Anda di halaman 1dari 17

NEPOTISME

Disusun Oleh:
APRIANSYAH PUTRA (1830103170)
PUJI SETYANINGTIAS (1830103190)
QITHFIRUL HIBBILLAH (1830103192)
WANZA AGUNG (1830103198)

Dosen Pembimbing:
IFTITAH UTAMI, M.Sy

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM


PROGRAM HUKUM PIDANA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha


Pengasih karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “NEPOTISME”

Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada


junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Karena beliau  adalah  salah
satu figur umat yang mampu memberikan syafa’at kelak di hari
kiamat

Dalam penyusunan makalah ini banyak kesulitan dan


hambatan yang kami hadapi, namun berkat bimbingan, dorongan, dan
bantuan dari berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat kami
selesaikan. Kami  mohon maaf  yang  sebesar-besarnya apabila dalam
penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan didalamnya. kami
mengharapkan saran dan kritikan yang membangun demi tercapainya
kesempurnaan  makalah  selanjutnya.

Palembang, 10 November 2019

Penyusun

Kelompok VI

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii

PENDAHULUAN.................................................................................................................iii

A. Latar Belakang Masalah.........................................................................................iii

B. Rumusan Masalah.................................................................................................iv

C. Tujuan Masalah.....................................................................................................iv

PEMBAHASAN....................................................................................................................1

A. Pengertian Nepotisme...........................................................................................1

B. Pandangan Islam Terhadap Nepotisme..................................................................3

C. Faktor Penyebab Terjadinya Nepotisme................................................................6

D. Pencegahan Praktek Nepotisme............................................................................8

PENUTUP..........................................................................................................................10

A. Kesimpulan...........................................................................................................10

B. Kritik dan Saran....................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................11

ii
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Persoalan nepotisme mendapatkan sorotan yang sangat tajam baik di


media massa maupun elektronik. Ia menjadi aktual karena masalah nepotisme
merupakan persoalan moral dan budaya yang tumbuh dan berkembang hampir
semua sistem birokrasi suatu lembaga, baik sosial, ekonomi, maupun politik.

Nepotisme merupakan bentuk pelanggaran terhadap kaidah kejujuran,


melanggar hukum yang berlaku, menurunkan kewibawaan negara dan pemerintah,
juga mengakibatkan high cost economi(yang dapat menaikkan harga produk dan
menurunkan harga), semua ini terjadi karenaseseorang menginginkan keuntungan
untuk memperkaya diri pribadinya atau keluarganya. Akibatnya, timbul
kesenjangan ekonomi dan sosial antara golongan kaya raya dan berkuasa di level
atas, dan golongan wong cilik yang sehari-hari harus bekerja untuk
mempertahankan hidup yang layak di level bawah.

Pada aspek normatif, nepotisme dihadapkan dalam konsep agama.


Larangan ini tentu beralasan yakni karena dipandang melanggar hukum, tidak
bermoral, berlaku aniaya dalam arti merugikan pihak lain. Dapat dikemukakan
pula bahwa tujuan penetapan hukum dalam Islam, termasuklarangan nepotisme,
adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia sekaligus menghindari mafsadat
(dampak buruk yang akan timbul).

Nepotisme sudah menjadi budaya dalam proses pengambilan keputusan


dalam sebuah birokrasi, baik pemerintahan maupun swasta. Budaya semacam ini
tidaklah asing dikalangan pembuat kebijakan. Perkara nepotisme yang banyak
meninpa pejabat, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif,
menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-undang No.28 tahun 1999 tentang

iii
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari nepotisme, tetapi juga
semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan islam terhadap nepotisme?
2. Apa faktor penyebab terjadinya nepotisme?
3. Bagaimana cara mencegah praktik nepotisme?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui bagaimana pandangan islam terhadap nepotisme
2. Mengetahui faktor penyebab terjadina nepotisme
3. Mengertahui cara pencegahan praktik nepotisme.

iv
v
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nepotisme
Sebelum membahas lebih jauh, hal pertama yang harus dipahami ialah
pengertian sesungguhnya dari nepotisme. Nepotisme berasal dari bahasa latin
yaitu nepos atau nepotis yang berarti cucu (arti kiasan) keturunan dan atau
keponakan. Baik kerabat langsung maupun hanya hubungan perkawinan dan
bahkan bisa meningkat pada relasi atau teman.

