oleh rezim yang berkuasa. Kebutuhan akan adanya demokrasi juga lahir dari
adanya penolakan terhadap relasi-relasi kekuasaan yang angkuh dan represif,
tentang relasi-relasi ekonomi yang timpang dan jauh dari rasa adil, serta tentang
relasi-relasi sosial dangkal dan didominasi oleh ritual kolektif namun sangat
merendahkan martabat manusia sebagai pribadi. Sedangkan anarkisme sosial
terjadi sebagai akibat hancurnya kepastian normatif dan kepantasan berperilaku di
dalam masyarakat, berbarengan dengan runtuhnya rezim dominan yang berkuasa.
Cukup banyak permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia pada lima
tahun pertama reformasi. Eksistensi dan relevansi institusi-institusi sosial yang
ada dipertanyakan kembali, sementara institusi-institusi baru belum muncul untuk
mewadahi kearifan-kearifan dan nilai-nilai baru yang lahir bersama dengan
perubahan-perubahan yang terjadi. Dalam pandangan sosiologi, situasi seperti ini
disebut sebagai situasi anomie. Salah satu pertanyaan kritis yang muncul terkait
dengan kondisi tersebut adalah apakah gerakan reformasi akan berakhir dengan
mengkristalnya demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa atau
berakhir dengan anarkisme berkepanjangan dan berakhir dengan kegagalan?
Setelah lima tahun pertama dilewati, euforia reformasi di Indonesia mulai
reda. Demokratisasi di Indonesia yang dicerminkan oleh penyelenggaraan
pemilihan Presiden secara langsung diakui oleh berbagai pihak sebagai suatu
keberhasilan politik seluruh rakyat. Hal ini sekaligus menjadi indikasi bahwa
reformasi berada di jalur yang dikehendaki. Satu faktor yang menarik untuk
dicermati dalam hal ini adalah, setelah pemilihan presiden dilakukan secara
langsung dengan mekanisme yang relatif demokratis, dinamika politik berpindah
dari rakyat yang turun ke jalan raya menuju ruang-ruang sidang komisi dan
paripurna di gedung DPR.
Reformasi tidak lagi dianggap sebagai intimidasi. Tokoh-tokoh yang dulu
merupakan bagian dari kekuatan yang pendukung status quo dapat
mengidentifikasi diri sebagai tokoh reformasi tanpa perlu di lakukan suatu
identifikasi khusus. Dari segi positif hal ini dapat dilihat sebagai sebuah
konsolidasi yang dapat memberi tenaga pada setiap upaya pembaharuan menuju
kristalisasi demokrasi. Di sisi lain, secara negatif hal tersebut dapat dilihat sebagai
sebuah kompromi yang dapat menjadikan reformasi sebagai gerakan setengah
hati yang tidak punya kekuatan yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan.
Namun patut disadari bahwa terlepas dari permasalahan-permasalahan yang telah
dikemukakan, saat ini setiap rakyat Indonesia dapat menjadi saksi tentang apa
yang sedang terjadi di negeri ini.
Dalam bidang hukum, Undang-Undang Dasar 1945 sudah mengalami
revisi. Diikuti oleh pemberlakuan puluhan undang-undang yang mengatur soal
otonomi sampai dengan masalah pornografi dan pornoaksi. Bidang ekonomi
sendiri, tidak terjadi kemajuan yang berarti. Khususnya pada sektor riil,
kemampuan pemerintah Indonesia bergerak amat perlahan karena rendahnya daya
beli masyarakat dan semakin berlipatnya jumlah pengangguran. Konsep NKRI
juga dihadapkan pada berbagai tantangan, baik yang berasal dari luar maupun dari
dalam. Lepasnya Provinsi Timor Timur melalui referendum dan Pulau Sipadan
dan Ligitan yang jatuh ke tangan negara tetangga merupakan contoh atas
ancaman kedaulatan Indonesia. Begitu pula halnya dengan berbagai konflik yang
masih banyak terjadi dan terus berkelanjutan.
Keadaan-keadaan di atas secara tidak langsung menyiratkan bahwa
keberhasilan mewujudkan proses demokrasi dalam memilih presiden barulah
permulaan. Proses demokratisasi tidak hidup untuk dirinya sendiri, namun masih
harus diuji melalui kemampuannya untuk menjamin dan memberi perlindungan
terhadap hak-hak konstitusional setiap warga negara. Pertanyaannya selanjutnya
terkait dengan hal ini adalah langkah-langkah apa yang harus dilakukan agar
proses demokratisasi yang selama ini dilakukan bermuara pada apa yang dicitacitakan?
