Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH BIROKRASI & GOVERNANCE :

PENYAKIT RELASI BIROKRASI DENGAN REZIM YANG BERKUASA

DI SUSUN OLEH

Marlinda Eka Sulistia (1902016057)


Raiswin Apriandy (1902016058)
Muhammad Rezha Rahman (1902016062)
Muhamad Fadhlan (1902016068)
Devita Dwi Putri Rimaswari (1902016075)
Joko Yuliestiyo (1902016076)

M. Handzalah Hafid (1902016078)


Oktavia Tri Anggraini (1902016087)
Afifah Nur Rahma (1902016088)
Selviana (1902016091)
Nova Novela (1902016101)
Helda Yanti (1902016104)

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa sebab atas segala rahmat, karunia, serta
taufik dan hidayah-Nya, makalah mengenai “Penyakit relasi birokrasi dengan rezim yg
berkuasa” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Meskipun kami menyadari masih banyak
terdapat kesalahan di dalamnya.

Kami sangat berharap dengan adanya makalah ini dapat memberikan manfaat dan
edukasi mengenai Birokrasi Dan Governance. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kemudian makalah kami ini dapat
kami perbaiki dan menjadi lebih baik lagi.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Kami
juga yakin bahwa makalah kami jauh dari kata sempurna dan masih membutuhkan kritik
serta saran dari pembaca, untuk menjadikan makalah ini lebih baik ke depannya.

Samarinda, 4 Oktober 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………......................................1

KATA PENGANTAR.............................................................................………….……......…2

DAFTAR ISI ..........................................................................................………….……….….3

BAB I PENDAHULUAN .................................................................………….………......4

1.1 Latar Belakang .................................................................………..…………….4

1.2 Rumusan Masalah ............................................................……..…………….....4

1.3 Tujuan Penulisan..............................................................…..………………….4

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................………………….…5

2.1Pengertian Birokrasi....................................................……………………….....5

2.2 Konsepsi BirokrasiI Menurut Weberian Di Indonesia …………………….......5

2.3 Latar Belakang Penyakit Birokrasi Di Indonesia................................................6

2.4 Penyakit Relasi Birokrasi Dengan Rezim Yang Berkuasa..................................7


2.4.1 Birokrasi Masa Orde Lama........................................................................7
2.4.2 Birokrasi Masa Orde Baru.......................................................................10
2.4.3 Birokrasi Masa Reformasi.......................................................................12
2.4.4 Birokrasi Masa Revolusi Industri 4.0......................................................13
2.5 Solusi Penyakit Birokrasi Di Indonesia.............................................................15
BAB III PENUTUP..............................................................................………………….…18

3.1 Kesimpulan.......................................................................………………….…18

3.2 Saran.................................................................................………………….…18

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................………………….…19

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Birokrasi di Indonesia tidak pernah lepas dari permasalahan, permasalahan yang


ada pun masih sama dari zaman dahulu. Saat ini pemerintah baik pusat maupun daerah
menghabiskan lebih dari setengah anggarannya untuk birokrasi. Pengeluaran ini tidak
diikuti dengan kinerja birorasi yang optimal. Di Negara dan pemerintahan manapun, para
anggota birokrasi disebut sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat. Dengan predikat
demikian, mereka diharapkan dan dituntut menampilkan perilaku yang sesuai dengan
peranannya selaku abdi tersebut.
Keseluruhan perilaku para anggota birokrasi tercermin pada pelayanan kepada
seluruh masyarakat. Sebagai prinsip dapat dikatakan bahwa pelayanan yang diberikan
oleh birokrasi kepada para masyarakat harus bersifat adil, cepat, ramah dan tanpa
diskriminasi. Karena itu, ungkapan yang mengatakan bahwa para pegawai negeri adalah
untuk melayani dan bukan untuk dilayani, hendaknya terwujud dalam praktik
administrasi pemerintahan sehari-hari, sebab apabila tidak ada, ungkapan tersebut hanya
akan menjadi slogan tanpa makna. Dari segi inilah, penting dipahami patologi birokrasi
yang ber-sumber dari keperilakuan. Pemahaman perilaku dalam kaitannya dengan
patologi birokrasi, mutlak perlu disoroti dari sudut pandang etos kerja dan kultur
organisasi yang berlaku dalam suatu birokrasi tertentu.
1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa itu Birokrasi


2. Seperti apa konsepsi biorkrasi menurut Weberian di Indonesia
3. Apa yang melatar belakangi penyakit birokrasi di Indonesia
4. Apa saja penyakit Relasi birokrasi yang terjadi
5. Apa yang menjadi solusi untuk mengatasi penyakit birokrasi di Indonesia
1.3 TUJUAN MASALAH
1. Mendeskripsi arti birokrasi
2. Mendeskripsi konsepsi birokrasi menurut Weberian di Indonesia
3. Mendeskripsi latar belakang penyakit birokrasi di Indonesia
4. Mendeskripsi penyakit Relasi Birokrasi
5. Mendeskripsi solusi penyakit birokrasi di Indonesia

