Anda di halaman 1dari 14

IMPLEMENTASI ETIKA PEMERINTAHAN DI INDONESIA

Disusun Oleh:

Muh Hasbi Azis Agani

(105641104418)

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN


ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR TAHUN
AJARAN 2020
LEMBAR PENGESAHAN MAKALAH

Nama Lengkap : Muh Hasbi Azis Agani

Tanggal Lahir : Panaikang, 31 Agustus 2000

NIS/NIM : 105641104418

Jurusan : Program studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Perguruan Tinggi/Sekolah : Universitas Muhammadiyah Makassar

Email : muh.hasbihajid@gmail.com

Nomor Telepon : 082154211300

Alamat : BTN Minasaupa Blok L 18 No. 3

Judul Makalah : Implementasi Etika Pemerintahan Di Indonesia

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa makalah yang saya selesaikan
adalah benar. Dengan ini saya menyatakan penulisan makalah dengan judul sosialisasi dalam
keluarga telah memenuhi semua syarat serta ketentuan yang ditetapkan oleh bapak dosen.

Makassar, 30 Oktober 2020

Yang Membuat Pernyataan, Yang Memberi Pengesahan,

Mahasiswa Dosen pembimbing

( Muh Hasbi Azis Agani) (Andi Dede Suhendra Iskandar, S.H., M.H.)

 
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, saya yang bertanda
tangan di bawah ini:

Nama : Muh Hasbi Azis Agani

NIM : 105641104418

Program Studi : Ilmu Pemerintahan

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jenis karya : Makalah

Menyatakan bahwa demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan


kepada Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya hak menyimpan, mengalih-media/format,
mengelolanya dalam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikannya, dan
menampilkan/mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis
tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta atas karya ilmiah saya berjudul:

“Implementasi Etika Pemerintahan Di Indonesia”

Segala tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam karya ilmiah ini
menjadi tanggungjawab saya pribadi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Makassar

Pada tanggal : 30 Oktober 2020

Yang menyatakan

( Muh Hasbi Azis Agani )


IMPLEMENTASI ETIKA PEMERINTAHAN DI
INDONESIA

Muh Hasbi Azis Agani


Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Muhammadiyah Makassar, 90221, Indonesia

muh.hasbihajid@gmail.com

ABSTRAK

Maraknya kasus korupsi yang terjadi di indonesia saat ini merupakan salah satu indikasi gagalnya
reformasi birokrasi. Meluasnya praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) saat ini semakin
mempertegas bahwa birokrasi kita telah gagal menempatkan dirinya menjadi institusi yang bisa
melindungi dan memperjuangkan kebutuhan dan kepentingan publik. Gagalnya agenda reformasi
birokrasi yang disebabkan oleh bobroknya mentalitas dan moralitas aparatur pemerintah yang
menafikan nilai-nilai etika pemerintahan. Oleh karena itu dari sinilah kemudian perlu adanya
penguatan dan sentuhan etika dalam setiap kinerja birokrasi sehingga tujuan dari agenda reformasi
birokrasi dapat tercapai.

Kata Kunci : Penguatan, Etika, Reformasi, Birokrasi

ABSTRACT

The rise of corruption cases in Indonesia today is one indication of the failure of bureaucratic
reform. The widespread practice of corruption, collusion and nepotism is now increasingly
emphasizing that our bureaucracy has failed to place itself as an institution that can protect
and fight for the needs and interests of the public. The failure of the bureaucratic reform
agenda cause by the collapse of the mentality and morality of government apparaturs that
denied the values of government ethics. Therefore, it is here that there is a need to strengthen
and touch ethics in every bureaucratic performance so that the objectives of the bureaucratic
reform agenda can be achieved.

Keywords : Strengthening, Ethics, Reformation, Bureaucracy

1
A. Pendahuluan

Kelancaran penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional


sangat dipengaruhi oleh kesempurnaan pengabdian aparatur Negara. Pegawai Negeri Sipil
atau aparatur birokrasi adalah merupakan unsur aparatur Negara yang betugas memberikan
pelayanan yang terbaik, adil dan merata kepada masyarakat.

Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional. Diperlukan aparatur


birokrasi (PNS) yang netral, mampu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, professional
dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas.