Pada dasarnya, reformasi sendiri lahir sebagai jawaban atas kebutuhan
rakyat akan demokratisasi. Hal ini tentunya harus diawali dengan adanya suatu
sistem administrasi publik yang baik. Di tengah-tengah semakin berat dan
kompleksnya tantangan bangsa Indonesia menghadapi era global saat ini,
pemerintah perlu mengedepankan pembaharuan, pemikiran-pemikiran yang
inovatif dan produktif pada lembaga pemerintah baik pusat dan daerah. Dengan
kata lain, reformasi administrasi di Indonesia harus sesegera mungkin menjadi
pilihan para penyelenggara pemerintahan baik pusat maupun daerah guna
mewujudkan pemerintahan yang bersih, sehat, dan berwibawa.
pemerintah secara riil demi tercapainya tujuan yang efektif dan efisien. Sejauh
mungkin tujuan harus tercapai sesuai dengan kriteria public accountability
and responsibility yang harus dipenuhi oleh setiap aparat pemerintah/birokrasi
negara di semua lini. Untuk mencapai tujuan itu, reformasi administrasi
utamanya perlu dilaksanakan pada penyempurnaan manajemen pelayanan
publik. Hal ini disebabkan karena masyarakat selalu mengharapkan
memperoleh pelayanan yang sebaik-baiknya dari aparat pemerintah.
Di dalam proses transisi, demokrasi bukanlah hal mudah untuk
membangun kembali sistem administrasi negara yang mampu mengantarkan
terwujudnya tujuan berbangsa dan bernegara. Tuntutan demokratisasi yang
bergulir di akhir tahun 1990-an telah menciptakan perubahan mendasar dalam
konsep dan praktek sistem administrasi negara. Administrasi negara diartikan
secara lebih luas sebagai proses penyelenggaraan kekuasaan negara yang
dilaksanakan melalui lembaga-lembaga negara dalam rangka melayani
kebutuhan masyarakat. Pandangan ini mendapatkan pijakan konstitusional
dalam UUD 1945 hasil amandemen dimana kekuasaan tidak lagi
terkonsentrasi di tangan presiden melainkan didistribusikan kepada berbagai
lembaga negara. Perubahan-perubahan yang diciptakan melalui amandemen
UUD 1945 telah melahirkan suatu proses desentralisasi, demonopolisasi,
debirokratisasi kekuasaan Negara.
Kemerosotan kinerja pemerintahan sebenarnya mulai terasa pada
Pemerintahan Rekonsiliasi Nasional di bawah pimpinan Presiden
Abdurrahman Wahid. Gaya kepemimpinan Gus Dur yang kurang sabar
karena kebiasaan mengadakan perubahan-perubahan secara erratic dan tidak
terencana, seperti mengadakan 5 jabatan sekretaris yang setingkat pada
Sekretariat Negara, resuffle Kabinet yang dilakukan beberapa kali, dan
intervensi Presiden dalam penunjukan jabatan teras pada birokrasi pusat dan
daerah daerah, adalah faktor utama yang mendorong terjadinya kondisi entrofi
tersebut. Pada pemerintahan Kabinet Gotong Royong yang terdiri dari para
menteri dari kalangan profesional yang memepunyai reputasi tinggi dibawah
pimpinan Presiden Megawati, entrofi pemerintahan mulai menghilang karena
kepercayaan rakyat mulai menguat kembali. Sayangnya, pada pemerintahan
KIB, masalah kinerja pemerintah muncul kembali karena didorong oleh dua
faktor penyebab: pertama, rendahnya kepercayaan masyarakat pada
kemampuan para pembantu Presiden. Kedua, yang justru merupakan faktor
penyebab utama, adalah karena UUD hasil amandemen nampaknya kurang
memberikan landasan konstitusional untuk sistem pemerintahan yang
memiliki kapasitas tinggi, yaitu suatu pemerintahan negara yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi serta keadilan sosial. Sudah cukup banyak penilaian terhadap kinerja
KIB oleh berbagai media cetak dan elektronik, serta para pengamat pada
berbagai fora. Penilaian tersebut sudah cukup untuk memberi gambaran
pandangan masyarakat tentang kondisi pemerintahan pada saat ini.
Faktor lainnya yang sebenarnya merupakan akar permasalahan
rendahnya kinerja pemerintah adalah amandemen UUD hasil amandemen
sebanyak 4 kali selama kurun waktu 1999 sampai 2004, yang menciptakan
pemerintahan parlementer semu. UUD hasil amandemen telah merubah secara
mendasar sistem pemerintahan Negara menjadi sistem presidensial, padahal
oleh para founding fathers sistem tersebut dipandang kurang pas sebagai
sistem pemerintahan Negara Bangsa yang berlandaskan faham Kekeluargaan
untuk menciptakan keadilan sosial. Apabila diikuti mengenai pembahasan
pada sidang-sidang BPUPK pada pertengahan Juli sampai 15 Agustus, 1945
sewaktu menyusun sistem pemerintahan untuk Negara Republik Indonesia,
dan pembahasan pada sidang-sidang PPKI pada 1820 Agustus 1945,
sebagaimana terekam dalam notulen otentik yang hampir selama 56 tahun
hilang, dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan untuk Negara
Bangsa Republik Indonesia adalah yang oleh Dr. Soekiman, anggota BPUPK
yang mewakili Yogyakarta, disebut sistem sendiri.