4
BAB II

ISI

2.1 PENGERTIAN BIROKRASI

Birokrasi berasal dari kata bureau yang berarti meja dan cracy yang berarti
kekuasaan. Menurut Max Weber birokrasi adalah suatu bentuk organisasi yang
penerapannya berhubungan dengan tujuan yang hendak dicapai. Sedangkan menurut
Fritz Morstein Marx, birokrasi adalah tipe organisasi yang dipergunakan pemerintah
modern untuk melaksanakan tugas-tugasnya yang bersifat spesialis, dilaksanakan dalam
system administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah. Jadi birokrasi merupakan
suatu organisasi besar yang terdiri dari sub-sub struktur yang memiliki keterkaitan satu
sama lain, yang memiliki fungsi, peran, wewenang dalam melaksanakan tugas dalam
mencapai tujuan yang sudah ditentukan.

2.2 KONSEPSI BIROKRASI MENURUT WEBERIAN DI INDONESIA

Di Indonesia bahasan mengenai birokrasi maka persepsi orang tidak lain adalah
birokrasi pemerintah. Birokrasi dengan segala cacatnya yang menjadi milik pemerintah.
Birokrasi pemerintah seringkali diartikan officialdom atau kerajaan pejabat. Suatu
kerajaan yang rajanya adalah para pejabat dari suatu organisasi yang digolongkan
modern. Konsepsi Weber mengenai birokrasi di Indonesia banyak memperlihatkan cara-
cara officialdom. Pejabat birokrasi pemerintah adalah sentral dari penyelesaian urusan
masyarakat. Seharusnya pejabat yang bergantung pada rakyat tetapi rakyat yang
bergantung terhadap pejabat. Kritikan pedas Warren Bennis (1967) dalam bukunya
Personel Administration dia menulis bahwa di abad 25 sampai 50 tahun yang akan
datang kita akan menyaksikan jatuhnya birokrasi Weber dan diganti dengan system
social yang baru sesuai dengan harapan masyarakat, juga birokrasi diharapkan harus bisa
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang selalu berubah.

Di abad ini ramalan Bennis mengenai officialdom pun mulai pudar, sebagai salah
satu wujud dari pudarnya pejabat itu adalah dilakukan gerakan reformasi dalam birokrasi
pemerintah seperti meningkatkan akuntabilitas, dan transparansi aparatur pemerintahnya.

5
Ciri birokrasi Weberian adalah kekuasaan itu ada pada setiap hierarki jabatan
pejabat, maka semakin tinggi hierarki dan semakin besar pula kekuasaannya, juga
sebaliknya semakin rendah hierarkinya, semakin tidak berdaya (powerless). Hierarki
paling bawah adalah rakyat, dalam posisi ini rakyat tidak memiliki kekuasaan. Birokrasi
model Weber menyatakan bahwa hierarki bawah atau rakyat tidak boleh melawan
kekuasaan hierarki atas. Sikap rasional model weber banyak dijumpai dalam praktik
perilaku birokrasi pemerintah yang menunjukkan kekuasaan yang berada pada hierarki
yang kesemuanya mempunyai hak-hak istimewa berupa fasilitas kekuasaan yang
akhirnya membuat sacral jabatan hierarki birokrasi dan memperkuat officialdom.

2.3 LATAR BELAKANG PENYAKIT BIROKRASI DI INDONESIA

Reformasi tahun 1998 menjadi tonggak sejarah bagi Indonesia yang berhasil
mendorong perubahan tata pemerintahan di negeri ini. Gerakan reformasi berhasil
melakukan perubahan dengan jalan menumbangkan rezim Soeharto yang berkuasa
selama 32 tahun lebih. Reformasi menuntut perubahan di berbagai lini kehidupan, baik
sosial, ekonomi, politik, hukum termasuk dalam konteks pemerintahan. Perubahan ini
sebagai konsekuensi dari harapan akan cita-cita untuk membawa Indonesia keluar dari
masalah.

Reformasi 1998 juga membawa konsekuensi untuk melakukan reformasi pada


birokrasi. Ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi birokrasi pemerintahan yang mengalami
penyakit bureaumania yang ditandai dengan kecenderungan inefisiensi, penyalahgunaan
wewenang, korupsi, kolusi dan nepotisme serta dijadikan alat oleh pemerintahan orde
baru untuk mempertahankan kekuasaan yang ada. Mengutip pendapat Karl D Jackson,
birokrasi Indonesia merupakan beuracratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana
menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan
pemerintahan.

Reformasi birokrasi pemerintahan semenjak orde baru tersebut nampaknya sulit


untuk melakukan perubahan sikap mental dan perilaku pemerintahan birokrasi Indonesia.
Partai-partai politik yang menanamkan pengaruh dan orang-orangnya ke dalam birokrasi
pemerintahan tanpa adanya akuntabilitas public yang seharusnya rakyat yang memiliki
control sangat besar terhadap birokrasi di Indonesia. Kurangnya komitmen pasca
reformasi cenderung berbanding lurus dengan kurangnya komitmen pemerintah terhadap

6
pemberantasan KKN yang sudah menjadi penyakit akut dalam birokrasi pemerintahan
Indonesia saat ini.