Menurut Schoorl, nepotisme adalah praktek seorang pegawai negeri


yang mengangkat seseorang atau lebih dari keluarga dekatnya menjadi
pegawai Pemerintah atau memberi perlakuan yang istimewa kepada
mereka dengan maksud untuk menjunjung nama keluarga, untuk menambah
penghasilan keluarga atau untuk membantu menegakkan suatu organisasi
politik, padahal ia seharusnya mengabdi kepada kepentingan umum.

Jadi nepotisme dapat diartikan sebagai sebuah kecenderungan untuk


mengutamakan atau menguntungkan sanak saudara sendiri terutama dalam

masalah jabatan, pangkat di lingkungan pemerintahan di luar ukuran mereka.


Istilah ini pada mulanya digunakan untuk menjelaskan praktek favoritisme yang
dilakukan oleh pimpinan, Gereja Katolik Romawi (Paus dan para Kardinal) pada
abad pertengahan, yang memberikan jabatan-jabatan kepada sanak, famili,
keponakan atau orang- orang yang disukai.1

Kata nepotisme juga berasal dari bahasa Inggris, yaitu nepotism,


artinya: kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara
sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah, atau
tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang
pemerintahan.
1
M. Dawam Rahardjo, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN): Kajian Konseptual dan Sosial
Cultural, dan Edy Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti (ed.), Menyingkap Kolusi, Korupsi dan
Nepotisme di Indonesia (Yogyakarta: Aditya Media, 1999), hlm. 25

1
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nepotisme didefinisikan sebagai
berikut:
1. perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat
dekat;
2. kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara
sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah;
3. tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang
pemerintahan.

Begitu pula nepotisme seperti halnya korupsi dan kolusi, kriterianya


adalah menggunakan dalam jaringan kekuasaan dan bisnis yang tidak sehat.
Tujuan nepotisme mengawetkan atau dalam batas-batas tertentu memaksakan
kehendak dan kepentingan untuk tetap memegang kekuasaan (politik) dan
penguasaan ekonomi (bisnis) sehingga salah satu dampaknya adalah praktik
monopoli yang diminati oleh keluarga atau orang-orang terdekat tertentu.2
Menurut Amien Rais, nepotisme adalah bagian dari korupsi di mana salah
satu bagiannya adalah korupsi dalam tiga jenis: Pertama, ekstrortif korupsi, yaitu
merujuk pada situasi di mana seseoarang terpaksa menyogok agar dapat
memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi/perlindungan atas hak-hak dan
kebutuhannya. Kedua, korupsi manipulatif, yaitu merujuk pada usaha kotor yang
dilakukan seseorang untuk mempengaruhi kebijakan atau keputusan pemerintah
dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Ketiga, korupsi
nepotistik, yaitu merujuk pada perlakuan istimewa yang diberikan pada anak-
anak, kemenakan, saudara dari pejabat. Diharapkan perlakuan istimewa tersebut
dapat membagi rejeki antar mereka saja.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar pegawai negeri
memiliki akar keterkaitan yang mengarah kepada nepotisme. Kecenderungan
nepotisme ini dapat dilihat dalam berbagai bentuk, mulai dari yang paling
umum seperti ikatan kekeluargaan, College Tribalsm, Organizational Tribalism.3
sampai Institutional Tribalism.
2
Ibid, hlm. 26
3
Sumartana, Etika dan Penanggulangan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Yogyakarta: Aditya
Media, 1999, hlm. 97

