Anda di halaman 1dari 16

l

HUBUNGAN ILMU PEMERINTAHA DENGAN ILMU-ILMU LAIN

PENDAHULUAN

Pertumbuhan dan perkembangan berbagai macam disiplin ilmu baik eksakta

maupun non eksakta memiliki fariasi antara yang satu dengan yang lainnya.

Namun fariasi tersebut jelas memilki keterkaitan dan perbedaan satu sama lain.

Demikian ketika ruang lingkup eksakta, misalnya kimia, fisika, biologi dan lain

sebagainya berkaitan erat dengan uji atau percobaan untuk mengetahui falidasi

terhadap pembahasannya secra umum. Namun letak perbedaannya ialah di tiap-

tiap disiplin ilmu tersebut, mempunyai metodologi tersendiri yang menjadi ciri

khas dlam menguji falidasi terhadap faliditasnya objek pembahsan secra spesifik.

Sebgai contoh kimia dengan rumus molekulnya, fisika dengan rumus kecepatan

dan waktunya demikian biologi yang menspesifikkan rumus genetiknya.

Namun penulis menegaskan bahwa uraian diatas hanyalah pembanding untuk

menelusuri kedalam fokus pembahasan berikut mengenai ilmu pemerintahan dan

hubungannya dengan ilmu- ilmu sosial lainya antara.

A. Hubungan Ilmu Pemerintahan Dengan Sosiologi

Manusia adalah mahluk sosial (masyarakat) yang juga sebagai pelaku sosial.

R.M McIver dalam The Web of Government (1961) “Manusia adalah mahluk

sosial; ia hidup bermasyarakat”. Sebagai mahluk sosial manusia melakukan


interaksi-interaksi dengan berbagai bentuk yang berbeda-beda, keadaan yang

terjadi dimasyarakat itu dapat diamati pada keadaan yang nampak dari

perilakunya dan ilmu yang mempelajari tersebut dikenal dengan Sosiologi. Yang

penting dipahami pada halaman ini sebelum lebih lanjut adalah pemerintah juga

dianggap sebagai sala-satu kelompok manusia.

Dalam ilmu pemerintahan, Sosiologi kemudian berkorelasi pada pengamatan

gejala-gejala yang secara khusus terjadi dalam pemerintahan dengan

menggunakan pendekatan sosiologika. Seperti yang dikemukakan oleh,

Talizuduhu Ndraha, “Suatu masalah atau gejala pemerintahan dipelajari oleh

sosiologi” (Kybernology, 2003: 370).

Pada awalnya sosiologi mempelajari seluruh gejala sosial kemudian secara

khusus pada ilmu pemerintahan terpola dengan menggunakan konsep dan

metodologi sosiologi tertentu. Studi tentang pemerintahanan implementasi UU

Desa No. 6 Tahun 2014. Sebagai sample, dapat dilakukan dengan menggunakan

konsep-konsep sosiologi seperti masyarakat hukum adat, kekuatan kelembagaan

adat dalam masyarakat desa dan negara, dengan menggunakan metodologi

kualitatif sebagai bagian dari metodologi sosiologi.

Sebagai contoh, dua gejala pemerintahan Indonesia yang mencuat ke publik

akhir-akhir ini. Pertama, tentang rusaknya harmonisasi para elit birokrat di tengah

meningkatnya minat partispatif masyarakat dalam proses pemerintahan. Kedua,

kelompok elit birokrat berlomba mencari dukungan ataupun simpatik pada

masyarakat dengan membangun keyakinan-keyakinan politik sebagai kekuatan.

Menggunakan kekuatan dari dukungan rakyat atas pertentangan ditingkat elit


menimbulkan tingkat kegaduhan yang semakin besar ditengah masyarakat

sehingga kemudian muncul kelompok-kelompok politik di tengah masyarakat.

Masyarakat yang seharusnya diberdayakan kemudian ikut melebur dalam

pertentangan yang tejadi dan pada akhirnya melahirkan kondisi sosial yang buruk

walaupun mereka tidak memahami secara mendalam tentang masalah yang terjadi

di dalamnya.

