Anda di halaman 1dari 58

DASAR-DASAR ILMU PEMERINTAHAN

Author : Sumardi
Prodi Ilmu Pemerintahan, Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik
(STISIP) Muhammadiyah Sinjai sumardi1610@gmail.com

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN PEMERINTAHAN

Pada hakikatnya pemerintahan merupakan suatu gambaran tentang

bagaimana pada permulaan pemerintahan setelah terbentuk dan bagaimana

pemerintahan itu telah berkembang melalui perkembangan dari 3 tipe masyarakat

yaitu masyarakat setara, masyarakat bertingkat dan masyarakat berlapis.

Perkembangan pemerintahan itu juga ditentukan oleh perkembangan

masyarakatnya yang disebabkan oleh faktor-faktor lain yang melandasinya seperti

pertambahan dan tekanan penduduk, ancaman atau perang dan penjarahan yang

dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat yang

lain dan telah menjadi faktor-faktor yang memacu perkembangan pemerintahan

yaitu penguasaan oleh suatu pemerintah atau negara.

Pemerintahan di zaman purba misalnya ditandai oleh banyaknya sistem

pemerintahan dan sistem yang lebih dikenal adalah polis Yunani. Selain polis

Yunani, kerajaan Inka yang berdiri antara tahun 1200-1500 Masehi telah memiliki

sistem pemerintahan yang despotisme yaitu suatu bentuk pemerintahan yang

ditandai oleh kekuasaan sewenang-wenang dan tak terbatas dari pihak penguasa.

Plato dan Aristoteles lah yang memperkenalkan bentuk-bentuk pemerintahan yang

baik dan buruk dengan alasan pembagian tersebut. Konsep-konsep tentang

pemerintahan yang baik dan buruk menurut Plato dan Aristoteles masih terefleksi

sepanjang sejarah pemerintahan di dunia hingga dewasa ini.

Awal pemerintahan Romawi merupakan suatu wujud dari kombinasi bentuk

pemerintahan baik menurut konsep Plato dan Aristoteles. Pada abad


pertengahan pengaruh agama Kristen masuk ke dalam sistem pemerintahan yang

lebih dikenal dengan teori dua belah pedang.

Di zaman baru sekalipun pemerintahan tidak menjadi jelas setelah

runtuhnya polis Yunani serta konflik antara Paus dan Raja berkepanjangan namun

pada akhir abad pertengahan muncul pemerintahan di zaman baru dengan

pengalaman perjalanan sejarah yang panjang dari masing-masing negara sehingga

lahirlah konsep tentang adanya kemandirian serta kekuatan pemerintahan.

begitupula Machiavelli mengajarkan tentang bagaimana seorang raja harus

mempertahankan serta memperbesar kekuasaan pemerintah sebagai tujuannya

melalui menghalalkan segala cara. Bagi Machhiavelli yang penting dalam politik

pemerintahan negara adalah kekuasaan, dia mengahalalkan segala cara untuk tetap

berkuasa. Jadi yang dianjurkan bukan bagaimana seseorang atau sekelompok

orang dapat merebut kekuasaan dan mempertahankannya (Syafiie, 2010:102).

Machiavelli lebih jauh berpendapat bahwa dalam praktik kekuasaan yang

nayata, tidak ada hubungan antara kekuasaan tersebut dengan etika bernegara,

karena negara itu bagi Machiavelli bersifat sekuler termasuk didalamnya berbagai

perebutan kekuasaan sedangngkan etika berkaitan dengan norma yang berkenaan

dengan peraturan tuhan yang trasedental, yaitu dianggap berorientasi pada dunia

gaib.

Hal serupa kemudian muncul dalam praktik pemerintahan khususnsya

Indonesia, seperti halnya dalam perkembangan politik pemerintahan yang disertai

dengan hadirnya berbagai partai politik hingga era reformasi yang gerakannya

sudah tak terelakkan lagi, pasalnya pro dan kontra antara pejabat politik dengan
pejabat pemerintahan. Lebih konkrit bahwa rangkap jabatan yang dimaksud jelas

memberi efek bagi bangsa dan negara. Bentuk kekuasaan seperti rangkap jabatan

berpeluang besar untuk menciptakan embrio- embrio yang korup dan

menyimpang dari kekuasaan yang oleh Mifta Toha dalam bukunya yang berjudul

Birokrasi Politik dan Pemilihan Umum Indonesia (2014: 3) menyebutnya sebagai

gajal anomali dalam sistem penyelenggaraan administrasi pemerintahan negara.

Sementara dalam kajian analisis gejala- gejala seperti telah terurai diatas

penulis kemudian menganggapnya bahwa sebenarnya lingkup pemerintahan

ternyata tidak hanya bercerita persoalan pemenuhan dan pelayanan seperti pada

pembahasan berikutnya nanti, namun jauh daripada itu masalah dan gejala

pemerintahan juga bercerita tentang kekuasaan. Lebih jelanya akan diauraikan

pada pembahasan berikut

A. Munculnya Masalah dan Gejala Pemerintahan

Dari sudut pandang (focus of interest), munculnya masalah dan gejala

pemerintahan tentunya tidak terlepas dari kondisi sosial dimana pemerintahan

sebagai suatu gejala sosial telah muncul sejak lahirnya manusia di muka bumi, telah

dikenal dalam tatanan keluarga atau rumah tangga antara orang tua dan anaknya,

dimana adanya kepala keluarga yang mempunyai beban moril terhadap istri dan

anaknya baik menyangkut kebutuhan primer, sekunder begitupula dalam

merencanakan masa depan mereka. Dalam sebuah keluarga yang anaknya tidak atau

kurang afeksi dari seorang kepala keluarga maka pertumbuhan,

perkembangan dan kedewasaan si anak tersebut serba kekurangan. Ibaratnya

kepala keluarga adalah kemudi kapal yang mengarungi samudera dimana kapal
diarahkan oleh sang nahkoda maka disitulah penelusuran yang dilalui untuk

sampai ke tujuan yang dikehendakinya.

Asumsi tersebut mengantar penulis untuk menyedot sejauh mana multitafsir

dari asal kata pemerintahan. Misalnya dalam metodologi ilmu pemerintahan oleh

Taliziduhu Ndraha menganggap bahwa lambang pemerintahan itu berbentuk

kemudi kapal.

“Dalam bahasa Inggris, pemerintahan disebut government (latin gubernare,


greek Kybernan, artinya to steer, mengemudikan dan mengendalikan,
sehingga semula lambang pemerintahan itu berbentuk kemudi kapal”
(Talisiduhu Ndraha, 2010: 7).

Namun tidak jarang muncul pertanyaan misalnya adakah kemungkinan kapal

tersebut selalu sampai pada arah dan tujuan yang dikehendakinya?. Jawabannya

ialah tentu saja bergatung dari nurani, moral dan kesanggupan atas amanah yang

dijalankan. Maka seperti itupula bentuk perumpamaan sederhana guna mengenal

lebih dalam tentang pemerintahan.

Dilain hal, Armansyah salah seorang aktivis NGO (Non Governmental

Organizaton) dalam materinya di acara pendidikan politik pembebasan pada

Tanggal 17 Agustus 2015 yang bertempat di Baruga Adat Pemuda Turungan Baji

Kab. Sinjai menyampaikan bahwa mustahil sebuah tujuan sejati akan tercapai

manakala tujuan antara sebagai proses di abaikan begitu saja.

“Ada dua kecenderungan yang kerap muncul sebagai paradigma seorang


pimpinan dalam mengendalikan organisasi atau lembaganya yang pertama
Memprogramkan sesuatu yang abstrak untuk mencapai tujuan sejati dan
kedua paradigma yang memprogramkan sesuatu yang konkrit namun jelas
input- proses- output serta outcomenya”
Artinya dapat dipahami bahwa kebutuhan seorang manusia menjadi objek

vital bagi pemerintah untuk mengakomodir tujuan yang lebih konkrit dimana

tujuan berpemerintahan tepat sasaran.

Sementara dalam pandangan kybernology bahwa manusia senantiasa

mempunyai indikator kebutuhan. Indikator tersebut menyangkut jasa publik dan

layanan civil dalam hubungan pemerintahan. Kybernologi sebagai platform dalam

mengkaji gejala pemerinatahan relasinya senantiasa berkaitan dengan sosiologi,

dalam mana suatu gejala dipelajari bersama oleh sosiologi dan kybernologi

begitupula dengan masalah pemerintahan dipelajari oleh sosiologi. Mencermati

definisi Rose, lihat Taliziduhu Ndraha (Kyernologi: 364) sosiologi kemudian

memusatkan perhatiannya pada proses sosial yang spesifik termasuk menyangkut

bentuk, kekuatan yang menggerakkannya dan dampaknya terhadap kehidupan

manusia. Sehingga dapat dipahami bahwa gejala sejenis itu disebut pula sebagai

gejala sosiologikal yang terorganisir artinya artinya memiliki legalitas formal dan

struktur kelembagaan yang sistematis.

Dalam daripada itu, gejala dan peristiwa pemerintahan dalam paradigma

psikologi merupakan commom platform melalui objek material antara pemerintah

dan yang diperintah dengan hubungan pemerintahan dengan lingkungan

pemerintahan (lihat, Taliziduhu Ndraha, Kybernolog 2, hal: 456-459). Peristiwa

pemerintahan terjadi di dalam hubungan pemerintahan. Oleh karena itu baik

pemerintah maupun yang diperintah bersama- sama atau sendiri- sendiri,

mempengaruhi hubungan tersebut secara psikologikal, fisiologikal, dan sosial.

Dari aspek pemerintahan, pihak yang pemerintah disebabkan oleh beberapa


faktor, misalnya wewenang, hak, kepentingan, kompetensi, hukum dan

sebagainya. Sementara dari pihak yang diperintah faktor psikologikal itu misalnya

ketidakberdayaan, kekecewaan, HAM, kebutuhan, budaya, dan lain hal. Dengan

demikian dapat dikonstruk paradigma psikologi pemerintahan menurut

pendekatan lintas disiplin, sebagai berikut:

Psikologi Ilmu pemerintahan

1. Faktor psikologikal 1. Proses (input, throughput,


pemerintah: kewenangan, hak, output, outcome, evaluasi,
kompetensi, kepentingan, feedback)
kesempatan, hukum, dsb. 2. Struktur
2. Faktor psikologikal pihak yang 3. Lingkungan
diperintah: ketidakberyaan , 4. tekhnologi
kekecewaan, budaya, HAM,
kebutuhan, dsb.

Paradigma Psikologi Pemerintahan (Taliziduhu Ndraha, 2002: 457)

Secara detail Ndraha menjabarkan bahwa empat kekuatan di pihak

pemerintahan berhadapan dengan drivers dari pihak lingkungan kejiwaan

manusia, sementara pelaku pemerintahan selaku alat organisasional

berhadapan dengan dirinya sendiri (pelaku pemerintahan) sebagai SDM

yang berkepentingan. Kepentingan SDM bisa berbeda atau konflik dengan

kepentingan organisasi. Sebagai fokus bahwa yang dimaksud dengan

pelaku pemerintahan adalah pemerintah dalam hubungan pemrintahan, yang

terkontaminasi terus- menerus antara pemerintah dengan yang diperintah,

baik dalam hubungan interaksional yang memiliki posisi dan kekuatan

tawar- menawar antara pemerintah dengan yang diperintah guna


mencapai kesepakatan maupun dalam hubungannya secara

transformasional.

Sejalan dengan paradigma tersebut Taliziduhu Ndraha

menambahakan dalam bukunya Metodologi Ilmu Pemerintahan

mengemukakan bahwa:

“Gejala sosial terjadi didalam hubungan antar anggota masyarakat,


baik individu dengan individu, kelompok dengan kelompok
maupun antar individu dengan kelompok. Gejala ini terdapat pada
suatu saat didalam sebuah masyarakat” (Ndraha, 2010: 6).

Gejala pemerintahan sebagai gejala sosial khusus (spesific) juga

berawal dari definisi pemerintahan dan ilmu pemerintahan yang sekali lagi

mengemukakan bahwa pemerintahan adalah proses pemenuhan

(penyediaan) kebutuhan pihak yang diperintah akan jasa publik yang tidak

diprivatisasikan dan layanan civil kepada setiap orang pada saat

diperlukan. Sehingga pemerintahan selalu menyangkut dua belah pihak,

pertama pemerintah dengan kekuasaannya dan kedua yang diperintah

dengan tuntutannya. Lembaga yang didesigh khusus dan berkewajiban

memenuhi kebutuhan yang dimaksud disebut pemerintah.

Para filosof sebelum abad masehi seperi Socrates, Plato dan

Aristoteles telah mencoba berpikir dan memformulasikan gejala- gejala

pemerintahan itu secara lebih sistematis, universal dan radikal.

