Anda di halaman 1dari 23

REFORMASI ADMINISTRASI DI INDONESIA

A. Latar Belakang Masalah


Hampir seluruh negara di dunia pernah mengalami reformasi. Hal ini telah
mendominasi manajemen pemerintahan sejak akhir abad 20. Reformasi
berkembang dengan sangat cepat dalam sistem pemerintahan di berbagai bangsa.
Gerakan ini menjadi sangat cepat di negara-negara berkembang. Hal ini
mengakibatkan negara-negara tersebut seolah-olah sedang melakukan perlombaan
reformasi. Gerakan reformasi yang terjadi di berbagai belahan dunia berkembang
dalam dua pola. Pola pertama, perluasan cakupan mulai dari Amerika Serikat
menuju ke belahan dunia lain termasuk Mongolia, Swedia, New Zealand. Kedua,
pemerintah di seluruh dunia telah menggunakan manajemen untuk menata
kembali peran pemerintah dan hubungannya dengan masyarakat (Kettl, 2000).
Gerakan reformasi yang terjadi hampir di seluruh negara pada dasarnya
memiliki tujuan yang sama. Tujuan akhir yang diharapkan dari suatu gerakan
reformasi adalah sebuah hasil yang sangat berarti bagi pemerintah untuk
mensejahterakan masyarakat. Namun demikian, sampai dengan saat ini
perwujudan dari tujuan tersebut belum dapat dibuktikan dengan pasti. Hal inilah
yang banyak menimbulkan pro dan kontra sehubungan dengan gerakan reformasi.
Banyak pandangan positif dan juga negatif terhadap perkembangan ini. Kritik
yang berkembang terhadap gerakan reformasi muncul dari keraguan terhadap
signifikansi dampat reformasi terhadap kesejahteraan rakyat dan perbaikan
pelayanan publik.
Kritik terhadap reformasi juga dirasakan terhadap gerakan reformasi yang
terjadi di Indonesia. Di Indonesia, reformasi telah berjalan selama 15 tahun.
Perubahan dan perkembangan sistem politik, sosial dan ekonomi pasca reformasi
telah menyebabkan banyak perubahan yang signifikan di tanah air. Gerakan
reformasi yang dimotori oleh para mahasiswa pada tahun 1998 ditandai oleh
adanya paradoks antara adanya tuntutan akan kehidupan yang lebih demokratis di
satu sisi dan munculnya anarkisme sosial di sisi yang lain. Tuntutan terhadap
demokrasi, muncul sebagai akibat lahirnya kesadaran tentang banyaknya hak-hak
warga negara yang selama bertahun-tahun diabaikan, dilanggar, bahkan diinjak

oleh rezim yang berkuasa. Kebutuhan akan adanya demokrasi juga lahir dari
adanya penolakan terhadap relasi-relasi kekuasaan yang angkuh dan represif,
tentang relasi-relasi ekonomi yang timpang dan jauh dari rasa adil, serta tentang
relasi-relasi sosial dangkal dan didominasi oleh ritual kolektif namun sangat
merendahkan martabat manusia sebagai pribadi. Sedangkan anarkisme sosial
terjadi sebagai akibat hancurnya kepastian normatif dan kepantasan berperilaku di
dalam masyarakat, berbarengan dengan runtuhnya rezim dominan yang berkuasa.
Cukup banyak permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia pada lima
tahun pertama reformasi. Eksistensi dan relevansi institusi-institusi sosial yang
ada dipertanyakan kembali, sementara institusi-institusi baru belum muncul untuk
mewadahi kearifan-kearifan dan nilai-nilai baru yang lahir bersama dengan
perubahan-perubahan yang terjadi. Dalam pandangan sosiologi, situasi seperti ini
disebut sebagai situasi anomie. Salah satu pertanyaan kritis yang muncul terkait
dengan kondisi tersebut adalah apakah gerakan reformasi akan berakhir dengan
mengkristalnya demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa atau
berakhir dengan anarkisme berkepanjangan dan berakhir dengan kegagalan?
Setelah lima tahun pertama dilewati, euforia reformasi di Indonesia mulai
reda. Demokratisasi di Indonesia yang dicerminkan oleh penyelenggaraan
pemilihan Presiden secara langsung diakui oleh berbagai pihak sebagai suatu
keberhasilan politik seluruh rakyat. Hal ini sekaligus menjadi indikasi bahwa
reformasi berada di jalur yang dikehendaki. Satu faktor yang menarik untuk
dicermati dalam hal ini adalah, setelah pemilihan presiden dilakukan secara
langsung dengan mekanisme yang relatif demokratis, dinamika politik berpindah
dari rakyat yang turun ke jalan raya menuju ruang-ruang sidang komisi dan
paripurna di gedung DPR.
Reformasi tidak lagi dianggap sebagai intimidasi. Tokoh-tokoh yang dulu
merupakan bagian dari kekuatan yang pendukung status quo dapat
mengidentifikasi diri sebagai tokoh reformasi tanpa perlu di lakukan suatu
identifikasi khusus. Dari segi positif hal ini dapat dilihat sebagai sebuah
konsolidasi yang dapat memberi tenaga pada setiap upaya pembaharuan menuju
kristalisasi demokrasi. Di sisi lain, secara negatif hal tersebut dapat dilihat sebagai
sebuah kompromi yang dapat menjadikan reformasi sebagai gerakan setengah

hati yang tidak punya kekuatan yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan.
Namun patut disadari bahwa terlepas dari permasalahan-permasalahan yang telah
dikemukakan, saat ini setiap rakyat Indonesia dapat menjadi saksi tentang apa
yang sedang terjadi di negeri ini.
Dalam bidang hukum, Undang-Undang Dasar 1945 sudah mengalami
revisi. Diikuti oleh pemberlakuan puluhan undang-undang yang mengatur soal
otonomi sampai dengan masalah pornografi dan pornoaksi. Bidang ekonomi
sendiri, tidak terjadi kemajuan yang berarti. Khususnya pada sektor riil,
kemampuan pemerintah Indonesia bergerak amat perlahan karena rendahnya daya
beli masyarakat dan semakin berlipatnya jumlah pengangguran. Konsep NKRI
juga dihadapkan pada berbagai tantangan, baik yang berasal dari luar maupun dari
dalam. Lepasnya Provinsi Timor Timur melalui referendum dan Pulau Sipadan
dan Ligitan yang jatuh ke tangan negara tetangga merupakan contoh atas
ancaman kedaulatan Indonesia. Begitu pula halnya dengan berbagai konflik yang
masih banyak terjadi dan terus berkelanjutan.
Keadaan-keadaan di atas secara tidak langsung menyiratkan bahwa
keberhasilan mewujudkan proses demokrasi dalam memilih presiden barulah
permulaan. Proses demokratisasi tidak hidup untuk dirinya sendiri, namun masih
harus diuji melalui kemampuannya untuk menjamin dan memberi perlindungan
terhadap hak-hak konstitusional setiap warga negara. Pertanyaannya selanjutnya
terkait dengan hal ini adalah langkah-langkah apa yang harus dilakukan agar
proses demokratisasi yang selama ini dilakukan bermuara pada apa yang dicitacitakan?
Pada dasarnya, reformasi sendiri lahir sebagai jawaban atas kebutuhan
rakyat akan demokratisasi. Hal ini tentunya harus diawali dengan adanya suatu
sistem administrasi publik yang baik. Di tengah-tengah semakin berat dan
kompleksnya tantangan bangsa Indonesia menghadapi era global saat ini,
pemerintah perlu mengedepankan pembaharuan, pemikiran-pemikiran yang
inovatif dan produktif pada lembaga pemerintah baik pusat dan daerah. Dengan
kata lain, reformasi administrasi di Indonesia harus sesegera mungkin menjadi
pilihan para penyelenggara pemerintahan baik pusat maupun daerah guna
mewujudkan pemerintahan yang bersih, sehat, dan berwibawa.