Fenomena selama ini menunjukkan kondisi lingkungan aparatur birokrasi masih adanya
permasalahan serius yang harus diatasi, antara lain : (1) pelaksanaan tugastugas umum
pemerintahan belum sepenuhnya berjalan efisien dan efektif, sehingga itu pembangunan
aparatur birokrasi masih harus ditingkatkan dan diarahkan pada peninkatan efisiensi dan
efektivitas; (2) di lingkungan aparatur birokrasi ada gejala masih belum bersih dan sering
merusak kewibawannya, sehingga itu pembangunan aparatur birokrasi terus diarahkan pada
mewujudkan aparatur yang bersih dan berwibawa; (3) di lingkungan aparatur birokrasi masih
sering ditemui adanya penyalahgunaan wewenang dan penyelewengan lainnya seperti
korupsi, kolusi dan nepotisme, pungutan liar, kebocoran dan pemborosan; sehingga itu
pembinaan, penertiban dan pendayagunaan aparatur pemerintah/birokrasi terus ditingkatlkan.
Beberapa fenomena permasalahan seperti ini tidak hanya terjadi di lingkungan aparatur
birokrasi pada tingkat pusat tetapi juga di tingkat daerah. Semangat otonomi daerah telah
mewarnai pendayagunaan aparatur birokrasi di daerah dengan tuntutan untuk mewujudkan
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang efisien dan efektif serta mampu menyediakan
pelayanan publik secara professional sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat.
Tuntutan tersebut merupakan hal yang wajar karena selama ini aparatur birokrasi di daerah
belum sepenuhnya mampu melaksanakan pelayanan publik.

B. Pembahasan
1. Pengertian Etika

Etika berasal dari bahasa Yunani, Ethos yang berarti kebiasaan atau watak dan dalam
bahasa prancis disebut etiquet atau etiket yang dapat diartikan sebagai kebiasaan atau cara
bergaul dan berperilaku yang baik. Secara konsep, etika dipahami sebagai “suatu sistem nilai
yang mengatur mana yang baik dan mana yang buruk dalam suatu kelompok atau
masyarakat”. Etika (ethics) merupakan salah satu cabang filsafat moral atau pembenaran-

2
pembenaran filosofis (philosophcaljudgement).1 Moral juga bias merupakan suatu instrumen
dalam suatu masyarakat, apabila suatu kelompok social menghendaki tuntunan bertindak
untuk segala pola tingkah laku yang disebut moral.

Akan tetapi moral memiliki pertimbangan lebih tinggi dalam menentukan kebenaran dan
keharusan. Sekalipun dalam penerapan sangsi atas pelanggaran moral terhadap pelanggarnya
tidak memperlakukan tindakan paksaan secara fisik seperti dihukum dalam penjara, tetapi
lebih kepada sangsi sosial seperti rasa bersalah, malu, merasa terkecilkan oleh komunitas dan
sangsi verbal lainnya. Jadi moral kadang-kadang bisa berwujud seakan akan hukum yang
harus ditaati tetapi juga sebagai konvensi. Moral dalam pengertian umum yang sering kita
lihat, lebih menekankan kepada karakter dan sifat individu yang khusus akan tetapi, kondisi
khusus itu bersifat baik, akan tetapi sifat baik dimaksud tidak dilandasi/ditentukan oleh
perasaan ketaatan/terhadap peraturan, Seperti dalam kasus murah hati, kasih sayang, empati,
berjiwa besar dan sebagainya. Itu semua dilakukan seseorang bukan karena taat atas peraturan
tetapi karena kesadaran sendiri, yang didorong oleh hati nuraninya. Dengan kata lain moral
merupakan pendorong seseorang untuk melakukan tindakan baik seakan-akan sebagai
kewajibannya, karena itu moral dapat menjadi parameter (alat ukur) tindakan “baik/buruk”.

Terdapat pemahanan tentang etika atas tiga bentuk yaitu; Pertama, etika bisa dipakai
dalam arti nilai-nilai dan norma-norma. Moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
kelompok dalam mengatur tingkah laku. Dapat kita katakan sebagai “sistem nilai”. Kedua
etika dapat diartikan sebagai kumpulan azas atau nilai moral yang dimaksud disini “kode
etik”. Ketiga, etika mempunyai arti ilmu tentang yang baik dan buruk.2

2. Pengertian Etika Birokrasi

Menurut Yahya Muhaimin Birokrasi adalah keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil
maupun militer yang bertugas membantu pemerintah (untuk memberikan pelayanan publik)
dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu, sedangkan Hegel melihat, bahwa
birokrasi merupakan jembatan yang dibuat untuk menghubungkan antara

kepentingan masyarakat dan kepentingan negara yang dalam saat-saat tertentu berbeda.
Oleh sebab itu peran birokrasi menjadi sangat strategis dalam rangka menyatukan persepsi
dan perspektif antara negara (pemerintah) dan masyarakat sehingga tidak terjadi kekacauan.

