Anda di halaman 1dari 80

MAY

14

Makalah Manajemen Public


PUBLIC MANAGEMENT DAN NEW PUBLIC MANAGEMENT
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Manajemen publik merupakan suatu spesialisasi baru, tetapi berakar dari pendekatan normative,
Woodrow Wilson sebagai penulis “The Study of Administration” ditahun 1887 dalam Shafritz & Hyde
(1997), merupakan vionernya.Di dalam aliran ini yang dibicarakan benar-benar manajemen publik. Wilson
mendesak agar ilmu administrasi publik segera mengarahkan perhatiannya pada orientasi yang dianut
dunia bisnis, perbaikan kualitas personel pada tubuh pemerintah, aspek organisasi dan metode-metode
kepemerintahan. Fokus dari ajaran tersebut adalah melakukan perbaikan fungsi ekskutif dalam tubuh
pemerintahan karena waktu itu dinilai telah berada di luar batas kewajaran sebagai akibat dari merebaknya
gejala korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan mengadopsi prinsip manajemen bisnis.
Wilson meletakkan empat prinsip dasar bagi studi administrasi publik yang mewarnai manajemen
publik sampai sekarang yaitu :
(1) pemerintah sebagai setting utama organisasi, (2) fungsi eksekutif sebagai fokus utama, (3) pencarian
prinsip-prinsip dan teknik manajemen yang lebih efektif sebagai kunci pengembangan kompetensi
administrasi, (4) metode perbandingan sebagai suatu metode studi pengembangan bidang administrasi
publik.
Warna manajemen publik dapat dilihat pada masing-masing paradigma, misalnya dalam paradigma
pertama yaitu pemerintah diajak mengembangkan sistem rekrutmen, ujian pegawai, klasifikasi jabatan,
promos, disiplin dan pensiun secara lebih baik. Manajemen sumber daya manusia dan barang/ jasa harus
diupayakan akuntabel agar tujuan negara dapat tercapai, paradigma kedua dikembangkan prinsip-prinsip
manajemen yang diklaim sebagai prinsip-prinsip universal yang dikenal sebagai POSDCORB (Planing,
Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, dan Budgeting), yang merupakan karya
besar Luther Gullick dan Lundall Urwick di tahun 1937. Prinsip-prinsip ini kemudian dikritik dalam karya
“Administrative Behaviour”, yang mengajak para ahli tidak hanya mendasarkan dirinya pada aspek normatif
sebagai diajarkan dalam rasional tetapi harus melihat kenyataan yang terjadi dalam satu fungsi
manajemen yang penting yaitu pembuatan keputusan (decision making). Kritik ini telah memberikan ruang
baik kemunduran pengembangan fungsi manajemen publik waktu itu, karena para ahli politik akhirnya
melihat administrasi publik sekaligus manajemen publik sebagai kegiatan politik, atau lebih merupakan
bagian dari ilmu politik. Paradigma ketiga, karnanya fungsi-fungsi manajenen tidak perlu di ajarkan secara
normatif, atau tidak perlu lagi melihat fungsi-fungsi manajemen tersebut sebagai sesuatu yang universal.
Paradigma keempat, setelah tidak menyetujui kritikan para ahli ilmu politik, konsep manajemen terus
dikembangkan seperti didirikannya School of Bussines dan administrasi publik serta Journal Administrative
Science Quarterly di Cornell University Amerika Serikat.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pokok bahasan yang dikaji dalam makalah ini, maka dapat dirumuskan beberapa
masalah sebagai berikut:
efinisi dari Public Management dan New Public Management?
asan-alasan munculnya Public Management?
arakteristik, arah dan tujuan Public Management?
akah tahap-tahap perkembangan Public Management?
akah hubungan antara Management dengan Governance?
nakah penjelasan tentang Teori Public Domain?
nakah penjelasan tentang Teori Pasar?

C. Tujuan
Sejalan dengan perumusan masalah seperti tersebut di atas, maka pengkajian masalah dalam
makalah ini dikandung maksud untuk mencapai tujuan antara lain:
1. Untuk menjelaskan definisi lebih jelas mengenai Public Management.
2. Untuk menjelaskan apa saja alasan munculnya Public Management.
3. Untuk menjelaskan karakteristik, arah dan tujuan Public Management.
4. Untuk menjelaskan tahap-tahap perkembangan Public Management.
5. Untuk menjelaskan hubungan antara Management dan Governence.
6. Untuk menjelaskan tentang Teori Public Domain.
7. Untuk menjelaskan tentang Teori Pasar.

BAB II
ISI

A. Definisi
1. Public Management (Manajemen Publik)
Pada dasarnya public management, yaitu instansi pemerintah. Overman dalam Keban (2004 : 85),
mengemukakan bahwa manajemen publik bukanlah “scientific management”,meskipun sangat dipengaruhi
oleh “scientific management”. Manajemen publik bukanlah “policy analysis’, bukanlah juga administrasi
publik, merefleksikan tekanan-tekanan antara orientasi “rational-instrumental” pada satu pihak, dan
orientasi politik kebijakan dipihak lain. Public management adalah suatu studi interdisipliner dari aspek-
aspek umum organisasi, dan merupakan gabungan antara fungsi manajemen seperti planning, organizing,
dan controlling satu sisi, dengan SDM, keuangan, fisik, informasi dan politik disisi lain. Berdasarkaan
pendapat Overman tersebut, OTT, Hyde dan Shafritz (1991:xi), mengemukakan bahw manajemen publik
dan kebijakan publik merupakan dua bidang administrasi publik yang tumpang tindih. Tapi untuk
membedakan keduanya secara jelas maka dapat dikemukakan bahwa kebijakan publik merefleksikan
sistem otak dan syaraf, sementara manajemen publik mempresentasikan sistem jantung dan sirkulasi
dalam tubuh manusia. Dengan kata manajemen publik merupakan proses menggerakkan SDM dan non
SDM sesuai perintah kebijakan publik.
J. Steven Ott, Albert C. Hyde dan Jay M. Shafritz (1991), berpendapat bahwa dalam tahun
1990an, manajemen publik mengalami masa transisi dengan beberapa isu terpenting yang akan sangat
menantang, yaitu: (1) privatisasi sebagai suatu alternatif bagi pemerintah untuk memberikan pelayanan
publik, (2) rasionalitas dan akuntabilitas, (3) perencanaan dan kontrol, (4) keuangan dan penganggaran,
dan (5) produktivitas sumber daya manusia. Isu-isu ini telah menantang sekolah atau perguruan tinggi
yang mengajarkan manajemen publik atau administrasi publik untuk menghasilkan calon manajer publik
profesional yang kualitas tinggi, dan penataan sistem manajemen yang lebih baik.
Sedangkan Owen E.Hughes(1994), menyajikan dalam Public Management And Administration ,
bahwa pada awal tahun 1990an kita telah menyaksikan adanya suatu transformasi dalam tubuh sektor
publik di negara-negara maju, yaitu suatu perubahan bentuk administrasi publik dari yang kaku, hierarkhis,
dan birokratis menuju ke bentuk manajemen publik yang lebih fleksibel, dan berbasis pasar. Ini bukanlah
sekedar perubahan kecil tentang gaya manajemen tetapi perubahan mendasar tentang peran pemerintah
dalam masyarakat dan hubungan antara pemerintah dengan warganya. Administrasi publik tradisional
telah dikritik baik secara teoritik maupun praktis sehingga memunculkan paradigma baru yang kemudian
dikenal dengan istilah Public Management And New Public Management.
Doktrin utama Public Management adalah :
1. Fokus utamanya pada aktivitas manajemen, penilaian kinerja dan efisiensi, bukan pada kebijakan;
2. Memecah birokrasi publik ke dalam agensi-agensi (unit-unit) dibawah yang terkait langsung
dengan pemakai pelayanan;
3. Pemanfaatan ‘pasar-semu’ dan ‘kontrak kerja’ untuk menggalakkan persaingan;
4. Pengurangan anggaran pemerintah;
5. Penggunaan gaya manajemen yang lebih menekankan pada sasaran akhir, kontrak jangka pendek,
insentif anggaran, dan kebebasan melaksanakan manajemen.
Berdasarkan hal-hal di atas maka Public Management dapat diartikan sebagai bagian yang sangat
penting dari administrasi publik (yang merupakan bidang kajian yang lebih luas), karena administrasi publik
tidak membatasi dirinya hanya pada pelaksanaan manajemen pemerintahan saja tetapi juga mencakup
aspek politik, sosial, kultural, dan hukum yang berpengaruh pada lembaga-lembaga publik. Dan Public
Management berkaitan dengan fungsi dan proses manajemen yang berlaku baik pada sektor publik
(pemerintahan) maupun sektor diluar pemerintahan yang tidak bertujuan mencari untung (nonprofit
sector). Organisasi publik melaksanakan kebijakan publik. Public Management memanfaatkan fungsi-
fungsi : perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan sebagai sarana untuk mencapai
tujuan publik, maka berarti ia memfokuskan diri pada the managerial tools, techniques, knowledges and
skills yang dipakai untuk mengubah kebijakan menjadi pelaksanaan program.

2. New Public Management (NPM)


Paradigma NPM melihat bahwa paradigma manajemen terdahulu kurang efektif dalam
memecahkan masalah dalam memberikan pelayanan kepada publik. Karena itu VIGODA dalam KEBAN
(2005 : 34), mengungkapkan bahwa ada tujuh prinsip-prinsip NPM, yaitu :
1. Pemanfaatan manajemen profesional dalam sektor publik.
2. Penggunaan indikator kinerja.
3. Penekanan yang lebih besar pada kontrol output.
4. Pergeseran perhatian ke unit-unit yang lebih kecil.
5. Pergeseran ke kompetisi yang lebih tinggi.
6. Penekanan gaya sektor swasta pada penerapan manajemen.
7. Penekanan pada disiplin dan penghematan yang lebih tinggi dalam penggunaan sumber daya.

NPM secara umum dipandang sebagai suatu pendekatan dalam administrasi publik yang
menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dalam dunia manajemen bisnis dan disiplin
yang lain untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas kinerja pelayanan publik pada birokrasi modern.

Orientasi NPM
NPM ini telah mengalami berbagai perubahan orientasi menurut Ferlie, Ashbuerner, Filzgerald dan
Pettgrew dalam Keban (2004 : 25), yaitu:
1. Orientasi The Drive yaitu mengutamakan nilai efisiensi dalam pengukuran kinerja.
2. Orientasi Downsizing and Decentralization yaitu mengutamakan penyederhanaan struktur, memperkaya
fungsi dan mendelegasikan otoritas kepada unit-unit yang lebih kecil agar dapat berfungsi secara cepat
dan tepat.
3. Orientasi in Search of Excellence yaitu mengutamakan kinerja optimal dengan memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
4. Orientasi Public Service yaitu menekankan pada kualitas, misi dan nilai-nilai yang hendak dicapai
organisasi publik, memberikan perhatian yang lebih besar kepada aspirasi, kebutuhan dan partisipasi
“user” dan warga masyarakat, termasuk wakil-wakil mereka menekankan “social learning” dalam
pemberian pelayanan publik dan penekanan pada evaluasi kinerja secara berkesinambungan, partisipasi
masyarakat dan akuntabilitas.

B. Alasan Munculnya Public Management


Pada akhir tahun 1980an dan awal tahun 1990an kita melihat munculnya suatu pendekatan
manajemen baru di sektor publik sebagai respon atas kekurangberhasilan model administrasi tradisional.
Pendekatan manajemen baru di sektor publik ini mempunyai berbagai nama/sebutan, antara lain
: Managerialism (Pollit, 1990) ; New Public Management (Hood, 1991); Market-Based public
Administration (Lan and Rosenbloom, 1992) ; dan Enterpreneurial Government (Osborne and
Gaebler, 1992).
Menurut Owen E.Hughes (1994), ada 6 alasan munculnya paradigma Public Management yaitu :
1. Administrasi publik tradisional telah gagal mencapai tujuanynya secara efektif dan efisien sehingga perlu
diubah menuju ke orientasi yang lebih memusatkan perhatian pada pencapaian hasil(kinerja) dan
akuntabilitas;
2. Adanya dorongan yang kuat untuk mengganti tipe birokrasi klasik yang kaku menuju ke kondisi organisasi
public, kepegawaian, dan pekerjaan yang lebih luwes;
3. Perlunya menetapkan tujuan organisasi da pribadi secara jelas dan juga perlu ditetapkan alat ukur
keberhasilan kinerja lewat indicator kinerja;
4. Perlunya para pegawai senior lebih punya komitmen politik pada pemerintah yang sedang berkuasa
daripada bersikap netral atau non partisan;
5. Fungsi-fungsi yang dijalankan pemerintah hendaknya lebih disesuaikan dengan tuntutan dan signal pasar;
dan
6. adanya kecenderungan untuk mereduksi peran dan fungsi pemerintah dengan melakukan kontrak kerja
dengan pihak lain (contracting out) dan privatisasi.

Keenam alasan tersebut di atas, ditambahkan oleh Martin Minogue (2000) dengan menyebut
adanya 3 tekanan yang menyebabkan perlu adanya perubahan paradigma menuju ke Public
management yaitu:
1. Semakin membesarnya anggaran pemerintah
2. Rendahnya mutu kinerja pemerintah
3. Adanya nilai ideologi yang bersifat konfiktif terhadap perubahan paradigma pemerintahan

Adanya gelombang perubahan paradigma pemerintahan itu sendiri merupakan tekanan perubahan
tidak hanya karena ia merupakan perubahan yang fundamental dalam nilai-nilai sector public tetapi juga
karena ia memberikan peluang bagi perumus kebijakan untuk menemukan solusi terhadap tekanan yang
positif (meningkatkan mutu kinerja pemerintah), atau tekanan yang negative ( mereduksi ukuran dan peran
pemerintah).
Sedangkan menurut Owen (1994) :
1. Adanya tekanan yang kuat atas peran sector public
2. Terjadinya perubahan teori ekonomi
3. Adanya pengaruh globalisasi terhadap sector publik

C. Karakteristik, Arah dan Tujuan Public Management


1. Karakteristik Public Management
M.Minougue (2000) paling tidak menyebut adanya 5 karakteristik utama Public
Management, yaitu:
1. A separation of strategic policy from operational management. Public management lebih banyak terkait
dengan tugas-tugas operasional pemerintahaan dari pada peran perumusan kebijakan.
2. A concern with results rather than process and procedure. Public management lebih berkonsentrasi pada
upaya mencapai tujuan daripada upaya berkutat dengan proses dan prosedur.
3. An orientation the needs of customer rather than those of bureaucratic organizations. Public management
lebih banyak berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pelanggan dari pada kebutuhan birikrasi.
4. A withdrawal from direct service provision in favour of a steering or enabling role. Public management
menghindarkan diri dari berperan memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sesuai dengan
peran nutamanya memberikan arahan saja atau pemberdayaan kepada masyarakat.
5. A trans formed bureaucratic culture/ A change to entrepreneurial management culture. Public management
mengubah diri dari budaya birokrasi.

Menurut C.Hood (1991) terdapat 7 karakteristik New Public Management, yaitu:


1. Hands-on professional management. Pelaksanaan tugas manajemen pemerintahaan diserahkan kepada
manajer professional.
2. Explicit standards and measures of performance. Adanya standar dan ukuran kinerja yang jelas.
3. Greater emphasis on out put controls. Lebih ditekankan pada control hasil/keluaran.
4. A shift to desegregations of units in the public sector. Pembagian tugas ke dalam unit-unit yang dibawah.
5. A shift to greater competition in the public sector. Ditumbuhkannya persaingan ditubuh sektor publik.
6. A stress on private sectore styles of management practice. Lebih menekankan diterapkannya gaya
manajemen sektor privat.
7. A stress on greater discipline and parsimony in resource use. Lebih menekankan pada kedisiplinan yang
tinggi dan tidak boros dalam menggunakan berbagai sumber. Sektor publik seyogjanya bekerja lebih keras
dengan sumber-sumber yang terbatas (to do more with less).

2. Arah Public Management


Dalam rangka meningkatkan kinerja sektor publik. Public management diarahkan kegiatannya
pada:
1. Melakukan restrukturisasi sektor publik lewat proses privatisasi.
2. Melakukan restrukturisasi dan merampingkan struktur dinas sipil di pusat.
3. Memperkenalkan nilai-nilai persaingan khususnya lewat pasar internal dan mengkontrakkan pelayanan
public kepada pihak swasta dan intervensi oleh pemerintah.
4. Meningkatkan efisiensi lewat pemeriksaan dan pengukuran kinerja.

3. Tujuan Public Management


Tujuan dari Public Management adalah:
1. Menurut Rainey (1990): ‘public management aims to achieve skills and improve skills and improve
accountability’ Manajemen publik itu ditujukan untuk meningkatkan tercapainya tujuan sektor publik (lebih
efektif dan efisien), pegawainya lebih berkeahlian dan lebih mampu mempertanggungjawabkan kinerjanya.
2. Menurut Graham & Hays (1991): “public managemen are concerned with efficiency,accountability,goal
achlevement and dozen of other managerial and technical question”, Manajemen publik itu bertujuan untuk
menjadikan sector public lebih efisien, akuntabel, dan tujuannya tercapai serta lebih mampu menangani
berbagai masalah manajerial dan teknis.

D. Tahap Perkembangan Public Management


Paling tidak ada empat tahap perkembangan manajemen publik disebuah negara maju (Inggris)
yang meliputi:
1. The Minimal State
Negara mini, atau peran pemerintah paling minimal, merupakan perkembangan tahap awal dari
manajemen publik. Menurut Owen (1965) pelayanan sectok publik di Ingggis mayoritas diletakkan pada
sektor karitas (charitable sector) atau penyediaan pelayanan oleh sektor swasta. Minimal state bukan
berarti tidak ada peran negara sama sekali. Dulu memang penyediaan dan pelayanan atas barang dan
jasa publik itu adalah merupakan prinsip dasar dalam administrasi publik.
2. Unequal Partnership between Government and The Charitable and Private Sectors.
Dimulai pada abad ke 20 yang ditandai dengan perubahan ideologi dari konservatisme tradisional dari
abad ke 19 menuju reformisme social di abad ke 20 yang berisi tiga unsur:
a. Bahwa masalah sosial dan ekonomi tidak lagi difokuskan pada isi individual tetapi pada isu sosial yang
menyangkut setiap orang.
b. Adanya pengakuan bahwa negara punya peran penting paling sedikit dalam penyediaan pelayanan kepada
publik.
c. Bahwa dimana negara tidak dapat menyediakan pelayanan kepada public maka sektor karitas dan swasta
diundang sebagai upaya kemitraan.
3. The Welfare State
Model ini berjalan antara tahun 1945-1980, yang melandasi adalah keyakinan bahwa penyediaan
pelayanan yang dilaksanakan oles sector karitas dan swasta telah gagal karena adanya fragmentasi dan
duplikasi peran penyedia pelayanan, serta adanya ketidak efisienan dan keefektifan pengelolaan
pelayanan kepada publik. Konsekuensinya, semua kebutuhan akan pelayanan public ditangani oleh
pemerintah mulai dari yang sederhana sampai yang besar. Pelayanan ini dikelola oleh para kader
professional dari dinas publik dengan cara yang profesional dan objektif.

4. The Plural State


Model ini berjalan sejak tahun 1970an sampai sekarang, dimana partai konservatif di inggris mulai
melontarkan kritik atas konsep ngara kesejahteraan yag dinilai tidak mampu memberikan kepuasan pada
warganya. Yang menjadi acuan utama model plural state adalah karena model ini dinilai terlampau
memusatkan diri pada nilai-nilai ekonomi dan pemotongan anggaran daripada penyediaan pelayanan yang
efektif dan melebihkan superioritas sekor swasta serta teknik manajemen swasta diatas kemampuan sekor
publik dan administrasi publik.
Perkembangan manajemen publik paling tidak dipengaruhi oleh beberapa pandangan yaitu:.
1. Manajemen Normatif
Menggambarkan apa yang sebaiknya dilakukan oleh seorang manajer dalam proses manajemen.
2. Manajemen Deskriptif
Menggambarkan apa yang kenyataan yang dilakukan oleh manajer ketika menjalankan tugasnya.
3. Manajemen Stratejik
Menggambarkan suatu cara memimpin organisasi untuk mencapai misi, tujuan dan sasaran.
4. Manajemen Publik
Menggambarkan apa yang sebaiknya dilakukan dan senyatanya pernah dilakukan oleh para manajer
public di instansi pemerintah.
5. Manajemen Kinerja
Mengganbarkan bagaimana merancang untuk meningkatkan kinerja organisasi.

E. Public Management vs Governance


Tema sentral dalam manajemen public adalah upaya mereformasi sector public agar tujuan padat
dicapai lebih efektif,efesien dan ekonomis,semata-mata hanya menunjukan kepada kita tentang hubungan
antara Negara (the state) dan pasar (the market) dan tekanan lebih eksplisit ditujukan pada adanya
dominasi preferensi individu terhadap penyediaan barang dan jasa atas preferensi kolektif. Kita perlu
menyadari bahwa pemerintahan yang modern itu bukan hanya sekedar mencapai tujuan efisiensi tetapi
tentang hubungan akuntabilitas terhadap Negara dengan warga Negara nya yaitu warga meminta agar
tidak diperlakukan hanya sebagai konsumen dan pelanggan tetapi mereka juga memiliki hak untuk
menuntut pemerintahannya bertanggung jawab atas tindakan yang diambil atau kegagalan dalam
bertindak /melakukan sesuatu.
Warga Negara menghendaki pemberian pelayanan yang efisien ,pengenaan pajak yang rendah
dsb,tetapi mereka juga menginginkan agar hak-haknya dilindungi,suaranya didengar,nilai-nilai dan
preferensinya dihargai sanksi mutlak yang ada ditangan warga Negara atas rendahnya mutu pelayanan
yang diperoleh adalah dengan menolak dan menuntut mundur kepada mereka yang secara politis
bertanggung jawab atas penyediaan pelayanan yang bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan
warga Negara. Penyediaan anggaran yang cukup,persaingan ,penetapan standar mutu kerja dsb. Mungkin
dibutuhkan untuk mewujudkan manajemen yang baik dan pemanfaatan sumber-sumber yang efisien,
tetapi bila upaya perbaikan ini menghasilkan pelayanan yang tidak sesuai dengan harapan warga,maka
warga sebagai pemilih dalam pemilu akan berontak dan tidak memilih nya lagi.
Bagi warga Negara yang paling penting adalah terciptanya hukum yang adil dan ketertiban sosial,
yang hal lain itu hanya bisa dilakukan oleh pemerintahan yang sah kuat. Istilah “Governance”
merefleksikan proses penyelenggaraan pemerintah yang baik. Konsep “Governance” tidaklah
dimaksudkan untuk menggantikan konsep “New Public Management”,akan tetapi lebih menekankan
kesadaran kita bahwa pemerintahan yang baik itu adalah pemerintahan yang memenuhi 4 persyaratan
utama yaitu:

1. Yang kuat legitiminasinya


2. Akuntabel
3. kompeten
4. Respek terhadap hukum dan hak-hak azasi manusia

Oleh karena itu “New Public Management” itu merupakan bagian dari strategi yang lebih luas
tentang “Good Governance”.
Teori penyelenggaraan pemerintahan (governance theory) didasarkan atas pandangan
R.A.W.Rhodes,1996 dan G.Stoker,(1998)
Perbedaan Makna Government dan Governance
GOVERNMENT berbeda pemaknaannya dengan GOVERNANCE . Menurut Stoker istilah ’government’
menunjukan pada :
- the formal institutions of state,
- monopoly of legitimate coercive power,
- its ability to make decisions and its capacity to enforce them,
- the formal and institutional processes which operate at the level of the nation state to maintain public order
and facilicate collective action.

Selanjutnya menurut Rhodes,istilah ‘governance’ menunjukan pada:


- a chance in the meaning of government
- referring a new process of governing
- a changed condition of ordered rule
- the new method by which society is governed.

Stoker memandang perbedaan government dan governance hanya pada prosesnya (styles of
governing) bukan pada outputnya. Akhirnya Stoker dan pakar yang lainnya setuju untuk menyatakan
bahwa: “Governance itu menunjukan pada pengembangan gaya menjalankan pemerintahan dalam mana
antara sektor publik dan privat telah menjadi kabur. Esensi governance pada fokusnya yaitu mekanisme
penyelenggaraan pemerintahan yang tidak lagi tergantung pada bantuan dan sanksi dari pemerintah
“.”Konsep governance lebih tertuju pada kreasi suatu struktur atau tertib yang tidak dapat diimposisikan
keluar tetapi merupakan hasil dari interaksi banyak pihak yang ikut terlibat dalam proses pemerintahan dan
mereka saling mempengaruhi satu sama lain”.(Kooiman dan Vliet,1993).

Rhodes memandang paling tidak ada 6 istilah yang berbeda dalam memberi makna
lonsep governance,yaitu :
- as the minimal state
- as corporate governance
- as the new public management,
- as ‘good governance’
- as a socio-cybernetic system,
- as self-organizing network.

Lima Proposisi konsep Good Governance


Pandangan Stoker tentang governance as theory,mengemukakan adanya 5 proposisi yang perlu
dipertimbangkan dalam mengkaji konsep good governance,yaitu :
Proposisi I : Governanace refers to a set of institutions and actors that are drawn from but also beyond
government.
Penyelengaraan pemerintahan yang baik perlu memanfaatkan seperangkat institusi dan actor yang baik
dari dlam maupun dari luar burokrasi pemerintah. Pemerintah perlu membuka pintu dan tidak alergi atau
curiga terhadap ekstensi pelbagai macam institusi dan actor diluar institusi pemerintah,bahkan sebalikmya
hal itu bisa dimanfatkan sebagai komponen penguat dalam mencapai tujuan bersama.
Proposisi II : Governance recognizes the blurring of boundaries and responbilities for tacking social and
economics issues
Penyelenggaraan pemerintah yang baik tidak memungkinkan lagi terjadinya tritomi peran sektor pertama
(eksekutif dan legislatif); sektor kedua(swasta)dan sektor ketiga (masyarakat) dalam menangani masalah
sosial ekonomi, karena peran tersebut sekarang sudah demikian kabur. Peran ketiga sector tersebut
seyogyanya sudah menyatu dan padu karena mereka punya kepentingan dan komitmen yang sama
tingginya untuk mengatasi masalah-masalah sosial-ekonomi tersebut.
Proposisi III : Governance identifies the power dependence involved in the relationship between institutions
involved in collective action
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik mengakui adanya saling ketergantungan diantara ketiga faktor
tersebut diatas dalam peran bersama untuk mengatasi masalah social-ekonomi. Tujuan masyarakat
kesejahteraan hidup masyarakat tidak membutuhkan lagi satu kekuatan manapun yang dominan yang
melebihi perannya atas yang lain , melainkan semuanya berinteraksi dan berinterrelasi serta punya akses
yang sama dalam berpatisipasi dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat
Proposisi IV : Governance is about autonomous self governing network of actors.
Penyelenggaaan pemerintahan yang baik merupakan jaringan kerja antar actor dari ketiga kekuatan yang
menyatu dalam suatu ikatan yang otonom dan kuat. Ketiga actor tadi akan menjadi kekuatan yang solid
dan dahsyat bila mereka bersedia memberikan dan menerima kontribusi baik sumber-sumber, keahlian,
kepentingan maupun tujuan-tujuan bersama yang diinginkan.

