Anda di halaman 1dari 5

TUGAS TUTORIAL KE-2

BIROKRASI INDONESIA

Nama Penulis : Indri Alfia


NIM : 042410047
Prodi : Ilmu pemerintahan

1. Jelaskan peran binnenlandsch Bestur dalam merubah sistem birokrasi!


Jawaban:
Kedatangan penguasa kolonial tidak banyak mengubah sisitem birokrasi dan
administrai pemerintahan yang berlaku di Indonesia. Sistem birokrasi pemerintahan yang
dikembangkan pemerintah kolonial justru sepenuhnya ditujukan untuk mendukung
semakin berkembangnya pola paternalistik yang telah menjiwai sistem birokrasi pada era
kerajaan. Pemerintah kolonial kemudian menjalin hubungan politik dengan pemerintah
kerajaan yang masih disegani oleh masyarakat. Motif utama pemerintah kolonial untuk
menjalin hubungan politik adalah dalam rangka berupaya menanamkan pengaruh
politiknya terhadap elite politik kerajaan.
Selama pemerintahan kolonial berkuasa di Indonesia terjadi dualisme sistem
birokrasi pemerintahan. Di satu sisi telah mulai diperkenalkan dan diberlakukan sistem
administrasi kolonial (Binnenlandsche Bestuur) yang mengenalkan sistem birokrasi dan
administrasi modern, sedangkan pada sisi lain, sistem administrasi tradisional
(Inheemsche Bestuur) masih tetap dipertahankan oleh pemerintah kolonial. Birokrasi
pemerintahan kolonial disusun secara hierarki yang puncaknya pada Raja Belanda.
Sistem administrasi kolonial berisi pegawai-pegawai dari Belanda, yang tertinggi
adalah jabatan Gubernur Jendral dan terendah adalah seorang kontrolir. Sedangkan
administrasi tradisional berisi para pejabat kerajaan yang diangkat oleh pemerintah
Belanda untuk menjadi kaki tangan Belanda dalam menguasi Indonesia. Pejabat-pejabat
pribumi ini kemudian diberi nama sebagai pangreh praja. Pangreh praja ini memiliki
hierarki jabatan mulai dari Bupati/Patih, Wedana, Asisten Wedana, Camat, Kepala
Kampung atau Kepala Desa. Berikut adalah struktur kolonial Belanda:
Karena jabatan bupati berada di bawah residen, otomatis pejabat pribumi harus patuh
pada perintah pemerintah Belanda. Sistem patron-klien yang memang sudah ada pada
kehidupan pribumi semakin diperkuat oleh Binnenlandsch Bestuur. Orang-orang pribumi
yang menginginkan jabatan harus magang kepada patronnya supaya bisa diangkat
menjadi pangreh praja. Lambat laun, pemerintah Belanda memberikan pendidikan
kepada para pangreh praja dengan tujuan supaya pangreh praja ini bisa mengurus
pemerintahan jika pemerintah kolonial tidak ada di tempat. Tetapi, pejabat Binnenlandsch
bestuur yang konservatif menolak supaya pribumi diberikan pendidikan karena takut
akan mengancam kedudukan mereka. Ada beberapa anak pangreh praja yang bisa
sekolah sampai ke negeri Belanda dengan persetujuan pemerintah Belanda. Setelah
mendapatkan ilmu dari negeri Belanda langsung, mereka akan kembali ke Indonesia
untuk mengisi jabatan yang ditunjuk oleh pemerintah Belanda. Jabatan tertinggi yang
dibolehkan oleh Belanda adalah tingkat bupati.

2. Pada masa Hindia-Belanda menguasai Indonesia, birokrasi dikuasai penuh oleh Belanda.
Jelaskan peran golongan priyai dalam birokrasi dimasa Hindia-belanda!
Jawaban:
Pangreh praja disebut juga dengan priyayi, karena isi dari pangreh praja adalah
pejabat-pejabat pribumi. Sebutan priyayi ini adalah sebutan untuk orang-orang jawa yang
punya jabatan atau punya kekuasaan dan terpandang. Karena pangreh praja merupakan
bentukan Belanda maka priyayi menjadi alat supaya mendapatkan karyawan-karyawan
yang bisa digaji rendah oleh Belanda. Dalam hubungan patron-klien, priyayi menjadi
patron dan rakyat menjadi klien. Hubungan patron-klien ini seperti antara majikan dan
buruh, di mana tidak ada keseimbangan hak dan kewajiban.
Rakyat yang menginginkan kekuasaan dan jabatan akan magang kepada priyayi.
Pemagang akan tinggal di rumah priyayinya untuk tahu seluk beluk atasannya (priyayi)
dan dapat ditirunya dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana layaknya seorang priyayi.
Dengan demikian, mereka (pemegang) dapat pendidikan yang sifatnya nonformal, dan
meresap ke lubuk hati sanubarinya yang dicerminkan dalam perilakunya sehari-hari.
Lama waktu seseorang menjadi pemagang tidak ada batasnya karena pengangkatan
seorang pemagang menjadi priyayi berdasarkan subjektivitas priyayi itu sendiri. Inilah
yang membuat pemagang sangat tergantung pada priyayi. Sifat menjilat, cari muka,
maupun nepotisme tumbuh subur di kalangan pemagang dan priyayi. Bahkan antara
sesama priyayi pun terjadi yang demikian, itu terjadi antara priyayi jabatan rendah
kepada priyayi yang punya kedudukan di atasnya. Ketika pejabat-pejabat Belanda
mengadakan pengangkatan jabatan untuk pejabat pribumi yang punya pendapatan rendah,
tugas dari bupati adalah memberi nasihat/masukan tentang keadaan calon, misalnya latar
belakang keluarga, status sosial, tempat kelahiran, dan lain sebagainya. Bahkan urusan
yang dirahasiakan si calon juga menjadi tugas bupati dibantu residen untuk
menyelidikinya sebelum dikirim ke Batavia.