1
Wahyudi, Kumorotomo, 2008. Etika Administrasi Negara, RajagrafindoPersada, Jakarta. Hal 8
2
K. Bartens, 2007. Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal 6

3
Etika Birokrasi (Administrasi Negara) adalah sebagai seperangkat nilai yang menjadi
acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi.3 Dengan mengacu kedua
pendapat ini, maka etika mempunyai dua fungsi, yaitu pertama sebagai pedoman, acuan,
referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya agar tindakannya dalam birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat,
perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, buruk, tidak tercela, dan terpuji.

Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi,
penuntun, bagi birokrasi publik dalam menjalan tugas dan kewenangannya antara lain,
efisiensi, membedakan milik pribadi dengan milik kantor, impersonal, merytal sistem,
responsible, accountable, dan responsiveness.

3. Etika Pemerintahan dalam Pelayanan Publik

Pemerintah sebagai alat negara mempunyai kewajiban untuk melindungi warga negara,
memberikan rasa aman, kesejahteraan dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada
warga negaranya. Bila dikaitkan dengan bunyi penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa
tugas pemerintah adalah untuk mewujudkan cita-cita negara. Ini pula yang menjadikan aparat
pemerintahan salah satunya menjalankan aktivitas keseharian memberikan pelayanan kepada
masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.

Untuk dapat menjalankan tugas dan kewajiban tersebut perlu dilandasi dengan etika
pemerintahan sebagai pedoman atau tuntunan sehingga tidak keluar dari koridor yang akan
merendahkan kewibawaan pemerintah sebagai alat negara. Di dalam etika pemerintahan ada
tiga prinsip yang harus dipegang untuk melaksanakan penyelenggaraan negara yaitu :

a. Adanya itikad baik, artinya mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan, tidak
mengambil jalan pintas. Menempuh jalan pintas (menerobos) mengandung
konsekwensi melanggar nilai-nilai keadilan dan ini berarti bukan memecahkan
masalah melainkan menciptakan masalah baru.
b. Profesional artinya mampu bekerja secara cepat, tepat dan akurat, didukung dengan
perilaku yang sopan dan siap melayani secara adil.
c. Altruistik, artinya mengutamakan kemanfaatan bagi orang banyak (tidak egois) dan
berdiri di atas semua golongan. Pengamalan etika yang baik akan melahirkan

3
Darwin, 1999 Tata Pemerintahan menuju politik orde baru, Jakarta: Rineka Cipta. Hal 24

4
konsekuensi berupa komitmen untuk menjadikan seorang aparatur memiliki moralitas
pemerintahan dan menjunjung semua nilai-nilai kebaikan.4

Sehingga dapat dilihat, seorang aparatur yang beretika dalam sikap dan perilaku sehari-
hari di lingkungan pemerintahan dia akan senantiasa terpanggil untuk menjaga kewibawaan
pemerintah, menjalankan fungsinya dengan sebaik mungkin, dan menghindari penyimpangan
yang mencoreng citra pemerintahan. Aparatur pemerintahan dalam menjalankan tugas dan
tanggung jawabnya tidak terlepas dari kode etik yang dijadikan landasan etis yang berlaku
bagi setiap aparatur pemerintahan, dimana kode etik tersebut dapat tercermin dari Panca
Prasetya KORPRI tertuang dalam Keputusan MUNAS VI KORPRI Nomor : Kep-
8/Munas/2014 yaitu anggota KORPRI beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah insan
yang:

1. Setia dan taat kepada Negara Kesatuan dan Pemerintah Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia
jabatan dan rahasia negara.
3. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan
golongan.
4. Bertekad memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan Korps
Pegawai Republik Indonesia.
5. Berjuang menegakkan kejujuran dan keadilan, serta meningkatkan kesejahteraan dan
profesionalisme.

