tampak bahwa
konsep NPS mencoba mengartikulasikan menganalisis persoalan-persoalan
publik. Oleh karena itu, diliat berbagi teori dalam dari berbagai aspek, menurut
Denhardt dan Denhardt paradigima New Public Service memiliki perbedaan
karakteristik dengan Old Public Administration dan New Public Management.

Adapun prinsip-prinsip yang ditawarkan Denhart & Denhart (2007) adalah


sebagai berikut:
1. Melayani warga negara, bukan customer (Serve Citizens, Not Customer).
2. Mengutamakan kepentingan publik (Secks the Public Interest).
3. Kewarganegaraan lebih berharga daripada kewirausahaan (Value Citizenship
over Entrepreneurship).
4. Berpikir strategis, bertindak demokratis (Think Strategically, Act
Democratically).
5. Tahu kalau akuntabilitas bukan hal sederhana (Recognize that accountability is
not Simple).
6. Melayani ketimbang mengarahkan (Serve Rather than Steer).
7. Menghargai manusia, bukan sekedar produktivitas (Value People, Not Just
Productivity).
Adapun dimensi Pengukur Keberhasilan dari diterapkannya New Pulic Service.
Keberhasilan penerapan konsep standar dan kualitas pelayanan publik yang minimal
memerlukan dimensi yang mampu mempertimbangkan realitas dalam mengelola
sektor-sektor publik yang lebih partisipatif, transparan, dan akuntabel.
Ada sepuluh dimensi untuk mengukur keberhasilan tersebut:
1. Tangible: Menekankan pada penyediaan fasilitas, fisik, peralatan, personil, dan
komunikasi.
2. Reability: Kemampuan unit pelayanan untuk menciptakan yang dijanjikan
dengan tepat.
3. Responsiveness: Kemauan untuk membantu para provider untuk bertanggung
jawab terhadap mutu layanan yang diberikan.
4. Competence: Tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan, dan keterampilan yang
baik oleh aparatur dalam memberikan layanan.
5. Courtessy: Sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan
pelanggan serta neu melakukan kontak atau hubungan pribadi.
6. Credibility: Sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan
masyarakat.
7. Security: Jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin dan bebas dari bahaya
dan resiko.
8. Access: Terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan.
9. Communication: Kemampuan pemberi layanan untuk mendengarkan suara,
keinginan, atau aspirasi pelanggale untuk selalu menyampaikan sekaligus
kesediaan informasi baru kepada masyarakat.
10. Understanding: Customer Melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan
pelanggan

K. RANGKUMAN
1. Manajemen Publik adalah proses perencanaan, pengorganisasian,
kepemimpinan, dan pengendalian upaya anggota organisasi dan penggunaan
seluruh sumberdaya organisasi lainnya demi tercapainya tujuan organisasi yang
telah ditetapkan.
2. Ciri-ciri New Public Management, yaitu: a) Memfokuskan aktivitasnya, b)
Melihat administrasi publik (birokrasi) pada segi kinerja (performance
appraisal) dan efisiensi, c) Pemecahan birokrasi publik menjadi badan-badan
kecil, d) Menggunakan landasan pasar (quasi market), e) Adanya pemangkasan
ekonomi biaya tinggi, f) Gaya manajemen yang berorientasi pada output
3. Komponen utama New Public Management, yaitu: a) Manajemen profesional di
sektor publik, b) Adanya standar kinerja dan ukuran kinerja, c) Penekanan yang
lebih besar terhadap pengendalian output dan outcome, d) Pemecahan unit-unit
kerja di sektor publik, e) Menciptakan persaingan di sektor publik, f)
Pengadopsian gaya manajemen di sektor bisnis ke dalam sektor publik, dan g)
Penekanan pada disiplin dan penghematan yang lebih besar
4. 7 karakteristik utama NPS, yaitu: a) Membantu masyarakat, B) Mengenali
kebutuhan dari masyarakatnya, c) Berpikir strategis, d) Public perspective
sebagai tujuan utama, e) Keterbukaan informasi, f) Pengembangan karier, g)
Kesejahteraan masyarakat
5. Prinsip NPS, yaitu: a) Melayani warga negara, b) Mengutamakan kepentingan
publik, c) Kewarganegaraan lebih berharga, d) Berpikir strategis, e)
Akuntabilitas bukan hal sederhana, f) Melayani ketimbang mengarahkan, dan g)
Menghargai manusia

L. PERTANYAAN BAHAN DISKUSI


1. Menurut pemahaman anda, jelaskan apa yang dimaksud manajemen publik!
2. Jelaskan yang dimaksud dengan NPM!
3. Sebutkan dan jelaskan komponen utama NPM!
4. Jelaskan yang dimaksud dengan NPS!
5. Sebutkan dan jelaskan karakteristik NPS!

M. DAFTAR PUSTAKA
Darmanto. 2014. Pengantar Ilmu Administrasi. Tangerang Selatan: Universitas
Terbuka.
Denhardt, R.B. & J.V. Denhardt, 2003. The New Public Service. Public
Administration Review, Vol 60, No. 6.
Ginting, S, M. 2016. Menuju Good Governance Dalam Pelaksanaan Rekomendasi
Ombudsman Republik Indonesia. Tesis. Universitas Sumatera Utara.
Lamangida, M. 2018. Manajemen Aset Publik Studi Pengelolaan Danau Limboto Di
Kabupaten Gorontalo. Disertasi. Universitas Negeri Makassar.
Mahmudi. 2003. New Public Management (NPM): Pendekatan Baru Manajemen
Sektor Publik. Jurnal Sinergi, Vol. 6 No. 1.
Rohman. 2017. Dasar-Dasar Manajemen. Malang: Inteligensia Media.
Said, A. L. 2018. Corporate Social Responsibility dalam Perspektif Governance.
Yogyakarta: Deepublish.
Sjofjan, M. 2014. Hubungan Antara Administrasi, Organisasi, dan Manajemen.
Tangerang Selatan: Universitas Terbuka
Syafiie, I. K. 2010. Ilmu administrasi publik. Jakarta: Rineka Cipta.
Tahir, A. 2014. Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah. Bandung: Alfabeta.
Ullum, D. M. 2016. Teori Administrasi Negara Manajemen Publik. Makalah.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Universitas Muhammadiyah
Palangkaraya.
Minogue, M., Polidano, C. & Hulme, D. 2000. Beyond the New Public Management:
Changing Ideas and Practices in Governance. Edward Elgar, Cheltenham,
UK, OECD. Business Sector Advisory Group on Corporate Governance.
Soewarno Handayaningrat. 2002. Pengantar Ilmu Administrasi dan Manajemen.
Jakarta : Haji Mas Agung.
MODUL 2
Manajemen Publik Pada Era Digital
BAB 2
MANAJEMEN PUBLIK PADA ERA DIGITAL