Gejala di atas kemudian dapat kita perbandingkan berkaitan dengan posisi

pemerintah (yang memerintah) dengan kekuasaanya dan masyarakat sebagai

(yang diperintah) dengan tuntutannya. Apakah aspek pemenuhan kebutuhan

pemerintah terhadap masyarakatnya berjalan dengan baik yang terlihat dalam

berbagai kegiatan.

Berkaitan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat, pemerintah berposisi

memberikan pelayanan publik dalam hal ini pelayanan yang tidak diprivatisasi.

Inu Kencan Syafiie dalam, Etika Pemerintahan,, “Pelayanan dalam pemerintahan

adalah sama apa yang diinginkan oleh rakyat dengan apa yang diberikan oleh

pemerintah” (2011: 167).

Selama ini seperti yang kita lihat dalam konteks realitas sosial pelayanan

publik di indoenesia sangatlah kontras dengan keadaan yang menjadi tuntutan dari

masyarakat. Ini jelas menggambarkan gejalah pemerintah yang tidak normal, hal

ini dapat terbaca sebelumnya dengan menggunakan pendekatan sosiologi.

Pendekatan sosiologi kemudian akan memperjelas tentang abstraki-abstrasi

sosial yang terjadi di masyarakat dan pemerintahan, abstraksi sosial yang

dimaksud adalah pola, prilaku , mindset dan gejala yang terjadi.


Dari uraian penulisan sajikan diatas tergambar bahwa relasi ilmu

pemerintahan dengan sosiologi sangatlah erat, sampai pada saat ini bahkan telah

berkembang pula bidang kajian terkhusus tentang sosiologi pemerintahan.

Seperti yang jelaskan oleh, Talizuduhu Ndraha dalam Metodologi Ilmu

Pemerintahan bahwa, “Defenisi ilmu pemerintahan pada awalnya meliputi tiga

sistem nilai dasar : manusia, hidup bersama dan kebahagian” (2010: 41). Keadaan

ilmu pemerintahan sampai saat ini telah membawa kita pada berbagai bentuk

penegasian terhadap ilmu lain. Keadaan ini jelas memiliki tujuan yang mengarah

pada pengembangan kajian mendalam terhadap ilmu pemerintahan.

Jadi secara sederhana penulis dapat menyimpulakan bahwa relasi antara

ilmu pemerintahan dengan ilmu sosiologi berpijak pada kebutuhan untuk

mengakaji lebih dalam pada persoalan gejala-gejala yang terjadi dalam

pemerintahan itu sendiri dengan menggunakan pendekatan khusus yang ada pada

sosialogi.

B. Hubungan Ilmu Pemerintahan Dengen Politik

Dalam banyak hal, disuatu sisi kehidupan dan pemikiran kekuasaan bangsa

dan negara kerap kali diperbincangkan sebagai buah dari ekspresi politik. Di lain

hal menganggap sebagai kewenangan yang terjadi merupakan peristiwa

pemerintahan. Namun di lain hal antara pemerintahan dengan politik dengan teori

relasi jelas berbicara masalah negara atau kenegaraan sebagai ruang lingkupnya

secara umum.

Namun secara khusus atau spesifik pusat perhatian (focus of interest) antara

ilmu pemerintahan dengan politik secara formal nampak jelas orientasi keduanya.
Karena ilmu pemerintahan menitik beratkan pada fenomena dan peristiwa

pemerintahan yang secara realistis dapat disaksikan dari segala aspek kehidupan.

Sementara politik berorientasi pada kekuasaan, partai politik, grup penekan dan

kepentingan masyarakat.

Berkaitan dengan kebijakan yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

kebijakan berasal dari kata bijak yang berarti kepandaian, kemahiran,

kebijaksanaan yang merupakan rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis

besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan

cara bertindak baik menyangkut pemerintahan maupun organisasi selain itu

kebijakan juga merupakan pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud

sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran.

Sementara siasat ialah tindakan yang dilakukan secara cermat berdasarkan

penyelidikan untuk mengatahui sejauh mana plus- minus taktik yang akan

dijalankan.

