Anda di halaman 1dari 5

Ketika Indonesia memasuki era demokratisasi pasca-rezim otoriter, serangkaian

perbaikan ke arah yang demokratis mulai dijalankan: salah satunya adalah institusi
birokrasi.

Lembaga pembangunan dunia seperti World Bank memberikan prasyarat bagi suatu
negara agar administrasi publiknya berjalan baik, yakni doktrin mengenai Good
Governance. Prinsip-prinsip utama dalam doktrin ini yakni mengenai pemerintahan yang
partisipatif, transparan, dan akuntabel.

Doktrin itu begitu populer pada awal demokratisasi, mengingat harus ada pembaruan
mendasar di dalam badan birokratis Indonesia. Karena sebelumnya pada era
otoritarianisme, birokrasi tak lain hanyalah sebuah perpanjangan tangan dari
kepentingan politik rezim Soeharto. Golkar yang menjadi super party pada saat itu begitu
kuat mengontrol untuk melanggengkan dominasinya dalam politik dan pemerintahan.
Sejarah itulah yang memperlihatkan bahwa kedekatan birokrasi dan politik amat
mesrah dan tak terpisahkan.

Doktrin Good Governance yang berkembang pada awal demokratisasi memang


diperlukan. Tetapi perangkat teoritis mengenai tata kelembagaan ini tak mampu melihat
adanya relasi kuasa yang bercokol dalam tubuh birokrasi. Mereka hanya memfokuskan
analisis pada kelembagaannya saja, sedangkan variabel politik yang menjadi unsur
determinan dalam birokrasi Indonesia luput dari analisis.

Itulah yang disebut Vedi Hadiz sebagai kritik terhadap neoinstitusionalisme.


Menurutnya, neoinstitusionalisme dapat didefinisikan sebagai sebuah aliran pemikiran
pembangunan yang bermaksud menjelaskan sejarah, keberadaan, dan fungsi dari
berbagai macam institusi (pasar, pemerintahan, hukum, dan lain-lain) berdasarkan
asumsi-asumsi teori ekonomi neoliberal (Hadiz, 2003).

Diasumsikan bahwa birokrasi dijalankan oleh individu-individu teknokrat yang


tercerahkan berkat keahliannya. Tetapi dalam perspektif kritik neoinstitusionalis,
birokrasi bukan sekadar lembaga yang menekankan pada keputusan-keputusan
rasional oleh individu yang tercerahkan, tetapi bahwa birokrasi itu menjadi ranah
pertarungan kekuasaan, merebut kontrol, saling memengaruhi, yang hal-hal tersebut
turut menjadi penentu arahnya. Atas alasan itulah kajian mengenai relasinya dengan
politik relevan untuk dibahas.

Politisasi Birokrasi: Sudah Menyejarah

Politik menekankan pada dimensi kekuasaan yang sedemikian rupa saling berebut
pengaruh dan bertarung kuasa. Kontras dengannya, yang menekankan pada
pelayanan publik yang netral dari tendensi politik tertentu, di mana para birokrat
diangkat berdasarkan keahliannya (merit system).

Secara etimologi, brikorasi berasal dari bahasa Yunani yakni Biro yang berarti kantor
dan Krasi yang berarti pemerintahan. Dengan kata lain, birokrasi secara etimologi yakni
kantor pemerintah atau organisasi pemerintahan.

Dikutip dalam Widiatmaja, menurut Robbins (1994), ada tujuh karakteristiknya, yakni
pembagian kerja, hierarki kewenangan, formalisasi, impersonal, penempatan pegawai
sesuai kemampuan, jenjang karier, dan kehidupan organisasi dipisah dari kehidupan
pribadi (Robbins 1994 dalam Widiatmaja, [tanpa tahun]).

Menurut Widiatmaja, ada perbedaan di antara jabatan birokrasi dan politik. Jabatan
politik cara pengangkatannya melalui pemilu, sedangkan jabatan birokrasi melalui
kualifikasi tertentu. Jabatan politik mempunyai masa jabatan lima tahun, sedangkan
birokrasi seumur hidup. Sifat jabatan politik sewaktu-waktu bisa diberhentikan,
sedangkan birokrasi tidak bisa kecuali sang birokrat yang meminta. Jika jabatan politik
bertanggung jawab kepada konstituen, jabatan birokrat bertanggung jawab kepada
negara.

Strukturnya Indonesia pada masa pra-kolonial (kerajaan) dapat dipahami dengan


diagram berbentuk segitiga, di mana raja menjadi titik puncak segitiga, kalangan priayi
atau bangsawan di tengahnya, dan rakyat jelata berada paling bawah. Sedangkan pada
periode kolonial, strukturnya Indonesia yakni: Ratu Belanda sebagai puncak hierarki,
Gubernur Jenderal sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap wilayah jajahan,
kemudian asisten residen, residen, dan countreuler menempati posisi setara, dan di
bawahnya ada Bupati, lalu rakyat.