Misalnya Aristoteles dalam Inu Kencana Syafiie (Etika

Pemerintahan, ed_2010; 99), mendukung adanya sebagian masyarakat

yang dianggap budak karena sejalan dengan garis hukum alam, bahkan

beliau pun menjustise, adanya perbedaan gender antara kaum laki-laki


dengan perempuan. Menurutnya perbedaan tersebut dipengaruhi oleh

budaya yang berkembang kala itu. Radikalismenya bahkan nampak kearah

sekuler yang berusaha memisahkan perenungan kerohanian yang

trasedental dengan kehidupan keduniawian. Dengan analogi ketuhannya ia

menganggap bahwa Tuhan muncul karena kadar intelektual manusia

belaka, bila alam semesta bermula dari Tuhan maka awalnya juga dapat

diusut dengan mengetahui tuhan itu sendiri.

Dengan kajian teologi seperti yang telah Aristotelas kemukakan

itu, lalu disandingkan dengan masalah dan gejala pemerintahan maka

paradigma pemerintahan secara rasional sifatnya normatif dan formal yang

aktualisasinya menitik beratkan pada legitimate powernya yang transparan

dan akuntabel.

Berangkat dari uraian tersebut menurut hemat penulis bahwa kultul

yang berlaku dalam kehidupan masyarakat tentunya menjadi suatu

peristiwa yang menarik dan memerlukan perhatian baik oleh kaum

akademisi maupun perilaku para penguasa, karena dalam

perkembangannya emansipasi terhadap warga negara adalah suatu

keharusan untuk mencari formulasi kebijakan guna meminimalisir

peristiwa- peristiwa semacam itu. Sehingga masalah pemerintahan muncul

sebagai akibat dari praktek pemerintahan yang merupkan peristiwa dari

pemerintahan.

Uraian di atas pun diperkuat oleh pandangan S. Pamudji (1987:23),

menurutnya bahwa pemerintahan secara etimologi berasal dari kata


pemerintah, sementara pemerintah berasal dari kata perintah. Dengan

indikator uraian bahwa:

1. Perintah adalah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan

sesuatu perbuatan.

2. Pemerintah adalah kekuasaan memerintah suatu negara (Daerah

Negara) atau badan tertinggi yang memerintah suatu dalam suatu negara,

misalnya kabinet yang merupakan suatu pemerintah.

3. Pemerintahan adalah perbuatan dalam artian bahwa cara, hal urusan

dan sebagainya untuk memerintah.

Demikian pula Bayu Suryaningrat (1981: 1) menegaskan bahwa disipin ilmu

tertua adalah ilmu pemerintahan karena dipelajari sejak sebelum masehi oleh para

filsuf yaitu Plato dan Aristoteles.

B. Pemerintahan Sebagai Kebutuhan Hidup Manusia

Manusia secara universal mempunyai karakteristik dan nilai- nilai/ values

yang berbeda- beda, sebagai bentuk keberagaman misalnya mulai dari ras, warna

kulit, kultur dan keyakinan merupakan aspek tepenting dalam menganalisa sejauh

mana peranan pemerintahan sebagai salah satu indikator kebutuhan manusia.

Sebagai langkah untuk mendalami paradigma itu maka urgensi tugas dan

Aristoteles hidup antara tahun 322-384 SM (Kelahiran Nabi Isa A.S). Dalam
suatu sistem pemerintahan Aristoteles mendukung adanya segelintir masyarakat yang
dianggap sebagai budak belian karena dianggap sejalan dengan garis hukum alam, dan
dia bahkan percaya kerendahan martabat wanita dibandingkan kaum laki- laki, ini tentu
saja dipengaruhi oleh budaya yang berlaku kala itu. Kemiskinan adalah bapakanya
revolusi, atau dia mengatakan bahwa barang siapa sudah merenungi arti memerintah
sesama manusia pasti yakin bahwa nasib suatu imperium tergantung pada pendidikan dari
generasi penerusnya.
fungsi pokok pemerintah menjadi telah lebih lanjut. Berdasarkan literature

maupun fakta di lapangan, maka penulis mencoba menguraikan lebih sederhana

tugas dan fungsi pokok pemerintah sebagai berikut:

1. Tugas Pemerintah

a. Mengadirkan kesejahteraan bagi masyarakat (Public Welfare

b. Melindungi dan mengayomi masyarakat

c. Mewujudkan ketertiban dan ketenteraman masyarakat

d. Pengendalian atas keseluruhan tindakan warga

e. Mengatur kehidupan bersama warga agar tercipta keteraturan

2. Fungsi Pokok Pemerintah

a. Pengaturan/ regulation, adalah pemerintah melakukan perumusan

dan implementasi kebijakan, misalnya peraturan perundang-

undangan, agar tercipta keteraturan dalam masyarakat.

b. Pembangunan/ development, adah pemerintah memiliki fungsi

perencanaan dan implementasi program pembangunan. Hal ini

dimaksud agar tercipta suatu kondisi masyarakat yang sejahtera.

c. Pemberdayaan/ empowerment, adalah pemerintah merencanakan dan

melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarkat. Hal ini dimaksud

agar tercipta suatu kondisi masyarakat yang mandiri.

d. Pelayanan/ services, adalah pemerintah merencanakan dan

melaksanakan pelayanan kepada masyarakat/ public service.


Relasi pemerintah dengan manusia terjabarkan melalui uraian tugas dan

fungsi pemerintah dengan relasinya dengan manusia yang mempunyai kebutuhan,

sebagaimana skema berikut:

NEGARA

PEMERINTAH

Horizontal
KEBUTUHAN TUGAS & FUNGSI
Vertikal

MANUSIA

Skema Relasi Pemerintah dan Manusia

Ilustrasi yang penulis gunakan diatas jelas mempertajam pisau analisa

pembaca untuk menarik benang merah bahwa pemerintahan bukanlah semata-

mata unsur negara sebagaiman yang akan di jabarkan di bab pembahasan

selanjutnya tetapi pemerintahan adalah kebutuhan urgen bagi manusia selaku

masyarakat atau warga negara, baik dalam hubungannya secara vertikal misalnya

kepengurusan akte kelahiran (AK), kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga

(KK), maupun dalam hubungannya secara horisontal, sebagiamana tugas dan fungsi

pemerintah yang telah diuraikan sebelumnya.

Dilain sisi dengan perspektif kenegaraan, syarat berdirinya suatu negara

salah satunya adalah adanya penduduk. Rasionalitas inilah kemudian memperjelas

bahwa eksitensialis manusia secara umum merupakan penduduk disetiap negara


yang tidak hanya memerlukan pengakuan tetapi dalam dari pada itu setiap orang

salaku penduduk dan warga negara mempunya mutualisme dalam pengemabngan

dirinya. Misalnya pendidikan, pekerjaan , kesehatan, keamanan dan sebagainya.

Sehingga kontrol dan peran pemerintah selaku kemudi dalam kehidupan

bernegara begitu penting, baik ditingkat pusat, regional maupun lokal.

Memberi ruang kepada pemerintah untuk menerapkan kewajibannya jelas

tidak ambiguistik karena secara yuridis telah termaktub dalam beberepa item

konstitusi negara.(lihat UUD 1945 Amandemen Ke-4 yang telah disahkan pada

tanggal 10 Agustus 2002, Pasal 27, 28- 29).

C. Munculnya Pemerintahan Sebagai Ilmu dan Seni

Merujuk pada induk ilmu yaitu filsafat maka orientasi pengembangan ilmu

tidak terlepas dari ide dan teori terhadap fakta maupun fenomena yang ada.

Konstruk idealisme ilmuan memberi sumbangsih terhadap pengembangan dan

cabang ilmu begitu pula dengan teori yang nota benenya merupakan konstruk atau

UUD 1945 Bab X Warga Negara Dan Penduduk. Pasal 27, ayat (1). Segala warga negara
bersamaan dengan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, (2). Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, (3). Setiap warga negara berhak dan wajib ikut
serta dalam upaya pembelaan negara. Bab XA Hak Asasi Manusia. Pasal 28A: Setiap orang
berhak untk hidup dan berumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengn undang- undang. Pasal 28C, ayat (1). Setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan tekhnologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas
hidunya dan demi kesejahteraan umat manusia, (2). Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya
dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negaranya. Pasal 28D, Ayat (1). Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yag adil serta serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, (2). Setiap orang berhak
untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, (3).
Setiap warga negara berhak memperolah kesempatan yang sama dalam pemerintahan, (4). Setiap
orang berhak atas status kewarganegaraan. Pasal 28I, ayat (3). Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban, (4) perlindungan,
pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama
pemerintah. Bab XI Agama, pasal 29 ayat (1). Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa
konsep, batasan dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis

tentang fenomena dengan merinci hubungan- hubungan antar variabel yang

bertujuan menjelaskan dan memprediksi suatu gejala sebagaiman halnya dengan

munculnya masalah dan gejala pemerintahan.

Sejalan dengan paradigma itu, Muh Nasir (1988) pun mengemukakan bahwa

teori adalah alat dari ilmu (tool of science),sebagai formulasi fakta-fakta.

Berdasarkan analisa yang sebelumnya telah diuraikan esensi antara

pemerintah dengan manusia dalam relasinya secara vertikal dan horizontal. Maka

penulis kemudian mencoba mengembangkan uraian tersebut dengan kaitannya

antara teori dan fakta dengan perspektif induktif dan deduktif sehingga

melahirkan suatu ilmu. Karena secara realistis dan rasional praktik pemerintahan

selaku suprastruktur politik dalam mengelola dan mengontrol keberlangsungan

negara mengacu pada hak dan kewajibannya. Misalanya dalam proses

pengambilan keputusan (decision marking), kelihaian dan kepiawaian pemerintah

untuk memutuskan sesuatu perlu memperhatikan berbagai aspirasi dari bawah

dalam hal ini adalah masyarakat. Legitimate Power pemerintah sebelum mengambil

keputusan adalah keliru ketika tidak menggunakan rasionya. Sehingga hal mendasar

dapat dilakukan adalah aspiarasi dari bawah itu kemudian diperoleh fakta- fakta dan

selanjutnya di observasi agar mempermudah adanya ramalan dan penjelasan

terhadap situasi dan kondisi yang ada. Sehingga posisi pemerintah sebagai

legitimate power dapat melakukan decision marking yang super natural. Asumsi

ini sebagai ilustrasi dalam konseptualisasi teori sebagi cikal bakal lahirnya

pemerintahan sebagai suatu disiplin ilmu, sebagaimana skema berikut:


Teori Pemerintahan

Induktif Deduktif

1. Fakta 1. Ramalan
2. Observasi 2. Penjelasan

Pemerintahan Sebagai Ilmu

Skema konseptualisasi teori pemerintahan sebagai ilmu

Secara parsial dari skema diatas berkorelasi dengan paradigma kita bahwa

ilmu adalah seperangkat pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan logis,

mempunyai objek/ sasaran tertentu yang menjadi pokok pembahasan, adanya

pusat perhatian tertentu sebagai sudut pandang (focus of interets) dalam

membahas objeknya, menggunakan metode- metode ilmiah tertentu, memiliki

kebenaran (vehicle) yang objektif dan dan mempunyai tujuan tertentu. Demikian

halnya dengan munculnya pemerintahan sebagai ilmu. Sementara dalam konteks

pengetahuan, pemahaman penulis bahwa segala sesuatu yang kita ketahui

berdasarkan penangkapan panca indra baik melalui tangan, mulut, hidung, telinga

terlebih lagi dengan melalui mata.

Kendati pun, objektifitas disiplin ilmu utamanya pemerintahan lebih

rasional lagi manakala teori dan fakta dapat dijabarkan berdasarkan teori relasi,

seperti berikut:
Melamalakan
Memperkecil jangkauan
Memformulasikan fakta
Memperjelas jangkauan pengetahuan

FAKTA TEORI

Sumber lahirnya
Menolak Merubah
orientasi Mendefinisikan
kembali Memberi jalan
mengubah
Skema Relasi Teori dan Fakta Pemerintahan.........

Dari ke- 2 (dua) penjabaran skema diatas baik dalam perspektif ilmu dan

pengetahuan maupun dalam perspektif fakta dan teori berdasarkan realasi dan

realitasnya, maka penulis menarik suatu kesimpulan bahwa munculnya

pemerintahan sebagai ilmu karena tersusun secara sistematis dan terdiri dari

konsep- konsep, dimana konsep yang satu dengan lainnya saling berkaitan.

Konsep- konsep yang diambil dari lapangan empirik ini telah tersusun, oleh

karena itu munculnya pemerintahan sebagai ilmu disebabkan karena adanya

sistematika sendiri. Walaupun pada dasarnya umurnya masih cukup muda

dibanding dengan ilmu- ilmu lainnya, misalnya hukum, politik dan administarsi

tetapi dalam perkembangannya ilmu pemerintahan sebagai ilmu perbendaharaan

dapat lebih meyakinkan sebagaimana telah di kemukakan sebelumnya.


