Mata Kuliah : Teori dan Isu Pembangunan Hari/Tanggal : Jumat, 15 Nopember 2013 Dosen : Dr. A.F. Sigit Rochadi, M.Si
Soal :
1. Meskipun telah ditemukan bukti-bukti bahwa teori pertumbuhan ekonomi memiliki banyak kelemahan, tetapi semua kepala pemerintahan tidak bisa menghindar dari implementasi teori tersebut. Jelaskan pokok-pokok teori pertumbuhan ekonomi dari beberapa ahli, tunjukkan penerapan teori tersebut dengan contoh-contoh dan jelaskan mengapa teori tersebut tidak bisa dihindari oleh kepala pemerintahan!. Jawab: (a) Teori Pertumbuhan WW Rostow Teori pembangunan ekonomi dari Rostow ini sangat popular dan paling banyak mendapatkan komentar dari para ahli.Teori ini pada mulanya merupakan artikel Rostow yang dimuat dalam Economics Journal (Maret 1956) dan kemudian dikembangkannya lebih lanjut dalam bukunya yang berjudul The Stages of Economic Growth (1960). Menurut pengklasifikasian Todaro, teori Rostow dikelompokkan ke dalam model jenjang linear (linear stages model). Menurut Rostow, proses pembangunan ekonomi bisa dibedakan ke dalam 5 tahap, yaitu masyarakat tradisional (the traditional society), prasyarat untuk tinggal landas (the preconditions for take-off), tinggal landas (the take- off), menuju kekedewasaan (the drive to maturity), dan masa konsumsi tinggi (the age of highmass-consumption). Dasar pembedaan proses pembangunan ekonomi menjadi 5 tahap tersebut adalahkara kteristik perubahan keadaan ekonorni, sosial, dan politik, yang terjadi. Menurut Rostow, pembangunan ekonomi atau proses transformasi suatu masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern merupakan suatuproses yang multi-demensional. Pembangunan ekonomi bukan berarti perubahan struktur ekonomi suatunegara yang ditunjukkan oleh menurunnya peranan sector pertanian dan peningkatan peranan sector industry saja. MenurutRostow, disamping perubahan seperti itu, pembangunan ekonomi berarti pula sebagai suatu proses yang menyebabkan antara lain: (1) perubahan orientasi organisasi ekonorni, politik, dan sosial yang pada mulanya berorientasi kepada suatu daerah menjadi berorientasi keluar. (2) perubahan pandangan masyarakat mengenai jumlah anak dalam keluarga, yaitu dari menginginkan banyak anak menjadi keluarga kecil. (3) perubahan dalam kegiatan investasi masyarakat, dari melakukan investasi yang tidak produktif (menumpuk emas, membeli rumah, dan sebagainya) menjadi investasi yang produktif. (4) perubahan sikap hidup dan adat istiadat yang terjadi kurang merangsang pembangunan ekonomi (misalnya penghargaan terhadap waktu, penghargaan terhadap prestasi perorangan dan sebagainya). Masyakarat Tradisional Menurut Rostow, yang dimaksudkan dengan masyarakat tradisional adalah masyarakat yang fungsi produksinya terbatas yang ditandai oleh cara produksi yang relative masih primitive dan cara hidup masyarakat yang masih sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang kurang rasional, tetapi kebiasaan tersebut telah turun temurun. Dalam suatu masyarakat tradisional, menurutRostow, tingkat produktivitas perpekerja masih rendah, oleh karena itu sebagian besar sumberdaya masyarakat digunakan untuk kegiatan sector pertanian. Dalam sector pertanian, struktur sosialisnya bersifat hirarkhis yaitu mobilitas vertikal anggota masyarakat dalam struktur sosial kemungkinannya sangat kecil. Maksudnya adalah bahwa kedudukan seseorang dalam masyarakat tidak akan berbeda dengan nenekm oyangnya. Sementara itu kegiatan politik dan pemerintah pada masa ini digambarkan Rostow dengan adanya kenyataan bahwa walaupun kadang-kadang terdapat sentralisasi dalam pemerintahan, tetapi pusat kekuasaan politik di daerah-daerah berada di tangan para tuan tanah yang ada di daerah tersebut. Kebijakan pemeritah pusat selalu dipengaruhi oleh pandangan paratuan tanah di daerah tersebut. Tahap Prasyarat Tinggal Landas Tahap prasyarat tinggal landas didefinisikan Rostows sebagai suatu masa transisi di mana masyarakat mempersiapkan dirinya untuk mencapai pertumbuhan