Agar Indonesia tidak semakin jatuh maka birokrasi Indonesia perlu melakukan
reformasi secara menyeluruh, reformasi juga harus dilihat dalam kerangka teoritik dan
empiric yang luas, didalamnya mencakup penguatan masyarakat sipil, supremasi
hukum, strategi pembangunan ekonomi dan politik yang saling terkait dan
mempengaruhi.

2.4 PENYAKIT RELASI BIROKRASI DENGAN REZIM YANG BERKUASA

2.4.1 Birokrasi Masa Orde Lama

Jika UUD 1945 diamati secara cermat, maka akan ditemukan suatu
kombinasi bahkan asimilasi konsep-konsep modern yang pernah dipikirkan Hegel,
Adam Muller, Spinoza, dan konsep-konsep kekeluargaan serta gotong-royong yang
khas Indonesia, dan teknik-teknik mengintegrasikan heterogenitas yang pernah
digunakan oleh Belanda di Indonesia. Sejak kemerdekaan Indonesia sampai
berakhirnya orde baru, UUD 1945 memposisikan MPR sebagai penjelmaan seluruh
rakyat Indonesia yang merupakan lembaga negara tertinggi yang mempunyai
wewenang menetapkan UUD, GBHN, dan memilih presiden serta wakil presiden.
Presiden merupakan pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi, yang dalam
menjalankan pemerintahannya dibantu para menteri. Hal ini mengingatkan pada
Gubernur Jenderal yang dibantu oleh para direkturnya pada masa Hindia Belanda.
Dalam menjalankan tugasnya Presiden didampingi oleh Dewan Pertimbangan
Agung (DPA) yang merupakan dewan penasehat, mungkin DPA ini dimaksudkan
mirip dengan Raad van Indie. Di samping Presiden terdapat DPR yang
mengingatkan pada Volksraad. Di samping DPR terdapat Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) yang tugasnya mengawasi pelaksanaan keuangan negara dan
kemudian melaporkan hasil kerjanya kepada DPR untuk mengawasi Presiden. DPR
secara tidak langsung dapat memperhatikan Presiden dan para menterinya, sebab
Presiden dan para menterinya tidak bertanggung jawab kepada DPR. Para menteri
bertangung jawab kepada Presiden, sedangkan Presiden bertanggung jawab kepada
MPR. Kekuasaan legislatif dipegang oleh Presiden dengan persetujuan DPR,
demikian juga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus ditetapkan

7
Presiden bersama DPR, sebab DPR sebagai wakil rakyat mempunyai hak budgeter.
Sedangkan kekuasaan kehakiman dipegang oleh Mahkamah Agung (MA).
Pendukung birokrasi pemerintahan Indonesia baru, hampir semuanya adalah
pemimpin-pemimpin nasionalis dengan berbagai macam latar belakang. Ada yang
berfikir sesuai dengan prinsip-prinsip birokrasi modern, mereka dimasukkan ke
dalam kelompok ‘administrators’. Kemudian ada yang berfikir ambivalen, yakni
menggabungkan pronsip-prinsip birokrasi modern dan pemerintahan raja-raja
Jawa, yang dimasukkan ke dalam kelompok ‘solidarity makers’. Soekarno
menyusun birokrasi yang mampu menguasai seluruh wilayah Indonesia. Dalam
membangun kekuasaannya Soekarno bertumpu pada parpol dan militer. Parpol
yang disederhanakan menjadi nasakom (nasionalis, agama, dan komunis)
didominasi oleh PKI. Militer juga memegang dominasi terlebih lagi dengan
keberhasilannya di Irian Barat. PKI dan militer inilah yang menjadi tumpuan
Soekarno. PKI yang kurang mendapatkan peran di birokrasi pemerintahan pusat
sebelum tahun 1959, menjadi parpol yang mendominasi birokrasi pemerintahan
pada masa demokrasi terpimpin. Para politisi partai memimpin departemen
sekaligus menyeleksi pegawai negeri sipil. Warna-warni departemen tergantung
pada parpol yang berkuasa. Pelayanan publik pun menjadi terganggu karena
kepentingan golongan menjadi nomor satu. Ketika UUD 1945 berlaku kembali
melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, berbagai upaya perbaikan dilakukan. Dengan
UU Nomor 18 Tahun 1961, salah satu pasalnya mengatur bahwa pegawai dapat
diadakan larangan masuk suatu organisasi politik, dan ketentuan akan dibuat
peraturan pemerintah. Namun, peraturan pemerintah untuk mengatur itu tidak
pernah ada. Birokrasi pemerintahan melalui demokrasi terpimpin dihentikan
dengan terpilihnya Soeharto sebagai Presiden RI melalui Surat Perintah 11 Maret
(Supersemar). Soeharto sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan
menyusun kabinet yang sifatnya teknokratik dengan dominasi militer.