Pemerintahan Sebagai Ilmu

Ilmu pemerintahan berciri modern pertama kali lahir di Prusia dan Austria

pada abad ke-18. Pada masa itu ilmu pemerintahan dikenal dengan nama

Kameralwissenchaften, dengan landasan pemikiran bahwa pada masa itu diperlukan

sekelompok ilmu yang dipandang berkaitan dengan fungsi pejabat pemerintah.

Pada masa pemerintahan Frederik Willem I (1713-1740), mata kuliah Kameralistik

diajarkan di Universitas Frandfurk dan Universitas Hale. Mata kuliah tersebut

terdiri dari subjek- subjek yang dipandang esensial bagi pengelolaan secara

efisien suatu negara yang diperintah secara sentralistis, berbudaya paternalistis dan

menganut mahzab ekonomi merkentalisme. Terutama meliputi apa yang sekarang

ini berkembang menjadi public finance, termasuk administrasi penerimaan dan

pembelanjaan negara, ilmu kepolisian, statistic, stelsel perpajakan, struktur

birokrasi dan ketatausahaannya, juga ilmu ekonomi dengan penekanan khusus di

bidang pertanian. Hal ini tentunya dilihat dengan mempergunakan ukuran- ukuran

keilmuan modern, maka kameralistik itu baik secara empiris maupun metodologis

belum memenuhi persyaratan- persyaratan yang diperlukan.

Numun kameralistik sebagai suatu sistem pemikiran dan sebagai suatu

metode untuk mendidik mereka yang ingin bekerja di lingkungan birokrasi maka

secara berangsur- angsur dan hampir sepenuhnya digantikan oleh studi di bidang

hukum pada abab ke-18 dan awal abad ke -19, di Jerman dan Austria, pergeseran

dari kameralistik ke cara pendekatan hukum itu berlangsung demikian cepat dan
sempurna, sehingga kameralistik dipandang tidak perlu lagi diajarkan di

universitas- universitas.

Menurut Carl Fredrich bahwa faktor penyebab bergesernya studi

kameralistik pada studi hukum karena perkembangan spirit pemerintahan negara

kala itu, negara berdasakan konstitusionalisme dan legalisme yang mengatur

hubungan- hubungan antara penguasa dengan rakyat dan melindungi kebebasan dan

hak milik individu- individu. Termasuk pertama : gerakan kodifikasi hukum, mula-

mula di Austria, kemudian di Jerman dan dan selanjutnya di sebagian besar eropa

pada waktu napoleom berkuasa; kedua, tumbuhnya lembaga- lembaga peradilan

administrasi; serta selera pribadi dari para raja yang ingin mengambil hati dari

rakyatnya (Carl Fredrick, 1993).

Sebagai akibat dari perubahan tersebut, maka sebagian besar dari isi

program pendidikan bagi mereka yang dipersiapkan untuk menduduki jabatan-

jabatan tinggi pemerintahan itu lalu terdiri dari aneka studi tentang hukum, sehingga

orientasinya tidak lagi tertuju kepada pengelolaan secara efisien dari “estate” milik

raja, melainkan tertuju kepada perepan hukum secara tepat dan benar, khususnya

yang mengtur hubungan dengan antara penguasa dengan rakyat. Sampai pada

pertengahan abad ke – 20, banyak negara di eropa daratan yang sebagian besar

pejabat tingginya terdiri dari ahli-ahli ilmu hukum yang nota benenya memiliki

bahan- bahan dari statistik mempunyai nilai besar dan dapat ia andalkan.
Dengan demikan maka semenjak bagian terakhir dari abad ke-18,

kameralisme tidak lagi berkembang di Eropa. Merosotlah kameralistik seraya

memberikan perkembangan hukum pemerintah.

Hampir di seluruh daratan Eropa Barat perkembangan studi negara dan

ajaran negara menjadi abad ke-19 dan pada abad ke-20 menambahkan nama studi

hukum administrasi. Pada bidang ilmu pemerintahan Burke dan Benthan

menganjurkan perlu diadakan perbaikan terhadap kelalaian dari dinas pemerintah,

kelebihan staf, inaktif dan inkompeten.

Di Amerika Serikat ilmu pemerintahan berkembang sebagai suatu bidang

otonom yang dipelopori oleh Profesor Wodroow Wilson (kemudian menjadi

Presiden Amerika Serikat). Ia menganjurkan adanya studi khusus tentang

masalah-masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas pemerintah yang

berhasilguna dan berdayaguna. Sementara ilmu yang mempengaruhi prograsitas

Ilmu pemerintahan yaitu ilmu-ilmu humaniora seperti sosiologi, psikologi,

psikologi-sosial, antropologi, ekonomi, politikologi dan ditandai dengan

penanganan antar disiplin, dengan pendayagunaan dari teori-teori, istilah-istilah

serta metode-metode dari semua ilmu tadi, selain dipercaya dengan filsafat juga di

ilhami dengan lahirnya teori pemerintahan liberal dari John Locke pada tahun

1690 yaitu ajaran tentang pemerintahan demokrasi modern.

John Locke memandang kekuasaan legislatif sebagai yang tertinggi dan

eksekutif berada di bawahnya.

“Kekuasaan pemerintahan mesti dibatasi oleh kewajiban menunjang hak-


hak azasi manusia antara lain: hak atas keselamatan pribadi, hak
kemerdekaan dan hak milik.”
Sebaliknya di Amerika Serikat kurang lebih 100 tahun kemudian, tumbuh

ilmu yang sejenis dengan kameralisme tersebut. Ilmu ini di rintis oleh orang-

orang yang pernah belajar di Jerman dan terkesan hasil- hasil kameralisme pada

masa lalu. Berbeda halnya dengan di Erope, maka demokratisasi Amerika Serikat

sudah tidak lagi menjadi permasalahan pelaksanaannya bahkan dipandang sudah

berlebihan, sehingga menimbulkan dampak negativ yang berupa inefisiensi

dilingkungan birokrasi. Rekrutmen untuk kantor- kantor pemerintah

mempergunakan system spoil, dengan mekanisme rotation of office yang

dilakukan segera setelah sesuatu partai menang dalam pemilihan umum. Sistem

ini telah dilaksanakan berpuluh-puluh tahun, yaitu semenjak Andrew Jackson

terpilih sebagai presiden Amerika Serikat pada tahun 1828. Yang menjadi

landasan pemikiran adalah filsafat egalitarian, yang dijabarkan menjadi sistem

pemerintahan oleh rakyat dan dilaksanakan sesuai dengan hasil pemilihan umum

yang bebas. Dibentuklah kemudian administrasi pemerintah oleh orang- orang

yang merupakan wakil- wakil rakyat. Sistem ini kemudian dipandang akan

membuka kehidupan publik bagi rakyat biasa, yang sampai pada tingkatan

tertentu selalu dikecualikan dari organisasi pemerintahan, disebabkan karena

masih berlakunya norma- norma yang aristokratis. Para pendukung spoils System

bisanya mengacu kembali kepada pidato tahunan presiden Andrew Jackson

dimuka kongres pada tahun 1829, yang antara lain berbunyi sebagai berikut :

“Hanya dengan sistem rotasi pada kantor- kantor pemerintah sesuai


dengan hasil-hasil pemilihan umum, maka kita dapat mengamankan
negara dari bahaya dimana pegawai- pegawai pemerintah mempunyai
kebiasaan melihat secara acuh taka acuh terhadap kepentingan rakyat serta
mentolerir perbuatan- perbuatan yang dapat menguntungkan diri mereka.
Saya tidak dapat berpendirian lain kecuali percaya, bahwa lebih banyak
yang hilang di sebabkan oleh berlama- lamanya seseorang di dalam
jabatan publik dibandingkan dengan apa yang diperoleh dari pengalaman
mereka pada umumnya. Tugas- tugas dari semua pegawai pemerintah itu
adalah sedimikian lugas dari sederhananya, sehingga setiap orang yang
mempunyai intelegensi akan segera mempuanyai kemampuan untuk
melaksanakannya” (leonard D. White, 1954)

Spoil system tersebut ternyata kemudian menimbulkan berbagai akses.

Terutama banyak sekali orang yang sesungguhnya tidak mempunyai kecakapan,

namun diangkat menduduki jabatan- jabatan penting. Oleh sebab itu, secara

berangsur- angsur timbul reaksi dari para guru besar, penulis, pendeta, editor surat

kabar, bahkan dari politisi itu sendiri. Mereka menghendaki informasi para

pendukung system spoil tentu saja bertahan sekuat- kuatnya. Namun praktek spoil

sistem menimbulkan amarah bagi rakyat kemudian memuncak setelah

terbunuhnya Presiden Garfield pada tahun 1883 yang membuka akses penyusunan

Undang- Undang Pendleton (Pendleton Act). Ditahun yang sama juga merupakan

awal pemberlakuan merit sistem dalam merekrut para jabatan pemerintahan,

(Leonard D.White, 1958).

Penekanan utama dari undang- undang pandleton itu, sebagaimana yang

diantara lain dikemukakan konsiderannya, adalah : System merit itu merupakan

langkah kearah moral reform. Reform kepegawaian dengan demikian di pandang

bukanlah sekedar seleksi dan ujian- ujian bagi calon pegawai, namun terutama

merupakan koreksi terhadap korupsi didalam kehidupan politik. Oleh seorang

pendukung, undang- undang tersebut, sytem rotasi jabatan dikatakan telah

menyalahgunakan kepercayaan rakyat denga menggatikannya menjadi party spoil

yang menghacurkan kehormatan diri dari pada pegawai, menghacurkan pula

berfungsinya partai sebagai sarana demokrasi, melacurkan pemilu sehingga


menjadi perjuangan yang serakah bagi keuntungan pribadi, dan menegradasi waak

nasional dengan cara merendahkan standar dan suasana moral negara. (Leonard

D. White, 1958)

Namun mereka yang ingin mempertahankan sytem spoil tidak pula kurang

alasannya. Seorang pendukung system spoil yang bernama Williams Martin Dicson,

pada tahun 1882 mengemukakan sebagai berikut: dengan sistem ratasi yang masuk

akal, maka setiap warga negara yang mempunyai aspirasi politik dn berpengalaman,

serta yang sudah mencapai usia pertengahan, akan dapat berharap untuk

meningkatkan harkat keluarganya dengan kehormatan yang diberikan oleh

pemerintah dalam bentuk menduduki jabatan. Prospek ini merupakn motif bekerja

baik. Ini merupkan kehormatan peerge yang diberikan oleh republik, tidak kapada

suatu kelas yang khusus, akan tetapi kepada setiap warga yang mengabdi

kepadanya, (Leonard D. White, 1954)

Mereka selanjutnya mengemukakan jika system Merit benar- benar

dilaksankan, maka jabatan- jabatan pemerintah akan dikuasai dan hanya menjadi

milik sekelompok warga tertentu. Alasan tentang terjadinya korupasi sebagai

akaibat system Spoil tidaklah tepat. Oleh karena korupsi itu pada umumnya hanya

merupakan akses. Dengan demikian jika benar terdapat penyalahgunaan dalam

pelaksanaan rotasi jabatan, maka korekasinya tidaklah harus dengan penghapusan

system rotasi itu sendiri. Sebab pergantian pejabat- pejabat setelah

diselenggarakan pemilihan umum, bagaimanapun juga merupakan satu- satunya

system personalia yang sesuai dengan demorasi.


Apabila korupsi itu bersifat ineherent, dalam rotation in office, maka

demokrasi itu tentunya juga korup, padahal rakyat amerika sudah sepakat

menerima demokrasi itu sebagai nilai tertinggi yang melandasi kehidupan

kenegaraannya. Orang- orang yang menerima system Merit dengan demikian adalah

anti demokrasi, merupakan orang- orang yang berusaha menggoyahkan sendi atheis

yang paling dari negara dan masyarakat Amerika.

Dalam perdebatan yang seru tersebut, dimana mereka yang menginginkan

dilaksanakannya system Merit berhasil dipojokkan dengan tuduhan orang- orang

yang anti demokrasi, beruntung ada salah seorang dewa penolong yang bernama

Woodrow Willson, seorang maha guru dalam ilmu politik dengan argumen-

argumen ilmiahnya, Woodrow Willson berhasil mempertahankan pandangan,

bahwa reformasi kepegawaian denga menerapakan sytem Merit adalh tetap sesuai

dengan demokrasi sebagai nilai kebajikan sosial tertinggi di Amerika Serikat.

Woodrow Willson membedakan antara politic dengan

administration.demokrasi sebagai sistem politik adalah masuk lingkup politik,

berkaitan dengan politik dan tidak berkaitan dengan administrasi.