Dalam literatur ilmu politik sistem pemerintahan tersebut disebutkan
pertama kali oleh ilmuwan politik Prancis, Maurice Duverger, sebagai sistem
pemerintahan semi-presidensial. Sistem pemerintahan tersebut dipilih karena
dipandang akan mampu mengatasi kelemahan-kelemahan sistem parlementer
tidak terlepas dari pemikiran dasar ini, padahal dalam kenyataannya peranan
Pemerintah Indonesia, khususnya dala hal anggaran pemerintah cukup kecil,
dan tidak mencapai 20% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini berarti
berada jauh di bawah negara-negara OECD yang sekarang masih cukup tinggi
yaitu rata- rata 47,7%. Demikian juga bila diukur dari rasio penduduk per
pegawai, Indonesia ternyata berada di bawah rasio di negara-negara maju.
Dalam keadaan organisasi pemerintah terlalu kecil untuk mampu
melaksanakan tugas-tugas pokoknya, Pemerintah Indonesia mendapat
desakan kuat dari luar untuk melakukan debirokratisasi dan deregulasi.
Berdasarkan perbandingan tersebut, dapat ditarik suatu pemahaman bahwa
arah kebijakan reformasi kelembagaan atau reformasi aparatur negara di
negara-negara maju yang tujuannya adalah memperkecil peranan negara
dalam pembanguan ekonomi, memang tidak sepenuhnya dapat diterapkan di
Indonesia. Bilamana arah kebijakan tersebut tetap dipaksakan oleh kekuatan
luar terhadap Indonesia, maka dapat dipastikan entrofi pemerintahan akan
semakin berlanjut dan Indonesia akan betul-betul menjadi Negara yang gagal,
atau tidak mampu lagi melaku-kan tugas-tugas untuk mencapai cita-cita
bangsa.
2. Urgensi Reformasi Administrasi
Salah satu isu menonjol yang mengemuka saat ini ialah ketika
reformasi politik dan reformasi sektor keamanan sedang bergulir, birokrasi
justru tidak mengalami reformasi. Secara umum reformasi birokrasi
mencakup tiga hal, yaitu reformasi administratif (administrative reform),
akuntabilitas dan efisiensi. Administrasi sendiri diharapkan terlibat dalam
pembaruan diri secara terus-menerus (continual self-renewal). Birokrasi atau
administrasi negara harus menjadi proaktif daripada reaktif, mengantisipasi
masalah yang akan muncul daripada meresponnya, apakah persoalan itu
muncul di perkotaan atau di perdesaan, apakah itu bersifat sosial, ekonomi,
budaya maupun pertahanan.
Menurut De Gusman dan Reforma, ada beberapa elemen umum dari
reformasi administrasi yang harus dilakukan. Pertama, adanya perubahan
yang terencana yang dilakukan secara cermat terhadap birokrasi publik.
Dengan kata lain, reformasi bukanlah tindakan yang begitu saja dilakukan,
melainkan ada perencanaan strategi pencapaian yang jelas rentang waktunya.
Perubahan dilakukan bukan karena keinginan berubah, tetapi perubahan
dilakukan untuk memperbaiki sistem yang lebih besar dan semua komponen
sistem yang terlibat. Kedua, reformasi administrasi dilakukan dengan inovasi,
atau temuan-temuan baru dan pikiran-pikiran kreatif yang lebih segar dan
inovatif. Reformasi menuntut adanya kesepahaman dan itikad bersama
menuju pada perubahan dengan konsep-konsep yang lebih baru, semangat
baru, dan motivasi yang lebih kreatif. Ketiga, reformasi administrasi
diharapkan dapat menghasilkan keluaran atau output berupa perbaikan
efisiensi dan efektivitas pelayanan publik. Karena administrasi adalah
kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka
otomatis harus ada jaminan bagi kegunaan dan hasil yang baik. Keempat,
reformasi administrasi dilakukan karena kebutuhannya atau urgensinya
dibenarkan dengan adanya tuntutan untuk mengatasi ketidakpastian dan
perubahan yang cepat yang terjadi dalam lingkungan organisasi. Manakala
administrasi dijalankan, maka segala yang berkaitan dengan ketidakpastian
dan perubahan yang cepat pun diharapkan bisa teratasi.