A. PENDAHULUAN
Salah satu bentuk perubahan yang paling nyata adalah lingkungan globalisasi.
Interaksi antarindividu, antarkomunitas, hingga antarbangsa terjadi dengan cepat.
Dunia terhubunghanya disekat oleh batas maya. Perubahan selalu memberikan tanda
nyata dan memiliki jejak dalam kehidupan manusia. Perubahan dalam fase
kehidupan manusia ditandai banyak hal, salah satunya adalah revolusi digital dan era
dirupsi teknologi yang saat ini populer dengan istilah Revolusi Industri 4.0 (RIN.4.0)
yang memiliki karakteristik unik yakni mengaplikasikan artificial intelligence dalam
aktivitas organisasional.
RIN.4.0 diprediksi para pakar akan menjadi era yang dapat menentukan hidup
matinya atau maju mundur-mudurnya suatu organisasi termasuk organisasi
pemerintah/negara. Bola salju yang sudah menggelinding, menunjukkan beberapa
organisasi bisnis telah terlindas dan beberapa negara mengalami goncangan yang
memunculkan berbagai permasalahan yang serius. Bahkan jika tidak berhati-hati
beberapa negara sudah masuk sebagai “negara yang gagal”. Bola salju tersebut akan
semakin membesar seiring dengan temuan-temuan baru dalam bidang teknologi
informasi. Bagi organisasi termasuk organisasi pemerintah yang cerdas dan cepat
melakukan perubahan dan mampu memanfaatkan peluang-peluang RIN.4.0 akan
memiliki daya saing yang tinggi, sebaliknya jika tidak maka akan menjadi korban.
Oleh karena itu, setiap organisasi utamanya pemerintah seharusnya segera
tanggap terhadap berbagai faktor lingkungan yang baik langsung maupun tidak
memengaruhinya. Para akademisi dan praktisi administrasi publik harus segera
melakukan berbagai upaya, sebab RIN.4.0 bukan hanya ranah industri semata tetapi
pengaruhnya telah memasuki semua kehidupan termasuk organisasi pemerintah.
Para pemikir awal administrasi publik (Weber, Fayol, Taylor, dan diikuti pakar lain
termasuk Fred Riggs) berdasarkan kajian dan pemikirannya mengemukakan
pentingnnya teknologi sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi praktik
administrasi publik. Para pakar administrasi publik membuktikan melalui penelitian
bahwa teknologi informasi sebagai salah satu anak kandung revolusi industri, mampu
meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi serta meningkatkan mutu
pelayanan publik.

B. TANTANGAN ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0


Secara konseptual, tantangan revolusi industri revolusi industri diawali dari
industri 1.0, 2.0, 3.0, hingga industri 4.0. Fase industri hakikatnya merupakan real
change dari perubahan yang ada. Industri 1.0 ditandai dengan mekanisasi produksi
untuk menunjang efektifitas dan efisiensi aktivitas manusia, Industri 2.0 dicirikan
oleh produksi masal dan standarisasi mutu, Industri 3.0 ditandai dengan penyesuaian
produksi massal dan fleksibilitas manufaktur berbasis otomatisasi dan robot, dan
Industri 4.0 yang kemudian disebut Revolusi Industri 4.0 (RIN.4.0) adalah suatu
istilah yang berasal dari sebuah proyek pemerintah Jerman untuk mempromosikan
komputerisasi manufaktur dan hadir menggantikan industri revolusi industri 3.0
ditandai dengan Cyber Physical System (CPS) dan kolaborasi manufaktur (Hermann
et al, 2016).
Menurut Lee,et.al (2013) bahwa RIN.4.0 ditandai dengan peningkatan
digitalisasi manufaktur yang didorong oleh empat faktor, yakni:
1. Peningkatan volume data, kekuatan komputasi, dan konektivitas
2. Munculnya analisis, kemampuan,dan kecerdasan bisnis
3. Terjadinya bentuk interaksi baru antara manusia dengan mesin
4. Perbaikan instruksi transfer digital ke dunia fisik, seperti robotika.

Lifter dan Tschiener (2013) menambahkan, prinsip dasar RIN.4.0 adalah


penggabungan mesin, alur kerja, dan sistem dengan menerapkan jaringan cerdas di
sepanjang rantai dan proses produksi untuk mengendalikan satu sama lain secara
mandiri.
Hermann,et.al (2016) menambahkan, ada empat desain prinsip RIN.4.0
1. Interkoneksi antara kemampuan mesin, perangkat, sensor dengan orang untuk
terhubung dan berkomunikasi satu sama lain melalui Internet of Things (IoT)
atau Internet of People (IoP). Prinsip ini membutuhkan kolaborasi, standar, dan
keamanan.
2. Transparansi informasi merupakan kemampuan sistem informasi untuk
menciptakan salinan virtual dunia fisik dengan memperkaya model digital
dengan data sensorter termasuk analisis data dan penyediaan informasi.
3. Bantuan teknis yang meliputi, (a) kemampuan sistem bantuan untuk mendukung
manusia dengan menggabungkan dan mengevaluasi informasi secara sadar
untuk membuat keputusan yang tepat dan memecahkan masalah mendesak
dalam waktu singkat, (b) kemampuan sistem untuk mendukung manusia dengan
melakukan berbagai tugas yang tidak menyenangkan, terlalu melelahkan atau
tidak aman, dan (c) meliputi bantuan visual dan fisik
4. Keputusan terdesentralisasi yang merupakan kemampuan sistem fisik maya
untuk membuat keputusan sendiri dan menjalankan tugas seefektif mungkin.