Berbagai macam upaya dilakukan pemerintah untuk memperbaiki sistem


yang selama ini identik dengan sentralistik, konvensional, otoriter, militeristik,
dan berbagai julukan yang dilekatkan dengan sistem birokrasi dan administrasi
pemerintahan Indonesia. Setelah runtuhnya rezim Orde Baru, orientasi dan
paradigma sitem birokrasi dan administrasi pemerintahan mengalami perubahan
signifikan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, reformasi administrasi
dibutuhkan tidak hanya oleh Indonesia, tetapi juga oleh negara-negara di dunia
lainnya. Berbagai faktor seperti halnya semakin terbukanya pasar bebas di dunia,
kepentingan pasar terhadap pelayanan yang lebih professional, kompetisi global,
dan tuntutan otonomi yang dimiliki oleh masin-masing wilayah regional dan lokal
menjadi pemicu bagi perubahan sistem administrasi publik yang ada. Gerakan
reformasi administrasi sendiri di berbagai belahan dunia telah menjadi suatu
gerakan massif yang dilakukan sebagai suatu bentuk respon terhadap perubahan
dinamika ekonomi, sosial dan politik di ranah global.
Pembaharuan administrasi merupakan salah satu determinan penting
dalam sistem administrasi publik yang berperan melakukan proses transformasi
nilai yang terarah pada pencapaian tujuan pemerintahan. Penyelenggaraan
pemerintahan negara harus dilaksanakan dengan visi yang jelas dan menerapkan
prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik. Tugas pemerintah dalam proses
pembangunan bangsa demikian kompleks yang meliputi berbagai dimensi
kehidupan dan melibatkan seluruh masyarakat bangsa dengan beragam latar
belakang sosial budaya dan ekonomi sehingga memerlukan sistem dan proses
manajemen pemerintahan yang handal. Revitalisasi dan pembangunan sektor
publik dewasa ini diarahkan untuk mewujudkan birokrasi publik yang mampu
mengelola tugas pemerintahan dan pembangunan secara efisien, efektif, responsif
dan bertanggung jawab.
Reformasi administrasi publik diarahkan pada pelaksanaan keseluruhan
fungsi-fungsi manajemen pemerintahan yang didasarkan pada kebutuhan bagi
peningkatan kecepatan efektivitas dan mutu pelayanan sesuai dengan dinamika
kemajuan masyarakat dan tantangan pembangunan. Administrasi publik yang
kuat juga mempunyai makna memiliki kredibilitas dan akuntabilitas dalam

pemecahan berbagai permasalahan pemerintahan yang semakin kompleks secara


mendasar dan berkesinambungan, terutama dalam upaya mewujudkan
peningkatan kesejahteraan secara berkeadilan dan meningkatkan daya saing guna
memantapkan diri menghadapi era otonomi daerah dan desentralisasi
pemerintahan daerah.
Dalam perspektif administrasi publik, reformasi birokrasi publik harus
menghayati posisi dan perannya serta mengikuti perkembangan disiplin
administrasi yang semakin maju. Kondisi ini diperlukan dalam menghadapi
kemajuan dan perubahan lingkungan strategis yang bersifat multidimensi. Sasaran
yang ingin dicapai adalah terwujudnya birokrasi pemerintahan yang profesional,
beretika, dan efektif dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, serta
dapat memenuhi tuntutan publik terhadap kebutuhan pelayanan yang semakin
berkualitas. Dengan meningkatnya kebutuhan pelayanan kepada masyarakat maka
perlu disertai dengan pemahaman mengenai pentingnya akuntabilitas atas setiap
kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Masyarakat akan
menuntut birokrasi yang memiliki tanggung jawab dalam mengemban tugasnya
dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingan publik. Untuk itu dalam
setiap pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan birokrasi publik harus
transparan dan akuntabel dalam pelaksanaan fungsi manajemen pemerintahan
seperti pengelolaan kebijakan publik dan pelayanan publik.
Pemerintahan yang baik merupakan suatu konsep yang belakangan ini
perkenalkan sejalan dengan adanya keinginan untuk memperbaiki manajemen
pemerintahan dan pengelolaan pembangunan masyarakat bangsa. Secara
kontekstual penerapan konsep ini lebih dekat dipergunakan dalam reformasi
sektor publik, yang menekankan pada peranan manajer publik agar memberikan
pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, mendorong peningkatan otonomi
manajerial terutama sekali mengurangi campur tangan kontrol yang dilakukan
oleh pemerintah pusat, transparansi, akuntabilitas publik, dan berusaha
menciptakan pengelolaan manajemen publik yang lebih baik, efisien, dan efektif
(Thoha, 2004).
Salah satu perspektif yang berkaitan dengan struktur pemerintahan yang
timbul dari adanya tata kepemerintahan yang baik adalah munculnya hubungan