Proposisi V : Governance recognizes the capacity to get things done which does not rest on the power of
government to commandor use its authority. It sees government as able to use new tools and
techniques to steer and guide.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak
perlu semata-mata menggantungkan diri pada arahan, petunjuk dan otoritas pemerintah tetapi juga
kemampuan untuk memanfaatkan sarana dan teknik pemerintahan dari sektor non-pemerintah untuk
merumuskan , melaksanakan dan mengevaluasi kebijakan yang baik dan benar.
Kelima proposisi tersebut diatas walaupun mempunyai nilai dan arti yang cukup tinggi namun untuk
bisa diterapkan secara efektif masih perlu diuji tingkat signifikannya.

F. Teori Public Domain


Pandangan J.Stewart & S.Ranson (1994) : Apa Public Domain itu ?
PUBLIC DOMAIN dapat digambarkan sebagai arena atau organisasi untuk mengejar atau
memenuhi nilai-nilai kolektif.
PUBLIC DOMAIN diperlukan untuk mengatasi ketidaksempurnaan pasar, dimana kebutuhan
pelbagai kebutuhan pelayanan masyarakat atau redistribusi sumber-sumber tidak dapat disediakan oleh
pasar. Public Domain juga diperlukan untuk memenuhi nilai-nilai khas yang harus ada pada sikap
manajemen sektor publik ,yaitu equity & equality. Dengan bahasa lain manajemen sektor publik tidak
hanya ditujukan untuk mencapai tujuan sektor publik secara efektif & efisien, tetapi juga secara adil &
merata.
Alasan-alasan mengapa model atau teori public domain diperlukan adalah:
a. Ketidak-tepatan model-model manajemen sector swsta untuk mengaji manajemen sektor publik, sehingga
diperlukan model yang khusus/tersendiri.
b. Penyusunan model manajemen sector public dapat dimulai dengan menetapkan tujuan-tujuan, persyaratan-
persyaratan, dan tugas-tugas public domain.
c. Mengatasi delima yang ada agar dapat tersusun model manajemen sector public yang tepat.
d. Menyusun suatu pendekatan manajemen domain public yang khas dan jelas tujuan-tujuannya, persyaratan-
persyaratannya, tugas-tugasnya dan termasuk pula dilemma yang dihadapinya.

Perbedaan Model Sektor Privat dan Publik


Model Sektor Privat Model Sektor Publik
1. Pilihan individu pada pasar 1.Pilihan kolektif pada
Negara/pemerintah
2. Atas dasar permintaan dan harga 2.Atas dasar kebutuhan akan sumber-
sumber
3.Terbatas bagi tindakan privat 3.Terbuka bagi tindakan publik
4.Berdasarkan keadilan pasar 4.Berdasarkan keadilan kebutuhan
5. Mencari kepuasan pasar 5.Mencari keadilan bagi masyarakat
6. Kekuasaan ada pada konsumen 6.Kekuasaan bagi warga negara
7. Kompetisi sebagai instrumen pasar 7.Tindakan kolektif sebagai instrument
negara/pemerinyah
8. Merespon protes dengan keluar dari 8.Merespon suara masyarakat
kegiatan pasar

Ketidak – tepatan Model Manajemen Sector Privat Untuk Mengkaji Manajemen Sector Publik akhir
– akhir ini banyak sekali model-model manajemen sector privat mendominasi pemikiran manajemen sektor
publik. Baik disadari atau tidak ,ada bahayanya mengadopsi sektor privat kedalam sektor manajemen
publik. Ini tidak berarti bahwa manajemen sektor publik tidak bisa belajar dari pengalaman manajemen
sektor privat, dan juga sebaliknya. Kedua belah pihak bisa saling bertukar model, tetapi harus sesuai
dengan tujuan, kondisi dan peran atau tugas masing-masing. Banyak aspek manajemen sektor publik yang
berbeda jauh dengan manajemen sektor privat, (lihat pada tabel perbedaan). Perhatikan pula hal-hal
berikut ini :
a. Stategic Management : Managemen sector privat selalu berada dalam kondisi persaingan yang tinggi.
Oleh karena itu untuk mengahasilkan produk yang bisa mencapai kinerja organisasi secara optimal maka
perlu dicermati terus-menerus faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan kendala yang ada pada
organisasi sector privat tersebut.
b. Marketing and the Customer : Pasar dan kegiatan pemasaran adalah merupakan peran yang cukup kritis
di sector privat, karena menyangkut hubungan antara perusahaan dan pelangganan. Hal ini sama dengan
sector public, yaitu hubungan antara organisasi public dengan mereka yang menggunakan jasa-jasa
pelayanannya yang bertindak sebagai customer
c. The budgetary process : Proses anggaran di sector privat berbeda tajam dengan sector public. Di sector
privat, penetapan anggaran didasarkan pada peramalan proses penjualan. Anggaran adalah merupakan
sarana yang menghubungkan antara pendapatan dan pengeluaran .
d. Public Accountability : sector privat akuntabilitas ada di pasar, sedangkan sector public akuntabilitas lebih
luas dan mendalam yaitu bertnggung jawab pada public secara luas dan partai individu-individu dengan
dimensi yang luas akuntabilitas public dilkukan lewat proses politik guna merespon berbagai suara
masyarakat terhadap tindakan-tindakan apa saja yang diambil oleh para pelaku sector public .

e. Public Demamds Pressure and Protest : sector privat berhubungan dengan public dalam pasar. Bila ia
menghadapi tuntutan, tekanan dan protes dari public maka semuanya ini adalah masalah yang harus
dihadapi mungkin salah satunya adalah dengan “exit” dari pasar sedangkan sektor publik tuntutan, tekanan
dan protes dari publik adalah merupakan suara “voise” yang punya hak yang harus dibina dan harus
diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh aparat pemerintah.
f. Political Process : proses politik adalah merupakan persyaratan dasar bagi manajemen domain public.
Proses politik adalah merupakan sarana bagi penentuan kebutuhan kolektif, sebagai arena perbedaan
politik.

Tujuan, Kondisi, Tujuan, Kondisi, dan Tugas /Peran yang Spesifik bagi Pembuatan Model
Manajemen Domain Publik
a. Purposes of The Public Domain : Domain public adalh merupakan arena dan organisasi bagi upaya
pencapaian tujuan konektif atau era dimana nilai-nilai kolektif hendak diperoleh. Demokrasi adalah
merupakan nilai dasar bagi manajemen domain public. Organisasi public bekerja untuk menyediakan dan
memberikan berbagai pelayanan yang ditentukan oleh pilihan kolektif lewat proses politik.
b. Conditions Which Constitute The Public Domain: keputusan-keputusan dalam domain public diambil lewat
proses politik, seperti misalnya lewat debat, diskusi, tekanan dan protes. Setiap tindakan yang berada
pada tataran domain public harus dapat dipertanggung jawabkan pada public.
c. Task of Government : tugas pemerintah diekspresikan dalam tujuan domain public. Dalam domain public itu
nilai kolektif dibangun lewat debat dan diskusi dalam arena public. Tugas pemerintah untuk pembentukan
hukum dan pemeliharaan ketertiban yang didalamnya diisi dengan warna keadilan.

Dilema Yang Harus Hadapi


a. Coletive and Individual : Domain public : adalah merupakan domain bagi tindakan kolektif merupakan
domain bagi warga Negara dan bagi warga Negara secara individual doman masing-masing mempunyai
pandangan, tuntutan dan peluang
b. Representative and Participative : Tindakan kolektif dapat ditentukan oleh pemerintah yang
representative atas nama masyarakat atau oleh partisipasi aktif masyarakat.
c. Bureaucracy and Responsiveness : Aturan yang ada dalam birokrasi bisa menjamin adanya
kenetralan dalam memberikan pelayanan
d. Order and Service : disektor public tata tertib dipertahankan dan peraturan dilaksakan. Tetapi pelayanan
sering kali disediakan oleh organisasi bersama.
e. Controlling and Enabling : sector public mengontrol kepentingan masyarakat yang begitu komplek lewat
seperangkat regulasi.
f. Polical Conflict and Institutional Countinuity : dalam domain public keputusan dibuat suatu proses
politik baik melalui debat, adu argumentasi, tekanan maupun protes.
g. Stability and Flexbility : setiap organisasi selalu menghadapi tensi atau konflik antara kondisi stabil yang
diperlukan yang diperlukan untuk mencapai kinerja peran-perannya dan kondisi fleksibel yang
diperlukan untuk menghadapi perubahan yang terjadi yang terjadi pada lingkungan eksternal.
h. Custumer and Citizen : sector public menyediakan berbagai jenis pelayan bagi kepentingan public dengan
sebaik-baiknya.
i. A choise of Values : di dalam domain public terdapat berbagai nilai yang bias berbeda dan konflik antar nilai
j. A Balance of Interests : menejemen domain public disusun atas dasar banyak kepentingan yang harus
dicapainya .

Pendekatan Baru Dalam Manajemen sektor publik :

1. The Learning Process


2. Response and Direction in Stategy
3. The Budgetry Proses
4. The Management of Rationing
5. Decion making
6. Management Control and The Management of Action
7. The Management of Interaction
8. Performance Monitoring
9. Staffing Policies
10. Relations with Costumer and Citizen
11. Public Accountability

G. Teori Pasar
Teori pasar muncul sebagai reaksi atas model administrasi publik tradisional yang dinilai
mempunyai banyak kekurangan terutama dengan adanya tantangan agar sector publik lebih mampu
meningkatkan kinerjanya secara efektif dan efisien. Tantangan ini muncul akibat dari peran birokrat
konfensional yang terlalu mementingkan dirinya sendiri(self interest).
Pendekatan pasar terhadap sektor publik yaitu generic management yang kemudian dikenal
dengan nama “the new public management”. Pendekatan ini berasumsi bahwa sekali manajemen tetap
manajemen dimanapun dan pada organisasi apapun hendak dipakai prinsip manajemen itu,yaitu baik di
sector bisnis maupun publik. Misalnya teknik Management By Objective (MBO),Total Quality
Management atau (TQM).
Walaupun demikian ada pula pihak-pihak yang tidak setuju penerapan prinsip bisnis ke sektor
publik, karena karakteristik , tujuan, dan bentuk, aktivitas sector public itu tidak sama dengan sector bisnis
Beberapa asumsi teori pasar terhadap sector public (B.G.Peters , 1995) dalah sebagai berikut :
 Struktur
Teori pasar melihat bahwa masalah mendasar yang ada pada struktur sector public tradisional
adalah struktur organisasi yang sangat besar, dan sangat monopolistic serta tidak peka terhadap tuntutan
lingkungan yang berkembang, ditambah lagi dengan aktivitas pelayanan atas public good and services
tidak dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Masalah tersruktur disebabkan karena terlampau
menekankan pada aspek aturan dan otoritas formal yang berlebihan yang otomatis yang berdampak pada
aktivtas organisasi public.
Sehubungan dengan itu maka disarankan perlunya reformasi di sector public dengan
mendesentrllisasikan perumusan dan implementasi kebijakan pada jenjang agensi pemerintahan yang
lebih rendah; atau memanfaatkan organisasi kuasi-privatuntuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan
terutama pada tugas pelayanan atas barang dan jasa public yang marketable. Pemerintah perlu
menciptakan pelbagai organisasiyang secara kompetitif dapat mensuplai barang dan jasa public yang
sama kuantitas dan kualitas bagi masyarakat. Perubahan struktur sector public secara menyeluruh perlu
diikuti dengan perubahan managemen agar dapat meningkatkan kinerja sektor public.

 Manajemen
Mutu SDM disektor public harus sama dengan mutu SDM di sector bisnis agar berbagai teknik
manajerial (MBO,TQM, tsb)dapat juga diterapkan.Tetapi hal ini mempunyai implikasi bahwa sektor public
juga harus menerapkan politik penggajian berdasarkan pada merit system : “equal pay for equal work”.Gaji
yang diterimakan kepada pegawai sektor publik harus sama seperti pada sektor privat yang besar kecilnya
didasarkan atas efektifitas kontrak kinerjanya..

 Pembuatan Kebijakan
Asumsi ketiga dari teori pasar adalah mengenai bagaimana kebijakan publik itu seyogyanya
dirumuskan,utama yang selama ini disentralisasikan pada birokrat karier di sektor publik. Teori pasar
mengendapi adanya desentralisasi pembuatan kebijakan pada agensi-agensi yang berkarakter di jenjang
bawah yang diberi otonomi untuk membuat kebijakan. Diharapkan agensi di bawah yang berjiwa
‘wirausaha’ itu mampu menangkap signal pasar,mampu melakukan aktivitas yang lebih inovatif dan lebih
berani menanggung resiko,dan perlu adanya birokrasi publik yang lebih mementingkan ‘public interest’
dari pada ‘self interest’.
Tetapi politisasi level bawah diberi kewenangan membuat level bawah untuk diberi kewenangan
membuat kebijakan dinilai oleh beberapa pihak yang menolak sebagai melanggar prinsip merit system.
Selain itu ada masalah lain yang berkaitan dengan posis dan peran warga Negara. Menurut teori pasar
warga Negara adalah merupakan penerima program pemerintah dan public yang secara umu sebagai
konsumen posisi yang memberdayakan adalah warga sebagai konsumen berharap akan memperoleh
pelayana yang baik sebagai mana yang diberikan oleh sector privat sedangkan yang merendahkan adalah
posisi warga Negara sekedar sebagai konsumen.

 Kepentingan Publik
Pandangan teori pasar tentang konsep teori public :
1. Pemerintah harus dapat memberikan pelayanan yang murah dan bermutu bagi publiknya
2. Warga Negara harus dipandang sebagai konsumen sekaligus sebagai pembayar pajak yang punya
kewajiban hak .
Teori pasar menghendaki agar sector public dapat memberikan pelayanan yang ramah kepada
pelanggan (customer friendly)

 Publik choice theory


Salah satu teori ekonomi yang diterapkan pada aspek birokrasi adalah teori pilihan public teori ini
berpeluang untuk mendukung pandangan bahwa pemerintah sekarang ini sangat besar, lamban dan tidak
efisien sangat kontras dengan harapan dari adm public tradisional

Menurut teori ini individu birokrat itu pada hakekatnya permotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri :
kekuasaan , kekayaan dan kepentingan dirinya yang lain atas biaya agensinya. Teori ini berpandangan
pada hasil akan dicapai dengan baik dalm menyidiakan barang dan jasa public bila melihatkan mekanisme
pasar secar optimal teori pilihan public yang berbasis rasional actor model melihat manusia itu adalah
merupakan mahluk yang cenderung berupa utility maximiser yang sangat egoistic, sellf-regarding and
instrumentain their behavior, choosing how to atc on the basis of the consequences for their personal
welfare pandangan seperti ini jelas bertolak belakang dengan teori tipe ideal dari weber dimana
diasumsikan bahwa birokrasi termotivasi dengan realisasi perannya sebagai service to the state sebagai
abdi Negara pelayan masyarakat yang berjuang untuk kepentingan public(public interest) dan bukan untuk
kepentingan diri sendiri(self interest).

BAB III
KESIMPULAN

Public Management dapat diartikan sebagai bagian yang sangat penting dari administrasi
publik (yang merupakan bidang kajian yang lebih luas), karena administrasi publik tidak membatasi dirinya
hanya pada pelaksanaan manajemen pemerintahan saja tetapi juga mencakup aspek polotik, sosial,
kultural, dan hukum yang berpengaruh pada lembaga-lembaga publik. Dan Public Management berkaitan
dengan fungsi dan proses manajemen yang berlaku baik pada sektor publik (pemerintahan) maupun sektor
diluar pemerintahan yang tidak bertujuan mencari untung (nonprofit sector).
NPM secara umum dipandang sebagai suatu pendekatan dalam administrasi publik yang
menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dalam dunia manajemen bisnis dan disiplin
yang lain untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas kinerja pelayanan publik pada birokrasi modern.
Menurut Owen E.Hughes (1994), ada 6 alasan munculnya paradigma Public Management yaitu :
1. Administrasi publik tradisional telah gagal mencapai tujuanynya secara efektif dan efisien sehingga perlu
diubah menuju ke orientasi yang lebih memusatkan perhatian pada pencapaian hasil(kinerja) dan
akuntabilitas;
2. Adanya dorongan yang kuat untuk mengganti tipe birokrasi klasik yang kaku menuju ke kondisi organisasi
public, kepegawaian, dan pekerjaan yang lebih luwes;
3. Perlunya menetapkan tujuan organisasi da pribadi secara jelas dan juga perlu ditetapkan alat ukur
keberhasilan kinerja lewat indicator kinerja;
4. Perlunya para pegawai senior lebih punya komitmen politik pada pemerintah yang sedang berkuasa
daripada bersikap netral atau non partisan;
5. Fungsi-fungsi yang dijalankan pemerintah hendaknya lebih disesuaikan dengan tuntutan dan signal pasar;
dan
6. Adanya kecenderungan untuk mereduksi peran dan fungsi pemerintah dengan melakukan kontrak kerja
dengan pihak lain (contracting out) dan privatisasi.
M.Minougue (2000) menyebut adanya 5 karakteristik utama Public Management, yaitu:
1. A separation of strategic policy from operational management. Public management lebih banyak terkait
dengan tugas-tugas operasional pemerintahaan dari pada peran perumusan kebijakan.
2. A concern with results rather than process and procedure. Public management lebih berkonsentrasi pada
upaya mencapai tujuan daripada upaya berkutat dengan proses dan prosedur.
3. An orientation the needs of customer rather than those of bureaucratic organizations. Public management
lebih banyak berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pelanggan dari pada kebutuhan birikrasi.
4. A withdrawal from direct service provision in favour of a steering or enabling role. Public management
menghindarkan diri dari berperan memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sesuai dengan
peran nutamanya memberikan arahan saja atau pemberdayaan kepada masyarakat.
5. A trans formed bureaucratic culture/ A change to entrepreneurial management culture. Public management
mengubah diri dari budaya birokrasi.
Dalam rangka meningkatkan kinerja sektor publik, Public Management diarahkan kegiatannya
pada:
1. Melakukan restrukturisasi sektor publik lewat proses privatisasi.
2. Melakukan restrukturisasi dan merampingkan struktur dinas sipil di pusat.
3. Memperkenalkan nilai-nilai persaingan khususnya lewat pasar internal dan mengkontrakkan pelayanan
public kepada pihak swasta dan intervensi oleh pemerintah.
4. Meningkatkan efisiensi lewat pemeriksaan dan pengukuran kinerja.

Tujuan dari Public Management adalah:


Menurut Graham & Hays (1991): “public managemen are concerned with efficiency,accountability,goal
achlevement and dozen of other managerial and technical question”, Manajemen publik itu bertujuan untuk
menjadikan sector public lebih efisien, akuntabel, dan tujuannya tercapai serta lebih mampu menangani
berbagai masalah manajerial dan teknis.
Ada empat tahap perkembangan manajemen publik disebuah negara maju (Inggris) yang meliputi:
1. The Minimal State
2. Unequal Partnership between Government and The Charitable and Private Sectors.
3. The Welfare State
4. The Plural State

PUBLIC DOMAIN diperlukan untuk mengatasi ketidaksempurnaan pasar, dimana kebutuhan


pelbagai kebutuhan pelayanan masyarakat atau redistribusi sumber-sumber tidak dapat disediakan oleh
pasar. Public Domain juga diperlukan untuk memenuhi nilai-nilai khas yang harus ada pada sikap
manajemen sektor publik ,yaitu equity & equality.
Teori pasar muncul sebagai reaksi atas model administrasi publik tradisional yang dinilai
mempunyai banyak kekurangan terutama dengan adanya tantangan agar sector publik lebih mampu
meningkatkan kinerjanya secara efektif dan efisien. Tantangan ini muncul akibat dari peran birokrat
konfensional yang terlalu mementingkan dirinya sendiri(self interest).

DAFTAR PUSTAKAManagemen Public

Islamy, Irfan. 2003. Dasar-dasar Administrasi Publik dan Manajemen Publik . Malang, Indonesia :
UNIVERSITAS BRAWIJAYA.
Pasalong, Harbani. 2007. Teori Administrasi Publik. Makasar, Indonesia : ALFABETA.

Diposting 14th May 2012 oleh Anak Tempirai


Label: Pengetahuan

0
Tambahkan komentar

Rinto Sang Pengejar Mimpi

 Klasik
 Kartu Lipat

 Majalah

 Mozaik

 Bilah Sisi

 Cuplikan

 Kronologis
1.
OCT

26

Analisis Formulasi Kebijakan Publik


ALTERNATIF KEBIJAKAN
PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN
PERTANIAN DI PROVINSI SUMATERA
UTARA
DISUSUN OLEH :
NAMA : RINTO SUSANTO (07101401050)

DOSEN PENGASUH : JUNAIDI, S.IP, M.Si

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU


POLITIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN AJARAN 2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara agraris, artinya sektor pertanian memegang peranan penting dalam tatanan
pembangunan nasional. Peran yang diberikan sektor pertanian antara lain: menyediakan pangan bagi seluruh
penduduk, menyumbang devisa Negara dari sektor non migas, membuka kesempatan kerja. Besarnya jumlah
penduduk yang masih perlu ditingkatkan (Noor,1996)
Di Indonesia, alih fungsi lahan pertanian merupakan masalah krusial. Fenomena alih fungsi lahan pertanian
ke nonpertanian merupakan ancaman ketahanan pangan. Alih fungsi lahan pertanian terus terjadi sampai tingkat
mencemaskan dan mengganggu. Secara umum, faktor eksternal dan internal mendorong konversi lahan pertanian.
Faktor eksternal merupakan dampak transformasi struktur ekonomi dan demografis. Lahan tak berubah, tetapi
permintaan meningkat akibat pertumbuhan penduduk. Akibatnya, penggunaan lahan bergeser pada aktivitas
nonpertanian yang lebih menguntungkan. Faktor internal yang menyebabkan alih fungsi lahan adalah kemiskinan.
Buruknyakondisi
sosial ekonomi memicu petani menjual lahan pertaniannya. Mereka
merasa tidak mendapat keuntungan ekonomis dari lahan itu (Lubis,A,E, 2005). Terjadinya
perubahan penggunaan lahan dapat disebabkan karena adanya perubahan rencana tata ruang wilayah, adanya
kebijaksanaan arah pembangunan dan karena mekanisme pasar. Pada masa lampau yang terjadi adalah lebih banyak
karena dua hal yang terakhir, karena kurangnya pengertian masyarakat maupun aparat pemerintah mengenai tata
ruang wilayah, atau rencana tata ruang wilayah yang sulit diwujudkan. Sejalan dengan kebijaksanaan pembangunan
yang menekankan kepada aspek pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas investasi, baik kepada investor lokal
maupun luar negeri dalam penyediaan tanahnya, maka perubahan penggunaan tanah dari pertanian ke
nonpertanian terjadi secara meluas. (Bambang.S,2005 )

Pertumbuhan penduduk yang cepat diikuti dengan kebutuhan perumahan menjadikan


lahan-lahan pertanian berkurang di berbagai daerah. Lahan petani yang semakin sempit
semakin terfragmentasi akibat kebutuhan perumahan dan lahan industri. Petani lebih
memilih bekerja di sektor informal daripada bertahan di sektor pertanian Daya tarik
sektor pertanian yang terus menurun juga menjadikan petani cenderung melepas
kepemilikan lahannya. Pelepasan kepemilikan lahan cenderung diikuti dengan alih
fungsi lahan. Salah satu yang penting dan diperlukan dalam penanganan masalah ini
adalah data kecepatan alih fungsi lahan per tahun. Dari data tersebut dapat diperkirakan
dampak-dampak alih fungsi lahan itu (Gunanto, 2007).
Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok
tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan
umat manusia. Namun seiring perkembangan zaman dan dinamika gerak langkah
pembangunan serta pertumbuhan jumlah penduduk, eksistensi lahan mulai terusik.
Salah satu permasalahan yang cukup terkait dengan keberadaan tanaman padi
adalah makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi kepenggunaan lainnya sperti
pembangunan pemukiman penduduk dan tanaman lainnya.
Sebagian besar alih fungsi lahan yang terjadi beralih menjadi tanaman kelapa
sawit. Perkebunan kelapa sawit dalam 10 tahun terakhir
mengalami booming dengan beberapa alasan terutama kebutuhan investasi untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat. Faktor pendukung di luar itu adalah tekanan
terhadap pengurangan bahan bakar fosil secara global. Dengan paradigma
pertumbuhan ekonomi, pemerintah melihat bahwa perkebunan kelapa sawit mampu
menyerap tenaga kerja dan menghasilkan devisa negara dari pajak.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit pada saat ini telah meluas hampir ke semua
kepulauan besar di Indonesia. Selama 19 tahun terakhir, ekspansi perkebunan
kelapa sawit mencapai rata-rata 315.000 Ha/tahun. Sampai saat ini Indonesia
memiliki kurang lebih 7 juta hektar lahan yang telah ditanami kelapa sawit. Di luar
itu, sekitar 18 juta hektar hutan telah dibuka atas nama ekspansi perkebunan kelapa
sawitdan pemukiman penduduk.
Sumatera Utara sebagai salah satu sentral perkebunan kelapa sawit di
Indonesia menghasilkan rata-rata 1,7 juta ton CPO per tahun. Jumlah ini mencapai
8,23% dari total produksi CPO nasional per tahun. Luas perkebunan kelapa sawit di
Sumatera Utara setiap tahun juga mengalami peningkatan. Peningkatan luas ini
terjadi karena konversi lahan pertanian khususnya sawah, terutama di daerah
Langkat, Serdang Bedagai dan Labuhanbatu.
Di sisi lain, perkebunan kelapa sawit menghadirkan ketimpangan kepemilikan,
konflik tanah, ancaman ketahanan pangan dan kerusakan ekosistem. Sebagaimana
telah dipaparkan, perluasan perkebunan kelapa sawit mencapai rata-rata 315.000
hektar/tahun. Pertambahan luas perkebunan kelapa sawit seiring dengan perubahan
dalam hal kepemilikan. Perkembangan menunjukkan bahwa pemerintah tidak lagi
menjadi aktor utama dalam pemilikan perkebunan kelapa sawit. Fakta
memperlihatkan bahwa kepemilikan maupun perluasan perkebunan kelapa sawit
justru dilakukan oleh sektor swasta asing maupun swasta pribumi. Perusahaan-
perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut tidak hanya melakukan perluasan
tetapi juga melakukan privatisasi perkebunan-perkebunan kelapa sawit milik negara.
BPS (2010) mengatakan konversi lahan akibat ekspansi perkebunan kelapa
sawit setiap tahunnya cenderung meningkat. Di Sumatera Utara sebagai contoh,
pada tahun 2005-2006 terjadi pengalihan fungsi lahan pertanian seluas 39.669
hektar atau sekitar 7,55 persen dari luas baku lahan sawah berpengairan di Sumut.
Alih fungsi lahan pertanian tersebut terutama terjadi ke sektor perkebunan kelapa
sawit dan sub sektor lain di luar sektor pertanian tanaman pangan. Alih fungsi lahan
di Sumut sebanyak hampir 40 ribu hektar pada 2005-2006 itu terjadi di 13
kabupaten. Daerah yang terbesar mengalami pengalihan fungsi lahan adalah
Tapanuli Selatan, Asahan dan Labuhanbatu masing-masing sebesar 10.455 hektar,
7373 hektar dan 6.809 hektar. Di Labuhanbatu, sebagai salah satu wilayah lumbung
beras di Sumatera Utara, konversi lahan sawah menjadi perkebunan kelapa sawit
rata-rata mencapai 5.000 hektar per tahunnya.
BPS (2010) mengatakan tingginya angka konversi lahan pertanian ke sektor di
luar pertanian berdampak pada penurunan produksi padi. Berdasarkan produksi
padi periode 1998 - 2006 mengalami penurunan 23% per tahun. Penurunan itu
terjadi akibat berkurangnya lahan pertanian padi sebesar 1,13 persen per tahun.
Sementara itu, sejak 2007 - 2008, konversi lahan pertanian di Sumatera Utara
tumbuh sekitar 4,2 persen. Lahan pertanian tersebut dialihkan ke tanaman keras
dan kawasan pemukiman. Luas lahan sawah berpengairan yang beralih fungsi pada
tahun 2006 mencapai 280.847 hektar dan tahun 2008 mencapai 278.560 hektar.
Kurun waktu 2007-2008, alih fungsi terbesar terjadi di Kabupaten Asahan yang
mencapai 6.800 hektar, disusul Nias 6.700 hektar, Serdang Bedagai 2.300 hektar
dan Langkat 1.400 hektar.