Perubahan atau reformasi terhadap administrasi publik sendiri bisa
dilakukan pada aspek-aspek berikut: pertama, reformasi administrasi atau
perbaikan sistem administrasi bisa dilakukan pada aspek-aspek seperti
struktur birokrasi, strategi pelaksanaan dan pencapaian motif yang dibuat,
fungsi dari administrasi sendiri, proses administasi dan sistem dan prosedur
serta budaya organisasi yang kesemuanya bertujuan memperkuat kapasitas
administrasi pemerintah. Kedua, agenda utama dalam reformasi administrasi
adalah perubahan mendasar dan luas terhadap administrasi publik, seperti
inovasi organisasi, pembangunan institusi, perbaikan teknologi dan
manajemen organisasi, serta melibatkan sistem reformasi dalam arti yang
lebih luas dari administrasi publik.
Hahn-Lee Bee menjelaskan bahwa tujuan dari reformasi administrasi
sendiri sebenarnya ada tiga hal yakni (1) perbaikan tatanan yang dianggap
sebagai sifat intrinsik pemerintah dalam masyarakat tradisional dan modern;
demokratisasi, karena sudah tidak terlalu hirarkis dan parokial, tetapi lebih
mirip sebuah jaringan (network). Kecenderungan ini mempunyai implikasi
yang sangat penting dan positif terhadap perkembangan demokrasi, termasuk
tanggungjawab yang berubah terhadap kepentingan publik, terhadap
pemenuhan prefrensi publik, dan terhadap perluasan liberalisasi politik,
kewargaan, dan tingkat kepercayaan publik. Administrasi publik yang
berbentuk jaringan dapat mengatasi hambatan menuju pengelolaan yang
demokratik, dan dapat membuka kemungkinan untuk memperkuat
pemerintahan yang bergantung kepada nilai-nilai dan tindakan-tindakan
administrasi publik.
3. Gerakan Reformasi Administrasi di Indonesia
Salah satu gerakan reformasi administrasi publik yang juga sempat
populer di awal 90-an muncul dalam kemasan reinventing government yang
berakar pada tradisi dan perspektif New Public Management yang merupakan
kristalisasi dari praktek administrasi publik di Amerika Serikat. Para
pendukung gerakan ini berpendapat, bahwa institusi-institusi administratif
yang didirikan dalam kerangka birokrasi dengan model komando dan
pengawasan telah berubah secara signifikan selama abad ke 20, dan harus
terus diubah. Birokrasi jenis ini tidak lagi efektif, efisien dan sudah
ketinggalan zaman dalam tatanan ekonomi-politik dunia yang semakin
mengglobal.
Oleh karena itu, birokrasi di Amerika Serikat harus melakukan
reformasi institusi administrasi publik agar lebih memiliki karakter
kewirausahaan. Menurut Kartono (2006) gerakan reformasi administrasi di
dunia global didorong oleh empat tekanan, yakni politik, ekonomi, sosial, dan
institusional. Tidak jauh bedanya dengan gerakan reformasi administrasi di
Indonesia. Terjadinya gerakan reformasi ini diakibatkan oleh beberapa
tekanan yang muncul: Pertama, tuntutan akan perubahan sistem politik yang
lebih demokratis pada semua aspek kehidupan bangsa mulai disuarakan ketika
terjadinya krisis ekonomi kala tahun 1997. Kekuasaan rejim Orde Baru
Suharto yang kala itu begitu kuat, otoriter, sentralistik, dan tidak memberikan
akses kepada rakyat untuk berpartisipasi lebih besar dalam aktifitas
DAFTAR PUSTAKA
Kaloh J. 2003. Kepala Daerah: Pola Kegiatan dan Kekuasaan dalam Pelaksanaan
Otonomi Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kartono, Drajat Tri. 2006. Reformasi Administrasi: Dari Reinventing ke
Pesimisme. Spirit Publik, Vol. 2/No.1, Hal. 51-62.
Kettl F. Donald. 2000. The Global Management Revolution: A Report on The
Transformation of Governance. Washington: The Brookings Instittution.
Osborne, David & Gabler, Ted. 2003. Reinventing Government: How The
Enterpreneurial Spirit is Transforming The Public Sector. Jakarta: PPM.
Osborne, David & Plastrik, Peter. 2005. Banishing Bureaucracy: the Five Strategies
for Reinventing Governement. Jakarta: PPM.
Pasolong, Harbani. 2010. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta.
Rasyid. R.M. 2000. Makna Pemerintahan. Jakarta: Yasrif Watampone.
Santosa. Pandji. 2009. Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance.
Bandung: Aditama.
Surjadi. 2009. Pengembangan Kinerja Pelayanan Publik. Bandung: Aditama.
Thoha, Miftah. 2002. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Utomo, Warsito. 2009. Administrasi Publik Baru Indonesia: Perubahan Paradigma
dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Susilo, Zauhar. 1996. Reformasi Administrasi: Konsep, Dimensi, Strategi. Jakarta:
Bumi Aksara.