Ketika pemahaman diatas dikaitkan dengan situsi dan kondisi yang terjadi

dewasa ini, maka sesungguhnya asumsi mengenai pemerintahan dan politik dalam

konteks paradigmatik secara realistis menuai kontroversi dan multitafsir dimata

publik. Riak - riak publik yang berkembang, menganggap bahwa politik itu naif,

tidak mempunyai wibawa, dan sarak akan money dan mengutamakan kepentingan

pribadi ketimbang kepentingan umum. Misalnya peristiwa G30S/PKI yang

disinyalir merengguk jiwa sejumlah pejuang Republik Indonesia, hal ini terjadi

disebabkan adanya taktik dan siasat sebagai bentuk gerakan politik untuk

melengserkan presiden Soekarno sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.


Zaman berikutnya berdasarkan telaah historis, bagaimana Presiden Soeharto

berkuasa dengan militerismenya selama 32 tahun. B.J Habibie yang dinobatkan

sebagai tekhnokrat mengemuka dengan rakitan pesawatnya yang kemudian

menggantikan Soeharto sebagai presiden hampir saja menjadikan Indonesia

sebagai industrialis pesawat terbang sayangnya hanya mengisi kekosongan

jabatan kepresidenan. Gusdur yang terpilih melalui sidang MPR menggatikan B. J

Habibie selain cacat secara fisik, juga tidak sempat berbuat untuk perubahan yang

lebih baik kepada Indonesia, di ere selanjutnya jiwa sosialis Megawati Soekarno

Putri pun tak mampu berkreasi dan berionovasi untuk Indonesia. Namun

kekuasaan yang di asumsi oleh generasi- kenerasinya ialah Pemberantasan KKN

(korupsi, kolusi dan nepotisme) hingga puncaknya pada dekade 2004- 2014 sosok

militer kembali memegang kekuasaan negara dan pemerintahan. Yang meskipun

praktik militerismenya tidak terlalu nampak namun berbagai kepentingan yang

menunggangi kekuasaan poltik kala itu berimbas pada wajah pemerintahan.

Terlihat dari asal muasal kabinet yang dijalankan “Indonesia Bersatu jilit 1 dan

2”. Nampak signifikan dengan indikator pasangannya. Secara konkrit SBY-JK

dengan SBY-Boediyono. Dalam konstitusi yang berlaku di Indonesia dibenarkan

atas kebebasan untuk memilih siapa saja kita berkomunikasi, menyatakan

pendapat dan siapa saja memiliki kesempatan yang sama dalam pemerintahan,

demikian pernyataan HAM dalam UUD 1945. Sejumlah responden mengemukaan

bahwa inisiatif SBY memboyong aparat sipil dan ekonom dalam dua periode

yang berbeda, berbedaannya terletak pada pemenuhan kekuasaan yang ditengarai

kewajiban partai politik dimana SBY berasal. Kita tidak menutup mata semenjak,
keran demokrasi dibuka, gencatan partai politik beriringan muncul dengan

bermacam- macam ideologi yang dibawanya sebagai ciri khasnya sehingga kerap

tumpang tindih maupun pro kontra dalam kekuasaan pemerintahan.

Hal yang sama bahwa sejarah munculnya partai politik di negara yang satu

dengan yang lain memang tidak selalu sama. Tetapi, ada satu benang merah yang

mempertemukannya, yaitu bahwa kemunculan partai politik itu berbanding lurus

dengan tumbuhnya proses demokratisasi khususnya yang berhubungan dengan

kesamaan hak warga negara. Demikian Scarrow dalam Kacung Marijan (Sistem

Politik Indonesia “Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru”, 2010; 59).