Tabel 1.1. Luas Lahan Pertanian Padi di Sumatera Utara


No Tahun Luas (Ha)
1 2004 826.091
2 2005 822.073
3 2006 782.404
4 2007 750.232
5 2008 748.540
Sumber: BPS, Sumatera Utara Dalam Angka, 2010 (diolah)

Tabel 1.2. Luas Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara


No Tahun Luas (Ha)
1 2004 844.882
2 2005 894.911
3 2006 1.044.230
4 2007 1.009.000
5 2008 1.106.000
6 2009 1.138.908
Sumber: BPS, Sumatera Utara Dalam Angka, 2010 (diolah)

Tabel 1.1 dan Tabel 1.2 di atas dapat dilihat telah terjadi penurunan luas lahan
tanaman padi dan peningkatan luas lahan tanaman kelapa sawit. Dapat dikatakan
memang pertanian tanaman pangan berjalan terseok-seok dan lebih banyak
menunjukkan tren menurun. Padahal, dari kondisi geografisnya, di Sumatera Utara
memiliki lahan potensial untuk mengembangkan tanaman pertanian, khususnya
padi. Dari gambaran itu jelas terdapat korelasi antara penurunan luas areal tanaman
padi dan pertambahan luas perkebunan kelapa sawit. Tidak dipungkiri, cerita indah
manisnya penghasilan petani kelapa sawit telah membuat laju konversi lahan
semakin cepat.
Alih fungsi lahan pertanian sebagai akibat pembukaan lahan perkebunan kelapa
sawit telah menyebabkan perubahan pola tanam petani pangan, khususnya padi.
Kawasan yang dahulunya adalah merupakan areal persawahan berubah menjadi
areal perkebunan kelapa sawit. Pola tanam padi yang tidak serentak akibat dampak
perluasan areal tanaman keras, terutama kelapa sawit membawa resiko bagi petani
yang masih bertahan di tanaman padi. Permasalahan yang mendasar dalam
ketahanan pangan adalah konversi lahan pertanian pangan. Semakin sempitnya
lahan pertanian pangan yang tersedia, maka semakin sulit bagi petani untuk
berproduksi secara optimal. Bagi pemerintah Sumatera Utara, hal ini sangat perlu
diperhatikan. Dari sisi kepemilikan lahan, sekitar 37,64 persen dari rumah tangga
petani di Sumatera Utara yakni 1.262.421 KK hanya memiliki lahan pertanian di
bawah satu hektar atau hanya berkisar 0,5 hektar.
Dampak permasalahan yang lebih luas tersebut termasuk pengaruhnya
terhadap kestabilan politik yang diakibatkan oleh kerawanan pangan, perubahan
sosial yang merugikan, menurunnya kualitas lingkungan hidup terutama yang
menyangkut sumbangan fungsi lahan sawah kepada konservasi tanah dan air untuk
menjamin kehidupan masyarakat di masa depan. Dampak dari kehilangan lahan
pertanian produktif adalah kehilangan hasil pertanian secara permanen, sehingga
apabila kondisi ini tidak terkendali maka dipastikan kelangsungan dan peningkatan
produksi akan terus berkurang dan pada akhirnya akan mengancam kepada tidak
stabilnya ketahanan pangan di Sumatera Utara.
Diperkirakan minyak kelapa sawit akan menjadi komoditas yang paling banyak
diproduksi, dikonsumsi dan paling banyak diperdagangkan di dunia. Pengembangan
kelapa sawit di Sumatera Utara, sebagaimana wilayah lainnya di Indonesia
memang, tergantung dari perundang-undangan pemerintah pusat di Jakarta. Tetapi,
status otonomi daerah dan aspek ketahanan pangan (padi) setidaknya dapat
dijadikan dasar argumentasi untuk menahan laju ekspansi perluasan lahan
perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara.
Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pusat dan Daerah, maka sudah merupakan tanggung jawab
Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu untuk mengembangkan sektor-sektor
perekonomian yang mempunyai kontribusi dalam pembentukan struktur
perekonomian. Di Kabupaten Labuhanbatu sektor-sektor tersebut antara lain yaitu:
perkebunan, pertanian tanaman pangan, peternakan, perikanan, industri dan
perdagangan. Sektor yang paling dominan mewarnai karakteristik perekonomian
Kabupaten Labuhanbatu yaitu perkebunan.
Kondisi umum masyarakat Kabupaten Labuhanbatu relatif sama di mana mata
pencaharian penduduknya sebagian besar adalah sebagai petani tanaman padi.
Namun beberapa tahun terakhir akibat terjadi konversi lahan berubah menjadi petani
kebun kelapa sawit.
Alih fungsi lahan juga mengakibatkan kerugian ekologis bagi sawah di
sekitarnya, antara lain hilangnya hamparan efektif untuk menampung kelebihan air
limpasan yang bisa membantu mengurangi banjir. Kerugian itu masih bertambah
dengan hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan bagi petani penggarap, buruh
tani, penggilingan padi, dan sektor-sektor lainnya. Pertanian tanaman padi
merupakan komoditas yang paling banyak menyediakan lapangan kerja dalam
sektor pertanian.
Di Kabupaten Labuhan batu pada kurun waktu lima tahun terakhir terjadi
penurunan luas lahan pertanian padi dibandingkan dengan luas lahan perkebunan
kelapa sawit rakyat yang mengalami peningkatan.
Indikasi bahwa kesenjangan rata-rata laju pertumbuhan luas lahan tanaman padi
dengan luas lahan tanaman kelapa sawit disebabkan oleh alih fungsi lahan dari
tanaman padi, karena menanam kelapa sawit lebih menguntungkan dari pada
menanam padi.
Saat sekarang ini tanaman kelapa sawit merupakan tanaman andalan di
Kabupaten Labuhanbatu yang memberikan pendapatan masyarakat yang lebih baik
dan terjamin dibandingkan dengan tanaman pertanian lain seperti padi, karet dan
kopi. Oleh karena itu, setiap tahun terjadi alih fungsi lahan pertanian tersebut
menjadi kelapa sawit, khususnya di kalangan petani. Selain alih fungsi lahan, juga
terjadi peralihan sistem pertanian dari tradisional menjadi semi intensif. Peralihan
sistem usaha tani tersebut menyebabkan penggunaan modal dalam sistem
pertanian semakin intensif, karena dalam perkebunan kelapa sawit aktivitas kegiatan
lebih tinggi dibandingkan dengan padi.
Melihat potensi dan fenomena yang ada ini, maka penulis tertarik untuk meneliti
faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan tanaman padi kepenggunaan
lainnya.
Pembahasan dan penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian yang dapat
mengurangi jumlah lahan pertanian, terutama lahan sawah, telah berlangsung sejak
dasawarsa 90-an. Akan tetapi sampai saat ini pengendalian alih fungsi lahan
pertanian belum berhasil diwujudkan. Selama ini berbagai kebijaksanaan yang
berkaitan dengan masalah pengendalian konversi lahan sawah sudah banyak
dibuat.
Penyebab pertama, kebijakan yang kontradiktif terjadi karena di satu pihak
pemerintah berupaya melarang terjadinya alih fungsi, tetapi di sisi lain kebijakan
pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor non pertanian lainnya justru mendorong
terjadinya alih fungsi lahan-lahan pertanian. Yang kedua, cakupan kebijakan yang
terbatas. Peraturan-peraturan tersebut di atas baru dikenakan terhadap
perusahaanperusahaan / badan hukum yang akan menggunakan tanah dan/atau
akan merubah tanah pertanian ke non pertanian. Perubahan penggunaan tanah
sawah ke non pertanian yang dilakukan secara individual/peorangan belum
tersentuh oleh peraturan-peraturan. Padahal perubahan fungsi lahan yang dilakukan
secara individual secara langsung diperkirakan cukup luas. Kendala konsistensi
perencanaan disebabkan karena Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang
dilanjutkan dengan mekanisme pemberian ijin lokasi adalah instrumen utama dalam
pengendalian untuk mencegah terjadinya konversi lahan sawah beririgasi teknis.
Dalam kenyataannya banyak RTRW yang justru merencanakan untuk mengkonversi
tanah sawah beririgasi teknis menjadi non pertanian. Kelemahan lain dalam
peraturan perundangan yang ada yaitu : (i) Objek lahan pertanian yang dilindungi
dari proses konversi ditetapkan berdasarkan kondisi fisik lahan, padahal kondisi fisik
lahan relatif mudah direkayasa, sehingga konversi lahan dapat berlangsung tanpa
melanggar peraturan yang berlaku; (ii) Peraturan yang ada cenderung bersifat
himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, baik besarnya sanksi maupun
penentuan pihak yang dikenai sanksi; (iii) Jika terjadi konversi lahan pertanian yang
tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku sulit ditelusuri lembaga yang paling
bertanggung jawab untuk menindak karena ijin konversi adalah keputusan kolektif
berbagai instansi. (Simatupang dan Irawan, 2002).
Selain itu dua faktor strategis lain adalah pertama, yang sifatnya fundamental
adalah petani sebagai pemilik lahan dan pemain dalam kelembagaan lokal belum
banyak dilibatkan secara aktif dalam berbagai upaya pengendalian alih
fungsi. Kedua, belum terbangunnya komitmen, perbaikan sistem koordinasi, serta
pengembangan kompetensi lembaga-lembaga formal dalam menangani alih fungsi
lahan pertanian. Beberapa kelemahan dan keterbatasan tersebut di atas telah
menyebabkan instrument kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang
selama ini telah disusun tidak dapat menyentuh secara langsung simpul-simpul kritis
yang terjadi di lapangan.

Tabel 1.1. Tabel Pemetaan Masalah


Tahapan Ilustrasi Masalah
Seiring perkembangan zaman dan dinamika gerak langkah
pembangunan serta pertumbuhan jumlah penduduk, eksistensi lahan
mulai terusik. Salah satu permasalahan yang cukup terkait dengan
Situasi Masalah keberadaan tanaman padi adalah makin maraknya alih fungsi
lahankepenggunaan lainnya seperti Industri Sawit maupun pemukiman
penduduk.
1. Perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai rata-rata
Meta Masalah 315.000 hektar/tahun . Pertambahan luas perkebunan kelapa sawit seiring
dengan perubahan dalam hal kepemilikan. Perkembangan menunjukkan
bahwa pemerintah tidak lagi menjadi aktor utama dalam pemilikan
perkebunan kelapa sawit
2. Konversi lahan akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit dan pemukiman
penduduk setiap tahunnya cenderung meningkat. Di Sumatera Utara
sebagai contoh, pada tahun 2005-2006 terjadi pengalihan fungsi lahan
pertanian seluas 39.669 hektar atau sekitar 7,55 persen dari luas baku
lahan sawah berpengairan di Sumut.
3. Tingginya angka konversi lahan pertanian ke sektor di luar pertanian
berdampak pada penurunan produksi padi. Berdasarkan produksi padi
periode 1998 - 2006 mengalami penurunan 23% per tahun.
4. Sejak 2007 - 2008, konversi lahan pertanian di Sumatera Utara tumbuh
sekitar 4,2 persen. Lahan pertanian tersebut dialihkan ke tanaman keras
dan kawasan pemukiman.
Dari Aspek Politik, Dampak permasalahan yang lebih
luas yaitupengaruhnya terhadap kestabilan politik yang diakibatkan oleh
kerawanan pangan. Penyebab utama permaslahan yang ada adalah
adanya kebijakan yang kontradiktif karena di satu pihak pemerintah
berupaya melarang terjadinya alih fungsi, tetapi di sisi lain kebijakan
pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor non pertanian lainnya justru
mendorong terjadinya alih fungsi lahan-lahan pertanian.
D
Dari Aspek Sosial, Dampak dari kehilangan lahan pertanian produktif
adalah kehilangan hasil pertanian secara permanen, sehingga apabila
kondisi ini tidak terkendali maka dipastikan kelangsungan dan
Masalah peningkatan produksi akan terus berkurang dan pada akhirnya akan
Substantif mengancam kepada tidak stabilnya ketahanan pangan di Sumatera Utara.

Dari Aspek Lingkungan, alih fungsi lahan mengakibatkan kerugian


ekologis bagi sawah di sekitarnya, antara lain hilangnya hamparan efektif
untuk menampung kelebihan air limpasan yang bisa membantu
mengurangi banjir.

Dari Aspek Financial, Pertanian tanaman padi merupakan komoditas


yang paling banyak menyediakan lapangan kerja dalam sektor pertanian,
dengan berkurangnya lahan pertanian padi otomatis menyebabkan
bertambah jumlah pengangguran yang dapat menimbulkan kemiskinan.
Melalui situasi masalah, meta masalah substantive maka dapat di buat
Masalah Formal masalah formal, Alternatif kebijakan seperti apa yang akan
dilakukan oleh pemerintah dalam mengendalikan konversi lahan
pertanian padi di Sumatera Utara ?
Sumber : di olah oleh Penulis

1.2 Perumusan Masalah


Dari latar belakang diatas dan tabel permasalahan yang diatas dapat ditarik
yang menjadi perumusan masalah adalah alternatif kebijakan manakah yang terbaik
yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam pengendalian konversi lahan pertanian
di Sumatera Utara:
1. Alternatif Kebijakan apa yang akan dilakukan untuk membatasi kepentingan pribadi
atau selfinterestsecara terusmenerus ,kebijakan pengendalian melalui otoritas
sentral?
2. Kebijakan apa yang dilakukan dalam pemberian insentif terhadap perluasan sawah
baru dan pemilik sawah/lahan pertanian padi yang perlu dilindungi?
3. Alternatif Kebijakan apa yang dilakukan dalam penguatan kemampuan kolektif
masyarakat tani dalam mengelola sumber daya lahan pertanian?

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Analisis Kebijakan Publik
Analisis kebijakan publik merupakan ilmu yang bersifat multidisipliner, banyak
para ahli mendefinisikan istilah analisis kebijakan publik namun substansinya tetap
sama, beberapa diantaranya adalah :
W.N. Dunn, 1994
Analisis kebijakan publik merupakan disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan
multi metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan mentransformasikan
informasi yang policy relevan untuk memecahkan masalah kebijakan.
Patton C.V and Sawicki, D.S, 1986
Analisis kebijakan publik adalah proses mengidentifikasikan dan mengevaluasi
alternatif kebijakan atau alternatif program untuk mengatasi atau mencegah masalah
– masalah sosial, ekonomi, dan fisik.
Seringkali kebijakan publik tidak dilaksanakan secara sistematis dan cenderung
reaktif, sehingga kualitas kebijakan sangat rendah dan banyak ditentang
masyarakat. Selain itu, dalam suatu kebijakan masih mengandung kelemahan,
antara lain : (1) Core problem tidak terdefinisi dengan baik ; (2) mengalami kgagalan
karena kondisi politik tidak mendukung ; (3) outcomes kebijakan tidak seperti yang
diharapkan.
Dalam mengevaluasi suatu altenatif kebijakan terdapat beberapa metode yang
dapat digunakan (S. Effendi, 1990) diantaranya adalah :
a. Franklin Method, adalah suatu metode untuk memilih dan membandingkan
berbagai alternatif dengan cara menginventarisir berbagai alasan positif dan negatif
ataupun dengan melihat konsekuensi masing – masing kebijakan yang telah
diidentifikasi.
b. Paurel Compretion Method, adalah suatu cara memilih dan membandingkan
berbagai alternatif kebijakan secara berpapasan sampai memperoleh alternatif
terakhir.
c. Satisfizing method, adalah cara memilih alternatif kebijakan dengan
mendasarkan apakah altenatif tersebut memenuhi kriteria yang telah ditetapkan.
d. Lexicographic method, adalah suatu cara pemilihan altenatif kebijakan
dengan membandingkan semua alternatif berdasaran kriteria seleksi.
e. Alternatif Non Domain Method, adalah suatu cara membandingkan
alternatif kebijakan, dimana yang paling dominan adalah yang dipilih.
f. Equivalent Alternatif Method. adalah suatu cara memilih alternatif dengan
membandingkan alternatif dengan membuat standar atau kriteria yang sama yang
akan digunakan.
g. Analisis Matrix Method, adalah suatu cara membandingkan alternatif
kebijakan dengan menggunakan matrix.
Dengan menerapkan kriteria tersebut seorang analis dapat merekomendasikan
alternatif kebijakan mana yang paling baik dalam kaitannya dengan pencapaian
tujuan.
Disamping itu, analisis kebijakan publik dapat dilakukan dengan basis Dynamic
Policy Analysis. Menurut Dwiyanto Indiahono (2009) Kebijakan publik berbasis
Dynamic Policy Analysis adalah kebijakan publik yang dirancang dan dikonsepsikan
dengan mendasarkan diri kepada analisis kebijakan yang berani melakukan
pemikiran atas ; desain – desain kebijakan publik yang telah ada; desain – desain
program dan kebijakan yang berhasil dilaksanakan di berbagai daerah domestik
maupun luar negeri ; alternatif kebijakan yang dikembangkan diluar batas peraturan
yang berlaku yang sewaktu – waktu dapat berubah ; alternatif kebijakan yang kreatif
dan adaptif terhadap perubahan lingkungan kebijakan secara cepat dan tepat ;
usaha kebijakan untuk menciptakan karakter birokrasi yang unggul. Analisis
kebijakan berbasis Dynamic Policy Analysis jua mendasarkan diri kepada sinergitas
analisis kebijakan dengan publik, privat dan pemerintah dalam setiap tahap analisis
kebijakan publik. Sinergitas tersebut akan menimbulkan pola dinamis dari proses
analisis kebijakan, sehingga akan menambah kualitas kebijakan yang rasional dan
lebih pro kepada publik.

2.2 Teori Alokasi Lahan


Penggunaan lahan merupakan resultante dari interaksi berbagai macam
faktor yang menentukan keputusan perorangan, kelompok, ataupun pemerintah.
Oleh karena itu proses perubahan penggunaan lahan sifatnya sangat kompleks.
Mekanisme perubahan itu melibatkan kekuatan-kekuatan pasar, sistem administratif
yang dikembangkan pemerintah, dan kepentingan politik. Peranan pasar dalam
proses alokasi penggunaan lahan sudah banyak dipelajari (Chisholm, 1966; Alonso,
1970; Barlowe, 1978) yang mendasarkan pada efisiensi. Oleh karena itu, tingkah
laku individual yang dimasukkan dalam mekanisme pasar didasarkan pada nilai
penggunaan (utility) yaitu highest and best use. Secara teoritis, sejauhmana
efisiensi alokasi sumberdaya lahan dapat dicapai melalui mekanisme pasar, akan
tergantung apakah hak pemilikan (ownership) dapat mengontrol himpunan
karakteristik sumberdaya lahan.
Himpunan karakteristik ini antara lain adalah : eksternalitas, inkompatibilitas
antar alternatif penggunaan, ongkos transaksi, economies of scale, aspek
pemerataan, dan keadilan. Dalam prakteknya, pemerintah di sebagian besar negara
di dunia memegang peran kunci dalam alokasi lahan. Dengan sangat strategisnya
fungsi dan peran lahan tanah dalam kehidupan masyarakat (ekonomi, politik, sosial,
dan kebudayaan) maka pemerintah mempunyai legitimasi kuat untuk mengatur
kepemilikan/penguasaan tanah. Peran pemerintah dalam alokasi lahan sumberdaya
lahan dapat berupa kebijakan yang tidak langsung seperti pajak, zonasi (zoning),
maupun kebijakan langsung seperti pembangunan waduk dan kepemilikan lahan
seperti hutan, daerah lahan tambang, dan sebagainya. Dengan demikian peranan
pemerintah melalui sistem perencanaan wilayah (tata guna) ditujukan untuk: (1)
menyediakan sumberdaya lahan untuk kepentingan umum, (2) meningkatkan
keserasian antar jenis penggunaan lahan, dan (3) melindungi hak milik melalui
pembatasan aktivitas-aktivitas yang membahayakan.
Secara garis besar, model tata guna lahan dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu:
1. Model mikro dimana satuan analisisnya mikro (misalnya perusahaan).
Dalam pendekatan ini terdapat empat model yang biasa diacu yaitu: (1) model von
Thunen, (2) model Burges, (3) model Hoyt, dan (4) model Weber (Barlowe, 1978;
Foust and de Souza, 1978).
2. Model analitik pendekatan wilayah, dimana unit analisisnya adalah wilayah. Model
klasik dari alokasi lahan adalah model Ricardo. Menurut model ini, alokasi lahan
akan mengarah pada penggunaan yang menghasilkan surplus ekonomi (land rent)
yang lebih tinggi, yang tergantung pada derajat kualitas lahan yang ditentukan oleh
kesuburannya. Menurut von Thunen nilai land rent bukan hanya ditentukan oleh
kesuburannya tetapi merupakan fungsi dari lokasinya. Pendekatan von Thunen
mengibaratkan pusat perekonomian adalah suatu kota yang dikelilingi oleh lahan
yang kualitasnya homogen. Tataguna lahan yang dihasilkan dapat dipresentasikan
sebagi cincin-cincin lingkaran yang bentuknya konsentris yang mengelilingi kota
tersebut. oleh Dunn (1954) pada dasarnya menggunakan pendekatan von Thunen. Berbeda
dengan model-model sebelumnya, orientasi dari model Weber adalah menentukan
lokasi optimal dari suatu unit usaha relatif terhadap sumber bahan baku dan lokasi
pemasaran produk. Model ini pada umumnya digunakan untuk
menganalisis dampak-dampak, misalnya dampak permintaan akhir terhadap produk
industri dan implikasinya terhadap permintaan lahan.
2.3 Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian
Secara semantik, istilah "pengendalian" mengandung makna "melakukan suatu
tindakan tertentu dengan tujuan agar proses, output, dan outcomes" yang terjadi
sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu secara normatif langkah-langkah
yang harus dilakukan dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian ke non
pertanian mencakup lima aspek yaitu: (1) penentuan cakupan, tujuan dan sasaran,
(2) penentuan pendekatan dan metode, dan (3) identifikasi instrumen kebijakan, (4)
implementasi kebijakan, dan (5) evaluasi.
Penentuan cakupan, tujuan, dan sasaran pengendalian lahan sangat penting
dengan adanya kompetisi penggunaan lahan untuk tujuan konsumsi, produksi dan
pelestarian lingkungan sehingga diperlukan pengaturan yang ditujukan untuk
menjamin ketersediaan lahan untuk berbagai penggunaan. Dengan demikian,
pengendalian lahan juga berfungsi untuk mengamankan kepentingan publik.
Mengingat pengendalian lahan bersifat spatial maka perlu adanya harmonisasi
antar wilayah administrasi sehingga pengendalian lahan merupakan kebijakan
berlingkup nasional.
Penentuan pendekatan dan metode. Pendekatan dan metode yang
diterapkan untuk mengendalikan alih fungsi lahan pertanian tergantung pada tiga
aspek secara simultan yaitu: (1) cakupan, tujuan, dan sasaran pengendalian alih
fungsi lahan pertanian itu sendiri, (2) permasalahan empiris yang terkait dengan
penyebab, pola, dan dampak alih fungsi lahan pertanian, dan (3) sumberdaya yang
dimiliki yang diperkirakan dapat dipergunakan untuk mendukung pendekatan atau
metode pengendalian yang akan diterapkan. Pertimbangan untuk menentukan
pendekatan dan metode yang akan diterapkan harus mengacu pada azas efisiensi
dan efektivitasnya. Efisiensi mengacu pada seberapa banyak sumberdaya (waktu,
tenaga, dana) yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan; sedangkan efektivitas mengacu pada sejauhmana sasaran dicapai
dalam konteks cakupan, kualitas, dan peluang keberlanjutannya. Pearce and Turner
(1990) dalam kasus wetland merekomendasikan tiga pendekatan secara
bersamaan dalam pengendalian alih fungsi lahan yaitu melalui regulasi, akuisisi dan
manajemen serta insentif dan charges.
Pendekatan regulasi, pemerintah menetapkan aturan dalam pemanfaatan
lahan yang ada, berdasarkan pertimbangan teknis, ekonomis dan sosial. Selain itu
diperlukan mekanisme perizinan yang jelas dan transparan dengan melibatkan
semua stakeholder yang ada dalam proses alih fungsi lahan. Dalam pendekatan
acquisition and management pihak terkait perlu menyempurnakan sistem dan
aturan jual beli lahan serta penyempurnaan land tenure yang ada, yang mendukung
ke arah upaya mempertahankan keberadaan lahan pertanian. Sedangkan melalui
incentive and charges, pemberian subsidi (insentif) kepada petani yang dapat
meningkatkan kualitas lahan yang dimilikinya, serta penerapan pajak yang menarik
bagi yang mempertahankan keberadaan lahan pertanian.
Identifikasi instrumen kebijakan. Pendekatan dan metode yang berbeda
berimplikasi pada instrumen kebijakan yang akan diterapkan. Sebagai contoh, jika
pendekatan yang ditempuh adalah regulasi dan metode yang akan diterapkan
adalah zonasi, maka instrumen yang sesuai adalah peraturan perundang-undangan
beserta kelembagaan pendukungnya, dana yang diperlukan untuk sosialisasi,
kontrol terhadap pelaksanaan perundang-undangan, dan sebagainya. Jika
pendekatan yang digunakan berupa incentive and charges dan metode yang
diterapkan adalah peningkatan insentif kepada petani untuk mempertahankan
usahataninya. Penentuan instrumen kebijakan harus mempertimbangkan kelayakan
teknis, ekonomi, sosial, dan politik.
Implementasi kebijakan. Jika langkah-langkah di atas telah dilaksanakan
maka tahap paling krusial tentu saja implementasi dari strategi kebijakan yang telah
ditentukan.
Evaluasi. Diperlukan untuk mengukur sejauhmana strategi kebijakan yang
diterapkan tersebut mencapai sasarannya dan sangat diperlukan untuk memperoleh
masukan yang bermanfaat penyempurnaan lebih lanjut. Hal ini mempertimbangkan
bahwa secara empiris alokasi lahan merupakan hasil interaksi berbagai faktor yang
sangat kompleks. Sejumlah perbaikan harus selalu dilakukan untuk meningkatkan
efektivitasnya maupun dalam rangka mengantisipasi dinamika yang dihadapi di
lapangan.