Menilai tindakan seseorang apakah sudah sesuai dengan norma etika adalah bukan hal
mudah. Umumnya, orang menilai suatu perbuatan disebut bermoral atau beretika apabila
tindakan atau perbuatan tersebut memiliki tujuan yang baik, tidak merugikan orang lain
ataupun diri sendiri, tidak mementingkan diri sendiri serta menjunjung tinggi harkat dan
martabat sebagai manusia. Untuk mewujudkan pelayanan publik perlu dikembangkan sikap
dan perilaku keteladanan serta penerapan nilai-nilai konsistensi dan tanggung jawab. Ada
beberapa sikap dan kepribadian yang harus dipegang oleh aparatur pemerintah berkaitan
dalam pelayanan publik yaitu :

a. Kejujuran dalam melaksanakan tugas. Kejujuran merupakan sikap yang harus dimiliki
oleh aparatur pemerintahan.

4
Labolo Muhadam dkk, 2015. Dialektika Ilmu Pemerintahan. Ghalia Indonesia. Bogor. Hal 423

5
b. Mengutamakan kepentingan publik daripada kepentingan pribadi.
c. Melayani publik dengan semangat pengabdian dan ikhlas dengan niat ibadah karena
Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan demikian pelaksanaan tugas dan tanggung jawab oleh pemerintah kepada rakyat
dalam pemenuhan hak-hak dasar perlu dilandasi dengan memegang teguh etika dalam hal ini
adalah kode etik aparatur pemerintahan yang dapat menuntun kepada arah atau koridor
kebenaran dalam melaksanakan pelayan publik.

4. Etika dan Akuntabilitas Sektor Publik

Birokrasi macam apa yang mampu melaksanakan prinsip etis dalam pola kerjanya,
menjadi diskusi yang menarik sehingga teoretikus adminsitrasi publik merumuskan
bermacam-macam metode. Konsep birokrasi Weber merupakan tipe birokrasi ideal yang
menerapkan prinsip-prinsip etika. Birokrasi Weberian memiliki karakteristik utama, yakni:

a. Terdapat pembagian tugas (divison of labour) dan deskripsi tugas (job description)
yang jelas.
b. Terdapat hirarkhi dalam organisasi (the principle of hierarchi).
c. Terdapat system kerja yang baku (system of rules).
d. Kinerja pegawai didasarkan pada spirit netral dan impersonal (formalistic
impersonality; sine ira et studio). Netralitas birokrasi menurut Weber merupakan
aspek utama pembentukan etika birokrasi, yakni birokrasi yang bekerja secara
profesional.
e. Terdapat sistem karier bagi pegawai (carier system), di mana perekrutan pegawai
berdasarkan pada system meritokrasi (merit system) sesuai kompetensi yang dimiliki
masingmasing pegawai. 5

Namun birokrasi Weberian—meskipun ideal—perlu diimplementasikan secara hati-hati.


Sistem administrasi yang terlampau efektif justru akan menghambat pembangunan, karena
birokrasi yang kuat cenderung menyebabkan pranata sosial politik yang lain melemah.
Intervensi pemerintah dalam banyak bidang pembangunan (misalnya ekonomi, pertanian,
industri, kelautan, kehutanan) dapat menumpulkan partisipasi kelompok masyarakat (society)
dalam pembangunan. Sistem administrasi yang dominan cenderung menghambat kebebasan

5
Makmur, M. 2003. Dasar-Dasar Administrasi Publik dan Manajemen Publik. FIA UB: Malang. Hal 13

6
dan melahirkan sistem yang bersifat etatis. Hal ini oleh Bryant dan White disebut sebagai the
paradox of development administration.6

Dengan bahasa yang lain, kekuasaan birokrasi yang besar dikombinasikan dengan sistem
pemerintahan feodal dan sentralistik akan melemahkan kontrol masyarakat (the governed).7
Apabila mekanisme kontrol publik tidak berjalan, maka demokrasi dalam pemerintahan
menjadi sulit diwujudkan. Sistem pemerintahan yang tidak demokratis dalam perspektif ilmu
administrasi modern dianggap sebagai sistem pemerintahan yang tidak berpihak kepada
rakyat. Padahal, berpihak kepada rakyat tidak saja menjadikan tindakan pemerintah disebut
sebagai tindakan etis tetapi juga menjadi sebab mengapa negara dan pemerintahan dibentuk.