Adminstrasi adalah ilmu, yang prinsip- prinsipnya dapat diajarkan dan

diterapkan pada setiap rezim, baik rezim yang demokratis maupun rezim- rezim

yang lain. Kemudian administrasi juga merupakan science, profession, tekhnik, yang

secara politics adalah netral. Dalam hal ini, upaya untuk membebaskan

pagawai- pegawai pemerintah dari politik, dengan demikian bukan sikap anti

demokrasi.
Pandangan Willson ini dikemukakan pada waktu yang tepat ketika

munculnya gerakan yang dinamakan Scientific Management Movement bersamaan

dengan dikembangkannya ajaran Karl Max tentang The Ideal Type Bureaucracy. Di

organisasi- organisasi pemerintah, menurut Willson sudah perlu dilaksanakan cara

pendekatan bisnis dalam hal pengelolaannya Business- like sppoarch to

government. Sebab memang terdapat prinsip- prinsip yang bersamaan pada setiap

ornaisasi, sehingga organisasi- organisasi pemerintah pun harus dikelola secara

ekonomis dan efisien dalam rangka mencapai tujuan- tujuan yang telah ditetapkan

oleh the administrative political superiors, yang dipilih oleh rakyat. (Leonard D.

White, 1958)

Samapai tahun 1930- 1940an, dikotomi politik administrasi dari Willson

ini merupakan doktrin dikalangan negara- negara demokrasi yang melaksanakan

System Merit. Pemahamannya tentang administrasi sebagai suatu science, yang

bebas dari politik dan tidak tergantung kepada variabel- variabel kultural dan oleh

karena itu dapat diajarkan sebagaimana ilmu- ilmu lainnya, telah melahirkan

sejenis kameralistik versi Amerika, yaitu ilmu administrasi negara public

administration.

Karena administrasi itu, menurut Willson, tidak tergantung kepada

variabel- variabel cultural, maka orang tidak perlu takut mengimpor system

administrasi yang diciptakan dan dikembangakan pada sistem budaya yang berbeda.

Oleh karena itu, kita dapat memanfaatkan administrasitive skills dari kerajaan

Prusia dengan tidak harus mengalami sejarah politik Prusia.


Ketakutan terhadap Officialism yang bersifat domineeringi dan illiberal,

menurut pendapatnya juga tidak beralasan selama para pegawai itu mempunyai

pendidikan yang cukup dan benar- benar memahami aspirasi- aspirasi dari

masyarakatnya. Dengan memenuhi persyaratan tersebut, maka administrasi

pemerintah di Amerika Serikat pada setiap seginya pastilah sensitifterhadap

kepentingan rakyat dan terhadap public opinion.

Jadi perlu korp pegawai yang terdidik dan terlatih, berperilaku baik,

menghayati demokrasi sebagai, nilai sosial tertinggi di Amerika Serikat,

mempunyai kehormatan diri, sehingga mereka akan selalu tanggap terhadap

kepentingan rakyat dan mampu memecahkan permasalahan- permasalahan

rakayat itu secara profesional.

Dalam hubungannya dengan administrasi yang bebas dari nilai- nilai

kultural itu memang ada pendapat dari Woodrow Willson yang bersifat mendua,

karena ia juga mengemukakan sebagai berikut: sebelum kita melaksanakan sistem

administrasi yang kita impor dari luar maka terlebih dahulu kita harus meng-

Amerika-kannya, baik dalam pikiran, prinsip-prinsip maupaun dalam tujuan. Kita

harus terlebih dahulu memahai dan menghayati konstitusi kita. Juga kita harus

selalu waspada akan penyakit birokrasi yang sewaktu waktu dapat menghinggapi

kita. Hal ini hanya mungkin, jika kita dapat selalu bersyukur dan merasa bahagia

karena dapat menghirup sebanyak- banyakanya udara Amerika yang bebas.

Sementara itu di Inggris pada sekitar tahun 1700 berdirilah pemerintahan

monarki parlementer di mana kedaulatan negara berada di tangan perwakilan

rakyat dan pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat. Revolusi Amerika pada
tahun 1776 dan Revolusi Perancis pada tahun 1789 mempercepat proses

demokratisasi dan pengakuan terhadap hak-hak azasi manusia.Terhadap itu semua

muncul lagi reaksi konservatisme terutama dari Burke dan Hegel.

Birokrasi lahir di istana raja dan merupakan perwujudan dari orang-orang

kepercayaan yang memerintah bersama raja yang diberikan pembagian tugas satu

sama lain didasarkan pada selera pribadi dan tradisi.

Sehingga pada awal abab 19 di Eropa terdapat kecenderungan untuk

menghidupkan kembali pendekatan kameralistik bagi mereka yang dipersiapkan

untuk menduduki jabatan tertinggi di pemerintahan. Atas dasar itu, dibutuhkan

sehimpunan ilmu tertentu untuk mengelola penyelenggaraan pemerinatahan

negara secara efisien dan efektif.

Sementara di Indonesia sendiri pemerintahan berawal dari pembentukan

pemerintahan swasta pada tahun 1602 oleh Belanda yang bernama VOC terutama

di pulau Jawa lebih dikenal dengan Kompeni. VOC kemudian runtuh pada tahun

1795 dan didirikanlah pemerintahan Hindia Belanda dengan Gubernur Jenderal

yang pertama adalah Deandels.

Sejarah modern ilmu pemerintahan dan politik berawal dalam abad ke-19.

Pemerintahan negara berkembang menjadi suatu pemerintahan yang memberikan

pelayanan dan pemeliharaan terhadap para warganya. Pemerintah lebih banyak

mengurusi kesejahteraan dan penghidupan, pendidikan dan perawatan kesehatan

serta kesempatan kerja dan tunjangan sosial atau jaminan hidup bagi warga yang

menganggur.
Perkembangan pemerintahan secara berawal mulai dari tahap prasejarah

hingga tahun 1993, Ilmu pemerintahan telah menjadi ilmu yang multi disiplin dan

mono disiplin dengan penekanan pada umum, organisasi dan pengambilan

keputusan, perencanaan dan pelaksanaan serta prinsip swastanisasi dalam

pemerintahan.

Pada tahun 1903, pemerintahan kerajaan Belanda menerapkan kebijakan

Decentralizatie Wett yang mengatur sistem penyelenggaraan pemerintahan di

Hindia Belanda dengan menganut pemerintahan lokal yang diberi kewenangan

untuk mengurus pemerintahan sendiri dalam pembinaan dan pengawasan

kolonial. Kemudian tahun 1920 dinegeri belanda, dibentuklah program studi

Indologie di Universitas Laiden pada Fakultas Hukum, Sastra, dan Fakultas

Filsafat untuk mempersiapkan tenaga yang bertugas mengurus pemerintahan

Hindia Belanda dalam waktu yang bersamaan di bentuk pula pendidikan Pamong

Praja “Opleidings School Voor Inlansche Ambtenaren (Mosvia)” di Hindia

Belanda. Lulusan Mosvia dipergunakan untuk memperkuat penyelenggaraan

pemerintahan Hindia Belanda yang dipimpin oleh kelompok Binnenlands Bestuur

Corps.

Dengan dibentuknya program Indologie, keluarlah keputusan pemerintah

yang mengatur pendidikan para pegawai pemerintahan di Hindia Belanda yang

dikenal dengan nama Besluit op de indische Bestuursopleiding 1922. Berdasarkan

besluit IB 1922, para pejabat Binnenlands Bestuur mulai pangkat Adminstratif

Ambtenar, Aspirant Controleur, Controleur, Geweselijk Secretaris, Assistent

Resident, Resident, sampai Gouverneur adalah lulusan Indologie.


Pada pertengahan abad ke- 20 pembelajaran Indologie berkembang pesat

dan timbul kesadaran para ilmuan Eropa khususnya Belanda untuk

mengembangkan ilmu untuk memerintah (Bestuurkunde), yang ditandai dengan

munculnya karya Van Poelje pada tahun 1942 tentang Bestuurkunde yang

membahas pemerintahan sebagai ilmu (scince). Bestuurkunde (Ilmu Pemerinatahan)

berkembang menjadi Bestuurschap (Ilmu-Ilmu pemerintahan),

Bestuurwetenschapen (Ilmu- Ilmu pembantu Ilmu Pemerintahan).

Pemerintahan Sebagai Seni

Dalam keseharian, manusia dan segala elemen yang ada tentu saja tidak

terlepas dari yang namanya seni. Ketika ditelaah seni dipahami sebagai nilai dasar

kebebasan kreatif, hal ini mendukung adanya sudut pandang keyakinan/ focus of

trust untuk memilih dan menentukan sesutu yang berbeda dengan konstruk

formalitas dan material sebelumnya, sehingga tercipta terobosan baru yang lebih

inovatif. Ini tentu saja memiliki sinkronisasi dari definisi seni bahwa seni

dianggap sebagai padanan kata art (Inggris, dari kata latin ars, artinya skill), atau

kunst dalam bahasa belanda disebut Kunde, artinya kepandaian.

Pendapat bahwa pemerintahan suatu seni, yaitu bagaimana kemampuan

menggerakan organisasi-organisasi dalam kharismatis retorika, administrator dan

kekuasaan kepemimpinan, serta bagaimana kemampuan menciptakan,

mengkarsakan dan merasakan surat-surat keputusan yang berpengaruh, atau juga

bagaimana kemampuan mendalangi bawahan serta mengatur lakon yang harus

dimiliki pemerintah sebagai penguasa.


Menurut Gerge R. Terry dalam Inu Kecana Syafiie Seni adalah Art is

personal creative power plus skill in performance. Maksudnya seni adalah kekuatan

pribadi seseorang kreatif, ditambah dengan keahlian yang bersangkuan dalam

menampilkan tugas pekerjaannya. Menurutnya bahwa seni merupakan kemampuan

dan kemahiran seseorang untk menciptakan rasa dan karsa yang dimiliki dan

bersangkutan terhadap tugas dan fungsinya sebagai seniman.

Dalam perenungan sesaat betapa indahnya tubuh seekor kuda berlari dan

debu yang mengempul di belakangnya, betapa indahnya burung berkicau dan

perloncatan sepanjang pagi inililah kemudian yang membuat para seniman lukis,

seniman film, seniman ukir dan seniman suara dalam melukiskannya dan

mengiaskan. Demikian Inu Kecana menimpulkan bahwa:

“Sebenarnya manusia menikmati apa yang disuguhkan oleh yang


Mahakuasa kepada kita dan manusia menangkapnya dengan naluri
seninya, bila demikian melihat bagaimana indahnya pimpinan bersama
rakyatnya bekerja sama membangun negeri dapat memancing para
pemimpin negara untuk dengan bangga menggerakkan tangannya
memerintah kepada hal yang baik dan benar agar jalannya roda
pemerintahan sesuai dengan keindahan seni pemerintahan, (Inu Kencana,
2010: 24)”

Dari keseluruhan pandangan lebih konkrit penulis menyimpulkan bahwa

dalam khasanah pemerintahan seni merupakan bagian terpenting dalam

mengartikulasikan perencanaan, pelaksanaan maupun evalusasi terhadap berbagai

gerakan dalam praktik pemerintahan yang berdaya guna dan berhasil guna.
PENGERTIAN, OBJEK DAN RUANG LINGKUP ILMU PEMERITAHAN

Wajah kusam pemerintahan dalam ranah publik sepertinya menjadi santapan

pahit sehari- hari. Ada yang menganggap bahwa kultur yang berlaku utamanya

dalam tatanan sosial lebih mengedepankan hajat untuk pemenuhan kebutuhan

personal semata ketimbang upaya pemuasan kolektif. Hal ini menjadi pijakan bagi

khalayak untuk merekontruksi hierarki pemerintahan seperti pada sediakala yang

memcoba untuk berada disetiap sudut kegalauan bangsa. Sebagai contoh budak

tunduk terhadap sang raja yang memiliki legitimasi kekuasaan dalam kubu

istanah, bagaimana seorang Karaeng dalam adat lokal lebih di hormati dengan

derajat kekuasaan pangkat yang secara turun- temurun mengakar pada

generasinya dan bagaimana seorang tokoh masyarakat kampung diangkat

menjadi Kepala Desa dengan derajat ketokohonnya.

Demikian dalam pandangan akademisi, jelas terbantahkan dengan analogi

bahwa seorang pengembala kerbau misalnya yang hanya pandai mengembala

dengan indikator bagaimana pertumbuhan dan generasi kerbau hasil

peliharaannya dapat berkembang, tanpa memperhatikan bagaiman daya dan upaya

agar kerbau tersebut dalam jangka panjang dapat membangun sebuah istana yang

nilai jualnya sesuai dengan keringat dan jeripaya selama mengembala.