2.4 Manfaat Lahan Pertanian


Lahan pertanian mempunyai manfaat yang sangat luas secara ekonomi, sosial
dan lingkungan. Secara ekonomi, lahan pertanian adalah masukan paling esensial
dari berlangsungnya proses produksi, kesempatan kerja, pendapatan, devisa, dan
lain sebagainya. Secara sosial, eksistensi lahan pertanian terkait dengan eksistensi
kelembagaan masyarakat petani dan aspek budaya lainnya. Dari aspek lingkungan,
aktivitas pertanian pada umumnya lebih kompatibel dengan prinsip-prinsip
pelestarian lingkungan.
Berbagai klasifikasi manfaat lahan pertanian dapat disimak dalam Munasinghe
(1992), Callaghan (1992), Sogo Kenkyu (1998), ataupun Yoshida (1994).
Dua kategori manfaat yaitu: use values dan non use values. Use values atau
nilai penggunaan yang dapat pula disebut sebagai personal use values. Ini
dihasilkan dari kegiatan eksploitasi atau kegiatan usahatani pada lahan pertanian.
Non-use values yang bersifat sebagai intrinsic values atau manfaat bawaan,
sepert terpeliharanya keragaman hayati atau pemanfaatan lahan pertanian sebagai
wahana pendidikan lingkungan. Jika diperhitungkan secara komprehensif, manfaat
per hektar lahan sawah ternyata sangat besar.

2.5 Konversi Lahan Sawah Pola, Besaran dan Kecenderungan


Pola konversi lahan dapat ditinjau dari beberapa aspek. Menurut pelaku
konversi, maka dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, alih fungsi secara langsung
oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Motif pada umumnya adalah untuk
pemenuhan kebutuhan tempat tinggal, meningkatkan pendapatan melalui alih
usaha, atau kombinasinya. Kedua, alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan
yaitu pemilik menjual kepada pihak lain. Menurut Irawan (2005) konversi lahan
cenderung menular/meningkat disebabkan oleh dua faktor terkait. Pertama, sejalan
dengan pembangunan perkebunan kelapa sawit, maka aksesibilitas di lokasi
tersebut semakin mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau
spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua,
meningkatnya harga lahan selanjutnya mendorong petani lain di sekitarnya untuk
menjual lahannya. Pembeli tanah tersebut biasanya bukan penduduk setempat
sehingga akan terbentuk lahan-lahan guntai yang secara umum rentan terhadap
proses konversi lahan (Wibowo,1996).

2.6 Land rent


Land rent adalah penerimaan bersih yang diterima dari sumberdaya lahan.
Menurut (Heady dan Jensen, 2001) penggunaan lahan paling efisien secara
ekonomi adalah hasil maksimal yang dapat diperoleh dari tingkat penggunaan lahan.
Tujuan ini dapat dicapai dengan mengalokasikan lahan bagi penggunaan yang
mempunyai nilai lebih atau surplus (rent) dari satuan lahan (marginal unit), dari
berbagai keperluan yang bersaing diantara berbagai alternatif penggunaan lahan.
Lahan yang mempunyai nilai land rent yang lebih tinggi relatif lebih mudah menekan
dan mengkonversi penggunaan lahan dengan nilai land rent rendah. Berdasarkan
definisinya nilai land rent adalah hasil bersih (ouput) dikurangi dengan biaya (input)
dan pajak lahan.
Konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang
direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan.
Konversi lahan juga dapat diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor yang
secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan
meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Irawan (2005) mengemukakan bahwa konversi lahan
lebih besar terjadi pada lahan sawah dibandingkan dengan lahan kering karena dipengaruhi oleh tiga
faktor, pertama, pembangunan kegiatan non pertanian seperti komplek perumahan (real estate), pertokoan,
perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan
lahan kering. Kedua, akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi maka
infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah kering. Ketiga, daerah
persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk
dibandingkan daerah tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan. Sebagai
konsekuensi logis dari pertambahan penduduk dan pembangunan ekonomi, maka terjadi perubahan alokasi
sumberdaya, khususnya sumberdaya lahan sulit dihindari.
Akibat tidak diperhatikannya skala prioritas alokasi penggunaan sumberdaya lahan, maka terjadi pula konflik alokasi
sumbedaya lahan untuk penyediaan sumber pangan dan pembangunan sarana dan prasarana pemukiman.
Sumaryanto, dkk (2001) menyatakan bahwa terjadinya konversi lahan sawah sangat dipengaruhi oleh permintaan
terhadap lahan menurut sektor perekonomian, yaitu penggunaan untuk non pertanian dan pertanian. Konversi
lahan sawah ke penggunaan non pertanian menunjukkan jumlah yang lebih besar dibanding ke penggunaan
pertanian lainnya, seperti untuk perumahan (real estate), zona industri, sarana dan prasarana serta penggunaan
lainnya. Data luas konversi lahan sawah menurut periode, sampai saat ini diyakini belum ada yang akurat, dan
bervariasi antara satu sumber data dan sumber lainnya. Hal ini diungkapkan juga olehnya bahwa faktor utama yang
menyebabkan terjadinya kondisi demikian adalah: (1) Belum adanya koordinasi antara instansi dalam pendataan
masalah sawah, (2) Masing-masing instansi cenderung mengungkapkan data lahan yang sesuai dengan
kepentingannya sendiri, misalnya Dinas Pengairan, PU cenderung menerbitkan data luas sawah irigasi teknis yang
lebih besar dari fakta di lapangan agar anggaran pemeliharaan irigasi menjadi lebih besar lagi, (3) Setiap instansi
menggunakan pendekatan dan metode yang berbeda dalam memonitor perkembangan luas lahan.
Konversi lahan sawah biasanya dilakukan secara langsung oleh petani pemilik
lahan sawah ataupun tidak langsung oleh pihak lain. Sebelumnya diawali dengan
transaksi jual beli lahan sawah. Proses konversi lahan sawah pada umumnya
berlangsung cepat jika akar penyebabnya terkait dengan upaya pemenuhan
kebutuhan sektor ekonomi lain yang menghasilkan surplus ekonomi (land rent) jauh
lebih tinggi, seperti untuk pembangunan kawasan industri, kawasan perumahan (real
estate), dan sebagainya. Untuk pemenuhan kebutuhan mendasar (prasarana umum
yang diprogramkan pemerintah, atau untuk lahan tempat tinggal pemilik lahan yang
bersangkutan). Proses konversi lahan sawah cenderung berlangsung lambat jika
motivasi untuk mengubah fungsi terkait dengan degradasi fungsi lahan sawah, misalnya
akibat kerusakan jaringan irigasi sehingga lahan tidak dapat difungsikan lagi sebagai
lahan sawah (Gunanto, 2007).

2.7 Hubungan Real Estate dan Konversi Lahan


Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur
perekonomian, kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian cenderung terus
meningkat. Kecenderungan tersebut menyebabkan konversi lahan pertanian sulit
dihindari. Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi konversi lahan, maka
dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga terkonversi secara progresif.
Menurut Irawan (2005), hal tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sejalan
dengan pembangunan kawasan perumahan (real estate) atau industri di suatu lokasi
konversi lahan, maka aksesibilitas di lokasi itu menjadi semakin kondusif untuk
pengembangan perumahan (real estate) dan industri, yang akhirnya mendorong
meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah, sehingga harga
lahan di sekitarnya meningkat.Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat
merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan.
Di wilayah pinggiran kota yang sedang tumbuh, persaingan dalam penggunaan lahan
menjadi sangat keras karena banyak alternatif keperluan penggunaan, antara lain untuk
bangunan perumahan (real estate), infrastruktur seperti jalan, pabrik, kawasan,
pertokoan dan komersial lainya. Jelasnya disekeliling pusat kota terdapat wilayah
dengan bermacam-macam tata guna lahan, terutama untuk perumahan penduduk.
Perkembangan dan perluasan kota-kota sering menggunakan daerah-daerah pertanian
yang subur dan luas, khususnya kota-kota yang terletak dilahan datar. Pada wilayah ini
akan terjadi persaingan kegiatan yang sangat tinggi untuk mendapatkan lokasi-lokasi
yang diinginkan dengan menawarkan pada tingkat land rentyang beragam.
Pertumbuhan penduduk, maupun industri telah menyebabkan terjadinya peningkatan
kebutuhan terhadap daerah perindustrian dan perumahan (real estate). Hal ini
menyebabkan terjadinya perubahan fungsi penggunaan lahan, khususnya konversi
lahan. Pola konversi lahan sawah dapat dipilah menjadi dua: (1) sistematis, (2) sporadis.
Konversi lahan sawah untuk pembangunan kawasan industri, perkotaan, kawasan
perumahan (real estate), jalan raya, komplek perkantoran, dan sebagainya
mengakibatkan terbentuknya pola konversi yang sistematis. Sisi lain, konversi lahan
sawah yang dilakukan sendiri oleh pemilik lahan sawah umumnya bersifat sporadis.
Luas lahan sawah yang terkonversi kecil-kecil dan terpencar. Proses konversi lahan
sawah bersifat progresif, artinya, lahan sawah di sekitar lokasi yang telah terkonversi,
dalam waktu yang relatif pendek cenderung beralihfungsi atau pindah daya guna pula
dengan luas yang cenderung meningkat (Winarsono, 2002: 7).

2.8 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Konversi Lahan


Menurut Lestari (2005), proses terjadinya konversi lahan pertanian ke penggunaan
non pertanian disebabkan oleh beberapa faktor. Ada tiga faktor penting yang
menyebabkan terjadinya konversi lahan sawah yaitu:
1. Faktor Eksternal. Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika
pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi.
2. Faktor Internal. Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial
ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.
3. Faktor Kebijakan, yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat
maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian. Secara
empiris menurut Winoto (2005) ditambahkan, lahan pertanian yang paling rentan
terhadap konversi lahan adalah sawah. Hal ini disebabkan oleh : (1) kepadatan
penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah pada
umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan
penduduk atas lahan juga lebih inggi; (2) daerah pesawahan banyak yang lokasinya
berdekatan dengan daerah perkotaan; (3) akibat pola pembangunan di masa
sebelumnya, infrastruktur wilayah pesawahan pada umumnya lebih baik dari pada
wilayah lahan kering; dan (4) pembangunan sarana dan prasarana perumahan (real
estate), kawasan industri, dan sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah
bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi datar ekosistem pertaniannya
dominan areal persawahan.
Konversi secara langsung terjadi akibat keputusan para pemilik lahan untuk mengkonversi sawah mereka ke
penggunaan lainnya seperti untuk industri, perumahan (real estate), sarana dan prasarana atau pertanian lahan
kering. konversi kategori ini didorong oleh motif ekonomi, dimana penggunaan lahan setelah dikonversikan memiliki
nilai jual atau sewa (land rent) yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan lahan untuk sawah (Iqbal, dkk, 2007).
Ilham dkk (2003) menyatakan bahwa harga lahan, aktivitas ekonomi suatu wilayah, pengembangan pemukiman, dan
daya saing produk pertanian merupakan faktor-faktor ekonomi yang menentukan konversi lahan sawah. Tekanan
ekonomi pada saat krisis ekonomi menyebabkan banyak petani menjual asetnya berupa sawah untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Dampaknya secara umum meningkatkan konversi lahan sawah dan makin meningkatkan
penguasaan lahan pada pihak-pihak pemilik modal.

2.9 Dampak Konversi Lahan


Konversi lahan sawah mempunyai dampak positif dan negatif. Konversi lahan
sawah menjadi lahan perumahan (real estate) dan industri, misalnya merupakan
masalah nasional yang memberikan berbagai dampak, terutama terhadap
ketahanan pangan, berkurangnya kesempatan kerja di bidang pertanian (tenaga
kerja yang berlatar belakang pertanian mempunyai kesempatan kecil memasuki
lapagan kerja di bidang industri), dan terhadap lingkungan. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Widjanarko, dkk (2006) terkonsentrasinya pembangunan perumahan
(real estate) dan industri di Pulau Jawa, di satu sisi menambah terbukanya lapangan
kerja di sektor nonpertanian seperti jasa konstruksi, dan industri, akan tetapi juga
menimbulkan dampak negatif yang kurang menguntungkan. Dampak negatif tersebut
antara lain : 1. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi,
yang mengganggu tercapainya swasembada pangan serta mengakibatkan bergesernya
lapangan kerja dari sektor pertanian ke nonpertanian. Apabila tenaga kerja tidak
terserap seluruhnya akan meningkatkan angka pengangguran. 2. Investasi pemerintah
dalam pengadaan sarana dan prasarana pengairan menjadi tidak optimal
pemanfaatannya. 3. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan
perumahan maupun industri, sebagai dampak krisis ekonomi, atau karena kesalahan
perhitungan mengakibatkan tidak termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh,
sehingga meningkatkan luas lahan tidur yang pada gilirannya juga menimbulkan konflik
sosial seperti penjarahan lahan.
BAB III
ANALISIS ALTERNATIF KEBIJAKAN

3.1 Pengembangan Alternatif Kebijakan


Dari deskripsi pemetaan masalah dan analisis masalah, diketahui bahwa yang
menjadi akar permasalahan adalah konversi lahan pertanian menjadi perkebunan
kelapa sawit, yang secara langsung sangat mempengaruhi aspek – aspek
kehidupan masyarakat Sumatera Utara dimana penyebab masalah yang dihadapi,
yaitu karena semakin banyaknya penurunan produktivitas padi, penyusutan lahan
sawah dan pemilikan lahan sawah yang sempit dikarenakan lahan pertanian yang
menjadi perkebunan kelapa sawit. Dengan demikian dapat diramalkan tentang apa
yang seharusnya dilakukan (kebijakan alternatif). Melalui strategi peramalan akan
didapatkan suatu visi yang prospektif yang mendukung tujuan awal tindakan
kebijakan yang nantinya akan diambil sesuai dengan prinsip efisiensi dan efektifitas.
Dalam menentukan alternatif kebijakan, digunakan metode – metode yang
relevan agar mampu mendapatkan hasil yang terbaik. Metode yang digunakan
adalah Metode mixing atau campuran dari beberapa metode :
1. Metode Survey Cepat
Berdasarkan saran – saran oleh beberapa ahli dan para stakeholders.
2. Metode Tinjauan Pustaka
Berdasarkan penelusuran kepustakaan, dengan landasan teoritis yang telah
ada.

Setelah mendapatkan acuan alternatif kebijakan, untuk mendapatkan alternatif


kebijakan yang relevan dengan inti permasalahan, dilakukan pula proses peramalan
alternatif kebijakan (Forecasting). Metode yang digunakan dalam peramalan untuk
menentukan alternatif kebijakan dalam analisis kebijakan perlindungan jalan adalah
menggunakan metode Prediction Forecasting (Prediksi) . Metode Prediksi adalah
peramalan yang didasarkan pada asumsi teoritik dengan argumentasi berdasarkan
kondisi yang ada sekarang dengan prediksi masa depan ketika kebijakan tersebut
dilaksanakan.
Berdasarkan hasil perumusan permasalahan kebijakan, terdapat tiga
alternatif kebijakan yang akan dikembangkan, yaitu Pertama, adalah upaya untuk
membatasi kepentingan pribadi atau selfinterestsecara terus-menerus untuk
memperoleh lahan dalam rangka memenuhi berbagai tujuan kehidupan,kebijakan
pengendalian melalui otoritas sentral. Apabila hal ini tidak terkendali akan
menyebabkan kerusakan sumber daya alam. Salah satu alternatif kebijakan adalah
sentralisasi pengendalian, yaitu suatu keputusan politik yang mengambil alih atau
membatasi kebebasan dalam mengakses sumber daya dalam suatu wilayah, baik
yang berupa collective pool resources seperti halnya tanah ulayat maupun lahan
sawah yang sudah menjadi milik individu. Sampai saat ini belum ada contoh
pengendalian pemanfaatan lahan sawah yang efektif oleh suatu otoritas.
Masalahnya bukan terletak pada integrasi kewenangan karena integrasi
kewenangan akan menimbulkan berbagai permasalahan seperti penyalahgunaan
otoritas. Kedua, pemberian insentif terhadap perluasan sawah baru dan pemilik
sawah/lahan pertanian yang perlu dilindungi, dan pembangunan kemampuan kolektif
masyarakat tani setempat dalam mengendalikan konversi lahan sawah. Model
kebijakan yang terakhir, apabila difasilitasi dengan baik, diharapkan dapat
memperkuat kapital sosial yang ada pada masyarakat karena munculnya rasa
kebersamaan identitas dan kepemilikan. Ketiga, penguatan kemampuan kolektif
masyarakat tani dalam mengelola sumber daya lahan pertanian.
Demikian pula kemampuan melaksanakan rencana tata ruang oleh pemerintah
daerah. Pertama, daya tarik pemanfaatan lahan oleh para investor sedemikian
besarnya sehingga dengan mudah mengatasi berbagai kendala yang ditetapkan
melalui aturan-aturan baik yang sifatnya nasional maupun daerah. Kedua,
membangun instrumen kebijakan yang memberikan insentif kepada pemilik lahan
pertanian baik individual maupun kolektif. Para pemilik lahan mempunyai posisi
yang strategi dalam menjalankan ketiga fungsi utama, baik fungsi produksi dan
konservasi maupun warisan nilai-nilai budaya. Untuk maksud tersebut diperlukan
suatu evaluasi tentang daerah-daerah irigasi yang memenuhi syarat berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan. Alternatif kebijakan yang ketiga, adalah penguatan
kemampuan kolektif masyarakat tani dalam mengelola sumber daya lahan
pertanian. Menurut teori identitas psikologi sosial, masyarakat memperoleh harga
diri dari kelompok atau masyarakat di mana mereka berada. Adanya rasa identitas
yang kuat dalam masyarakat mendorong kerja sama antarindividu dan membawa
aspirasi mereka semakin dekat dengan yang ada pada masyarakat (Van Vught
2002).

I. Kategori Alternatif Kebijakan Upaya untuk membatasi kepentingan pribadi


atau selfinterestsecara terus-menerus , kebijakan pengendalian melalui
otoritas sentral

a. Tujuan Umum Kebijakan


Tujuan umum dari kebijakan ini adalah untuk memperoleh lahan dalam rangka
memenuhi berbagai tujuan kehidupan, suatu keputusan politik yang mengambil alih
atau membatasi kebebasan dalam mengakses sumber daya dalam suatu wilayah,
baik yang berupa collective pool resources seperti halnya tanah ulayat maupun
lahan sawah yang sudah menjadi milik individu. Sampai saat ini belum ada contoh
pengendalian pemanfaatan lahan sawah yang efektif oleh suatu otoritas.
Masalahnya bukan terletak pada integrasi kewenangan karena integrasi
kewenangan akan menimbulkan berbagai permasalahan seperti penyalahgunaan
otoritas. Diharapkan dengan adanya kebijakan ini, tingkat alih fungsi lahan dapat
diminimalisir. Hal ini diharapkan dapat tercapai dengan asumsi bahwa keadaan
sumber daya finansia yang mendukung, serta adanya dukungan dan peran serta
masyarakat setempat dalam pelaksanaan kebijakan.
b. Alternatif Kebijakan
1. Pengendalian pemanfaatan lahan sawah yang efektif oleh suatu otoritas.
2. Kebijakan Harga: Subsidi Input dan Output Kebijakan harga (subsidi) dapat berupa
subsidi input, subsidi harga output, maupun kombinasi dari keduanya.

II. Kategori Alternatif Kebijakan pemberian insentif terhadap perluasan sawah


baru dan pemilik sawah/lahan pertanian yang perlu dilindungi

a. Tujuan Umum Kebijakan


Tujuan umum dari kebijakan ini adalah untuk membangun instrumen kebijakan
yang memberikan insentif kepada pemilik lahan pertanian baik individual maupun
kolektif. Para pemilik lahan mempunyai posisi yang strategi dalam menjalankan
ketiga fungsi utama, baik fungsi produksi dan konservasi maupun warisan nilai-nilai
budaya. Untuk maksud tersebut diperlukan suatu evaluasi tentang daerah-daerah
irigasi yang memenuhi syarat berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Diharapkan
dengan adanya kebijakan ini, tingkat alih fungsi lahan dapat diminimalisir. Hal ini
diharapkan dapat tercapai dengan asumsi bahwa keadaan sumber daya finansia
yang mendukung, serta adanya dukungan dan peran serta masyarakat setempat
dalam pelaksanaan kebijakan.
b. Alternatif Kebijakan
1. Menciptakan insentif agar pemilik lahan sawah tetap mempertahankan fungsi lahan
sawahnya sebagai lahan usaha tani.
2. Menciptakan kondisi disinsentif bagi pihak-pihak lain yang ingin mengalih fungsikan
lahan sawah ke penggunaan lain. ditempuh melalui pengenaan biaya sebagai
kompensasi terhadap kerugian akibat hilangnya manfaat dari sifat multi fungsi lahan
sawah.

III. Kategori Alternatif Kebijakan penguatan kemampuan kolektif masyarakat tani


dalam mengelola sumber daya lahan pertanian

a. Tujuan Umum Kebijakan


Tujuan umum dari kebijakan ini adalah untuk Menurut teori identitas psikologi
sosial, masyarakat memperoleh harga diri dari kelompok atau masyarakat di mana
mereka berada. Adanya rasa identitas yang kuat dalam masyarakat mendorong
kerja sama antarindividu dan membawa aspirasi mereka semakin dekat dengan
yang ada pada masyarakat. Diharapkan dengan adanya kebijakan ini, tingkat alih
fungsi lahan di Provinsi Sumatera Utara dapat diminimalisir. Hal ini diharapkan
dapat tercapai dengan asumsi bahwa keadaan sumber daya manusia yang ada
mendukung, serta adanya konsistensi dari ketegasan dalam melaksanakan
kebijakan ini, dan kesadaran yang timbul dari pihak – pihak yang terlibat dalam
kebijakan ini, terutama yang berhubungan dengan pihak –pihak terkait.
b. Alternatif Kebijakan
1. Bantuan Teknis Pengembangan Teknologi, Peningkatan produktivitas dan
perbaikan mutu produk dapat ditempuh melalui aplikasi teknologi yang kondusif
untuk mengoptimalkan pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman.
2. Keringanan Pajak Lahan Sawah Untuk Petani di Wilayah Sasaran, yang relevan
dipertimbangkan adalah pajak, dengan memberikan keringanan pajak lahan sawah
(PBB) untuk petani pemilik lahan sawah di suatu wilayah pesawahan yang
ditetapkan sebagai kawasan lahan sawah abadi.

3.2 Deskripsi Analisis Kebijakan

1. Kategori Alternatif Kebijakan Upaya untuk membatasi kepentingan pribadi


atau selfinterestsecara terusmenerus ,kebijakan pengendalian melalui otoritas
sentral.
NO. ALTERNATIF KEBIJAKAN
1. Pengendalian pemanfaatan lahan sawah yang efektif oleh suatu otoritas
2 Kebijakan Harga: Subsidi Input dan Output Kebijakan harga ( subsidi) dapat berupa
subsidi input, subsidi harga output, maupun kombinasi dari keduanya

Alternatif kebijakan I
Pengendalian pemanfaatan lahan sawah yang efektif oleh suatu otoritas.
a. Deskripsi Alternatif Kebijakan
Kebijakan ini bertujuan dalam rangka memenuhi berbagai tujuan kehidupan,
suatu keputusan politik yang mengambil alih atau membatasi kebebasan dalam
mengakses sumber daya dalam suatu wilayah, baik yang berupa collective
pool resources seperti halnya tanah ulayat maupun lahan sawah yang sudah
menjadi milik individu. Sampai saat ini belum ada contoh pengendalian pemanfaatan
lahan sawah yang efektif oleh suatu otoritas Masalahnya bukan terletak pada
integrasi kewenangan karena integrasi kewenangan akan menimbulkan berbagai
permasalahan seperti penyalahgunaan otoritas.
b. Kelebihan Kebijakan ini antara lain:
1. Cocok sebagai peredam risiko usahatani
2. Dapat difokuskan pada lokasi sasaran
c. Kelemahan Kebijakan ini antara lain:
1. Implementasinya agak rumit
2. Secara politis kurang populer
3. Efektif untuk membatasi alih fungsi sistematis

Alternatif Kebijakan II
Kebijakan Harga: Subsidi Input dan Output Kebijakan harga (subsidi) dapat berupa
subsidi input, subsidi harga output, maupun kombinasi dari keduanya.
a. Deskripsi Alternatif Kebijakan
Kebijakan ini bertujuan bahwa subsidi pada hakekatnya adalah kebijakan
distortif yang membutuhkan dukungan anggaran pemerintah dan potensial
menimbulkan inefisiensi ekonomi. Oleh karena itu subsidi menjadi layak secara
ekonomi jika terkait dengan upaya untuk mengoreksi pasar yang distortif agar
menjadi lebih fair. Secara umum subsidi menjadi lebih relevan apabila dikaitkan
dengan upaya untuk mendorong petani mengadopsi teknologi baru atau mendorong
optimalisasi aplikasi input. Kredit bersubsidi dapat dianjurkan dalam kondisi dimana
kendala yang dihadapi petani dalam permodalan sulit dipecahkan melalui pasar
perkreditan formal yang telah ada.
b. Kelebihan Kebijakan ini antara lain:
1. Efeknya cepat
2. Ongkosnya relatif murah
3. Rancang bangun kebijakan lebih sederhana

c. Kelemahan Kebijakan ini antara lain:


1. Secara relatif efeknya cepat hilang
2. Tidak dapat diterapkan di suatu wilayah
3. Tidak kondusif untuk mendorong efisiensi
2. Kategori Alternatif Kebijakan pemberian insentif terhadap perluasan sawah
baru dan pemilik sawah/lahan pertanian yang perlu dilindungi.