Dalam kaitannya dengan politik, birokrasi yang kuat dan melakukan aliansi jahat dengan
politik juga sama buruknya dengan birokrasi yang etatis. Perselingkungan birokrasi-politik
akan mendorong terjadi salah urus birokrasi, birokrasi asyik dengan dirinya sendiri dan
birokrasi cenderung akan mempertahankan status quo dengan segala cara.8 Kejumudan
kehidupan berbangsa dengan demikian dimulai.

Lemahnya kontrol rakyat terhadap birokrasi pemerintah akan menjadikan birokrasi


sebagai kerajaan tanpa kendali. Birokrasi otoritarian akan mudah tergelincir menjadi birokrasi
yang sewenang-wenang dan korup9. Akibat lemahnya kontrol rakyat pula, maka birokrasi
akan senantiasa berorientasi pada kekuasaan (power driven). Dalam formulasi dan
implementasi pembangunan maka aspirasi negara lebih didahulukan ketimbang aspirasi
publik. Celakanya, yang disebut sebagai “negara’ adalah sekelompok elite yang berkuasa—
yang seringkali cara untuk memperoleh kekuasaan dilakukan secara tidak demokratis.
Birokrasi akan berpihak pada elite yang akan semakin menjauhkan birokrasi dengan
demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) yang diidealkan.

Untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan mendorong
terwujudnya etika birokrasi dan partisipasi kelompok masyarakat sipil (civil society), baik
Effendi maupun Thoha merumuskan alternatif solusi yang menarik untuk didiskusikan.

6
Effendi, Sofian. 2006. Revitalisasi Sektor Publik Menghadapi Keterbukaan Ekonomi dan Demokratisasi Politik
dalam Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Hal 61-62
7
Thoha, Miftah. 2006. Demokrasi dalam Birokrasi Pemerintah: Peran Kontrol Rakyat dan Netralitas Birokrasi
dalam Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Hal 83
8
Effendi, Sofian. Op.cit. Hal. 62
9
Thoha, Miftah. Op.cit. Hal 76

7
reformasi sektor publik akan mendorong birokrasi bergerak menuju kondisi demokratis.10
Reformasi sektor publik dilakukan dengan sejumlah cara, yakni:

a. Selain berorientasi pada pencapaian pembangunan (ekonomi) dan stabilitas politik,


perlu dibuka ruang partisipasi publik (society) seluas-luasnya. Paradigma
pembangunan seharusnya diubah dari crisis politics menuju interest poilitics.
b. Reformasi sektor publik diarahkan bagi terwujudnya desentralisasi, deregulasi,
partisipasi masyarakat, penciptaan sistem pemerintahan yang semakin terbuka serta
peralihan dari otoritarianisme birokrasi (bureaucratic authoritarianism) menuju
otonomi demokrasi (democratic autonomy).
c. Menata ekonomi nasional agar tujuan pembangunan dapat dicapai, yaitu peningkatan
kualitas hidup, pemerataan kesempatan berusaha meliputi proteksi terhadap usaha
kecil, menengah dan koperasi.

Sementara formulasi untuk mewujudkan birokrasi yang etis dan demokratis, yakni
dengan mendorong terwujudnya netralitas birokrasi.11 Jika birokrasi memihak pada kekuatan
politik tertentu maka birokrasi tidak bersikap independen, dan itu artinya ia menjadi tidak
demokratis. Partai politik perlu dijauhi oleh birokrasi karena menurut Thoha menurut
pengalaman empiris di negara-negara demokratis hanya memiliki motivasi tunggal:
menguasai pemerintahan. Latar belakang profesional dan pengalaman antara partai politik dan
birokrasi berbeda sehingga diantara keduanya cenderung tidak mungkin dapat bekerja sama
dalam konteks yang positif. Birokrasi terbiasa bekerja secara professional, memiliki
kompetensi khusus, sistem meritokrasi sementara partai politik terbiasa bekerja untuk
mempengaruhi bahkan merebut kekuasaan yang meskipun dilakukan secara demokratis
berbeda perspektif dengan cara kerja birokrasi. Netralitas juga perlu dilakukan birokrasi
karena masa kekuasaan partai politik dibatasi oleh periode kekuasaan tertentu (umumnya 5
tahunan) sementara masa pengabdian birokrasi dibatasi oleh masa kerja (hingga pensiun).
Birokrasi harus bersikap netral agar selalu dapat bekerja sama dengan kekuasaan politik yang
sedang berkuasa.