Demikian pula ketika kita berbicata ilmu pemerintahan. Aparatur negara, baik

birokrat, politisi maupun praktisi ketika hanya mampu menilai calah negatif

pemerintah tampa memberi solusi lewat pendalaman hakikat akan sesuatu yang di

kritisi, maka pastinya juga lalu, kadang kala menimbulkan istilah menyerang buta-

buta.
Asumsi dan analogi tersebut mengetuk nurani penulis untuk menyampaikan

bahwa sangat mustahil sebuah objek dapat memenuhi kesenangan, ketika dasar

dan dimensinya tidak dipahami secara pasti. Demikian deskripi ini menjadi

asupan awal dalam menyerap poin- poin pembahasan berikutnya.

A. Pengertian Ilmu Pemerintahan

Bergelut dalam dunia pemerintahan secara praktis tidak cukup hanya

menggunakan alat dan tenaga untuk bekerja, tetapi bagaimana kemampuan teoritis

untuk meneropong dimensi subjek yang akan dipraktekkan. Dengan demikian

koherensi ilmu pemerintahan perpijak pada 3 (tiga) pendekatan yaitu:

1. Ontologi Ilmu Pemerintahan

Ontologi adalah subjec matter, focus interest, hakekat yang dikaji. Artinya

apa sebenarnya yang dikaji oleh ilmu pemerintahan, hal ini meliputi definisi,

batasan dan ruang lingkup ilmu pemerintahan itu sendiri.

Lebih dalam ontologi dipahami sebagai tentang ada dan realitas, meninjau

persoalan secara ontologis melalui penyelidikan terhadap sifat dan lealitas

dengan refleksi rasional serta analisis dan sintetis logika. (Inu Kencana

Syafiie 2010: 11)

Dari sisi ontoligacal ini imu pemerintahan terlihat sebagai body of

knowledge yang berkembang dari waktu ke waktu dan berbeda dari tempat-

ke tempat.

Sebagai contoh perbandingan praktik pemerintahan di berbagai birokrasi

pemerintahan secra formal, sebut saja aparatur Eksekutif mulai presiden dan

jajarannya yang melakukan sudy banding kenegara lain, kemeudian bagaiman


lembaga legislatif yang meliputi DPR, DPD, dan MPR melakukan study

banding daerah- daerah diluar ruang lingkup representatifnya, demikian juga

pemerintah daerah mulai dari bupati, camat, Desa, dan Lurah mencoba

melakukan penyesuaian terhadap rencana program yang akan

dilaksanakannya.

Dan terkait ruang lingkup ilmu pemerintahan seperti pada pembahasan

berikutnya nanti, secara eksplisit penulis munegaskan bahwa seyogyanya

ilmu pemerintahan merupakan ilmu yang serba bisa, kenapa demikian?

Karena ruang lingkup ilmu pemerintahan mencakup segala aspek dan dimensi

disiplin ilmu sebagai contoh, gejala dan peritiwa pemerintahan memilik

keterkaitan erat dengan ilmu- ilmu lainnya seperti sosiologi, politik, hukum

adaministrasi dan negara seperti yangh terseusun rapi di bab pembahasan

berikutnya.

2. Epistemologi Ilmu Pemerintahan

Epistemologi ilmu pemerintahan meneropong bagaimana sebenarnya ilmu

pemerintahan itu didapat, metode apa yang digunakan. Ilmu pemerintahan

didapat melalui data- data empiris lapangan berupa fakta- fakta pemerintahan

mulai dari tingkat internasional, nasional, regional dan lokal, mulai dari

tingkat pusat sampai tingkat Desa. Sementara metode penelitian yang

digunakan berupa deduktif, induktif, deskriptif, historis atau eksperimen.

Pendekatan analisanya berupa kelembagaan, perilaku, dsb.

Pemerintahan yang berbasis ilmu pengetahuan sejatinya bersifat eklektik

artinya pemicu lahirnya ilmu pemerintahan dengan pendekatan yang yang


ideolografik- normatif dengan metode yang terbaik dari segala metode yang

ada.

Sebgaimana G. A. Van Polje dalam Talisiduhu Ndaha mengembukakan

sebgai berikut:

“Ilmu pemerintahan adalah ilmu yang bertujuan untuk memimpin hidup


bersma manusia ke arah kebahagiaan setinggi- tingginya tnpa merugikan
orang lain secra tidak sah, (G. A. Van Poeje: 13)

Mencermati persoalan ini maka, dari sudut pandang epistemologi,

pemerintahan mengutamakan segi penggunaan atau aplikasi sebagai bahan

acuan sampai ilmu pemerintahan dikategorikan sebagai ilmu terpanan.

Namun lebih dari itu, perkembangan ilmu ini, seraya disadari secra umum,

betapa pentinggnya dalam kehidupan sehari- hari yang tadinya hanya hanya

mengacu pada persoalan penggunaan atau aplikasi benrkembang menjadi

sebuah kaeharusan untuk menjadi bahan edukasi yang mandiri ti tengah-

tengah- tengah banyaknya disiplin ilmu. (Lihat Kybernology 1)

3. Aksiologi Ilmu Pemerintahan

Aksiologi ilmu pemerintahan berbicara penerapan ilmu, manfaat ilmu dan

kegunaan ilmu. Pertama, penerapan ilmu pemerintahan itu dapat dari tingkat

bawah samapi tingkat atas. Kedua, manfaat ilmu pemerintahan dapat berupa

kognitif, yaitu peningkatan nalar dan gagasan pemerintahan dan psikomotor

yaitu, dapat meningkatkan keterampilan birokrat dan pelayanan publik.

Sementara yang ke tiga, persoalan kegunaan ilmu pemerintahan dapat

mengacu pada affektif, yaitu bagaimana meningkatkan penghayatan dan

kesadaran berpemerintahan.
Berikut para pakar mengemukakan teorinya mengenai ilmu pemerintahan

yaitu:

1. Menurut D. G. A. Van Poelje, de bestuurkunde leert, hoe men de

openbare dienst en leidt, maksudnya ialah ilmu pemerintahan

mengajarkan bagaiman dinas umum disusun dan dipimpin dengan

sebaik- baiknya.

2. Menurut U. Rosenthal, de bestuurswetenschap is de wetenschap die

zich uitsluintend bezighought med de stuidevan internen eksterne

warking van de structurenen prosessen. Maksudnnya adalah ilmu

pemerintahan adalah ilmu yang mengeluti studi tentang penunjukan cara

kerja kedalam dan keluar strukur dan proses pemerintahan umum.

3. Menurut H. A. Brasz, de bestuurswetenschap waaronder het veerstat

de wetenschap de zich bezighhougdt med de wijzewaared de openbare

deints is igericht en fuctioneert internen en neer buiten tegenover de

burgers. Ilmu pemerintahan dapat diartikan sebagai lm yang

mempelajari tentang bagai mana lembaga pemerintah umum itu di

susun dan difungsikan secara kedalam maupun secara keluar terhadap

wargannya.

4. Menurut C. F. Strong, goverment in the broader sense, is change with

the maintenance of the peace and security of state with in and with aut.

It must theeifour, have firs military power of the control of armed

forces, secondly legislatife power of the mean of making laws,


thirdlyfinancial power or the ability to extract sufficints money from

the community to defray the cos of defending of state and of engforcing

the law it makes on the states’behalf. Maksudnya dalam pemerintahan

luas mempuyai kewenangan untuk memelihara kedamaian dan keaman

negara, kedalam dan keluar. Oleh karena itu pertama.harus mempuyai

kekuatan militer atau kemangpuan untuk mengendalikan perang ,yang

kedua harus mempuyai kekuatan legislati dalam arti pembuatan undang-

undang ,yang ketiga harus mempuyaikekuatan finansial dalam arti

mempuyai kemanpuan untuk mencukupi keuangan masyarakat dalam

rangka membiyayai ongkos keberadaan negara di dalam

menyelengarakan peraturan, hal tersebut bermaksud dlam

penyelengaraan negara.

5. Menurut R. Mac. Iver, a science of how men are governed. Artinya

ilmu pemerintahan adalah sebuah llmu tentang bagaimana manusia-

manusia dapat di perintah.

6. Menurut Merriam, external security,internal order, justice, general

walfare, and freedom. Artinya Ilmu pemerintahan adalah ilmu yang

mempelajari tentang bagaimana menyeimbangkan kepengurusan

(eksekutif), pengaturan (legislatif), kepemimpinan dan koordinasi

pemerintah (baik pusat dengan daerah, maupun rakyat dengan

pemerintah) dalam berbagai peristiwa dan gejala pemerintahan, secara

baik dan benar.


7. Menurut Musanef (1987: 7), ilmu pemerintahan adalh suatu ilmu yang

dapat menguasai dan memimpin serta menyelidiki unsur—unsur dinas,

berhubungan dengan keserasian ke dalam dan hubungan antara dinas-

dinas itu dengan masyarakat yang kepentingannya diwakili oleh dinas

itu.

Dari keseluruhan teori tersebut dengan kaitan praktiknya, nampak jelas

adanya tumpang tindih antara yang satu dengan yang lainnya dan antara

pemerintah selaku pelayan dengan masyarakat selaku objek yang dilayani. Hal

serupa yang menjadi pendirian Ndraha pada sejumlah literaturnya mengemukaan

bahwa pemerintah pada dasarnya memiliki tugas sebagai subjek pemenuhan

kebutuhan akan jasa publik dan layanan civil.

“Ilmu pemerintahan dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang


bagaimana cara memenuhi dan melindungi kebutuhan dan tuntutan tiap orang
akan jasa-publik dan layana-civil, dalam hubungan pemerintah, (sehingga dapat
ditrima) pada saat dibutuhka oleh orang yang bersangkutan. (Taliziduhu
Ndraha, 2003)”.

Beranjak dari sejumlah teori yang telah dikemukakan tersebut maka sebuah

analisa sederhana yang penulis kemukakan bahwa antara pemerintah dengan

masyarakat cukup dekat dalam hubungan kekeraban begitupula ketika berbicara

masalah hak asasi dan kewajiban asasi bagaiman kemudian pemerintah secara

baik berperan aktif dalam segala hal. Itulah sebabnya ilmu pemerintahan secara

sadar penting untuk di pelajari di berbagai aspek kehidupan.

B. Objek Ilmu Pemerintahan

Ilmu pemerintahan sebagai bagian dari ilmu sosial tidak terlepas dari objek

kenegaraan sebagai materi dalam praktiknya. Namun dalam penelusuran


mendalam terkait dengan berbagai ilmu- ilmu sosial kenegaraan lainnya nampak

jesas perbedaannya secara formal seperti ilmu politik, ilmu administrasi publik,

ilmu hukum tata usaha negara dan ilmu negara itu sendiri sebgaimana akan di

uraikan lebih detail dalam Bab pemebahasan berikutnya. Namun sebelumnya

sebuah uraian oleh Inu Kencana Syafiie dalam bukunya yang erjudul Etika

Pemerintahan ed. rev 2010 bahawa filosofi disiplin ilmu dapat diperjelas melalui

dua objek akajian yaitu objek materia dan folma, diman objek materi merupakan

gambaran umum pembahasan sementara objek forma merupak spesifikasi

pemahasan terhadap disiplin ilmu tersebut sebagai berikut:

NAMA DISPLIN ILMU OBJEK


NO OBJEK FORMA
PENGETAHUAN MATERIA

Konstitusi, pertubuh-
1 Ilmu Negara Negara kembangan negara, lahir dan
tenggelammnya negara.

Hubungan pemerintahan,
2 Ilmu Pemerintahan Negara gejala- gejala pemerintahan,
peristiwa pemerintahan.

Kekuasaan, partai politik,


3 Ilmu Politik Negara Group penekan, kepentingan
masyarakat.

Hukum, peraturan
Ilmu Ilmu Hukum Tata
4 Negara perundang- undangan,
Negara
konstitusi dan konvesi.

Pelayanan, organisasi
5 Ilmu Administrasi Negara Negara pemeintahan dan manajemen
pemerintahan
Naman secara eksplisit berbicara objek kajian ilmu pemerintahan fokus

perhatin (focus of interest) dengan pendekatan ontologis ialah menyangkut

masalah hubungan pemerintahan, gejala- gejala pemerintahan dan peristiwa

pemerintahan sebagaimana telah di uraikan diatas..

Sebagai contoh ketika berbicara mengenai unsur- unsur kedianasan dan

kelembagaan, adalah bagaimana keterkaitan anatar dinas, instansi maupun

lembaga yang satu dapat berkoordinasi dan menjalannkan manerial berdasarkan

sasaran kerjanya. Keserasian antara pusat koordinasi yang satu dengan yang lain

baik secara internal maupun eksternal dapat mewakili kepentingan masyarakat

secara arif dan bijaksna hal ini tertu saja menjadi pemicu tumbhnya prestasi atau

nilai yang disebut good governance.