3. Menurut Anda apakah birokrasi di Indonesia sekarang masih dipengaruhi oleh budaya
birokrasi masa penjajahan? Jelaskan beserta contoh!
Jawaban:
Menurut saya, budaya birokrasi masa penjajahan masih ada hingga sekarang. Yang
masih bertahan hingga pada birokrasi Indonesia sekarang adalah budaya patron-klien.
Pengangkatan secara subjektif oleh atasan kerap terjadi kepada tenaga-tenaga honorer.
Honorer yang menginginkan kenaikan jabatan sebagai pegawai harus ikut “aturan main”
dari si pegawai. Selain hubungan patron-klien, pemberian otonomi kepada pejabat lokal
bukan dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan birokrasi kepada
masyarakat, melainkan lebih atas dasar kepentingan politik kekuasaan. Para pejabat
birokrasi lokal bagaikan raja-raja kecil yang mempunyai kekuasaan dan kedaulatan
wilayah, serta dapat memaksakan kehendaknya kepada masyarakat. Peran dan kedudukan
bupati misalnya, dulu semasa kerajaan menjadi abdi raja, kemudian beralih menjadi abdi
pemerintah kolonial, dan di jaman sekarang menjadi abdi pemerintah pusat. Akuntabilitas
birokrasi hanya ditujukan kepada pejabat atasnya, bukannya kepada publik. Demikian
pula loyalitas dan pertanggungjawaban aparat di tingkat bawah semata-mata hanya
ditujukan kepada pejabat di atasnya. Prestasi kerja seorang aparat birokrasi di mata
pimpinan hanya dilihat dari kriteria seberapa besar loyalitasnya kepada pimpinan. Aparat
birokrasi di tingkat bawah hanya berupaya untuk selalu menjaga kepuasan pimpinan
sehingga memunculkan budaya kerja yang selalu menyenangkan pimpinan seperti
membuat laporan kerja yang cenderung hanya menyenangkan pimpinan tanpa
berdasarkan fakta, berlomba-lomba menghormati pimpinan secara berlebihan guna
mengambil hati pimpinan, dan lain sebagainya.
Dalam hal pelayanan publik, dulu pada penjajahan Hindia-Belanda pelayanan publik
lebih kepada pembangunan prasarana fisik seperti pembangunan jalan raya atau kereta
api dibandingkan pembangunan nonfisik seperti pendidikan dan kesehatan, karena
pemerintah kolonial memandang ini lebih menguntungkan. Tidak jauh berbeda dengan
keadaan Indonesia yang sekarang, pelayanan publik khususnya di daerah pusat lebih
kepada pembagunan jalan, pembangunan jembatan, stasiun kereta api, dan baru-baru ini
telah diresmikan jalan tol yang besar. Ini semua lebih kepada bisnis proyek para pejabat
pemerintah. Di sisi lain, pendidikan dan kesehatan di Indonesia cukup memprihatinkan
khususnya di daerah lokal. Masih banyak anak-anak bangsa yang tidak sekolah karena
prasarana menuju sekolah terbatas atau ekonomi yang tidak mencukupi. Ini menyebabkan
tingkat sumber daya manusia Indonesia di mata dunia rendah. Di bidang kesehatan juga
begitu, pelayanan antara pasien yang punya budget tinggi lebih diutamakan oleh pihak
rumah sakit daripada rakyat biasa. Oleh karena itu, banyak pasien yang mendapat
penanganan terlambat.
Meskipun Indonesia memakai mekanisme check and balance dalam
pemerintahannya untuk menangkal itu semua, tidak semua lapisan dalam struktur jabatan
pemerintahan menerapkan hal itu, maka dari itu birokrasi Indonesia masih belum
mendekati sempurna.

Anda mungkin juga menyukai