atas kekuatansen diri (self-sustained growth). Menurut Rostow, pada tahap ini dan sesudahnya pertumbuhan ekonomi akan terjadi secara otomatis. Tahap prasyarat tinggal landas ini mempunyai 2 corak. Pertama adalah tahap prasyarat lepas landas yang dialami oleh negara-negara Eropa, Asia, Timur Tengah, dan Afrika, di mana tahap ini dicapai dengan perombakan masyarakat tradisional yang sudah lama ada. Corak yang kedua adalah tahap prasyarat tinggal landas yang dicapai oleh negara-negara yang bornfree (menurut Rostow) seperti AmerikaSerikat, Kanada, Australia, SelandiaBaru, di mana negara-negara tersebut mencapai tahap tinggal landas tanpa harus merombak sistem masyarakat yang tradisional. Hal ini disebabkan oleh sifat darimasyarakat negara-negara tersebut yang terdiri dari imigran yang telah mempunyai sifat-sifat yang dibutuhkan oleh suatu masyarakat untuk tahap prasyarat tinggal landas. Namun demikian, menurut Rostow, pertumbuhan ekonomi hanya akan tercapai jika diikuti oleh perubahan-perubahan lain dalam masyarakat. Perubahan-perubahan itulah yang akan memungkinkan terjadinya kenaikan tabungan dan penggunaan tabungan itu sebaik-baiknya. Perubahan-perubahan yang dimaksudkan Rostow misalnya kemampuan masyarakat untuk menggunakan ilmu pengetahuan modern dan membuat penemuan- penemuan baru yang bisa menurunkan biaya produksi. Disamping itu harus ada pula orang-orang yang menggunakan penemuan baru tersebut untuk memodernisir cara produksi danharus didukung pula dengan adanya kelompok masyarakat yang menciptakan tabungan dan meminjamkannya kepada wiraswasta (entrepreneurs) yang inovatif untuk meningkatkan produksi dan menaikkan produktivitas. Singkatnya, kenaikan investasi yang akan menciptakan pembangunan ekonomi yang lebih cepat dari sebelumnya bukansemata-mata tergantung kepada kenaikan tingkat tabungan, tetapi juga kepada perubahan radikal dalam sikap masyarakat terhadap ilmu pengetahuan, perubahan teknik produksi, pengambilan resiko, dan sebagainya. Selain hal-hal di atas, Rostow menekankan pula bahwa kenaikan tingkat investasi hanya mungkin tercipta jika terjadi perubahan dalam struktur ekonomi. Kemajuan di sector pertanian, pertambangan, dan prasarana harus terjadi bersarna-sama dengan proses peningkatan investasi. Pembangunan ekonomi hanya dimungkinkan oleh adanya kenaikan produktivitas di sektor pertanian dan perkembangan di sector pertambangan. Menurut Rostow, kemajuan sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam masa peralihan sebelum mencapai tahap tinggal landas. Peranan sektor pertanian tersebut antara lain: pertama, kemajuan pertanian menjamin penyediaan bahan makanan bagi penduduk di pedesaan maupun di perkotaan. Hal ini menjamin penduduk agar tidak kelaparan dan menghemat devisa karena impor bahan makanan bisa dihindari; kedua, kenaikan produktivitas di sektor pertanian akan memperluas pasar dari berbagai kegiatan industri. Kenaikan pendapatan petani akan memperluas pasar industri barang-barang konsumsi, kenaikan produktivitas pertanian akan memperluas pasar industri-industri penghasil input pertanian modern, seperti mesin-mesin pertanian dan pupuk kimia, kenaikan pendapatan di sektor pertanian akan menaikkan penerimaan pemerintah melalui pajak sektor pertanian dan kemajuan sektor pertanian akan menciptakan tabungan yang bisa digunakan sektor lain (terutama industri) sehingga bisa meningkatkan investasi di sektor-sektor lain tersebut. Sementara itu pembangunan prasarana, menurut Rostow, bisa menghabiskan sebagian besar dari dana investasi. Lnvestasi dibidang prasarana ini mempunyai 3 ciri yaitu tenggang waktu antara pembangunannya dan pemetikan hasilnya (gestation period) sangat lama, pembangunannya harus dilakukan secara besar-besaran sehingga memerlukan biaya yangbanyak, dan manfaat pembangunannya dirasakan oleh masyarakat banyak. Tahap Tinggal Landas Pada tahap tinggal landas, pertumbuhan ekonomi selalu terjadi. Pada awal tahap ini terjadi perubahan yang drastic dalam