No ALTERNATIF KEBIJAKAN
1. Menciptakan insentif agar pemilik lahan sawah tetap mempertahankan fungsi
lahan sawahnya sebagai lahan usahatani
2. Menciptakan kondisi disinsentif bagi pihak-pihak lain yang ingin mengalih
fungsikan lahan sawah ke penggunaan lain. Ditempuh melalui pengenaan biaya
sebagai kompensasi terhadap kerugian akibat hilangnya manfaat dari sifat multi
fungsi lahan sawah

Alternatif kebijakan I
Menciptakan insentif agar pemilik lahan sawah tetap mempertahankan fungsi lahan
sawahnya sebagai lahan usahatani
a. Deskripsi Alternatif Kebijakan
Kebijakan ini bertujuan agar bahwa surplus ekonomi (land rent) dari
pemanfaatan lahan untuk aktivitas pertanian adalah lebih rendah – dan selalu
cenderung lebih rendah – dari aktivitas non pertanian. Oleh karena itu, jika
mekanisme alokasi pemanfaatan lahan diserahkan pada mekanisme pasar maka
sangat sulit (hampir mustahil) untuk membatasi kecenderungan alih fungsi lahan
sawah.
b. Kelebihan Kebijakan ini antara lain:
1. Dapat difokuskan pada lokasi sasaran
2. Efektif untuk membatasi alih fungsi sistematis (industri, kompleks perumahan, jalan
tol,dsb.)
3. Efeknya cepat
c. Kelemahan Kebijakan ini antara lain:
1. Memerlukan waktu yang lama untuk merealisasikannya
2. Rancang bangun kebijakan rumit (belum berpengalaman)

Alternatif Kebijakan II
Menciptakan kondisi disinsentif bagi pihak-pihak lain yang ingin mengalih fungsikan
lahan sawah ke penggunaan lain. ditempuh melalui pengenaan biaya sebagai
kompensasi terhadap kerugian akibat hilangnya manfaat dari sifat multi fungsi lahan
sawah.
a. Deskripsi Alternatif Kebijakan
Kebijakan ini bertujuan supaya Instrumen ekonomi yang diarahkan untuk
menciptakan suasana tidak kondusif (disinsentif) bagi pihak-pihak yang ingin
mengalih fungsikan lahan sawah ditempuh melalui pengenaan biaya sebagai
kompensasi terhadap kerugian akibat hilangnya manfaat dari sifat multi fungsi lahan
sawah. Dengan pendekatan ini diharapkan kecenderungan untuk mengalihfungsikan
lahan sawah dapat ditekan.
b. Kelebihan Kebijakan ini antara lain:
1. Dapat difokuskan pada lokasi sasaran
2. Efektif untuk membatasi alih fungsi sistematis
c. Kelemahan Kebijakan ini antara lain:
1. Dampaknya kecil
2. Implementasinya agak rumit
3. Rancang bangun kebijakan rumit

3. Kategori Alternatif Kebijakan penguatan kemampuan kolektif masyarakat tani


dalam mengelola sumber daya lahan pertanian.

No ALTERNATIF KEBIJAKAN
1. Bantuan Teknis Pengembangan Teknologi, Peningkatan produktivitas dan
perbaikan mutu produk dapat ditempuh melalui aplikasi teknologi yang
kondusif untuk mengoptimalkan pertumbuhan vegetatif dan generatif
tanaman.
2. Keringanan Pajak Lahan Sawah Untuk Petani di Wilayah Sasaran, yang
relevan dipertimbangkan adalah pajak, dengan memberikan keringanan pajak
lahan sawah (PBB) untuk petani pemilik lahan sawah di suatu wilayah
pesawahan yang ditetapkan sebagai kawasan lahan sawah abadi.

Alternatif Kebijakan I
Bantuan Teknis Pengembangan Teknologi, Peningkatan produktivitas dan
perbaikan mutu produk dapat ditempuh melalui aplikasi teknologi yang kondusif
untuk mengoptimalkan pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman .
a. Deskripsi Alternatif Kebijakan
Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan tingkat produktivitas dan kualitas produk
yang dihasilakan oleh petani padi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan para
petani padi

b. Kelebihan Kebijakan ini antara lain:


- Dapat menekan terjadinya alih fungsi lahan
- Menigkatkan Penghasilan para petani Padi
-

c. Kelemahan Kebijakan ini antara lain:

Alternatif Kebijakan II
Keringanan Pajak Lahan Sawah Untuk Petani di Wilayah Sasaran, yang relevan
dipertimbangkan adalah pajak, dengan memberikan keringanan pajak lahan sawah
(PBB) untuk petani pemilik lahan sawah di suatu wilayah pesawahan yang
ditetapkan sebagai kawasan lahan sawah abadi.

a. Deskripsi Alternatif Kebijakan


Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi beban para petani padi sehingga
menekan pengeluaran mereka yang berdampak pada penghasilan para petani.

b. Kelebihan Kebijakan ini antara lain:


c. Efeknya cepat
d. Ongkosnya relatif murah
e. Rancang bangun kebijakan lebih sederhana

f. Kelemahan Kebijakan ini antara lain:

Diposting 26th October 2014 oleh Anak Tempirai


Label: Pengetahuan

0
Tambahkan komentar

2.
OCT

26

Unsur-unsur Administrasi
Administrasi memiliki 8 unsur yang saling berkaiatan satu sama lain yaitu:
1. Organisasi
Adalah system usaha kerjasama sekelompok orang yang terikat secara formal untuk mencapai tujuan yang
telah ditentukan sebelumnya.
2. Manajemen
Adalah kemampuan manajer untuk menggerakkan orang dan mengerahkan segenap fasilitas yang ada
dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya
3.Komunikasi
Adalah proses penyampaian informasi atau berita dari satu pihak kepada pihak lain melalui media
sehingga timbul adanya timbale balik dan saling pengertian
4. Kepegawaian
Adalah suatu proses untuk merencanakan, mengembangkan dan memelihara potensi-potensi yang ada
pada manusia untuk mencapai tujuan
5. Perbekalan
Adalah kegiatan mengadakan, mendayagunakan dan memelihara sarana prasarana serta menyingkirkan
saran aprasarana yang sudah tidak layak digunakan
6. Keuangan
Adalah proses yang berkenaan dengan pengadaan, pengalokasian, penggunaan dan pertanggungjawaban
tentang uang.
7. Ketatausahaan
Adalah proses menghimpun, mencatat, mengolah, mengirim dan menyimpan bahan-bahan informasi.

Diposting 26th October 2014 oleh Anak Tempirai


Label: Pengetahuan

0
Tambahkan komentar

3.
OCT

25

Teori Implementasi Kebijakan Publik

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
Penelitian ini berkenaan dengan kebijakan publik, khususnya dari aspek implementasi
kebijakan oleh karena itu teori-teori utama yang akan dijadikan landasan adalah teori
kebijakan publik dan teori implementasi kebijakan publik.

B. Implementasi Kebijakan Publik


Menurut Purwanto dan Sulistyastuti (2012:21), “implementasi intinya adalah
kegiatan untuk mendistribusikan keluaran kebijakan (to deliver policy output) yang dilakukan
oleh para implementor kepada kelompok sasaran (target group) sebagai upaya untuk
mewujudkan kebijakan”.
Menurut Agustino (2008:139), “implementasi merupakan suatu proses yang dinamis,
dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya
akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri”.
Ripley dan Franklin (dalam Winarno, 2014: 148) menyatakan bahwa implementasi
adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas
program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible
output). Implementasi mencakup tindakan-tindakan oleh sebagai aktor, khususnya para
birokrat yang dimaksudkan untuk membuat program berjalan. Grindle (dalam Winarno,
2014: 149) memberikan pandangannya tentang implementasi dengan mengatakan bahwa
secara umum, tugas implementasi adalah membentuk suatu kaitan (linkage) yang
memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan
pemerintah.
Thomas R. Dye (dalam Agustino, 2008: 7) mendefenisikan kebijakan publik
merupakan upaya yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan yang
berupa sasaran atau tujuan program-program pemerintah. Sedangkan menurut Carl Friedrick
(dalam Agustino, 2008: 7), kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan
seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan
peluang yang ada. Kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensi
sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Budiadjo (dalam Ali, dkk, 2012 : 12) menyatakan bahwa kebijakan merupakan suatu
kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam usaha
memilih tujuan –tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan.
W.I. Jenkins (dalam Wahab, 2004 : 14) merumuskan kebijakan sebagai “aset of
interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concerning the selection of
goals and the means of achieving them whitin a specified situation where these secisions
should, in principle, be within the power of these actors to achieve” (serangkaian keputusan
yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor
politik berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya
dalam suatu situasi di mana keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam
batas-batas kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut).
Chief J.O. Udoji (dalam Wahab, 2004 : 15), mendefinisikan kebijakan sebagai “an
sanctioned course of action addresses to a particular problem or group of related problems
that affect society at large” (suatu tindakan bersanksi yang mengarahkan pada suatu masalah
atau sekelompok masalah tertentu yang diarahkan pada suatu masalah atau sekelompok
masalah tertentu yang saling berkaitan mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat).
Dalam Keban (2008: 60-61), Shafritz dan Russell memberikan defenisi bahwa
kebijakan publik yaitu“whateever a government decides to do or not to do, sedangkan
Chandler dan Plano berpendapat public policyadalah pemanfaatan strategis terhadap
sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik. Selanjutnya
Paterson berpendapat bahwa kebijakan publik secara umum dilihat sebagai aksi pemerintah
dalam menghadapi masalah, dengan mengarahkan perhatian terhadap “siapa mendapat apa,
kapan dan bagaimana”, Paterson mengutip defenisi kebijakan publik yang dikemukakan
Anderson dan pendapat B.G. Peters.
Alfatih (2010 :2) menyatakan kebijakan publik adalah setiap keputusan atau tindakan
yang dibuat secara sengaja dan sah oleh pemerintah yang bertujuan untuk melindungi
kepentingan publik, mengatasi masalah publik, memberdaya publik, dan menciptakan
kesejahteraan publik.
Salah satu bentuk produk kebijakan publik merupakan peraturan daerah, Peraturan
Daerah adalah sebagaimana didefinisikan oleh undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
dewan perwakilan rakyat daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah.

Keberadaan Perda dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak lepas dari


prinsip desentralisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Disamping terdapat dalam
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) Pasal 18 ayat (6), kewenangan pembuatan Perda juga
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.

Untuk materi muatan Perda diatur dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 10 tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut :
“Materi Muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus
daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”.

Disamping pengaturan dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan Perda juga terdapat dalam Pasal
136 ayat (6) samapai ayat (8) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemeritahan
Daerah, sebagai berikut :
1) Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan
tugas pembantuan.
2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing
daerah.
3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi…”

Riant Nugroho Dwijiwijoto (dalam Alfatih, 2010:15) menyatakan “implementasi


kebijakan adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya”.
Alfatih (2010:15) menyatakan implementasi kebijakan adalah penerapan apa yang
diamanahkan oleh suatu kebijakan secara baik dan benar dalam rangka mencapai tujuan
kebijakan tersebut.
Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (dalam Agustino, 2006:139) menjelaskan
makna implementasi,
“Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun
dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau
keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang
ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai
cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya”.

Menurut Van Meter Van Horn (dalam Leo Agustino, 2006:139) menyatakan,
“implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu
(dan kelompok) pemerintah dan swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran
yang telah ditetapkan”
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat
mencapai tujuannya, tidak lebih dan tidak kurang, untuk mengimplementasikan kebijakan
publik ada dua pilihan langkah yaitu, langsung mengimplementasikan dalam bentuk program
atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut.
Dari beberapa definisi tersebut diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan
menyangkut tiga hal, yaitu : 1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan; 2) adanya aktivitas atau
kegiatan pencapaian tujuan; dan 3) adanya hasil kegiatan.
Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena masalah-masalah yang
kadang tidak dijumpai dalam konsep muncul di lapangan. Ancaman utama dari implementasi
kebijakan adalah inkonsistensi implementasi. Dalam pelaksanaannya kemungkinan bisa
terjadi adanya kendala dan penyimpangan yang dilakukan oleh pelaksananya kemungkinan
bisa terjadi adanya kendala dan penyimpangan yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan.
Masalah implementasi ini berkaitan dengan tujuan-tujuan kebijakan dengan realisasi dari
kebijakan tersebut.
Kesulitan dalam proses implementasi kebijakan dapat kita lihat dari pernyataan
seorang ahli studi kebijakan Eugne Bardach (dalam Agustino, 2006:138) melukiskan
kerumitan dalam proses implementasi menyatakan pernyataan sebagai berikut :
“Adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya
bagus diatas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang
kedenganrannya mengenakan bagi telinga pemimpin dan para pemilih yang
mendengarkannya. dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk cara yang
memuaskan semua orang termasuk mereka anggap klien”.

Dari berbagai defenisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan
adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh berbagai aktor pelaksana kebijakan dengan
sarana-sarana pendukung berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.

C. Teori-Teori Implementasi Kebijakan


Ada beberapa teori implementasi kebijakan publik diantaranya, Model Ripley dan
Franklin, Model Donald Van Metter dan Van Horn, Model Hogwood dan Gunn, dan Model
Goerge C. Edward III.
a. Model Ripley dan Franklin
Dalam buku yang berjudul Policy Implementasi and Bureacracy, Randall B. Repley
and Grace A. Franklin (1986 : 232-33) (dalam Alfatih, 2010:51-52), menulis tentang three
conceptions relating to successful implementation sambil menyatakan :
“the notion of success in implementation has no single widly accepted definition. Different
analists and different actors have very different meanings in mind when they talk about or
think about successful implementation. There are three dominant ways of thinking about
successful implementation”
Sehubungan dengan three dominant ways of thinking about successful
implementation tersebut, selanjutnya mereka menyatakan ada analist and actors yang
berpendapat bahwa implementasi kebijakan yang berhasil dinilai, pertama, memakai ukuran
tingkat kepatuhan (degree of compliance). Namun, yang kedua, ada juga yang mengukur
adanya kelancaran rutinitas fungsi. Oleh karena Ripley dan Franklin menganggap kedua
parameter tersebut “is too narrow and have limites political interest”, maka mereka
mengajukan perspectiveyang ketiga, yaitu dampak yang diinginkan. Mereka mengutarakan
ini dengan mengatakan “we advance a third persepective, which is that successful
implementation leads to desired... impact from whatever program is being analyzed.” Jadi
ada 3 perspektif untuk mengukur keberhasilan impelementasi kebijakan.
Dalam penelitian ini, ketiga perspektif itu dipakai sebagai pedoman untuk mengukur
keberhasilan implementasi program kemitraan. Hal ini dikarenakan ketiga persepektif
tersebut tidak kontradiksi satu dengan yang lain, bahkan mereka saling melengkapi sehingga
ketiga persepektif tersebut lebih holistic, oleh karenanya cocok dengan penelitian ini.
Ketiga measurement tersebut adalah :
1. Tingkat kepatuhan pada ketentuan yang berlaku.

Perspektif pertama (compliance perspective) memahami keberhasilan


implementasi dalam arti sempit yaitu sebagai kepatuhan para implementor dalam
melaksanakan kebijakan yang tertuang dalam dokumen kebijakan (dalam bentuk undang-
undang, peraturan pemerintah, atau program. (dalam Purwanto dan Sulistyastuti, 2012:69)

2. Lancarnya pelaksanaan rutinitas fungsi

Bahwa keberhasilan implementasi ditandai dengan lancarnya rutinitas fungsi dan tidak
adanya masalah- masalah yang dihadapi; (dalam Akib, Haedar. Jurnal Administrasi Publik:
Volume 1 ( Nomor 1) tahun 2010).
3. Terwujudnya kinerja dan dampak yang dikehendaki.
Bahwa keberhasilan suatu implementasi mengacu dan mengarah pada
implementasi/pelaksanaan dan dampaknya (manfaat) yang dikehendaki dari semua program-
program yang dikehendaki. (dalam Akib, Haedar. Jurnal Administrasi Publik: Volume 1 (
Nomor 1) tahun 2010).
Pendapat Ripley dan Franklin diatas menunjukkan bahwa keberhasilan suatu
implementasi akan ditentukan bagaimana tingkat kepatuhan, lancarnya rutinitas fungsi
lembaga , dan hasil kebijakan yang sesuai dengan rencana dari kebijakan.
b. Model Donald Van Metter dan Carl Van Horn
Enam variabei menurut Van Metter dan Van Horn, yang mempengaruhi kinerja
kebijakan yaitu :
1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan.

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur keberhasilannya jika dan hanya jika
ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang ada di level
pelaksana kebijakan.

2. Sumberdaya

Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan


memanfaatkan sumber daya yang tersedia

3. Karakteristik Agen Pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi
informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan (publik) akan sangat banyak
dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta sesuai dengan para agen pelaksananya. Selain itu,
cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala
hendak menentukan agen pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka
seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan.

4. Sikap/Kecenderungan (Disposition) para pelaksana.

Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat banyak
mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini
sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi
orang-orang yang terkait langsung terhadap kebijakan yang mengenal betul persoalan dan
permasalahan yang mereka rasakan.

5. Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana.

Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam impelementasi kebijakan


publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu
proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi
dan begitu pula sebaliknya.

6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik.

Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi publik dalam
persepektif yang ditawarkan oleh Van Metter dan Van Horn adalah sejauh mana
lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan.
Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi penyebab dari
kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Oleh karena itu, upaya untuk
mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi
lingkungan eksternal.

Keenam varibel tersebut secara skematis dapat di gambarkan pada gambar 1 sebagai
berikut;
Ukuran dan Tujuan
komunikasi Anrtar Organisasidan kegiatan pelaksanaan
Karakteristik Agen Pelaksana
Sumber-sumber Kebijkasanaan
Lingkungan : Ekonomi, Sosial dan Politik
Sikap Para Pelaksana

Prestasi
Kerja

Gambar 1 Model Van Metter Van Horn


Sumber : Wahab, Abdul, 1991:66.

c. Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn


Model mereka ini sering disebut oleh para ahli “the down approach”. Menurut
Hogwood dan Gunn (dalam Abdul Wahab, 1991:57-64), untuk dapat mengimplementasikan
kebijakan secara sempurna (perpect implementation) maka diperlukan beberapa persyaratan
tertentu. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :
1) Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan menimbulkan
gangguan/kendala yang serius.

2) Tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai.

3) Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.

4) Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari pada hubungan kausalitas yang handal.

5) Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungannya.

6) Hubungan saling ketergantungan harus kecil.

7) Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.

8) Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.

9) Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

10) Pihak-pihak yang memiliki wewenang/kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan


kepatuhan yang sempurna.

Model ini terdiri dari 10 point yang harus diperhatikan dengan seksama agar
implementasi kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik. Ada beragam sumber daya,
misalnya. Waktu, keuangan, sumber daya manusia, peralatan yang harus tersedia dengan
memadai. Disamping itu, sumber daya tersebut harus kombinasi berimbang. Tidak boleh
terjadi ketimpangan, misalnya sumber daya manusia cukup memadai tetapi peralatan tidak
memadai, atau sumber keuangan memadai tetapi ketersedian waktu dan keterampilan tidak
cukup. Hambatan lain, kondisi eksternal pelaksana harus dapat dikontrol agar kondusif bagi
implementasi kebijakan. Ini cukup sulit sebab kondisi lingkungan sangat luas, beragam serta
mempunyai karakteristik yang spesifik sehingga tidak mudah untuk dapat dikendalikan
dengan baik. Misalnya sistem sosial, hal ini sangat sulit untuk dikendalikan sebab sudah
sangat lama ada, tumbuh berkembang, dan sudah menjadi tradisi dan kepercayaan
masyarakat. Contoh lingkungan eksternal lainnya yang sulit dikontrol adalah keadaan
ekonomi masyarakat, dimana sangat tidak mudah untuk mengubah keadaan ekonomi
masyarakat, apalagi dalam waktu dekat demi implementasi suatu kebijakan public. Teori ini
juga mensyaratkan adanya komunikasi dan koordinasi sempurna. Seringkali, dalam
pelaksanaan suatu kegiatan, kedua hal ini kurang mendapatkan perhatiaan dengan baik.
Apalagi harus sempurna. Hal ini sering diperburuk karena adanya ego sektoral. Berdasakan
deskripsi diatas, teori ini kurang cocok untuk dijadikan untuk penelitian ini.
d. Model Implementasi Kebijakan Goerge C. Edward III
Model implementasi kebijakan yang berspektif top down yang dikembangkan oleh
George C. Edward III. Edward III (dalam Agustino, 2008 : 149-154) menamakan model
implementasi kebijakan publiknya denganDirect and Indirect Impact on Implementation.
Dalam pendekatan teori ini terdapat empat variabel yang mempengaruhi keberhasilan
impelementasi suatu kebijakan, yaitu : 1. Komunikasi; 2. Sumberdaya; 3. Disposisi; dan 4.
Struktur birokrasi.
1. Komunikasi

Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan


menurut Goerge C. Edward III (dalam Agustino, 2008 : 150) adalah komunikasi.
Komunikasi, menurutnya sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari
implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif terjadi apabila para pembuat
keputusan sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang
akan mereka kerjakan dapat berjalan apabila komunikasi berjalan dengan baik, sehingga
setiap keputusan kebijakan dan peraturan impelementasi harus ditansmisikan (atau
dikomunikasikan) kepada bagian personalia yang tepat. Selain itu, kebijakan yang
dikomunikasikan pun harus tepat, akurat, dan konsisten. Komunikasi (atau pentransmisian
informasi) diperlukan agar para pembuat keputusan dan para implementor akan semakin
konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan dalam masyarakat.

Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai dalam mengukur keberhasilan variabel
komunikasi yaitu :

a) Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi
yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran komunikasi adalah adanya salah
pengertian(misscommunication).

b) Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-level-


bureuarats)haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu/mendua) ketidakjelasan
pesan kebijakan tidak selalu mengahalangi impelementasi, pada tataran tertentu, para
pelaksana membutuhkan fleksibelitas dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada tataran
yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh
kebijakan yang telah ditetapkan.

c) Konsistensi; perintah yang diberikan dalam melaksanakan suatu komunikasi haruslah


konsisten dan jelas untuk diterapkan atau dijalankan. Karena jika perintah yang diberikan
sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan,
2. Sumber daya

Variabel kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan


adalah sumber daya. Sumber daya merupakan hal penting lainnya dalam
mengimplementasikan kebijakan, menurut Goerge C.Edward III (dalam Agustino, 2008 :151-
152). Indikator sumber daya terdiri dari beberapa elemen, yaitu :

a) Staf; sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan dalah staf. Kegagalan yang sering
terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebabkan oleh karena staf yang tidak
mencukupi, memadai, ataupun tidak ompoten dibidangnya. Penambahan jumlah staf dan
implementor saja tidak cukup, tetapi diperlukan juga kecukupan staf dengan keahlian dan
kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan
kebijakan atau melaksanakan tugas yang diinginkan oleh kebijakan itu sendiri.

b) Informasi; dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk, yaitu pertama
informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Implementor harus
mengetahui apa yang harus mereka lakukan saat mereka diberi perintah. Kedua, informasi
mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah
yang telah ditetapkan. Implementer harus mengetahui apakah orang yang terlibat di dalam
pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap hukum.

c) Wewenang; pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat
dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam
melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika wewenang nihil, maka
kekuatan para implementor dimata publik tidak terlegitimasi, sehingga dapat menggagalkan
proses implementasi kebijakan. Tetapi dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal
tersebut ada, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Disatu
pihak, efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para pelaksana
demi kepentingannya sendiri atau demi kepentingan kelompoknya.

d) Fasilitas; fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan.
Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa yang harus dilakukan dan
memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung
(sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.

3. Disposisi
Variabel ketiga yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan adalah
disposisi. Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi, menurut Goerge
C.Edward III (dalam Agustino, 2008:152-154), adalah :

a. Pengangkatan birokrat; disposisi atau sikap pelaksana akan menimbulkan hambatan-


hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan apabila personil yang ada tidak
melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Karena itu,
pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang
memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan.

b. Insentif; Edward menyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi
masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif. Oleh karena
itu, pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka
memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana
kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi
faktor pendorong yang membuat para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan
baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi(self interst) atau
organisasi.

4. Struktur birokrasi

Menurut Edward III (dalam Agustino,2008 : 153-154 ), yang mempengaruhi


keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Walaupun sumber daya
untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau para pelaksana kebijakan mengetahui apa
yang seharusnya dilakukan, dan mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu kebijakan,
kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat dilaksanakan atau direalisasikan karena
terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut
adanya kerjasama banyak orang, ketika stuktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang
tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumber daya-sumber daya menjadi tidak efektif dan
menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat
mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan
koordinasi dengan baik.

Dua karakteristik, menurut Edward III, yang dapat mendongkrak kinerja struktur
birokrasi/organisasi kearah yang lebih baik, yaitu dengan melakukan :
a) Standar Operating Prosedures (SOPs); adalah suatu kegiatan rutin yang memungkinkan para
pegawai (atau pelaksana kebijakan/administrator/birokrat) untuk melaksanakan kegiatan-
kegiatannya setiap hari sesuai dengan standar yang ditetapkan atau standar minimum yang
dibutuhkan.

b) Fragmentasi; adalah upaya penyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan atau aktivitas-


aktivitas pegawai diantara beberapa unit kerja.

Model Goerge C.Edward III tersebut dapat dilihat dari gambar 2 sebagai berikut :
Communication
(Komunikasi)

Resources (Sumberdaya)

Implementation
(Pelaksanaan)
Dispositons (Karakter/Watak)
Bureaucratic Strukture (Struktur Birokrasi)

Gambar 2 Model Goerge C. Edward III


Sumber : Agustino, Leo, 2006:150.

D. Teori yang digunakan dalam penelitian


Dari beberapa teori yang diutarakan di atas, dalam penelitian ini teori yang
digunakan sebagai konsep operasional adalah yang disampaikan oleh Ripley dan Franklin
(dalam Alfatih, 2010 : 51-54), adapun alasannya adalah sebagai berikut :
1. Secara umum, diantara model tidak ada yang terbaik. Menurut Riant Nugroho D (dalam
Alfatih, 2010:52) tidak ada suatu model kebijakan pun yang cocok untuk semua
implementasi kebijakan sebab setiap kebijakan memerlukan model yang sesuai dengan sifat
kebijakan itu sendiri. Dengan demikian, model implementasi kebijakan yang mana pun bisa
saja dipakai sejauh sesuai dengan kondisi yang ada dalam penelitian.
2. Model dalam Ripley dan Franklin ini lebih cocok dengan konteks penelitian ini sebab
pemerintah sebagai implementor kebijakan pengamanan aset daerah berupa tanah harus patuh
terhadap ketetapan keikutsertaan pada kebijakan tersebut. Disamping itu pemerintah dalam
menjalankan kebijakan pengelolaan aset daerah pada khususnya pengamanan aset daerah
berupa tanah harus punya coreaktivitas yang harus tetap dilaksanakan walaupun banyak
kegiatan lain namun proses pengamanan aset harus tetap jalan.

3. Teori dalam Ripley dan Franklin juga mengakomodasi beberapa point yang terdapat pada
teori Van Meter dan Van Horn serta Brian W. Hogwood and Lewis A.Gunn. Dalam teori
pada buku mereka, Ripley dan Franklin menetapkan sasaran dan target kebijakan yang harus
dipatuhi. Begitupun teori Van Meter dan Van Horn. Kinerja juga mendapat perhatian, baik
dalam Ripley and Franklin maupun Van Meter dan Van Horn serta Goerge C. Edward III.
Begitupun dengan faktor sumber daya, kondisi ekonomi sosial, dan politik serta sikap para
implementor juga sama-sama dianggap penting dalam teori mereka selanjutnya, teori dalam
Ripley and Franklin juga mempunyai keterkaitan dengan teori Hogwood dan Gunn. Variabel
sumber daya, tugas yang rinci dan komunikasi pada teori Hogwood dan Gunn merujuk pada
faktor kelancaran rutinitas fungsi tidak akan berjalan dengan baik, sedangkan point
komunikasi yang baik serta prosedur yang efektif dari teori Hogwood dan Gunn secara
implisit, dapat mengacuh pada dimensi kepatuhan yang terdapat pada teori Ripley and
Franklin. Dengan demikian, antara ketiga teori tersebut ada keterkaitan unsur, walaupun cara
pengungkapannya berbeda.

E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan


Secara teoritis khususnya menurut teori George C. Edwards III (dalam Agustino, 2006:145), the

are for critical factories to policy implementation they are : “communication, resources, disposition, and

bureauratic structure”.