Baur dan Wee (2015) memetakan RIN.4.0 dengan istilah Compas digital, yakni
komponen tenaga kerja (labor), harus memenuhi persyaratan, yakni memiliki
kemampuan kolaborasi manusia dengan robot, kontrol dan kendali jarak jauh,
manajemen kinerja digital, dan otomatisasi pengetahuan kerja. Demikian pula pada
komponen lainnya digunakan sebagai instrumen implementasi RIN.4.0. Revolusi
digitaldan era disrupsi teknologi adalah istilah lain dari RIN.4.0. Disebut revolusi
digital karena terjadinya penyebaran secara cepat (proliferasi) komputer dan
otomatisasipencatatan di semua bidangakan membuat pergerakan dunia industri dan
persaingan kerja menjadi tidak linear. RIN.4.0 dikatakan era disrupsi teknologi
karena otomatisasi dan konektivitas.
Pengertian mengenai Industri 4.0 itu sebagaimana tersebut di atas sendiri
beragam. Hal ini disebabkan karena Industri 4.0 masih dalam tahap penelitian dan
pengembangan. Menurut Angela Merkel (2014), Industri 4.0 adalah transformasi
komprehensif dari keseluruhan aspek produksi di industri melalui penggabungan
teknologi digital dan internet dengan industri konvensional. German Trade and
Invest dalam MacDougall (2014) menjelaskan lebih detail bahwa
“Smart industry or Industry 4.0 refers to the technological evolution from
embedded systems to cyber-physical system. Industry 4.0 represents the coming
fourth industrial revolution on the way to an Internet of Things, Data and
Services. Decentralized intelligence helps create intelligent object networking
and independent process management, with the interaction of the real and
virtual worlds representing a crucial new aspect of the manufacturing and
production process”.
Berdasar penjelasan tersebut, dapat disimpulkan ada beberapa teknologi yang
menjadi penopang RIN.4.0. Teknologi tersebut adalah Cyber-Physical System,
Internet dan Jaringan, Data and Services serta teknologi manufaktur. Penjelasan yang
lebih mudah dipahami mungkin dapat mengacu pada pendapat Federasi Industri
Jerman/BDI (2016) yang menjelaskan bahwa Industri 4.0 memiliki sifat sebagai
berikut.
1. Social Machines. Mesin-mesin yang canggih saling berinteraksi seperti layaknya
manusia dengan media sosial online. Mesin-mesin bekerja sama dan
mengorganisasi diri mereka untuk mengatur proses produksi sesuai jadwal.
Bahkan, mereka mampu memprediksi secara dini jika ada kemungkinan masalah
sehingga dapat segera ditangani (Lee dkk, 2013). Hal ini mengakibatkan proses
produksi menjadi lebih efektif dan efisien. Selain itu, mereka juga terhubung
secara real time dengan sistem IT di perusahaan sehingga dapat berkomunikasi
dengan bagian maintenance, penjualan, R & D atau bagian yang lainnya.
2. Global Facility dan Virtual Production. Mesin-mesin perusahaan terhubung ke
sistem penyedia dan pelanggan. Jika terjadi perubahan maka mereka akan
langsung mencari solusi yang optimal dan bertindak secara independen
(misalkan jika penyedia tidak bisa mengirim material). Operator dapat
menggunakan teknologi virtual (augmented reality) untuk mengawasi dan
mengendalikan jalannya proses produksi. Kondisi ini memungkinkan
pengendalian produksi dapat dilakukan pada jarak jauh sehingga pekerja lebih
leluasa. Sebagai tambahan, simulasi virtual juga dapat membantu tenaga ahli
perusahaan untuk mengoptimasi proses produksi secara real time.
3. Smart Products. Tiap produk yang dihasilkan menyimpan data (operasi, status,
material, asal penyedia, konsumen, dsb) dalam bentuk RFID chips. Melalui
teknologi ini, produk yang belum jadi mampu memberitahu mesin apa yang
harus dilakukanuntuk memprosesnya. Bahkan,pelanggan dapat terlibat untuk
memantau proses produksinya.
4. Smart Services. Produk yang telah dipasarkan dan berada di tangan konsumen
masih tetap mampu mengumpulkan dan mengirim data terkait perilaku
penggunaan produk tersebut. Selanjutnya, data yang terkumpul akan dianalisis
oleh produsen. Produsen akan melakukan perbaikan dan pengembangan produk
sehingga mampu memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pelanggan.

Kehadiran Industri 4.0 akan memberikan manfaat dalam hal peningkatan


produktivitas, efisiensi, fleksibilitas dan tingkat kustomisasi produk yang tinggi bagi
dunia industri. Namun di sisi lain, setiap perubahan dapat membawa dampak lain
yang merugikan. Menurut pendapat Schwab (2015), kehadiran Industri 4.0 akan
memiliki beberapa dampak yaitu:
1. Adanya kesenjangan yang luar biasa terkait tenaga kerja “low-skill/low-pay” dan
“high-skill/high-pay”.
2. Pengambil keuntungan terbesar hanyalah pihak yang memiliki modal dan
teknologi.
3. Ketidakstabilan dunia bisnis karena perubahan yang sangat cepat
4. Ketidaksiapan pemerintah dalam mengimbangi perubahan yang cepat
dimasyarakat.
5. Isu keamanan dan privasi data.
6. Munculnya fenomena “robotisasi” kemanusiaan.

Wolter (dalam Sung, 2017) mengidentifikasi berbagai tantangan yang


dihadapi, yaitu,
1. Masalah keamanan teknologi informasi.
2. Keandalan dan stabilitas mesin produksi.
3. Kurangnya keterampilan yang memadai.
4. Keengganan untuk berubah oleh para pemangku kepentingan.
5. Hilangnya banyak pekerjaan karena berubah menjadi otomatisasi.

Walaupun tantangan RIN 4.0 lebih bernuansa di sektor bisnis, namun oleh
karena dalam good governance tiga aktor yakni pemerintah/negara, dunia bisnis, dan
masyarakat merupakan suatu sistem dalam penyelenggarana pemerintahan negara
maka apa yang dialami dunia bisnis baik langsung maupun tidak juga memengari
pemerintah/negara maupun masyarakat. Dengan kata lain, RIN.4.0 merupakan faktor
ekologis administrasi publik yang harus diperhitungkan secara cermat.
Ulasan di atas menunjukkan bahwa pengaruh Revolusi Industri 4.0 telah
mengubah konfigurasi kelimuan administrasi publik yang semula serba manual dan
bahkan serba negara, yang menuntut perubahan mendasar yakni pelibatan secara
penuh antara pemerintah/Negara, dunia usaha, dan masyarakat yang berbasis
teknologi informasi atau penerapan e-government. Walaupun ada sejumalah kendal
namun manfaat sangat banyak dalam penerapan e-government utamanya di bidang
pelayanan publik. Pengalaman beberapa Negara yang telah menerapkan e-goverment
telah berpengaruh terhadap tingkat daya saing bangsa. Jika tidak segera dilakukan
maka daya saing suatu bangsa dalam hal ini bangsa Indonesia akan semakin
menurun.