Berbarengan dengan padangan yang dikemukakan tersebut, munculnya partai-

partai politik Indonesia, justru dilatar belakangi oleh kebijakan Hindia Belanda

dengan berimplikasi terhadap nilai kebebasan dengan prospek sosial dan

pembangunan. Atas dasar tersebut kebebasan membuka lebar ruang bagi anggota

masyarakat untuk membentuk organisasi maupun partai politik dalam

berkembangannya justru dibarengi oleh gerakan- gerakan yang merespon adanya

berbagai peristiwa dan konflik baik vertikal dan horisontal, berbagai responsif

itulah kemudian memicu lahirnya kultur bahwa kewenangan partai politik dalam

pemerintahan berdasar bada keterwakilan partai, jadi siapa dan partai mana ia

berasal maka itulah yang berkuasa baik dalam negara maupun dalam

pemerintahan.

Sementara dalam pemikiran barat Max Weber memandang bahwa ekspresi

dari peristiwa dan concern politik. Pendirian politik yang harus di pahami

kaitannya dengan konteks pribadi maupun kejadian- kejadian publik, merupakan


sebuah tema yang berjalan dan beriringan antara sang manusia dan sang

intelektual. Sebab ia adalah seorang manusia politis dan intelktual politis.

Ia menambahkan bahwa menilai politik dengan retorika kaitannya dengan

berbagai konsekuensi dan mengukur bermacam- macam motif manusia

sehubungan dengan hasil yang diperkirakan maupun yang tidak dari perbuatan

mereka, adalah prinsip konstan pemikiran politik.

Naman untuk memecah kebuntuan terkait politik maka penulis mengadopsi

padangan Inu Kencana Syafiie dalam bukunya Sistem Pemerintahan Indonesia ed.

rev.bahwa:

“Secara umum ilmu pemerintahan menekankan pada fungsi output daripada


mutu sistem politik, sedangkan ilmu politik menitikbertkan pada fungsi input.
Dengan perkataan, ilmu pemerintahan lebih mempelajari komponen dari
suatu sistem politik sedangkan, ilmu politik mempelajari society dari suatu
sistem politik, (Syafiie, 2011: 13)”.

Kemudian terkait dengan hubungan antara keduanya Syafiie menambahkan

adanya hubungan nyata antara ilmu pemerintahan dengan ilmu politik, keren ilmu

pemerintahan yang organisasinya tersusun berdasarkan prinsip- prinsip birokrasi

yang mempunyai ruang lingkup yang luas, adalah menjalankan keputusan-

keputuusan politik. Dengan perkataan lain, kebijkasanaan pemerintah (public

policy) dibuat dalam arena politik, tetapi hampir semua perencanaan dan

pelaksanaannya dalam arena birokrasi pemerintahan tersebut.

Jadi, jika keputusan kebijaksanaan pemerintahan dalam arti luas telah

ditetapkan, maka kemudian bergerak dari arena politik ke arena infrastruktur

birokrasi pemerintahan secara sempit.


Dengan demikian, terlihat bahwa menetapkan kebijaksanaan adalah fungsi

politik yang memiliki legitimasi di lembaga legislatif dengan perkataan DPR

kemudian dijalankan oleh pemerintah yang memiliki excep power di lembaga

eksekutif dengan perkataan presiden dan secara fungsional pelaksanaannya

melalui administrasi pemerintah. Inilah titik terang dan penemu bagaimana

hubungan erat antara ilmu pemerintahan dengan ilmu politik.

C. Hubungan Ilmu Pemerintahan Dengan Administrasi Publik

a. Dalam dimensi ruang dan waktu ruang gerak manusia sebgai makhluk

yang berakal dan memiliki potensi kecerdasan, kearifan dan sebagainya, dimuka

bumi ini termat luas dan memiliki waktu yang cukup lama. Namun tidak menutup

kemungkinan gerak dan langkah manusia tersebut bisa saja menuju ruang yang

sempit dan hanya memiliki waktu yang singkat melakukan proses yang di

kehendakinya serta cukup ironis manakala potensi kecerdasan dan kearifan

manusia tersebut menuai kebinasaan.

b. Manusia sebagai makhluk berpikir dengan jelas saja memiliki nawa cita,

impian dan target yang sejatinya sebagai target dalam kehidupannya. Namun

tidak menutup kemungkinan pula nawa cita dan impian tersebut hanyalah

berjuang pada mimpi balaka.