 Sistem Pemerintahan Orde Lama


Pada masa orde lama, sistem pemerintahan di Indonesia mengalami
beberapa peralihan. Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan
presidensial, parlementer, demokrasiliberal, dan sistem pemerintahan demokrasi
terpimpin. Berikut penjelasan sistem pemerintahan masa Soekarno:

8
1. Pemerintahan Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Pada tahun 1945-1950, terjadi perubahan sistem pemerintahan dari
presidensial menjadi parlementer. Dimana dalam sistem pemerintahan
presidensial, presiden memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai badan eksekutif
dan merangkap sebagai badan legislatif.. Pada masa pemerintahan Presiden
Soekarno ini juga terjadi penyimpangan UUD 1945. Berikut Penyimpangan
UUD 1945 yang terjadi pada masa orde lama:
Fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) berubah, dari
pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan
ikut menentukan GBHN yang berwenang MPR.Terjadinya perubahan
sistem kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer.

2. Sistem Pemerintahan Demokrasi Liberal


Pada tahun 1950, Soekarno menetapkan sistem pemerintahan bagi
Indonesia. Sistem yang dipakai adalah sistem pemerintahan demokrasi
liberal. Di sistem ini, presiden hanya bertindak sebagai kepala kepala Negara,
presiden hanya berhak mangatur dari pemilihan kabinet. Oleh karena itu,
tanggung jawab pemerintahan ada di tangan kabinet. Presiden tidak dapat
bertindak sewenang-wenang terhadap jalannya pemerintahan. Adapun kepala
pemerintahan dipegang oleh seorang Perdana Menteri.

Pada masa demokrasi liberal ini, partai-partai seperti PNI dan PKI,
Masyumi memiliki Partisipasi yang sangat besar di dalam pemerintahan.
Mereka mendapatkan kursi-kursi di dalam televisi (Dewan Perwakilan
Rakyat) sebagai perwakilan rakyat Indonesia. Atas dasar amanat Undang-
undang Dasar Sementara 1950, maka dibentuklah kabinet yang bertanggung
jawab kepada saya. Setiap kabinet yang memerintah harus mendapatkan
dukungan dari perlemen, jika tidak ada mandat yang telah diberikan haru
sdikembalikan lagi kepada presiden. Setelah itu, dibentuk kembai kabinet
baru untuk menggantikan kabinet selanjutnya agar dapat menjalankan roda
pemerintahan.

9
3. Sistem Pemerintahan Demokrasi Terpimpin
Berbagai kekacauan yang terjadi saat diterapkannya demokrasi liberal,
pembangunan Indonesia untuk mulai membentuk sistem baru yang lebih
baik. Maka pada tahun 1959, Soekarno selaku presiden pada saat itu
memperkenalkan suatu sistem pemerintahan baru yang diberi nama
Demokrasi Terpimpin. Perbedaan mendasar antara sistem pemerintahan
demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin terletak pada kekuasaan presiden.
Di dalam demokrasi liberal, memiliki kekuasaan yang luas untuk
menjalankan pemerintahan dan mengambil keputusan Negara. Namun di
dalam sistem demokrasi terpimpin, presiden lah yang memiliki kekuasaan
tersebut, bahkan presiden memikili kekuasaan hampir seluruh bidang
pemerintahan.

Secara resmi, Indonesia mulai menerapkan sistem demokrasi terpimpin


sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh presiden Soekarno.
Maka pada saat itu, kabinet Djuanda dibubarkan dan disimpan dengan
kabinet kerja yang dipimpin oleh Soekarno sendiri selaku perdana menteri
dan Ir.Djuanda selaku menteri pertama. Pada masa pemerintahan ini, fokus
kebijakan berada di sektor pangan, sandang, dan polisi Irian Barat. Di masa
ini juga, Indonesia membentuk badan-badan eksekutif maupun legislatif
seperti MPRS, DPRS, DPA, Depernas, dan Front Nasional.

2.4.2 Birokrasi Masa Orde Baru

Penataan posisi PNS menjadi lebih sistematis ketika Orde Baru. Keputusan
Presiden Nomor 81 Tahun 1971 melahirkan Korps Pegawai Republik Indonesia
(Korpri) yang menjadi satu-satunya wadah menghimpun dan membina pegawai di
luar kedinasan. Pada rezim Orde Baru itu Korpri menjadi ‘mesin politik’. Pada
tahun 1974 Soeharto membenahi birokrasi pusat secara menyeluruh dengan
mengeluarkan Keppres Nomor 44 Tahun 1974 yang mengatur, pertama,
kedudukan, tugas pokok dan fungsi departemen, kedua, susunan organisasi