Sedangkan pada masa pasca kemerdekaaan, entitas-entitas negara, baik itu birokrat,
pemerintahan, militer, maupun masyarakat harus menjadi elemen yang mendukung
revolusi Bung Karno. Revolusi menjadi puncak hierarki, di mana elemen-elemen
tersebut harus memaksimalkan peranan untuk tujuan revolusi Indonesia.

Sedangkan pada masa Orde Baru, politisasi birokrasi terjadi ketika Golkar menjadi
puncak daripada hierarkinya. Golkar pada awalnya dibentuk Bung Karno untuk
mewadahi golongan fungsional seperti militer, birokrat, petani, buruh, dan sebagainya
sebagai wadah representasi untuk kepentingan golongan tersebut. Tetapi pada era
Orde Baru, Golkar menjadi kekuatan politik dominan di mana ia menjelma sebagai
partai politik yang di dominasi oleh militer.

Baca juga:

 UU Cipta Kerja Pangkas Birokrasi Lama yang Tidak Efektif


 Reformasi Birokrasi dan Nilai Etos Birokrat

Golkar dapat dikatakan sebagai pusat dari berjalannya sistem pemerintahan waktu itu.
Ia membawahi militer, dan birokrat. Lewat koneksi militer dan birokrat ini kemudian
Golkar menancapkan dominasinya hingga di tingkat pemerintahan terendah yakni desa.
PNS dan ABRI pada waktu itu dipaksa untuk menyerahkan suara kepada Golkar agar
tetap kokoh sebagai kekuatan politik nomor satunya Soeharto.

Selain menancapkan dominasi politik dalam sistem dan masyarakat, Golkar juga
menanamkan hegemoni lewat ideologi pembangunannya. Hal inilah membuat rezim
Soeharto begitu hegemonik dengan perangkat-perangkat politik tersebut.

Sedangkan memasuki era demokratisasi setelah Soeharto lengser dari kursi presiden,
birokrasi Indonesia mulai berbenah ke arah yang relatif baik. Dari sebelumnya marak
dengan KKN, hingga menekankan pada merit system.
Tetapi, era demokratisasi yang sebelumnya diharapkan akan membawa birokrasi
Indonesia menjauh dari praktik KKN, justru di era demokrasi hari ini, birokrasi sering
menjadi sarana instrumentalisasi kekuatan politik. Itu terlihat dengan maraknya
patronase dan klientelisme di dalamnya yang sering mengorbankan sumber daya
negara untuk kepentingan politik, atau apa yang Aspinall dan Berenschot sebut sebagai
“kontrol berdasarkan diskresi” (Aspinall & Berenschot, 2019).

Politisasi birokrasi di Indonesia yang masih ada saat ini tak lepas dari warisan praktik
sejarah Indonesia masa lalu. Itu artinya, politisasi sudah menyejarah dalam tatanan
politik Indonesia, di mana relasi antara birokrasi dan politik sangat lekat. Tipe idealnya
yang terpisah dari politik begitu musthail dalam landscape politik Indonesia, di mana
faktor politik begitu determinan menentukan arahnya.

Untuk itulah, tidak cukup menganalisis fenomena politisasi birokrasi Indonesia semata-
mata pada pendekatan institusionalisme atau neoinstitusionalisme. Ia lebih kompatibel
jika menggunakan pendekatan sosio-historis dan struktural, yakni mengkaji asal-usul
sejarahnya kemudian membedah faktor-faktor struktural yang membentuk birokrasi,
seperti pertarungan kekuasaan, dominasi, pengaruh, hingga berebut sumber daya.

Faktor-faktor tersebut juga menyejarah. Di Orde Lama, ia direpresentasikan oleh


revolusi nasional yang mengharuskan birokrasi mendukung hal tersebut. Pada masa
Orde Baru, faktor struktural itu direpresentasikan oleh Golkar yang menjadi kekuatan
politik dan supert party-nya Soeharto, yang sangat memengaruhinya.

Sedangkan setelah masa demokratisasi pasca-tumbangnya rezim sentralistik Soeharto,


politisasi birokrasi tidak lagi terpusat kepada Soeharto dan kroninya, tetapi
terfragmentasi seiring lahirnya elite lokal akibat desentralisasi. Hal tersebut turut
menimbulkan relasi patronase dan klientelisme yang sering menjadikan institusi
pemerintahan sebagai supporting institution dari kekuatan politik lokal dan nasional, dan
mengorbankan sumber daya negara berdasarkan diskresi informal.
Demikianlah dalam tulisan ini, argumen utamanya adalah bahwa, mengikuti perspektif
kritik terhadap neoinstitusionalis, birokrasi merupakan entitas yang sama sekali tidak
terpisah dari  politik. Politik dalam beberapa hal justru menentukan bentuk dan arahnya.

Dengan demikian, perangkat analisis untuk studi birokrasi akan “kering” ketika variabel
politik dikesampingkan. Melengkapi kekurangan perangkat analisis yang hanya fokus
pada institusionalisasinya, perspektif sosio-historis dan struktural harus dimasukkan
untuk melengkapi analisisnya.

Anda mungkin juga menyukai