2
B. Pandangan Islam Terhadap Nepotisme
Pada hakikatnya, dalam islam tidak ada yang namanya nepotisme. Karena
dalam ajaran islam setiap manusia itu sama, yang membedakan manusia satu
dengan manusia yang lainnya adalah amal ibadahny. Sebagaimana disebutkan
dalam Al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 13 :
       
        
     
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”4
Sangat jelas bahwa Allah menciptakan kita berbeda bangsa dan suku tidak
lain agar kita dapat mengenal satu sama lain, dan dalam ayat ini Allah
menegaskan bahwa yang membedakan umat manusia adalah amal ibadahnya. 
        
      
  
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.”5

Adapun jika yang diserahi tugas itu adalah kerabat dekat dari orang yang
memberi tugas, bukanlah menjadi persoalan. Yang penting apakah orang tersebut
memenuhi persyaratan atau tidak. Jadi prinsip yang ditanamkan dalam Islam
adalah soal kompetensi seseorang atas sesuatu jabatan, bukan ada tidaknya
hubungan kekerabatan. Kalaupun sekiranya pemangku sebuah jabatan adalah
keluarga dari orang menunjuk, selama orang tersebut berkompeten/berhak dan

4
Al-Qur’an Terjemahan (QS Al-Hujurat [49]:13)
5
Al-Qur’an Terjemahan (QS Al Nahl [16]:90)

3
tidak ada pihak-pihak yang merasa dizalimi, maka hal itu tidaklah menjadi
persoalan Seperti yang tersirat dalam ayat Al-Qur-an diatas.
Tapi jika kita memegang prinsip “kekerabatan” sebagai landasan, dalam
arti setiap ada hubungan kekerabatan seseorang dengan pejabat yang menunjuk
maka itu sudah merupakan nepotisme yang terlarang, secara rasional barangkali
sikap ini kurang obyektif. Hanya gara-gara hubungan kerabat, seseorang tidak
berhak mendapatkan haknya, padahal ia berkompeten dalam urusan itu, tentu
sikap seperti ini berlebihan yang tidak pada tempatnya.
Jadi dalam pandangan Islam, nepotisme tidak selamanya tercela. Yang
dilarang adalah menempatkan keluarga yang tidak punya keahlian dalam suatu
posisi karena didasari oleh adanya hubungan kekeluargaan. Atau punya kapasitas,
tetapi masih ada orang yang lebih berhak untuk jabatan itu, namun yang
didahulukan adalah keluarganya. Ini juga nepotisme yang tercela. Karena ada
orang lain yang dizalimi dan tidak mendapatkan haknya.
Adapun kasus nepotisme yang terjadi pada masa khalifahan Utsman Bin Affan
sebagai berikut secara singkat.
Periode enam tahun kedua dari masa pemerintahan Utsman bin Affan,
sejarah mencatat terjadinya kelemahan-kelemahan dalam pemerintahan Utsman
sehingga menimbulkan kekacauan dan pemberontakan. Kekacauan-kekacauan
yang timbul berasal dari kebijakan Usman yang dirasa menyimpang dari garis
kebijakan pendahulunya. Sifat nepotisme Usman kelihatan ketika mengangkat
kerabat-kerabat terdekatnya sebagai pejabat negara.

Sifat-sifat nepotisme yang ada pada pemerintahan Usman ditandai dengan


fakta sejarah bahwa Utsman telah memberhentikan Sa’ad bin Abi Waqqas sebagai
gubernur di Kufah dan mengangkat Walid ibn Uqubah (saudara seibu Usman)
sebagai penggantinya. Gubernur Basrah, Abu Musa al-‘Asyari digantikan oleh
Abdullah bin Amir bin Kurasy (saudara sepupu Usman). Demikian pula yang
dilakukan Usman terhadap gubernur Mesir, ‘Amr bin Ash yang diangkat oleh
khalifah Umar bin Khattab, dipecat dan digantikan oleh Abdullah bin Sarrah
(saudara sesusuan Usman) serta pengangkatan Marwan bin Hakam (sepupu
Usman) sebagai sekretaris negara.