10
departemen yang terdiri dari: a) unsur pimpinan: Menteri, b) unsur pembantu
pimpinan: Sekretaris Jenderal, c) unsur pelaksana: Direktorat Jenderal, d) unsur
pengawas: Inspektorat Jenderal, ketiga, tatacara kerja departemen, keempat,
kedudukan dan tugas menteri, kelima, sekretariat jenderal, keenam, direktorat
jenderal, ketujuh, inspektorat jenderal, kedelapan, unit organisasi lain dan staf ahli,
kesembilan, instansi vertikal yaitu kantor wilayah dpartemen atau kantor wilayah
direktorat jenderal yang menjalankan tugas dan fungsi departemen di propinsi.
Susunan organisasi departemen diatur dalam Keppres Nomor 45 Tahun 1974.
Setiap Departemen terdiri dari Menteri, Sekretariat Jenderal, Inspektorat Jenderal,
beberapa Direktorat Jenderal, masing-masing dengan bidang pekerjaan yang sudah
ditentukan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Badan Pendidikan dan Latihan,
dan Instansi Vertikal. Masing-masing unsur mempunyai organisasinya sendiri.
Instansi vertikal membawahi beberapa Kantor Departemen di Kabupaten, yang
kemudian disambung dengan perangkat Kecamatan. Hal itu ditegaskan dalam UU
Nomor 3 Tahun 1975 tentang Parpol dan Golongan Karya serta PP Nomor 20
Tahun 1976 tentang keanggotaan PNS dalam Parpol atau Golkar. Birokrasi pun
selalu memihak Golkar. Itu disebabkan dalam setiap musyawarah nasional, Korpri
selalu berpihak kepada Golkar. Dengan demikian terbentuklah hierarki otoritas
seperti halnya birokrasi modern, tetapi di wilayah Propinsi dan Kabupaten masih
terdapat Gubernur dan Bupati/Walikotamadya yang dijabat oleh Kepala Daerah
Tingkat I dan Kepala Daerah Tingkat II yang bukan bawahan Menteri Dalam
Negeri seperti halnya Gubernur dan Bupati/Walikotamadya. Sebagai Kepala
Daerah mereka harus lebih mendengarkan suara keadilan rakyat daerahnya dan
merumuskannya dalam Peraturan Daerah (Perda). Untuk menjalankan Perda ini
juga dibentuk aparat daerah yang berupa Dinas-dinas Daerah. Inilah ambivalensi
dalam birokrasi pemerintahan antara pusat dan daerah. Sampai akhir kekuasaan
presiden Soeharto, Indonesia belum memiliki kebijakan publik yang mengatur
pembatasan hubungan partai politik terhadap birokrasi. Akibatnya birokrasi
menjadi infinitas (meluas tidak terbatas) terjadi politisasi birokrasi, yang
menyumbang terjadinya proses pembusukan politik dan melemahnya kinerja
birokrasi. Sampai menjelang masa transisi tahun 1998, kondisi birokrasi di
Indonesia mengalami sakit bureaumania seperti kecenderungan inefisiensi,
penyalahgunaan wewenang, kolusi, korupsi dan nepotisme. Birokrasi dijadikan alat
status quo mengkooptasi masyarakat guna mempertahankan dan memperluas

11
kekuasaan monolitik. Birokrasi Orde Baru dijadikan secara struktural untuk
mendukung pemenangan partai politik pemerintah. Padahal birokrasi diperlukan
sebagai aktor public services yang netral dan adil, dalam beberapa kasus menjadi
penghambat dan sumber masalah berkembangnya keadilan dan demokrasi, terjadi
diskriminasi dan penyalahgunaan fasilitas, program dan dana negara.

2.4.3 Masa Orde Reformasi

Reformasi merupakan langkah-langkah perbaikan terhadap proses


pembusukan politik, termasuk buruknya kinerja birokrasi. Untuk kasus Indonesia
masa transisi pemerintahan Soeharto ke pemerintahan reformasi (1998-1999) telah
memunculkan gerakan netralitas politik birokrasi yang juga dipelopori oleh PNS
seperti pembubaran KORPRI di unit Departemen Penerangan, KORPRI unit
Departemen Kehutanan menyatakan tidak berafiliasi terhadap partai politik
manapun, desakan pembuatan PP (Peraturan Pemerintah) agar PNS bersikap netral
dan tidak menggunakan fasilitas negara untuk golongan tertentu, kalangan muda
FKP di parlemen yang menginginkan agar PNS netral, Presiden dan Menteri
Dalam Negeri yang menginginkan PNS netral, pelepasan seragam KORPRI oleh
dokter-dokter RSCM/FKUI, sikap oposisi Ali Sadikin agar KORPRI menyatakan
keluar dari Golkar. Birokrasi pasca berhentinya Presiden Soeharto ada dalam
persimpangan jalan antara adanya upaya pihak yang ingin tetap mempertahankan
berlangsungnya politisasi birokrasi (bureaucratic polity), berhadapan dengan pihak
yang menginginkan ditegakkannya reformasi, ketidakberpihakan politik dan
profesionalisme birokrasi.Tahun 1998 datang, rezim Orde Baru jatuh. Dimulailah
babak baru birokrasi. Kesadaran pentingnya netralitas PNS mencuat terus-menerus.
BJ Habibie, yang saat itu menjadi presiden, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun
1999, yang menekankan PNS harus netral. Kalaupun PNS akan menjadi anggota
parpol, maka harus tidak boleh aktif dalam jabatannya. Setelah itu, gaung
reformasi birokrasi selalu bergema di mana-mana. Aturan netralitas PNS itu
dikuatkan lagi dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-
pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974.Pada masa
kepemimpinan Presiden Abdurraman Wahid dan Presiden Megawati Soekarno
Puteri tatanan birokrasi juga mengalami reformasi, walaupun masih sangat jauh
dari idealisme birokrasi yang sesuai dengan tata kelola pemerintahan yang baik.