Demikian pula ketika berbicara desentaralisasi bagiamana objek

pemerintahan ditingkat lokal dapat di jalankan secara spontan dan progres dengan

memperhatikan hakikat desentralisasi yang subtansinya bahwa pusat

menyerhakan sebagian urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah

untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Namun perlu pula

diperhatikan bahwa esensi penyerahan urusan tersebut memiliki batasan sebagai

contoh ketika ketiak pertahan dan keamanan juga diserahkan kepada daerah maka

tidak menutup kemungkinan pusat hanya formalitas karena secara otomatis daerah

manjadi adikuasa dalam suatu negara dan dalam sistema politik dan pemerintahan

namapak jels penjabarannya bahwa adanya pemerintah pusat yang digologkan ke

eksekutif, legislatif dan yudiaktif sekaligus turunannya ditingkat provinsi dan

daerah atau daerah tingkat I dan tingkat II. Sehingga objek ilmu pemerintahan dari
sudut pandang koordinasi kiranya bisa dipelajari secara saksama baik secra

vertikal maupun secara fungsional.

Seperti Inu Kencana Syafiie dalam bukunya Etika Pemerintahan

menyebutnya sebagai berikut:

“ Koordinasi vertikal adalah penyelarasan kerjasama secara harmonis dan


sinkron dari lembaga yang sederajat lebih tinggi kepada lembaga yang lebih
rendah derajatnya. Kemudian terkait koordinasi fungsional adalah penyelarasan
kerjasama secara harmonis dan sinkron antar lembaga- lembaga yang memiliki
kesamaan dalm fungsi pekerjaan, (Syafiie, 2010: 189-190)

Demikian D.G.A Van Poelje (1953; 1) dikutip dari Inu Kencana Syafiie

(2010; 62) menegaskan bahwa:

De beestuurkunde leart, hoe men de openbare dienst dienst het beste


inrichten leidt.
Maksudnya ilmu pemerintahan adalah ilmu yang menggeluti studi tentang
penunjukkan cara kerja ke dalam dan ke luar struktur dan proses
pemerintahan umum.

Berdasarkan paradigma itu penulis menarik kesimpulan bahwa berbicara objek ilmu

pemerintahan maka dimensi yang perlu diperhatikan sebagai pusat perhatiannya

ialah:

1. Unsur-unsur dinas umum (openbare dienst)

2. Keserasian dinas umum baik secara internal dan hubungannya dengan

eksternal yaitu kepada masyarakat yang mewakilinya yang

kepentingannya diwakili dalam dinas umum. Bentuk organisasi terbaik

dinas umum.

3. Hubungan antar alat kelengkapan yang bersama- sama merupakan dinas

umum sebagai suatu kebutuhan


4. Sentralisasi dan desentralisasi

5. Koordinasi serta pengawasan baik secara internal maupun eksternal

6. Hubangan antara yang diperintah dengan yang diperintah

7. Mengusahakan terjaminnya keserasian dan tindakan dari pemerintah

8. Unsur manusia dalam pemerintahan

9. Pembentukan, pendidikan, peraturan dinas dan gaji pegawai

10. Jaminan- jaminan bagi pemerintahan yang baik dan serasi

Esensi ilmu pemerintahan yang secar umum berdasarkan uraian ini adalah

sebuah perumusan secara struktur melaui proses- proses yang melibatkan

kebijaksanaan dan keputusan yang bersifat mengikat atas nama keseluruhan

kehidupan bersam warga negara.

C. Ruang Lingkup Ilmu Pemerintahan

Kendatipun masyarakat awam mayoritas memandang bahwa dimensi ilmu

pemerintahan teramat sempit. Dengan mengacu pada ruang gerak termasuk

peluang kerja alumnus pemerintahan dan lapangan pekerjaan menjadi pijakan

sehingga mindset untuk bergelut dan mendalami study ilmu pemerintahan juga

sangat sedikit. Misalnya saja masuk dalam perguruan tinggi negeri maupun

swasta (PTN-PTS), sangat jarang calon- calon Strata 1 memilih pemerintahan

dibanding dengan ilmu- ilmu study sosial lainnya seperti Ilmu Administrasi Negara,

ilmu Politik, ilmu Negara, ilmu Hukum Tata Usaha Negara. Ini disebabkan

karena praktis pemerintahan kurang tersosialisasi secara teoritis. Misalnya dalam

konteks dialektika, tak jarang publik hanya mampu mengkritisi


birokrasi dan aparat pemerintahan yang salah sadiki atau menyeleweng dari

tupoksinya dibanding dengan memberi solusi yang konstruktif.

Dilain hal misalnya dengan munculnya pengamat atau pakar atau ahli

dibidang masing- masing. Pengamat politik mempersoalkan adanya praktek

multipartai dalam kontek demokarasi negara khususnya Indonesia, pakar ekonomi

mengamati bagaimana perkembangan ekonomi negara yang dari zaman- ke zaman

mengalami pasang surut, begitupula dengan pakar hukum yang tak pernah

ketinggalan dalam mengamati dimensi hukum mulai dari fase formulasi

kebijakan, implementasi sampai pada fase evaluasi.

Namun secara universal pengamatan yang dilakukan tersebut dominan

menyesatkan dalam artian kritik yang kurang menuai solusi. Idealnya sebuah

pengamatan manakala mampu memberi terobosan baru dan titik temu dari suatu

persoalan, sebut saja tayangan ILC (Indonesia Lawyers Club) di Tv One.

Mungkin bagi kebanyakan orang memandang bahwa tayangan semacam itu hanya

menambah beban pemerintah utamanya carut marut dalam proses pengambilan

keputusan dan lain hal. Namun menurut hemat penulis bahwa tayangan semacam

itulah merupakan salah satu bentuk edukasi dan sosialisasi yang secara teoritis

dan praktis mampu memberi sosuli yang konstuktif bagi kegalutan dan kegalauan

bangsa dan negara.

Mencermati uraian diatas maka sekiranya penting untuk mengenal lebih jauh

menganai ruang lingkup ilmu pemerintahan sebagai upaya untuk menikmati

asupan ontologi, epistemologi dan aksiologi pemerintahan. Sebagaimana telah

dikemukakan sebelumya.
Hal serupa dikemukakan oleh Inu Kencana Syafiie dalam buku Etika

Pemerintahan ed. Rev 2010: 117-118. Bahwa sedemikian luasnya ruang ilmu

pemerintahan, sehingga tidak menutup kemungkinan akan menyentuh ilmu- ilmu

lain, baik ilmu sesama kenegaraan maupun ilmu- ilmu sosial lainnya. Lebih lanjut

Syafiie menguraikan ruang lingkup ilmu pemerintahan sebagai berikut:

1. Ketika membahas administrasi maka ruang lingkup ilmu pemerintahan


mencakup administrasi ditingkat nasional mulai dari lembaga tinggi
negara sampai dengan departeman, kemudian di tingkat daerah mulai
dari provinsi, kabupaten, kecamatan, bahkan sampai pada tingkat
keluarahan dan desa.
2. Ketika membahas filsafat maka ruang lingkup ilmu pemerintahan
mencakup sampai pada mempertanyakan inti ilmu pemerintahan
apakah baik atau buruk pelaksanaannya, apakah benar atau salah
pelaksanaannya dan apakah indah atau jelek cara mempengaruhi
rakyatnya.
3. Ketika membahas hukum maka ruang lingkup ilmu pemerintahan
menyentuh konstitusi dan kewarganegaraan pada tigkat nasional, hukum
yang bagaiman membuat pemerintah harus membentuk peraturan dan
cara memutuskan dalam pengadilannya.
4. Ketika membahas politik maka ruang lingkup ilmu pemerintahan
mambahas bagaimana permainan kekuasaan para partai politik dalam
menuju puncak kekuasaan, mulai dari ketika mereka masih infra struktur
politik, sampai bagaimana menjadi supra struktur politik.
5. Ketika membahas negara itu sendiri, ruang lingkup ilmu pemerintahan
menyentuh bagaimana suatu negara dapat muncul, sampai puncak
kekuasaan dan menjadi jaya dalam arti disegani oleh lawan maupun
kawan di dunia, sebelum tenggelam.
6. Ketika membahas pemerintahan, maka ruang lingkup ilmu
pemerintahan berbicara tentang kebijakan (policy) yaitu apa yang
sebaiknya dilakukan dan apa yang sebaiknya tidak dilakukan yang
disebut kebijaksanaan (wisdom).

Berdasarkan uraian ruang lingkup ilmu pemerintahan diatas maka sangat jelas

dan meyakinkan bahwa ilmu pemerintahan bersifat menyeluruh dalam kehidupan

di suatu sisi dan di isisi lain yang berkaitan dengan itu misalnya dalam dunia

kesehatan, matematik, tekhnologi, ekonomi, entrepreneur dan lain sebagainya

peranan ilmu pemerintahan mempuni dalam mewadhi keseluruhan aspek tersebut.


D. Paradigma Ilmu Pemrintahan

Dalam kontek ke ilmuan prasyarat diakuinya ilmu secara formal ialah ketika

ilmu itu dapat dipelajari dan diajarkan dalam artian memiliki rasionalitas melalui

pengkajian secara ilmiah dan diterima secara universal sebagai suatu disiplin

ilmu.

Terkait dengan ilmu pemerintahan sebagai disiplin ilmu pengetahuan, berawal

dari pengetahuan tentang bagaimana setiap pejabat pemerintah mengatahui dan

menjalankan roda pemerintahan, tahu bagaiman terjadi kerusuhan dan tahu apa itu

artinya kekuasaan untuk menjadi pemerintah, sebagai penjaga malam dalam

mengantisipasi perbuatan kriminal warganya. Sejalan dengan ini maka sudah pasti

paradigma yang kemudian muncul ialah ilmu itu berwal dari filsafat pengetahuan

kemudian berakhir dengan seni. Dalam artian teoritis yang diejawantahkan oleh

corak berpikir filsafat di ungkap secara praktis.

Esensi yang hendak dicermati sebgai benang merah bahwa ilmu pemerintahan

memepelajari pemerintahan dari dua sudut, pertama dari sudut bagaimana

seharusnya “bagaimana seharusnnya sehingga dapat diterima oleh yang

bersangkutan pada saat dibutuhkan” jadi (normatif, ideal, das sollen), dan yang

kedua dari sudut bagaimana nyatanya “pada saat dibutuhkan oleh yang

bersangkutan”. Apakah ia menerima pelayanan yang diharapkan atau tidak, jadi

(empirik, das sein).

Asumsi itulah kemudian menyedot perhatian sebagai ruang lingkup

pemerintah dan ilmu pemerintahan bagaimana antara pemerintah dengan dengan

yang diperintah sejalan dengan espektasi yang jelas dan berkorelasi satu sama
lain, sebab kunci utamanya adalah jasa- publik dan layanan civil tersebut sedini

mungkin dapat terakomoidir lewat pertanggung jawaban terhadap tuntutan,

kewenangan dan kewajiban yang di kehendki dengan kata lain, menggunakan

kewenangan, menunaikan kewajiban dan memenuhi tanggung jawabnya sebgai

pemerintah dan yang yang diperintah.

HUBUNGAN ILMU PEMERINTAHA DENGAN ILMU-ILMU LAIN

Pertumbuhan dan perkembangan berbagai macam disiplin ilmu baik eksakta

maupun non eksakta memiliki fariasi antara yang satu dengan yang lainnya.

Namun fariasi tersebut jelas memilki keterkaitan dan perbedaan satu sama lain.

Demikian ketika ruang lingkup eksakta, misalnya kimia, fisika, biologi dan lain

sebagainya berkaitan erat dengan uji atau percobaan untuk mengetahui falidasi

terhadap pembahasannya secra umum. Namun letak perbedaannya ialah di tiap- tiap

disiplin ilmu tersebut, mempunyai metodologi tersendiri yang menjadi ciri khas

dlam menguji falidasi terhadap faliditasnya objek pembahsan secra spesifik. Sebgai

contoh kimia dengan rumus molekulnya, fisika dengan rumus kecepatan dan

waktunya demikian biologi yang menspesifikkan rumus genetiknya.

Namun penulis menegaskan bahwa uraian diatas hanyalah pembanding untuk

menelusuri kedalam fokus pembahasan berikut mengenai ilmu pemerintahan dan

hubungannya dengan ilmu- ilmu sosial lainya antara.

A. Hubungan Ilmu Pemerintahan Dengan Sosiologi

Manusia adalah mahluk sosial (masyarakat) yang juga sebagai pelaku sosial.

R.M McIver dalam The Web of Government (1961) “Manusia adalah mahluk

sosial; ia hidup bermasyarakat”. Sebagai mahluk sosial manusia melakukan


interaksi-interaksi dengan berbagai bentuk yang berbeda-beda, keadaan yang terjadi

dimasyarakat itu dapat diamati pada keadaan yang nampak dari perilakunya

dan ilmu yang mempelajari tersebut dikenal dengan Sosiologi. Yang penting

dipahami pada halaman ini sebelum lebih lanjut adalah pemerintah juga dianggap

sebagai sala-satu kelompok manusia.