antara pemerintah dengan masyarakat dalam rangka mewujudkan pemerintahan


yang demokratis. Pemerintahan yang demokratis menjalankan tata pemerintahan
secara terbuka terhadap kritik dan kontrol dari masyarakat. Demikian pula
sebaliknya masyarakat terbuka dan terbiasa menerima perbedaan pendapat.
Keterbukaan berarti ada keinginan dan tindakan dari pemerintah untuk saling
kontrol dan bertanggung jawab. Dengan kata lain, pemerintah bisa bertindak
demokratis apabila peran kontrol yang dilakukan oleh masyarakat secara
maksimal, proporsional, dan bertanggung jawab. Transparansi tidak hanya
diperlukan bagi pemerintah tetapi juga bagi masyarakat, dan untuk masyarakat
transparansi merupakan sarana akses untuk melakukan kontrol terhadap
pemerintah.
Salah satu kekhawatiran yang dianggap fundamental terhadap
pemerintahan yang modern saat ini adalah usaha untuk mendorong munculnya
kebiasaan menggunakan kekuasaan dan otoritas yang dimiliki oleh
penyelenggaraan pemerintahan untuk kepentingan kehidupan masyarakat.
Kebiasaan ini harus selalu diingatkan kepada pemerintah akan wujud
akuntabilitas ini. Terselenggaranya kebiasaan perilaku pemerintah untuk
melakukan akuntabilitas kepada masyarakatnya merupakan dasar penting bagi
terciptanya tata kepemerintahan yang baik dan demokratis.
Dalam perkembangan dinamika kehidupan politik pemerintahan dewasa
ini, disadari baik secara internal maupun eksternal kehidupan dunia birokrasi
pemerintahan, terdapat isu sentral yang menjadi perhatian publik, yaitu perlunya
reformasi birokrasi publik dalam pengelolaan pemerintahan. Urgensi reformasi
berkaitan dengan adanya tuntutan akan pengelolaan pemerintahan khususnya
birokrasi pemerintah dalam menjalankan fungsinya, yaitu pelayanan kepada
masyarakat (services), membuat kebijakan atau ketentuan bagi kepentingan
masyarakat (regulation), dan mengupayakan pemberdayaan (empowerment).
Melalui reformasi, masyarakat akan dapat mengetahui sejauhmana kinerja
birokrasi pemerintah, disamping masyarakat diletakkan pada kedudukan yang
sesungguhnya, yaitu sebagai pemilik pemerintahan (Rasyid, 2000 dan Kaloh,
2003).

Dinamika masyarakat sebagai kekuatan sosial tidak dapat diabaikan dalam


sistem kontrol dan akuntabilitas publik, baik dalam penyelenggaraan pelayanan
maupun dalam pelaksanaan pembangunan. Kesadaran masyarakat mengenai
pentingnya keterbukaan dan kebertanggungjawaban dari birokrasi pemerintahan.
Kondisi dan perkembangan masyarakat saat ini semakin dinamis sehingga sadar
mengenai apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam
hidup bermasyarakat dan bernegara. Selain itu masyarakat semakin berani untuk
mengajukan tuntutan, keinginan, dan aspirasinya kepada pemerintah. Dalam
hubungan itu birokrasi dituntut melakukan revitalisasi dalam menjalankan tugas
dan kewenangan yang diberikan kepadanya untuk mewujudkan harapan publik.
Oleh karena itu, dengan semangat demokratisasi juga membawa cakrawala baru
bagi birokrasi pemerintah untuk lebih responsif dalam rangka mempercepat
kemajuan masyarakat kearah yang lebih baik melalui pengembangan kemampuan
birokrasi publik.
B. Permasalahan
Reformasi mencakup berbagai aspek kehidupan kenegaraan secara total
dan fundamental. Hakikat reformasi merupakan upaya bangsa yang perlu
dilakukan tanpa henti untuk selalu mencari dan menemukan format baru di
berbagai bidang kehidupan dalam rangka menyempurnakan kualitasnya. Secara
fundamental reformasi merupakan pola pikir utama, untuk mengubah pola pikir
yang keliru, yang perlu direvisi menuju ke tata pikir yang lebih mendasar sesuai
dengan cita-cita dan kepentingan masyarakat dan bangsa.
Secara umum, reformasi birokrasi mencakup tiga hal, yaitu reformasi
administratif (administrative reform), akuntabilitas dan efisiensi. Salah satu
penekanan mengenai administrasi yakni adanya tuntutan untuk inovasi,
kreativitas dan pertanggungjawaban pada perubahan-perubahan kebutuhan di
antara para administrator. Reformasi birokrasi atau reformasi administratif
mengandung unsur tanggung jawab dan akuntabilitas. Reformasi administrasi
merupakan faktor penting yang dapat menunjang kesejahteraan rakyat. Namun di
sisi lain hasil dari reformasi administrasi masih banyak dipertanyakan. Oleh
karena itu, perlu dilakukan pembahasan lebih lanjut mengenai reformasi
administrasi. Pembahasan tentang reformasi administrasi tersebut berawal dari

permasalahan: (1) apakah masalah-masalah administrasi di Indonesia?; (2)


bagaimanakah urgensi reformasi administrasi di Indonesia?; dan (3)
bagaimanakah gerakan reformasi administrasi yang telah terjadi di Indonesia?
C. Kerangka Teori
1. Teori-Teori Dasar Administrasi Negara
a. Teori Administrasi
Setiap pemahaman tentang pemikiran manajemen dan administrasi
haruslah diawali dari pemikiran Frederick Winslow Taylor dan Henry
Fayol. Bilamana F.W. Taylor disebut sebagai bapak manajemen ilmiah
(father of scientific manajement), maka Henry Fayol disebut sebagai
bapak administrasi, atau oleh Koontz & ODonell (1980) menamakan
Fayol sebagai Father of modern operational management. Pada kurun
waktu yang hampir bersamaan dengan Taylor, Henry Fayol (1940-1952),
juga mengungkapkan perkembangan studi administrasi yang disebut
administrative management theory (teori manajemen administratif) atau
disebut juga teori administrasi umum.
b. Teori Birokrasi
Pendekatan birokrasi dalam studi administrasi dan manajemen
dipelopori oleh Max Weber (1864-1920), yang dikenal sebagai bapak
sosiologi modern. Meskipun pandangan Weber mempunyai pengaruh pada
ahli sosiologi dan politik, namun konsep birokrasinya dapat dikatakan
masih baru dipergunakan dalam studi administrasi dan manajemen.
Menurut Max Weber, birokrasi merupakan ciri dari pola organisasi yang
strukturnya dibuat sedemikian rupa sehingga secara maksimal dapat
memanfaatkan tenaga ahli. Organisasi harus diatur secara rasional,
impersonal, dan bebas dari sikap prasangka. Dengan demikian birokrasi
dimaksudkan sebagai suatu sistem otorita yang ditetapkan secara rasional
dalam berbagai peraturan untuk meng-organisasi secara teratur, bersifat
spesialisasi, hirarkhis dan terelaborasi.
Max Weber berpendapat bahwa birokrasi sebagai suatu bentuk
organisasi yang amat efesien, yang dapat digunakan lebih efektif bagi
organisasi yang kompleks sifatnya misalnya perusahaan, pemerintahan,