12
Bahkan Presiden Megawati pernah mengeluhkan birokrasi yang dipimpinnya ibarat
”keranjang sampah” rusaknya tatanan birokrasi warisan Orde Baru. Di bawah
kepemimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, Kementerian Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara melaksanakan reformasi birokrasi dengan fokus
peningkatan pelayanan publik. Menneg PAN sedang menyusun modul penerapan
governance yang berisi pengalaman berbagai daerah yang sedang dibina Menneg
PAN dan bisa dijadikan contoh bagi daerah lain.  Dari modul penerapan
governance itu, disebutkan ada beberapa indikator yang bisa dijadikan standar
untuk menilai keberhasilan penerapan good governance, yaitu peningkatan
efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya manusia, peningkatan pelayanan
publik, peningkatan Human Development Index (HDI), penurunan Human Poverty
Index (HPI), peningkatan partisipasi masyarakat, peningkatan transparansi,
peningkatan akuntabilitas, serta penurunan angka korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dengan demikian reformasi birokrasi dilakukan secara menyeluruh.

2.4.4 Birokrasi Masa Revolusi Industri 4.0

Menelisik dari diskursus yang terjadi akhir-akhir ini, sering kali kita
mendengar keluhan masyarakat tentang kinerja birokrasi pemerintahan yang masih
kurang optimal. Padahal katanya Indonesia sudah memasuki era revolusi industri
4.0 atau bisa disebut dengan era disrupsi. Fasilitas yang digunakan sudah canggih
akan tetapi mengapa masih banyak masyarakat yang mengeluh?

Mengapa briokrasi pemerintahan masih sering menjadi permasalahan yang


tidak kunjung selesai dan seolah-olah tidak ada habisnya? Sebab apabila dilihat
dari sudut pandang administratif, birokasi adalah suatu organisasi pelayanan, yang
mana untuk menilai organisasi birokasi tersebut adalah dengan cara menilai
performa yang mereka tampilkan ketika memberikan pelayanan kepada
masyarakat.

Karena birokasi sendiri tidak memiliki keluaran berupa fisik yang dapat
dinilai masayarakat secara langsung. Idealnya birokrasi adalah sebagai alat yang
bermanfaat bagi pelaksanaan rasionalitas terhadap tugas-tugas administrasi untuk
mencapai efisiensi, selain itu birokrasi juga memiliki fungsi sebagai alat
penghubung antara Negara dengan masyarakat.

13
Oleh karena itu, sampai sekarang pun birokrasi menjadi alat utama dan
paling dominan peranannya dalam pelaksanaan tugas-tugas Negara. Lantas apa
yang membuat masyarakat masih sering mempermasalahkan prihal birokrasi di
Indonesia?.

Pemerintahan dan birokrasi memiliki keterkaitan yang begitu erat. Birokrasi


adalah alat Negara dalam menjalankan pemerintahan, sebelum negara dijalankan
oleh birokrasi ada pemerintahan yang mengatur birokrasi.

Di era serba berkemajuan seperti ini negara tentu membutuhkan birokrasi


yang modern, inovatif dan tentunya berorientasi pada masyarakat.

Birokrat yang menjalankan atau mengimplementasikan juga harus tanggap


dan cekatan terhadap perubahan zaman. Membahas birokrasi dari zaman orde baru
sampai era reformasi saat ini pemerintah sebenarnya sudah melakukan sesuatu
yang disebut reformasi birokrasi.

Namun, dalam pelaksanaannya reformasi birokrasi ini dianggap berhasil tapi


juga dianggap gagal. Beberapa faktor yang menyebabkan reformasi birokrasi di
Indonesia masih dinaggap gagal. Akibatnya masih banyak masyarakat yang
mengeluh terhadap pelayanan yang diberikan oleh birokrat kepada publik.

Kasus penggelapan dana atau sering kita sebut korupsi yang dilakukan oleh
birokrat seringkali membuat masyarakat resah. Hal ini mengakibatkan kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah juga semakin berkurang.

Masyarakat akan selalu beranggapan bahwa semua masalah pelayanan


publik, dan kekacauan dalam birokrasi adalah karena adanya kasus korupsi itu
sendiri.

