Dalam hal ini faktor dari sisi historis memabuat sebuah budaya (patronage) atau pribumi
dengan (raja atau bupati). Budaya ini yang kemudian bersifat patron-klien, yang disebut
dengan hubungan Patrimonial. Menurut model ini, terdapat kontinuitas nilai-nilai politik dan
birokrasi yang berlangsung pada masa lalu yang merujuk pada zaman kerajaan dan warisan
kolonial dengan nilai-nilai politik dan birokrasi di Indonesia. Hubungan itu tak lebih sebagai
suatu pertukaran antara loyalitas pengabdian dan jabatan. Apabila tak loyal dan mengabdi
secara maksimal pada penguasa, seorang klien tidak akan mendapatkan jabatan. Hal ini
sesuai dengan Weber, mengidentifikasikan birokrasi patrimonial ini dengan salah satu ciricirinya yaitu setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik. Kondisi
patrimonialistik tersebut pada gilirannya membentuk perilaku aparat yang cenderung
menghamba kepada atasan dalam sebuah kekuasaan, seperti yang tampak pada prinsip "asal
bapak senang (ABS)" dalam kerja aparat birokrasi.
Model patrimonial ini biasanya sangat mengutamakan harmoni dan stabilitas sebagai
dasar pengukuhan statusquo. Kecenderungan kemapanan (establish) membuat kekuasaan
menolak setiap bentuk perubahan yang ditawarkan. Dalam hal ini kekuasaan selalu
diidentifikasikan dengan lambang, simbol, yang keduanya sudah direligiofikasi sedemikian
rupa hingga tidak perlu diperdebatkan. Klaim kebenaran menjadi hak atasan, sedangkan
rakyat awam atau yang lazim disebut wong cilik itu ditempatkan dalam posisi hanya
menuruti perintah atasan (sendiko dawuh). Budaya tersebut yang kemudian masuk ke dalam
tataran Birokrasi di Indonesia sampai sekarang ini.
Sampai sekarang, Birokrasi di Indonesia belum memiliki suatu pola karir yang jelas.
Oleh karena itu, sampai saat ini proses penempatan seseorang dalam jabatan belum
sepenuhnya didasarkan pada suatu pedoman tentang pola karir yang obyektif dapat.
Ketiadaan sistem promosi yang baku dalam karir Pegawai Negeri Sipil menyebabkan
hubungan pribadi dengan person yang duduk di pusat pengambilan keputusan akan sangat
berperan. Kondisi ini tidak jarang menyebabkan Birokrat yang berada dalam posisi bawah
yang membutuhkan sebah jenjang yang lebih tinggi, harus patuh terhadap atasan yang
menentukan jenjang karir Birokrat tersebut.
Walaupun sudah mengenal dan menerapkan konsep birokrasi modern melalui
birokrasi legal rasional, yang dikenal sebagai mesin birokrasi yang dianggap efesien, namun
jauh sebelumnya itu sebagai bentuk struktur dan kultur birokrasi publik, masyarakat
Indonesia sudah mengenal dan menerapkan sejenis struktur dan kultur model birokrasi
kerajaan yang feodal aristokratik, Sehingga dalam upaya penerapan birokrasi modern, yang
terjadi hanyalah menyangkut perubahan bentuk luarnya saja, dan belum sampai pada
perubahan tata nilainya. Keadaan yang demikian ini justru akan membuahkan sejumlah
maksimum nilai lebih kekuasaan birokrasi di dalam keadaan dan kondisi apapun yang sangat
memungkinkan; dimana kedudukan penguasa disesuaikan dengan tradisi. Masyarakat akan
membenarkan tindakannya, selama ia menjalankan tugasnya dengan baik, kesejahteraan
masyarakat tercukupi, dan keamanan mereka terjamin.
Dengan demikian, maka dalam hal ini budaya Birokrasi di Indonesia banyak
dipengaruhi oleh latar belakang budaya masyarakat peninggalan zaman kerajaan dan
kolonialisme. Salah satu bentuk budayanya yaitu, bagaimana seorang birokrat bawah
orientasi pelayanan hanya kepada atasan saja. Sudah saatnya dengan adanya reformasi di
tubuh Birokrasi membuat adanya sebua perubahan paradigma di dalamnya, yang nantinya
akan berpengaruh terhadap kemajuan negara Indonesia.