4
Ada beberapa faktor sehingga sifat nepotisme Usman setidaknya menurut
sebagian sejarawan, antara lain menurut Usman, bahwa yang tepat untuk
menduduki jabatan tersebut adalah mereka-mereka yang berasal dari keturunan
Bani Umayyah, karena merekalah yang menguasai administrasi, yang mana
sangat dibutuhkan dalam mengatur sebuah roda pemerintahan.

Selanjutnya, yang harus diperhatikan pula adalah faktor usia, di mana


khalifah Usman pada masa enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya beliau
telah berumur 76 tahun, sehingga secara psikologis beliau sudah terlalu lemah
untuk menolak keinginan para keluarganya, bahkan biasanya pada usia renta
seseorang akan lebih mempercayai keluarga daripada orang lain, mungkin saja hal
semacam ini juga dialami oleh khalifah Usman.

Adapun tuduhan orang bahwa khalifah Usman mengambil harta dari bait
al-mal yang mana tidak pernah dilakukan oleh khalifah sebelumnya, khalifah
Usman pernah berkata bahwa Abu Bakar dan Umar adalah orang yang sangat
taqwa, namun sebenarnya mereka menzalimi dirinya karena khalifah mempunyai
hak seperlima dari harta Bait al-Mal.

Kebijakan-kebijakan demikianlah sehingga dianggap Usman telah


melakukan nepotisme, yang pada gilirannya menimbulkan anti pati dari kaum
muslim terhadap khalifah Usman. Karena begitu, maka muncullah pemberontakan
menjelang akhir pemerintahan Usman. Hal ini dikarenakan selain dari endapan
ketidakpuasan terhadap pola nepotisme Usman, ditambah lagi karena terjadinya
kesenjangan sosial kala itu.

Rasa ketidakpuasan terhadap khalifah Usman menjalar di Kufah dan


Basrah. Rakyat bangkit menentang gubernur-gubernur yang diangkat oleh
khalifah Usman. Hasutan menjadi lebih keras lagi di Mesir, tempat Abdullah bin
Saba’ mendakwahkan hak Ali yang sah sebagai khalifah. Puncak dari
ketidakpuasan rakyat terhadap sifat nepotisme Usman menimbulkan gerakan-
gerakan untuk menuntut keadilan. Misalnya, di Mesir di mana rakyat pada saat itu
meminta kepada khalifah agar gubernur Mesir Abdullah bin Sarrah dipecat karena
kesewenang-wenangannya dalam memerintah. Sekitar 6000 orang mesir
berangkat menuju Madinah untuk bertemu dengan Usman guna menyampaikan

5
keluhan-keluhan mereka terhadap khalifah. Usman berjanji untuk melaksanakan
aspirasi rakyatnya, dan beliau mengganti Abdullah Ibn Sarrah dengan mengangkat
Muhammad bin Abu Bakar sebagai gubernur Mesir sesuai dengan keinginan
rakyat Mesir. 6

Adapun undang-undang di indonesia yang mengatur tentang nepotisme sebagai


berikut:

UU RI No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang


Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,
menyebutkan bahwa, nepotisme adalah setiap perbuatan
Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang
menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di
atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara, (Pasal 1
Angka 5).7