Kedua ilustrasi yang penulis kemukakan tersebut merupakan dasar bagunan

untuk membuka cakrawala khalayak terkait hubungan ilmu pemerintahan dengan

ilmu administrasi publik/ negara. Dimana pemerintah sebagai aktor pelayan

dalam pemerintahan merumuskan dan menjalankan kebijakan sebagai nawa cita

dalam perwujudan impian memerlukan berbagai macam proses di setiap ruang


dan waktu agar kiranya publik/ negara sebagai aktor yang dilayani dapat

merasakan oucome yang menjadi kebutuhannya.

Administrasi negara merupakan salah satu fungsi pemerintahan berhubungan

dengan pelaksanaan atau penyelenggaraan dari kebijaksanaan- kebijaksanaan

atau kehendak negara (the execution ofe the will of the stated).

Namaun perlu diperhatikan bahwa administrsi bukan sekedar sketsa yang

sekedar digunankan untuk membanarkan kebijakan penguasa. Tetapi dalam dari

itu Mifta Thoha dalam bukunya yang berjudul birokrasi politik dan pemilihan

umum di Indonesia memberi asumsi bahwa:

“Administari publik merupakan suatu kajian yang sistematis dan tidak


sekedar lukisan abstrak. Tetapi memuat perncanaan realitas dari segala upaya
dalam dalam menata pemerintahan menjadi kepemerinthn yang baik “good
governance”, (Mifta Thoha: 2014: 45)”

Ia juga manambahkan kedudukan administrasi publik dalam pemerintahan

tidak hanya terpaku pada aturan legalistik yang kaku, tetapi juga berorientasi

dinamis untuk melaksanakan aturan legal tersebut. Sebagian besar administrasi

publik brsumber dari persoalan masyarakat. Adminstrasi publik adalah suatu

sistem yang menjawab- persoalan- persoalan masyarakat yang dinamis, (Baca

Birokrasi Politik Pemilihan dan Umum di Indonesia Mifta Thoha: 2014 hal 37-

85).

Pandapat ini kemudian penulis tambahkan keranah organisasi sebagai contoh

kecil saja dalam organisasi non profit, katakakanlah organisasi kemahasiswaan

diruang lingkup perguruan tinggi maupun universitas secara umum dipahami

bahwa organisasi merupkan tempat atau perkumpulan satu orang atau lebih yang
memiliki tujuan yang sama. Selain itu nilai (value) organisasi adalah bagaimana

kemudian proses pencapaian tujuan dilakukan melalui proses administrasi.

Lebih jauh dipahami bahwa organisasi manapun, persoalan administrasi

indikatornya ialah wadah dan berbgai kelengkapan lainnya sebgai bahan

administrasi itu dapat berjalan. Disisi lain, tingkat kedewasaan orgnaisasi dapat

dinilai melalui kelihaian dalam bersaing antar sesama organisasi. Demikian pula

ketika kemablai ke persoalan negara yang juga merupakan organisasi terbesar di

di dunia perpektif administrasi adalah keharusan bagai pemerintah baiak dalam

menata lembaga dan pelayanannya maupaun dalam melakukan komunikasi

tingkat nasional.

Telah di ilhami bahwa sesungguhnya ilmu pemerintahan dan ilmu

administrasi negara dari sisi materia memiliki pusat perhatian (focus of interst)

yang sama yaitu negara. tetapi dari sisi formanya ilmu pemerintahan

memokuskan pada gelala dan peristiwa pemerintahan, sementara imu

administrasi negara memfokuskan pada pelayanan dan organisasi publik.

Demikian pula Inu Kencana memperjelas pandangan tersebut bahwa:

“ilmu pemerintahan dari susut pandangnya adalah gejala dan peristiwa


pemerintahan. Sedangkan ilmu administrasi negara sudut pandangnya adalah
sistem pelayanan penyelenggaraan administrasi dan organisasi publik itu
sendiri”.

Dalam analisa mendalam namapak jelas adanya dikotomi antara ilmu

adminitrasi dengan ilmu politik yang telah dibahas sebelumnya, dengan asumsi

kabijaksanaan terhadap kekuasaan dalam pelayaanan. Namun, Henry Fayol secara

konkrit menyebut administrasi adalah POAC (plenning, organizing, actually/

actuating and contolling).