Dalam ilmu pemerintahan, Sosiologi kemudian berkorelasi pada pengamatan

gejala-gejala yang secara khusus terjadi dalam pemerintahan dengan

menggunakan pendekatan sosiologika. Seperti yang dikemukakan oleh,

Talizuduhu Ndraha, “Suatu masalah atau gejala pemerintahan dipelajari oleh

sosiologi” (Kybernology, 2003: 370).

Pada awalnya sosiologi mempelajari seluruh gejala sosial kemudian secara

khusus pada ilmu pemerintahan terpola dengan menggunakan konsep dan

metodologi sosiologi tertentu. Studi tentang pemerintahanan implementasi UU

Desa No. 6 Tahun 2014. Sebagai sample, dapat dilakukan dengan menggunakan

konsep-konsep sosiologi seperti masyarakat hukum adat, kekuatan kelembagaan

adat dalam masyarakat desa dan negara, dengan menggunakan metodologi kualitatif

sebagai bagian dari metodologi sosiologi.

Sebagai contoh, dua gejala pemerintahan Indonesia yang mencuat ke publik

akhir-akhir ini. Pertama, tentang rusaknya harmonisasi para elit birokrat di tengah

meningkatnya minat partispatif masyarakat dalam proses pemerintahan. Kedua,

kelompok elit birokrat berlomba mencari dukungan ataupun simpatik pada

masyarakat dengan membangun keyakinan-keyakinan politik sebagai kekuatan.

Menggunakan kekuatan dari dukungan rakyat atas pertentangan ditingkat elit


menimbulkan tingkat kegaduhan yang semakin besar ditengah masyarakat

sehingga kemudian muncul kelompok-kelompok politik di tengah masyarakat.

Masyarakat yang seharusnya diberdayakan kemudian ikut melebur dalam

pertentangan yang tejadi dan pada akhirnya melahirkan kondisi sosial yang buruk

walaupun mereka tidak memahami secara mendalam tentang masalah yang terjadi

di dalamnya.

Gejala di atas kemudian dapat kita perbandingkan berkaitan dengan posisi

pemerintah (yang memerintah) dengan kekuasaanya dan masyarakat sebagai

(yang diperintah) dengan tuntutannya. Apakah aspek pemenuhan kebutuhan

pemerintah terhadap masyarakatnya berjalan dengan baik yang terlihat dalam

berbagai kegiatan.

Berkaitan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat, pemerintah berposisi

memberikan pelayanan publik dalam hal ini pelayanan yang tidak diprivatisasi.

Inu Kencan Syafiie dalam, Etika Pemerintahan,, “Pelayanan dalam pemerintahan

adalah sama apa yang diinginkan oleh rakyat dengan apa yang diberikan oleh

pemerintah” (2011: 167).

Selama ini seperti yang kita lihat dalam konteks realitas sosial pelayanan

publik di indoenesia sangatlah kontras dengan keadaan yang menjadi tuntutan dari

masyarakat. Ini jelas menggambarkan gejalah pemerintah yang tidak normal, hal ini

dapat terbaca sebelumnya dengan menggunakan pendekatan sosiologi.

Pendekatan sosiologi kemudian akan memperjelas tentang abstraki-abstrasi

sosial yang terjadi di masyarakat dan pemerintahan, abstraksi sosial yang

dimaksud adalah pola, prilaku , mindset dan gejala yang terjadi.


Dari uraian penulisan sajikan diatas tergambar bahwa relasi ilmu

pemerintahan dengan sosiologi sangatlah erat, sampai pada saat ini bahkan telah

berkembang pula bidang kajian terkhusus tentang sosiologi pemerintahan.

Seperti yang jelaskan oleh, Talizuduhu Ndraha dalam Metodologi Ilmu

Pemerintahan bahwa, “Defenisi ilmu pemerintahan pada awalnya meliputi tiga

sistem nilai dasar : manusia, hidup bersama dan kebahagian” (2010: 41). Keadaan

ilmu pemerintahan sampai saat ini telah membawa kita pada berbagai bentuk

penegasian terhadap ilmu lain. Keadaan ini jelas memiliki tujuan yang mengarah

pada pengembangan kajian mendalam terhadap ilmu pemerintahan.

Jadi secara sederhana penulis dapat menyimpulakan bahwa relasi antara

ilmu pemerintahan dengan ilmu sosiologi berpijak pada kebutuhan untuk mengakaji

lebih dalam pada persoalan gejala-gejala yang terjadi dalam pemerintahan itu

sendiri dengan menggunakan pendekatan khusus yang ada pada sosialogi.

B. Hubungan Ilmu Pemerintahan Dengen Politik

Dalam banyak hal, disuatu sisi kehidupan dan pemikiran kekuasaan bangsa

dan negara kerap kali diperbincangkan sebagai buah dari ekspresi politik. Di lain

hal menganggap sebagai kewenangan yang terjadi merupakan peristiwa

pemerintahan. Namun di lain hal antara pemerintahan dengan politik dengan teori

relasi jelas berbicara masalah negara atau kenegaraan sebagai ruang lingkupnya

secara umum.

Namun secara khusus atau spesifik pusat perhatian (focus of interest) antara

ilmu pemerintahan dengan politik secara formal nampak jelas orientasi keduanya.
Karena ilmu pemerintahan menitik beratkan pada fenomena dan peristiwa

pemerintahan yang secara realistis dapat disaksikan dari segala aspek kehidupan.

Sementara politik berorientasi pada kekuasaan, partai politik, grup penekan dan

kepentingan masyarakat.

Berkaitan dengan kebijakan yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

kebijakan berasal dari kata bijak yang berarti kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan

yang merupakan rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar

rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak baik

menyangkut pemerintahan maupun organisasi selain itu kebijakan juga merupakan

pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk

manajemen dalam usaha mencapai sasaran. Sementara siasat ialah tindakan yang

dilakukan secara cermat berdasarkan penyelidikan untuk mengatahui sejauh mana

plus- minus taktik yang akan dijalankan.

Ketika pemahaman diatas dikaitkan dengan situsi dan kondisi yang terjadi

dewasa ini, maka sesungguhnya asumsi mengenai pemerintahan dan politik dalam

konteks paradigmatik secara realistis menuai kontroversi dan multitafsir dimata

publik. Riak - riak publik yang berkembang, menganggap bahwa politik itu naif,

tidak mempunyai wibawa, dan sarak akan money dan mengutamakan kepentingan

pribadi ketimbang kepentingan umum. Misalnya peristiwa G30S/PKI yang

disinyalir merengguk jiwa sejumlah pejuang Republik Indonesia, hal ini terjadi

disebabkan adanya taktik dan siasat sebagai bentuk gerakan politik untuk

melengserkan presiden Soekarno sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.


Zaman berikutnya berdasarkan telaah historis, bagaimana Presiden Soeharto

berkuasa dengan militerismenya selama 32 tahun. B.J Habibie yang dinobatkan

sebagai tekhnokrat mengemuka dengan rakitan pesawatnya yang kemudian

menggantikan Soeharto sebagai presiden hampir saja menjadikan Indonesia

sebagai industrialis pesawat terbang sayangnya hanya mengisi kekosongan

jabatan kepresidenan. Gusdur yang terpilih melalui sidang MPR menggatikan B. J

Habibie selain cacat secara fisik, juga tidak sempat berbuat untuk perubahan yang

lebih baik kepada Indonesia, di ere selanjutnya jiwa sosialis Megawati Soekarno

Putri pun tak mampu berkreasi dan berionovasi untuk Indonesia. Namun

kekuasaan yang di asumsi oleh generasi- kenerasinya ialah Pemberantasan KKN

(korupsi, kolusi dan nepotisme) hingga puncaknya pada dekade 2004- 2014 sosok

militer kembali memegang kekuasaan negara dan pemerintahan. Yang meskipun

praktik militerismenya tidak terlalu nampak namun berbagai kepentingan yang

menunggangi kekuasaan poltik kala itu berimbas pada wajah pemerintahan. Terlihat

dari asal muasal kabinet yang dijalankan “Indonesia Bersatu jilit 1 dan

2”. Nampak signifikan dengan indikator pasangannya. Secara konkrit SBY-JK

dengan SBY-Boediyono. Dalam konstitusi yang berlaku di Indonesia dibenarkan

atas kebebasan untuk memilih siapa saja kita berkomunikasi, menyatakan

pendapat dan siapa saja memiliki kesempatan yang sama dalam pemerintahan,

demikian pernyataan HAM dalam UUD 1945. Sejumlah responden mengemukaan

bahwa inisiatif SBY memboyong aparat sipil dan ekonom dalam dua periode yang

berbeda, berbedaannya terletak pada pemenuhan kekuasaan yang ditengarai

kewajiban partai politik dimana SBY berasal. Kita tidak menutup mata semenjak,
keran demokrasi dibuka, gencatan partai politik beriringan muncul dengan

bermacam- macam ideologi yang dibawanya sebagai ciri khasnya sehingga kerap

tumpang tindih maupun pro kontra dalam kekuasaan pemerintahan.

Hal yang sama bahwa sejarah munculnya partai politik di negara yang satu

dengan yang lain memang tidak selalu sama. Tetapi, ada satu benang merah yang

mempertemukannya, yaitu bahwa kemunculan partai politik itu berbanding lurus

dengan tumbuhnya proses demokratisasi khususnya yang berhubungan dengan

kesamaan hak warga negara. Demikian Scarrow dalam Kacung Marijan (Sistem

Politik Indonesia “Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru”, 2010; 59).

Berbarengan dengan padangan yang dikemukakan tersebut, munculnya partai-

partai politik Indonesia, justru dilatar belakangi oleh kebijakan Hindia Belanda

dengan berimplikasi terhadap nilai kebebasan dengan prospek sosial dan

pembangunan. Atas dasar tersebut kebebasan membuka lebar ruang bagi anggota

masyarakat untuk membentuk organisasi maupun partai politik dalam

berkembangannya justru dibarengi oleh gerakan- gerakan yang merespon adanya

berbagai peristiwa dan konflik baik vertikal dan horisontal, berbagai responsif

itulah kemudian memicu lahirnya kultur bahwa kewenangan partai politik dalam

pemerintahan berdasar bada keterwakilan partai, jadi siapa dan partai mana ia

berasal maka itulah yang berkuasa baik dalam negara maupun dalam

pemerintahan.

Sementara dalam pemikiran barat Max Weber memandang bahwa ekspresi

dari peristiwa dan concern politik. Pendirian politik yang harus di pahami kaitannya

dengan konteks pribadi maupun kejadian- kejadian publik, merupakan


sebuah tema yang berjalan dan beriringan antara sang manusia dan sang

intelektual. Sebab ia adalah seorang manusia politis dan intelktual politis.

Ia menambahkan bahwa menilai politik dengan retorika kaitannya dengan

berbagai konsekuensi dan mengukur bermacam- macam motif manusia

sehubungan dengan hasil yang diperkirakan maupun yang tidak dari perbuatan

mereka, adalah prinsip konstan pemikiran politik.

Naman untuk memecah kebuntuan terkait politik maka penulis mengadopsi

padangan Inu Kencana Syafiie dalam bukunya Sistem Pemerintahan Indonesia ed.

rev.bahwa:

“Secara umum ilmu pemerintahan menekankan pada fungsi output daripada


mutu sistem politik, sedangkan ilmu politik menitikbertkan pada fungsi input.
Dengan perkataan, ilmu pemerintahan lebih mempelajari komponen dari
suatu sistem politik sedangkan, ilmu politik mempelajari society dari suatu
sistem politik, (Syafiie, 2011: 13)”.

Kemudian terkait dengan hubungan antara keduanya Syafiie menambahkan

adanya hubungan nyata antara ilmu pemerintahan dengan ilmu politik, keren ilmu

pemerintahan yang organisasinya tersusun berdasarkan prinsip- prinsip birokrasi

yang mempunyai ruang lingkup yang luas, adalah menjalankan keputusan-

keputuusan politik. Dengan perkataan lain, kebijkasanaan pemerintah (public

policy) dibuat dalam arena politik, tetapi hampir semua perencanaan dan

pelaksanaannya dalam arena birokrasi pemerintahan tersebut.

Jadi, jika keputusan kebijaksanaan pemerintahan dalam arti luas telah

ditetapkan, maka kemudian bergerak dari arena politik ke arena infrastruktur

birokrasi pemerintahan secara sempit.


Dengan demikian, terlihat bahwa menetapkan kebijaksanaan adalah fungsi

politik yang memiliki legitimasi di lembaga legislatif dengan perkataan DPR

kemudian dijalankan oleh pemerintah yang memiliki excep power di lembaga

eksekutif dengan perkataan presiden dan secara fungsional pelaksanaannya

melalui administrasi pemerintah. Inilah titik terang dan penemu bagaimana

hubungan erat antara ilmu pemerintahan dengan ilmu politik.