masyarakat seperti revolusi politik, terciptanya kemajuan yang pesat dalam inovasi, atau berupa terbukanya pasar-pasar baru. Sebagai akibat dari perubahan-perubahan tersebut secara teratur akan tercipta inovasi-inovasi dan peningkatan investasi. Investasi yang semakin tinggi ini akan mempercepat laju pertumbuhan pendapatan nasional dan melebihi tingkat pertumbuhan penduduk. Dengan demikian tingkat pendapatan perkapita semakin besar. Rostow mengemukakan 3 ciri utama dari negara-negara yang sudah mencapai masa tinggal landas, yaitu:1) Terjadinya kenaikan investasi produktif dari 5 persen atau kurang menjadi 10 persen dari Produk Nasional Bersih (Net National Product=NNP); 2) Terjadinya perkembangan satu atau beberapa sektor industri dengan tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi (leading sectors); 3) Terciptanya suatu kerangka dasar politik, sosial, dan kelembagaan yang bisa menciptakan perkembangan sektor modern dan eksternalitas ekonomi yang bisa menyebabkan pertumbuhan ekonomi terus terjadi. Di sini juga termasuk kemampuan negara untuk mengerahkan sumber-sumbe rmodal dalam negeri, karena kenaikan tabungan dalam negeri peranannya besar sekali dalam menciptakan tahap lepas landas. Inggris dan Jepang, misalnya mencapai masa tinggal landas tanpa mengimpor modal (bantuan luar negeri) sama sekali. Tahap Menuju Kedewasaan Tahap menuju kedewasaan ini diartikan Rostow sebagai masa di mana masyarakat sudah secara efektif menggunakan teknologi modern pada hampir semua kegiatan produksi. Pada tahap ini sektor-sektor pemimpin baru akan muncul menggantikan sektor-sektor pemimpin lama yang akan mengalami kemunduran.Sektor-sektor pemimpin baru ini coraknya ditentukan oleh perkembangan teknologi, kekayaan alam, sifat-sifat dari tahap lepas landas yang terjadi, dan juga oleh kebijakan pemerintah. Dalam menganalisis karakteristik tahap menuju kekedewasaan, Rostow menekankan analisisnya kepada corak perubahan sektor-sektor pemimpin di beberapa negara yang sekarang sudah maju. Ia juga menunjukkan bahwa di tiap-tiap negara tersebut jenis-jenis sector pemimpin pada tahap sesudah tinggal landas adalah berbeda dengan yang ada pada tahap tinggal landas. Di Inggris, misalnya, industry tekstil yang telah mempelopori pembangunan pada tahap tinggal landas telah digantikan oleh industri besi, batubara dan peralatan teknik berat. Sedangkan di Amerika Serikat, Perancis, dan Jerman di mana pembangunan jaringan jalan kereta api memegang peranan penting pada tahap tinggal landas, telah digantikan oleh industry baja dan industry peralatan berat pada tahap menuju ke kedewasaan Tahap Konsumsi Tinggi Tahap konsumsi tinggi merupakan tahap terakhir dari teori pembangunan ekonomi Rostow. Pada tahap ini perhatian masyarakat telah lebih menekankan pada masalah- masalah yang berkaitan dengan konsumsi dan kesejahteraan masyarakat bukan lagi kepada masalah produksi. Pada tahap ini ada 3 macam tujuan masyarakat (negara) yaitu: (1) memperbesar kekuasaan dan pengaruh ke luar negeri dan kecenderungan ini bisa berakhir pada penjajahan terhadap bangsa lain; (2).menciptakan negara kesejahteraan (welfare state) dengan cara mengusahakan terciptanya pembagian pendapatan yang lebih merata melalui sistem pajak yang progresif; (3) meningkatkan konsumsi masyarakat melebihi kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan) menjadi meliputi pula barang- barang konsumsi tahan lama dan barang-barang mewah. (b) Teori Schumpeter Salah satu pendapat Schumpeter yang penting, yang merupakan landasan teori pembangunannya, adalah keyakinannya bahwa sistem kapitalis memerupakan sistem yang paling baik untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang pesat. Namun demikian, Schumpeter meramalkan secara pesimis bahwa dalam jangka panjang sistem kapitalisme akan mengalami kemandegan (stagnasi). Menurut Schumpeter, factor utama yang menyebabkan perkembangan ekonomi adalah proses inovasi dan pelakunya adalah para innovator atau wiraswasta (entrepreneur). Kemajuan ekonomi suatu masyarakat hanya bisa diterapkan dengan adanya inovasi oleh para entrepreneur. Kemajuan ekonomi tersebut diartikan sebagai peningkatan output total masyarakat. Hal yang menarik ialah Schumpeter membedakan pengertian pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi, walaupun keduanya merupakan sumber peningkatan output masyarakat. Menurut Schumpeter, pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan output masyarakat yang disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi masyarakat tanpa adanya perubahan "teknologi" produksi itu sendiri. Misalnya kenaikan output yang disebabkan oleh pertumbuhan stok modal tanpa perubahan teknologi produksi yang lama.Sedangkan pembangunan ekonomi adalah kenaikan output yang disebabkan oleh inovasi yang dilakukan oleh para wiraswasta. Inovasi di sini berarti perbaikan "teknologi" dalam arti luar, misalnya penemuan produk baru, pembukaan pasar baru, dan sebagainya. Inovasi tersebut menyangkut perbaikan kuantitatif dari sistem ekonomi itu sendiri yang bersumber dari kreativitas para wiraswastanya. Menurut Schumpeter ada 5 macam kegiatan yang dimasukkans ebagai inovasi yaitu: 1. Diperkenalkannya produk baru yang sebelumnya tidak ada. 2. Diperkenalkannya cara berproduksi baru. 3. Pembukaan daerah-daerah pasar baru. 4. Penemuan sumber-sumber bahan mentah baru. 5. Perubahan organisasi industri sehingga efisiensi industri Adapun menurut Schumpeter yang dimaksudkan dengan innovator atau entrepreneur adalah orang-orang yang terjun dalam dunia bisnis yang mempunyai semangat dan keberanian untuk menerapkan ide-ide baru menjadi kenyataan. Seorang innovator atau entrepreneur biasanya berani mengambil resiko usaha, karena memang ide-ide baru tersebut belum pernah dicoba diterapkan secara ekonomis sebelumnya. Biasanya mereka berani mengambil resiko usaha tersebut karena: (a) adanya kemungkinan bagi mereka untuk mendapatkan keuntungan monopolistis jika usahanya berhasil, dan (b) adanya semangat dan keinginan pada diri mereka untuk bisa mengalahkan saingan-saingan mereka melalui ide baru. Jelas bahwa seorang innovator atau entrepreneur, menurut Schumpeter, bukanlah sekedar pengusaha atau wiraswasta biasa. Hanya mereka yang berani mencoba dan melaksanakan ide-ide baru yang bisa disebut entrepreneur. Pengusaha yang hanya mengelola secara rutin perusahaannya bukan entrepreneur tetapi hanyalah seorang manajer. 2. Kabinet Indonesia Bersatu I dan II pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono melaksanakan beberapa program pemberdayaan mayarakat untuk mengatasi keterbelakangan. Meskipun demikian, kemiskinan masih tetap tinggi. Analisislah salah satu program pemberdayaan masyarakat dengan mengambil kasus tertentu! Jawab: Dalam sebuah negara yang salah urus seperti Indonesia, masalah kemiskinan akan selalu menjadi tema dan agenda utama pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya. Berbagai program digulirkan semenjak era Orde Baru sampai sekarang. Dari mulai program IDT, P2KP, Raskin, BLT, sampai ke PNPM. Namun, pada saat mengevaluasi setiap program pemerintah tersebut, dalam realitanya, jumlah orang miskin di Indonesia tidak berubah secara signifikan. Ketika pun terjadi penurunan, maka jumlahnya tidak begitu menggembirakan. Bahkan Bank Dunia (World Bank) mencatat, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 49,5% jika diukur dari pendapatan perkapita US$ 2 per hari. Sementara pemerintah Indonesia yang merujuk pada data BPS, menyebutkan, jumlah orang miskin tahun 1998 adalah 79,8 juta jiwa, yang secara bertahap sempat menurun pada tahun 2003-2005. Ketika harga BBM naik 100% pada 1 Oktober 2005 kembali menaikkan jumlah orang miskin sebesar 39,30 juta jiwa (17,75%) pada Maret 2006, padahal Februari 2005 hanya 35,1 jiwa. Sedangkan pada tahun 2007 terjadi penurunan ke angka 37,17 juta jiwa (Berita Indonesia, 28/12/2007). Kondisi di atas menunjukkan, bahwa permasalahan kemiskinan selalu ada setiap tahunnya, sehingga