militer, sejalan dengan makin meningkatnya kebutuhan dari masyarakat


modern. Setiap aktivitas yang kompleks dan rutin sifatnya tentu
memerlukan koordinasi yang ketat terhadap aktivitas orang-orang dan
sangat terspecialisasi, maka bentuk organisasi yang diterapkan tidak lain
adalah organisasi birokratik (Kast dan Roznnweig, 1982). Organisasi
birokratik ini menurut Weber mendasarkan diri pada hubungan
kewenangan menempatkan, mengangkat pegawai dengan menentukan
tugas dan kewajiban dimana perintah dilakukan secara tertulis, ada
pengaturan mengenai hubungan kewenangan, dan promosi kepegawaian
didasarkan atas aturan-aturan tertentu. Tetapi tidak ada hubungannya
dengan prosedur yang berbelit-belit (red tape), penundaan pekerjaan atau
ketidak efisienan, seperti yang dibayangkan oleh banyak orang dewasa ini.
c. Pendekatan Hubungan Manusia (Human Relations Approach)
Pandangan baru terhadap pemikiran administrasi dan manajemen
kembali muncul di Amerika Serikat sekitar tahun 1830-an. Pandangan
baru tersebut dikenal sebagai pendekatan hubungan manusia (human
relations) yang dipelopori oleh Alton Mayo (1880-1949). Jika pendekatan
teori klasik (Tailor, Fayol) menekankan pada hubungan-hubungan formal
dan motivasi kerja didasarkan pada penyediaan kebutuhan ekonomi
(national economic man) maka teori ini melihat pentingnya hubungan
interpersonal di antara para anggota organisasi. Manusia dapat produktif
jika diperhatikan kebutuhan sosial. Kelompok kerja informal (lingkungan
sosial tempat kerja) mempengaruhi produktivitas kerja. Singkatnya,
hubungan manusia memfokuskan perhatian pada pribadi para pekerja,
reaksi mereka pada situasi kerja dan orang-orang disekitarnya.
2. Konsep Dasar Reformasi Administrasi Publik
Sebelum lebih jauh membahasa reformasi administrasi, barangkali
terlebih dahulu dijelaskan secara singkat tentang administrasi dan
karakteristiknya. Administrasi menurut Herbert Simon (1999 dalam Pasolong,
2010: 2) adalah kegiatan-kegiatan kelompok kerjasama untuk mencapai
tujuan-tujuan bersama. Siagian (2004) mendefinisikan administrasi sebagai
keseluruhan proses kerjasama antara dua orang manusia atas rasionalitas

tertentu mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pasolong sendiri


kemudian merangkum banyak definisi tentang administrasi dan
menjelaskannya bahwa administrasi adalah pekerjaan terencana yang
dilakukan oleh sekelompok orang dalam bekerjasama untuk mencapai tujuan
atas dasar efektif, efisien, dan rasional (Pasolong, 2010).
Dari pengertian ini, bisa dijelaskan bahwa karakteristik administrasi
sendiri antara lain: efisien, efektifitas, dan rasional. Efisien diartikan bahwa
tujuan atau motif administrasi adalah mencapai hasil yang efektif dan efisien.
Efisien juga bisa diartikan berdaya guna. Dengan kata lain, administrasi harus
menghasilkan sesuatu yang berdaya guna. Efektif diartikan sebagai berhasil
guna. Maka administrasi harus bisa dijalankan untuk menghasilkan sesuatu
yang diharapkan sesuai dengan tujuan. Sedangkan karakteristik rasional
artinya bahwa tujuan yang dicapai bermanfaat dan berguna serta dapat
dilaksanakan.
Dalam kaitannya dengan administrasi publik sendiri, bahwa usahausaha atau kegiatan-kegiatan kelompok yang dilakukan tersebut mengarah
pada persoalan pemerintah dan berorientasi pada kepentingan publik yang
seluas-luasnya. Karakteristik dari administrasi publik sendiri tidak berbeda
dengan karakteristik administrasi, yang kesemuanya diarahkan untuk tujuan
pelayanan publik yang prima dan kebijakan publik yang berdaya guna dan
berhasil guna bagi upaya-upaya melayani publik. Zauhar (1996)
mendefiniskan reformasi administrasi sebagai usaha sadar dan terencana
untuk mengubah sruktur dan prosedur birokrasi dan perilaku birokrat, guna
meningkatkan efektivitas organisasi atau menciptakan administrasi yang sehat
dan menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional. Dalam
konsepsinya ini, Zauhar lebih menekankan pada perubahan terhadap struktur
dan prosedur administrasi bagi terwujudnya sistem pembangunan negara yang
lebih besar.
Reformasi administrasi dilakukan sebagai respon terhadap persepsi
dan pandangan negatif banyak pihak terhadap sistem administrasi yang
selama ini terkesan lamban, bertingkat-tingkat, tidak professional, dan tidak
bersih/tidak akuntabel. Seperti halnya birokrasi, yang menurut Weber

merupakan bentuk aktifitas yang menuntut koordinasi yang ketat terhadap


kegiatan sejumlah besar orang, dan melibatkan keahlian khusus yang
memerlukan strukturasi dalam organisasi, administrasi publik pun merupakan
bagian dari birokrasi yang berhubungan dengan konsep-konsep pencatatan,
pembuatan peraturan dan kebijakan, serta administrasi pelayanan publik.
Administrasi publik masih menemukan banyak tantangan seperti:
keberagaman (diversity), akuntabilitas (accountability), masyarakat sipil (civil
society), privatisasi, birokratisasi, demokrasi, pengayaan kembali (reengineering), pemberdayaan akibat pesatnya perkembangan teknologi, dan
otonomi daerah. Krisis manajemen, kondisi budaya administrasi,
pengembangan sumberdaya manusia, dan sebagainya juga menjadi dorongandorongan sekaligus tantangan bagi sistem administrasi untuk menjadi lebih
baik. Perubahan bagi sistem administrasi publik yang telah ada tidak saja
ditekankan pada teknik-teknik administrasi (technical administration) dan
praktek-praktek administrasi (administration practices), melainkan pada
semua elemen seperti sumberdaya manusia, kepemimpinan, pola pikir,
orientasi, struktur birokrasi, perangkat yang digunakan, dan sebagainya. Itulah
sebabnya konsep-konsep pemberdayaan, pengembangan, pengkayaan, dan
lain-lain menjadi kunci utama bagi perubahan atau reformasi administrasi.
D. Pembahasan
1. Masalah Administrasi di Indonesia
Semua telah sepakat bahwa reformasi itu mencakup berbagai aspek
kehidupan kenegaraan secara total dan fundamental. Hakikat reformasi
merupakan upaya bangsa yang perlu dilaku-kan tiada henti untuk selalu
mencari dan menemukan format baru di berbagai bidang kehidupan dalam
rangka menyempurnakan kualitasnya. Secara fundamental reformasi
merupakan pola pikir utama, untuk mengubah tata pikir yang keliru, yang
perlu direvisi menuju ke tata pikir yang lebih mendasar sesuai dengan cita-cita
dan kepentingan masyarakat dan bangsa. Penyempurnaan kualitas
administrasi negara Indonesia, akhir-akhir ini dinilai kurang menggembirakan.
Oleh karena itu, agenda kebijaksanaan reformasi administrasi (administrative
reform) perlu disusun dan diarahkan menuju ke peningkatan kinerja