C. Faktor Penyebab Terjadinya Nepotisme

Praktek nepotisme biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki


kekuasaan, mereka melakukan tindakan nepotisme karena adanya kesempatan.
Hal itu dapat diperkuat dengan dalil yang dikemukakan oleh Lord Action tentang
kekuasaan, yang menyatakan bahwa, “Power tends to corrupt, but absolute power
corrupts absolutely,” artinya manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung
untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai
kekuasaan tidak terbatas pasti akan menyalahgunakanya. Maka dari itu di
Indonesia banyak pejabat negara yang terlibat dalam tindak korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN). KKN telah telah melanda seluruh lapisan pemerintahan mulai
dari yang paling rendah hingga ke tingkat atas, yaitu presiden. Bahkan institusi
yang ditunjuk pemerintah untuk menangani dan mengawasi KKN justru ikut larut
dalam arus KKN. Adapun penyebab terjadinya tindak KKN adalah:

1. Munculnya paham materialisme, dengan munculnya paham


materialisme dalam kehidupan masyarakat maka dapat menimbulkan

6
A. Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam. Cet, XXIX, Jakarta: Widjaya, 1992 hlm. 67
7
Https://sauqico.bogspot.com/2016/5/nepotisme-dalam-pandangan -islam.html?m=1

6
cara berfikir yang hanya memandang kebendaan atau materi. Sehingga
segala sesuatu akan diukur dengan materi.
2. Moral dan akhlak yang rendah, Rendahnya moral dan akhlak
masyarakat akan menimbulkan pandangan hidup yang hanya
mementingkan keduniawian saja, sehingga munculah hedonisme.
Akhlak yang rendah akan menurunkan tingkat rasa malu pada
individu, sehingga jika ia mengambil uang atau hak dari orang lain
akan merasa biasa-biasa saja seolah tidak pernah melakukan
pelanggaran.
3. Nafsu keserakahan, rasa kesarakahan akan menimbulkan rasa yang
tidak akan kunjung puas untuk memiliki suatu benda maupun materi
dalam bentuk uang. Dengan adanya keserakahan dapat pula
membutkan mata hati seseorang, sehingga bisa saja memperoleh rejeki
dengan cara yang tidak halal.

Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dapat menimbulkan


beberapa kerugian bagi Negara, kerugian yang sangat dirasakan oleh Negara
adalah kerugian dalam ekonomi. Dalam kegiatan ekonomi KKN telah
mengakibatkan kurang optimalnya pembangunan ekonomi yang dijalankan oleh
Negara. Hal itu disebabkan hasil yang diperoleh Negara menjadi lebih kecil dari
yang seharusnya dapat dicapai. Disamping itu muncul pula ketidakadilan dalam
pemerataan hasil pembangunan serta adanya ketidakadilan dalam pemberian
kesempatan untuk melakukan kegiatan ekonomi. Hal tersebut dapat terjadi dengan
cara pemberian fasilitas yang istimewa kepada pihak tertentu sehingga akan
menutup peluang bagi pihak yang lain.8

8
Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistm Integritas, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2003, hlm.

7
D. Pencegahan Praktek Nepotisme

KKN tidak bisa diatasi sampai para pejabat pemerintah, hakim, polisi dan
wakil-wakil rakyat lainnya bekerja secara aktif menuntut dan menghentikan
korupsi, kolusi dan nepotisme dan salah urus, bukannya menjadi bagian dari
masalah itu sendiri.

Untuk memberantas KKN memang tidak mudah karena dari ‘kebiasaan’


menjadi budaya. Budaya adalah jenis perilaku yang lebih sulit karena telah
menyebar dalam level nasional. Tetapi perlu ada usaha memberantasnya
walaupun perlu perjuangan ekstra keras dalam jangka waktu amat panjang.

Untuk itulah dibutuhkan upaya dalam menangguilangi KKN, upaya tersebut dapat
dilakukan dengan cara:

1. Menegakkan hukum yang seadil-adilnya.


2. Membenahi birokrasi ditingkat pusat maupun daerah.
3. Dibutuhkan sosok atau figure yang dapat untuk diteladani
4. Diperlukan adanya reformasi dalam kelembagaan, misalnya pada lembaga
peradilan.
5. Adanya pengawasan yang dilakukan secara ketat terhadap kekuasaan
eksekutif dan sebaiknya pengawasan dan pemeriksaan tersebut harus
benar-benar independent dan efektif.
6. Dibutuhkan lembaga-lembaga di luar birokrasi yang kuat, seperti LSM dan
ORMAS masyarkat dapat ikut serta mengawasi jalanya pemerintahan.
7. Berbagai organisasi sosial hendaknya memiliki nyali untuk menolak
sumbangan dari orang yang terkait dengan kasus KKN, hingga kasus
tersebut jelas dengan hasil dia dinyatakan tidak bersalah.