ketika pemerintah berniat untuk mengatasinya, maka butuh kemauan (political will) dan kerja ekstra keras dari berbagai komponen bangsa. Sehingga, program-program yang digulirkan beserta alokasi anggaran untuk penanggulangan kemiskinan tidak berjalan di tempat, dan menjadi kesia-siaan karena ternyata masih banyak kekurangan di sana-sini. Akibanya tujuan untuk mensejahterakan rakyat menjadi tersendat. Namun demikian, keseriusan pemerintah untuk mensejahterakan rakyat setidaknya nampak dalam perubahan asas penyelenggaraan pemerintahan. Suatu kesadaran baru muncul untuk lebih menegakkan kedaulatan rakyat, demokratisasi pemerintahan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Perubahan asas penyelenggaraan pemerintahan itu adalah asas desentralisasi yang dioperasionalkan dalam kebijakan otonomi daerah yang mulai digulirkan pada tahun 1999. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri pula bahwa ternyata banyak sekali agenda-agenda penanggulangan kemiskinan yang menuai kegagalan. Satu-satunya program yang cukup sukses dalam mengentaskan kemiskinan adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang digulirkan pada masa pemerintahan Soeharto. Program tersebut mampu menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang berhasil menanggulangi kemiskinan, karena terjadi peningkatan 20% saat itu. Namun, ketika tahun 1997 Indonesia mengalami krisis keuangan, jumlah orang miskin yang tadinya terkurangi secara drastis, menjadi meninggi lagi. Dan pemerintahpun kemudian berkali-kali mengganti dan menggulirkan program-program baru yang tujuannya untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia. Pada dasarnya di saat era otonomi daerah sekarang, program-program penanggulangan kemiskinan seharusnya bisa dilaksanakan secara maksimal, karena dengan konsep otonomi daerah maka kinerja pemerintah daerah seharusnya lebih mudah dilaksanakan mengingat dalam otonomi daerah mensyaratkan partisipasi penuh masyarakat lokal. Namun yang menjadi permasalahan adalah, dengan peralihan kebijakan sentralistik ke desentralistik, ternyata tidak menjamin bahwa program penanggulangan kemiskinan berjalan dengan optimal. Padahal, secara filosofis, pemerintah pusat mengganti kebijakan sentralistik ke desentralistik adalah dalam kerangka untuk semakin memaksimalkan pelayanan pemerintahan yang baik dan responsif, terutama dalam program pengentasan kemiskinan, karena pemerintah daerah dianggap lebih memahami kondisi kemiskinan warga di daerahnya masing-masing. Terkait dengan masalah di atas maka, akan sedikit diulas pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang cenderung masih belum menampakkan hasil seperti yang diharapkan. PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan, dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan, PNPM ini bertujuan untuk memberdayakan masyarakat miskin dengan melibatkan semua komponen masyarakat (pemerintah, swasta, dan masyarakat) dengan menerapkan konsep pembangunan partisipatif secara konsisten, dinamis dan berkelanjutan. PNPM ini dilaksanakan dengan bertumpu pada asas desentralisasi dimana pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan program dengan melibatkan sepenuhnya masyarakat lokal untuk penanggulangan kemiskinan. Jika melihat dari Buku Pedoman PNPM Mandiri, rangkaian pemberdayaan masyarakat yang ada di PNPM Mandiri meliputi peningkatan capacity building masyarakat, di mana dalam kegiatan tersebut menekankan pada proses pendampingan melalui fasilitator, mediasi, pengembangan kapasitas, yang mana relawan adalah aktor utama penggerak masyarakat. Selain itu juga penyediaan dana bagi masyarakat untuk membiayai kegiatan-kegiatan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin. Tak ketinggalan adalah penyediaan sarana dan prasarana fisik, sosial, ekonomi secara padat karya. Lantas jika secara konsep sebenarnya sudah sangat baik, tetapi mengapa tujuan yang diharapkan masih belum menunjukkan hasil yang menggembirakan dalam