C. ADMINISTRASI PUBLIK ERA INDUSTRI 4.0


Mencermati tantangan pada era RIN.4.0 tersebut, dari perspektif administrasi
publik, Indonesia menghadapi tantangan yang semakin berat. Beberapa tantangan
Indonesia yang harus segera dicari solusinya antara lain:
1. Ketidaksiapan pemerintah dalam mengimbangi perubahan yang cepat
dimasyarakat.
2. Keengganan untuk berubah oleh para pemangku kepentingan.
3. Ketidakstabilan dunia bisnis karena perubahan yang sangat cepat.
4. Hilangnya banyak pekerjaan karena berubah menjadi otomatisasiadanya
kesenjangan yang luar biasa terkait tenaga kerja “low-skill/low-pay” dan “high-
skill/high-pay”.
5. Isu keamanan dan privasi data.
6. Munculnya fenomena “robotisasi” kemanusiaan.

Lambannya informasi/kebijakan pemerintah diterima masyarakat juga sering


dimanfaatkan oleh oknum yang kurang bertanggungjawab untuk mengambil
keuntungan untuk dirinya sendiri. Lebih dari itu, penyebaran informasi yang tidak
didukung teknologi informasi yang memadai telah berpengaruh terhadap efektifitas
dan efisiensi penyelenggaraan administrasi publik. Perkembangan problem dan isu
publik yang semakin kompleks akan menimbulkan krisis kepemerintahan. Negara
menjadi lemah dan tidak berdaya menghadapi perubahan besar-besaran akibat proses
globalisasi ekonomi, politik dan teknologi.
Namun disisi lain, apabila suatu negara memiliki respon dan kesiapan yang
baik dalam menyikapi dampak dari globalisasi maka negara tersebut akan menuai
keuntungan dari kemajuan-kemajuan, seperti misalnya dalam hal kemajuan
teknologi. Kemajuan teknologi merupakan conditio sine quanon dari RIN.4.0
globalisasi yang dapat dimanfaatkan langsung oleh suatu negara dalam banyak hal,
termasuk dalam menjalankan sistem administrasi publiknya. Salah satunya dengan
penerapan sistem e-government, yaitu penerapan atau penggunaan teknologi
informasi oleh pemerintah untuk memberikan pelayanan terhadap publik, urusan
urusan bisnis, serta hal hal lain yang berkenaan dengan pemerintahan. Dalam
kegiatan admisnistrasi publik, e-government dapat meningkatkan efisiensi,
kenyamanan, serta aksesbilitas yang lebih baik dari pelayanan publik.
Isu krisis administrasi publik salah satunya yang muncul adalah kredibilitas
birokrat pemerintah. Kerinduan pada pemerintah yang akuntabel dan profesional
menjadi impian besar yang diharapkan semua kalangan. Terlebih perihal transparansi
yang menjadi syarat mutlak sebuah pemerintahan di negara demokrasi. (Elli: 2001).
Munculnya banyak kasus pelanggaran kinerja dari para birokrat publik seperti halnya
kasus korupsi, kolusi, dan nepostime tersebut salah satunya dikarenakan kurangnya
akses publik untuk ikut serta memantau kegiatan pemerintahan serta kurangnya
akuntabilitas dari pemerintahan itu sendiri.Maka dari itu, disinilah dapat
dimunculkan peran atau manfaat dari kemajuan teknologi tersebut untuk menunjang
kinerja para birokrat publik tersebut sekaligus menciptakan proses akuntabilitas
publik yang baik dengan sistem e-government.
Dalam rangka mewujudkan konsep e-government tersebut ada beberapa
kendala yang dihadapi pemerintah saat ini, yaitu kurangnya ketersediaan
infrastruktur yang memadai, biaya penggunaan jasa telekomunikasi yang masih
cenderung mahal, serta masih banyaknya penyelenggaraan pelayaan publik baik di
pusat dan daerah yang belum mengkoordinir layanan publiknya dengan fasilitas
internet. Namun pada akhirnya, apabila konsep e-government tersebut berhasil
diterapkan dalam birokrasi, maka akan memberikan manfaat langsung kepada
masyarakat dalam hal pelayanan publik, seperti halnya peningkatkan efisiensi dan
efektifitas pelayanan publik, peningkatkan transparansi, kontrol, dan akuntabilitas
penyelenggaraan pemerintah untuk mewujudkan pemerintahan yang bebas KKN,
serta dapat memberdayakan masyarakat dan pihak-pihak lain sebagai mitra
pemerintah dalam proses pengambilan keputusan dalam merumuskan kebijakan
publik secara merata dan demokratis.
Beberapa kendala yang dihadapi administrasi publik Indonesia dalam
penerapan e-government menurut (Hardjaloka (2014) adalah:
1. Masih minimnya peraturan yang mengatur mengenai penerapan e-government
baik di tingkat pusat maupun daerah.
2. Belum ada tradisi saling berbagai informasi (no culture of sharing).
3. No culture documenting.
4. SDM yang profesional di bidang IT dan masyarakat yang sebagian besar masih
minim pengetahuan di bidang IT masih terbatas pada penggunaan HP.
5. Infrastruktur yang belum memadai.
6. Akses yang terbatas pada tempat-tempat tertentu.