8. Mengumumkan nama-nama yang terkait kasus tersebut –semisal di


tempat-tempat umum– dapat dijadikan upaya lain memberantas kasus
korups, kolusi dan nepotisme (KKN). Tanpa bermaksud mengabaikan asas
“praduga tak bersalah”, sosialisasikan nama-nama tersebut dengan judul
atau keterangan “para tersangka” atau “nama-nama bermasalah”. Istilah
tersangka atau bermasalah mengandung pengakuan bahwa nama-nama

8
tersebut belum tentu bersalah. Namanya juga tersangka, mungkin ya
mungkin tidak bersalah. Namun hal tersebut dapat menjadi peringatan
awal bagi warga untuk memberi sanksi sosial semisal menjaga jarak atau
tidak memberi jabatan apapun hingga mereka terbukti secara hukum tidak
bersalah. Dengan demikian diharapkan para tersangka tersebut tergerak
untuk berusaha menjernihkan kasusnya karena merasa “gerah” dengan
sanksi sosial tersebut jika didiamkan saja.9

9
Sumartana, Etika dan Penanggulangan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, hlm. 99-100

9
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nepotisme berdampak pada timbulnya suatu komplik loyalitas dalam
organisasi, terutama bila salah seorang keluarga di tempatkan dalam posisi yang
tidak sesuai dengan kemampuannya, sedangkan terdapat keluarga lain yang
mampu, maka hal seperti ini dihindari dan dilarang oleh Islam.
Tindakan nepotisme tidak diperbolehkan menurut al-Qur’an, karena
tindakan tersebut merupakan salah satu bentuk ketidakadilan, baik terhadap
dirinya, kerabatnya, apalagi terhadap rakyat. Hal tersebut disebabkan karena
tindakan nepotisme tersebut tidak menempatkan seseorang sesuai dengan
kapasitasnya.
Namun dalam al-Qur’an diperbolehkan memberikan jabatan / hak kepada
kerabat yang menyangkut urusan public, tetapi lebih karena faktor kompetensi
dalam menyampaikan amanat yang benar, sehingga akan lebih adil dan dapat
dipertanggungjawabkan

B. Kritik dan Saran


Penulis merasa bersyukur atas terselesainya makalah ini walaupun terdapat
banyak kekurangan yang masih harus diperbaiki kembali dalam makalah ini. dan
penulis sangat senang untuk menerima kritik dan saran dari pihak pembaca demi
kesempurnaan makalah ini serta semoga bermanfaat bagi penulis maupun
pembaca.

10
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an HAFALAN dan Terjemahan, cet I 2015. Jakarta: Almahira


Mewarnai dunia dengan ilmu

Rahardjo, M. Dawam Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) : Kajian


Konseptual dan dan Sosial-Kultural, dalam Edy Suandi Hamid dan
Muhammad Sayuti (ed), Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
di Indonesia, Yogyakarta: Aditya Media, 1999

Sumartana, Etika dan Penanggulangan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,


Yogyakarta: Aditya Media, 1999.

Osman, A. Latief. Ringkasan Sejarah Islam. Cet, XXIX, Jakarta: Widjaya, 1992

Pope, Jeremy. Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistm Integritas, Jakarta:


Yayasan Obor Indonesia, 2003.

Https://sauqico.bogspot.com/2016/5/nepotisme-dalam-pandangan islam.html?
m=1

11

Anda mungkin juga menyukai