upaya mengurangi kemiskinan? Menurut hemat penulis pelaksanaan program PNPM Mandiri masih belum optimal dan terjadi banyak kekurangan di sana-sini. Banyak hambatan yang ditemui pemerintah untuk bisa melaksanakan program-program tersebut. Hambatan-hambatan itu bisa datang dari masyarakat sendiri dan juga akibat konsep serta kebijakan program yang kurang mengena. Konsep yang kurang tepat bisa jadi diakibatkan kekurang pahaman pemerintah dalam mengenal kondisi kemiskinan di daerah masing-masing, namun juga bisa diakibatkan oleh buruknya birokrasi di masing-masing daerah, meski pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah sudah berjalan. Secara garis besar, ada beberapa point yang menjadi titik lemah dalam pelaksanaan PNPM Mandiri, antara lain: 1. Ketidakkonsistenan Pemerintah dalam Membangun Paradigma Ekonomi Membangun paradigma sangat penting dalam merumuskan sebuah kebijakan penanggulangan kemiskinan. Jika salah dalam membangun paradigma, maka penerapannya di lapangan akan tidak tepat juga. Dengan demikian, maka program pun menjadi tidak berarti meski berganti-ganti konsep dan orientasi dalam rentang waktu bertahun-tahun. Kondisi inilah yang cenderung tampak jika secara kita mengikuti secara mendalam beberapa program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah. Selama pergantian pemerintahan dari tahun ke tahun, pemerintah masih belum mampu untuk mewujudkan Ekonomi Pancasila bagi rakyatnya. Secara konsep dalam UU barangkali memang kita menganut paradigma ekonomi kerakyatan, yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang masih agraris dan kerakyatan. Tetapi, dalam setiap kebijakan ekonomi, pemerintah masih berpandangan bahwa dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan senantiasa menciptakan stabilitas ekonomi politik, maka kesejahteraan akan tercapai. Ini adalah paradigma pertumbuhan yang didasarkan pada ekonomi neoliberal. Sementara di sisi lain, dalam beberapa programnya, pemerintah menuntut dikembangkannya kebijakan ekonomi kerakyatan dalam bentuk UMKM dan sebagainya, meski pemerintah juga turut memperlancar pendirian mall-mall dan industrialisasi perkotaan yang justru semakin meminggirkan pasar-pasar tradisional sebagai basis ekonomi rakyat. Dengan merestui industrialisasi perkotaan (dan sekarang sudah merambah ke perdesaan), pemerintah sebenarnya juga berperan serta menyukseskan tingginya angka pengangguran dan keresahan sosial di masyarakat. 2. Politisasi Isu-Isu Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial Kondisi inilah yang sampai saat ini masih mewarnai bangsa. Sehingga kadang masyarakat menjadi apatis terhadap sistem kepemimpinan bangsa selama bertahun- tahun. Karena, seringkali politisi-politisi membawa-bawa isu kesejahteraan sebagai jalan untuk memenangkan kekuasaan. Sementara dalam tataran realita, tidak ada langkah konkret yang betul-betul dilaksanakan seperti janji-janjinya waktu kampanye. Sebagai misal, isu-isu pembangunan ekonomi kerakyatan, pemberdayaan masyarakat marginal, kebijakan pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis, yang kesemuanya itu terkesan lip service, begitu jadi pemimpin, semua program tidak berjalan. Sehingga wajar saja, jika tiap pergantian kepemimpinan, program-program penanggulangan kemiskinan senantiasa berganti-ganti nama meski konsepnya sama. Dan jumlah orang miskinpun tetap saja tidak berubah dari tahun ke tahun. Bahkan, banyak program yang berhenti di tengah jalan. Contoh misalnya, program P2KP dan PPK yang diganti dengan PNPM Mandiri, kemudian program P4K yang terkatung-katung karena sumber daya PPL yang tidak terpenuhi (akibat kehabisan dana) sehingga pendampingan petani- nelayan tidak berjalan maksimal, program OPK yang berganti nama lagi pada tahun 2001 menjadi kebijakan Raskin. 