Hal serupa juga di kemukakan oleh beberapa ahli terkait administarasi

pemerintahan sebagai berikut:

Menurut Pfifner dan prathus antara lain:

1. Adminitrasi pemerintahan meliputi implementasi kebijaksanaan

pemerintah yang telah di tetapkan oleh badan- badan perwakilan politik.

2. Adminstrasi pemerintahan dapat di definisikan koordinasi usaha-

perorangan dan kelompok untuk melaksanakan kebijaksanaan pemerintah

yang meliputi pekerjaan sehari- hari pemerintah.

3. Secara global, adaministrasi pemerintahan adalh suatu proses yang

bersangkutan dengan pelaksanaan kebijaksanaan- kebijaksanaan

pemerintah, pengarahan kecakapan dan tekhnik- tekhnik yang tidak

terhingga jumlah orang.

Sementara menurut Felix A. Nigro dan Lloyd A. Nigro meneyebutnya bahwa

administarasi pemerintahan adalah suatu kerjasama kelompok dalam lingkungan

pemerintahan yang meliputi ketiga cabang pemerintahan; eksekutif, legislatif dan

yudikatif. Juga mempunanyai peranan penting dalam perumusan kebijaksanaan

pemerintah dan menyajikan pelayanan kepada masayarakat.

Lain hal yang dikemukan Prajudin Atmosudirjdo menurutnya bahwa

admnistrai negara adalh imu pemerintahan adalah administrasi daripada negara

sebgai organisasi, dan administrasi yang mengejar tujuan- tujuan kenegraan.

Dari keseluruhan pendapat tersebut, antara ilmu pemerintahan dengan ilmu

administrasi memiliki orientasi yang berbeda. Namun secara umum memiliki


hubungan terutama dalam pengorganisiran, manajemen dan pelayanan dalam

menjalankan pemerintahan negara.

D. Hubungan Ilmu Pemerintahan Dengan Hukum Tata Negara

Gejala dan peristiwa yang timbul di dalam hubungan pemerintahan, juga

dapat dicermati melalu penerapan terhadap pelanggaran hukum yang berlaku,

penggunaan sanksi- sanksi terhadap pelanggaran hukum, pengefektifan

kekuasaan yang bersumber dari hukum untuk mencapai tujuan negara,

sebgaimana kita ketahui, bahwa dalam pelayanan masyarakat diperlukan otoritas

dan kewenangan. Sebagaimana dalam arti sempit pemerintahan yang terdiri dari

legislatif, eksekutif dan yudikatif. Ketiga lembaga ini menjadi pisau analisa guna

mengetahui kaitan pemerintah dengan hukum.

Legislatif selaku aktor yang memproduksi formulasi aturan hukum yang

berlaku secara menyeluruh dan eksekutif bertindak selaku eksekutor atau

pelaksana dari produk formulasi hukum yang dibuat tersebut. Sementara sebuah

keharusan atau kewajaban bagi yudikatif untuk melakukan pengawasan, sejauh

mana kebijakan atau hukum tersebut dijalankan, apakah atauakah bertolak

belakang dengan apa yang diharapakan. Seperti Meyers mengemukakan

pendapatnya bahwa hukum adalah keseluruhan norma bernilai susila yang

bersangkutan dengan perbuatan manusia sebagai anggota masyarakat dan harus

dipakai pedoman oleh pemerintah dalam melaksanakan tugasnya.

Artikulasi ini nampak mengikat antara pemerintah dengan yang diperintah

dan kerap terjadi kles tumpang tindih utamanya dalam interaksi atau dan
aktifitasnya. Seperti Lemeiner berpendapat bahwa hukum adalah keserasian

hubungan antara manusia yang menimbulkan kewajiban- kewajiban.