Dalam penelitian ini faktor yang mempengaruhi implementasi peraturan daerah provinsi Sumatera

Selatan Nomor 3 tahun 2007 tentang pengelolaan barang milik Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan,

belum diketahui faktor tersebut akan ditemukan saat peneliti melakukan penelitian, faktor tersebut bisa saja

sama, bisa saja berbeda dari apa yang Goerge C.Edward III kemukakan.

F. Kerangka Teori
Menurut Ripley dan Franklin (dalam Alfatih, 2010 : 51-52) ada tiga cara yang
dominan bagi suksesnya implementasi kebijakan, yaitu:
1. Tingkat kepatuhan pada ketentuan yang berlaku (the degree of compliance on the
statute), tingkat keberhasilan implementasi kebijakan dapat diukur dengan melihat tingkat
kepatuhan terhadap isi kebijakan dengan peraturan yang telah diatur. Kepatuhan berasal dari
kata dasar patuh, yang berarti disiplin dan taat, kepatuhan adalah istilah yang menjelaskan
ketaatan pasrah pada tujuan yang telah ditentukan. Menurut Kholit (dalam Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia, 2004 : 411), patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah,
sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. Jadi dapat disimpulkan
bahwa kepatuhan (ketaatan) adalah melaksanakan cara dan perilaku yang disarankan oleh
orang lain, dan kepatuhan juga dapat didefinisikan sebagai perilaku positif dalam mencapai
tujuan. Ripley memperkenalkan pendekatan “kepatuhan” dan pendekatan “faktual” dalam
implementasi kebijakan (Ripley & Franklin, 1986: 11) (dalam Alfatih, 2010). Pendekatan
kepatuhan muncul dalam literatur administrasi publik. Pendekatan ini memusatkan perhatian
pada tingkat kepatuhan agen atau individu bawahan terhadap agen atau individu atasan.
Perspektif kepatuhan merupakan analisis karakter dan kualitas perilaku organisasi. Menurut
Ripley, paling tidak terdapat dua kekurangan perspektif kepatuhan, yakni: (1) banyak faktor
non-birokratis yang berpengaruh tetapi justru kurang diperhatikan, dan (2) adanya program
yang tidak didesain dengan baik. Perspektif kedua adalah perspektif faktual yang berasumsi
bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan yang
mengharuskan implementor agar lebih leluasa mengadakan penyesuaian. Kedua perspektif
tersebut tidak kontradiktif, tetapi saling melengkapi satu sama lain. Secara empirik, perspektif
kepatuhan mulai mengakui adanya faktor eksternal organisasi yang juga mempengaruhi
kinerja agen administratif. Kecenderungan itu sama sekali tidak bertentangan dengan
perspektif faktual yang juga memfokuskan perhatian pada berbagai faktor non-organisasional
yang mempengaruhi implementasi kebijakan. Berdasarkan pendekatan kepatuhan dan
pendekatan faktual dapat dinyatakan bahwa keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh
tahap implementasi dan keberhasilan proses implementasi ditentukan oleh kemampuan
implementor, yaitu: (1) kepatuhan implementor mengikuti apa yang diperintahkan oleh
atasan, dan (2) kemampuan implementor melakukan apa yang dianggap tepat sebagai
keputusan pribadi dalam menghadapi pengaruh eksternal dan faktor non-organisasional, atau
pendekatan faktual.
2. Lancarnya pelaksanaan rutinitas fungsi, (smoothly functioning routine and the absence of
problem). Rutinitas berasal dari kata rutin yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia rutin
memiliki pengertian prosedur yang teratur dan tidak berubah-ubah. Prosedur itu sendiri
adalah tahapan-tahapan tertentu pada suatu program yang harus dijalankan untuk mencapai
suatu tujuan, dengan adanya kelancaran rutinitas suatu pelaksanaan pada program kegiatan
dapat menjadikan implementasi yang baik juga, sehingga suatu keberhasilan implementasi
kebijakan dapat ditandai dengan lancarnya rutinitas fungsi dan tidak adanya masalah yang
dihadapi.
3. Terwujudnya kinerja dan dampak yang dikehendaki (the leading of the desired performance
and impact), bahwa dengan adanya kinerja dan dampak yang baik merupakan wujud
keberhasilan implementasi kebijakan.
Keberhasilan kebijakan atau program juga dikaji berdasarkan perspektif proses implementasi
dan perspektif hasil. Pada perspektif proses, program pemerintah dikatakan berhasil jika
pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan pelaksanaan yang dibuat oleh pembuat
program yang mencakup antara lain cara pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan
manfaat program. Sedangkan pada perspektif hasil, program dapat dinilai berhasil manakala
program membawa dampak seperti yang diinginkan. Suatu program mungkin saja berhasil
dilihat dari sudut proses, tetapi boleh jadi gagal ditinjau dari dampak yang dihasilkan, atau
sebaliknya.
Ketiga perspektif tersebut digunakan untuk mengukur keberhasilan implementasi
kebijakan, sehingga menjadi lebih mudah untuk diidentifikasi.
Teori Ripley dan Franklin ingin menekankan tingkat kepatuhan para implementor
kebijakan terhadap isi kebijakan itu sendiri. Setelah ada kepatuhan terhadap kebijakan yang
ada, pada tahap selanjutnya melihat kelancaran pelaksanaan rutinitas fungsi, serta seberapa
besar masalah yang dihadapi dalam implementasi. Pada akhirnya setelah semua berjalan
maka akan terwujud kinerja yang baik dan tercapainya tujuan (dampak) yang diinginkan.
Pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut dapat dipakai untuk mengukur apakah tugas pokok
organisasi implementor tersebut telah berjalan dengan lancar atau belum. Fungsi selanjutnya
dapat untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada, yang dapat menghambat lancarnya
implementasi sebuah kebijakan.
Teori yang digunakan Ripley dan Franklin ini bersifat top down. Teori Rasional (top
down) ini lebih menekankan pada usaha untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang
membuat suatu kebijakan bisa berjalan sukses di lapangan. Model implementasi inilah yang
paling pertama muncul. Pendekatan top downmemiliki pandangan tentang hubungan
kebijakan implementasi seperti yang tercakup dalam Emile karya Rousseau “Segala sesuatu
adalah baik jika diserahkan ke tangan Sang Pencipta, segala sesuatu adalah buruk di tangan
manusia”.
G. Kerangka Pemikiran
Ketiga Perspektif menurut teori Ripley dan Franklin (dalam Alfatih, 2010 : 51-
52) dirujuk untuk mengukur keberhasilan implementasi kebijakan ini sesuai untuk digunakan
sebagai dimensi dari Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Selatan Nomor 3
tahun 2007 tentang Pengelolaan Barang Milik Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Studi
di Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Sumatera Selatan tahun 2013)
karena relatif lebih mudah untuk diidentifikasi.

Keterangan :
Apabila dari ketiga perspektif tersebut adalah tingkat kepatuhan, kelancaran rutinitas
fungsi, dan dampak kinerja implementasi berjalan dengan baik maka akan menghasilkan
implementasi kebijakan pengelolaan aset yang baik, dan apabila dari ketiga perspektif salah
satunya tidak berjalan dengan lancar ini berarti pelaksanaan kebijakan pengelolaan aset
daerah tidak berjalan dengan baik.

Diposting 25th October 2014 oleh Anak Tempirai


Label: Teori Implementasi

7
Lihat komentar

4.
MAY

14

Makalah Manajemen Public


PUBLIC MANAGEMENT DAN NEW PUBLIC MANAGEMENT
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Manajemen publik merupakan suatu spesialisasi baru, tetapi berakar dari pendekatan normative,
Woodrow Wilson sebagai penulis “The Study of Administration” ditahun 1887 dalam Shafritz & Hyde
(1997), merupakan vionernya.Di dalam aliran ini yang dibicarakan benar-benar manajemen publik. Wilson
mendesak agar ilmu administrasi publik segera mengarahkan perhatiannya pada orientasi yang dianut
dunia bisnis, perbaikan kualitas personel pada tubuh pemerintah, aspek organisasi dan metode-metode
kepemerintahan. Fokus dari ajaran tersebut adalah melakukan perbaikan fungsi ekskutif dalam tubuh
pemerintahan karena waktu itu dinilai telah berada di luar batas kewajaran sebagai akibat dari merebaknya
gejala korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan mengadopsi prinsip manajemen bisnis.
Wilson meletakkan empat prinsip dasar bagi studi administrasi publik yang mewarnai manajemen
publik sampai sekarang yaitu :
(1) pemerintah sebagai setting utama organisasi, (2) fungsi eksekutif sebagai fokus utama, (3) pencarian
prinsip-prinsip dan teknik manajemen yang lebih efektif sebagai kunci pengembangan kompetensi
administrasi, (4) metode perbandingan sebagai suatu metode studi pengembangan bidang administrasi
publik.
Warna manajemen publik dapat dilihat pada masing-masing paradigma, misalnya dalam paradigma
pertama yaitu pemerintah diajak mengembangkan sistem rekrutmen, ujian pegawai, klasifikasi jabatan,
promos, disiplin dan pensiun secara lebih baik. Manajemen sumber daya manusia dan barang/ jasa harus
diupayakan akuntabel agar tujuan negara dapat tercapai, paradigma kedua dikembangkan prinsip-prinsip
manajemen yang diklaim sebagai prinsip-prinsip universal yang dikenal sebagai POSDCORB (Planing,
Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, dan Budgeting), yang merupakan karya
besar Luther Gullick dan Lundall Urwick di tahun 1937. Prinsip-prinsip ini kemudian dikritik dalam karya
“Administrative Behaviour”, yang mengajak para ahli tidak hanya mendasarkan dirinya pada aspek normatif
sebagai diajarkan dalam rasional tetapi harus melihat kenyataan yang terjadi dalam satu fungsi
manajemen yang penting yaitu pembuatan keputusan (decision making). Kritik ini telah memberikan ruang
baik kemunduran pengembangan fungsi manajemen publik waktu itu, karena para ahli politik akhirnya
melihat administrasi publik sekaligus manajemen publik sebagai kegiatan politik, atau lebih merupakan
bagian dari ilmu politik. Paradigma ketiga, karnanya fungsi-fungsi manajenen tidak perlu di ajarkan secara
normatif, atau tidak perlu lagi melihat fungsi-fungsi manajemen tersebut sebagai sesuatu yang universal.
Paradigma keempat, setelah tidak menyetujui kritikan para ahli ilmu politik, konsep manajemen terus
dikembangkan seperti didirikannya School of Bussines dan administrasi publik serta Journal Administrative
Science Quarterly di Cornell University Amerika Serikat.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pokok bahasan yang dikaji dalam makalah ini, maka dapat dirumuskan beberapa
masalah sebagai berikut:
efinisi dari Public Management dan New Public Management?
asan-alasan munculnya Public Management?
arakteristik, arah dan tujuan Public Management?
akah tahap-tahap perkembangan Public Management?
akah hubungan antara Management dengan Governance?
nakah penjelasan tentang Teori Public Domain?
nakah penjelasan tentang Teori Pasar?

C. Tujuan
Sejalan dengan perumusan masalah seperti tersebut di atas, maka pengkajian masalah dalam
makalah ini dikandung maksud untuk mencapai tujuan antara lain:
1. Untuk menjelaskan definisi lebih jelas mengenai Public Management.
2. Untuk menjelaskan apa saja alasan munculnya Public Management.
3. Untuk menjelaskan karakteristik, arah dan tujuan Public Management.
4. Untuk menjelaskan tahap-tahap perkembangan Public Management.
5. Untuk menjelaskan hubungan antara Management dan Governence.
6. Untuk menjelaskan tentang Teori Public Domain.
7. Untuk menjelaskan tentang Teori Pasar.

BAB II
ISI
A. Definisi
1. Public Management (Manajemen Publik)
Pada dasarnya public management, yaitu instansi pemerintah. Overman dalam Keban (2004 : 85),
mengemukakan bahwa manajemen publik bukanlah “scientific management”,meskipun sangat dipengaruhi
oleh “scientific management”. Manajemen publik bukanlah “policy analysis’, bukanlah juga administrasi
publik, merefleksikan tekanan-tekanan antara orientasi “rational-instrumental” pada satu pihak, dan
orientasi politik kebijakan dipihak lain. Public management adalah suatu studi interdisipliner dari aspek-
aspek umum organisasi, dan merupakan gabungan antara fungsi manajemen seperti planning, organizing,
dan controlling satu sisi, dengan SDM, keuangan, fisik, informasi dan politik disisi lain. Berdasarkaan
pendapat Overman tersebut, OTT, Hyde dan Shafritz (1991:xi), mengemukakan bahw manajemen publik
dan kebijakan publik merupakan dua bidang administrasi publik yang tumpang tindih. Tapi untuk
membedakan keduanya secara jelas maka dapat dikemukakan bahwa kebijakan publik merefleksikan
sistem otak dan syaraf, sementara manajemen publik mempresentasikan sistem jantung dan sirkulasi
dalam tubuh manusia. Dengan kata manajemen publik merupakan proses menggerakkan SDM dan non
SDM sesuai perintah kebijakan publik.
J. Steven Ott, Albert C. Hyde dan Jay M. Shafritz (1991), berpendapat bahwa dalam tahun
1990an, manajemen publik mengalami masa transisi dengan beberapa isu terpenting yang akan sangat
menantang, yaitu: (1) privatisasi sebagai suatu alternatif bagi pemerintah untuk memberikan pelayanan
publik, (2) rasionalitas dan akuntabilitas, (3) perencanaan dan kontrol, (4) keuangan dan penganggaran,
dan (5) produktivitas sumber daya manusia. Isu-isu ini telah menantang sekolah atau perguruan tinggi
yang mengajarkan manajemen publik atau administrasi publik untuk menghasilkan calon manajer publik
profesional yang kualitas tinggi, dan penataan sistem manajemen yang lebih baik.
Sedangkan Owen E.Hughes(1994), menyajikan dalam Public Management And Administration ,
bahwa pada awal tahun 1990an kita telah menyaksikan adanya suatu transformasi dalam tubuh sektor
publik di negara-negara maju, yaitu suatu perubahan bentuk administrasi publik dari yang kaku, hierarkhis,
dan birokratis menuju ke bentuk manajemen publik yang lebih fleksibel, dan berbasis pasar. Ini bukanlah
sekedar perubahan kecil tentang gaya manajemen tetapi perubahan mendasar tentang peran pemerintah
dalam masyarakat dan hubungan antara pemerintah dengan warganya. Administrasi publik tradisional
telah dikritik baik secara teoritik maupun praktis sehingga memunculkan paradigma baru yang kemudian
dikenal dengan istilah Public Management And New Public Management.
Doktrin utama Public Management adalah :
1. Fokus utamanya pada aktivitas manajemen, penilaian kinerja dan efisiensi, bukan pada kebijakan;
2. Memecah birokrasi publik ke dalam agensi-agensi (unit-unit) dibawah yang terkait langsung
dengan pemakai pelayanan;
3. Pemanfaatan ‘pasar-semu’ dan ‘kontrak kerja’ untuk menggalakkan persaingan;
4. Pengurangan anggaran pemerintah;
5. Penggunaan gaya manajemen yang lebih menekankan pada sasaran akhir, kontrak jangka pendek,
insentif anggaran, dan kebebasan melaksanakan manajemen.
Berdasarkan hal-hal di atas maka Public Management dapat diartikan sebagai bagian yang sangat
penting dari administrasi publik (yang merupakan bidang kajian yang lebih luas), karena administrasi publik
tidak membatasi dirinya hanya pada pelaksanaan manajemen pemerintahan saja tetapi juga mencakup
aspek politik, sosial, kultural, dan hukum yang berpengaruh pada lembaga-lembaga publik. Dan Public
Management berkaitan dengan fungsi dan proses manajemen yang berlaku baik pada sektor publik
(pemerintahan) maupun sektor diluar pemerintahan yang tidak bertujuan mencari untung (nonprofit
sector). Organisasi publik melaksanakan kebijakan publik. Public Management memanfaatkan fungsi-
fungsi : perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan sebagai sarana untuk mencapai
tujuan publik, maka berarti ia memfokuskan diri pada the managerial tools, techniques, knowledges and
skills yang dipakai untuk mengubah kebijakan menjadi pelaksanaan program.

2. New Public Management (NPM)


Paradigma NPM melihat bahwa paradigma manajemen terdahulu kurang efektif dalam
memecahkan masalah dalam memberikan pelayanan kepada publik. Karena itu VIGODA dalam KEBAN
(2005 : 34), mengungkapkan bahwa ada tujuh prinsip-prinsip NPM, yaitu :
1. Pemanfaatan manajemen profesional dalam sektor publik.
2. Penggunaan indikator kinerja.
3. Penekanan yang lebih besar pada kontrol output.
4. Pergeseran perhatian ke unit-unit yang lebih kecil.
5. Pergeseran ke kompetisi yang lebih tinggi.
6. Penekanan gaya sektor swasta pada penerapan manajemen.
7. Penekanan pada disiplin dan penghematan yang lebih tinggi dalam penggunaan sumber daya.

NPM secara umum dipandang sebagai suatu pendekatan dalam administrasi publik yang
menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dalam dunia manajemen bisnis dan disiplin
yang lain untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas kinerja pelayanan publik pada birokrasi modern.

Orientasi NPM
NPM ini telah mengalami berbagai perubahan orientasi menurut Ferlie, Ashbuerner, Filzgerald dan
Pettgrew dalam Keban (2004 : 25), yaitu:
1. Orientasi The Drive yaitu mengutamakan nilai efisiensi dalam pengukuran kinerja.
2. Orientasi Downsizing and Decentralization yaitu mengutamakan penyederhanaan struktur, memperkaya
fungsi dan mendelegasikan otoritas kepada unit-unit yang lebih kecil agar dapat berfungsi secara cepat
dan tepat.
3. Orientasi in Search of Excellence yaitu mengutamakan kinerja optimal dengan memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
4. Orientasi Public Service yaitu menekankan pada kualitas, misi dan nilai-nilai yang hendak dicapai
organisasi publik, memberikan perhatian yang lebih besar kepada aspirasi, kebutuhan dan partisipasi
“user” dan warga masyarakat, termasuk wakil-wakil mereka menekankan “social learning” dalam
pemberian pelayanan publik dan penekanan pada evaluasi kinerja secara berkesinambungan, partisipasi
masyarakat dan akuntabilitas.

B. Alasan Munculnya Public Management


Pada akhir tahun 1980an dan awal tahun 1990an kita melihat munculnya suatu pendekatan
manajemen baru di sektor publik sebagai respon atas kekurangberhasilan model administrasi tradisional.
Pendekatan manajemen baru di sektor publik ini mempunyai berbagai nama/sebutan, antara lain
: Managerialism (Pollit, 1990) ; New Public Management (Hood, 1991); Market-Based public
Administration (Lan and Rosenbloom, 1992) ; dan Enterpreneurial Government (Osborne and
Gaebler, 1992).
Menurut Owen E.Hughes (1994), ada 6 alasan munculnya paradigma Public Management yaitu :
1. Administrasi publik tradisional telah gagal mencapai tujuanynya secara efektif dan efisien sehingga perlu
diubah menuju ke orientasi yang lebih memusatkan perhatian pada pencapaian hasil(kinerja) dan
akuntabilitas;
2. Adanya dorongan yang kuat untuk mengganti tipe birokrasi klasik yang kaku menuju ke kondisi organisasi
public, kepegawaian, dan pekerjaan yang lebih luwes;
3. Perlunya menetapkan tujuan organisasi da pribadi secara jelas dan juga perlu ditetapkan alat ukur
keberhasilan kinerja lewat indicator kinerja;
4. Perlunya para pegawai senior lebih punya komitmen politik pada pemerintah yang sedang berkuasa
daripada bersikap netral atau non partisan;
5. Fungsi-fungsi yang dijalankan pemerintah hendaknya lebih disesuaikan dengan tuntutan dan signal pasar;
dan
6. adanya kecenderungan untuk mereduksi peran dan fungsi pemerintah dengan melakukan kontrak kerja
dengan pihak lain (contracting out) dan privatisasi.

Keenam alasan tersebut di atas, ditambahkan oleh Martin Minogue (2000) dengan menyebut
adanya 3 tekanan yang menyebabkan perlu adanya perubahan paradigma menuju ke Public
management yaitu:
1. Semakin membesarnya anggaran pemerintah
2. Rendahnya mutu kinerja pemerintah
3. Adanya nilai ideologi yang bersifat konfiktif terhadap perubahan paradigma pemerintahan

Adanya gelombang perubahan paradigma pemerintahan itu sendiri merupakan tekanan perubahan
tidak hanya karena ia merupakan perubahan yang fundamental dalam nilai-nilai sector public tetapi juga
karena ia memberikan peluang bagi perumus kebijakan untuk menemukan solusi terhadap tekanan yang
positif (meningkatkan mutu kinerja pemerintah), atau tekanan yang negative ( mereduksi ukuran dan peran
pemerintah).

Sedangkan menurut Owen (1994) :


1. Adanya tekanan yang kuat atas peran sector public
2. Terjadinya perubahan teori ekonomi
3. Adanya pengaruh globalisasi terhadap sector publik

C. Karakteristik, Arah dan Tujuan Public Management


1. Karakteristik Public Management
M.Minougue (2000) paling tidak menyebut adanya 5 karakteristik utama Public
Management, yaitu:
1. A separation of strategic policy from operational management. Public management lebih banyak terkait
dengan tugas-tugas operasional pemerintahaan dari pada peran perumusan kebijakan.
2. A concern with results rather than process and procedure. Public management lebih berkonsentrasi pada
upaya mencapai tujuan daripada upaya berkutat dengan proses dan prosedur.
3. An orientation the needs of customer rather than those of bureaucratic organizations. Public management
lebih banyak berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pelanggan dari pada kebutuhan birikrasi.
4. A withdrawal from direct service provision in favour of a steering or enabling role. Public management
menghindarkan diri dari berperan memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sesuai dengan
peran nutamanya memberikan arahan saja atau pemberdayaan kepada masyarakat.
5. A trans formed bureaucratic culture/ A change to entrepreneurial management culture. Public management
mengubah diri dari budaya birokrasi.

Menurut C.Hood (1991) terdapat 7 karakteristik New Public Management, yaitu:


1. Hands-on professional management. Pelaksanaan tugas manajemen pemerintahaan diserahkan kepada
manajer professional.
2. Explicit standards and measures of performance. Adanya standar dan ukuran kinerja yang jelas.
3. Greater emphasis on out put controls. Lebih ditekankan pada control hasil/keluaran.
4. A shift to desegregations of units in the public sector. Pembagian tugas ke dalam unit-unit yang dibawah.
5. A shift to greater competition in the public sector. Ditumbuhkannya persaingan ditubuh sektor publik.
6. A stress on private sectore styles of management practice. Lebih menekankan diterapkannya gaya
manajemen sektor privat.
7. A stress on greater discipline and parsimony in resource use. Lebih menekankan pada kedisiplinan yang
tinggi dan tidak boros dalam menggunakan berbagai sumber. Sektor publik seyogjanya bekerja lebih keras
dengan sumber-sumber yang terbatas (to do more with less).

2. Arah Public Management


Dalam rangka meningkatkan kinerja sektor publik. Public management diarahkan kegiatannya
pada:
1. Melakukan restrukturisasi sektor publik lewat proses privatisasi.
2. Melakukan restrukturisasi dan merampingkan struktur dinas sipil di pusat.
3. Memperkenalkan nilai-nilai persaingan khususnya lewat pasar internal dan mengkontrakkan pelayanan
public kepada pihak swasta dan intervensi oleh pemerintah.
4. Meningkatkan efisiensi lewat pemeriksaan dan pengukuran kinerja.

3. Tujuan Public Management


Tujuan dari Public Management adalah:
1. Menurut Rainey (1990): ‘public management aims to achieve skills and improve skills and improve
accountability’ Manajemen publik itu ditujukan untuk meningkatkan tercapainya tujuan sektor publik (lebih
efektif dan efisien), pegawainya lebih berkeahlian dan lebih mampu mempertanggungjawabkan kinerjanya.
2. Menurut Graham & Hays (1991): “public managemen are concerned with efficiency,accountability,goal
achlevement and dozen of other managerial and technical question”, Manajemen publik itu bertujuan untuk
menjadikan sector public lebih efisien, akuntabel, dan tujuannya tercapai serta lebih mampu menangani
berbagai masalah manajerial dan teknis.

D. Tahap Perkembangan Public Management


Paling tidak ada empat tahap perkembangan manajemen publik disebuah negara maju (Inggris)
yang meliputi:
1. The Minimal State
Negara mini, atau peran pemerintah paling minimal, merupakan perkembangan tahap awal dari
manajemen publik. Menurut Owen (1965) pelayanan sectok publik di Ingggis mayoritas diletakkan pada
sektor karitas (charitable sector) atau penyediaan pelayanan oleh sektor swasta. Minimal state bukan
berarti tidak ada peran negara sama sekali. Dulu memang penyediaan dan pelayanan atas barang dan
jasa publik itu adalah merupakan prinsip dasar dalam administrasi publik.
2. Unequal Partnership between Government and The Charitable and Private Sectors.
Dimulai pada abad ke 20 yang ditandai dengan perubahan ideologi dari konservatisme tradisional dari
abad ke 19 menuju reformisme social di abad ke 20 yang berisi tiga unsur:
a. Bahwa masalah sosial dan ekonomi tidak lagi difokuskan pada isi individual tetapi pada isu sosial yang
menyangkut setiap orang.
b. Adanya pengakuan bahwa negara punya peran penting paling sedikit dalam penyediaan pelayanan kepada
publik.
c. Bahwa dimana negara tidak dapat menyediakan pelayanan kepada public maka sektor karitas dan swasta
diundang sebagai upaya kemitraan.
3. The Welfare State
Model ini berjalan antara tahun 1945-1980, yang melandasi adalah keyakinan bahwa penyediaan
pelayanan yang dilaksanakan oles sector karitas dan swasta telah gagal karena adanya fragmentasi dan
duplikasi peran penyedia pelayanan, serta adanya ketidak efisienan dan keefektifan pengelolaan
pelayanan kepada publik. Konsekuensinya, semua kebutuhan akan pelayanan public ditangani oleh
pemerintah mulai dari yang sederhana sampai yang besar. Pelayanan ini dikelola oleh para kader
professional dari dinas publik dengan cara yang profesional dan objektif.

4. The Plural State


Model ini berjalan sejak tahun 1970an sampai sekarang, dimana partai konservatif di inggris mulai
melontarkan kritik atas konsep ngara kesejahteraan yag dinilai tidak mampu memberikan kepuasan pada
warganya. Yang menjadi acuan utama model plural state adalah karena model ini dinilai terlampau
memusatkan diri pada nilai-nilai ekonomi dan pemotongan anggaran daripada penyediaan pelayanan yang
efektif dan melebihkan superioritas sekor swasta serta teknik manajemen swasta diatas kemampuan sekor
publik dan administrasi publik.
Perkembangan manajemen publik paling tidak dipengaruhi oleh beberapa pandangan yaitu:.
1. Manajemen Normatif
Menggambarkan apa yang sebaiknya dilakukan oleh seorang manajer dalam proses manajemen.
2. Manajemen Deskriptif
Menggambarkan apa yang kenyataan yang dilakukan oleh manajer ketika menjalankan tugasnya.
3. Manajemen Stratejik
Menggambarkan suatu cara memimpin organisasi untuk mencapai misi, tujuan dan sasaran.
4. Manajemen Publik
Menggambarkan apa yang sebaiknya dilakukan dan senyatanya pernah dilakukan oleh para manajer
public di instansi pemerintah.
5. Manajemen Kinerja
Mengganbarkan bagaimana merancang untuk meningkatkan kinerja organisasi.