3. Tidak Ada Prioritas Alokasi Anggaran di Masing-Masing Daerah Masih banyak daerah yang belum mempunyai prioritas alokasi anggaran. Entah itu karena ketidak tahuan akan pentingnya program pembangunan sosial dan penanggulangan kemiskinan, atau karena memang tak ada political will untuk membelajakan anggaran bagi rakyat miskin. Hal ini pada dasarnya menunjukkan bahwa kondisi pemerintahan daerah di era otonomi daerah berjalan apa adanya (taken for granted), atau anggaran daerah digunakan sebagai ajang bancakan KKN oleh elite daerah. Juga, tergambarkan dalam APBD di mana lebih banyak dialokasikan untuk belanja aparatur (rutin) ketimbang untuk belanja publik (pembangunan). Dalam pos belanja publik, BAU (Belanja Administrasi Umum) dapat diserap dalam bentuk gaji dan tunjangan pegawai, biaya barang dan jasa, biaya makanan dan minuman, perjalanan dinas, biaya gedung, alat angkutan dan alat kantor. Sebagai contoh, temuan Jawa Pos Institute Pro Otonomi Daerah (JPIP) di Jawa Timur memperlihatkan bahwa dari 28 kabupaten/kota, BAU rata-rata menyerap 76,5% belanja aparatur dan 51,89 % belanja publik. Belum lagi jika berbicara sumber dana program kemiskinan yang hampir semuanya rata-rata adalah dana pinjaman/utang luar negeri. 4. Program-Program Penanggulangan Kemiskinan Masih Bersifat Karikatif Pemberian bantuan-bantuan sosial yang bersifat karikatif memang perlu, asalkan tidak dijalankan secara terus-menerus, karena ini akan menimbulkan ketergantungan masyarakat kepada pemerintah. Akibatnya, masyarakat menjadi tidak bisa memberdayakan diri secara mandiri. Contoh program yang bersifat karikatif biasanya dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah seperti LAZIS atau BAZIS, yang menyalurkan dana bantuan zakat kepada masyarakat miskin. Kemudian program BLT (Bantuan langsung Tunai) yang digulirkan sejak tahun 2005 sampai sekarang. Pemberian BLT masih sebatas memenuhi basic needs masyarakat. Ibarat orang yang haus dan lapar, maka harus diganjal sementara dengan makanan. BLT juga terkesan menjadi program politis pemerintah untuk meredam amarah rakyat kecil akibat menaikkan harga BBM. 5. Kebijakan Program tidak Termanagement dengan Baik Raskin dan BLT adalah contoh program yang sering mendapat kritik banyak pihak karena manajemen pengelolaannya tidak baik. Penyaluran Raskin dan BLT sering tidak tepat sasaran. Kesalahan sasaran ini akibat data penduduk miskin yang dipakai pemerintah tidak valid. Orang yang sudah meninggal masih tercatat di data, bahkan yang mampu secara ekonomi pun juga mendapat jatah BLT. Ketidaksesuaian data dengan realita sering disebabkan karena masih bercokolnya paradigma proyek di masing-masing departemen. Tidak ada standarisasi data statistik kemiskinan di Indonesia, sehingga tiap departemen mempunyai standar sendiri-sendiri tentang kemiskinan dan hasilnya antar satu departemen dengan departemen yang lain berbeda. Baik BKKBN, Kementerian Sosial, dan Kemenaker serta BPS masing-masing punya data yang berbeda. Dan merupakan satu keuntungan besar bagi lembaga/kementerian yang bisa berpartisipasi dalam menyajikan data orang miskin pada program BLT dan Raskin. Meski, ternyata sesampainya di lapangan, banyak kekacauan karena data error. 6. Program-program pemberdayaan dalam rangka menanggulangi kemiskinan tidak berkelanjutan dan kurang melibatkan partisipasi masyarakat lokal PNPM Mandiri adalah contoh program pemberdayaan masyarakat miskin. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh PSKK (Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan) UGM di 12 kabupaten/kota, dapat disimpulkan bahwa program PNPM masih menggunakan logika proyek, belum ada konsistensi pemerintah untuk memberdayakan masyarakat secara alamiah. Sejak awal proses pengenalan program PNPM di masyarakat, tingkat kehadiran dan pelibatan kelompok-kelompok miskin masih kurang optimal, seharusnya semua warga miskin yang potensial dikumpulkan untuk diberi penjelasan dalam suatu forum khusus. Banyak warga miskin yang kurang memahami penjelasan dari model sosialisasi yang kurang sesuai dengan tingkat kepemahaman mereka. Ini memberikan dampak pada belum berkurangnya secara berarti jumlah warga miskin di kelurahan sasaran.