Hukum kerap memicu terjadinya perdebatan profesinalisme menjalankan

aturan hukum dengan legitimasi personal dalam pemerintahan. Kadang kala

terjadi dis profesinalisme antar aktor penyusun kebijakan dengan

implementasinya. Misalnya adanya anggota DPR melanggar kode etik ataukah

menerobos di lampu merah dan lain sebagainya. Dalam pemahaman awam

mungkin saja itu adalah hal biasa yang terus berkembang hingga membudaya.

Cerminan seperti itu jelas telah keluar dari konteks dan fiolsofi hukum. Yang

manyatakan bahwa hukum dibuat agar tercipta keteraturan dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara.

Seperti Ulpian dalam persepsinya menyatakan ilmu hukum adalah

pengetahuan mengenai masalah yang bersifat ilmiah tentang asas- asas surgawi

dan manusiawi artinya pengetahuan yang benar dan tidak benar.

Hukum sebagai suatu kekuasaan yang dilembagakan , ketatanegraan suatu

negara tidak tampak bagaikan kenyataan memiliki kekuasaan yang sah, tetapi juga

di akui mempunyai hak untuk menguasai. Inilah yang kemudian dikenal dengan

legitimasi hukum (Syafiie, 2011: 51).

Dalam daripada itu suatu kesimpulan awal bahwa legitimasi adalah

kesesuaian tindakan terhadap hukum yang berlaku, baik hukum atau peraturan

perundang- undangan itu bersifat formal, etis dan adat- istiadat maupun hukum

yang bersifat kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara sah.


Terkait dengan itu konteks yang perlu dipertanyakan bahwa apa yang

menyebabkan perkembangan hukum terkesan bermata pisau, dalam artian hukum

tajam ke bawah dan tumpul keatas? Apakah hukum memang hanya diperuntukkan

kepada kaum- kaum yang lemah yang salah sedikit di giring ke jeruji besi dan

diadili di depan meja hijau? Ataukah hukum memiliki legitimasi dan formalitas

hanya sebatas memunculkan dan membudayakan penindasan, ketidak adilan serta

diskriminasi?

Realitas hukum demikian tidak tampak dimedia namun lebih dari itu penulis

pun merasakan dengan sejumlah kasus terjadi ditingkat lokal, sebagai contoh

kasus diskriminasi dan ketidakadilan yang terjadi di Sulawesi Selatan yang terkait

dengan perampasan hak- hak masyarakat adat serta penyelewengan hak asasi

manusia khusnya lagi di Kab. Sinjai mualai dari persoalan kesahatan, sampai pada

kalaim kepemilikan tanah utamanya kepada masyarakat yang tinggal di pesisir

hutan.

Contoh lain kasus tambang galian “C” yang terjadi di Desa Selok Awar-

Awar di akhir September 2015 yang merengguk jiwa seorang petani aktivis

lingkungan Salim Kancil. Dengan rasio yang ada tentnya hal yang tak terduga

seorang pemerintah dalam hal ini Kepala Desa, berani menganiaya masyarakatnya

sendiri. Tetapi itulah serakahnya aparatur hukum yang rakus akan kekuasaan dan

kepentingan pribadinya.

Dari berbagai fakta- fakta menjadi pusat perhatian untuk mendalami

bagaiman seharunya pemerintah dalam hubungannya dengan hukum secara jelih


melakukan rekonstruksi terhadap peraktik hukum yang sebagai pedomoman

berbangsa dan bernegra sebgaiman telah dikemukakan sebelumnya.

Sebgai kesimpulan ialah Ilmu pemerintahan berkaitan pula dengan hukum

tata negara, dimana pemerintahan yang baik (good governance) dan efekktif atau

dengan kata lain segala sesuatu yang merupakan perbuatan pemerintahan harus

didasarkan pada prinsip-prinsip hukum untuk meminimalisir dekandensi paratur

hukum dan pemerintah demikian pula dengan publik. Dengan demikian secara

teoritis dan praktis pemerintahan mengacu kepada konstitusi, peraturan,

pembatasan kekuasaan, sanksi hukum bagi yang melanggar sebagai pijakan dalam

pemerintahan untuk menegakkan hukum dengan nurani yang ari dan bijaksanaan.

Anda mungkin juga menyukai