E. Public Management vs Governance


Tema sentral dalam manajemen public adalah upaya mereformasi sector public agar tujuan padat
dicapai lebih efektif,efesien dan ekonomis,semata-mata hanya menunjukan kepada kita tentang hubungan
antara Negara (the state) dan pasar (the market) dan tekanan lebih eksplisit ditujukan pada adanya
dominasi preferensi individu terhadap penyediaan barang dan jasa atas preferensi kolektif. Kita perlu
menyadari bahwa pemerintahan yang modern itu bukan hanya sekedar mencapai tujuan efisiensi tetapi
tentang hubungan akuntabilitas terhadap Negara dengan warga Negara nya yaitu warga meminta agar
tidak diperlakukan hanya sebagai konsumen dan pelanggan tetapi mereka juga memiliki hak untuk
menuntut pemerintahannya bertanggung jawab atas tindakan yang diambil atau kegagalan dalam
bertindak /melakukan sesuatu.
Warga Negara menghendaki pemberian pelayanan yang efisien ,pengenaan pajak yang rendah
dsb,tetapi mereka juga menginginkan agar hak-haknya dilindungi,suaranya didengar,nilai-nilai dan
preferensinya dihargai sanksi mutlak yang ada ditangan warga Negara atas rendahnya mutu pelayanan
yang diperoleh adalah dengan menolak dan menuntut mundur kepada mereka yang secara politis
bertanggung jawab atas penyediaan pelayanan yang bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan
warga Negara. Penyediaan anggaran yang cukup,persaingan ,penetapan standar mutu kerja dsb. Mungkin
dibutuhkan untuk mewujudkan manajemen yang baik dan pemanfaatan sumber-sumber yang efisien,
tetapi bila upaya perbaikan ini menghasilkan pelayanan yang tidak sesuai dengan harapan warga,maka
warga sebagai pemilih dalam pemilu akan berontak dan tidak memilih nya lagi.
Bagi warga Negara yang paling penting adalah terciptanya hukum yang adil dan ketertiban sosial,
yang hal lain itu hanya bisa dilakukan oleh pemerintahan yang sah kuat. Istilah “Governance”
merefleksikan proses penyelenggaraan pemerintah yang baik. Konsep “Governance” tidaklah
dimaksudkan untuk menggantikan konsep “New Public Management”,akan tetapi lebih menekankan
kesadaran kita bahwa pemerintahan yang baik itu adalah pemerintahan yang memenuhi 4 persyaratan
utama yaitu:

1. Yang kuat legitiminasinya


2. Akuntabel
3. kompeten
4. Respek terhadap hukum dan hak-hak azasi manusia

Oleh karena itu “New Public Management” itu merupakan bagian dari strategi yang lebih luas
tentang “Good Governance”.
Teori penyelenggaraan pemerintahan (governance theory) didasarkan atas pandangan
R.A.W.Rhodes,1996 dan G.Stoker,(1998)

Perbedaan Makna Government dan Governance


GOVERNMENT berbeda pemaknaannya dengan GOVERNANCE . Menurut Stoker istilah ’government’
menunjukan pada :
- the formal institutions of state,
- monopoly of legitimate coercive power,
- its ability to make decisions and its capacity to enforce them,
- the formal and institutional processes which operate at the level of the nation state to maintain public order
and facilicate collective action.

Selanjutnya menurut Rhodes,istilah ‘governance’ menunjukan pada:


- a chance in the meaning of government
- referring a new process of governing
- a changed condition of ordered rule
- the new method by which society is governed.

Stoker memandang perbedaan government dan governance hanya pada prosesnya (styles of
governing) bukan pada outputnya. Akhirnya Stoker dan pakar yang lainnya setuju untuk menyatakan
bahwa: “Governance itu menunjukan pada pengembangan gaya menjalankan pemerintahan dalam mana
antara sektor publik dan privat telah menjadi kabur. Esensi governance pada fokusnya yaitu mekanisme
penyelenggaraan pemerintahan yang tidak lagi tergantung pada bantuan dan sanksi dari pemerintah
“.”Konsep governance lebih tertuju pada kreasi suatu struktur atau tertib yang tidak dapat diimposisikan
keluar tetapi merupakan hasil dari interaksi banyak pihak yang ikut terlibat dalam proses pemerintahan dan
mereka saling mempengaruhi satu sama lain”.(Kooiman dan Vliet,1993).

Rhodes memandang paling tidak ada 6 istilah yang berbeda dalam memberi makna
lonsep governance,yaitu :
- as the minimal state
- as corporate governance
- as the new public management,
- as ‘good governance’
- as a socio-cybernetic system,
- as self-organizing network.

Lima Proposisi konsep Good Governance


Pandangan Stoker tentang governance as theory,mengemukakan adanya 5 proposisi yang perlu
dipertimbangkan dalam mengkaji konsep good governance,yaitu :
Proposisi I : Governanace refers to a set of institutions and actors that are drawn from but also beyond
government.
Penyelengaraan pemerintahan yang baik perlu memanfaatkan seperangkat institusi dan actor yang baik
dari dlam maupun dari luar burokrasi pemerintah. Pemerintah perlu membuka pintu dan tidak alergi atau
curiga terhadap ekstensi pelbagai macam institusi dan actor diluar institusi pemerintah,bahkan sebalikmya
hal itu bisa dimanfatkan sebagai komponen penguat dalam mencapai tujuan bersama.
Proposisi II : Governance recognizes the blurring of boundaries and responbilities for tacking social and
economics issues

Penyelenggaraan pemerintah yang baik tidak memungkinkan lagi terjadinya tritomi peran sektor pertama
(eksekutif dan legislatif); sektor kedua(swasta)dan sektor ketiga (masyarakat) dalam menangani masalah
sosial ekonomi, karena peran tersebut sekarang sudah demikian kabur. Peran ketiga sector tersebut
seyogyanya sudah menyatu dan padu karena mereka punya kepentingan dan komitmen yang sama
tingginya untuk mengatasi masalah-masalah sosial-ekonomi tersebut.
Proposisi III : Governance identifies the power dependence involved in the relationship between institutions
involved in collective action
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik mengakui adanya saling ketergantungan diantara ketiga faktor
tersebut diatas dalam peran bersama untuk mengatasi masalah social-ekonomi. Tujuan masyarakat
kesejahteraan hidup masyarakat tidak membutuhkan lagi satu kekuatan manapun yang dominan yang
melebihi perannya atas yang lain , melainkan semuanya berinteraksi dan berinterrelasi serta punya akses
yang sama dalam berpatisipasi dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat
Proposisi IV : Governance is about autonomous self governing network of actors.
Penyelenggaaan pemerintahan yang baik merupakan jaringan kerja antar actor dari ketiga kekuatan yang
menyatu dalam suatu ikatan yang otonom dan kuat. Ketiga actor tadi akan menjadi kekuatan yang solid
dan dahsyat bila mereka bersedia memberikan dan menerima kontribusi baik sumber-sumber, keahlian,
kepentingan maupun tujuan-tujuan bersama yang diinginkan.
Proposisi V : Governance recognizes the capacity to get things done which does not rest on the power of
government to commandor use its authority. It sees government as able to use new tools and
techniques to steer and guide.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak
perlu semata-mata menggantungkan diri pada arahan, petunjuk dan otoritas pemerintah tetapi juga
kemampuan untuk memanfaatkan sarana dan teknik pemerintahan dari sektor non-pemerintah untuk
merumuskan , melaksanakan dan mengevaluasi kebijakan yang baik dan benar.
Kelima proposisi tersebut diatas walaupun mempunyai nilai dan arti yang cukup tinggi namun untuk
bisa diterapkan secara efektif masih perlu diuji tingkat signifikannya.

F. Teori Public Domain


Pandangan J.Stewart & S.Ranson (1994) : Apa Public Domain itu ?
PUBLIC DOMAIN dapat digambarkan sebagai arena atau organisasi untuk mengejar atau
memenuhi nilai-nilai kolektif.
PUBLIC DOMAIN diperlukan untuk mengatasi ketidaksempurnaan pasar, dimana kebutuhan
pelbagai kebutuhan pelayanan masyarakat atau redistribusi sumber-sumber tidak dapat disediakan oleh
pasar. Public Domain juga diperlukan untuk memenuhi nilai-nilai khas yang harus ada pada sikap
manajemen sektor publik ,yaitu equity & equality. Dengan bahasa lain manajemen sektor publik tidak
hanya ditujukan untuk mencapai tujuan sektor publik secara efektif & efisien, tetapi juga secara adil &
merata.
Alasan-alasan mengapa model atau teori public domain diperlukan adalah:
a. Ketidak-tepatan model-model manajemen sector swsta untuk mengaji manajemen sektor publik, sehingga
diperlukan model yang khusus/tersendiri.

b. Penyusunan model manajemen sector public dapat dimulai dengan menetapkan tujuan-tujuan, persyaratan-
persyaratan, dan tugas-tugas public domain.
c. Mengatasi delima yang ada agar dapat tersusun model manajemen sector public yang tepat.
d. Menyusun suatu pendekatan manajemen domain public yang khas dan jelas tujuan-tujuannya, persyaratan-
persyaratannya, tugas-tugasnya dan termasuk pula dilemma yang dihadapinya.

Perbedaan Model Sektor Privat dan Publik


Model Sektor Privat Model Sektor Publik
1. Pilihan individu pada pasar 1.Pilihan kolektif pada
Negara/pemerintah
2. Atas dasar permintaan dan harga 2.Atas dasar kebutuhan akan sumber-
sumber
3.Terbatas bagi tindakan privat 3.Terbuka bagi tindakan publik
4.Berdasarkan keadilan pasar 4.Berdasarkan keadilan kebutuhan
5. Mencari kepuasan pasar 5.Mencari keadilan bagi masyarakat
6. Kekuasaan ada pada konsumen 6.Kekuasaan bagi warga negara
7. Kompetisi sebagai instrumen pasar 7.Tindakan kolektif sebagai instrument
negara/pemerinyah
8. Merespon protes dengan keluar dari 8.Merespon suara masyarakat
kegiatan pasar

Ketidak – tepatan Model Manajemen Sector Privat Untuk Mengkaji Manajemen Sector Publik akhir
– akhir ini banyak sekali model-model manajemen sector privat mendominasi pemikiran manajemen sektor
publik. Baik disadari atau tidak ,ada bahayanya mengadopsi sektor privat kedalam sektor manajemen
publik. Ini tidak berarti bahwa manajemen sektor publik tidak bisa belajar dari pengalaman manajemen
sektor privat, dan juga sebaliknya. Kedua belah pihak bisa saling bertukar model, tetapi harus sesuai
dengan tujuan, kondisi dan peran atau tugas masing-masing. Banyak aspek manajemen sektor publik yang
berbeda jauh dengan manajemen sektor privat, (lihat pada tabel perbedaan). Perhatikan pula hal-hal
berikut ini :
a. Stategic Management : Managemen sector privat selalu berada dalam kondisi persaingan yang tinggi.
Oleh karena itu untuk mengahasilkan produk yang bisa mencapai kinerja organisasi secara optimal maka
perlu dicermati terus-menerus faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan kendala yang ada pada
organisasi sector privat tersebut.
b. Marketing and the Customer : Pasar dan kegiatan pemasaran adalah merupakan peran yang cukup kritis
di sector privat, karena menyangkut hubungan antara perusahaan dan pelangganan. Hal ini sama dengan
sector public, yaitu hubungan antara organisasi public dengan mereka yang menggunakan jasa-jasa
pelayanannya yang bertindak sebagai customer
c. The budgetary process : Proses anggaran di sector privat berbeda tajam dengan sector public. Di sector
privat, penetapan anggaran didasarkan pada peramalan proses penjualan. Anggaran adalah merupakan
sarana yang menghubungkan antara pendapatan dan pengeluaran .
d. Public Accountability : sector privat akuntabilitas ada di pasar, sedangkan sector public akuntabilitas lebih
luas dan mendalam yaitu bertnggung jawab pada public secara luas dan partai individu-individu dengan
dimensi yang luas akuntabilitas public dilkukan lewat proses politik guna merespon berbagai suara
masyarakat terhadap tindakan-tindakan apa saja yang diambil oleh para pelaku sector public .

e. Public Demamds Pressure and Protest : sector privat berhubungan dengan public dalam pasar. Bila ia
menghadapi tuntutan, tekanan dan protes dari public maka semuanya ini adalah masalah yang harus
dihadapi mungkin salah satunya adalah dengan “exit” dari pasar sedangkan sektor publik tuntutan, tekanan
dan protes dari publik adalah merupakan suara “voise” yang punya hak yang harus dibina dan harus
diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh aparat pemerintah.
f. Political Process : proses politik adalah merupakan persyaratan dasar bagi manajemen domain public.
Proses politik adalah merupakan sarana bagi penentuan kebutuhan kolektif, sebagai arena perbedaan
politik.

Tujuan, Kondisi, Tujuan, Kondisi, dan Tugas /Peran yang Spesifik bagi Pembuatan Model
Manajemen Domain Publik
a. Purposes of The Public Domain : Domain public adalh merupakan arena dan organisasi bagi upaya
pencapaian tujuan konektif atau era dimana nilai-nilai kolektif hendak diperoleh. Demokrasi adalah
merupakan nilai dasar bagi manajemen domain public. Organisasi public bekerja untuk menyediakan dan
memberikan berbagai pelayanan yang ditentukan oleh pilihan kolektif lewat proses politik.
b. Conditions Which Constitute The Public Domain: keputusan-keputusan dalam domain public diambil lewat
proses politik, seperti misalnya lewat debat, diskusi, tekanan dan protes. Setiap tindakan yang berada
pada tataran domain public harus dapat dipertanggung jawabkan pada public.
c. Task of Government : tugas pemerintah diekspresikan dalam tujuan domain public. Dalam domain public itu
nilai kolektif dibangun lewat debat dan diskusi dalam arena public. Tugas pemerintah untuk pembentukan
hukum dan pemeliharaan ketertiban yang didalamnya diisi dengan warna keadilan.

Dilema Yang Harus Hadapi


a. Coletive and Individual : Domain public : adalah merupakan domain bagi tindakan kolektif merupakan
domain bagi warga Negara dan bagi warga Negara secara individual doman masing-masing mempunyai
pandangan, tuntutan dan peluang
b. Representative and Participative : Tindakan kolektif dapat ditentukan oleh pemerintah yang
representative atas nama masyarakat atau oleh partisipasi aktif masyarakat.
c. Bureaucracy and Responsiveness : Aturan yang ada dalam birokrasi bisa menjamin adanya
kenetralan dalam memberikan pelayanan
d. Order and Service : disektor public tata tertib dipertahankan dan peraturan dilaksakan. Tetapi pelayanan
sering kali disediakan oleh organisasi bersama.
e. Controlling and Enabling : sector public mengontrol kepentingan masyarakat yang begitu komplek lewat
seperangkat regulasi.
f. Polical Conflict and Institutional Countinuity : dalam domain public keputusan dibuat suatu proses
politik baik melalui debat, adu argumentasi, tekanan maupun protes.
g. Stability and Flexbility : setiap organisasi selalu menghadapi tensi atau konflik antara kondisi stabil yang
diperlukan yang diperlukan untuk mencapai kinerja peran-perannya dan kondisi fleksibel yang
diperlukan untuk menghadapi perubahan yang terjadi yang terjadi pada lingkungan eksternal.
h. Custumer and Citizen : sector public menyediakan berbagai jenis pelayan bagi kepentingan public dengan
sebaik-baiknya.

i. A choise of Values : di dalam domain public terdapat berbagai nilai yang bias berbeda dan konflik antar nilai
j. A Balance of Interests : menejemen domain public disusun atas dasar banyak kepentingan yang harus
dicapainya .

Pendekatan Baru Dalam Manajemen sektor publik :

1. The Learning Process


2. Response and Direction in Stategy
3. The Budgetry Proses
4. The Management of Rationing
5. Decion making
6. Management Control and The Management of Action
7. The Management of Interaction
8. Performance Monitoring
9. Staffing Policies
10. Relations with Costumer and Citizen
11. Public Accountability
G. Teori Pasar
Teori pasar muncul sebagai reaksi atas model administrasi publik tradisional yang dinilai
mempunyai banyak kekurangan terutama dengan adanya tantangan agar sector publik lebih mampu
meningkatkan kinerjanya secara efektif dan efisien. Tantangan ini muncul akibat dari peran birokrat
konfensional yang terlalu mementingkan dirinya sendiri(self interest).
Pendekatan pasar terhadap sektor publik yaitu generic management yang kemudian dikenal
dengan nama “the new public management”. Pendekatan ini berasumsi bahwa sekali manajemen tetap
manajemen dimanapun dan pada organisasi apapun hendak dipakai prinsip manajemen itu,yaitu baik di
sector bisnis maupun publik. Misalnya teknik Management By Objective (MBO),Total Quality
Management atau (TQM).
Walaupun demikian ada pula pihak-pihak yang tidak setuju penerapan prinsip bisnis ke sektor
publik, karena karakteristik , tujuan, dan bentuk, aktivitas sector public itu tidak sama dengan sector bisnis
Beberapa asumsi teori pasar terhadap sector public (B.G.Peters , 1995) dalah sebagai berikut :
 Struktur
Teori pasar melihat bahwa masalah mendasar yang ada pada struktur sector public tradisional
adalah struktur organisasi yang sangat besar, dan sangat monopolistic serta tidak peka terhadap tuntutan
lingkungan yang berkembang, ditambah lagi dengan aktivitas pelayanan atas public good and services
tidak dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Masalah tersruktur disebabkan karena terlampau
menekankan pada aspek aturan dan otoritas formal yang berlebihan yang otomatis yang berdampak pada
aktivtas organisasi public.
Sehubungan dengan itu maka disarankan perlunya reformasi di sector public dengan
mendesentrllisasikan perumusan dan implementasi kebijakan pada jenjang agensi pemerintahan yang
lebih rendah; atau memanfaatkan organisasi kuasi-privatuntuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan
terutama pada tugas pelayanan atas barang dan jasa public yang marketable. Pemerintah perlu
menciptakan pelbagai organisasiyang secara kompetitif dapat mensuplai barang dan jasa public yang
sama kuantitas dan kualitas bagi masyarakat. Perubahan struktur sector public secara menyeluruh perlu
diikuti dengan perubahan managemen agar dapat meningkatkan kinerja sektor public.

 Manajemen
Mutu SDM disektor public harus sama dengan mutu SDM di sector bisnis agar berbagai teknik
manajerial (MBO,TQM, tsb)dapat juga diterapkan.Tetapi hal ini mempunyai implikasi bahwa sektor public
juga harus menerapkan politik penggajian berdasarkan pada merit system : “equal pay for equal work”.Gaji
yang diterimakan kepada pegawai sektor publik harus sama seperti pada sektor privat yang besar kecilnya
didasarkan atas efektifitas kontrak kinerjanya..

 Pembuatan Kebijakan
Asumsi ketiga dari teori pasar adalah mengenai bagaimana kebijakan publik itu seyogyanya
dirumuskan,utama yang selama ini disentralisasikan pada birokrat karier di sektor publik. Teori pasar
mengendapi adanya desentralisasi pembuatan kebijakan pada agensi-agensi yang berkarakter di jenjang
bawah yang diberi otonomi untuk membuat kebijakan. Diharapkan agensi di bawah yang berjiwa
‘wirausaha’ itu mampu menangkap signal pasar,mampu melakukan aktivitas yang lebih inovatif dan lebih
berani menanggung resiko,dan perlu adanya birokrasi publik yang lebih mementingkan ‘public interest’
dari pada ‘self interest’.
Tetapi politisasi level bawah diberi kewenangan membuat level bawah untuk diberi kewenangan
membuat kebijakan dinilai oleh beberapa pihak yang menolak sebagai melanggar prinsip merit system.
Selain itu ada masalah lain yang berkaitan dengan posis dan peran warga Negara. Menurut teori pasar
warga Negara adalah merupakan penerima program pemerintah dan public yang secara umu sebagai
konsumen posisi yang memberdayakan adalah warga sebagai konsumen berharap akan memperoleh
pelayana yang baik sebagai mana yang diberikan oleh sector privat sedangkan yang merendahkan adalah
posisi warga Negara sekedar sebagai konsumen.

 Kepentingan Publik
Pandangan teori pasar tentang konsep teori public :
1. Pemerintah harus dapat memberikan pelayanan yang murah dan bermutu bagi publiknya
2. Warga Negara harus dipandang sebagai konsumen sekaligus sebagai pembayar pajak yang punya
kewajiban hak .
Teori pasar menghendaki agar sector public dapat memberikan pelayanan yang ramah kepada
pelanggan (customer friendly)

 Publik choice theory


Salah satu teori ekonomi yang diterapkan pada aspek birokrasi adalah teori pilihan public teori ini
berpeluang untuk mendukung pandangan bahwa pemerintah sekarang ini sangat besar, lamban dan tidak
efisien sangat kontras dengan harapan dari adm public tradisional

Menurut teori ini individu birokrat itu pada hakekatnya permotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri :
kekuasaan , kekayaan dan kepentingan dirinya yang lain atas biaya agensinya. Teori ini berpandangan
pada hasil akan dicapai dengan baik dalm menyidiakan barang dan jasa public bila melihatkan mekanisme
pasar secar optimal teori pilihan public yang berbasis rasional actor model melihat manusia itu adalah
merupakan mahluk yang cenderung berupa utility maximiser yang sangat egoistic, sellf-regarding and
instrumentain their behavior, choosing how to atc on the basis of the consequences for their personal
welfare pandangan seperti ini jelas bertolak belakang dengan teori tipe ideal dari weber dimana
diasumsikan bahwa birokrasi termotivasi dengan realisasi perannya sebagai service to the state sebagai
abdi Negara pelayan masyarakat yang berjuang untuk kepentingan public(public interest) dan bukan untuk
kepentingan diri sendiri(self interest).

BAB III
KESIMPULAN

Public Management dapat diartikan sebagai bagian yang sangat penting dari administrasi
publik (yang merupakan bidang kajian yang lebih luas), karena administrasi publik tidak membatasi dirinya
hanya pada pelaksanaan manajemen pemerintahan saja tetapi juga mencakup aspek polotik, sosial,
kultural, dan hukum yang berpengaruh pada lembaga-lembaga publik. Dan Public Management berkaitan
dengan fungsi dan proses manajemen yang berlaku baik pada sektor publik (pemerintahan) maupun sektor
diluar pemerintahan yang tidak bertujuan mencari untung (nonprofit sector).
NPM secara umum dipandang sebagai suatu pendekatan dalam administrasi publik yang
menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dalam dunia manajemen bisnis dan disiplin
yang lain untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas kinerja pelayanan publik pada birokrasi modern.
Menurut Owen E.Hughes (1994), ada 6 alasan munculnya paradigma Public Management yaitu :
1. Administrasi publik tradisional telah gagal mencapai tujuanynya secara efektif dan efisien sehingga perlu
diubah menuju ke orientasi yang lebih memusatkan perhatian pada pencapaian hasil(kinerja) dan
akuntabilitas;
2. Adanya dorongan yang kuat untuk mengganti tipe birokrasi klasik yang kaku menuju ke kondisi organisasi
public, kepegawaian, dan pekerjaan yang lebih luwes;
3. Perlunya menetapkan tujuan organisasi da pribadi secara jelas dan juga perlu ditetapkan alat ukur
keberhasilan kinerja lewat indicator kinerja;
4. Perlunya para pegawai senior lebih punya komitmen politik pada pemerintah yang sedang berkuasa
daripada bersikap netral atau non partisan;
5. Fungsi-fungsi yang dijalankan pemerintah hendaknya lebih disesuaikan dengan tuntutan dan signal pasar;
dan
6. Adanya kecenderungan untuk mereduksi peran dan fungsi pemerintah dengan melakukan kontrak kerja
dengan pihak lain (contracting out) dan privatisasi.
M.Minougue (2000) menyebut adanya 5 karakteristik utama Public Management, yaitu:
1. A separation of strategic policy from operational management. Public management lebih banyak terkait
dengan tugas-tugas operasional pemerintahaan dari pada peran perumusan kebijakan.
2. A concern with results rather than process and procedure. Public management lebih berkonsentrasi pada
upaya mencapai tujuan daripada upaya berkutat dengan proses dan prosedur.
3. An orientation the needs of customer rather than those of bureaucratic organizations. Public management
lebih banyak berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pelanggan dari pada kebutuhan birikrasi.
4. A withdrawal from direct service provision in favour of a steering or enabling role. Public management
menghindarkan diri dari berperan memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sesuai dengan
peran nutamanya memberikan arahan saja atau pemberdayaan kepada masyarakat.
5. A trans formed bureaucratic culture/ A change to entrepreneurial management culture. Public management
mengubah diri dari budaya birokrasi.
Dalam rangka meningkatkan kinerja sektor publik, Public Management diarahkan kegiatannya
pada:
1. Melakukan restrukturisasi sektor publik lewat proses privatisasi.
2. Melakukan restrukturisasi dan merampingkan struktur dinas sipil di pusat.
3. Memperkenalkan nilai-nilai persaingan khususnya lewat pasar internal dan mengkontrakkan pelayanan
public kepada pihak swasta dan intervensi oleh pemerintah.
4. Meningkatkan efisiensi lewat pemeriksaan dan pengukuran kinerja.

Tujuan dari Public Management adalah:


Menurut Graham & Hays (1991): “public managemen are concerned with efficiency,accountability,goal
achlevement and dozen of other managerial and technical question”, Manajemen publik itu bertujuan untuk
menjadikan sector public lebih efisien, akuntabel, dan tujuannya tercapai serta lebih mampu menangani
berbagai masalah manajerial dan teknis.
Ada empat tahap perkembangan manajemen publik disebuah negara maju (Inggris) yang meliputi:
1. The Minimal State
2. Unequal Partnership between Government and The Charitable and Private Sectors.
3. The Welfare State
4. The Plural State

PUBLIC DOMAIN diperlukan untuk mengatasi ketidaksempurnaan pasar, dimana kebutuhan


pelbagai kebutuhan pelayanan masyarakat atau redistribusi sumber-sumber tidak dapat disediakan oleh
pasar. Public Domain juga diperlukan untuk memenuhi nilai-nilai khas yang harus ada pada sikap
manajemen sektor publik ,yaitu equity & equality.
Teori pasar muncul sebagai reaksi atas model administrasi publik tradisional yang dinilai
mempunyai banyak kekurangan terutama dengan adanya tantangan agar sector publik lebih mampu
meningkatkan kinerjanya secara efektif dan efisien. Tantangan ini muncul akibat dari peran birokrat
konfensional yang terlalu mementingkan dirinya sendiri(self interest).

DAFTAR PUSTAKAManagemen Public

Islamy, Irfan. 2003. Dasar-dasar Administrasi Publik dan Manajemen Publik . Malang, Indonesia :
UNIVERSITAS BRAWIJAYA.
Pasalong, Harbani. 2007. Teori Administrasi Publik. Makasar, Indonesia : ALFABETA.