Selain itu sejumlah perubahan paradigma yang perlu dilakukan birokrasi agar
demokratisasi birokrasi dapat terwujud. Paradigma-paradigma tersebut adalah:

10
Effendi, Sofian. 2006. Revitalisasi Sektor Publik Menghadapi Keterbukaan Ekonomi dan Demokratisasi Politik
dalam Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Hal 66
11
Thoha, Miftah. 2006. Demokrasi dalam Birokrasi Pemerintah: Peran Kontrol Rakyat dan Netralitas Birokrasi
dalam Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Hal 83-85

8
a. Perubahan orientasi manajemen pemerintahan yang berorientasi negara menjadi
berorientasi pasar (market),
b. Perubahan orientasi manajemen negara yang otoritarian menjadi egalitarian dan
demokratis.
c. Perubahan paradigma dari sentralisasi menjadi desentralisasi dan otonomi.
d. Perubahan paradigma pengelolaan negara dari hanya menekankan pada batas maupun
aturan yang berlaku pada suatu negara menuju tipe masyarakat global yang
boundaryless organization,
e. Perubahan paradigma dari a low trust society ke arah a high true society yakni usaha
menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya sehingga masyarakat
bersedia berpartisipasi aktif dalam pembangunan. 12
C. Kesimpulan

Gerakan reformasi sebagai momentum strategis untuk mengubah seluruh tatanan sosial
dan politk di Indonesia merupakan alat yang dipergunakan dalam merubah sistem birokrasi
indonesia yang tidak kapabel. Kondisi kultur dan perilaku birokrasi indonesia merupakan
faktor penting yang membuat kondisi birokrasi menjadi involutif tanpa perubahan yang
mendasar. Dalam hal ini setiap pimpinan pemerintahan belum optimal secara sungguh-
sungguh mereformasi birokrasi, padahal peluang untuk itu terbuka. Mereformasi birokrasi
haruslah menjadi agenda mutlak yang memerlukan komitmen, keseriusan, konsep dan fokus.
Selain itu hal tersebut juga disebabkan oleh masih kaburnya kode etik aparat birokrasi publik
(code of conduct), sehingga tidak mampu menciptakan

Adanya birokrasi yang sehat, seperti kerja keras, keinginan untuk berprestasi, kejujuran,
rasa tanggung jawab, bersih dan bebas dari KKN dan sebagainya. Hal ini ditunjang dengan
lemahnya responsivitas, representatives, dan responsibilits aparatur pemerintah, dimana
mereka hanya mampu menempatkan dirinya sebagai mesin birokrasi yang tidak mampu
mengadaptasikan sikap dan perilakunya pada kondisi dan tuntutan masyarakat yang terus
berubah.

Penerapan etika dalam agenda reformasi pada dasarnya merupakan syarat mutlak dalam
mewujudkan birokrasi yang efektif, efisien dan profesional dalam agenda reformasi.
Penerapan etika dalam kehidupan berbangsa merupakan satu wahana dalam rangka
melancarkan penyelenggaraan Sistem Administrasi Negara dimana dengan adanya etika yang
dipahami dan menjadi dasar pola perilaku dalam berbangsa dan bernegara akan mengarah
12
Ibid. Hal 90-92

9
pada satu tatanan kenegaraan yang stabil, karena persepsi akan perilaku yang diharapkan oleh
masing-masing individu sebagai warga negara dapat teramalkan dengan baik.

10
Daftar pustaka

Darwin, 1999 Tata Pemerintahan menuju politik orde baru, Jakarta: Rineka Cipta.

Effendi, Sofian. 2006. Revitalisasi Sektor Publik Menghadapi Keterbukaan Ekonomi dan
Demokratisasi Politik dalam Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Gadjah
Mada University Press: Yogyakarta.

K. Bartens, 2007. Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Labolo Muhadam dkk, 2015. Dialektika Ilmu Pemerintahan. Ghalia Indonesia. Bogor.

Makmur, M. 2003. Dasar-Dasar Administrasi Publik dan Manajemen Publik. FIA UB:
Malang.

Thoha, Miftah. 2006. Demokrasi dalam Birokrasi Pemerintah: Peran Kontrol Rakyat dan
Netralitas Birokrasi dalam Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Gadjah
Mada University Press: Yogyakarta.

Wahyudi, Kumorotomo, 2008. Etika Administrasi Negara, RajagrafindoPersada, Jakarta.

11

Anda mungkin juga menyukai