Hasil Kajian dari beberapa negara (Indrajit, 2013), yakni:


1. Kendala yang berkaitan dengan penciptaan kunci sukses (key success factor)
dalam pengembangan e-government yang menghubungkan masyarakat dengan
pemerintah (front office technology). Masalah yang dihadapi dalam hal ini
adalah:
a. Jenis teknologi
b. Keberadaan yang merata di seluruh wilayah
c. Strategi yang harus dijalankan.
2. Kendala yang berkaitan dengan keterlibatan lembaga-lembaga lain di luar
pemerintah (pihak komersial swasta maupun pihak-pihak nonkomersial lainnya)
dalam mengembangkan infrastruktur maupun supra struktur e-government yang
dibutuhkan yakni:
a. Kendala keterlibatan pihak nonpemerintah
b. kendala yg berkaitan dengan penyusunan strategi institusi khususnya
masalah biaya investasi dan operasional sehingga program-program
perubahan e-government dapat berjalan
c. Kendala Pembiayaan, Merencanakan, Mengembangkan, dan implementasi
konsep e-goverment.

Untuk maka beberapa prinsip pengelolaan perubahan:


1. Pemerintah harus fokus terhadap pengembangan e-government
2. Pemerintah perlu memikirkan kerangka insentif bagi mereka yg berhasil
menerapkan e-government
3. masalah pembiayaan e-government.

Pemerintah sebagai aktor utama dalam perumusan, penetapan, implementasi,


monitoring, dan evaluasi kebijakan publik harus terus menerus meningkatkan
kemampuan analisisnya agar kebijakan yang dihasilkan sesuai dengan keputuhan
masyarakat (publik). Intinya negara harus selalu hadir disamping masyarakat yang
menuntut perubahan dalam pelayanan publik. Dilihat perspektif RIN 4.0, tampak
bahwa cukup banyak kebijakan yang belum mampu menjawab tantangna dan
tuntutan revolusi industri saat sekarang. Cukup banyak kebijakan publik yang sudah
usang bahkan kebijakan yang relatif barupun belum mampu mengantisipasinya.
Kelambanan dalam antisipasi antara lain disebabkan mesin birokrasi masih berjalan
dengan prosedur yang sangat panjang dan berbelit-belit. Sebagai contoh prosedur
untuk ijin investasi yang masih cukup lama yakni 96 hari sementara pesaing
Indonesia terdekat yakni Singapura sudah mampu melayani dalam 4 hari saja
(Basuki, 2013).