Sebenarnya standarisasi yang dibutuhkan Indonesia agar birokrasinya dapat


berjalan dengan baik dan semestinya adalah sebagai berikut:

1. Adanya derajat spesialisasi tinggi artinya adalah setiap anggota birokrasi harus
memiliki profesionalisme dan kecakapan teknis yang tinggi dalam
menjalankan tugasnya. Di Indonesia derajat spesialisasi masih rendah dan
pada umumnya spesialisasi diberikan masih terlalu luas sehingga wewenang
yang diberikan tampak kabur dan tidak jelas, seperti contoh batas kewenangan

14
antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kota/kabupaten yang terkadang
masih membingungkan
2. Struktur kewenangan bersifat hierarkis dengan batas tanggung jawab yang
jelas.
3. Hubungan anggota bersifat impersonal artinya hubungan setiap anggota harus
berdasarkan fungsi terciptanya mekanisme kerja yang rapi.
4. Cara pengangkatan pegawai berdasarkan kecakapan teknis artinya setiap
anggota ditempatkan dan diberi pekerjaan sesuai bidang keahliannya sehingga
dapat menciptakan produktivitas kerja yang baik, bukan karena kepentingan
pribadi. Pasalnya di Indonesia sendiri masih sering terjadi semacam
pemerintahan dinasti yang mana para birokrat yang memiliki jabatan tidak
akan canggung untuk mengangkat keluarganya sendiri untuk bekerja
dengannya, padahal seharusnya pengangkatan anggota berdasarkan
profesionalisme dan kecakapan teknis prosedur yang kompetitif.
5. Pemisahan antara urusan dinas dengan urusan pribadi artinya setiap pekerjaan
dalam birokrasi tidak boleh tersentuh oleh masalah yang bersifat personal,
masalah ini yang paling susah dihilangkan di Indonesia tidak sedikit dari
birokrat Indonesia yang memanfaatkan jabatan dan kewenangannya untuk
memperkaya diri dan kepentingan pribadinya.

Apabila semua karakteristik birokrasi ideal Max Weber ini mampu


diterapkan dengan baik di Indonesia bukan tidak mungkin penyakit yang bisa
dikatakn telah ‘membudaya’ pada tubuh birokrasi seperti KKN, penyimpangan
kewenangan, menggabungkan urusan dinas dengan urusan pribadi dengan klien
tidak mungkin terjadi di Indonesia.

Birokrasi berjalan baik tidaknya berdasarkan bagaimana perilaku birokrat


yang menjalankannya. Butuh kerja sama dan perubahan pola pikir serta kinerja
yang lebih baik antara birokrasi dan pemerintah agar permasalahan birokrasi di
Indonesia segera teratasi dengan baik lagi.

2.5 SOLUSI PENYAKIT BIROKRASI DI INDONESIA

15
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Asman
Abnur mengungkapkan ada sejumlah penyakit birokrasi yang sangat mengganggu
bahkan menghambat jalannya birokrasi. Menurut Asman perlu langkah-langkah bijak
dan jitu untuk mengobat penyakit-penyakit birokrasi tersebut. Dia menawarkan enam
cara atau jurus

Sebelumnya, Asman menyebutkan beberapa penyakit birokrasi, antara lain belanja


operasional untuk kebutuhan internal pemerintah yang lebih besar dari belanja publik,
tingkat korupsi yang cukup tinggi, inefektivitas dan inefisiensi dalam pengelolaan
pembangunan, kualitas ASN masih belum optimal, organisasi pemerintah yang
cenderung besar, kualitas pelayanan publik yang masih belum memenuhi harapan publik
dan perilaku ASN yang belum profesional.

"Cara pertama, memperbaiki manajemen kinerja di mana program dan kegiatan


harus benar-benar dirancang untuk menghasilkan outcome yang tepat sehingga dapat
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembangunan. Tidak boleh ada lagi kegiatan-
kegiatan siluman yang diselipkan dalam program tertentu yang sama sekali tidak
memiliki kaitan dengan outcome," ujar Menteri Asman saat memberikan arahan pada
Rakor Reformasi Birokrasi Pemda di Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, Kamis
(29/3).

Cara kedua, kata Asman pembangunan unit kerja menuju Wilayah Bebas dari
Korupsi/Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBK/WBBM) yang merupakan
miniatur pelaksanaan reformasi birokrasi, terutama pada unit kerja yang memberikan
pelayanan langsung kepada masyarakat. Diharapkan unit kerja yang nantinya mendapat
predikat WBK-WBBM dapat menjadi contoh pelaksanaan reformasi birokrasi bagi unit-
unit kerja lainnya."Pada tahun 2017, terdapat 6 unit kerja yang mendapat predikat
WBBM dan 71 unit kerja yang mendapat predikat WBK. Kita harapkan semakin banyak
unit kerja yang mendapat predikat WBK/WBBM," tutur dia.

Cara ketiga, kata dia melakukan penyederhanaan organisasi pemerintahan. Pada


tahun 2014, yaitu awal pemerintahan Kabinet Kerja, pemerintah telah membubarkan 10
Lembaga Non Struktural (LNS), pada tahun 2015 dibubarkan 2 LNS, tahun 2016
dibubarkan 9 LNS dan terakhir pada tahun 2017 dibubarkan 2 LNS. "Sehingga antara
tahun 2014 sampai dengan 2017 secara total berjumlah 23 LNS yang sudah dibubarkan.

16
Pembubaran dilakukan mengingat tugas dan fungsi LNS tersebut sudah dilaksanakan
kementerian/lembaga teknis," ungkap dia.