Diposting 14th May 2012 oleh Anak Tempirai


Label: Pengetahuan

0
Tambahkan komentar

5.
MAY

13

Arti Perjuangan........!!!!!

Apa Arti Berjuang menurut saya………..??????

Berjuang menurut paradigma saya merupakan suatu usaha dimana


kita melakukan sesuatu agar menjadi lebih baik.
Seorang yang berjuang dengan iman dan tanpa iman akan sangat tampak
pada prilakunya, seorang yang berjuang dengan iman akan lebih kuat
dan pantang menyerah, karena dia yakin bahwa Tuhan tidak akan
merubah nasib seseorang melainkan dia sendiri yang merubahnya.
Pengalaman saya pribadi untuk mendapatkan nilai yang bagus dalam
belajar itu memerluhkan suatu usaha yang keras dan kemauan yang
kuat, bahkan terkadang dibilang kuper karena jarang keluar rumah
gara-gara saya terlalu memfokuskan diri untuk belajar, tapi itulah
pengorbanan. Saya akan bangga kalau orang tua saya dan orang-orang
yang menyangi saya bangga, suatu kebahagiaan ketika kita mampu
menunjukan suatu prestasi untuk mereka.
Masa kecil yang saya habiskan disebuah desa yang indah dan tentram
yang tentunya sangat saya cintai yaitu Desa Tempirai Tercinta.
menimbah ilmu pun saya peroleh di Desa tersebut selama kurang lebih
12 Tahun lamanya, dari SD hingga SMA belum pernah merantau, baru
setelah kuliah mencoba untuk mencari pengalaman dan menimbah ilmu
pengetahuan keluar daerah yaitu di salah satu Universitas yang ada di
kota Palembang.
Terlahir dari keluarga yang sangat sederhana, kedua orang tua hanyalah
seorang petani yang pendapatannya pas-pasan saja, namun itu tidak
menyurutkan niat untuk menjadi orang lebih baik dan lebih success dari
orang tua. Keinginan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik
dari orang tua, sempat ditentang oleh orang tua dengan alasan financial,
namun dengan tekat yang bulat saya tetap memaksakan untuk berjuang
dan meyakinkan kedua orang tua, dengan harapan suatu saat nanti bisa
menjadi anak yang membanggakan bagi mereka. Saya percaya bahwa
Allah tidak pernah melupakan umatnya yang berdo’a kepadaNya,
akhirnya kedua orang tua saya memberikan restu kepada saya meskipun
dengan sedikit memaksakan dengan keadaan yang dapat dimaklumi,
merupakan sesuatu yang sangat saya syukuri, karena dengan demikan
terjawab sudah do’a saya selama ini, tapi itu bukanlah akhir dari
perjuangan, ini merupakan awal dari perjalan yang didepannya sudah
menanti kerikil-kerikil yang siap merintangi langkah demi langkah yang
akan kulalui.
Berjuang dan berdo’a itu lah yang selalu tertanam dipikiranku,
kesederhanaan yang dilalui terasa lebih indah ketika dilewati dengan
kata syukur, mimpiku lebih indah dari pada kesengsaraan yang akan aku
hadapi, tak ada seorangpun yang boleh mencuri mimpi-mimpi itu.
Tangan Tuhanlah yang mampu meletakkan manusia pada suatu titik
yang dinamakan kesuksesan, kuharap Allah selalu bersamaku dan
menjaga mimpi-mimpiku, perjuangan ini begitu sangat memilukan
namun tak pantas bila kumengeluh, tak pantas dengan rahmat Allah
yang begitu besar yang kudapatkan setiap hari, manusia takkan begitu
mengerti betapa manisnya gula sebelum mencicipi pahitnya rasa madu.
terlepas dari itu semua campur tangan Tuhan tak dapat kita pungkiri,
manusia hanya merencanakan yang menentukan Allah Azza Wajjallah....
Allahu Akbar..….Allahu Akbar……Allahu Akbar…….!!!!!!!!!!!!!!rintotempirai@yahoo.com
keep the spirit of reaching a dream……………Go…..!!!!

Diposting 13th May 2012 oleh Anak Tempirai


Label: My Diary

0
Tambahkan komentar

6.
MAY

12

Power Of Love

Power of love
Andai di dunia ini tidak ada cinta, maka hidup akan serasa gersang, hampa dan tidak
ada dinamika.
Cinta bisa membuat sesuatu yang berat menjadi ringan, Yang sulit menjadi
sederhana, permusuhan menjadi,Perdamaian dan yang jauh menjadi dekat.
Itulah gambaran kekuatan cinta.
Cinta, ditilik dari sudut manapun selalu menarik untuk dibahas.
Sejarah mencatat, Sejumlah seniman, teolog sampai filosop membicarakan cinta dari
berbagai perspektifnya baik dalam bentuk roman, puisi, syair Bahkan sampai dalam
bentuk tulisan ilmiah yang bernuansa teologis, fenomenologis, psikologis ataupun
sosiologis.

Filosop sekaliber Plato bahkan pernah mengatakan Siapa yang tidak terharu oleh
cinta,
Berarti berjalan dalam gelap gulita.
Pernyataan ini menggambarkan betapa besar perhatian Plato pada masalah cinta,
sampai-sampai dia menyebut orang yang tidak tertarik untuk membicarakannya
sebagai orang yang berjalan dalam kegelapan.
Peranan cinta dalam kehidupan tidak diragukan lagi pentingnya.

Cinta diyakini sebagai dasar dari perdamaian, keharmonisan, ketentraman,


kebahagiaan bahkan kebangkitan peradaban.
Namun apa sesungguhnya cinta itu ?
Diakui, problem yang dihadapi saat membicarakan cinta biasanya adalah persoalan
definisi.
Belum pernah ditemui suatu rumusan tentang cinta yang singkat, padat dan mewakili
pemahaman akan hakikat cinta secara tepat.
Jalauddin Rumi pernah mengatakan bahwa cinta itu misteri, tidak ada kata-kata yang
bisa mewakili kedalamannya.
Cinta tak dapat termuat dalam pembicaraan atau pendengaran kita,
Cinta adalah sebuah samudera yang kedalamannya tak terukur.
Cinta tak dapat ditemukan dalam belajar dan ilmu pengetahuan, buku-buku dan
lembaran-lembaran halaman.
Apapun yang orang bicarakan itu, bukanlah jalan para pecinta.
Apapun yang engkau katakan atau dengar adalah kulitnya;
Intisari cinta adalah misteri yang tak dapat kau buka !
Cukuplah ! Berapa banyak lagi kau akan lengketkan kata-kata di lidahmu ?
Cinta memiliki banyak penyataan melampaui pembicaraan. . .
Oleh sebab itu, disini kita tidak akan mendefinisikan cinta,karena khawatir mereduksi
kedalamannya.
Biarlah cinta berbicara dalam perbuatan kita.
Disini, kita akan mencoba mencermati unsur-unsur yang selalu ada dalam cinta.

Erich fromm, murid kesayangannya Sigmund Freud menyebutkan empat unsur yang
harus ada dalam cinta, yaitu :

1. Care (perhatian).
Cinta harus melahirkan perhatian pada objek yang dicintai.
Kalau kita mencintai diri sendiri, maka kita akan memperhatikan kesehatan dan
kebersihan diri.
Kalau kita mencintai orang lain, maka kita akan memperhatikan kesulitan yang
dihadapi orang tersebut dan akan berusaha meringankan bebannya.
Kalau kita mencintai Allah Swt., maka kita akan memperhatikan apa saja yang Allah
ridhai dan yang dimurkai-Nya.

2. Responsibility (tanggung jawab).


Cinta harus melahirkan sikap bertanggungjawab terhadap objek yang dicintai.
Orang tua yang mencintai anaknya, akan bertanggung jawab akan kesejahteraan
material, spiritual dan masa depan anaknya.
Suami yang mencintai isterinya, akan bertanggung jawab akan kesejahteraan dan
kebahagiaan rumah tangganya.
Karyawan yang mencintai perusahaannya, akan bertanggung jawab akan kemajuan
perusahaannya.
Orang yang mencintai Tuhannya, akan bertanggung jawab untuk melaksanakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Itulah Responsibility.

3. Respect (hormat).
Cinta harus melahirkan sikap menerima apa adanya objek yang dicintai, kelebihannya
kita syukuri, kekurangannya kita terima dan perbaiki.
Tidak bersikap sewenang-wenang dan selalu berikhtiar agar tidak mengecewakannya.
Inilah yang disebut respect.

4. Knowledge (pengetahuan).
Cinta harus melahirkan minat untuk memahami seluk beluk objek yang dicintai.
Kalau kita mencintai seorang wanita atau pria untuk dijadikan isteri atau suami, maka
kita harus berusaha memahami kepribadian, latar belakang keluarga, minat, dan
ketaatan beragamanya.
Kalau kita mencintai Tuhan, maka harus berusaha memahami ajaran-ajaran-Nya.
Kalau empat unsur ini ada dalam kehidupan kita, Insya Allah hidup ini akan
bermakna.
Apapun yang kita lakukan, kalau berbasiskan cinta pasti akan terasa ringan.
Karena itu nabi Saw pernah bersabda:

Tidak sempurna iman seseorang kalau dia belum mencintai orang lain sebagaimana
dia mencintai dirinya sendiri. Cintai oleh mu mahluk yang ada di muka bumi, pasti
Allah akan mencintaimu.
(HR. Muslim)

Supremasi kebahagiaan tertinggi,


Kalau kita mampu mencintai orang lain dengan tulus tanpa pamrih, mencintai diri
sendiri secara proporsional, mencintai Allah Swt dengan penuh loyalitas dan selalu
merasa dincintai-Nya.
Inginkah hidup kita bermakna ?
Let Love be Your Energy !
Selamat bercinta !

Ukhuwah itu Indah, Kebersamaan menyatukan hati, Islam telah


mengajak untuk merasakan keindahan, mencintai dan menikmatinya,
Islam juga menekankan agar kita mengungkapkan perasaan dan
kecintaan dalam kebersamaan yang juga merupakan suatu keindahan
tersendiri.

http://akudanbintang.blogspot.com
http://untaianhati.blogspot.com
http://mithlove.blogspot.com
http://mithlove.tripod.com

Diposting 12th May 2012 oleh Anak Tempirai


Label: My Diary

0
Tambahkan komentar
7.
MAY

12

Panton Base Tempirai

Panton Base Tempirai

Alangke rengke Kayu itu...

Endok Ku buat teran senduk....

Alangke rengke gadis itu...

Endok Ku buat Menantu Induk....

________________________________________________________________

Oo Kandis ngape nga rungkat......

Tebuk kumbong tekate libok.....

Oo Gadis ngape nga pucat.....

Tidok nga bujong tige molom.....

________________________________________________________________

Anak ayam becokor-cokor.....

Anak ulo bebelit-blit....

Ade bujong besok kelakar...

Endok bebini degetek duit.....

________________________________________________________________

Aku enggon makan ketam....

Base Ketam bonyok tai....

Aku enggon ngambik wang ritam...

Base wang ritam jot perangi....

________________________________________________________________

Pempek sagu laut...

Isinye tanah liat....

Oo adik jongon takot...

Kagik Kakak keremke surat.....

________________________________________________________________
Jolon-jolon kekota Pares....

Jongon lupe mawe Keres....

Biar mati diujung Keres....

Asalke dopot adik yg manes.....

________________________________________________________________

Anak boye mati melumpat....

Di tinggong api bare....

Najin aku itam kesat....

Linjong di nga mahap bae......

________________________________________________________________

Pet cecepet.......

Cecepet burung tijok t**....

Amen teparak digadis golok ngepet....

Merebok embou t**......

Diposting 12th May 2012 oleh Anak Tempirai


Label: Adat

2
Lihat komentar

8.
MAY

12

Sistem Politik Indonesia


Materi Kuliah Sistem Politik Indonesia
Sistem Politik Indonesia
A. Suprastruktur dan Infrastruktur Politik di Indonesia
1. Pengertian sistem Politik di Indonesia
Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara
Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya
mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya. politik adalah
semua lembaga-lembaga negara yang tersbut di dalam konstitusi negara ( termasuk fungsi legislatif,
eksekutif, dan yudikatif ). Dalam Penyusunan keputusan-keputusan kebijaksanaan diperlukan adanya
kekuatan yang seimbang dan terjalinnya kerjasama yang baik antara suprastruktur dan infrastruktur politik
sehingga memudahkan terwujudnya cita-cita dan tujuan-tujuan masyarakat/Negara. Dalam hal ini yang
dimaksud suprastruktur politik adalah Lembaga-Lembaga Negara. Lembaga-lembaga tersebut di Indonesia
diatur dalam UUD 1945 yakni MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial. Lembaga-lembaga ini yang akan membuat keputusan-keputusan
yang berkaitan dengan kepentingan umum. Badan yang ada di masyarakat seperti Parpol, Ormas, media
massa, Kelompok kepentingan (Interest Group), Kelompok Penekan (Presure Group), Alat/Media
Komunikasi Politik, Tokoh Politik (Political Figure), dan pranata politik lainnya adalah merupakan
infrastruktur politik, melalui badan-badan inilah masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya. Tuntutan dan
dukungan sebagai input dalam proses pembuatan keputusan. Dengan adanya partisipasi masyarakt
diharapkan keputusan yang dibuat pemerintah sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat. B. Perbedaan
sistem politik di berbagai Negara 1. Pengertian sistem politik a. Pengertian Sistem Sistem adalah suatu
kebulatan atau keseluruhan yang kompleks dan terorganisasi. b. Pengertian Politik Politik berasal dari
bahasa yunani yaitu “polis” yang artinya Negara kota. Pada awalnya politik berhubungan dengan berbagai
macam kegiatan dalam Negara/kehidupan Negara. Istilah politik dalam ketatanegaraan berkaitan dengan
tata cara pemerintahan, dasar dasar pemerintahan, ataupun dalam hal kekuasaan Negara. Politik pada
dasarnya menyangkut tujuan-tujuan masyarakat, bukan tujuan pribadi. Politik biasanya menyangkut
kegiatan partai politik, tentara dan organisasi kemasyarakatan. Dapat disimpulkan bahwa politik adalah
interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan
yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. c.
Pengertian Sistem Politik Menurut Drs. Sukarno, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang
membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta
melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau kelompok individu
satu sama lain atau dengan Negara dan hubungan Negara dengan Negara. SISTEM POLITIK menurut
Rusadi Kartaprawira adalah Mekanisme atau cara kerja seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur
politik yang berhubungan satu sama lain dan menunjukkan suatu proses yang langggeng

2. Sistem Politik Di Berbagai Negara


a. Sistem Politik Di Negara Komunis : Bercirikan pemerintahan yang sentralistik, peniadaan hak milk
pribadi, peniadaan hak-haak sipil dan politik, tidak adanya mekanisme pemilu yang terbuka, tidak adanya
oposisi, serta terdapat pembatasan terhadap arus informasi dan kebebasan berpendapat
b. Sistem Politik Di Negara Liberal : Bercirikan adanya kebebasan berpikir bagi tiap individu atau
kelompok; pembatasan kekuasaan; khususnya dari pemerintah dan agama; penegakan hukum; pertukaran
gagasan yang bebas; sistem pemerintahan yang transparan yang didalamnya terdapat jaminan hak-hak
kaum minoritas
c. Sistem Politik Demokrasi Di Indonesia : Sistem politik yang didasarkan pada nilai, prinsip, prosedur,
dan kelembagaan yang demokratis. Adapun sendi-sendi pokok dari sistem politik demokrasi di Indonesia
adalah :
1. Ide kedaulatan rakyat
2. Negara berdasarkan atas hukum
3. Bentuk Republik
4. Pemerintahan berdasarkan konstitusi
5. Pemerintahan yang bertanggung jawab
6. Sistem Perwakilan
7. Sistem peemrintahan presidensiil

3. Peran serta masyarakat dalam politik adalah terciptanya masyarakat politik yang “Kritis Partisipatif”
dengan ciri-ciri Sbb :
a. Meningkatnya respon masyarakat terhadapkebijakan pemerintah
b. Adanya partisipasi rakyat dalam mendukung atau menolak suatu kebijakan politik
c. Meningkatnya partisipasi rakyat dalam berbagai kehiatan organisasi politik, organisasi kemasyarakatan,
dan kelompok-kelompok penekan

"SEMOGA BERMANFAAT"
Indahnya Berbagi. By: Rinto Susanto/Rinto Thedarling OfTempirai
Diposting 12th May 2012 oleh Anak Tempirai
Label: Pengetahuan Publik

0
Tambahkan komentar

9.
MAY

11

Puisi Cinta
Puisi adalah perwakilan kata hati

HarapanKu Kamu Lah / Yang terkasih .

Selepas Angin Bertiup....


Selepas hati yang merentangkan Cinta......
Seindah Khayalku dalam Pelukmu.....
Hanya Cntamu yang Kuharap dalam hidupKu.....

Kecantikanmu menyejukkan jiwaKu....


Tak jenuh-jenuhnya Kupandangi...
Kau yang terkasih...
Seberkas Cintamu Sangat berarti....

Kau yang terkasih...


HarapanKu begitu besar padamu....
Jangan salahkan jika aku sangat mencintaimu...
Maafkan aku, kau yang tersayang....

Ku ungkapkan isi hati melalui sajak cinta yang tak berarti ini....
Karena bibirku terlalu keluh untuk ungkapkan cinta...
Dalam hati kau lah yang terkasih....
Ku relakan hatiku jatuh dalam cintamu.....

Kau yang terkasih.....


Ku harap kau Mampu mencintaiku....
Menerima aku apa adanya....
Dengan kelebiahan dan kekuranganku

Karya : Rinto Susanto / Rinto Thedarling OfTempirai


For : SomeOne
Kehilangan
entah kenapa
hati ini merasa kehilangan
akan sesosok kepribadian
yang begitu lembut

yang menemani dalam kesendirian


yang menghangatkan dikala hati membeku
hari-hari dalam kebersamaan
mungkinkah hanya tinggal kenangan belaka

canda tawa bersamamu


kini hanya penantian
tutur sapa dengan dirimu
kini hanyalah impian semata

jauh tatapan untuk bertemu


jauh kata untuk menyapa
walau jarak membentang menghalangi
namun hati menanti hadirnya dirimu

Diposting 11th May 2012 oleh Anak Tempirai


Label: Pengetahuan Publik

0
Tambahkan komentar

10.
MAY

11

Tugas Kewirausahaan
ANTA CITRA TRAVEL

Latar Belakang

Anta Citra Tour & Travel yang didirikan Maret tahun 2007 merupakan perusahaan Biro Perjalanan Wisata
dan layanan jasa liburan berupa Jasa Perjalanan Wisata/Tour, Jasa Pelayanan Penerbangan (Pesawat
Domestik dan Internasional), Voucher Hotel, serta akomodasi wisata lainnya.
Selaku perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata, kami di tuntut untuk selalu hadir dengan
sumberdaya yang berpengalaman, kami selalu berusaha untuk memberikan informasi seakurat mungkin
sehingga memberikan informasi yang dibutuhkan bagi para wisatawan.
Untuk memenuhi kebutuhan informasi wisata, kami juga menerima layanan konsultasi wisata online setiap
saat melalui telepon ataupun komunikasi via chatting dengan customer service kami.
Seiring dengan perkembangan media bisnis saat ini, jasa pelayanan penerbangan, pengurusan
dokumentasi perjalanan, juga perlunya pariwisata sebagai mediasi untuk penyegaran dari padatnya
aktifitas.
Anta Citra Cabang Palembang didirikan pada tanggal 12 Januari 2012 merupakan cabang yang terletak di
kota palembang , Anta Citra Travel Cabang Palembang adalah Tempat pemesanan tiket pesawat dalam
dan luar Negeri dimana Anda dapat membandingkan harga secara langsung, mencari jumlah tersedianya
tempat dan sekaligus memesan tempat di salah satu Maskapai Rendah Biaya di Indonesia. Selain itu Anta
Citra Travel juga melayani perjalanan wisata, antar jemput Bandara, Dokumen Travel, Voucher Hotel, dan
Umroh. Anta Citra Travel beralamat di Jl. Srijaya ( Depan SMA 1 ) Bukit Besar Palembang. Moto utama
Anta Citra Travel adalah untuk membantu pemesanan tiket semudah mungkin.

Pilihan Pembayaran yang Fleksibel


Ada berbagai macam pilihan pembayaran. Anda dapat membayar secara online dengan menggunakan
kartu kredit, atau hubungi Pusat Layanan Pelanggan kami untuk rincian pembayaran dengan kartu kredit.
Anda juga dapat membayar melalui Internet Banking atau mesin ATM. Atau, Anda dapat datang langsung
ke alamat kantor kami di Jl. Srijaya ( Depan SMA 1 ) Bukit Besar Palembang
Pengiriman tiket
Mengatur perjalanan Anta Citra Travel Anda dengan sangat mudah – kami akan email atau kirim tiket Anda
ke alamat Anda, tanpa biaya tambahan (kondisi berlaku).
Pelanggan Layanan
Kami dapat dihubungi pada hari dan jam kerja melalui telepon di 07114331234, 085273337666,
081958041001 pukul 08:00-17:00 WIB hari Senin-Minggu. Di luar jam tersebut, hubungi kami di
085273337666 atau 085266211183.

FRANCHISE

Anta Citra Wisata hadir dengan konsep yang bisa memberikan peluang juga kesempatan kepada siapa
saja untuk bisa berbisnis dan berkompetensi dalam bidang Tour & Travel.
Dengan bergabung bersama kami untuk menjadi salah satu cabang resmi Anta Citra Tour & Travel,
anda akan mendapatkan pengalaman serta pengetahuan yang dalam tentang dunia bisnis ini.
Dengan didukung oleh tenaga SDM yang berpengalaman dan dipadukan dengan pengalaman dalam
bisnis jaringan menghasilkan sebuah sistem penjualan dan layanan jasa yang unik dan terjangkau.
Hadirnya Anta Citra Tour & Travel ternyata diluar dugaan mendapat sambutan bukan saja dari masyarakat
jakarta tetapi mencuri perhatian para pebisnis diberbagai kota. Hal ini dikarenakan Anta Citra Tour & Travel
hadir dengan konsep baru dimana memiliki bisnis travel agent tidak sesulit yang dibayangkan bahkan
masyarakat awam pun dapat memiliki bisnis ini dengan mudah dan murah. Akibat sambutan yg luar biasa
dari masyarakat maka tidak heran jika sampai detik ini Anta Citra Tour & Travel telah hadir lebih dari 12
outlet di seluruh indonesia. Survey membuktikan bahwa Anta Citra Tour & Travel berkembang pesat
dikarenakan Sudah Menjadi komitmen kami untuk terus maju dan berkembang dengan memberikan jasa
pelayanan kami yang profesional, dan memberikan kesempatan yang sama kepada semua kalangan untuk
menjadi salah satu media bisnis yang bisa menciptakan lapangan kerja juga dapat meningkatkan taraf
hidup.

LEGALITAS:

Nama Perusahaan PT. ANTA CITRA WISATA


Jumlah Outlet 12 outlet (per bulan Februari 2011) Alamat Pusat Jl. Raya Bogor Km. 29 No. 96A Cimanggis
– Depok
Akta Pendirian No. 21 tahun 2007,
Notaris : DRADJAT DARMADJI, SH
Pengesahan Disetujui Menteri Kehakiman dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia No : AHU-
35382.AH.01.02.Tahun 2009
Tanggal 27 Juli 2009
Ijin Usaha Pariwisata Tanda Izin Usaha Pariwisata oleh
BADAN PELAYANAN PERIJINAN TERPADU
Pemerintah Kota Depok No : 556.51/021-IUP/BPPT/V/2009
SIUP (BESAR) Surat Ijin Usaha (SIUP) BESAR dikeluarkan oleh
BADAN PELAYANAN PERIJINAN TERPADU
Pemerintah Kota Depok No : 0057/10-27/PB/VIII/2009
TDP Tanda Daftar Perusahaan (TDP) dikeluarkan oleh
Kepala Dinas Prindustrian dan Perdagangan Kota Depok
No : 10.27.1.63.02142 tanggal 19 Oktober 2009
MERK ANTA CITRA TOUR & TRAVEL
No Register Merek PROSES
Produk
1. Tiket penerbangan domestik dan Internasional
2. Paket Tour Domestik, Internasional, Inboud dan Outbound
3. Hotel Voucher
4. Paket Haji dan Umroh
5. Dokumen Perjalanan

Produk-Produk Anta Citra Travel


◘ TIKET PESAWAT
DOMESTIK INTERNASIONAL
• Garuda• Indonesia
• Lion• Air
• Sriwijaya• Airline
• Merpati• Airline
• Batavia• Air
• Citilink•
• Air• Asia
• Express• Air
• Dll• • G I• A
• Singapore• Airline
• Thai• Airline
• Cathay• Pacific
• Emirate• Air
• Lufthansa• Airline
• Etihad• Airline
• Fly• Emirate
• dll•

II. PAKET TOURPaket - paket yang kami tawarkan berupa referensi untuk wisata anda bersama keluarga,
bulan madu, rekan kerja, lingkungan sekitar, bahkan anda juga dapat mempromosikan kepada siapa saja
untuk bisa menikmati liburan sambil berwisata. Obyek Wisata Domestik dan Internasional telah kami
rancang sebagai salah satu alternatif liburan dan wisata anda agar lebih menyenangkan juga
mengesankan, di antaranya ;
Domestik : Pantai Kuta, Tanah Lot, Candi Borobudur, Tangkuban Perahu, Lembah Anai, Danau Toba,
Pantai Tanjung Pesona, Alam Mayang, Monas, Tugu Katulistiwa, Tana Toraja, Kota Batu, Pantai Senggigi,
Gunung Bromo, Bukit Kelam, Pulau Seribu, dan masih banyak lagi
Internasional : Universal Studio, Disney Land, Mikimoto, Istana Himeji, Paris, Niagara, Hollywood,
Colosseum, Venesia, Mount Everest, Tajmahal Christ Redeemer, Piramid, Genting, Pattaya, dll
Paket tour kami dirancang bekerjasama dengan local operator yang berpengalaman, sehingga kami dapat
memberikan alternatif paket tour yang murah dan menyenangkan. Silakan memanfaatkan berbagai pilihan
di blog kami untuk mendapatkan paket tour dan hotel yang sesuai dengan budget dan keinginan Anda.
Kami juga memberikan penawaran khusus untuk group tour / paket tour rombongan : Family dan
perusahaan dengan harga yang bersaing dan pelayanan yang reliable. Khusus bagi Anda pecinta wisata
backpaker, kami menyediakan tools pencarian hotel budget / backpacker di seluruh kota dunia, agar
rencana liburan Anda hemat dan nyaman.

Demikianlah informasi dari kami semoga bermanfaat, untuk informasi lebih lanjut Anda dapat datang
langsung kekantor kami di Jl.Srijaya Negara ( Depan SMA 1 ) atau Via Telpon Ke No.08526621183.
Terima Kasih
di Publikasikan oleh : Rinto susanto ( 071014010050 )
Universitas Sriwijaya
Fakultas ISIP Kampus Palembang
Administrasi Negara
Diposting 11th May 2012 oleh Anak Tempirai
Label: Publik

0
Tambahkan komentar

Memuat

Anda mungkin juga menyukai