C. Hubungan Ilmu Pemerintahan Dengan Administrasi Publik

a. Dalam dimensi ruang dan waktu ruang gerak manusia sebgai makhluk

yang berakal dan memiliki potensi kecerdasan, kearifan dan sebagainya, dimuka

bumi ini termat luas dan memiliki waktu yang cukup lama. Namun tidak menutup

kemungkinan gerak dan langkah manusia tersebut bisa saja menuju ruang yang

sempit dan hanya memiliki waktu yang singkat melakukan proses yang di

kehendakinya serta cukup ironis manakala potensi kecerdasan dan kearifan

manusia tersebut menuai kebinasaan.

b. Manusia sebagai makhluk berpikir dengan jelas saja memiliki nawa cita,

impian dan target yang sejatinya sebagai target dalam kehidupannya. Namun

tidak menutup kemungkinan pula nawa cita dan impian tersebut hanyalah

berjuang pada mimpi balaka.

Kedua ilustrasi yang penulis kemukakan tersebut merupakan dasar bagunan

untuk membuka cakrawala khalayak terkait hubungan ilmu pemerintahan dengan

ilmu administrasi publik/ negara. Dimana pemerintah sebagai aktor pelayan

dalam pemerintahan merumuskan dan menjalankan kebijakan sebagai nawa cita

dalam perwujudan impian memerlukan berbagai macam proses di setiap ruang


dan waktu agar kiranya publik/ negara sebagai aktor yang dilayani dapat

merasakan oucome yang menjadi kebutuhannya.

Administrasi negara merupakan salah satu fungsi pemerintahan berhubungan

dengan pelaksanaan atau penyelenggaraan dari kebijaksanaan- kebijaksanaan

atau kehendak negara (the execution ofe the will of the stated).

Namaun perlu diperhatikan bahwa administrsi bukan sekedar sketsa yang

sekedar digunankan untuk membanarkan kebijakan penguasa. Tetapi dalam dari

itu Mifta Thoha dalam bukunya yang berjudul birokrasi politik dan pemilihan

umum di Indonesia memberi asumsi bahwa:

“Administari publik merupakan suatu kajian yang sistematis dan tidak


sekedar lukisan abstrak. Tetapi memuat perncanaan realitas dari segala upaya
dalam dalam menata pemerintahan menjadi kepemerinthn yang baik “good
governance”, (Mifta Thoha: 2014: 45)”

Ia juga manambahkan kedudukan administrasi publik dalam pemerintahan

tidak hanya terpaku pada aturan legalistik yang kaku, tetapi juga berorientasi

dinamis untuk melaksanakan aturan legal tersebut. Sebagian besar administrasi

publik brsumber dari persoalan masyarakat. Adminstrasi publik adalah suatu

sistem yang menjawab- persoalan- persoalan masyarakat yang dinamis, (Baca

Birokrasi Politik Pemilihan dan Umum di Indonesia Mifta Thoha: 2014 hal 37-

85).

Pandapat ini kemudian penulis tambahkan keranah organisasi sebagai contoh

kecil saja dalam organisasi non profit, katakakanlah organisasi kemahasiswaan

diruang lingkup perguruan tinggi maupun universitas secara umum dipahami

bahwa organisasi merupkan tempat atau perkumpulan satu orang atau lebih yang
memiliki tujuan yang sama. Selain itu nilai (value) organisasi adalah bagaimana

kemudian proses pencapaian tujuan dilakukan melalui proses administrasi.

Lebih jauh dipahami bahwa organisasi manapun, persoalan administrasi

indikatornya ialah wadah dan berbgai kelengkapan lainnya sebgai bahan

administrasi itu dapat berjalan. Disisi lain, tingkat kedewasaan orgnaisasi dapat

dinilai melalui kelihaian dalam bersaing antar sesama organisasi. Demikian pula

ketika kemablai ke persoalan negara yang juga merupakan organisasi terbesar di

di dunia perpektif administrasi adalah keharusan bagai pemerintah baiak dalam

menata lembaga dan pelayanannya maupaun dalam melakukan komunikasi

tingkat nasional.

Telah di ilhami bahwa sesungguhnya ilmu pemerintahan dan ilmu

administrasi negara dari sisi materia memiliki pusat perhatian (focus of interst)

yang sama yaitu negara. tetapi dari sisi formanya ilmu pemerintahan

memokuskan pada gelala dan peristiwa pemerintahan, sementara imu

administrasi negara memfokuskan pada pelayanan dan organisasi publik.

Demikian pula Inu Kencana memperjelas pandangan tersebut bahwa:

“ilmu pemerintahan dari susut pandangnya adalah gejala dan peristiwa


pemerintahan. Sedangkan ilmu administrasi negara sudut pandangnya adalah
sistem pelayanan penyelenggaraan administrasi dan organisasi publik itu
sendiri”.

Dalam analisa mendalam namapak jelas adanya dikotomi antara ilmu

adminitrasi dengan ilmu politik yang telah dibahas sebelumnya, dengan asumsi

kabijaksanaan terhadap kekuasaan dalam pelayaanan. Namun, Henry Fayol secara

konkrit menyebut administrasi adalah POAC (plenning, organizing, actually/

actuating and contolling).


Hal serupa juga di kemukakan oleh beberapa ahli terkait administarasi

pemerintahan sebagai berikut:

Menurut Pfifner dan prathus antara lain:

1. Adminitrasi pemerintahan meliputi implementasi kebijaksanaan

pemerintah yang telah di tetapkan oleh badan- badan perwakilan politik.

2. Adminstrasi pemerintahan dapat di definisikan koordinasi usaha-

perorangan dan kelompok untuk melaksanakan kebijaksanaan pemerintah

yang meliputi pekerjaan sehari- hari pemerintah.

3. Secara global, adaministrasi pemerintahan adalh suatu proses yang

bersangkutan dengan pelaksanaan kebijaksanaan- kebijaksanaan

pemerintah, pengarahan kecakapan dan tekhnik- tekhnik yang tidak

terhingga jumlah orang.

Sementara menurut Felix A. Nigro dan Lloyd A. Nigro meneyebutnya bahwa

administarasi pemerintahan adalah suatu kerjasama kelompok dalam lingkungan

pemerintahan yang meliputi ketiga cabang pemerintahan; eksekutif, legislatif dan

yudikatif. Juga mempunanyai peranan penting dalam perumusan kebijaksanaan

pemerintah dan menyajikan pelayanan kepada masayarakat.

Lain hal yang dikemukan Prajudin Atmosudirjdo menurutnya bahwa

admnistrai negara adalh imu pemerintahan adalah administrasi daripada negara

sebgai organisasi, dan administrasi yang mengejar tujuan- tujuan kenegraan.

Dari keseluruhan pendapat tersebut, antara ilmu pemerintahan dengan ilmu

administrasi memiliki orientasi yang berbeda. Namun secara umum memiliki


hubungan terutama dalam pengorganisiran, manajemen dan pelayanan dalam

menjalankan pemerintahan negara.

D. Hubungan Ilmu Pemerintahan Dengan Hukum Tata Negara

Gejala dan peristiwa yang timbul di dalam hubungan pemerintahan, juga

dapat dicermati melalu penerapan terhadap pelanggaran hukum yang berlaku,

penggunaan sanksi- sanksi terhadap pelanggaran hukum, pengefektifan

kekuasaan yang bersumber dari hukum untuk mencapai tujuan negara,

sebgaimana kita ketahui, bahwa dalam pelayanan masyarakat diperlukan otoritas

dan kewenangan. Sebagaimana dalam arti sempit pemerintahan yang terdiri dari

legislatif, eksekutif dan yudikatif. Ketiga lembaga ini menjadi pisau analisa guna

mengetahui kaitan pemerintah dengan hukum.

Legislatif selaku aktor yang memproduksi formulasi aturan hukum yang

berlaku secara menyeluruh dan eksekutif bertindak selaku eksekutor atau

pelaksana dari produk formulasi hukum yang dibuat tersebut. Sementara sebuah

keharusan atau kewajaban bagi yudikatif untuk melakukan pengawasan, sejauh

mana kebijakan atau hukum tersebut dijalankan, apakah atauakah bertolak belakang

dengan apa yang diharapakan. Seperti Meyers mengemukakan pendapatnya bahwa

hukum adalah keseluruhan norma bernilai susila yang bersangkutan dengan

perbuatan manusia sebagai anggota masyarakat dan harus dipakai pedoman oleh

pemerintah dalam melaksanakan tugasnya.

Artikulasi ini nampak mengikat antara pemerintah dengan yang diperintah

dan kerap terjadi kles tumpang tindih utamanya dalam interaksi atau dan
aktifitasnya. Seperti Lemeiner berpendapat bahwa hukum adalah keserasian

hubungan antara manusia yang menimbulkan kewajiban- kewajiban.

Hukum kerap memicu terjadinya perdebatan profesinalisme menjalankan

aturan hukum dengan legitimasi personal dalam pemerintahan. Kadang kala

terjadi dis profesinalisme antar aktor penyusun kebijakan dengan

implementasinya. Misalnya adanya anggota DPR melanggar kode etik ataukah

menerobos di lampu merah dan lain sebagainya. Dalam pemahaman awam mungkin

saja itu adalah hal biasa yang terus berkembang hingga membudaya. Cerminan

seperti itu jelas telah keluar dari konteks dan fiolsofi hukum. Yang manyatakan

bahwa hukum dibuat agar tercipta keteraturan dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara.

Seperti Ulpian dalam persepsinya menyatakan ilmu hukum adalah

pengetahuan mengenai masalah yang bersifat ilmiah tentang asas- asas surgawi

dan manusiawi artinya pengetahuan yang benar dan tidak benar.

Hukum sebagai suatu kekuasaan yang dilembagakan , ketatanegraan suatu

negara tidak tampak bagaikan kenyataan memiliki kekuasaan yang sah, tetapi juga

di akui mempunyai hak untuk menguasai. Inilah yang kemudian dikenal dengan

legitimasi hukum (Syafiie, 2011: 51).

Dalam daripada itu suatu kesimpulan awal bahwa legitimasi adalah

kesesuaian tindakan terhadap hukum yang berlaku, baik hukum atau peraturan

perundang- undangan itu bersifat formal, etis dan adat- istiadat maupun hukum yang

bersifat kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara sah.


Terkait dengan itu konteks yang perlu dipertanyakan bahwa apa yang

menyebabkan perkembangan hukum terkesan bermata pisau, dalam artian hukum

tajam ke bawah dan tumpul keatas? Apakah hukum memang hanya diperuntukkan

kepada kaum- kaum yang lemah yang salah sedikit di giring ke jeruji besi dan

diadili di depan meja hijau? Ataukah hukum memiliki legitimasi dan formalitas

hanya sebatas memunculkan dan membudayakan penindasan, ketidak adilan serta

diskriminasi?

Realitas hukum demikian tidak tampak dimedia namun lebih dari itu penulis

pun merasakan dengan sejumlah kasus terjadi ditingkat lokal, sebagai contoh

kasus diskriminasi dan ketidakadilan yang terjadi di Sulawesi Selatan yang terkait

dengan perampasan hak- hak masyarakat adat serta penyelewengan hak asasi

manusia khusnya lagi di Kab. Sinjai mualai dari persoalan kesahatan, sampai pada

kalaim kepemilikan tanah utamanya kepada masyarakat yang tinggal di pesisir

hutan.

Contoh lain kasus tambang galian “C” yang terjadi di Desa Selok Awar-

Awar di akhir September 2015 yang merengguk jiwa seorang petani aktivis

lingkungan Salim Kancil. Dengan rasio yang ada tentnya hal yang tak terduga

seorang pemerintah dalam hal ini Kepala Desa, berani menganiaya masyarakatnya

sendiri. Tetapi itulah serakahnya aparatur hukum yang rakus akan kekuasaan dan

kepentingan pribadinya.

Dari berbagai fakta- fakta menjadi pusat perhatian untuk mendalami

bagaiman seharunya pemerintah dalam hubungannya dengan hukum secara jelih


melakukan rekonstruksi terhadap peraktik hukum yang sebagai pedomoman

berbangsa dan bernegra sebgaiman telah dikemukakan sebelumnya.

Sebgai kesimpulan ialah Ilmu pemerintahan berkaitan pula dengan hukum

tata negara, dimana pemerintahan yang baik (good governance) dan efekktif atau

dengan kata lain segala sesuatu yang merupakan perbuatan pemerintahan harus

didasarkan pada prinsip-prinsip hukum untuk meminimalisir dekandensi paratur

hukum dan pemerintah demikian pula dengan publik. Dengan demikian secara

teoritis dan praktis pemerintahan mengacu kepada konstitusi, peraturan, pembatasan

kekuasaan, sanksi hukum bagi yang melanggar sebagai pijakan dalam pemerintahan

untuk menegakkan hukum dengan nurani yang ari dan bijaksanaan.

Anda mungkin juga menyukai