D. STRATEGI PENERAPAN PELAYANAN PUBLIK BERBASIS E-


GOVERNMENT DI INDONESIA PADA ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Era e-governance sudah masuk ke Indonesia selama kurang lebih dua
dasawarsa terakhir. Seluruh instansi publik berkewajiban untuk memberikan
informasinya dan melakukan kustomisasi agar laman internetnya agar dapat
interaktif dengan masyarakat, di mana era baru ini mengubah hubugan antara warga
negara, bisnis dan cabang pemerintahan lainnya (World Bank, 2011) dan berdampak
pada pelayanan servis yang lenih baik kepada masyarakat, peningkatan hubungan
antara pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat umum (public) sehingga terdapat
keterbukaan (transparency) yang membuat kepercayaan hubungan antara berbagai
pihak meningkat, serta pemberdayaan masyarakat melalui informasi yang mudah
diperoleh dan yang tidak kalah penting adalah terwujudnya pemerintah yang lebih
efisien (Rahardjo, 2001).
Di Indonesia, transformasi e-government senantiasa berlangsung, yang
ditandai dengan beberapa fenomena publish (instansi publik menampilkan data dan
informasi kepada masyarakat mengenai suatu pelayanan publik, namun bersifat satu
arah), interact (jenis pelayanan publik di mana pemberi pelayanan dapat berinteraksi
dengan masyarakat, sehingga sudah menggunakan modus dua arah melalui e-mail,
live chat, videoconference, dan fasilitas interaksi daring lainnya, transact (jenis
pelayanan publik yang memungkinkan masyarakat dapat berinteraksi dengan
pemberi pelayanan, maupun melakukan transaksi jual-beli dengan pemberi
pelayanan melalui platform e-government yang telah disediakan (Indrajit, 2006).
Saat ini, hampir semua pelayanan publik telah menggunakan sistem informasi,
mulai dari pengajuan sim secara online, pengajuan paspor secara online, sistem
informasi kepegawaian yang telah dibuat secara online, sistem perpajakan secara
online, hingga pelayanan transportasi yang dapat dipesan secara online. Namun
demikian, masih banyak K/L/D yang belum maksimal dalam berinovasi
memanfaatkan kecanggihan teknologi yang ada saat ini. Ini adalah tugas bangsa
Indonesia secara bersama-sama untuk mendorong optimalisasi era revolusi industri
4.0 dan society 5.0 untuk mengembangkan celah-celah yang belum terisi dalam
melayani masyarakat secara online dan terdigitalisasi.
Revolusi industri 4.0 membuat manusia dapat melakukan hal-hal yang pada
masa sebelumnya hanya merupakan fiksi ilmu pengetahuan belaka. Selain dapat
melakukan percakapan suara dan video jarak jauh secara realtime, manusiapun
mampu menciptakan alat-alat yang membuat manusia dapat mengalami suatu
kondisi virtual melalui instrumen virtual reality (VR), hingga mengerjakan sesuatu
dari jarak jauh melalui teknologi jaringan nirkabel generasi kelima atau 5G.
Kemudahan teknologi wajib untuk dikuasai, lalu diolah agar dapat menunjang
pelayanan publik sebaik mungkin. Sebagaimana diketahui bersama, saat ini
masyarakat dapat mengerjakan banyak sekali pekerjaan hanya dengan menggunakan
ponsel pintar atau komputer yang masyarakat miliki. Sebagai contoh, mentransfer
uang, membayar tagihan e-commerce atau tagihan listrik dan PDAM, hingga
membuka rekening baru dapat dilakukan melalui ponsel pintar. Begitu pula dalam
pelayanan publik, pelaporan pajak saat ini dapat dilakukan secara daring,
permohonan pembuatan paspor, visa, hingga pelaporan pajak juga dapat secara
daring. Ke depannya, lembaga-lembaga publik didorog agar dapat melakukan
pelayanan secara daring seperti membayar pajak kendaraan bermotor, pendaftaran
cek fisik secara daring, pengajuan investasi modal dan perizinan secara daring,
hingga pengajuan KTP secara daring. Tentu saja dokumen-dokumen yang dapat
diajukan secara daring harus disertai dengan cek fisik petugas dengan mendatangi
lokasi orang yang mengajukannya agar tidak terjadi manipulasi data.
Secar umum, dapat dielaborasi beberapa strategi untuk penerapan pelayanan
publik di era Revolusi Industri 4.0, yaitu sebagai berikut.
1. Penerapan Sistem Satu Data
Dalam menyelenggarakan pelayanan berbasis e-government, seringkali
terdapat perbedaan data antara satu instansi pemerintah dengan instansi lainnya.
Perbedaan data ini mengakibatkan sulitnya pemerintah mengambil kebijakan
berbasis data yang valid dan terukur. Selain itu, sulit untuk menggabungkan data
dari seluruh instansi pemerintah karena adanya data yang tumpang tindih,
overlapping, atau berbeda tipe data dan formatnya. Untuk itu, dalam rangka
memberikan pelayanan dan informasi yang reliabel kepada masyarakat, maka
data yang ada di pemerintah harus diseragamkan dari segi format, kriteria
pengumpulan, hingga instansi yang berhak mensupply data. Hal ini sangat
krusial untuk dilakukan, karena, sebab basis dari era pelayanan revolusi industri
4.0 adalah data.
Berkaitan dengan hal tersebut, Presiden Joko Widodo telah
menandatangani Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data
Indonesia. Langkah ini sangat penting dalam upaya bangsa Indonesia mengatur
data yang dimilikinya, sehingga pemerintah dapat mengumpulkan data dalam
satu pintu secara akurat, mutakhir, terpadu, serta mudah diakses.
Pemerintah mewajibkan kepada segenap jajarannya agar data mememuhi
aspek interoperabilitas data, yaitu konsisten dalam sintaks/bentuk,
struktur/skema/komposisi penyajian, dan semantik/artikulasi kebacaan. Selain
itu, interoperabilitas berarti bahwa data dapat disimpan dalam format terbuka
yang dapat dibaca oleh sistem elektronik.
Dengan adanya basis data yang sama di seluruh instansi pemerintah, maka
pemerintah akan lebih mudah dalam mengambil suatu kebijakan dengan
landasan kecerdasan buatan yang menganalisis big data kependudukan, sosial,
maupun ekonomi masyarakat Indonesia. Big data ini dapat digunakan juga untuk
menghitung prediksi atas keadaan negara Indonesia di masa-masa mendatang.
2. Penggunaan Model Penerimaan Teknologi sebagai Acuan Pengembangan
Sistem E-Government
Pemerintah bersama organisasi hybrid (organisasi swasta maupun
masyarakat sipil yang juga memberikan pelayanan publik) harus memikirkan
berbagai faktor sebelum menjalankan e-government, dari sisi penggunanya. Jika
tidak, maka sistem e-government yang dijalankan tidak dapat digunakan secara
maksimal oleh masyarakat. Salah satu model pengukuran kemudahan teknologi
yang populer digunakan adalah Technology Acceptance Model (TAM).
Pengukuran tingkat penerimaan teknologi ini dibutuhkan untuk
melakukan penyesuaian dan kustomisasi terhadap sistem e-government
berdasarkan keinginan dan kebutuhan masyarakat, khususnya para pengguna
layanan. Pengukuran ini dapat dilakukan menggunakan metode wawancara,
penyebaran angket, stakeholders meeting, atau metode lainnya yang relevan.
3. Strategi Whole of Government dalam Pemberian Pelayanan
Whole of Government (WoG) adalah sebuah konsep dimana instansi
pelayanan publik bekerja lintas batas atau lintas sektor guna mencapai tujuan
bersama dan sebagai respon terpadu pemerintah terhadap isu-isu tertentu. WoG
merupakan pendekatan yang menekankan bagaimana instansi pelayanan publik
bekerja lintas batas atau lintas sektor guna mencapai tujuan bersama dan sebagai
respon terpadu pemerintah terhadap isu-isu tertentu. WoG merupakan
pendekatan yang menekankan aspek kebersamaan dan menghilangkan sekat-
sekat sektor yang selama ini terbangun (Australia Public Service Commission,
2004). Dengan pendekatan ini, instansi harus saling bekerjasama dan
mendukung untuk mewujudkan pelayanan publik. Tidak boleh ada ego sektor
dan masyarakat menganggap pemerintah adalah satu.
Beberapa sektor juga dapat disatukan dan menjadi sebuah gugus tugas
yang semua pengaduan masyarakat diberikan kepada satu pintu, contohnya yang
pengaduan tentang taman, jalan, dan penerangan cukup ditujukan ke sebuah
instansi lintas Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah yang menangani
masalah jalan. Dengan revolusi industri 4.0, pemerintah dapat bergabung dalam
sebuah platform layanan digital berbasis aplikasi atau website. Selanjutnya,
pengaduan dan konfirmasi penyelesaiannya dilakukan secara satu pintu, namun
implementasi pekerjaannya dikerjakan oleh instansi spesifik yang terkait tanpa
masyarakat harus tahu siapa yang mengerjakan dan alurnya.
4. Pelaksanaan Pengaturan Kerja Fleksibel bagi Aparatur Sipil Negara (ASN)
Layanan berbasis e-government adalah sebuah solusi yang tepat dalam
menyelesaikan patologi pelayanan publik di era digital saat ini. Dalam
mewujudkannya, dibutuhkan perubahan karakter, mentalitas, pola pikir ASN,
dan juga reformasi sistem dan pola kerja yang berbasis teknologi informasi.
Seorang ASN harus berpikir pintar, bahwa apabila pelayanan telah
terdigitalisasi, pekerjaan birokrat menjadi semakin mudah, tertib, dan rapi.
Dengan pelayanan yang lebih cepat, masyarakat akan lebih mengapresiasi dalam
bentuk kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku dan masyarakat yang
menerima pelayanan menjadi semakin banyak.
Manfaat yang langsung dirasakan adalah terwujudnya pemangkasan biaya
dan waktu, serta meminimalisir kemungkinan terjadinya praktik korupsi dalam
penyelenggaraan pelayanan. Tujuan akhirnya, tentu saja untuk meningkatkan
kualitas pelayanan publik. Revolusi teknologi memberikan dampak yang tidak
sedikit bagi kaum pekerja di Indonesia. Menurut McKinsey & Company,
diperkirakan sebanyak 23 juta pekerjaan akan digantikan oleh proses otomasi
pada tahun 2030. Namun demikian, jika masyarakat dapat mengantisipasi
perubahan zaman, maka 27 hingga 46 juta pekerjaan baru dapat diciptakan
(Hianusa, 2019).
Wacana pelayan publik bekerja dari rumah sangat mengemuka
digaungkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan-RB),
dengan istilah Work from Home atau Flexible Working Arrangement. Walaupun
tentu saja tidak semua pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang dapat dilakukan dari
rumah, tetapi hal ini merupakan sebuah lompatan besar dalam sejarah
pendayagunaan aparatur sipil negara di Indonesia. Dengan adanya teknologi 5G,
terdapat latensi yang sangat rendah atau mendekati nol dalam hal kecepatan
sambungan internet. Oleh sebab itu, banyak kegiatan yang dapat dioperasikan
dari jarak jauh seperti pekerjaan dokter untuk membedah, melakukan praktik
dokter gigi, operator alat-alat berat, pemadaman kebakaran, bahkan
pembedahan, pekerjaan pengajaran jarak jauh melalui teleconference dan
Google Classroom atau sistem e-learning, dan profesi-profesi lainnya.
Pelaksanaan kegiatan Flexible Working Arrangement ini pernah diterapkan
kepada ASN pada saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia dan menjadi
pelajaran untuk dikembangkan pada masa depan.
5. Optimasi Peran Sekolah Vokasi dalam Mengembangkaan Teknologi Kerja
Idealnya, sebuah negara yang memanfaatkan revolusi industri secara
menyeluruh memiliki struktur perguruan tinggi berupa akademik sebanyak 70
persen dan vokasi sebanyak 30 persen. Indonesia sedang menuju ke situasi ini,
dengan melaksanakan kebijakan moratorium bagi pendirian perguruan tinggi
akademik yang baru, dan kewajiban bagi perguruan tinggi dibawah kementerian
atau lembaga pemerintah pusat untuk bertransformasi menjadi perguruan tinggi
terapan atau vokasi. Presiden mengamanahkan melalui Kemenristekdikti (saat
ini telah bertransformasi menjadi Kemendikbud) untuk mendorong seluruh
Perguruan Tinggi dibawah Kementerian/Lembaga (PTKL) agar bertransformasi
menjadi perguruan tinggi vokasi atau Politeknik.
Dengan transformasi perguruan tinggi akademik ke perguruan tinggi
terapan, dapat dipersiapkan tenaga kerja terampil yang memiliki konektivitas
yang erat dengan dunia industri dan dunia kerja secara umum, sehingga lulusan
perguruan tinggi adalah lulusan yang bukan hanya siap kerja, tetapi siap
memanfaatkan segala sumberdaya yang ada untuk menjadi peluang, baik
peluang bisnis maupun peluang untuk memberikan pelayanan yang lebih baik
kepada masyarakat.