pemerintah secara riil demi tercapainya tujuan yang efektif dan efisien. Sejauh
mungkin tujuan harus tercapai sesuai dengan kriteria public accountability
and responsibility yang harus dipenuhi oleh setiap aparat pemerintah/birokrasi
negara di semua lini. Untuk mencapai tujuan itu, reformasi administrasi
utamanya perlu dilaksanakan pada penyempurnaan manajemen pelayanan
publik. Hal ini disebabkan karena masyarakat selalu mengharapkan
memperoleh pelayanan yang sebaik-baiknya dari aparat pemerintah.
Di dalam proses transisi, demokrasi bukanlah hal mudah untuk
membangun kembali sistem administrasi negara yang mampu mengantarkan
terwujudnya tujuan berbangsa dan bernegara. Tuntutan demokratisasi yang
bergulir di akhir tahun 1990-an telah menciptakan perubahan mendasar dalam
konsep dan praktek sistem administrasi negara. Administrasi negara diartikan
secara lebih luas sebagai proses penyelenggaraan kekuasaan negara yang
dilaksanakan melalui lembaga-lembaga negara dalam rangka melayani
kebutuhan masyarakat. Pandangan ini mendapatkan pijakan konstitusional
dalam UUD 1945 hasil amandemen dimana kekuasaan tidak lagi
terkonsentrasi di tangan presiden melainkan didistribusikan kepada berbagai
lembaga negara. Perubahan-perubahan yang diciptakan melalui amandemen
UUD 1945 telah melahirkan suatu proses desentralisasi, demonopolisasi,
debirokratisasi kekuasaan Negara.
Kemerosotan kinerja pemerintahan sebenarnya mulai terasa pada
Pemerintahan Rekonsiliasi Nasional di bawah pimpinan Presiden
Abdurrahman Wahid. Gaya kepemimpinan Gus Dur yang kurang sabar
karena kebiasaan mengadakan perubahan-perubahan secara erratic dan tidak
terencana, seperti mengadakan 5 jabatan sekretaris yang setingkat pada
Sekretariat Negara, resuffle Kabinet yang dilakukan beberapa kali, dan
intervensi Presiden dalam penunjukan jabatan teras pada birokrasi pusat dan
daerah daerah, adalah faktor utama yang mendorong terjadinya kondisi entrofi
tersebut. Pada pemerintahan Kabinet Gotong Royong yang terdiri dari para
menteri dari kalangan profesional yang memepunyai reputasi tinggi dibawah
pimpinan Presiden Megawati, entrofi pemerintahan mulai menghilang karena
kepercayaan rakyat mulai menguat kembali. Sayangnya, pada pemerintahan

KIB, masalah kinerja pemerintah muncul kembali karena didorong oleh dua
faktor penyebab: pertama, rendahnya kepercayaan masyarakat pada
kemampuan para pembantu Presiden. Kedua, yang justru merupakan faktor
penyebab utama, adalah karena UUD hasil amandemen nampaknya kurang
memberikan landasan konstitusional untuk sistem pemerintahan yang
memiliki kapasitas tinggi, yaitu suatu pemerintahan negara yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi serta keadilan sosial. Sudah cukup banyak penilaian terhadap kinerja
KIB oleh berbagai media cetak dan elektronik, serta para pengamat pada
berbagai fora. Penilaian tersebut sudah cukup untuk memberi gambaran
pandangan masyarakat tentang kondisi pemerintahan pada saat ini.
Faktor lainnya yang sebenarnya merupakan akar permasalahan
rendahnya kinerja pemerintah adalah amandemen UUD hasil amandemen
sebanyak 4 kali selama kurun waktu 1999 sampai 2004, yang menciptakan
pemerintahan parlementer semu. UUD hasil amandemen telah merubah secara
mendasar sistem pemerintahan Negara menjadi sistem presidensial, padahal
oleh para founding fathers sistem tersebut dipandang kurang pas sebagai
sistem pemerintahan Negara Bangsa yang berlandaskan faham Kekeluargaan
untuk menciptakan keadilan sosial. Apabila diikuti mengenai pembahasan
pada sidang-sidang BPUPK pada pertengahan Juli sampai 15 Agustus, 1945
sewaktu menyusun sistem pemerintahan untuk Negara Republik Indonesia,
dan pembahasan pada sidang-sidang PPKI pada 1820 Agustus 1945,
sebagaimana terekam dalam notulen otentik yang hampir selama 56 tahun
hilang, dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan untuk Negara
Bangsa Republik Indonesia adalah yang oleh Dr. Soekiman, anggota BPUPK
yang mewakili Yogyakarta, disebut sistem sendiri.
Dalam literatur ilmu politik sistem pemerintahan tersebut disebutkan
pertama kali oleh ilmuwan politik Prancis, Maurice Duverger, sebagai sistem
pemerintahan semi-presidensial. Sistem pemerintahan tersebut dipilih karena
dipandang akan mampu mengatasi kelemahan-kelemahan sistem parlementer

yang dipandang tidak mengenal pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan


legislatif, karena yang memegang portofolio penting dalam eksekutif adalah
anggota legislatif, sehingga tidak menjamin tumbuhnya check-and-balance
yang merupakan persyaratan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan
yang baik. Para penyusun konstitusi tidak memilih sistem presidensial karena
memperkirakan pada sistem tersebut terbuka lebar peluang terjadinya
political gridlocks apabila presiden terpilih berasal dari partai minoritas;
sedangkan yang berkuasa di lembaga legislatif adalah partai mayoritas.
Hubungan yang kurang serasi antara eksekutif dan legislatif pada
tahun pertama pemerintahan KIB memang merupakan salah satu contoh
fenomena kemacetan politik yang dikhawatirkan oleh para pendahulu.
Political gridlock itulah yang dialami bangsa Indonesia sejak KIB terbentuk
karena dalam sistem parlementer semu Presiden tidak saja menghadapi
kendala dari DPR, tetapi juga karena para menteri dalam kabinetnya lebih
loyal kepada politik partai masing-masing. Selain harus menghadapi ancaman
instabilitas politik, Pemerintah KIB yang terdiri atas Presiden yang berasal
dari partai minoritas dan Wakil Presiden yang seorang Ketua Umum salah
satu Partai mayoritas, masih harus menghadapi tekanan masyarakat
internasional yang sedang mengalami pergeseran pandangan tentang misi dan
sistem pemerintah dalam pembangunan negara-negara berkembang.
Dirangsang oleh pemikiran-pemikiran Osborne dan Gaebler melalui
buku mereka Reinventing Government (2003) dan Osborne & Plastrik
melalui buku berjudul provokatif Banishing Bureaucracy: the Five Stages of
Reinventing Government (2005), berkembanglah pemikiran yang cukup
berpengaruh di lingkungan lembaga-lembaga keuangan internasional bahwa
pemerintah yang baik adalah pemerintah yang ramping. Lembaga-lembaga
multilateral maupun bilateral dengan cepat menerima pandangan tersebut dan
menerapkannya dalam program bantuan mereka dan menjadikannya bagian
dari paket program pengembangan good governance, yang secara sempit
diartikan sama dengan small government atau clean government. Programprogram reformasi ekonomi yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga
internasional di Indonesia khususnya privatisasi dan debirokratisasi, juga

tidak terlepas dari pemikiran dasar ini, padahal dalam kenyataannya peranan
Pemerintah Indonesia, khususnya dala hal anggaran pemerintah cukup kecil,
dan tidak mencapai 20% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini berarti
berada jauh di bawah negara-negara OECD yang sekarang masih cukup tinggi
yaitu rata- rata 47,7%. Demikian juga bila diukur dari rasio penduduk per
pegawai, Indonesia ternyata berada di bawah rasio di negara-negara maju.
Dalam keadaan organisasi pemerintah terlalu kecil untuk mampu
melaksanakan tugas-tugas pokoknya, Pemerintah Indonesia mendapat
desakan kuat dari luar untuk melakukan debirokratisasi dan deregulasi.
Berdasarkan perbandingan tersebut, dapat ditarik suatu pemahaman bahwa
arah kebijakan reformasi kelembagaan atau reformasi aparatur negara di
negara-negara maju yang tujuannya adalah memperkecil peranan negara
dalam pembanguan ekonomi, memang tidak sepenuhnya dapat diterapkan di
Indonesia. Bilamana arah kebijakan tersebut tetap dipaksakan oleh kekuatan
luar terhadap Indonesia, maka dapat dipastikan entrofi pemerintahan akan
semakin berlanjut dan Indonesia akan betul-betul menjadi Negara yang gagal,
atau tidak mampu lagi melaku-kan tugas-tugas untuk mencapai cita-cita
bangsa.
2. Urgensi Reformasi Administrasi
Salah satu isu menonjol yang mengemuka saat ini ialah ketika
reformasi politik dan reformasi sektor keamanan sedang bergulir, birokrasi
justru tidak mengalami reformasi. Secara umum reformasi birokrasi
mencakup tiga hal, yaitu reformasi administratif (administrative reform),
akuntabilitas dan efisiensi. Administrasi sendiri diharapkan terlibat dalam
pembaruan diri secara terus-menerus (continual self-renewal). Birokrasi atau
administrasi negara harus menjadi proaktif daripada reaktif, mengantisipasi
masalah yang akan muncul daripada meresponnya, apakah persoalan itu
muncul di perkotaan atau di perdesaan, apakah itu bersifat sosial, ekonomi,
budaya maupun pertahanan.
Menurut De Gusman dan Reforma, ada beberapa elemen umum dari
reformasi administrasi yang harus dilakukan. Pertama, adanya perubahan
yang terencana yang dilakukan secara cermat terhadap birokrasi publik.

Dengan kata lain, reformasi bukanlah tindakan yang begitu saja dilakukan,
melainkan ada perencanaan strategi pencapaian yang jelas rentang waktunya.
Perubahan dilakukan bukan karena keinginan berubah, tetapi perubahan
dilakukan untuk memperbaiki sistem yang lebih besar dan semua komponen
sistem yang terlibat. Kedua, reformasi administrasi dilakukan dengan inovasi,
atau temuan-temuan baru dan pikiran-pikiran kreatif yang lebih segar dan
inovatif. Reformasi menuntut adanya kesepahaman dan itikad bersama
menuju pada perubahan dengan konsep-konsep yang lebih baru, semangat
baru, dan motivasi yang lebih kreatif. Ketiga, reformasi administrasi
diharapkan dapat menghasilkan keluaran atau output berupa perbaikan
efisiensi dan efektivitas pelayanan publik. Karena administrasi adalah
kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka
otomatis harus ada jaminan bagi kegunaan dan hasil yang baik. Keempat,
reformasi administrasi dilakukan karena kebutuhannya atau urgensinya
dibenarkan dengan adanya tuntutan untuk mengatasi ketidakpastian dan
perubahan yang cepat yang terjadi dalam lingkungan organisasi. Manakala
administrasi dijalankan, maka segala yang berkaitan dengan ketidakpastian
dan perubahan yang cepat pun diharapkan bisa teratasi.
Perubahan atau reformasi terhadap administrasi publik sendiri bisa
dilakukan pada aspek-aspek berikut: pertama, reformasi administrasi atau
perbaikan sistem administrasi bisa dilakukan pada aspek-aspek seperti
struktur birokrasi, strategi pelaksanaan dan pencapaian motif yang dibuat,
fungsi dari administrasi sendiri, proses administasi dan sistem dan prosedur
serta budaya organisasi yang kesemuanya bertujuan memperkuat kapasitas
administrasi pemerintah. Kedua, agenda utama dalam reformasi administrasi
adalah perubahan mendasar dan luas terhadap administrasi publik, seperti
inovasi organisasi, pembangunan institusi, perbaikan teknologi dan
manajemen organisasi, serta melibatkan sistem reformasi dalam arti yang
lebih luas dari administrasi publik.
Hahn-Lee Bee menjelaskan bahwa tujuan dari reformasi administrasi
sendiri sebenarnya ada tiga hal yakni (1) perbaikan tatanan yang dianggap
sebagai sifat intrinsik pemerintah dalam masyarakat tradisional dan modern;