Cara keempat, lanjut dia, mempercepat penerapan sistem pemerintahan berbasis


elektronik (e-government) secara terintegrasi. Menurut dia, hal ini perlu dilakukan
mengingat pengembangan e-government dihadapkan pada kenyataan bahwa setiap
instansi membangun sistem e-government mereka sendiri. Selama tahun 2013-2015, kata
dia pemerintah sudah mengeluarkan total belanja aplikasi sebesar Rp 34 triliun dan
belanja infrastruktur sebesar Rp 56 triliun.
"Padahal sebenarnya 65 persen dari aplikasi yang dibangun merupakan aplikasi
umum berbagi pakai yang dapat dikembangkan secara terpusat. Hanya 35 persen aplikasi
bersifat spesifik/khusus yang hanya ada di instansi pemerintah tertentu karena sifat tugas
dan fungsinya," jelas dia.
"Dampak dari permasalahan ini meliputi, pemborosan anggaran belanja negara
untuk teknologi informasi yang meningkat setiap tahun tetapi pemanfaatannya hanya
sekitar 30 persen, disintegrasi sistem informasi pemerintah, risiko keamanan dan
validitas data yang diyakini," kata dia menambahkan.

Selanjutnya, ujar Asman, pemerintah harus meningkatkan kapasitas Aparatur Sipil


Negara. Upaya ini dilakukan melalui perbaikan sistem rekrutmen, percepatan penetapan
peraturan teknis sebagai pelaksanaan UU ASN, peningkatan kualitas pendidikan dan
pelatihan, dan pengawasan terhadap penerapan sistem merit.

"Terakhir adalah mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik, perlu adanya


terobosan-terobosan di bidang penyelenggaraan pelayanan," kata dia. Saat ini inovasi
pelayanan publik sudah sangat berkembang dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Hal
ini antara lain terlihat dari antusiasme unit pelayanan dalam mengikuti Kompetisi Inovasi
Pelayanan Publik. Pada Tahun 2014 tercatat hanya 515 inovasi yang mengikuti
kompetisi. Pada tahun 2015 meningkat dua kali lipat menjadi 1.189 inovasi. Pada tahun
2016 jumlah inovasi terdaftar kembali meningkat dua kali lipat menjadi 2.476. Terakhir,
tahun 2017sebanyak 3.054 inovasi tercatat sebagai peserta kompetisi.
Selanjutnya, untuk mendorong pengembangan inovasi di unit dan daerah lain,
dibangun pula Jejaring Informasi Pelayanan Publik (JIPP) yang telah diinisasi di Provinsi
Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan. Jejaring ini merupakan forum

17
untuk saling bertukar informasi terkait inovasi pelayanan publik sekaligus mendorong
pembangunan inovasi di unit pelayanan lain melalui penyelenggaraan pelatihan inovasi
(bootcamp).

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Fenomena birokrasi selalu ada bersama kita dalam kehidupan kita sehari-hari dan
setiap orang seringkali mengeluhkan cara berfungsinya birokrasi seingga pada akhirnya
orang akan beranggapan bahwa birokrasi tidak ada manfaatnya karena banyak
disalahgunakan oleh pejabat pemerintah yang merugikan masayarakat.oleh karena itu di
perlukan adanya reformasi birokrasi

Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis mensyaratkan kinerja


dan akuntabilitas aparatur yang makin meningkat, hal ini mengindikasikan bahwa
reformasi birokrasi merupakan kebutuhan dan harus sejalan dengan perubahan tatanan
kehidupan, politik, kemasyarakatan, dan dunia usaha. Dalam peta tantangan nasional,
regional, dan internasional, aparatur negara dituntut untuk dapat mewujudkan
profesionalisme, kompetensi dan akuntabilitas. Pada era globalisasi, aparatur negara
harus siap dan mampu menghadapi perubahan yang sangat dinamis dan tantangan
persaingan dalam berbagai. Saat ini masyarakat Indonesia sedang memasuki era yang
penuh tuntutan perubahan serta antusiasme akan pengubahan. Ini merupakan sesuatu
yang di Indonesia tidak dapat di bendung lagi. Oleh karena itu, reformasi di tubuh
birokrasi indonesia harus tetap di jalankan demi tidak terciptanya lagi patologi birokrasi
di Indonesia.

3.2 SARAN

18
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa masih banyak
kekurangan yang harus dilengkapi, sehingga kami mengharapkan saran dari pembaca
untuk memperbaiki makalah ini

19
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/30955999/BIROKRASI_PEMERINTAHAN_REFORMASI_BIR
OKRASI_DI_INDONESIA_SEKOLAH_TINGGI_ILMU_ADMINISTRASI_NEGARA_K
OTA_TASIKMALAYA

http://ganangrifqi.blogspot.com/2017/01/sejarah-orde-lama-assalamualaikum.html?m=1

https://www.google.com/amp/s/yoursay.suara.com/amp/news/2020/03/24/172139/birokrasi-
modern-indonesia-melayani-atau-mengkorupsi

https://www.google.com/amp/s/www.beritasatu.com/amp/iman-rahman-
cahyadi/nasional/485776/ini-cara-obati-penyakit-birokrasi-menurut-menteri-asman

https://yayangsantrianhanafi.blogspot.com/2018/05/makalah-penyakit-birokrasi-dan-
terapinya.html

20

Anda mungkin juga menyukai