E. PROYEKSI E-GOVERNMENT TERHADAP REVOLUSI INDUSTRI 4.0


Ketika komputer diperkenalkan dalam Industri 3.0, saat itu dianggap sebagai
hal asing yang kemudian menjadi sesuatu yang ditambahkan pada teknologi yang
sama sekali baru. Sekarang, dan pada waktu-waktu mendatang seiring dengan kian
terbukanya Industri 4.0, komputer-komputer akan berkomunikasi satu sama lain
untuk pada akhirnya membuat keputusan tanpa campur tangan manusia. Kendati ada
yang menyebut bahwa revolusi Industri 4.0 ini hanyalah bahasa pemasaran
(marketing), namun terjadi perubahan-perubahan dalam cara produksi dan
manufaktur yang mau tak mau menarik perhatian kita.
Dalam revolusi keempat ini, kita menghadapi serangkaian teknologi baru yang
mengombinasikan dunia fisika, digital, dan dunia biologi. Teknologi-teknologi baru
ini akan berdampak pada semua disiplin, ekonomi dan industri, bahkan akan
menantang ide kita tentang arti manusia. Teknologi ini memiliki potensi besar
menghubungkan miliaran manusia melalui web, meningkatkan efisiensi bisnis dan
organisasi secara drastis, dan membantu regenerasi lingkungan alami melalui
manajemen aset yang lebih baik, mengurangi kerusakan yang diakibatkan revolusi
industri sebelumnya.
Namun demikian ada juga potensi risikonya. Professor Klaus Schwab,
menyebutkan, bahwa organisasi-organisasi bisa jadi tak mampu atau tak mau
mengadaptasi teknologi baru ini dan pemerintah mungkin gagal meregulasi teknologi
ini secara layak. Schwab berteori bahwa perubahan daya akan menciptakan masalah-
masalah keamanan yang penting, dan kesenjangan bisa jadi akan kian membesar,
bukannya berkurang jika segala sesuatunya tidak diatur secara benar. Sebagai misal,
seiring dengan meningkatnya otomasi, komputer dan mesin akan menggantikan
pekerja di banyak spektrum dari industri, mulai dari sopir, akuntan, agen properti
hingga agen asuransi.
Diperkirakan sebanyak 47% dari lapangan kerja di Amerika Serikat akan
terancam akibat otomatisasi. Banyak ahli mengindikasikan bahwa revolusi Industri
4.0 akan lebih menguntungkan kalangan kaya daripada kalangan miskin, terutama
karena hilangnya pekerjaan-pekerjaan bergaji rendah yang hanya memerlukan
ketrampilan rendah, karena digantikan oleh mesin-mesin otomatis. Namun itu bukan
hal baru. Secara historis, revolusi industri selalu diawali dengan jurang kesenjangan
yang besar sebelum diikuti oleh periode perubahan politik dan institusional.
Demikian dari apa yang diutarakan diatas diharuskan adanya rumusan proyeksi
e-government dimasa yang akan datang baik masa revolusi industri 4.0 berlangsung
dan maupun dimasa regenerasinya, untuk mengantisipasi hal-hal yang disebutkan
diatas baik yang berupa akibat baiknya dan akibat potensi resikonya. Beberapa
rumusan terbaik itu diataranya adalah:
1. Tatanan regulasi hukum yang baik dan perlindungan hukum.
2. Pemerintah meningkatkan pendidikan terkususnya di bidang IT sebagai
pembentukan SDM yang mumpuni.
3. Infrastuktur dan ketersediaan media akses yang memadai.
4. Pembentukan karakter dan etos kerja yang baik bagi SDM aparatur
pemerintahan.
5. Merubah mindset aparatur menjadi disruptive mindset aparatur di Indonesia
6. Revolusi industri 4.0 berbasis revolusi moral.
7. Menciptakan Intrepreneurial Leadership yang handal.
8. Diperkuatnya pendidikan agama.