(2) perbaikan metode atai pembaharuan teknik administrasi perlu juga


dilakukan; dan (3) tujuan reformasi administrasi adalah untuk perbaikan
kinerja atau reformasi programatik. Sementara itu, Turner & Hule,
mengungkapkan bahwa yang dilakukan dalam reformasi administrasi antara
lain: (1) restrukturisasi, struktur yang awalnya menghambat dan berbelit-belit,
harus dirubah menjadi struktur yang lebih ramping tetapi efisien dan efektif;
(2) Partisipasi dari semua unsur pelaksana dan pembuat kebijakan
administrasi publik perlu terlibat; (3) sumberdaya manusia yang diperlukan
adalah yang lebih professional dan lebih cekatan; (4) akuntabilitas
administrasi diperlukan bagi terciptanya sistem yang bertanggungjawab dan
transparan; (5) kemitraan antara pemerintah dan swasta, sehingga tidak ada
lagi segregasi yang lebih kuat sehingga gap keduanya semakin besar yang
akhirnya merugikan kedua pihak.
Osborne & Plastrik juga menuliskan reformasi administrasi diarahkan
pada perwujudan 10 prinsip bagi kebaikan sistem administrasi/birokrasi.
Menurut mereka, reformasi administrasi haruslah menghasilkan pemerintahan
yang bersifat antara lain: katalistik, milik rakyat, kompetitif, digerakkan oleh
misi, berorientasi hasil, berorientasi pada pelanggan, wirausaha, antisipatif,
desentralisasi dan berorientasi pasar. Jika 10 prinsip ini dimiliki dan
dijalankan dalam reformasi administrasi, maka tujuan yang diharapkan akan
bisa berhasil guna dengan baik. Administrasi publik dapat berperan positif
dalam mengawal proses demokratisasi sampai pada tujuan yang dicitacitakan, karena pada dasarnya administrasi publik berurusan dengan persoalan
bagaimana menentukan to do the right things dan to do the things right.
Dengan kata yang berbeda, administrasi publik bukan saja berurusan dengan
cara-cara yang efisien untuk melakukan proses demokratisasi, melainkan juga
mempunyai kemampuan dalam menentukan tujuan proses demokratisasi itu
sendiri, terutama dalam bentuk penyelenggaraan pelayanan publik secara
efektif sebagai wujud dari penjaminan hak-hak konstitusional seluruh warga
negara.
OToole (1997) menyatakan bahwa telah ada kecenderungan
administrasi publik yang berkembang saat ini telah mendukung proses

demokratisasi, karena sudah tidak terlalu hirarkis dan parokial, tetapi lebih
mirip sebuah jaringan (network). Kecenderungan ini mempunyai implikasi
yang sangat penting dan positif terhadap perkembangan demokrasi, termasuk
tanggungjawab yang berubah terhadap kepentingan publik, terhadap
pemenuhan prefrensi publik, dan terhadap perluasan liberalisasi politik,
kewargaan, dan tingkat kepercayaan publik. Administrasi publik yang
berbentuk jaringan dapat mengatasi hambatan menuju pengelolaan yang
demokratik, dan dapat membuka kemungkinan untuk memperkuat
pemerintahan yang bergantung kepada nilai-nilai dan tindakan-tindakan
administrasi publik.
3. Gerakan Reformasi Administrasi di Indonesia
Salah satu gerakan reformasi administrasi publik yang juga sempat
populer di awal 90-an muncul dalam kemasan reinventing government yang
berakar pada tradisi dan perspektif New Public Management yang merupakan
kristalisasi dari praktek administrasi publik di Amerika Serikat. Para
pendukung gerakan ini berpendapat, bahwa institusi-institusi administratif
yang didirikan dalam kerangka birokrasi dengan model komando dan
pengawasan telah berubah secara signifikan selama abad ke 20, dan harus
terus diubah. Birokrasi jenis ini tidak lagi efektif, efisien dan sudah
ketinggalan zaman dalam tatanan ekonomi-politik dunia yang semakin
mengglobal.
Oleh karena itu, birokrasi di Amerika Serikat harus melakukan
reformasi institusi administrasi publik agar lebih memiliki karakter
kewirausahaan. Menurut Kartono (2006) gerakan reformasi administrasi di
dunia global didorong oleh empat tekanan, yakni politik, ekonomi, sosial, dan
institusional. Tidak jauh bedanya dengan gerakan reformasi administrasi di
Indonesia. Terjadinya gerakan reformasi ini diakibatkan oleh beberapa
tekanan yang muncul: Pertama, tuntutan akan perubahan sistem politik yang
lebih demokratis pada semua aspek kehidupan bangsa mulai disuarakan ketika
terjadinya krisis ekonomi kala tahun 1997. Kekuasaan rejim Orde Baru
Suharto yang kala itu begitu kuat, otoriter, sentralistik, dan tidak memberikan
akses kepada rakyat untuk berpartisipasi lebih besar dalam aktifitas

pemerintahan, tetapi hanya mengutamakan atau member privilege kepada


kroni dan keluarga dekatnya. Tuntutan untuk lebih demokratis menyebabkan
keinginan untuk merubah orientasi administrasi/birokrasi publik yang ada.
Kedua, adanya perubahan sosial dalam masyarakat yang begitu dinamis pada
masa setelah tumbangnya Orde Baru menyadarkan banyak pihak akan
perlunya dan bergunanya perubahan bagi tatanan-tatanan sosial yang ada.
Keterbukaan, akses yang lebih lebar, dan tuntutan pada perbaikan standard
hidup dan kelayakan hidup masyarakat, membuat urgensi perubahan dalam
birokrasi dan kebijakan publik yang dilakukan.
Ketiga, krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 dan disusul
kemudian pada tahun 2008 menyebabkan dorongan-dorongan besar lapisan
masyarakat akan perubahan. Krisis ekonomi global telah menyebabkan
terpuruknya kondisi ekonomi negara dan rakyat. Itulah sebabnya diperlukan
perangkat dan sistem administrasi publik yang lebih baik untuk mengatasi
krisis yang ada. Dari sinilah gerakan perubahan mulai bordering. Keempat,
tuntutan bahwa negara-negara di dunia harus terlibat dalam perdagangan dan
pasar bebas global dan terlibat dalam organisasi-organisasi dunia
menyebabkan tuntutan kepada sistem dan proses administrasi publik yang
lebih professional dan berstandar internasional. Keluarnya beberapa investor
besar asing di Indonesia misalnya, adalah salah satu contoh karena sistem
administrasi dan birokrasi tanah air yang tidak professional, lamban, berbelitbelit dan terlalu banyak pungutan liar yang tidak jelas. Pindahnya pabrik Sony
ke Singapura, dan diikuti oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Nike,
Samsung, dan sebagainya, telah menyebabkan bertambahnya pengangguran di
Indonesia dan berkurangnya devisa negara.
Kelima, tuntutan daerah untuk menjalankan roda pemerintahannnya
sendiri tanpa tergantung pada pemerintah, juga telah banyak merubah
birokrasi dan administrasi di pusat dan daerah. Otonomi daerah merupakan
salah satu dorongan penting bagi pelaksanaan reformasi administrasi yang
lebih baik dan mendukung pencapaian tujuan pemerintahan. Dalam banyak
hal, reformasi politik yang bergulir sampai saat ini, sekali lagi tampak berada
dalam jalur yang benar. Faktor yang dibutuhkan adalah kesabaran untuk