Semua kemampuan dan proyeksi diatas tidak lepas dari dasar kemampuan dan
kemauan yang kuat dari pemerintah sekarang ini. Secara logis selaras dengan adanya
kematangan dalam penguatan ekonomi berkesinambungan yang baik dalam
penerapan e-government masa revolusi industri 4.0 kontemporer ini di Indonesia,
sehingga kedepan akan tercipta checks and balances di semua struktur.

F. RANGKUMAN
1. Revolusi Industri 4.0 (RIN.4.0) adalah suatu istilah yang berasal dari sebuah
proyek pemerintah Jerman untuk mempromosikan komputerisasi manufaktur
dan hadir menggantikan industri revolusi industri 3.0 ditandai dengan Cyber
Physical System (CPS) dan kolaborasi manufaktur
2. Beberapa tantangan Indonesia, yaitu: a) Ketidaksiapan pemerintah, b)
Keengganan untuk berubah, c) Ketidakstabilan dunia bisnis, d) Hilangnya
banyak pekerjaan, d) Isu keamanan, dan e) Munculnya fenomena “robotisasi”
kemanusiaan
3. Masalah administrasi publik dalam menghadapi revolusi industry 4.0 yaitu: a)
Masih minimnya peraturan, b) Belum ada tradisi saling berbagai informasi, c)
No culture documenting, d) SDM yang profesional di bidang IT, e) Infrastruktur
yang belum memadai, dan f) Akses yang terbatas
4. Strategi untuk penerapan pelayanan publik di era Revolusi Industri 4.0, yaitu: a)
Penerapan Sistem Satu Data, b) Penggunaan Model Penerimaan Teknologi, c)
Strategi Whole of Government, d) Pelaksanaan Pengaturan Kerja Fleksibel, dan
e) Optimasi Peran Sekolah Vokasi
5. Beberapa rumusan terbaik proyeksi e-government terhadap perkembangan
revolusi industri 4.0, yaitu: a) Tatanan regulasi hukum, b) Pemerintah
meningkatkan pendidikan, c) Infrastuktur dan ketersediaan media, d)
Pembentukan karakter, e) Merubah mindset aparatur, f) Revolusi industri 4.0
berbasis revolusi moral, g) Menciptakan Intrepreneurial Leadership, h)
Diperkuatnya pendidikan agama

G. PERTANYAAN BAHAN DISKUSI


1. Jelaskan yang dimaksud dengan revolusi industry 4.0 dalam ruang lingkup
manajemen publik!
2. Jelaskan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam revolusi industry 4.0
3. Jelaskan masalah administrasi publik dalam menghadapi revolusi industry 4.0!
4. Jelaskan strategi penerapan pelayanan publik di era Revolusi Industri 4.0!
5. Jelaskan secara singkat rumusan terbaik proyeksi e-government terhadap
perkembangan revolusi industri 4.0!

H. DAFTAR PUSTAKA
Australian Public Service Commission. 2004. Connecting Government: Whole of
Government Responses to Australia’s Priority Challenges. Canberra:
Commonwealth of Australia.
Davies, R. 2015. Industry 4.0 Digitalisation for productivity and growth. European
Parliamentary Research Service.
Denhardt, J. V., & Denhardt, R. B. 2003. The New Public Service: Serving Not
Steering. New York: M.E Sharpe.
Federasi Industri Jerman. 2016. What is Industry 4.0?
http://english.bdi.eu/article/news/what-is-industry40/.
From, J., Lindstrom, V., Stahre, J., Winroth, M. 2008. Levels of Automation in
Manufacturing. Ergonomia International Journal of Ergonomics and Human
Factors, Vol. 30, Issue 3.
Fryer, KJ., Antony, J., Douglas, A. 2007. Critical Success Factors of Continuous
Improvement in The Public Sector: A literature review and some key findings.
The TQM Magazine. Vol. 19, No. 5, pp. 497-517.
Glienmourinsie, D. 2016. Industri Nasional Harus Siap Hadapi Era Industri 4.0.
https://ekbis.sindonews.com/read/1141743/34/industri-nasional-harus-siap-
hadapi-eraindustri-40-1474630359.
Hayden, E., Assante, M., Conway, T. 2014. An Abbreviated History of Automation
&Industrial Controls Systems and Cybersecurity.
https://ics.sans.org/media/An-Abbreviated-History-of-Automation-andICS-
Cybersecurity.pdf.
Hianusa, K. 2019. Kompas.com. Diambil kembali dari Kompas.com:
https://kompas.id/baca/utama/2019/09/25/mckinsey-2030-23-juta-pekerjaan-
hilangnamun-akan-muncul-46-juta-pekerjaan-baru/
https://ekbis.sindonews.com/read/1141743/34/industri-nasional-harus-siap-hadapi-
era-industri-40- 1474630359, Diakses pada 9 Maret 2017.
Indrajit, R. E. 2006. Electronic Government: Konsep Pelayanan Publik Berbasis
Internet dan Teknologi Informasi. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Kemenperindag. 2018. Making Indonesia 4.0. Jakarta: Kementerian Perdagangan
Republik Indonesia.
Mahsyar, A. 2011. Masalah Pelayanan Publik di Indonesia dalam Perspektif
Pelayanan Publik. Otoritas: Jurnal Ilmu Pemerintahan. Vol 1, Nomor 2. 81-
90.
Rahardjo, B. 2001. Membangun E-Government. Bandung: Institut Teknologi
Bandung Press.
Rahayu, N. 2019. Mengenal Revolusi Industri dari 1.0 hingga 4.0. Warta Ekonomi.
https://www.wartaekonomi.co.id/read226785/mengenal-revolusi-industri-
dari-10-hingga-40
Yappika. 2011. Yappika-Action Aid. Diambil kembali dari
https://yappikaactionaid.or.id/potret-besar-buruknya-pelayanan-publik-di-
indonesia/.
World Bank. 2011. Electronic Government Procurement: Mexico's Compranet Pilot
Project. Washington: World Bank.

Anda mungkin juga menyukai