bertahan dan konsistensi untuk melakukan langkah-langkah sistematik yang


diperlukan. Proses demokratisasi di Indonesia tidak hanya diuji melalui
pemilihan presiden secara langsung, namun terutama ditantang untuk mampu
keluar dari berbagai masalah agar dapat memenangkan pertarungan dengan
bangsa-bangsa lain.
Salah satu rangkaian gerakan reformasi adminstrasi di Indonesia,
ketika tahun 1999, Pemerintah di Bawah Presiden BJ Habibi, menetapkan
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah.
Kebijakan ini dipilih dalam rangka mengurangi sentralisasi dan diperluasnya
peran masyarakat di daerah-daerah dalam melaksanakan pembangunan di
daerahnya. Kebutuhan ini mengandung dua hal, yaitu demokratisasi di aras
lokal dan pengakuan keanekaragaman. Sebagai respon terhadap kebutuhan
tersebut, Pemerintah dan DPR menetapkan kebijakan otonomi Daerah di
Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan UndangUndang Nomor 25 tahun 1999. Undang-undang tersebut telah melakukan
penataan sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia dengan perubahan yang
cukup signifikan dibandingkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974.
Kehadiran Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, menandai
perubahan ke 7 terhadap penataan Pemerintahan di Indonesia sejak Indonesia
berdiri. Catatan perubahan tersebut terjadi sebagai berikut.
a. UU Nomor 1 tahun 1945 Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih
menitikberatkan pada dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan
tangan pemerintahan pusat.
b. UU Nomor 22 tahun 1948 Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah
lebih menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme
peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi
juga masih menjadi alat pemerintah pusat.
c. UU Nomor 1 tahun 1957 Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih
bersifat dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada
DPRD, tetapi juga masih menjadi alat pemerintah pusat.
d. Penetapan Presiden Nomor6 tahun 1959 Pada masa ini kebijakan otonomi
daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala

daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong


praja.
e. UU Nomor 18 tahun 1965 Pada masa ini kebijakan otonomi daerah
menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang
seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya
sebagai pelengkap saja.
f. UU Nomor 5 tahun 1974 Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya
telah terjadi kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan
di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU Nomor 5 tahun 1974 yaitu
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengan
kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru, maka pada masa berlakunya UU
Nomor 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan
politik. Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi proses
depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran
pembangunan yang menjadi isu nasional.
g. UU Nomor 22 tahun 1999 Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang
menjadikan pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengedapankan
otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
Perubahan tersebut belum menjadi langkah akhir dari reformasi
pemerintahan daerah, sebab pada tahun 2004 telah ditetapkan Undang-undang
baru No 32 tahun 2004 pengganti UU Nomor 22 tahun 1999, demikian juga
adanya perubahan pada UU Nomor 25 tahun 1999 diganti UU No 33 tahun
2004. Perubahan secara prinsip dalam pengelolaan pemerintahan daerah
tersebut menimbulkan pertanyaan penting terkait dengan efektifitas reformasi
adminstrasi yang dilaksankanan. Secara spesifik, paper ini membahas tentang
implementasi pasal 5 Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Pasal 4-6
tentang pembentukan Daerah. Dalam pasal ini, yang secara aktif telah
dilakukan adalah tentang pemekaran daerah.
E. Kesimpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, reformasi
administrasi publik dapat menempati tempat yang sangat strategis dalam gerakan

demokratisasi politik, asalkan memenuhi setidaknya tiga persyaratan. Pertama,


mampu melakukan perencanaan strategis yang menyeluruh. Kedua, mempunyai
struktur organisasi yang tidak terlalu hirarkis dan parokial. Ketiga, membebaskan
diri dari pendekatan dan kultur militeristik dalam melakukan pelayanan publik.
Berkaitan dengan perencanaan strategis, Indonesia mempunyai pengalaman dan
institusi perencanaan seperti Bappenas di tingkat pusat, dan BKD di tingkat
daerah. Hal yang diperlukan adalah revitalisasi dan reposisi fungsi-fungsi
institusional yang disesuaikan dengan konteks demokrasi yang dikehendaki.
Mekanisme perencanaan bottom-up atau lebih banyak memberikan kesempatan
kepada masyarakat sipil untuk berperan aktif dalam kegiatan pembangunan dan
proses reformasi administasi itu sendiri, dapat terus dijalankan bukan sekedar
basa-basi atau mencari legitimasi.
Terakhir bahwa syarat yang juga penting adalah struktur dan kultur
birokrasi di Indonesia harus mau berubah dan berinovasi. Kesabaran dan
ketekunan untuk melakukan perubahan secara inkremental untuk mengurangi
(jika tidak dapat menghindari) biaya sosial, politik, dan ekonomi yang tinggi
masih sangat dibutuhkan. Dalam kaitan dengan ini, pembicaraan mengenai isu
reformasi administrasi publik menjadi relevan.

DAFTAR PUSTAKA
Kaloh J. 2003. Kepala Daerah: Pola Kegiatan dan Kekuasaan dalam Pelaksanaan
Otonomi Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kartono, Drajat Tri. 2006. Reformasi Administrasi: Dari Reinventing ke
Pesimisme. Spirit Publik, Vol. 2/No.1, Hal. 51-62.
Kettl F. Donald. 2000. The Global Management Revolution: A Report on The
Transformation of Governance. Washington: The Brookings Instittution.

Osborne, David & Gabler, Ted. 2003. Reinventing Government: How The
Enterpreneurial Spirit is Transforming The Public Sector. Jakarta: PPM.
Osborne, David & Plastrik, Peter. 2005. Banishing Bureaucracy: the Five Strategies
for Reinventing Governement. Jakarta: PPM.
Pasolong, Harbani. 2010. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta.
Rasyid. R.M. 2000. Makna Pemerintahan. Jakarta: Yasrif Watampone.
Santosa. Pandji. 2009. Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance.
Bandung: Aditama.
Surjadi. 2009. Pengembangan Kinerja Pelayanan Publik. Bandung: Aditama.
Thoha, Miftah. 2002. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Utomo, Warsito. 2009. Administrasi Publik Baru Indonesia: Perubahan Paradigma
dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Susilo, Zauhar. 1996. Reformasi Administrasi: Konsep, Dimensi, Strategi. Jakarta:
Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai